• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH

SOCIAL SUPPORT

TERHADAP RESILIENSI IBU

TUNGGAL

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan

Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

SATRIANI BR MANALU

081301088

FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Februari 2015

(3)

Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal

Satriani Manalu dan Rahma Fauzia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi perngaruh social support

terhadap resiliensi ibu tunggal. Resiliensi adalah kemampuan dan kapasitas individu yang memampukan individu beradaptasi dan mengatasi masa kesukaran atau trauma kehidupan. Social support adalah bentuk pertolongan yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman, saudara, rekan kerja ataupun atasan atau orang yang dicintai oleh individu yang bersangkutan. Adapun bentuk pertolongan ini dibagi menjadi 4 bentuk yaitu:

esteem/emotional support, informational support, instrumental support dan

companion support. Pendekatan kuantitatif dilakukan kepada 60 orang ibu tunggal yang direkrut secara incidental. Analisis terhadap hasil penelitian mendukung hipotesis bahwa informational support adalah bentuk dukungan yang signifikan berperan terhadap resiliensi. Meski esteem/emotional support dan companion support tidak memiliki pengaruh, jenis support ini berkorelasi positif terhadap resiliensi. Sementara, instrumental support tidak berpengaruh dan berhubungan dengan resiliensi. Jika faktor pembentuk resiliensi diuraikan, informational support berhubungan dengan regulasi emosi, impulse control, emphaty, causal analysis, self efficacy dan reaching out tetapi informational support tidak berhubungan dengan optimism.

(4)

The Influence of Social Support for Single Mothers Resilience

Satriani Manalu and Rahma Fauzia

This study aims to explore the influence of social support for single mothers resilience. Resilience is the ability and capacity of individuals that enable individuals to adapt and overcome the time of trouble or trauma life. Social support is a form of aid that is given by people who have meaning as family, friends, friends, relatives, co-workers or superiors or loved by the individuals concerned. The form of this aid is divided into 4 types: esteem / emotional support, informational support, instrumental support and companion support. Quantitative approaches to 60 single mothers who recruited incidental. Analysis of the results of the study support the hypothesis that informational support is a significant form of support contribute to resilience. Although esteem / emotional support and companion support has no effect, this type of support is positively correlated to resilience. Meanwhile, the influential and instrumental support is not related to resilience. If the determining factors outlined resilience, informational support associated with emotion regulation, impulse control, empathy, causal analysis, self-efficacy and reaching out but not related to optimism

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa di surge untuk semua berkat dan penyertaanNya. Karena hanya karena Kasih Karunia-Nya saya mampu menyelesaikan penelitian ini, yang berjudul “Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat mencapai Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Pembuatan skripsi ini merupakan pengalaman pertama penulis, sehingga penulis mohon maaf jika sekiranya dalam skripsi ini terdapat kejanggalan-kejanggalan, baik isi maupun cara penulisannya, yang masih banyak kesalahan.

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta, R Sinaga dan Alhm. K Manalu. Terima kasih sudah membesarkan satri, untuk kasih sayang, doa dan dukungan selama ini. Terutama untuk mamak sebagai sumber inspirasi penulis mengambil topik ibu tunggal. Terima kasih juga kepada kakakku Nisda, Erni, Bang Ucok dan Bang Pendi. Suka dan duka yang dirasakan selama hidup bersama keluarga sampai saat ini merupakan proses pembentukan pribadi yang luar biasa yang Tuhan berikan. Terimakasih juga untuk Eda Lina dan Bang Dedy juga keponakan yang lucu Nael, Devan dan Rindi.

Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari banyak pihak, sangatlah sulit menyelesaikan penelitian ini. Untuk itu peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada :

(6)

2. Ferry Novliady, M.Psi., psikolog selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih kepada Bapak atas bimbingan dan arahannya selama menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

3. Rahma Fauziah, M.Psi., psikolog pembimbing skripsi. Terima kasih atas segala bimbingan, saran, arahan dan waktu yang selalu diluangkan hingga penyelesaian skripsi ini. Sangat berterimakasih kepada Ibu atas pengorbanan waktu dan tenaga yang luar biasa.

4. Kedua dosen penguji Ibu Erka Ervika, M.si.,psikolog yang dan Arliza J Lubis, M.Si., psikolog yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji serta memberikan masukan dan saran pada saat pengerjaan revisi yang sangat berarti bagi penulis.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Terimakasih atas pengabdian, bantuan dan dukungan yang diberikan.

6. Teman-teman KTB Pauline Bang Juppa, Pasca, Kak Vidya dan Kak Grace. Terima kasih atas dukungan dan doanya selama ini. Untuk teman KTB yang baru Hitler, Bang Armen dan Dedek, terimakasih untuk dukungan dalam pengerjaan revisi. Untuk adik KTB Immosa, Agustina Basa, Debby dan Ivana. Terimakasih buat doa, semangat dan bantuan menyebarkan skala.

(7)

yaitu Debby, Lala Erika sihombing, Erika Sinaga dan Friska Terimakasih sudah menjadi sahabat dekat, menemani selama masa kuliah dan menjadi teman yang menolong, memberi semangat dan mendengarkan. Rentika, Asda, Christine, Susi, Alfine, Laura, kak Dewi, Siti, Friska, Nisha, Ajeng, Rahma, Fatma, Dini, Rusli, Yuyu, Tasya, Nana Annisa, Sari, dan seluruh teman-teman seangkatan 2008 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang selalu mendoakan dan mendukung saya. Terima kasih teman-teman untuk dukungan, perjuangan bersama dan kenangan manisnya. Juga kepada kak Jesika, Helen dan Kak Tetty, sudah memberikan semangat. 8. Teman-teman di Pelayanan Persektuan Siswa Kristen Medan, Kak Ibeth

dan Kak Juni teman berbagi dan bercerita. Kakak dan Abang saya Bang Billy, Kak Agustini, Bang Otto, adek-adek yang baik Joshua, Pendi, Rudi, Lisna, Anggre, Febri, Jopal, Ari, Dian, Maria, Nora, dan masih banyak lagi yang tidak disebutkan. Terima kasih atas dukungan, nasehat, dan turut membantu mengerjakan skala.

9. Seluruh Ibu Tunggal yang telah bersedia mengisi skala penelitian ini. Terima kasih atas kesedian dan waktunya.

(8)

Seluruh isi penelitian ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab peneliti. Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan. Karena itu , peneliti mengharapkan masukan dan kritik yang membangun guna pengembangan penelitian ini. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.

Medan, Januari 2015

(9)

6

DAFTAR ISI

Surat Pernyataan Keaslian Penelitian ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 14

A. Latar Belakang ... 14

B. Rumusan Masalah ... 22

C. Tujuan Penelitian ... 23

D. Manfaat Penelitian ... 23

E. Sistematika Penulisan ... 23

BAB II LANDASAN TEORI ... 25

A. Resiliensi ... 25

1.Definisi Resiliensi ... 25

2. Faktor-faktor Resiliensi ... 26

3. Faktor Protektif pada Resiliensi ... 30

4. Fungsi Resiliensi ... 31

B.Social Support... 32

1. Definisi Social Support ... 32

2. Bentuk-bentuk Social Support ... 34

(10)

7

C. Ibu Tunggal... 36

1.Definisi Ibu Tunggal ... 36

2. Peran Pengasuhan oleh Ibu Tunggal ... 37

3.Tantangan yang Dihadapi Ibu Tunggal ... 38

4. Karakteristik Ibu Tunggal yang Sukses ... 40

D. Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal ... 42

E. Hipotesis Penelitian ... 47

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 48

B. Definisi Operasional ... 48

1. Resiliensi ... 48

2. Social Support ... 49

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ... 50

1. Populasi dan Sampel ... 50

2. Metode Pengambilan Sampel dan Jumlah Sampel ... 51

D. Instrumen/Alat Ukur Penelitian ... 52

1. Skala Resiliensi ... 53

2. Skala Social Support ... 54

E. Uji Coba Alat Ukur Penelitian ... 54

1. Validitas Alat Ukur ... 55

2. Uji Daya Beda Aitem ... 55

3. Reliabilitas Alat Ukur ... 56

(11)

8

1. Hasil Uji Coba Skala Resiliensi ... 57

2. Hasil Uji Coba Skala Social Support ... 58

H. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 59

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 59

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 60

3. Tahap Analisa Data ... 61

I. Uji Asumsi ... 61

1. Uji Normalitas ... 61

2. Uji Linearitas ... 62

3. Uji Multikolinearitas ... 62

4. Uji Heteroskedastisitas ... 63

J. Metode Analisa Data ... 63

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 65

A.Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 65

1. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 65

2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Penyebab Menjadi Ibu Tunggal ... 66

