• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Perlakuan Invigorasi Pada Benih Yang Berbeda Tingkat Masak Terhadap Viabilitas Dan Vigor Benih, Pertumbuhan Tanaman, Dan Hasil Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Perlakuan Invigorasi Pada Benih Yang Berbeda Tingkat Masak Terhadap Viabilitas Dan Vigor Benih, Pertumbuhan Tanaman, Dan Hasil Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PERLAKUAN INVIGORASI PADA BENIH

YANG BERBEDA TINGKAT MASAK TERHADAP

VIABILITAS DAN VIGOR BENIH, PERTUMBUHAN

TANAMAN, DAN HASIL KACANG BOGOR

(

Vigna subterranea

(L.) Verdcourt)

OYOK SOPIAN

A24061318

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PENGARUH PERLAKUAN INVIGORASI PADA BENIH

YANG BERBEDA TINGKAT MASAK TERHADAP

VIABILITAS DAN VIGOR BENIH, PERTUMBUHAN

TANAMAN, DAN HASIL KACANG BOGOR

(

Vigna subterranea

(L.) Verdcourt)

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Disusun Oleh:

OYOK SOPIAN

A24061318

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Vigor, Plant Growth, and Yield of Bambara Groundnut (

Vigna

subterranea

(L.) Verdc.)

Oyok Sopian and Satriyas Ilyas*

Department of Agronomy and Horticulture, Faculty of Agriculture, Bogor Agricultural University. Darmaga Campus, Bogor 16680. Indonesia. Keywords: germination, matriconditioning, Rhizobium sp., weight of pods Abstract

Bambara groundnut can be cultivated in marginal land, however, its productivity is low. In order to increase the productivity, high quality of seeds must be used. Two consecutive experiments were conducted in laboratory and field at Bogor Agricultural University from April to October 2010. Seeds of three

maturity levels were harvested from farmer’s field in Sukabumi, April 2010. The

seeds were dried down to 11.6% moisture content before being used. The objectives of the experiments were to evaluate effects of seed invigoration applied on bambara groundnut seeds of three maturity levels on seed vigor, plant growth, and yield. Laboratory experiment was arranged in a completely randomized design while field experiment was arranged in a completely randomized block design. In both experiments, two factors were applied, seed maturity and invigoration. There were three levels of seed maturity i.e. seeds harvested at 119, 122, and 125 days after planting (dap). Seed invigoration consisted of untreated, Rhizobium sp., matriconditioning, matriconditioning plus Rhizobium sp. Matriconditioning was conducted using ratio of seeds to carrier (burned rice hull)

to water of 20:12:12 (g) for 3 days in air-conditioned room ca. 25 0C. Rhizobium

(4)

RINGKASAN

OYOK SOPIAN. Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Viabilitas dan Vigor Benih, Pertumbuhan Tanaman, dan Hasil Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt). Dibimbing oleh SATRIYAS ILYAS.

Kacang bogor termasuk pada tanaman yang dapat dibudidayakan pada lahan kering dan miskin hara walaupun produktivitasnya masih tergolong rendah. Usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan menggunakan benih yang bermutu. Mutu benih ini didapatkan sejak benih diproduksi yang berkaitan dengan masak fisiologis, pengolahan, penyimpanan, sampai pada perlakuan benih pratanam.

Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Leuwikopo dan Laboratorium Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura pada bulan Juni-Oktober 2010. Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan I adalah pengujian di laboratorium yang bertujuan untuk mempelajari pengaruh tingkat masak benih dan perlakuan invigorasi terhadap viabilitas dan vigor benih. Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial yang terdiri atas dua faktor perlakuan. Faktor pertama yaitu perbedaan tingkat masak benih yang terdiri atas tiga tingkat masak yaitu M1: 119 hari setelah tanam (HST), M2: 122 HST, dan M3:125 HST. Faktor kedua adalah perlakuan invigorasi yang terdiri atas empat perlakuan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2

(matriconditioning), dan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.),

Percobaan II adalah pengujian di lapangan yang bertujuan untuk mempelajari pengaruh perlakuan invigorasi pada benih kacang bogor dengan tiga tingkat masak yang berbeda terhadap pertumbuhan tanaman dan hasil kacang bogor. Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) faktorial. Jenis dan jumlah perlakuan sama seperti yang digunakan pada percobaan I.

Hasil percobaan I menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan P2 (perlakuan

matriconditioning) dan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) pada benih

(5)

indeks vigor, dan laju pertumbuhan kecambah). Pemberian Rhizobium sp. tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan vigor benih. Pada benih yang belum mencapai masak fisiologis (M1), perlakuan matriconditioning (P2) dan perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) meningkatkan daya berkecambah, bobot kering kecambah normal, dan kecepatan tumbuh.

Hasil percobaan II menunjukkan bahwa interaksi kedua faktor perlakuan tidak berpengaruh nyata baik pada peubah pertumbuhan vegetatif maupun peubah hasil kacang bogor yang diamati. Faktor tunggal perlakuan invigorasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman pada 5-8 MST dan perlakuan P3

(matriconditioning plus Rhizobium sp.) menunjukkan hasil tertinggi dibandingkan

perlakuan invigorasi yang lain (P1 dan P2) dan berbeda nyata dengan benih tanpa perlakuan (P0). Pada peubah pertumbuhan vegetatif yang lain kedua faktor perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata, tetapi faktor tunggal P3

(matriconditioning plus Rhizobium sp.) dan faktor tunggal tingkat masak M3 (125

HST) masing-masing menunjukkan hasil yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya.

(6)

Judul : PENGARUH PERLAKUAN INVIGORASI PADA BENIH YANG BERBEDA TINGKAT MASAK TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BENIH, PERTUMBUHAN TANAMAN, DAN HASIL KACANG BOGOR

(Vigna subterranea (L.) Verdcourt) Nama : OYOK SOPIAN

NIM : A24061318

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS NIP 19590225 198203 2 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc.Agr NIP 19611101 198703 1 003

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 10 Oktober 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari Bapak Idin dan Ibu Oom Ratnaningrum. Tahun 2000 penulis lulus dari SDN Sindulang kemudian pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studi di SLTPN 2 Cimanggung. Selanjutnya penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cicalengka pada tahun 2006. Tahun 2006 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI. Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini merupakan penerapan teknik invigorasi benih menggunakan inokulan Rhizobium sp., matriconditioning, dan

matriconditioning plus Rhizobium sp. pada benih kacang bogor yang berbeda

tingkat masak yang dilaksanakan untuk mempelajari pengaruhnya terhadap viabilitas dan vigor benih, pertumbuhan tanaman, dan hasil kacang bogor. Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Leuwikopo dan Laboratorium Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB, Darmaga, Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S. selaku dosen pembimbing yang telah membimbing dari awal penelitian sampai terselesaikannya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga saya bapak Idin, ibu Oom Ratnaningrum, A Budi, teh Rina, neng Cindy, Acep, Deden, teh Imas, dan Alif yang telah memberikan doa dan dorongan yang tulus baik moril maupun materiil. Kepada teknisi kebun, bapak Nana dan bapak Maman yang telah banyak membantu selama melaksanakan penelitian. Teman-teman AGH 43, wisma madani, juga sahabat-sahabat IPB diluar AGH atas kebersamaannya selama menempuh pendidikan di IPB, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat.

Bogor, April 2011

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis... 3

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt) ... 4

Tingkat Masak Benih ... 6

Matriconditioning ... 8

Rhizobium sp. ... 11

BAHAN DAN METODE ... 14

Tempat dan Waktu ... 14

Rancangan Percobaan ... 14

Sumber benih 15 Percobaan I: Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kacang Bogor ... 15

Percobaan II: Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Kacang Bogor ... 16

Pengamatan ... 17

Percobaan I……. ... 17

Percobaan II… ... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 19

Percobaan I ... 19

Percobaan II... 25

Kondisi Umum ... 25

Pertumbuhan Vegetatif dan Hasil Kacang Bogor ... 28

KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Rekapitulasi hasil sidik ragam tingkat masak (M) dan perlakuan

invigorasi (P) pada tolok ukur vigor benih kacang bogor ... 19 2. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M)

berbeda terhadap daya berkecambah (%) kacang bogor ... 20 3. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M)

berbeda terhadap bobot kering kecambah normal (mg) kacang bogor ... 21 4. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M)

berbeda terhadap kecepatan tumbuh (%/etmal) kacang bogor ... 22 5. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M)

berbeda terhadap indeks vigor (%) kacang bogor ... 22 6. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M)

berbeda terhadap laju pertumbuhan kecambah kacang bogor ... 23 7. Data iklim bulan Juni sampai Oktober 2010 di Darmaga, Bogor ... 25 8. Rekapitulasi hasil sidik ragam tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi

