• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Puskesmas Tanjung Morawa

8 Bagaimana peran Konselor dalam mendorong anda untuk mengurangi

5.3. Pengaruh Persepsi Tentang Klinik VCT Terhadap Tingkat Pemanfaatan Klinik VCT Klinik VCT

Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda antara variabel persepsi tentang klinik VCT didapatkan p value 0,000 < 0,05. Hasil penelitian ini dapat menjelaskan bahwa variabel persepsi tentang klinik VCT berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat pemanfaatan klinik VCT. Khairurahmi (2008), menyatakan bahwa persepsi terhadap pelayanan kesehatan berpengaruh signifikan terhadap tingkat pemanfaatan klinik VCT.

Menurut Azwar yang dikutip oleh Putri (2007), sikap dan tingkah laku hendaknya memenuhi norma yang dikehendaki oleh masyarakat khususnya pasien atau si penderita yaitu sopan, sabar, ramah tamah, tidak ragu-ragu, penuh perhatian, selalu memberikan bantuan dan pertolongan yang diperlukan, membina hubungan yang baik dengan pasien dan keluarganya sehingga timbul kepercayaan kepada tenaga kesehatan tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat diketahui bahwa pengetahuan yang rendah tentang klinik VCT karena mereka mengganggap bahwa klinik VCT hanya untuk menentukan seseorang postitif HIV/AIDS atau tidak dan pengambilan ARV. Selama mereka merasa tubuh mereka baik-baik saja mereka tidak akan memeriksakan diri lagi. Penderita HIV/AIDS seringkali memeriksakan diri kembali ketika tubuh mereka sudah menurun yaitu dengan jumlah CD-4 yang sangat rendah.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, responden menyatakan bahwa pra tes yang dilakukan oleh pihak pemberi pelayanan sebagian tergolong cukup baik. Sebagian menyatakan mereka mendapat pra tes dari pihak LSM, setelah merasa

bahwa mental sudah cukup baik maka mereka akan didampingi oleh pihak LSM untuk memerikasakan diri ke klinik VCT.

Dalam proses konseling pra tes, konselor dituntut untuk mampu menyiapkan diri klien untuk pemeriksaan HIV, memberi pengetahuan akan implikasi terinfeksi atau tidak terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi tentang cara menyesuaikan diri dengan status HIV. Dalam konseling didiskusikan juga tentang seksualitas, hubungan relasi dan suntikan berisiko serta membantu klien untuk melindungi diri dari infeksi. Konseling dimaksud juga untuk pemahaman yang salah tentang AIDS dan mitosnya (Depkes RI, 2004). Menurut penelitian Haruddin,Dkk (2007), di klinik VCT RSUP Sarjito Yogyakarta, kendala yang dihadapi dalam melakukan pra tes adalah waktu tunggu klien yang lama, konselor tidak siap di tempat, bahasa yang digunakan konselor terkadang sulit untuk dimengerti oleh klien dan tempat konseling yang tidak nyaman.

Menurut laporan UNGASS (2005), dinyatakan bahwa terbatasnya sarana tes, konseling dan perawatan ARV merupakan salah satu tantangan utama bagi kesuksesan program nasional guna meredam jumlah kasus. Tantangan lainnya yaitu terbatasnya penjangkauan terhadap kelompok risiko tinggi, tingginya penggunaan jarum suntik di kalangan IDU, masih tingginya stigma terhadap ODHA.

Menurut penelitian Haruddin, dkk (2007) di klinik VCT RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta, kendala yang dihadapi dalam melakukan tes adalah waktu tunggu klien, sikap petugas yang kurang empati dan pengambilan sampel yang dilakukan tidak di ruangan pengambilan sampel.

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, responden menyatakan bahwa tes yang diikuti mereka masih cukup baik, akan tetapi beberapa dari mereka menyatakan bahwa tes dilakukan tanpa ada pengulangan informasi seputar HIV/AIDS. Responden juga mengharapkan adanya ruangan yang terpisah agar responden nyaman dan lebih leluasa dalam memyampaikan keluhan kesehatan yang mereka rasakan karena klinik VCT yang ada di puskesmas masih satu ruangan dengan poli anak.

Konseling dan dukungan sangat diperlukan ketika pemberitahuan hasil untuk mengatasi reaksi klien. Reaksi awal akan menjadi sangan berat dan ini merupakan bagian yang normal. Reaksi yang timbul biasanya melibatkan kejiwaan seperti ketakutan, kehilangan percaya diri, rasa bersalah, depresi hingga tindakan bunuh diri. Namun, ada juga klien yang menanggapinya secara positif yaitu dengan meningkatkan kehidupan beragama seperti mendekatkan diri dengan Tuhan. Reaksi yang negatif dapat ditekan dengan konseling pra tes yang maksimal dan menunjukkan empati ketika menyampaikan hasil tes.

Berdasarkan hasil wawancara, responden menyatakan bahwa petugas kesehatan/konselor menyampaikan status mereka dengan cara yang kurang baik yaitu dengan hanya menyatakan “anda positif HIV” , ada yang dibacakan di depan petugas kesehatan yang lain. Bahkan sebagian yang menyatakan hasil tes diberikan begitu saja dengan kepada LSM yang mendampingi. Responden menyatakan bahwa pendamping lebih berperan dibanding petugas kesehatan.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori Green dalam Notoatmodjo (2003), dimana faktor ketersediaan sarana dan pra sarana merupakan faktor yang memengaruhi masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan. Fasilitas sarana

dan prasarana mendukung ikut berperan serta membentuk terjadinya perilaku seseorang. Putri (2007), menyatakan bahwa ada hubungan bariabel persepsi tentang ruangan perawatan dengan pemanfaatan Pusyansus RSUP Adam Malik Medan Tahun 2007.

Berdasarkan hasil peneltian Dayaningsih (2009) yang dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang, menyatakan bahwa sifat pelayanan yang masih passive finding, promosi klinik VCT yang masih kurang dan penempatan klinik VCT yang kurang ideal akan memengaruhi kualitas pelayanan VCT.

Hasil wawancara dengan responden menyatakan bahwa fasilitas yang tersedia di klinik VCT Puskesmas Tanjung Morawa cukup memadai dengan alasan dekat dengan rumah dan cukup untuk melakukan tes. Yang menjadi keluhan responden adalah tidak tersedianya ARV. Responden merasa sangat sulit untuk mendapat ARV karena lokasi pengambilan ARV jauh yaitu di Rumah Sakit Umum Deli Serdang. Sebagian besar responden yang bekerja sangat mengeluh tentang penyediaan obat bagi mereka, karena butuh waktu yang cukup lama untuk mengambil obat. Jadwal mereka untuk bisa konsultasi dengan dokter di rumah sakit juga terbatas yaitu 1X seminggu yakni pada hari Selasa.

Hasil wawancara dengan petugas kesehatan di Puskesmas Tanjung Morawa, ARV tidak dapat disediakan di klinik VCT Puskesmas Tanjung Morawa karena tidak adanya dokter spesialis penyakit dalam yang bekerja di tempat tersebut. Pemberian dosis ARV harus sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien oleh dokter spesialis penyakit dalam.

Dokumen terkait