3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan ... 66

4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama Menjadi . Ibu Tunggal ... 67

5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Anggota Keluar ga ... 68

(12)

9

1. Uji Normalitas ... 69

2. Uji Linearitas ... 69

3. Uji Multikolinearitas ... 70

4. Uji Heteroskedastisitas ... 71

C. Hasil Utama Penelitian ... 71

D. Hasil Analisa Tambahan ... 74

1. Perbandingan Nilai Mean Empirik dan Hipotetik Resiliensi 75 2. Kategorisasi Skor Resiliensi... 75

3. Perbandingan Nilai Mean Empirik dan Hipotetik ... 76

Social Support 4. Kategorisasi Skor Social Support ... 76

5. Gambaran Hubungan bentuk Social Support dan Faktor Pem- bentuk Resiliensi ... 77

6. Gambaran Sebaran Bentuk Social Support dan Faktor Pem- bentuk Resiliensi ... 78

E. Gambaran Resiliensi dan Bentuk Social Support berdasarkan Sosiodemografis Ibu Tunggal ... 80

F. Pembahasan ... 83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 93

1. Saran Metodologis... 93

(13)

10

DAFTAR PUSTAKA ... 95

(14)

11

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

1. Daftar Tabel

Tabel 1. Blue Print Resiliensi Sebelum Uji Coba ... 53

Tabel 2. Blue Print Social Support Sebelum Uji Coba ... 54

Tabel 3. Hasil Uji Daya Beda Aitem Resiliensi ... 57

Tabel 4. Blue Print Resiliensi Setelah Uji Coba ... 57

Tabel 5.Hasil Uji Daya Beda Aitem Social Support ... 57

Tabel 6. Blue Print Self Social Support Setelah Uji Coba ... 57

Tabel 7. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 65

Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Penyebab ... 66

Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Pekerjaan ... 66

Tabel 10.Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Lama ... 67

Tabel 11.Gambaram Subjek Penelitian Berdasarkan Anggota Keluarga ... 68

Tabel 12.Gambaram Subjek Penelitian Berdasarkan Kerabat ... 68

Tabel 13. Hasil Uji Normalitas ... 69

Tabel 14. Hasil Uji Linearitas ... 70

Tabel 15. Hasil Uji Multikolinearitas ... 70

Tabel 16. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 71

Tabel 17. Hasil Uji Korelasi Pearson ... 71

Tabel 18. Tabel Variabel yang Tidak Signifikan ... 71

Tabel 19.Koefisien Regresi Variabel yang Signifikan ... 73

Tabel 20. Uji Beda Mean Empirik Resiliensi ... 75

(15)

12

Tabel 22. Deskripsi Mean Empirik dan Hipotetik Social Support... 76 Tabel 23. Kategorisasi Subjek pada Variabel Social Support... 76 Tabel 24. Gambaran Hubungan Bentuk Social Support terhadap Faktor Pemb-

Bentuk Resiliensi ... 77 Tabel 23. Gambaran Kategorisasi Social Support dan Faktor Pembentuk Re-

Siliensi ... 78

2.

Daftar Grafik

Grafik. 1 Gambaran resiliensi dan bentuk social support berdasarkan usia... 77 Grafik. 2 Gambaran resiliensi dan bentuk social support berdasarkan penye

bab ... 77 Grafik. 3 Gambaran resiliensi dan social support berdasarkan lama menjadi

ibu tunggal ... 78 Grafik. 4 Gambaran resiliensi dan social support berdasarkan anggota kelu-

(16)

13

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

I. Skala dan Terjemahan Skala Resiliensi

II. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Aitem Skala Resiliensi III. Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Aitem Skala Social Support

LAMPIRAN B

I. Hasil Uji Asumsi Penelitian II. Hasil Uji Hipotesis Penelitian III. Hasil Uji Data Deskriptif IV. Hasil Uji Korelasi LAMPIRAN C

(17)

Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal

Satriani Manalu dan Rahma Fauzia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi perngaruh social support

terhadap resiliensi ibu tunggal. Resiliensi adalah kemampuan dan kapasitas individu yang memampukan individu beradaptasi dan mengatasi masa kesukaran atau trauma kehidupan. Social support adalah bentuk pertolongan yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman, saudara, rekan kerja ataupun atasan atau orang yang dicintai oleh individu yang bersangkutan. Adapun bentuk pertolongan ini dibagi menjadi 4 bentuk yaitu:

esteem/emotional support, informational support, instrumental support dan

companion support. Pendekatan kuantitatif dilakukan kepada 60 orang ibu tunggal yang direkrut secara incidental. Analisis terhadap hasil penelitian mendukung hipotesis bahwa informational support adalah bentuk dukungan yang signifikan berperan terhadap resiliensi. Meski esteem/emotional support dan companion support tidak memiliki pengaruh, jenis support ini berkorelasi positif terhadap resiliensi. Sementara, instrumental support tidak berpengaruh dan berhubungan dengan resiliensi. Jika faktor pembentuk resiliensi diuraikan, informational support berhubungan dengan regulasi emosi, impulse control, emphaty, causal analysis, self efficacy dan reaching out tetapi informational support tidak berhubungan dengan optimism.

(18)

The Influence of Social Support for Single Mothers Resilience

Satriani Manalu and Rahma Fauzia

This study aims to explore the influence of social support for single mothers resilience. Resilience is the ability and capacity of individuals that enable individuals to adapt and overcome the time of trouble or trauma life. Social support is a form of aid that is given by people who have meaning as family, friends, friends, relatives, co-workers or superiors or loved by the individuals concerned. The form of this aid is divided into 4 types: esteem / emotional support, informational support, instrumental support and companion support. Quantitative approaches to 60 single mothers who recruited incidental. Analysis of the results of the study support the hypothesis that informational support is a significant form of support contribute to resilience. Although esteem / emotional support and companion support has no effect, this type of support is positively correlated to resilience. Meanwhile, the influential and instrumental support is not related to resilience. If the determining factors outlined resilience, informational support associated with emotion regulation, impulse control, empathy, causal analysis, self-efficacy and reaching out but not related to optimism

(19)

14 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga adalah organisasi sosial dalam masyarakat. Menurut Yacub (2005), keluarga terdiri dari orangtua, anak serta orang-orang dalam suatu rumah tangga. Orangtua biasanya terdiri dari ayah dan ibu atau siapa saja yang berperan dan bertanggungjawab dalam suatu keluarga. Orangtua bertanggungjawab dalam menjalankan pengasuhan dan melakukan pembagian kerja. Adapun beberapa peran pengasuhan menurut Knox & Schacht (2010) adalah merawat anak, memberikan kebutuhan emosional pada anak, mendidik anak, memenuhi kebutuhan ekonomi, pelindung, mempromosikan kesehatan, dan melakukan kegiatan bersama-sama. Peran-peran ini dilakukan orangtua dengan pembagian kerja yang disepakati.

Pada keluarga tradisional, pembagian kerja dilakukan menurut peran gender. Ibu lebih berperan besar dalam pengasuhan anak daripada ayah. Beberapa keluarga tidak memiliki orangtua lengkap seperti keluarga single-parent,

(20)

15

perawatan anak kepada mantan istrinya, mertuanya atau orangtuanya. Hal ini disebabkan ayah tunggal lebih cepat menikah lagi dan memiliki kehidupan baru lagi, berbeda dengan ibu tunggal yang memiliki tanggung jawab mendidik anak sebagai beban sosial sehingga akan tetap mengasuh dan mendidik anak sendiri.

Pilihan mengasuh anak sendiri bukanlah menjadi keinginan setiap ibu. Tidak ada ibu yang membayangkan mengasuh anak sendirian saat dia memulai pernikahan. Akan tetapi, entah itu bukan pilihan atau sebuah pilihan untuk keluar dari masalah rumah tangga, status itu bisa menimpa siapa saja, apakah ibu rumah tangga biasa atau wanita karir. Beberapa kondisi seperti kematian pasangan, perceraian dan kehamilan di luar pernikahan membuat banyak wanita memilih menjalani hidup sebagai orang tua tunggal (Dwiyani, 2009).