(P) pada peubah pertumbuhan vegetatif dan hasil kacang bogor ... 29 9. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) terhadap peubah pertumbuhan

vegetatif kacang bogor ... 30 10. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada berbagai tingkat masak (M)

terhadap jumlah polong kacang bogor per tanaman …... 32 11. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada berbagai tingkat masak (M)

terhadap bobot basah polong kacang bogor (kg) per

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Morfologi tanaman kacang bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt)... 5 2. Kecamabah normal kacang bogor pada umur 14 HST ………20

3. a. Kondisi pertanaman awal b. Tanaman terserang virus pada 7 MST c. Serangan Sclerotium sp. ... 26

4. Tinggi tanaman kacang bogor 5-9 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3:125 HST) ... 31 5. Tinggi tanaman kacang bogor 5-9 MST pada tiga tingkat masak benih

(M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3:125 HST) ... 31 6. Tinggi tanaman kacang bogor 5-8 MST pada tiga tingkat masak benih

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Data iklim bulan Juni sampai Oktober 2010 di Darmaga Bogor ... 41 2. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap daya berkecambah benih

kacang bogor ... 41 3. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap bobot kering kecambah normal

benih kacang bogor ... 41 4. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap kecepatan tumbuh benih

kacang bogor ... 41 5. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap indeks vigor benih kacang

bogor ... 42 6. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap laju pertumbuhan kecambah

benih kacang bogor ... 42 7. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman kacang bogor

5 MST... 42 8. Sidik ragam pengaruh perlakuan invigorasi terhadap tinggi tanaman

kacang bogor pada 9 MST... 42 9. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah daun kacang bogor

5 MST... 43 10. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah cabang kacang bogor

5 MST... 43 11. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap jumlah polong kacang bogor

per tanaman ... 43 12. Sidik ragam pengaruh perlakuan terhadap bobot basah polong kacang

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kacang bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt) adalah tanaman yang berasal dari Afrika. Di daerah asalnya, kacang ini sudah banyak dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Linneman dan Azam-Ali (1993) melaporkan bahwa komposisi asam amino pada biji kacang bogor sama dengan kacang-kacangan lainnya. Hidayah dalam Redjeki (2007) menyampaikan bahwa kandungan gizi pada kacang tersebut cukup tinggi, diantaranya: protein 20.75 %, karbohidrat 59.93 %, lemak 5.88 %, air 10.43 %, dan abu 3.03 %.

Kacang bogor merupakan tanaman yang dapat dibudidayakan pada lahan kering dan miskin hara walaupun produktivitasnya masih rendah. Redjeki dalam Redjeki (2007) melaporkan hasil penelitiannya, bahwa tanaman kacang bogor mampu menghasilkan biji kering 0.77 ton/ha tanpa pemupukan. Sementara itu, populasi campuran warna hitam, merah, dan cokelat menghasilkan biji kering 2 ton/ha secara nyata lebih tinggi dibandingkan warna lain yang hanya menghasilkan rata-rata 0.9 ton/ha biji kering. Madamba dalam Redjeki (2007) melaporkan bahwa pada kondisi lingkungan tumbuh marjinal di Zimbabwe dihasilkan 300 kg/ha, namun pada kondisi lingkungan tumbuh optimum akan menghasilkan 4 ton/ha biji kering. Jadi produktivitas kacang bogor di Indonesia masih tergolong rendah.

Menurut Azam-Ali et al. (2001) salah satu permasalahan kurangnya perkembangan kacang bogor adalah karena belum dikenal luas. Kacang bogor dan banyak tanaman asli Afrika lainnya masih diabaikan oleh peneliti pertanian karena masih dianggap sebagai tanaman yang tidak potensial, walaupun sudah ada penelitian yang dilakukan sejak 1969. Pada tahun 1980 Poulter dan Caygill melakukan penelitian tentang kandungan nutrisi biji kacang bogor yang dilanjutkan dengan berbagai penelitian, salah satunya oleh Linnemann dan Azam-Ali pada tahun 1993.

(14)

yang belum terungkap. Ketidakseragaman benih dapat berupa warna maupun ukuran benih yang bervariasi yang berkaitan juga dengan mutu benih.

Dalam upaya peningkatan produksi suatu tanaman, penggunaan benih yang bermutu adalah salah satu faktor yang penting. Benih yang bermutu dapat dicapai pada saat masak fisiologis karena pada saat itu telah tercapai bobot kering dan vigor benih maksimum. Menurut Kartika dan Ilyas (1994), kacang jogo

(Phaseolus vulgaris L.) umur tanaman 11 hari dan 14 hari setelah berbunga

(HSB) belum mencapai masak fisologis. Hal ini ditunjukkan dengan benih belum mampu untuk berkecambah (DB 0 %). Pada umur 21 hari setelah berbunga (HSB) benih sudah bisa berkecambah dengan hasil yang sangat rendah yaitu 6 %. Benih berkecambah cukup tinggi pada umur panen 36 HSB mencapai 92 %, sehingga diperkirakan masak fisiologis tercapai pada 36 HSB.

Menurut Hamid (2009), pada umur 56 HST, 75 % tanaman kacang bogor sudah berbunga dan pada 70 HST sudah berbunga 100 %. Johnson, Doku, dan Karikari dalam Linneman dan Azam-Ali (1993) melaporkan bahwa kacang bogor biasanya dipanen pada umur antara 90-170 hari setelah tanam (HST) tergantung pada genotipe tanaman, suhu, dan faktor lingkungan lain.

Selain penggunaan benih yang bermutu, perlakuan benih adalah salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih. Kacang bogor dengan kondisi kadar air benih awal antara 10.66 % sampai 10.16 % mampu berkecambah dengan daya berkecambah 88.00 sampai 86.50 % (Wongvarodom dan Naulkong, 2006). Untuk melakukan perkecambahan dengan baik, benih kacang bogor memerlukan pengkondisian berupa perlakuan pratanam terlebih dahulu dengan cara merendam benih dalam air selama waktu dan suhu tertentu (Linneman dan Azam-Ali, 1993). Sesay (2009) menyebutkan, benih kacang bogor yang direndam selama 2 dan 4 hari pada suhu 20o C, 25o C, 30o C, dan 35o C setelah dikecambahkan, persentase daya berkecambah tertinggi terjadi pada suhu 25o C yaitu 97.8 % dan 80 %. Benih tidak berkecambah ketika direndam dalam air selama 6 dan 8 hari pada suhu 35o C.

Menurut Khan et al. (1990) banyak cara yang dapat digunakan untuk untuk memperbaiki perkecambahan benih yaitu presoaking, matriconditioning,

(15)

pregermination. Conditioning yang sudah terbukti efektif dan paling mudah dilakukan adalah matriconditioning. Matriconditioning adalah perlakuan hidrasi terkontrol yang dikendalikan oleh media padat lembab dengan potensial matriks rendah dan potensial osmotik yang dapat diabaikan.

Perlakuan benih dengan matriconditioning plus inokulan Bradyrhizobium

japonicum yang dikombinasikan Azospirillum lipoferum dan benomyl 0.05 %

selama 13 jam mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan meningkatkan penambatan nitrogen pada tanaman kedelai dibandingkan dengan perlakuan

matriconditioning plus benomyl tanpa inokulan atau kontrol. Perlakuan tersebut

pun terbukti meningkatkan tinggi tanaman 39.8 %, jumlah daun 36.6 %, jumlah bunga 114.29 %, bobot kering tajuk 70.2 %, total N tajuk 35.0 %, serapan N tajuk 124.3 % dibandingkan benih tanpa perlakuan matriconditioning (Ilyas et al., 2003).

Informasi hasil penelitian kacang bogor masih sedikit terutama yang berkaitan dengan teknologi pengelolaan benih. Informasi hasil penelitian tentang tingkat masak fisiologis yang tepat untuk dijadikan benihpun belum ada, termasuk perlakuan benih pratanam dengan matriconditioning belum diketahui pengaruhnya terhadap viabilitas dan vigor benih serta produktivitas tanaman.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh perlakuan invigorasi pada beberapa tingkat masak benih terhadap viabilitas dan vigor benih, pertumbuhan tanaman, dan hasil kacang bogor.

Hipotesis

1. Tingkat masak benih M2 (122 HST) memberikan pengaruh terbaik dibandingkan tingkat masak M1 (119 HST) dan M3 (125 HST).

2. Perlakuan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) memberikan pengaruh terbaik dibandingkan perlakuan P1 (Rhizobium sp.), P2 (matriconditioning) dan P0 (kontrol).

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt)

Kacang bogor (Vigna subterranea (L.) Verdcourt) adalah tanaman yang berasal dari Afrika utara yang kemudian disebarkan oleh penduduk asli sampai ke Afrika selatan. Kacang ini merupakan sumber pangan kacang-kacangan terpenting kedua setelah kacang tanah di Afrika. Di daerah asalnya, kacang bogor yang belum masak penuh dimanfaatkan langsung untuk konsumsi sedangkan yang sudah kering dimanfaatkan untuk diolah menjadi tepung. Tanaman ini biasanya dibudidayakan masyarakat setempat secara tumpang sari dengan tanaman lain seperti melon (Swanevelder, 1998).

