• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal

Bab IV : Hasil dan Pembahasan

LANDASAN TEORI A.Resiliensi

D. Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal

Hastuti (2008) menyatakan pengasuhan dilakukan untuk memenuhi aspek fisik dan non-fisik pada anak agar anak bisa hidup dengan mandiri di masa yang akan datang. Pengasuhan mencakup pengasuhan makan, pengasuhan hidup sehat, pengasuhan akademik, pengasuhan sosial emosi, serta pengasuhan moral dan disiplin. Pengasuhan umumnya dilakukan oleh ayah dan ibu sesuai dengan perannya masing-masing. Akan tetapi beberapa kejadian seperti perceraian dan kematian suami bisa membuat Ibu melakukan pengasuhan tunggal. Pada saat itu, Ibu yang menjalani pengasuhan tunggal bukan hanya menangani masalah rumah tangga tetapi juga coping terhadap perpisahan.

Degenova (2008) mengungkapkan kondisi pengasuhan tunggal kerap membuat ibu tunggal mengalami tekanan yang besar, sebagian besar ibu tunggal akan mengalami kemarahan, kehilangan, kegagalan, self esteem yang rendah, kurang percaya diri, dan kesepian. James Lynch dalam Sarafino (2006) menyatakan sendirian atau patah hati adalah faktor resiko untuk penyakit jantung karena orang yang ditinggal kematian, perceraian dan tidak pernah menikah memiliki angka kematian yang tinggi dibanding pasangan menikah. Penelitian lain tentang Gambaran kesepian pada ibu tunggal yang dilakukan oleh Sinaga

43

(2007) menunjukkan bahwa Ibu tunggal bercerai mengalami kesepian yang lebih dalam dibanding ibu tunggal akibat kematian pasangan. Hal ini disebabkan oleh pandangan masayarat dan stigma masyarakat akibat perceraiannya sehingga ibu mengalami isolasi sosial (Sinaga, 2007).

Pengasuhan tunggal akan menambah beberapa tantangan dalam kehidupan ibu tunggal yaitu masalah finansial, tuntutan rumah tangga dan keterbatasan diri, kebutuhan emosional, seksual dan ketiadaan peran Ayah (Knox & Schact, 2010). Masalah finansial menjadi lebih berat bagi ibu tunggal, dalam sebuah penelitian banyak ibu tunggal menyatakan finansial adalah masalah terbesar dalam hidup mereka (Zhan & Pandey dalam De Genova, 2008). Masalah ekonomi ini bisa berdampak negatif bagi anak seperti masalah figur Ayah dan pendidikan, contohnya menurut hasil penelitian, dibandingkan dengan keluarga lengkap, keluarga tunggal memiliki anak dengan nilai rendah pada konsep diri, pencapaian akademik dan kompetensi diri dan nilai tinggi pada masalah perilaku (De Genova, 2008).

Walsh (2006) mengungkapkan Ibu yang gagal melakukan coping

terhadap situasi ini akan merasa bersalah atas kondisi anaknya. Ibu yang menghadapi masalah terjebak dalam rasa bersalah dan kemarahan. Kondisi lain yang bisa muncul adalah depresi dan tidak bahagia. Ibu tidak dapat kembali seperti proses awal dan semula. Tetapi bagi individu yang berhasil melakukan coping dengan baik akan merasa bermakna. Seperti yang dinyatakan oleh Weinraub (2002) menjalankan pengasuhan sendirian adalah hal yang sulit, apalagi ketika yang di asuh adalah anak berkebutuhan khusus tetapi untuk beberapa ibu

44

tunggal masalah-masalah tersebut bisa diatasi dan menjadi ibu tunggal yang sukses.

Proses untuk kembali beradaptasi seperti semula disebut resiliensi. Resiliensi adalah kapasitas untuk melambung dari kesukaran hidup. Walsh (2006) mengungkapkan ini adalah proses aktif dari ketahanan, perbaikan diri dan pertumbuhan dalam merespon tantangan. Hal ini menolong ibu tetap kuat dan bertahan meskipun ada banyak kesulitan dalam mengasuh anak sendirian. Ibu yang resilien tidak hanya akan bertahan tetapi berjuang untuk mendapatkan hasil yang positif. Sesuai dengan pernyataan Walsh (2006) bahwa individu yang resilien percaya bahwa akan membuang waktu jika hanya menyesak dan mengobati luka, akan lebih baik jika melihat kembali apa yang sudah terjadi dan mencoba mengambil pelajaran.