Kematian pasangan membuat ibu harus coping terhadap kehilangan pasangan. Beberapa yang tidak mampu akan men=galami kesepian yang terus menerus. Ibu kecewa karena harus sendiri karena sebelumnya ibu tunggal memiliki tempat untuk berbagi dan bergantung(Strong, dkk, 2011). Kemudian, ibu harus sendirian menanggung segalanya. Seperti yang dialami Rini yang ditinggal pergi oleh suaminya yang bunuh diri semasa mengandung anak, Rini menceritakan awal ketika beliau menjadi ibu tunggal dalam komunikasi personal berikut:

Kek manalah kita tidak punya suami, kan gitu... seolah-olahnya kita itu selama dia kandungan kita ingat suami, kan gitu... kita lihat orang lain ada suaminya jadi kita merenung, kita malu... kenapa orang itu ada

suaminya sementara aku ini lagi mengandung gag ada suamiku”

“Kita dalam bawa kandungan itu selalu meneteskan air mata, kita lihat

(21)

16

biasanya ke sawah sama-sama,ketawa sama-sama. Berketetapan kita kan

ada sebelas.. mereka ketawa disana, kita meneteskan air mata disini...”

(Komunikasi personal, 3 Januari 2012)

Kesepian akan menjadi dalam karena pasangan meninggal tiba-tiba seperti yang dialami oleh Rini. Kesedihan menjadi semakin dalamkarena suaminya meninggal bunuh diri saat dia mengandung anak. Berbeda dengan ibu yang ditinggal pergi suami karena penyakit kronis, mereka sudah mempersiapkan diri saat kehilangan pasangan dalam akhir hidup pasangannya (Sarafino, 2008). Seperti halnya ibu yang mempersiapkan diri kehilangan karena penyakit kronis, ibu yang bercerai biasanya mempersiapkan diri juga untuk kehilangan pasangan dan mengasuh anak sendiri.

Pada proses perceraian, ibu biasanya sudah mempersiapkan diri untuk hidup sendiri dan mengasuh anak sendiri. Persiapan yang dilakukan bisa mengenai masalah finansial dan pengasuhan anak. Meskipun ibu yang bercerai sudah mempersiapkan diri untuk hidup sendiri, ibu tetap merasakan kesepian. Seifert dan Hoffnung (1991) menyatakan bahwa pada proses perceraian orangtua dan anak mengalami proses isolasi dari lingkungan. Hal ini juga dinyatakan oleh Yanjeli (2007) dalam penelitiannya tentang Perbedaan Kesepian pada Ibu tunggal, dimana Yanjeli menemukan pada ibu akan merasakan kesepian akibat perceraian, karena stigma negatif yang ibu terima dari masyarakat.

(22)

17

oleh ibu saat beliau mengasuh anak tanpa bantuan ayah yaitu menghadapi tuntutan peran pengasuhan dengan keterbatasan diri, kebutuhan emosional, kebutuhan seksual, masalah finansial, masalah perawatan sebelum kelahiran danpenjagaan anak-anak, ketidakadaan figur ayah, dan resiko lain dari pengasuhan tunggal. Meskipun banyak tantangan dan masalah yang terjadi saat seorang wanita memilih menjadi ibu tunggal, terjadi peningkatan ibu tunggal diberbagai belahan bumi.

Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan ibu tunggal yang terus meningkat di berbagai belahan bumi. Keluarga tunggal di Amerika Serikat meningkat 20%-27% pada sensus penduduk tahun 2000 dan pada sensus penduduk 1995 keluarga dengan ibu tunggal mencapai 87% dari jumlah keluarga tunggal yang ada (Balson, dalam Roger dkk, 2007), Jepang dengan rasio 364:100,Pakistan (357:100), Jerman (305:100), Filipina (258:100), Amerika Serikat (218:100), Cina (193:100) dan India (295:100) (Gatra,2002). Menurut androlog Susilo Wibowo (dalam Gatra, 2002), Indonesia bisa disebut sebagai negara janda karena perbandingan jumlah janda di Indonesia adalah 469:100, artinya jumlah duda atau pria tidak menikah berusia 60 tahun ke atas jumlahnya hanya seperlima dari jumlah janda (Gatra, 2002).Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar (dalam Tempo, 2012) mengatakan saat ini ada sekitar 7 juta perempuan di Indonesia yang jadi kepala keluarga atau single parent. Peningkatan ini disebabkan juga karena peningkatan perceraian.

(23)

18

ditemukan oleh Mahkamah Agung tahun 2010 (Wolipop, 2011), penyebab utama perceraian adalah masalah ekonomi yaitu suami tak berpenghasilan, masih tinggal dengan orangtua dan masalah ekonomi lain. Penyebab lain adalah perselingkungan oleh pasangan, kekerasan dalam rumah tangga, masalah seksual dan masalah anak. Data menunjukkan bahwa wanita berinisiatif memulai perceraian. Pada tahun 2007, ada 68,9 % perceraian karena gugat dimana istri menggugat cerai suaminya. Bisa disimpulkan bahwa para ibu sudah menjadi lebih siap untuk menerima kondisi menjadi ibu tunggal dan resilien dengan resiko atas pilihannya menjadi ibu tunggal.

Resiliensi menurut Reivich & Shatte (2002) adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannnya. Resiliensi membantu seseorang dalam kesulitan dan kesukaran hidup. Walsh(2006) menyatakan resiliensi adalah lebih dari berjuang, melewati tantangan atau menghindar dari cobaan yang berat. Menurut Walsh, menyatakan bahwa orang yang berjuang bisa tidak resilien beberapa bisa terjebak sebagai korban, karena kemarahan dan rasa bersalah. Resiliensi membuat seseorang mencari jalan keluar di saat ada permasalahan yang ada, tidak hanya diam menunggu pertolongan (Walsh, 2006).Seperti yang dialami oleh Noni, seorang

(24)

19

“kek mana yah dek, namanya kita butuh makan dan tidak mungkin terus

bergantung sama orangtua, sementara adek butuh susu. Jadi kakak pagi-pagi bangun masak, ada sekolah SD disana kan jadi kakak jual nasi bungkus. Kebetulan enak dirasa orang itu, jadi larislah jualan kakak kan

dek, lumayan dapat uang, hehehe....”

“iyah waktu itu orang itu cemburu kadang karena jualan kakak laku jadi

kakak diusir, mau gimana lagi ya kan karena kakak pendatang juga. Jadinya kakak cari kerjalah tempat lain. Kakak tanyalah orang yang cari kerja... terus kakak juga jadi tukang cuci, ada orang karo didekat situ...”

(komunikasi personal, 13 Mei 2013) Reivich & Shatte (2002) menyatakan bahwa orang yang resilien itu akan mengalami pencapaian-pencapaian dalam hidup. Beliau menyatakan bahwa dia lebih nyaman dengan hidupnya sekarang dalam komunikasi personal berikut:

“kerja yang sekarang lebih enak, ga terlalu capek lagi, beda dengan dulu. Pagi-pagi kakak kan nanti urus adek-adek masak, kasih makan sama antar ke sekolah, terus kakakpun kerja nanti jam-jam dua dah siap kerjaan kakak kan, pergi lagi kakak nyuci, udahlah sampe nanti jam 5, nanti pas sore kakak mandikan mereka kan, atau neneknya, malam nanti dah enak bisa istirahat, kadang ajar anak, kadang nonton sama...”

“....sekaranglah dek sudah lebih enak, kalo dulu aku kerja banting tulang

pun ga ada yang bisa aku simpan, kalo sekarang udah bisa dikit-dikit beli

emas buat disimpankan”

(Komunikasi personal, 13 Mei 2013)

Menurut Noni, beliau merasa bangga atas pencapaian yang dia terima yaitu pekerjaan yang lebih nyaman daripada saat bersama suami dan kemampuannya secara finansial, dimana dia sudah bisa menyimpan uang untuk membeli emas. Pencapaian-pencapaian yang dilakukan ibu tunggal akan membuat ibu tunggal semakin bangga terhadap dirinya sendiri.

(25)

20

kondisi ibu tunggal juga membuat ibu merasakan kebanggaan terhadap diri karena mampu menanggung setiap masalah itu sendiri dan tidak bergantung kepada pasangan. Keyakinan diri untuk mampu mengatasi masalah meningkat pada ibu tunggal seiring kemampuannya untuk beradaptasi dan resilien terhadap masalah (Hartanti, 2006).

Schoon (2006) menyatakan ada beberapa hal yang meningkatkan resiliensi seseorang. Salah satunya adalah atribut individu yaitu trait individu seperti keyakinan diri, kecerdasaan, dan pandangan positif tentang masa depan. Menurut Nurheza (dalam Dewi dan Idrus, 2004), perubahan status dari seorang istri menjadi seorang ibu tunggal memerlukan banyak hal, disamping kecerdasan dibutuhkan kepribadian yang kuat, rasa percaya diri dan keberanian bertahan hidup. Kemandirian ibu sebelum perpisahan dengan suami menolong ibu dalam menjalankan peran tunggalnya contohnya ibu yang sebelum perpisahan sudah memiliki pekerjaan. Hartanti (2006) menyatakan bahwa ibu yang sudah bekerja akan memiliki sedikit penyesuaian dibanding ibu yang tidak bekerja.