Kacang bogor merupakan tanaman herba tahunan dengan tinggi mencapai 30 cm, bercabang banyak, batang yang berdaun lateral yang berad di atas permukaan tanah (Linneman dan Azam-Ali, 1993). Daun trifoliat dengan panjang ± 5cm, petiol dengan panjang sampai 15 cm, tanaman tampak merumpun dengan daun yang bertangkai panjang, bunga bertipe kupu-kupu (Papilionaceous) yang muncul dari ketiak daun dengan tangkai bunga yang berbulu. Seperti kacang tanah, setelah mengalami penyerbukan bunga akan membentuk ginofor yang akan masuk ke dalam permukaan tanah dan membentuk polong. Polong dari tanaman ini berdiameter ± 1.5 cm (Swanevelder, 1998). Morfologi tanaman kacang bogor ditampilkan pada Gambar 1.

(17)

Hama dan penyakit yang menyerang tanaman kacang tanah ditemukan juga menyerang tanaman kacang bogor (Linneman dan Azam-Ali, 1993). Pada kondisi lingkungan terlalu lembab tanaman ini dapat terserang penyakit yang disebabkan oleh cendawan seperti bercak daun (Cercospora sp.), layu fusarium, dan busuk batang (Sclerotium sp.) (Beggeman dalam Heller et al., 1997).

(18)

Tanaman kacang bogor memiliki tipe perkecambahan hypogeal. Benih tanaman ini akan mulai berkecambah pada 7 sampai 15 hari setelah tanam (Linneman dan Azam-Ali, 1993). Bunga akan muncul mulai dari 35 hari setelah tanam dan berakhir selama tanaman hidup. Pembentukan polong berlangsung selama 30-40 hari setelah bunga mengalami penyerbukan (Swanevelder, 1998). Menurut Hamid (2009), pada umur 56 HST, 75 % tanaman kacang bogor sudah berbunga dan pada 70 HST tanaman kacang bogor sudah berbunga 100 %.

Di daerah asalnya umur tanaman ini berkisar antara 110-150 hari sampai siap untuk dipanen. Tanaman akan dipanen ketika tanaman sudah mulai menguning atau ketika 80 % polong sudah masak. Jika polong sudah masak, tanaman ini sudah bisa dipanen walaupun daunnya masih berwarna hijau (Department of Agriculture, Forestry, and Fisheries, Republic of South Africa, 2009). Di Indonesia, tanaman kacang bogor dipanen pada 17 atau 18 MST disesuaikan dengan kondisi cuaca pada waktu pemanenan (Hamid, 2009). Begitupun dinyatakan oleh Redjeki (2007) bahwa umur kacang bogor di Indonesia sampai bisa dilakukan pemanenan berkisar antara 4-5 bulan.

Tingkat Masak Benih

Menurut Sadjad (1983), mutu benih yang berkaitan dengan vigor benih dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor innate, faktor induced, dan faktor

enforced. Faktor innate adalah faktor genetik benih yang akan menentukan vigor

awal. Faktor induced berkaitan dengan kondisi tanaman induk saat di lapang sedangkan faktor enforced berkaitan dengan kondisi lingkungan simpan ketika benih disimpan.

Salah satu faktor induced yang penting adalah penentuan umur panen. Menurut Sadjad (1983), proses pemasakan benih adalah segala sesuatu proses yang berlangsung sejak pembuahan sampai benih dipanen. Selama proses pemasakan tersebut terjadi peningkatan daya berkecambah benih, vigor, dan berat kering benih. Benih yang bermutu dapat dicapai pada saat masak fisiologis karena pada saat itu telah tercapai berat kering dan vigor benih maksimum. Benih yang sudah masak fisiologis akan mampu menghasilkan produksi yang maksimal.

(19)

sehingga menyebabkan terjadinya pengkerutan kulit benih karena pengusangan di lapangan akibat cuaca buruk. Saenong dan Bahar (1986) menyatakan bahwa umur panen yang tepat pada benih jagung akan sangat berpengaruh terhadap mutu benih terutama pada musim kemarau. Jagung varietas Arjuna yang ditanam di Bogor yang dipanen pada umur 104 sampai 111 hari setelah tanam lebih tahan disimpan dibandingkan dengan umur panen lainnya. Mutu fisiologis yang rendah akan menyebabkan produksi tanaman yang rendah. Pemanenan yang dilakukan terlambat atau terlalu awal sebelum masak fisiologis menyebabkan kebocoran zat benih yang lebih besar dibandingkan dengan benih yang dipanen pada kisaran masak fisiologis, sehingga menyebabkan vigor awal benih yang cukup rendah.

Menurut Waemata dan Ilyas (1989), masak fisiologis benih kacang buncis varietas lokal Bandung yaitu 30 hari setelah berbunga (HSB) yang dapat dibuktikan melalui kadar air benih yang terus menurun sampai 30 HSB, bobot kering benih maksimum, dan vigor kekuatan tumbuh maksimum pada saat 30 HSB. Menurut Kartika dan Ilyas (1994) pada benih kacang jogo (Phaseolus

vulgaris L.) yang dipanen pada umur 30 dan 33 HSB akumulasi bobot kering

hampir mencapai maksimum dan persentase perkecambahan serta vigor benih juga cukup tinggi. Pada umur 36 HSB bobot kering dan daya berkecambah benih telah mencapai maksimum. Benih yang dipanen pada saat lewat masak fisiologis yaitu pada 39 HSB, telah mengalami kemunduran yang ditunjukkan oleh daya berkecambah yang menurun.

Setyaningsih (2002) melaporkan bahwa perbedaan tingkat masak pada benih adas (Foeniculum vulgare Mill.) berpengaruh terhadap efektivitas perlakuan invigorasi (osmoconditioning-PEG, osmoconditioning-KNO3, dan

matriconditioning-vermikulit). Perlakuan invigorasi efektif digunakan pada

tingkat masak cokelat dibandingkan dengan masak hijau dan masak kuning yang ditunjukkan dengan daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal tertinggi serta waktu perkecambahan yang lebih singkat.

(20)

sebelum masak fisiologis akan menghasilkan daya berkecambah benih yang rendah dan tegakan tidak kuat karena cadangan makanan belum terbentuk sempurna. Benih yang dipanen pada saat lewat masak fisiologis akan memilki viabilitas yang rendah juga karena sudah mengalami penurunan viabilitas akibat deraan cuaca selama di lapangan (Copeland dan McDonald, 2001).

Matriconditioning

Perkecambahan benih dimulai saat terjadi imbibisi air ke dalam benih. Tingkat imbibisi yang terjadi dipengaruhi oleh komposisi benih, impermeabilitas lapisan luar benih, dan ketersediaan air. Ketersediaan air untuk imbibisi tergantung pada potensial air sel. Potensial air sel tersebut merupakan hasil dari tiga potensial yaitu tekanan matriks dinding sel, konsentrasi osmotik sel, dan tekanan turgor sel (Copeland dan McDonald, 2001).

Menurut Khan et al. (1990), banyak cara yang dapat digunakan untuk untuk memperbaiki perkecambahan benih, yaitu presoaking, matriconditioning,

wetting and drying, humidifying, osmoconditioning, aerasi oksigen, dan

pregermination. Conditioning yang efektif dan paling mudah dilakukan adalah

matriconditioning. Matriconditioning berbeda dengan osmoconditioning atau

priming. Matriconditioning adalah istilah yang sesuai untuk conditioning yang

menggunakan media yang memiliki potensial matriks.

Media yang digunakan untuk matriconditioning harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. memiliki potensial matriks yang tinggi dan potensial osmotik yang dapat diabaikan, 2. kelarutan dalam air rendah dan dapat utuh selama

matriconditioning, 3. merupakan bahan kimia inert dan tidak beracun, 4. kapasitas

daya pegang air yang cukup tinggi, 5. kemampuan aerasi tinggi, mampu untuk tetap kering, dan bebas dari serbuk, 6. memiliki permukaan yang cukup luas, 7. kerapatan ruang yang besar dan kerapatan isi yang rendah, dan 8. mampu menempel pada permukaan benih. Bahan-bahan yang berkarakteristik seperti itu diantaranya adalah kalsium silikat, Micro-Cel E, dan Zonolit vermikulit (Khan et al., 1990).

Berbagai penelitian yang sudah dilakukan membuktikan bahwa perlakuan

matriconditioning dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih lebih baik

(21)

memperbaiki viabilitas dan vigor benih kacang-kacangan dan sayur-sayuran.