Individu yang resilien akan berusaha mencari dukungan kepada orang-orang di sekitarnya. Nasution (2011) mengungkapkan dukungan sosial yang diterima ibu dari keluarga besar, kerabat dan lainnya dapat menjadi hal terpenting yang menolong mereka bertahan dalam menghadapi tekanan besar. Sementara individu yang kurang resilien merasa sulit berbagi mengenai pengalamannya dengan orang lain. Reiveich & Shatte (2002) menyatakan kurangnya dukungan orang lain lain akan menghambat penyembuhan. Dukungan sosial juga dikaitkan dengan kemampuan yang membantu seseorang ketahanan menghadapi stress. Lazarus dan Folkman mendefinisikannya dukungan sosial sebagai sumber dari personal dan sosial yang membuat individu mampu melakukan coping.

45

Ada banyak penelitian yang mendukung hubungan dukungan sosial dan resiliensi. Walsh (2006) menyatakan bahwa hasil banyak studi menunjukkan bahwa individu yang resilien akan lebih sering mencari dukungan sosial dibandingkan individu yang tidak resilien. Adanya hubungan postif dukungan sosial dan resiliensi memang sudah terbukti. Akan tetapi tidak semua dukungan sosial akan berfungsi positif pasa stressful event.

Berkman dalam Sarafino (2006) menyatakan dukungan sosial tidak selalu mengurangi stress dan bermanfaat bagi kesehatan, apabila kita tidak menganggapnya sebagai dukungan. Penelitian yang telah dilakukan Lestari (2007) kepada penyintas pasca gempa di Desa Canan, Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten tentang bentuk dukungan sosial dan resiliensi menyimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dan dukungan jaringan sosial dengan tingkat resiliensi paska gempa di Desa Canan. Sedangkan, dukungan instrumental tidak memiliki hubungan dengan tingkat resiliensi penyintas gempa sehingga semakin tinggi dukungan instrumental bukan berarti tingkat resiliensi paska gempa di Desa Canan akan semakin tinggi pula.

Sarafino (2006) mengungkapkan hal ini bisa terjadi karena pertolongan tidak cukup atau kita tidak menginginkan bantuan atau karena terlalu putus asa untuk menyadarinya, saat kita tidak menganggap itu mendukung, itu tidak akan mengurangi stress kita. Alasan lain kenapa dukungan sosial tidak selalu menolong adalah karena tipe dukungan yang kita terima tidak cocok dengan tekanan yang kita terima (Sarafino, 2006).

46

Carolyn Uctrona dan Dabiel Russel (dalam Sarafino 2008) menyatakan bentuk matching support yang disesuaikan dengan kebutuhuan. Dukungan instrumental adalah beberapa hal yang bernilai untuk stressful event yang bisa dikontrol, kita bisa mencapai tujuan atau menghindari situasi sebelum menjadi lebih sulit. Dukungan emosional adalah untuk masalah yang tidak bisa dihindari seperti kehilangan orang yang dikasihi, tetapi tipe dukungan bisa dibutuhkan, contohnya jika masalah yang tidak bisa dihindari seperti kehilangan pekerjaan, dukungan penghargaan dan tangible akan menolong (Sarafino, 2008).

Pada ibu tunggal dukungan sosial (social support) memberi empat fungsi penting (Cutrona & Russell dalam Sarafino, 2006), yaitu (1) Emotional or esteem support, menyangkut adanya empati, perhatian, kepedulian, berpandangan positif, dan memberikan dorongan atau semangat terhadap seseorang. Bagi seorang ibu tunggal dukungan seseorang yang menggantikan peran suami sebagai partner berbagi sangat penting, dengan dukungan emosional ibu tunggal bisa mengusir kesepian yang dialaminya sehingga ibu mengalami kepercayaan diri dan keberhargaan diri. (2) Tangible or instrumental support, melibatkan bantuan langsung, misalnya memberi atau meminjamkan uang kepada seseorang. Bantuan langsung berupa material dapat membantu ibu tunggal untuk mengatasi persoalan finansial yang dialaminya atau penawaran penjagaan anak (3)Informational support, meliputi pemberian nasehat, pengarahan, saran atau feedback mengenai apa yang sedang dilakukan seseorang. Banyak ibu tunggal yang mengalami kesulitan dalam beberapa masalah terutama pengasuhan anak dan pendisiplinan, adanya bantuan dalam bentuk informational tentang pengasuhan akan membantu

47

ibu dalam perawatan anak. Bantuan informasional juga dibutuhkan oleh ibu tunggal yang tidak memiliki kapasitas dalam bekerja (4) Companionship support, mengacu kepada dengan keberadaan seseorang untuk menghabiskan waktu bersama orang lain, dengan demikian memberikan perasaan keanggotaan di dalam kelompok yang berbagi minat dan aktivitas sosial (Sarafino, 2006).

Dokumen terkait