(26)

21

Adanya social support akan menolong seseorang pada masa-masa sulit. Sarafino (2008) mendefinisikan social support adalah perasaan nyaman, penghargaan, perhatian atau bantuan yang diperolehnya seseorang dari orang lain atau kelompoknya. Orang-orang yang mendapatkan social support percaya bahwa mereka dicintai, berharga. Bagi ibu tunggal sumber social support bisa didapat dari orang-orang di sekitarnya seperti orangtua, sahabat,anak, tetangga dan rekan kerja.

Salah satu orang berarti yang ada di sekitar ibu tunggal adalah anak. Anak menjadi alasan utama yang membuat ibu mampu bertahan dan melewati peristiwa besar seperti perceraian dan kematian suami. Seperti yang dinyatakan oleh Rina, pedagang yang sebelumnya adalah ibu rumah tangga yang ditinggal suaminya karena penyakit kronis dalam wawancara personal berikut:

“...saya gak mikir apa-apa waktu itu dek, saya gak berpikir sedih waktu itu, tapi kayak mana nanti anak-anak ini, mau sedih pun kan, buat apa sementara anak saya ada 3 yang masih sekolah sementara saya sebelumnya tidak bekerja..., Saya hanya berpikir keras apa yang saya buat biar bisa makan untuk anak-anak ini nanti ..., lalu saya mulai untuk memulai usaha, jualan di rumah ya kan, awalnya dulu saya jual bunga, kebetulan dek saya suka dengan tanaman, tetapi besar modalnya jadi saya ganti jual kue, jual baju dan jual apa ajalah....”

(komunikasi personal, 18 Agustus 2012) Anak menjadi alasan ibu untuk bertahan.Anak menjadi menjadi kekuatan untuk resilien bagi ibu tunggal dalam tekanan yang ada.

(27)

22

tunggal, menemukan bahwa dalam pemecahan masalah kenakalan anak dan masalah finansial, ibu tunggal meminta bantuan dari keluarganya. Laksono menyatakan bahwa pihak keluarga menyediakan bantuan informasi untuk menyelesaikan masalah berupa nasehat (Laksono, 2008)

Ibu tunggal mendapatkan bantuan dari orang di sekitarnya baik materi maupun non materi berupa saran, nasehat, informasi dan kehadiran. Adanya bantuan tersebut membuat beban ibu tunggal menjadi lebih ringan dalam mengatasi tuntutan dan masalah dalam kehidupan. Seorang yang resilien akan berusaha mencari dukungan kepada orang-orang di sekitarnya. Sementara individu yang kurang resilien merasa sulit berbagi mengenai pengalamannya dengan orang lain. Kurangnya dukungan orang lain lain akan menghambat penyembuhan(Reiveich & Shatee dalam Nasution, 2011).

Ada banyak penelitian yang menunjukkan hubungan antara social support dengan resiliensi seseorang menghadapi masalah. Efek social support

pada resiliensi diterima secara umum (Browning, dkk, 2010). Walsh mengemukakan bahwa individu yang resilien akan lebih sering menceari social support dibandingkan individu yang tidak resilien. Adanya pengaruh social support pada resiliensi dalam masa ketertekanan membuat peneliti ingin melihat pengaruh dukungan sosial dan resiliensi pada ibu tunggal.

B. Rumusan Masalah

(28)

23 C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap pengaruh variabel Social Support pada Resiliensi Ibu Tunggal.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan bidang ilmu psikologi, yaitu dalam bidang Psikologi Klinis terutama dalam menjelaskan Resiliensi dan variabel-variabel yang mempengaruhiny

2. Manfaat Praktis

a. Memberi informasi kepada para ibu tunggal mengenai resiliensi dan social support

b. Memberi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat khusus masalah perempuan dalam peningkatan resiliensi dan pemberian social support yang tepat.

c. Memberi pemahaman kepada masyarakat luas mengenai kondisi ibu tunggal, social support dan resiliensi, dan pemberian social support yang tepat bagi ibu tunggal.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan

(29)

24 Bab II : Landasan Teori

Bab ini berisi teori-teori kepustakaan yang digunakan sebagai landasan di dalam penelitian ini, diantaranya teori tentang Resiliensi, Social Support dan Ibu Tunggal. Bab ini juga mengemukakan hipotesis penelitian sebagai dugaan sementara terhadap masalah penelitian.

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai identifikasi variabel, metode pengumpulan data, subjek/partisipan penelitian, desain penelitian, tehnik pengambilan sampel, prosedur penelitian, dan teknik analisa data.

Bab IV : Hasil dan Pembahasan

Bab ini berisi uraian mengenai hasil utama penelitian serta pembahasan. Bab V : Kesimpulan dan Saran

(30)

25 BAB II

LANDASAN TEORI

A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Resilience is popularly understood as the degree of elasticity in a system, its ability to rebound or bounce back after experiencing some stress or shock” ( Pelling, 2011)

Pelling (2011) menyatakan bahwa resiliensi secara umum dimengerti sebagai derajat elastisitas dalam sistem, kemampuan untuk rebound (memantul) atau bounce back (melambung kembali) setelah merasakan stress atau goncangan. Kata resiliensi sendiri berasal dari kata “resilience” yang artinya daya pegas, daya

kenyal. Gotberg (1999) melihat resiliensi sebagai kapasitas indvidu untuk menghadapi, mengatasi, memperkuat diri dan tetap melaksanakan perubahan dalam ujian kehidupan Kapastitas itulah yang membuat seseorang bisa bertahan dan mampu beradaptasi dalam masa kesukaran.

Hal ini juga sejalan dengan definisi definisi dari Reivich dan Shatte (2002) tentang resiliensi, yaitu kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan. Kondisi

(31)

26

Walsh (2006) menyatakan setiap individu memiliki stress kehidupan dalam dirinya, beberapa memiliki trauma, yang lain memiliki luka-luka, ada juga yang mengalami peristiwa yang menggoncangkan. Walsh (2006) menambahkan bahwa resiliensi berbicara mengenai kemampuan untuk menangani kesukaran: apakah trauma bisa tidak terselesaikan atau tidak atau apakah pengalaman kesukaran akan menghancurkan diri seseorang atau tidak. Hal serupa dinyatakan oleh Cougle, dkk (2008) resiliensi membuat seseorang bisa bertahan dan bebas secara emosional terhadap sebuah trauma. Kaplan dalam Vambreda (2001) mengemukakan bahwa resiliensi adalah sebuah konstruk psikologis yang didefinisikan dalam hal kehadiran faktor protektif (personal, sosial, keluarga dan jaringan institusi) yang membuat individu bertahan dalam stress kehidupan.

Berdasarkan definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan dan kapasitas individu yang memampukan individu beradaptasi dan mengatasi masa kesukaran atau trauma kehidupan, kemampuan ini bahkan membuat individu mengalami pencapaian-pencapaian kehidupan.

2. Faktor-faktor Resiliensi

Ada tujuh faktor yang membentuk kemampuan resiliensi. Ketujuh faktor ini bisa diukur, dipelajari dan ditingkatkan (Reivich dan Shatte, 2002):

a. Regulation Emotion

(32)

27

dapat mempengaruhi bagaimana kita beraktivitas maka kita harus tenang dan berpikir jernih. Kita bukan membuang emosi negatif tersebut tetapi mengekspresikannya dengan cara yang tepat. Regulasi diri penting untuk membentuk hubungan yang intim, sukses dalam bekerja dan menjaga kesehatan fisik.

b. Impulse Control

Orang yang mampu mengontrol dorongannya, menunda kepuasan kebutuhannya akan lebih sukses secara sosial dan akademi. Orang yang kurang mampu mengontrol dorongan berarti memiliki “id” yang lebih besar dan

“superego” yang kurang. Seperti ketika seseorang sedang marah mungkin orang

tersebut akan berteriak atau beradu argumen, impulse control membuat orang tersebut memutuskan untuk berperilaku yang tidak memperburuk keadaan mungkin ia akan diam dan meredakan amarahnya. Pola khasnya adakah merasa bergairah ketika mendapatkan pekerjaan baru, melibatkan diri sepenuhnya, namun tiba-tiba kehilangan minat dan meninggalkan pekerjaannya. Regulation emotion

dan impulse control merupakan hal yang berhubungan. Jika impulse control

tinggi maka kecenderungan regulation emotion juga tinggi. Ketika impulse control kita rendah maka kita akan berperilaku menggunakan dorongan atau impuls yang pertama kita yakin benar contohnya jika saat orang marah yang pertama kali diinginkan ialah berteriak maka ia akan melakukan hal tersebut.

c. Optimism

(33)

28

masa depan dan yakin bahwa mereka dapat mengatur bagian-bagian kehidupan mereka. Orang yang optimis memiliki kesehatan yang baik. memiliki kemungkinan kecil untuk mengalami depresi, berprestasi lebih baik di sekolah, lebih produktif dalam pekerjaan dan berprestasi dalam berbagai bidang. Optimis tentu saja melihat masa depan sebagai sesuatu yang relatif cerdas atau cemerlang.