Matriconditioning mampu menurunkan waktu perkecambahan dan meningkatkan

daya perkecambahan benih serta meningkatkan kemampuan tumbuh dan produksi di lapangan (Khan et al., 1990).

Yunitasari dan Ilyas (1994) melaporkan bahwa abu gosok, serbuk gergaji, tanah andosol, dan pasir kuarsa dapat digunakan sebagai media

matriconditioning. Bahan-bahan tersebut secara ideal memiliki sebagian sifat-sifat

yang dimiliki media yang sudah sering digunakan untuk matriconditioning. Abu gosok dan serbuk gergaji lebih efektif dibandingkan pasir kuarsa. Sifat efektifnya ditunjukkan dengan berkurangnya waktu yang dibutuhkan untuk berkecambah 50 % (T50) serta meningkatkan bobot kering kecambah normal. Hartini (1997)

melaporkan bahwa perlakuan matriconditioning menggunakan abu gosok atau serbuk gergaji tanpa GA3 dengan perbandingan benih : media : air, masing masing

9 : 6 : 10.5 selama 17 jam dan 9 : 5 : 13 selama 12 jam dapat meningkatkan viabilitas dan vigor pada semua periode simpan (0, 8, 16, dan 24 minggu).

Madiki (1998) menyatakan bahwa perlakuan matriconditioning dengan abu gosok pada benih padi mampu meningkatkan viabilitas dan vigor benih lebih baik dibandingkan dengan perlakuan osmoconditioning dan kontrol. Andreoli dan Khan (1999) melaporkan bahwa perlakuan matriconditioning yang diintegrasikan dengan 200 µM GA terbukti efektif untuk meningkatkan perkecambahan benih cabai dan tomat. Handayani (1999) juga melaporkan bahwa matriconditoning plus Benlate 0.5 % dapat meningkatkan kecepatan tumbuh dan menurunkan waktu perkecambahan benih cabai lebih baik dibandingkan dengan kontrol atau perlakuan matriconditoning tanpa fungisida.

(22)

Perlakuan matriconditioning biasanya diintegrasikan dengan bahan lain sesuai kebutuhan. Untari (2003) menyatakan bahwa perlakuan matriconditioning yang diintegrasikan dengan minyak cengkeh dengan konsentrasi dibawah 0.1 % pada benih cabai menunjukkan peningkatan vaibilitas dan vigor benih serta menurunkan tingkat kontaminasi Colletotricum capsici. Menurut Ilyas et al. (2003) perlakuan benih dengan matriconditioning plus inokulan Bradyrhizobium

japonicum yang dikombinasikan Azospirillum lipoferum atau pemupukan N

dengan dosis 12.5 kg/ha pada tanaman kedelai yang dilakukan di Bogor menunjukkan peningkatan pertumbuhan tanaman.

Perlakuan matriconditioning menggunakan arang sekam plus B.

japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam pada suhu kamar dapat meningkatkan

mutu benih dan pertumbuhan tanaman kedelai. Hal tersebut ditunjukkan dengan daya hantar listrik yang rendah, kecepatan tumbuh relatif yang lebih singkat, daya berkecambah, indeks vigor, jumlah nodul, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan invigorasi benih lainnya (Ningsih, 2003). Perlakuan matriconditioning plus B. japonicum

dan A. lipoferum selama 12 jam dan perlakuan pemupukan N sampai dosis 12.5

kg urea/ha lebih meningkatkan pertumbuhan tanaman, hasil kedelai, dan mutu benih yang dihasilkan. Namun ketika dosis ditingkatkan sampai 25 kg urea/ha terjadi penurunan pada setiap peubah yang diamati (Faisal, 2005).

Perlakuan benih dengan matriconditioning yang dintegrasikan dengan hormon tumbuhan untuk meningkatkan perkecambahan atau menggunakan pestisida atau biopestisida untuk melindungi benih dari serangan patogen terbawa benih dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil panen sayuran dan meningkatkan kualitas benih. Perlakuan matriconditioning pada beberapa tanaman hortikultura mampu meningkatkan daya berkecambah benih, indeks vigor, dan keserempakan tumbuh (Ilyas, 2006).

Astuti (2009) melaporkan bahwa perlakuan matriconditioning efektif untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih pada tolok ukur daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh relatif, terutama benih yang diberi perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh 0.1 % atau

(23)

perlakuan matriconditioning plus bakterisida sintetik ataupun nabati (Agrept 0.2 % atau minyak serai wangi 1 %) terbukti dapat meningkatkan mutu fisiologis dan patologis benih padi. Perlakuan matriconditioning plus bakterisida sintetik (Agrept 0.2 %) ataupun nabati (minyak serai wangi 1 %) memperlihatkan peningkatan pada peubah vigor benih.

Rhizobium sp.

Rhizobium sp. adalah salah satu jenis bakteri gram negatif yang bersifat

selektif untuk berasosiasi dengan akar tanaman kacang-kacangan dalam membentuk bintil akar yang mampu memfiksasi nitrogen dari udara yang menambah ketersediaan N untuk pertumbuhan tanaman. Rhizobium sp. strain tertentu hanya cocok untuk menginfeksi bagian akar tanaman kacang-kacangan tertentu, sebagai contoh Rhizobium trifolii hanya dapat menginfeksi dengan baik pada akar rambut tanaman semanggi sedangkan Rhizobium meliloti menginfeksi akar rambut tanaman alfalfa (Dazzo dan Truchet, 1984).

Rhizobium sp. memiliki struktur dinding sel yang tipis, berlapis tiga,

dengan kandungan lipid yang tinggi tidak berspora. Terdapat empat genus

Rhizobium sp. yang dapat bersimbiosis dengan tanaman kacang-kacangan untuk

memfiksasi N yaitu: Rhizobium (Rhizobium leguminosarum, Rhizobium fredii),

Azhorhizobium (Azhorhizobium caulinodans) yang ditemukan membentuk bintil

batang pada tanaman Sesbania grandifloria yang merupakan salah satu tanaman sayuran tropis, Bradyrhizobium (Bradyrhizobium japonicum), dan Mesorhizobium

(Mesorhizobium loti dan Mesorhizobium ciceri) (Gobat et al., 2004).

Rhizobium sp. akan berinteraksi dengan tanaman tertentu dan akan

(24)

bakteri akan menempati sitoplasma membentuk jaringan bakteroid yang akan merangsang sel korteks untuk aktif membelah. Pembelahan sel akan menyebabkan pembengkakkan jaringan membentuk struktur bintil yang berisi

Rhizobium sp. dan terlihat menonjol yang disebut bintil akar.

Somasegaran et al. dalam Linneman dan Azam-Ali (1993) dalam kajian terhadap 23 strain Rhizobium sp. melaporkan bahwa Bradyrhizobium strain TAL 169 yang diisolasi dari dari tanaman cowpea, menunjukkan efektivitas yang lebih baik ketika bersimbiosis dengan tanaman kacang bogor pada pengujian yang dilakukan di dalam rumah kaca di Hawai. Pada percobaan lebih lanjut, strain ini pun menunjukkan efektivitas yang konsisten pada sepuluh genotipe yang diujikan. Brooks et al. dalam Linneman dan Azam-Ali (1993) melakukan pengujian efektivitas pada enam strain NifTAL dan 13 strain Rhizobium sp. lokal Afrika barat dari asesi kacang bogor yang berasal dari Ghana dan Togo. Mereka menemukan lima dari enam strain NifTAL dan dua dari strain lokal Afrika Barat, efektif membentuk bintil akar potensial dibandingkan dengan kontrol.

Peningkatan penambatan N tanaman dapat dilakukan dengan penambahan inokulan Rhizobium sp.. Inokulasi Rhizobium sp. pada benih kedelai akan memberikan pengaruh terhadap kesuburan tanaman kedelai sehingga mampu berproduksi dengan baik, kualitas biji kedelai yang dihasilkan menjadi lebih baik karena kandungan proteinnya lebih tinggi, mengurangi jumlah biaya karena pemberian pupuk N akan berkurang, dan tidak membahayakan lingkungan karena

Rhizobium sp. tidak bersifat sebagai racun (Adisarwanto dan Wudianto, 2002).

Saraswati et al. (2000) menyatakan bahwa pemberian Rhizobium sp. dalam bentuk pupuk hayati Rhizo-plus yang merupakan pengembangan dari inokulan

Rhizobium sp.komersial hasil produksi Indonesia, pada aplikasi di lapangan tanpa

menggunakan pupuk urea dengan 50 kg/ha TSP dan 100 kg/ha KCl dapat meningkatkan hasil kedelai dibandingkan dengan rekomendasi pemupukan standar.

(25)

bahwa pemberian inokulan mikoriza, Rhizobium sp. dan gabungan keduanya cenderung meningkatkan pertumbuhan generatif tanaman kedelai dalam hal indeks panen walaupun pemberian inokulan gabungan antara Rhizobium sp. dan mikoriza memberikan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan pemberian inokulan tunggal ataupun kontrol.

Remans et al. (2008) melaporkan bahwa coinoculation Rhizobium sp. dan

Azospirillum sp. menghasilkan respon peningkatan fiksasi N tanaman dan

(26)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Leuwikopo dan Laboratorium Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Darmaga pada bulan Juni sampai Oktober 2010.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini terdiri atas dua percobaan. Percobaan I adalah pengujian di laboratorium yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan invigorasi pada benih yang berbeda tingkat masak terhadap vigor benih. Percobaan I menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial yang terdiri atas dua faktor perlakuan. Faktor pertama yaitu perlakuan perbedaan tingkat masak benih yang terdiri atas tiga tingkat masak yaitu M1: 119 hari setelah tanam (HST), M2: 122 HST, dan M3: 125 HST. Faktor kedua adalah perlakuan invigorasi yang terdiri atas empat perlakuan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan

matriconditioning), dan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Model

rancangan Yijk: µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk

Yijk : pengaruh tingkat masak dan perlakuan invigorasi µ : rataan umum

αi : pengaruh tingkat masak ke-i (i = 1, 2, dan 3)

βj : pengaruh perlakuan invigorasi ke-j (j = 1, 2, 3, dan 4) (αβ)ij : pengaruh interaksi tingkat masak dan perlakuan invigorasi εijk : pengaruh galat percobaan.

(27)

Model rancangan Yijk: µ + αi + βj + αβij + Rk + εijk µ : rataan umum

αi : pengaruh tingkat masak ke-i (i = 1, 2, dan 3)

βj : pengaruh perlakuan invigorasi ke-j (j = 1, 2, 3, dan 4) Rk : pengaruh kelompok ke-k

(αβ)ij : pengaruh interaksi tingkat masak dan perlakuan invigorasi εijk : pengaruh galat percobaan

Data yang dihasilkan dianalisis menggunakan uji F. Apabila dalam uji F terdapat perbedaan nyata pada taraf α = 5% maka dilakukan uji nilai tengah dengan prosedur DMRT (Duncan Multiple Range Test).

Sumber benih

Benih yang digunakan pada kedua percobaan diperoleh langsung dari petani di Kampung Cieurih, Desa Ancaen, Jampang Kulon, Kabupaten Sukabumi. Benih dipanen dalam tiga tahap yaitu tanggal 6, 9, dan 12 April 2010. Benih dikeringkan menggunakan sinar matahari selama 10 hari sampai mencapai kadar air benih rata-rata 11.6 %. Benih yang sudah dikeringkan kemudian disimpan pada ruang AC selama 28 hari sebelum digunakan pada percobaan I dan percobaan II.

Percobaan I: Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kacang Bogor

Benih dengan tiga tingkat masak diberi perlakuan invigorasi. Perlakuan

matriconditioning (P2 dan P3) menggunakan perbandingan 5 : 3 : 3 (benih : arang

sekam : air) yang merupakan hasil dari percobaan pendahuluan untuk menentukan perbandingan antara benih dengan arang sekam dan air yang paling optimum untuk matriconditioning pada suhu ± 25o C. Pada percobaan digunakan benih sesuai kebutuhan di laboratorium dan lapangan yaitu 80 gram (± 100 benih) sehingga dibutuhkan arang sekam sebanyak 48 gram dan air sebanyak 48 ml. Arang sekam yang digunakan adalah arang sekam yang lolos saringan berukuran 0.5 mm. Setelah itu, benih, arang sekam, dan air dicampurkan dan disimpan di dalam ruang AC dengan suhu rata-rata 25o C selama 3 hari. Selama perlakuan

(28)

Aplikasi Rhizobium sp. (P1 dan P3) dilakukan dengan cara mencampurkan 0.48 gram inokulan Rhizobium sp. dengan 80 gram benih kacang bogor. Pada perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3), inokulan Rhizobium sp. diaplikasikan pada saat perlakuan matriconditioning dengan cara memasukkan 0.48 gram inokulan ke dalam 48 ml air yang akan dicampurkan dengan 80 gram benih dan 48 gram arang sekam. Pada perlakuan benih plus Rhizobium sp. (P1), inokulan Rhizobium sp. diaplikasikan pada saat akan dilakukan pengecambahan dengan cara mencampurkan 80 gram benih dengan 0.48 gram inokulan Rhizobium sp. yang telah ditambahkan air ± 10 ml, kemudian diaduk sampai benih terlumuri seluruhnya dengan inokulan Rhizobium sp.. Benih yang telah diberi perlakuan kemudian ditanam pada boks mika berukuran 25 cm x 20 cm menggunakan media tanam campuran kompos dan arang sekam. Setiap perlakuan diulang tiga kali masing-masing 25 benih per ulangan.

Percobaan II: Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Kacang Bogor

Aplikasi perlakuan invigorasi sama seperti yang dilakukan pada percobaan I. Benih yang sudah diberi perlakuan kemudian ditanam di lapangan. Penanaman dilakukan pada petakan berukuran 2.5 m x 6.0 m sebanyak 36 petak percobaan. Penanaman menggunakan jarak tanam 50 cm x 60 cm. Lubang tanam dibuat menggunakan tugal kemudian ditanam satu benih per lubang tanam. Pada setiap petakan terdapat 50 tanaman. Pada penanaman awal dilakukan pemupukan dengan dosis urea 100 kg/ha, SP 36 100 kg/ha, dan KCl 75 kg/ha. Pupuk diberikan pada lubang di samping setiap lubang tanam.

(29)

Pengamatan

Percobaan I

Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah diantaranya: 1. Daya berkecambah (%)

Daya berkecambah dihitung pada hari ke-7 sebagai hitungan I dan hari ke-14 sebagai hitungan II (Wongvarodom dan Naulkong, 2006)

Σ KN I + Σ KN II

DB (%) = X 100% Σ benih yang ditanam

KN I : kecambah normal hitungan I KN II : kecambah normal hitungan II 2. Kecepatan tumbuh (%/etmal)

Kecepatan tumbuh dihitung berdasarkan akumulasi kecepatan tumbuh harian dalam tolok ukur persentase pertambahan kecambah normal perhari, dengan rumus perhitungan:

tn N KCT = Σ

0 t t : waktu pengamatan tn : waktu akhir pengamatan

N : pertambahan % kecambah normal setiap waktu pengamatan 3. Bobot kering kecambah normal (mg)

Kecambah normal yang berumur 14 HST dibersihkan dari bagian biji yang masih menempel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 80o C selama 24 jam. Kecambah yang sudah dikering-oven dimasukkan dalam desikator selama ± 30 menit kemudian kecambah normal ditimbang dengan timbangan digital.

4. Indeks vigor (%)

Indeks vigor dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal pada hitungan pertama pada uji daya berkecambah (Copeland dan McDonald, 2001) dengan menggunakan rumus :

Σ KN hitungan I

(30)

5. Laju pertumbuhan kecambah

Laju pertumbuhan kecambah merupakan metode yang dikembangkan oleh Burris (1976) dalam Copeland dan McDonald (2001). Tolok ukur ini dapat dihitung dengan cara membagi bobot kering kecambah normal dengan jumlah kecambah normal yang dikeringkan dalam oven 80o C selama 24 jam:

BKKN (mg)

LPK = X 100% Σ KN

Percobaan II

Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah diantaranya: 1. Tinggi tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur dari tempat menempelnya kotiledon sampai permukaan tanaman tertinggi dimulai dari 3 MST sampai 9 MST pada sepuluh tanaman contoh per petak.

2. Jumlah daun

Jumlah daun dihitung dengan cara menghitung daun trifoliat mulai dari 5 MST sampai 9 MST pada sepuluh tanaman contoh per petak.

3. Jumlah cabang

Jumlah cabang dihitung dengan menghitung jumlah cabang primer mulai dari 5 MST sampai 8 MST pada sepuluh tanaman contoh per petak.

4. Jumlah polong per tanaman

Jumlah polong per tanaman dihitung setelah panen pada umur 17 MST terhadap sepuluh tanaman contoh.

5. Bobot basah polong per petak

(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan I

Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak terhadap Viabilitas dan Vigor Benih Kacang Bogor

Berdasarkan rekapitulasi hasil sidik ragam, interaksi antara tingkat masak dan perlakuan invigorasi berpengaruh nyata terhadap peubah vigor benih yang diamati, kecuali pada peubah laju pertumbuhan kecambah. Perlakuan invigorasi (P) menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap peubah daya berkecambah, bobot kering kecambah normal, kecepatan tumbuh, dan indeks vigor tetapi tidak berpengaruh nyata pada peubah laju pertumbuhan kecambah. Faktor perbedaan tingkat masak berpengaruh nyata pada peubah daya berkecambah, kecepatan tumbuh, dan indeks vigor tetapi tidak berpengaruh nyata pada bobot kering kecambah normal dan laju pertumbuhan kecambah (Tabel 1). Kecambah normal pada umur 14 HST dapat dilihat pada Gambar 2.