Optimism menunjukkan bahwa kita yakin memiliki kemampuan untuk mengatasi segala kesusahan yang akan terjadi di masa depan. Optimism bukan hanya melihat hal positif saja dan menutup mata tentang kejadian negatif, tapi melihat sesuatu hal yang dapat dilakukan dengan cara yang terbaik, kemampuan untuk mempertahankan pandangan positif tanpa menyangkal suatu kenyataan.

d. Causal Analysis

Causal analysis menunjukkan bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalahnya secara akurat. Jika seseorang mampu mengidentifikasikan penyebab masalah secara akurat, maka ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama terus menerus.

e. Emphaty

(34)

29

f. Self Efficacy

Self Efficacy menggambarkan perasaan seseorang tentang seberapa efektifnya ia berfungsi di dunia ini. Hal itu menggambarkan keyakinan bahwa kita dapat memecahkan masalah, kita dapat mengalami dan memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk sukses. Orang yang memiliki self-efficacy percaya bahwa mereka memiliki apa yang diperlukan untuk mengatasi sebagian besar dari masalah yang mereka hadapi dan bangkit kembali dari situasi yang sulit tersebut. Sikap ini mempengaruhi kemampuan mereka untuk bertahan dan mempertahankan pandangan yang realistis dan optimis dengan masa depan

g. Reaching out

Resiliensi bukan hanya tetang mengatasi, melewati dan keluar dari masalah, resiliensi juga meningkatkan aspek kehidupan kita. Resiliensi adalah kemampuan untuk keluar (reach out) dari zona nyaman dan mengejutkan sejumlah orang yang tidak bisa melakukannya. Mereka tidak terperangkap dalam suatu rutinitas-rutinitas, mereka memiliki rasa ingin tahu dan ingin mencoba hal-hal baru dalam lingkungan kehidupan mereka. Bagian terpenting dari reaching out ialah menjadi akurat dan realistik tentang bagaimana kita dapat mengatasi sesuatu hal dan meminta pertolongan jika kita butuh. Kita mencari dukungan dari teman, rekan kerja, komunitas dan para profesional.

(35)

30 3. Faktor Protektif Resiliensi

Faktor protektif memerankan peran penting dalam mengurangi efek negatif dari kesulitan hidup dan menguatkan resiliensi. Beberapa individu berhasil mengatasi rintangan dan menghancurkan lingkaran setan. Penelitaian sebelumnya meunjukkan bahwa tiga variabel yang berperan sebagai faktor protektif yang menghalangi dampak dari pengalamana yang menyulitkan. Faktor-faktor ini adalah(Schoon dalam Schoon, 2006):

a. Atribut-atribut individu

Atribut-atribut individual yang menunjukkan faktor protektif individu seperti menunjukkan performa yang baik saat tes akademik di sekolah, lebih sedikit menunjukkan masalah perilaku, memiliki banyak hobi, jarang menjadi orang yang mudah diserang oleh teman sebaya, menunjukkan keyakinan yang kuat akan kemampuan diri sendiri, individu menunjukkan perencanaan yang baik dengan rekan kerja dan pilihan berkarir, dan memiliki pandangan yang positif pada hidup.

b. Karakteristik keluarga

Karakteristik keluarga diasosiasikan dengan penyesuaian positif selama masa kanak-kanak dan remaja termasuk lingkungan keluarga yang stabil dan mendukung hal ini dikarakteristikan dengan orang tua yang mampu memahami anak, aktif dan ikut berpartisipasi dalam pendidikan anak dan perencanaan karir.

c. Aspek konteks sosial yang lebih luas

(36)

31

kemampuan murid serta mendorong dan mendukung perjuangan pendidikan dan pekerjaan murid. Lingkungan sekolah juga berperan penting dalam membantu perkembangan adaptif. Selain itu, dorongan komunitas yang positif seperti dukungan tetangga dan rasa saling memiliki dalam komunitas.

4. Fungsi Resiliensi

Penelitian menunjukkan bahwa manusia memiliki empat penggunaan resiliensi dalam kehidupan yaitu (Reivich dan Shatte, 2002)

1. Mengatasi hambatan-hambatan pada masa kecil

Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk mengatasi dampak-dampak kejadian buruk yang terjadi pada masa kecil kita dan bertanggung jawab untuk menciptakan masa dewasa yang kita inginkan. Seseorang tidak bisa mengubah masa lalunya tetapi seseorang bisa tetap bebas dari kesulitan masa lalunya dan bekerja keras untuk keluar dari kesulitan tersebut. Ini membutuhkan kemampuan untuk tetap fokus dan membuat perbedaan antara bagian mana yang bisa dikontrol dan bagian mana yang tidak bisa.

2. Melewati tantangan-tantangan dalam kehidupan keseharian

Kita setiap hari membutuhkan resiliensi karena setiap orang berhadapan dengan masalah, tekanan dan pertengkaran. Orang yang resilien menggunakan kemampuan yang ada dalam dirinya untuk mengatasi pekerjaan berat yang terus menerus dialaminya. Hidup penuh dengan tekanan dan pertengkaran, jika kita resilien kita tidak akan membiarkan kesukaran tiap hari mengganggu produktivitas dan kesejahteraan kita.

(37)

32

Dalam kehidupan dewasa, adakalanya kita hidup dengan melawan kesulitan besar, sebuah kejadian besar yang mengubah kehidupan kita seoerti kehilangan pekerjaan, perceraian, kematian dan lain-lain. Kondisi adalah krisis mau ta mau yang membutuhkan resiliensi. Dr. Judith Herman, penulis Trama and Recovery menjelaskan bahwa resilien meningkatan resistensi kepada tekanan dan kesempatan untuk PTSD berkembang. Mereka menunjukkan gaya coping task oriented – incremental Bergantung kepada resiliensi kita, kita akan merasa tidak berdaya atau kita melambung dan menemukan jalan keluar.

4. Mencapai prestasi terbaik

Kita juga akan mengembangkan kegunaan keempat dari resiliensi yang lebih penting dari keinginan untuk melindungi dan menjaga diri kita. Orang yang ingin mencapai tujuan dan menemukan makna baru dan tujuan hidup dan terbuka kepada pengalaman juga tantangan dapat menggunakan resiliensi untuk reach out

sehingga bisa mencapai apa yang kita mampu kerjakan. B.Social Support

1. Definisi Social Support

Cobb dalam Winnubst & Schabraq (1996) mendefinisikan bahwa social support mendefinisikan sejumlah informasi yang meyakinkan seseorang bahwa orang lain peduli kepada mereka (care support) menghormati dan menghargai

(38)

33

bahwa social support bukan hanya menyangkut jumlah teman tetapi kepuasan dangan dukungan yang diberikan(Sarason dalam Ogden, 2000).

Odgen menyatakan (2000), istilah dukungan sosial secara umum mengacu kepada kenyamanan, kepedulian dan penghargaan individu yang dirasakan dari orang lain (Ogden, 2000). Hal ini didukung oleh pendapat Will (dalam Sarafino 2008) yang menyatakan social support mengacu pada kenyamanan yang diterima, perhatian, menghargai, atau membantu penerimaan diri seseorang dari orang lain ataupun kelompok. Dukungan ini datang dari berbagai sumber, pasangan atau kekasih, keluarga, teman, rekan sekerja, dokter, atau organisasi komunitasMenurut Sidney Cobb(dalam Sarafino, 2008), orang dengan social support yang tinggi percaya mereka dicintai dan diperhatikan, dihargai dan dinilai berarti dan bagian dari sebuah grup seperti keluarga atau organisasi yang bisa saling menyediakan kebutuhan, melayani dan menjaga ketika dibutuhkan atau dalam bahaya (Sarafino, 2008).