Tabel 1. Rekapitulasi hasil sidik ragam tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P) pada tolok ukur vigor benih kacang bogor

Peubah Faktor perlakuan

M P MxP

Daya berkecambah * * *

Bobot kering kecambah normal tn * *

Kecepatan tumbuh * * *

Indeks vigor * * *

Laju pertumbuhan kecambah tn tn tn

Keterangan:

* : berbeda nyata pada taraf 5 % tn : tidak berbeda nyata

(32)
[image:32.595.210.425.82.324.2]

Gambar 2. Kecambah normal kacang bogor pada umur 14 HST

Perlakuan matriconditioning (P2) dan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) pada benih dengan tingkat masak M2 (122 HST) dan M3 (125 HST) juga perlakuan Rhizobium sp. (P1) pada benih dengan tingkat masak M3 menghasilkan persentase daya berkecambah tertinggi dan tidak berbeda nyata satu sama lain, walaupun tidak berbeda nyata juga dengan pengaruh perlakuan P2 dan P3 pada benih dengan tingkat masak M1 (119 HST) atau perlakuan P1 pada tingkat masak M2. Kombinasi perlakuan tersebut lebih baik dan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (P0) pada setiap tingkat masak benih yang digunakan pada percobaan (M1, M2, dan M3) (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap daya berkecambah (%) kacang bogor Perlakuan

invigorasi (P)

Tingkat masak (M)

M1 (119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST)

P0 12.0Ab 34.7Ab 17.3Ab

P1 33.3Bab 50.7ABab 68.0Aa

P2 57.3Aa 73.3Aa 68.0Aa

P3 54.7Aa 65.3Aa 70.7Aa

[image:32.595.115.506.588.672.2]
(33)

Pada peubah bobot kering kecambah normal, nilai tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan Rhizobium sp. (P1) pada benih dengan tingkat masak M3 (125 HST) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 pada benih dengan tingkat masak M3 atau perlakuan P3 pada tingkat masak M2 (122 HST). Nilai-nilai tersebut berbeda nyata dengan benih tanpa perlakuan (P0) pada semua tingkat masak ataupun perlakuan P1 pada tingkat masak M1 (119 HST) (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap bobot kering kecambah normal (mg) kacang bogor

Perlakuan invigorasi (P)

Tingkat masak (M)

M1 (119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST)

P0 160.0Ab 503.3Ab 263.3Ab

P1 623.3Bab 933.3ABab 1580.0Aa

P2 1193.3Aa 1196.7Aa 1516.7Aa

P3 1173.3Aa 1513.3Aa 1180.0Aa

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 41.1 %.

(34)

Tabel 4. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap kecepatan tumbuh (%/etmal) kacang bogor

Perlakuan invigorasi (P)

Tingkat masak (M)

M1(119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST)

P0 1.1Ab 3.4Ab 1.7Ab

P1 3.4Bb 5.2ABab 6.5Aa

P2 6.4Aa 6.6Aa 7.0Aa

P3 6.5Aa 7.5Aa 7.7Aa

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 25.5 %.

Perlakuan P2 pada benih dengan tingkat masak M2 memperlihatkan indeks vigor tertinggi walaupun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2 dan P3 pada tingkat masak M3 atau perlakuan P3 pada tingkat masak M2. Perlakuan P0 dan P1 pada setiap tingkat masak benih menunjukkan persentase kecambah normal 0 % pada hitungan I (indeks vigor 0 %) (Tabel 5). Perlakuan matriconditioning (P2) dan perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) pada semua tingkat masak benih dapat mempercepat perkecambahan.

Tabel 5. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap indeks vigor (%) kacang bogor Perlakuan

invigorasi (P)

Tingkat masak (M)

M1(119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST)

P0 0.0Ab 0.0Ab 0.0Ab

P1 0.0Ab 0.0Ab 0.0Ab

P2 33.3Ba 52.0Aa 34.7Aba

P3 16.0Bb 46.7Aa 41.3Aa

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf kapital yang berbeda pada baris yang sama dan angka yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %, kk = 52.6 %.

Perlakuan invigorasi dan tingkat masak benih menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada peubah laju pertumbuhan kecambah begitupun dengan interaksinya. Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata tetapi pengaruh faktor tunggal perlakuan invigorasi dengan matriconditioning (P2) dan

matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) menunjukkan hasil yang lebih baik

[image:34.595.111.509.135.220.2]
(35)

tingkat masak benih M3 (55 HSB) menunjukkan hasil rata-rata cenderung lebih tinggi dibandingkan tingkat masak yang lainnya (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap laju pertumbuhan kecambah kacang bogor

Perlakuan invigorasi (P)

Tingkat masak (M) Rata rata

invigorasi M1(119 HST) M2 (122 HST) M3 (125 HST)

P0 33.6 54.6 48.1 58.3

P1 72.3 73.8 89.9 65.7

P2 90.2 66.0 89.0 82.0

P3 88.0 90.5 66.5 81.7

Rata rata

tingkat masak 71.3 71.2 73.4

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning+Rhizobium sp.).

Secara umum dapat dilihat bahwa pengaruh perlakuan matriconditioning (P2 dan P3) pada tingkat masak M2 dan M3 menunjukkan hasil yang tertinggi meningkatkan viabilitas dan vigor benih berdasarkan peubah yang diamati (Tabel 2, 3, 4, dan 5). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, Khan et al. (1990) menyatakan bahwa matriconditioning merupakan perlakuan invigorasi yang cukup efektif, matriconditioning terbukti dapat memperbaiki vigor benih kacang-kacangan dan sayur-sayuran juga dapat mempercepat perkecambahan benih, meningkatkan daya berkecambah benih, serta meningkatkan kemampuan tumbuh dan produksi di lapang.

Yunitasari dan Ilyas (1994) melaporkan bahwa perlakuan

matriconditioning menggunakan media abu gosok dan serbuk gergaji mampu

meningkatkan vigor benih cabai. Hal tersebut ditunjukkan dengan berkurangnya waktu yang dibutuhkan untuk berkecambah 50 % (T50) serta meningkatkan bobot

kering kecambah normal.

(36)

jumlah nodul, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan invigorasi benih lainnya.

Dalam penelitian ini, semua perlakuan invigorasi memberikan respon yang lebih baik terhadap daya berkecambah benih, bobot kering kecambah normal, dan kecepatan tumbuh pada benih dengan tingkat masak M2 (122 HST) dan M3 (125 HST) dibandingkan dengan perlakuan invigorasi pada benih dengan tingkat masak benih M1 (119 HST) (Tabel 2, 3, dan 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa benih yang dipanen pada 122 dan 125 HST diperkirakan sudah mencapai masak fisiologis. Tingkat masak merupakan salah satu faktor yang menentukan mutu benih. Benih yang dipanen sebelum masak fisiologis atau lewat masak fisiologis akan memiliki mutu benih yang lebih rendah dibandingkan dengan benih yang dipanen pada saat masak fisiologis.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian Setyaningsih (2002), bahwa perbedaan tingkat masak pada benih adas (Foeniculum vulgare Mill.) menunjukkan respon yang berbeda terhadap efektivitas perlakuan invigorasi. Perlakuan invigorasi (osmoconditioning-PEG), osmoconditioning-KNO3, dan

matriconditioning-vermikulit) terbukti efektif digunakan pada tingkat masak

(37)

Percobaan II

Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih yang Berbeda Tingkat Masak Terhadap Pertumbuhan Tanaman dan Hasil Kacang Bogor

Kondisi Umum

Saat 3 MST daya tumbuh benih di lapang mencapai 100 % pada semua perlakuan dan tidak nampak gejala serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Rata-rata curah hujan pada bulan tersebut (Juni 2010) mencapai 303 mm/bulan dengan hari hujan sebanyak 22 hari (Tabel 7) sehingga cukup mendukung perkecambahan. Kondisi pertanaman pada dua bulan pertama cukup baik (Gambar 3a) tetapi pada umur 7 MST mulai muncul gejala serangan virus pada beberapa tanaman, berupa tanaman kerdil dan daunnya tampak mengkerut (Gambar 3b). Virus menyerang 1-3 tanaman hampir pada setiap petak percobaan sehingga tanaman harus dicabut untuk mencegah penyebaran ke tanaman lain.

[image:37.595.105.512.500.601.2]

Pada bulan ke tiga curah hujan mulai meningkat dibandingkan bulan sebelumnya. Data dari Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor menunjukkan rata-rata curah hujan bulan Juli 2010 mencapai 270.4 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 22 yang kemudian meningkat pada bulan Agustus 2010 mencapai rata-rata curah hujan 477.6 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 24, dan pada bulan September 2010 mencapai 601.0 mm/bulan dengan jumlah hari hujan 29 hari.

Tabel 7. Data iklim bulan Juni sampai Oktober 2010 di Darmaga, Bogor Bulan Suhu rata-rata

(o C)

Curah hujan (mm/bulan)

Kelembaban nisbi (%)

Juni 25.89 303.40 85.85

Juli 25.78 270.40 83.58

Agustus 25.75 477.60 83.97

September 25.29 601.00 83.75

Oktober 25.40 436.20 86.00

Sumber: Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Balai Besar Wilayah II Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor

(38)

a. b.

[image:38.595.84.522.75.508.2]

c.

Gambar 3. a. Kondisi pertanaman pada 7 MST b.Tanaman terserang virus pada 7 MST c. Tanaman terserang Sclerotium sp.

(39)

Munculnya gejala daun mengkerut dan tanaman kerdil pada 7 MST diindentifikasi sebagai gejala serangan virus. Agrios (1996) menyatakan bahwa gejala yang sangat umum akibat infeksi virus adalah menurunnya pertumbuhan tanaman, menghasilkan berbagai tingkat kerdil (dwarf) atau katai (stunting) keseluruhan tumbuhan. Hampir semua serangan virus menyebabkan beberapa tingkat penurunan hasil dan lama hidup yang lebih pendek. Pengaruh yang ditimbulkan bisa cukup berat dan dapat dilihat atau mungkin juga sangat lemah dan kurang begitu terlihat.

Serangan virus yang terjadi kemungkinan karena tidak adanya pengendalian berupa penyemprotan insektisida yang seharusnya sudah diberikan mulai 4 MST untuk membasmi serangga yang dimungkinkan sebagai vektor pembawa virus (Hamid, 2009). Pracaya (2004) menyampaikan, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan serangan virus pada tanaman adalah dengan cara melakukan penyemprotan insektisida untuk mengurangi vektor pembawa virus.

Peningkatan curah hujan pada bulan Agustus dan September 2010 (Lampiran 1) yang menyebabkan kondisi lingkungan menjadi lebih lembab sehingga muncul gejala serangan cendawan Sclerotium sp. Agrios (1996) menyatakan bahwa kelembaban mempengaruhi tahap awal perkembangan penyakit. Kelembaban mungkin terdapat dalam bentuk air hujan atau irigasi pada pemukaan tanah di sekitar perakaran, sebagai kelembaban relatif di udara atau sebagai embun.

Agrios (1996) juga menyampaikan bahwa kelembaban dalam bentuk percikan air hujan dan dan air yang mengalir memainkan peranan penting dalam distribusi dan penyebaran berbagai jenis patogen pada tumbuhan yang sama atau dari tumbuhan yang satu ke tumbuan yang lain. Kelembaban ini berperan dalam perluasan dan intensitas serangan penyakit dengan meningkatkan sukulen tumbuhan inang dan selanjutnya meningkatkan kerentanan tumbuhan terhadap patogen tertentu.

(40)

dilakukan pada 4 MST bergantian dengan aplikasi insektisida dengan frekuensi seminggu sekali untuk menekan pertumbuhan cendawan Sclerotium sp..

Kacang bogor tergolong pada tanaman yang lebih tahan terhadap serangan hama jika dibandingkan dengan tanaman kacang-kacangan lainnya seperti kacang tanah atau cowpea dan sejenisnya. Tetapi jika kondisi lingkungan lembab dapat terserang penyakit yang disebabkan oleh cendawan seperti bercak daun

(Cercospora sp.), layu fusarium, dan busuk batang (Sclerotium sp.) (Beggeman

dalam Heller et al., 1997).

Pertumbuhan Vegetatif dan Hasil Kacang Bogor

(41)
[image:41.595.93.518.137.441.2]

Tabel 8. Rekapitulasi hasil sidik ragam tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P) pada peubah pertumbuhan vegetatif dan hasil kacang bogor

Peubah MST Faktor perlakuan

M P MxP

Tinggi tanaman (cm) 5 tn * tn

6 tn * tn

7 tn * tn

8 tn * tn

9 tn tn tn

Jumlah daun 5 tn tn tn

6 tn tn tn

7 tn tn tn

8 tn tn tn

9 tn tn tn

Jumlah cabang 5 tn tn tn

6 tn tn tn

7 tn tn tn

8 tn tn tn

Bobot basah polong per petak (kg)

- tn * tn

Jumlah polong per tanaman

- * * tn

Keterangan:

* : berbeda nyata pada taraf 5 % tn : tidak berbeda nyata

MxP : pengaruh interaksi tingkat masak (M) dan perlakuan invigorasi (P)

Pada tinggi tanaman 5-8 MST, data menunjukkan bahwa perlakuan P3

(matriconditioning plus Rhizobium sp.) memperlihatkan hasil tertinggi

(42)

Tabel 9. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) terhadap peubah pertumbuhan vegetatif kacang bogor

Umur (MST)

UjiF Perlakuan invigorasi

P0 P1 P2 P3

Tinggi tanaman (cm)

5 * 17.4b 17.4b 17.6b 18.4a

6 * 17.9c 18.6b 18.8b 19.7a

7 * 18.4b 19.0ab 19.2ab 19.5a

8 * 19.6b 20.3ab 20.7a 21.3a

9 tn 20.8 20.8 20.9 21.2

Jumlah daun

5 tn 9.0 8.8 9.4 10.2

6 tn 11.9 12.5 14.2 14.3

7 tn 15.6 15.9 16.9 17.7

8 tn 26.4 27.0 25.9 30.3

9 tn 39.2 41.8 38.7 42.5

Jumlah cabang

5 tn 4.3 4.3 4.4 4.5

6 tn 4.9 5.2 5.2 5.2

7 tn 5.6 5.7 5.8 6.0

8 tn 6.2 6.3 6.4 6.6

Keterangan: P0 (kontrol), P1 (perlakuan Rhizobium sp.), P2 (perlakuan matriconditioning), P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.). Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %.

[image:42.595.94.510.106.388.2]
(43)
[image:43.595.152.482.104.264.2] [image:43.595.144.487.314.473.2]

Gambar 4. Tinggi tanaman kacang bogor 5-9 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3: 125 HST)

Gambar 5. Jumlah daun kacang bogor 5-9 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3: 125 HST)

Gambar 6. Jumlah cabang kacang bogor 5-8 MST pada tiga tingkat masak benih (M1: 119 HST, M2: 122 HST, dan M3: 125 HST)

15 16 17 18 19 20 21 22

5 6 7 8 9

ti n gg it a n a m a n (c m ) MST M1 M2 M3 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

5 6 7 8 9

ju m la h d a u n MST M1 M2 M3 0 1 2 3 4 5 6 7

5 6 7 8

[image:43.595.143.482.538.695.2]
(44)
[image:44.595.113.515.247.359.2]

Perlakuan invigorasi P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) menghasilkan jumlah polong per tanaman tertinggi dibandingkan dengan perlakuan invigorasi yang lain walaupun tidak berbeda nyata dengan P1 (perlakuan Rhizobium sp). Benih dengan tingkat masak 125 HST (M3) menunjukkan hasil tertinggi, berbeda nyata dengan tingkat masak 119 HST (M1) walaupun tidak berbeda nyata dengan tingkat masak 122 HST (M2) (Tabel 10).

Tabel 10. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada berbagai tingkat masak (M) terhadap jumlah polong kacang bogor per tanaman

Perlakuan invigorasi (P)

Tingkat masak (M) Rata-rata

invigorasi

M1 M2 M3

P0 23.9 27.3 32.7 28.0b

P1 30.2 32.5 34.2 32.3ab

P2 30.0 25.1 35.0 30.0b

P3 33.3 38.3 37.3 36.3a

Rata-rata

tingkat masak 29.4b 30.8ab 34.8a

Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5 %.

Perlakuan P3 (matriconditioning plus Rhizobium sp.) menghasilkan bobot basah polong per petak tertinggi berbeda nyata dengan kontrol (P0) walaupun tidak berbeda nyata dengan P1dan P2. Faktor perbedaan tingkat masak tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata, tetapi dapat dilihat bahwa M3 (125 HST) menunjukkan hasil cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat masak yang lainnya (Tabel 11).