Social support juga dikaitkan dengan kemampuan yang membantu seseorang menghadapi stress. Lazarus dan Folkman mendefinisikannya sebagai sumber dari personal dan sosial yang membuat individu mampu melakukan

(39)

34

mengatasi stres yang dialaminya. Dan hal ini ditegaskan oleh Broman dalam Taylor dkk (2000) bahwa social support secara efektif menurunkan tekanan psikologis dalam masa-masa yang sulit.

Berdasarkan defenisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa social support adalah bentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi, dan informasi yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman, saudara, rekan kerja ataupun atasan atau orang yang dicintai oleh individu yang bersangkutan. Bantuan atau pertolongan ini diberikan dengan tujuan individu yang mengalami masalah merasa diperhatikan dan didukung sehingga mampu mengatasi masalah yang dia hadapi.

2. Bentuk-bentuk Social Support

Dukungan sosial (social support) memberi empat fungsi penting (Cutrona, Russell&Uchino dalam Sarafino, 2006), yaitu:

a. Emotional or esteem support

Menyangkut adanya empati, perhatian, kepedulian, berpandangan positif, dan memberikan dorongan atau semangat terhadap seseorang. Dukungan ini memebrikan kenyamanan dan jaminan dengan rasa saling memiliki dan dicintai pada masa sulit.

b. Tangible or instrumental support

(40)

35

c. Informational support

Memberikan informasi yang bisa digunakan penerima untuk mengatasi masalah. Dukungan ini meliputi pemberian nasehat, pengarahan, saran atau

feedback mengenai apa yang sedang dilakukan seseorang.

d. Companionship support

Mengacu kepada dengan keberadaan seseorang untuk menghabiskan waktu bersama orang lain, dengan demikian memberikan perasaan keanggotaan di dalam kelompok yang berbagi minat dan aktivitas sosial.

(41)

36 3. Cakupan Social Support

Menurut Saranson (1983), dukungan sosial itu selalu mencakup 2 hal yaitu;

1. Jumlah sumber dukungan sosial yang tersedia

Merupakan persepsi individu terhadap sejumlah orang yang dapat diandalkan saat individu membutuhkan bantuan (pendekatan berdasarkan kuantitas).

2. Tingkat kepuasan akan dukungan sosial yang diterima

Tingkatan kepuasan akan dukungan sosial yang diterima berkaitan dengan persepsi individu bahwa kebutuhannya akan terpenuhi (pendekatan berdasarkan kualitas).

b. Ibu Tunggal

1. Definisi Ibu Tunggal

Schacht & Knox (2010) mendefinisikan bahwa keluarga orangtua tunggal adalah dimana salah satu orangtua sudah tidak ada lagi dikarenakan kematian, donasi sperma, atau keluarga tidak memiliki kontak dengan keluarga yang lain. Keluarga single-parent, keluarga yang menjalankan pengasuhan sendirian.

Degenova membagi bentuk keluarga tunggal ini dengan dua pola yaitu single fatherhood dan single motherhood. Single fatherhood adalah pengasuhan yang dilakukan oleh ayah tunggal dan single motherhood adalah pengasuhan yang dilakukan oleh ibu tunggal.

(42)

37

membiayai, dan mebesarkan anak tanpa penglibatkan aktif suami (yang hilang upaya atau meninggalkan keluarga). Beliau menegaskan bahwa seorang wanita dikatakan sebagai Ibu Tunggal sekiranya :

a. Wanita yang kematian suami dan sedia meneruskan tugas membesarkan anak-anak.

b. Wanita yang telah bercerai dengan suami dan diberi hak penjagaan ke atas anak-anaknya.

c. Wanita yang tidak diberi nafkah oleh suami untuk hidupnya dan anak-anaknya.

d. Wanita yang berada di dalam proses penceraian (yang mungkin akan mengambil masa yang panjang).

e. Wanita yang membesarkan anak tanpa pertolongan suami misalnya suami kerja diluar kota.

Sehingga, bisa disimpulkan bahwa ibu tunggal adalah wanita yang membesarkan bantuan anak tanpa bantuan dari pasangannya.

2. Peran Pengasuhan oleh Ibu Tunggal

(43)

38 a. Peran sebagai Ayah

Peran ayah sebagai kepala rumah tangga sering terfokus hanya pada usaha memenuhi kebutuhan keluarga terutama masalah keuangan. Peran ayah yang lain adalah sebagai pelindung, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

b. Peran sebagai ibu

Adapun peranan ibu adalah sebagai ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.

Kedua peran itu dilakukan sendirian oleh ibu tunggal dan berusaha diseimbangkan. Tetapi adakalanya ibu kesulitan mengelola diri untuk melakukan kedua peran tersebut.

3. Tantangan yang Dihadapi Ibu Tunggal

Peran sebagai ibu tunggal adalah peran yang sulit. Ibu tunggal akan mengalami banyak tantangan dalam hidupnya. Adapun beberapa tantangan yang umumnya dialami oleh ibu tunggal adalah sebagai berikut:

a. Masalah finansial

(44)

39

Degenova, 2008). Kesulitan keuangan pada ibu tunggal mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Hal ini akan berakibat pada efek ketidakadaan ibu yang berakibat pada anak.

b. Mengatasi tuntutan hidup dalam berbagai keterbatasan

Ada banyak tuntutan yang dialami oleh Ibu Tunggal. Salah satu tuntutan terbesar yang di alami oleh ibu tunggal adalah menjaga kebutuhan fisik, emosi dan kedisiplinan anak-anaknya sendirian (Knox & Schact, 2012 ). Berbagai kebutuhan hidup harus ditanggung Ibu Tunggal untuk anaknya seperti biaya hidup, sekolah dan kebutuhan mendesak lainnya. Ibu harus mengisi peran ayah yaitu pengarah, pelindung dan kepala bagi anak. Dan tetap menjadi ibu sebagai pengasuh, pemberi kehangatan dan pendengar bagi anak. Ibu bisa mengalami role strain karena banyaknya peran yaitu: ibu bekerja, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, mencuci baju, membayar tagihan-tagihan setiap bulan, dan memperhatikan kebutuhan emosional anak (DeGenova, 2008). Banyak keluarga pengasuhan tunggal menyelesaikan masalah dengan mendapatkan bantuan dari orangtua, teman, keluarga besar atau mencari pembantu rumah tangga.

c. Kurangnya kebutuhan emosional

(45)

40

beban ibu akan semakin berat sebagai ibu tunggal. Beberapa ibu tunggal menyelesaikan masalah ini dengan koneksi kepada teman-temannya (Knox & Schact, 2010)

d. Kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan seksual

Beberapa ibu tunggal yang memiliki pacar, memandang peran pengasuhan menganggu hubungan seksual. Hal ini akan menyulitkan mereka dalam memenuhi kebutuhan seksual mereka karena ketiadaan pasangan. Di Amerika Serikat, ibu tunggal yang memiliki pacar memiliki kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan seksual, mereka takut anak mereka akan mengetahuinya dan merasa frustasi jika harus berkencan meninggalkan anak untuk memenuhi kebutuhan seksualnya (Knox & Schact, 2010).

e. Ketiadaan peran Ayah

Konsekuensi lain dari anak-anak dengan ibu tunggal adalah mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan hubungan emosional yang suportif dengan ayah mereka (Knox & Schact, 2010). Ketiadaan ayah ini membuat ibu harus menggantikan peran ayah bagi anak-anak.

4. Karakteristik Ibu Tunggal yang Sukses

(46)

41

a. Penerimaan dari tanggung jawab dan tantangan sebagai ibu tunggal

Ibu tunggal yang sukses melihat diri mereka menjadi orang yang paling bertanggung jawab kepada keluarga. Mereka menetapkan diri untuk melakukan yang terbaik yang mereka bisa lakukan

b. Pengasuhan menjadi prioritas utama

Dalam menyeimbangkan keluarga dan pekerjaan, pengasuhan menjadi hal yang terutama. Hubungan yang romantic diseimbangkan dengan keutuhan keluarga

c. Konsisten dalam disiplin

Ibu tunggal yang sukses yang menyadari perkembangan anak membutuhkan disiplin. Mereka mengadopsi gaya otoritatif dalam disiplin dan menolong mereka dalam mengembangkan kemandirian.

d. Menekankan pada komunikasi terbuka

Mereka menghargai dan mendukung anak-anak untuk mengeluarkan perasaan dan ide-ide. Orangtua juga menunjukkan perasaan mereka kepada anak e. Mendukung individualitas dalam keluarga

Anak-anak didukung untuk mengembangkan tujuan dan minat mereka, perbedaan diharga di keluarga tersebut

f. Menghargai kebutuhan merawat diri

(47)

42 g. Dedikasi kepada ritual dan tradisi

Ibu tunggal sukses menjaga dan mengembangkan ritual-ritual dalam keluatga seperti membacakan cerita pada anak, doa keluarga atau meditasi, duduk bersama selama makan malam minimal semunggu sekali, piknik pada hari minggu, mengunjungi nenek atau menonton televisi bersama.

D. Pengaruh Social Support terhadap Resiliensi Ibu Tunggal

Hastuti (2008) menyatakan pengasuhan dilakukan untuk memenuhi aspek fisik dan non-fisik pada anak agar anak bisa hidup dengan mandiri di masa yang akan datang. Pengasuhan mencakup pengasuhan makan, pengasuhan hidup sehat, pengasuhan akademik, pengasuhan sosial emosi, serta pengasuhan moral dan disiplin. Pengasuhan umumnya dilakukan oleh ayah dan ibu sesuai dengan perannya masing-masing. Akan tetapi beberapa kejadian seperti perceraian dan kematian suami bisa membuat Ibu melakukan pengasuhan tunggal. Pada saat itu, Ibu yang menjalani pengasuhan tunggal bukan hanya menangani masalah rumah tangga tetapi juga coping terhadap perpisahan.

(48)

43

(2007) menunjukkan bahwa Ibu tunggal bercerai mengalami kesepian yang lebih dalam dibanding ibu tunggal akibat kematian pasangan. Hal ini disebabkan oleh pandangan masayarat dan stigma masyarakat akibat perceraiannya sehingga ibu mengalami isolasi sosial (Sinaga, 2007).

Pengasuhan tunggal akan menambah beberapa tantangan dalam kehidupan ibu tunggal yaitu masalah finansial, tuntutan rumah tangga dan keterbatasan diri, kebutuhan emosional, seksual dan ketiadaan peran Ayah (Knox & Schact, 2010). Masalah finansial menjadi lebih berat bagi ibu tunggal, dalam sebuah penelitian banyak ibu tunggal menyatakan finansial adalah masalah terbesar dalam hidup mereka (Zhan & Pandey dalam De Genova, 2008). Masalah ekonomi ini bisa berdampak negatif bagi anak seperti masalah figur Ayah dan pendidikan, contohnya menurut hasil penelitian, dibandingkan dengan keluarga lengkap, keluarga tunggal memiliki anak dengan nilai rendah pada konsep diri, pencapaian akademik dan kompetensi diri dan nilai tinggi pada masalah perilaku (De Genova, 2008).

Walsh (2006) mengungkapkan Ibu yang gagal melakukan coping

(49)

44

tunggal masalah-masalah tersebut bisa diatasi dan menjadi ibu tunggal yang sukses.

Proses untuk kembali beradaptasi seperti semula disebut resiliensi. Resiliensi adalah kapasitas untuk melambung dari kesukaran hidup. Walsh (2006) mengungkapkan ini adalah proses aktif dari ketahanan, perbaikan diri dan pertumbuhan dalam merespon tantangan. Hal ini menolong ibu tetap kuat dan bertahan meskipun ada banyak kesulitan dalam mengasuh anak sendirian. Ibu yang resilien tidak hanya akan bertahan tetapi berjuang untuk mendapatkan hasil yang positif. Sesuai dengan pernyataan Walsh (2006) bahwa individu yang resilien percaya bahwa akan membuang waktu jika hanya menyesak dan mengobati luka, akan lebih baik jika melihat kembali apa yang sudah terjadi dan mencoba mengambil pelajaran.

(50)

45

Ada banyak penelitian yang mendukung hubungan dukungan sosial dan resiliensi. Walsh (2006) menyatakan bahwa hasil banyak studi menunjukkan bahwa individu yang resilien akan lebih sering mencari dukungan sosial dibandingkan individu yang tidak resilien. Adanya hubungan postif dukungan sosial dan resiliensi memang sudah terbukti. Akan tetapi tidak semua dukungan sosial akan berfungsi positif pasa stressful event.

Berkman dalam Sarafino (2006) menyatakan dukungan sosial tidak selalu mengurangi stress dan bermanfaat bagi kesehatan, apabila kita tidak menganggapnya sebagai dukungan. Penelitian yang telah dilakukan Lestari (2007) kepada penyintas pasca gempa di Desa Canan, Kecamatan Wedi Kabupaten Klaten tentang bentuk dukungan sosial dan resiliensi menyimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dan dukungan jaringan sosial dengan tingkat resiliensi paska gempa di Desa Canan. Sedangkan, dukungan instrumental tidak memiliki hubungan dengan tingkat resiliensi penyintas gempa sehingga semakin tinggi dukungan instrumental bukan berarti tingkat resiliensi paska gempa di Desa Canan akan semakin tinggi pula.

(51)

46

Carolyn Uctrona dan Dabiel Russel (dalam Sarafino 2008) menyatakan bentuk matching support yang disesuaikan dengan kebutuhuan. Dukungan instrumental adalah beberapa hal yang bernilai untuk stressful event yang bisa dikontrol, kita bisa mencapai tujuan atau menghindari situasi sebelum menjadi lebih sulit. Dukungan emosional adalah untuk masalah yang tidak bisa dihindari seperti kehilangan orang yang dikasihi, tetapi tipe dukungan bisa dibutuhkan, contohnya jika masalah yang tidak bisa dihindari seperti kehilangan pekerjaan, dukungan penghargaan dan tangible akan menolong (Sarafino, 2008).

(52)

47

ibu dalam perawatan anak. Bantuan informasional juga dibutuhkan oleh ibu tunggal yang tidak memiliki kapasitas dalam bekerja (4) Companionship support, mengacu kepada dengan keberadaan seseorang untuk menghabiskan waktu bersama orang lain, dengan demikian memberikan perasaan keanggotaan di dalam kelompok yang berbagi minat dan aktivitas sosial (Sarafino, 2006).

E.Hipotesis Penelitian

(53)

48 BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif regresi. Menurut Bordens (2005) dalam studi regresi, ketertarikan utama peneliti adalah untuk melihat pengaruh variabel satu bebas terhadap variabel tergantungng berkaitan dan bagaimana arah, kekuatan, serta bentuk dari pengaruh tersebut

A. Identifikasi Variabebel Penelitian

Variabel pada penelitian ini adalah: 1. Variabel independen yang terdiri dari:

a. Esteem/emotional support

b. Informational support

c. Instrumental support

d. Companionship support

2. Variabel dependen yaitu : Resiliensi B. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Resiliensi

(54)

49

regulasi emosi, impulse control, optimism, causal analysis, empati, efikasi diri dan reaching out.Ketujuh faktor yang membentuk resiliensi akan dinilai sebagai satu kesatuan dan secara keseluruhan sehingga membentuk skor resiliensi. Individu yang memiliki skor tinggi akan memiliki kemampuan beradaptasi yang baik. Sementara individu yang memiliki skor rendah akan memiliki kemampuan adaptasi yang rendah.

2. Social Support

Dukungan sosial adalah evaluasi subjektif mengenai bentuk pertolongan yang diberikan oleh orang terdekat. Dukungan sosial ini dibagi ke dalam 4 tipe, yaitu:

a. Emotional or esteem support

Dukungan sosial ini menyangkut adanya empati, perhatian, kepedulian, berpandangan positif, dan memberikan dorongan atau semangat terhadap seseorang. Orang yang memiliki skor tinggi akan merasakan adanya perhatian dan kepedulian dari orang sekitarnya sehingga dia merasa berarti bagi orang sekitarnya. Sementara orang yang memiliki skor rendah akan merasa orang disekitarnya tidak memperhatikan dan peduli kepadanya.

b. Tangible or instrumental support

(55)

50 c. Informational support

Dukungan sosial ini meliputi pemberian nasehat, pengarahan, saran atau

feedback mengenai apa yang sedang dilakukan seseorang. Orang yang memiliki skor tinggi menilai mendapatkan bantuan-bantuan dari orang sekitarnya berupa nasehat-nasehat, arahan dan saran pada saat individu tersebut membutuhkannya. Sementara orang yang memiliki skor rendah menilai tidak mendapatkan bantuan dari orang sekitarnya baik berupa nasehat, arahan dan saran pada saat individu tersebut membutuhkan

d. Companionship support

Dukungan sosial ini mengacu kepada dengan keberadaan seseorang untuk menghabiskan waktu bersama orang lain, dengan demikian memberikan perasaan keanggotaan di dalam kelompok yang berbagi minat dan aktivitas sosial. Orang yang memiliki skor tinggi menilai bahwa dirinya memiliki orang-orang terdekatnya untuk menghabiskan waktu bersama. Sementara orang yang memiliki skor rendah menilai bahwa individu tersebut tidak memilki orang terdekat untuk menghabiskan waktu bersama seperti hobi.