Tabel 11. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada berbagai tingkat masak (M) terhadap peubah bobot basah polong kacang bogor (kg) per petak

Perlakuan invigorasi (P)

Tingkat masak (M) Rata-rata

invigorasi

M1 M2 M3

P0 2.7 2.6 3.0 2.8b

P1 3.3 3.6 3.4 3.4a

P2 3.7 2.7 3.3 3.2ab

P3 3.7 3.9 3.0 3.5a

Rata-rata

tingkat masak 3.2a 3.2a 3.3a

(45)

Secara umum semua perlakuan invigorasi yang digunakan (P1, P2, dan P3) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol (P0), baik pada peubah pertumbuhan vegetatif (Tabel 9) maupun pada peubah hasil (Tabel 10 dan 11). Perlakuan matriconditioning (P2) dan matriconditioning plus

Rhizobium sp. (P3) yang diberikan mendorong pertumbuhan vegetatif tanaman

dan hasil kacang bogor. Hal ini mendukung pernyataan Khan et al. (1990) bahwa

matriconditioning mampu menurunkan waktu perkecambahan, meningkatkan

daya berkecambah benih, meningkatkan kemampuan tumbuh, dan mampu meningkatkan produktivitas di lapangan.

Hasil tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan matriconditioning plus

Rhizobium sp. (P3) baik pada tinggi tanaman (Tabel 9) maupun pada peubah hasil

kacang bogor (Tabel 10 dan 11). Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Ilyas et al. (2003), bahwa perlakuan benih dengan matriconditioning plus inokulan B. japonicum yang dikombinasikan A. lipoferum dan benomyl 0.05 % selama 13 jam mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan meningkatkan penambatan nitrogen pada tanaman kedelai dibandingkan dengan perlakuan

matriconditioning plus benomyl tanpa inokulan atau kontrol.

Hasil tersebut juga mendukung penelitian Faisal (2005), bahwa perlakuan

matriconditioning plus B. japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam terbukti

dapat meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen sebesar 121.2 % atau dapat menghemat pemupukan N sebesar 30.5 kg urea/ha. Kombinasi perlakuan

matriconditioning plus B. japonicum dan A. lipoferum selama 12 jam dan

perlakuan pemupukan N sampai dosis 12.5 kg urea/ha lebih meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai, hasil kedelai, dan mutu benih kedelai yang dihasilkan dan menurun kembali ketika dosis ditingkatkan sampai 25 kg/ha urea.

(46)

Perlakuan matriconditioning plus Rhizobium sp. (P3) dan perlakuan

Rhizobium sp. (P1) menunjukkan hasil yang lebih baik seperti ditunjukkan peubah

hasil kacang bogor (jumlah polong per petak dan bobot basah polong per tanaman) dibandingkan perlakuan matriconditioning tanpa inokulan dan kontrol (Tabel 10 dan 11). Hasil tersebut menunjukkan bahwa inokulasi Rhizobium sp. pada benih kacang bogor berpengaruh cukup signifikan untuk meningkatkan komponen hasil kacang bogor. Somasegaran et al. dalam Linneman dan Azam-Ali (1993) dalam kajian terhadap 23 strain Rhizobium sp. melaporkan bahwa

Bradyrhizobium strain TAL 169 yang diisolasi dari tanaman cowpea

menunjukkan efektivitas yang lebih baik ketika bersimbiosis dengan tanaman kacang bogor pada pengujian yang dilakukan di dalam rumah kaca di Hawai. Pada percobaan lebih lanjut, strain ini pun menunjukkan efektivitas yang konsisten pada sepuluh genotip kacang bogor yang dujikan.

Brooks et al. dalam Linneman dan Azam-Ali (1993) melakukan pengujian efektivitas pada enam strain NifTAL dan 13 strain Rhizobium sp. lokal Afrika Barat dari asesi kacang bogor yang berasal dari Ghana dan Togo. Mereka menemukan lima dari enam strain NifTAL dan dua dari strain lokal Afrika Barat efektif membentuk bintil akar potensial dibandingkan dengan kontrol. Menurut Rahmawati (2005), Rhizobium sp. akan menginfeksi akar tanaman dan membentuk bintil akar. Bakteri ini hanya dapat memfiksasi N2 udara bila berada

dalam bintil akar. Rhizobium sp. yang berasosiasi dengan tanaman legum mampu memfiksasi 100-300 kg N/ha dalam satu musim tanam.

(47)

Waemata dan Ilyas (1989) melaporkan bahwa masak fisiologis benih kacang buncis varietas lokal Bandung yaitu 30 hari setelah berbunga (HSB) yang dibuktikan melalui tolok ukur kadar air benih yang terus menurun sampai 30 HSB, bobot kering benih maksimum, dan vigor kekuatan tumbuh maksimum pada saat 30 HSB. Pada saat masak fisiologis, benih belum mengalami penurunan vigor kekuatan tumbuh maupun viabilitas potensialnya, sedangkan pada benih yang dipanen sebelum dan sesudah masak fisiologis (27 dan 33 HSB) sudah mengalami penurunan vigor kekuatan tumbuh pada periode simpan empat minggu.

Tingkat masak benih adas (Foeniculum vulgare Mill.) mempengaruhi waktu yang diperlukan untuk mencapai 50 % total perkecambahan (T50) dan bobot

kering kecambah normal. Semakin masak benih, maka waktu yang diperlukan untuk mencapai 50 % total perkecambahan semakin singkat. Pada tingkat masak hijau, benih membutuhkan waktu 10.5 hari untuk mencapai 50 % total perkecambahan. Pada tingkat masak kuning, waktu yang dibutuhkan menurun menjadi 9.4 hari dan memasuki masak cokelat menurun kembali menjadi 9.3 hari. Bobot kering kecambah normal meningkat pada tingkat masak kuning kemudian kembali menurun memasuki tingkat masak cokelat walaupun tidak berbeda nyata dibanding tingkat masak kuning (Setyaningsih, 2002).

(48)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Perlakuan invigorasi menggunakan matriconditioning atau matriconditioning plus Rhizobium sp. pada benih dengan tingkat masak 122 dan 125 HST terbukti efektif meningkatkan viabilitas (daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal) dan vigor (kecepatan tumbuh dan indeks vigor) dibandingkan kontrol pada setiap tingkat masak benih yang digunakan.

2. Perlakuan matriconditioning yang diintegrasikan dengan Rhizobium sp. meningkatkan tinggi tanaman dan hasil (jumlah polong per tanaman dan bobot basah polong per petak) dibandingkan perlakuan invigorasi yang lain dan kontrol.

3. Benih dengan tingkat masak 125 HST memberikan hasil kacang bogor lebih tinggi dibandingkan tingkat masak 122 HST dan 119 HST.

Saran

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. dan R. Wudianto. 2002. Meningkatkan Hasil Panen Kedelai di Lahan Sawah, Lahan Kering, dan Pasang Surut. Penebar Swadaya. Jakarta. 84 hal.

Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Terjemahan dari: Plant Pathology. Penerjemah: M. Busnia dan T. Martoredjo. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. 695 hal.

Andreoli, C. and A. A. Khan. 1999. Matriconditioning integrated with gibberellic acid to hasten seed germination and improve stand establishmen

Gambar

Gambar 1.  Morfologi  tanaman kacang bogor (Vigna subterranea  (L.) Verdcourt). 1. Sifat pembungaan; 2
Gambar 2. Kecambah normal kacang bogor pada umur 14 HST
Tabel 4. Pengaruh perlakuan invigorasi (P) pada benih dengan tingkat masak (M) berbeda terhadap kecepatan tumbuh (%/etmal) kacang bogor
Tabel 7. Data iklim bulan Juni sampai Oktober 2010 di Darmaga, Bogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

memikirkan nilai yang tidak tuntas, tidak bisa menyesuaikan diri dengan mata pelajaran, tidak punya aspirasi pendidikan dan khawatir akan masa depan. Sedangkan

Metode penelitian yang digunakan dalam perancangan aplikasi pengarsipan surat Program Studi Sistem Informasi pada STTIND Padang seperti menyediakan data pengarsipan surat

(NA.) On tosin mahdollis- ta, että nimestäjä ei ole kysynyt rinnakkaisnimistä tai -muodoista ja nimioppaalle ei ole tullut mieleen niitä mainita. Tutkin Imatran paikannimien

Dr.Diah Karmiyati.,M.Si, selaku pembimbing pertama saya yang membantu saya, memberikan masukan dan ilmu kepada saya selama saya mengerjakan thesis saya hingga

181 (II) tahun 1947, Jerusalem merupakan wilayah internasional yang terpisah dari Tepi Barat dan Jalur Gaza ( corpus separatum ) dan mewakili historis tiga agama, pengakuan

Didalam perusahaan ada beberapa faktor yang mempengaruhi manajemen laba diantaranya Dewan Komisaris Independen, Komite Audit, Kepemilikan Manajerial, Free Cash

Disamping itu orang tua dapat melihat kegiatan anak di laboratorium, di bengkel, dan di kebun (Soetopo, dan Soemanto 1989, hlm. Kunjungan orang tua siswa ke sekolah

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh Partisipasi Anggaran dan Gaya Kepemimpinan terhadap Perubahan Anggaran pada unit kerja pemerintah daerah di