C. Populasi, Sampel, dan Metode Pengambilan Sampel

1. Populasi dan Sampel

(56)

51

1. Wanita yang bercerai/kehilangan suami/tidak memiliki suami memiliki anak minimal satu. Dipilih untuk penelitian ini sesuai dengan statusnya untuk melihat perannya sebagai orangtua karena bercerai maupun kehilangan suami, hal ini bertujuan untuk melihat perannya sebagai orangtua. Berbeda dengan wanita yang bercerai atau kehilangan suami tanpa pasangan

2. Minimal menjadi ibu tunggal selama satu tahun. Masa satu tahun awal merupakan masa dukacita bagi individu yang dikarenakan kematian suami sehingga dianggap normal apabila pada saat itu individu belum resilien dan masih dalam dukacita.

Mengingat keterbatasan peneliti dalam menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti akan memilih subjek penelitian yang dapat mewakili populasi. Menurut sugirarto dkk. (2003) sampel adalah sebagian anggota populasi yang dipilih dengan menggunakan prsedur tertentu sehingga dapat mewakili sampel. Sampel dari penelitian ini adalah ibu tunggal sesuai dengan kriteria populasi yang tertera di atas.

.

3. Metode Pengambilan Sampel dan Jumlah sampel

(57)

52

kerangka sampel yang memadai. Tehnik aksidental dipilih berdasarkan kemudahan (covenience), sampel dapat terpilih karena berada apada waktu, situasi dan tempat yang tepat.

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adaah 60 orang. Kumar (2000) menyatakan jumlah sampel tergantung pada level mana kepercayaan yang kamu inginkan pada hasil tes, derajat keakuratan populasi yang diharapkan dan estimasi variasi atau standar deviasi pada populasi. Semakin besar sampel semakin akurat estimasinya tetapi biaya penelitian juga menentukan sampel tes. Azwar (2008) menyatakan menurut statistik tradisional sampel 60 sudah cukup banyak. Inilah alasan peneliti mengambil sampel 60 orang.

D. Instrumen/Alat Ukur yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode self-reports.

Menurut Hadi (2000) metode self-reports berasumsi bahwa:

a. Partisipan adalah orang yang paling tahu tentang dirinya sendiri.

b. Apa yang dinyatakan partisipan kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.

(58)

53

pertanyaan yang akan memberikan informasi demografis seperti usia, jumlah anak, lama menjadi ibu tunggal dan pekerjaan.

1. Alat Ukur Resiliensi

Variabel Resiliensi diukur menggunakan alat ukur Resiliensi yang dibuat oleh Reivich dan Shatte(2002). Peneliti menerjemahkan skala ini ke dalam Bahasa Indonesia. Berikut blue print dari skala tersebut:

FAKTOR NOMOR AITEM BOBOT JUMLAH

AITEM

FAV UNFAV

Regulation Emotion 13,25,25,26,56 2,7,23,31 14,28% 8 Impulse Control 4,15, 42, 47 11,6,8,55 14,28% 8

Optimism 18,27,32,53 3,33,39,43 14,28% 8

Causal Analysis 12,19,21,48 1,41,44,52 14,28% 8

Emphaty 10,3,37,46 24,30,50,54 14,28% 8

Self Efficacy 5, 28, 29,49 9,17,20,22 14,28% 8

Reaching Out 6, 8, 14, 40 16,35,45,41 14,28% 8 Tabel 1. Blue print Skala Resiliensi Sebelum Uji Coba

(59)

54 2. Alat UkurSocial Support

[image:59.595.107.530.227.333.2]

Skala social supprtmengukur 4 bentuk dukungan sosial. Pembuatan skala ini mengacu pada teori tipe dukungan sosial yag dikemukakan oleh Sarafino (2008) yang berisi 27 aitem. Berikut blue print dari Skala Dukungan Sosial:

Tabel 2. Blue print Skala Social support Sebelum Uji Coba

Bentuk Dukungan Sosial NOMOR AITEM BOBOT JUMLAH

AITEM

FAV UNFAV

Esteem/emostional support 1,6,7,15 5,8,20,23 25% 8 Informational support 2,10,14,26 9,27 25% 6 Instrumental support 11,12,19 17,21,22 25% 6 Companionship support 3,16,24,25 4,13,18 25% 7

Penyusunan skala Social support dibuat dalam bentuk skala likert. Untuk masing-masing aitem, pilihan jawaban bergerak dari sangat tidak setuju sampai sangat setuju. Pada aitem favorable, semakin tinggi skor partisipan pada masing-masing aspek berkontribusi pada semakin tingginya bentuk Social support. Sebaliknya semakin rendah skor pada masing-masing aspek akan berkontribusi pada semakin rendahnya bentuk Social support yang diterima individu tersebut. Hal ini berlaku kebalikannya pada aitem-aitem unfavorable.

E. Uji Coba Alat Ukur Penelitian

Menurut Suryabrata (2008) uji coba merupakan langkah yang sangat penting dalam proses pengembangan instrumen karena dari uji coba inilah diketahui informasi mengenai mutu instrumen yang dikembangkan. Syarat utama uji coba alat ukur adalah bahwa karakteristik subjek uji coba harus sama dengan karakteristik subjek penelitian.

(60)

55

a. Untuk melihat apakah pernyataan setiap aitem dapat dimengerti dan mudah dipahami oleh responden.

b. Untuk melihat apakah alat ukur mampu mengungkap hal yang hendak diukur dengan baik.

Uji coba alat ukur meliputi uji validitas, uji daya beda aitem, dan reliabilitas. 1. Uji Validitas

Menurut Surybrata (2000) Validitas isi tes menunjuk kepada sejauh mana alat tes, yang merupakan seperangkat soal-soal, dilihat dari isinya memang mengukur apa yang dimaksud. Validitas isi tes ditentukan melalui pendapat profesinal dalam telaah soal. Dalam penelitian ini pendapat profesional adalah dosen pembimbing penelitian yang melihat apakah soal yang dikembangkan representatif bagi apa yang dimaksudkan dan ahli bahasa yang melihat terjemahan soal yang diadaptasi oleh peneliti.

2. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis aitem ini adalah dengan memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur tes. Dengan kata lain, memilih aitem yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes secara keseluruhan (Azwar, 2007).

(61)

56

berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rix > 0,20. Daya pembeda aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,20 pembedanya dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga rix < 0,20 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar, 2004). Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan batasan rix > 0,20.

3. Reliabil

Gambar

Tabel 2. Blue print Skala Social support  Sebelum Uji Coba
Tabel 3. Hasil Uji Daya Beda Aitem Resiliensi
Tabel 5. Hasil Uji Daya Beda Aitem Social support
Tabel  9. Gambaran Subjek Berdasarkan Pekerjaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga penulis mampu menyelesaikan skirpsi dengan judul Social Support Dan Self Acceptance Ayah Tunggal (Studi Kasus Di Kota Kediri) ini tepat pada waktunya.. Oleh sebab

Alat ukur adalah The Resilience Quotient dari Reivich &amp; Shatte (2002) yang diadaptasi kedalam Bahasa Indonesia dari skala Social Support yang disusun oleh

Gambaran Mean Resiliensi dan Social Support Perempuan Karo penyintas erupsi Gunung Sinabung berdasarkan Tingkat Pendidikan..

Judul : Pengaruh Program Family Support Terhadap Resiliensi Keluarga Yang Memiliki Anak Autistik di Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘

Menurut Friedman didalam Andarmoyo (2012) mengemukakan beberapa fungsi keluarga antara lain : 1) Fungsi Afektif yaitu perlindungan psikologis, rasa aman,

Adanya dukungan sosial keluarga akan mem- berikan rasa nyaman, rasa diperhatikan, dan rasa diperdulikan dalam menjalankan pengo- batan hipertensi sehingga, penderita hiperten- si

Selanjutnya, dari korelasi sumber social support diketahui bahwa social support dari keluarga memiliki korelasi yang paling besar dengan anxiety dibandingkan dengan sosial

Hasil penelitian tersebut memberikan gambaran pentingnya dukungan sosial keluarga yang diterima oleh individu untuk dapat menciptakan rasa nyaman dalam bekerja,