BAB V PEMBAHASAN
5.3 Pengaruh Status Perkawinan terhadap Menopause pada Wanita
Dari tabel 4.5. di atas dapat diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki status perkawinan adalah menikah, yaitu sebanyak 103 responden (82,4%). Dari hasil analisa dengan uji Chi-Square diperoleh bahwa dari 103 responden yang menikah, ada 52 responden (41,6%) yang telah mengalami menopause dan 51 responden (40,8%) lainnya belum menopause. Sedangkan dari 22 responden (9,6%) yang belum menikah ada 12 responden (8%) yang telah menopause dan 10 responden lainnya belum menopause. Secara statistik diperoleh nilai p (0,792) > (0,05) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh status perkawinan terhadap terjadinya menopause.
Status perkawinan memang tidak berpengaruh langsung terhadap menopause. Tetapi status perkawinan berpengaruh terhadap perkembangan psikis seorang wanita. Keadaan psikis wanita tersebut yang dapat memicu terjadinya menopause lebih cepat. Kasdu, 2002 mengatakan bahwa keadaan seorang wanita yang tidak menikah dan bekerja diduga mempengaruhi perkembangan psikis seorang wanita, mereka akan mengalami menopause lebih muda dibandingkan dengan wanita yang menikah dan bekerja/tidak bekerja atau wanita yang tidak menikah dan tidak bekerja.
5.4 Pengaruh Jumlah Anak terhadap Menopause pada Wanita di Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009
Dari tabel 4.9. diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki jumlah anak ≥ 4 orang, yaitu sebanyak 56 responden (54,4%) dari 103 responden menikah, dengan jumlah anak rata-rata responden adalah 4,05 ≈ 4 atau 5 orang.
Pada jumlah anak, hasil analisa Chi-Square diperoleh nilai p (0,000) < (0,05) yang menunjukkan bahwa ada pengaruh jumlah anak terhadap menopause.
Hal ini berkaitan dengan melahirkan anak, seperti pendapat Kasdu (2002) dan Yatim (2001) yang mengatakan bahwa makin sering seorang wanita melahirkan maka semakin tua atau lama mereka memasuki menopause. Jika seorang wanita memiliki banyak anak, tentu wanita tersebut mengalami kehamilan dan melahirkan yang banyak atau dalam waktu yang lama juga.
5.5 Pengaruh Usia Melahirkan Anak Terakhir terhadap Menopause pada Wanita di Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009
Dari tabel 4.10. di atas diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki usia melahirkan anak terakhir < 40 tahun, yaitu sebesar 74,3%, sedangkan 25,7% lainnya memiliki usia melahirkan anak terakhir ≥ 40 tahun. Usia melahirkan anak terakhir rata-rata responden adalah 35,65 tahun ≈ 35 atau 36 tahun.
Hasil analisa Chi-Square menunjukkan dari 75 responden yang usia melahirkan anak terakhirnya-nya < 40 tahun, sebanyak 43 responden (42,6%) telah menopause dan 32 responden (31,7%) lainnya belum menopause. Sedangkan dari 26 responden yang usia melahirkan anak terakhirnya-nya ≥ 40 tahun hanya 9 responden (8,9%) yang telah menopause dan 17 responden (16,8%) lainnya belum menopause.
Secara statistik didapatkan nilai p (0,046) < (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh usia melahirkan anak terakhir terhadap menopause.
Hasil penelitian ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan di Beth Israel Denconess Medical Centre di Boston, menemukan bahwa wanita yang masih melahirkan di atas 40 tahun akan mengalami usia menopause yang lebih tua. Semakin tua seseorang melahirkan anak, semakin tua ia mulai memasuki usia menopause. Hal ini terjadi karena kehamilan dan persalinan akan memperlambat sistem kerja organ reproduksi. Bahkan akan memperlambat proses penuaan tubuh (Kasdu, 2002).
5.6 Pengaruh Penggunaan Kontrasepsi terhadap Menopause pada Wanita di Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009
Dari tabel 4.11. di atas diketahui bahwa sebagian besar responden yang menikah pernah menggunakan kontrasepsi, yaitu 68%. Pada tabel 4.22. dari 70 responden yang pernah menggunakan kontrasepsi, 42 responden (40,8%) belum mengalami menopause. Sedangkan 28 responden (27,2%) lainnya telah mengalaminya. Dari 33 responden (32%) yang tidak pernah menggunakan kontrasepsi didapati 24 responden (23,3%) telah mengalami menopause dan 9 responden lainnya belum menopause. Dari hasil ini dapat dilihat bahwa responden yang pernah menggunakan kontrasepsi, akan memasuki masa menopause lebih lama. Secara statistik diperoleh nilai p (0,002) < (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh penggunaan kontrasepsi terhadap menopause.
Pada tabel 4.23. diketahui bahwa dari 70 responden yang menggunakan kontrasepsi, 67 responden (95,7%) menggunakan kontrasepsi jenis hormonal dan 3 responden lainnya (4,3%) menggunakan kontrasepsi jenis bukan hormonal. Dari 67
responden tersebut ada 28 responden (40%) yang telah menopause dan 39 responden (55,7%) lainnya belum menopause. Untuk jenis kontrasepsi, analisa dengan Chi-Square tidak dapat dilakukan karena terdapat 2 sel (50%) yang nilai harapannya kurang dari 5. Analisa dilanjutkan dengan uji Exact Fisher dan didapatkan nilai p (0,270) > (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh jenis kontrasepsi terhadap menopause.
Hasil penelitian untuk jenis kontrasepsi berbeda dengan pendapat Kasdu, 2002 yang mengatakan bahwa pemakaian kontrasepsi khususnya alat kontrasepsi jenis hormonal akan lebih lama atau tua memasuki menopause. Hal ini terjadi karena cara kerja kontrasepsi menekan fungsi indung telur sehingga tidak memproduksi sel telur. Tetapi Yatim, 2001 mengatakan bahwa keadaan ini dipengaruhi juga oleh kelainan-kelainan klinis lain, dan masalah status ekonomi wanita yang bersangkutan.
5.7 Pengaruh Kebiasaan Merokok terhadap Menopause pada Wanita di Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009
Dari tabel 4.24. diketahui bahwa sebagian besar responden tidak pernah merokok, yaitu 69,6%. Hanya 30,4% dari responden saja yang pernah atau sampai sekarang masih merokok. Dari 38 responden (30,4%) yang merokok, 26 responden (20,8%) telah mengalami menopause dan 12 responden (9,6%) lagi belum mengalami menopause. Sedangkan dari 87 responden (69,6%) yang tidak merokok, ada 38 responden (39,2%) yang telah menopause dan 49 responden (39,2%) belum menopause. Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa wanita yang tidak merokok lebih banyak yang belum memasuki menopause dibandingkan dengan wanita yang merokok.
Secara statistik diperoleh nilai p (0,011) < (0,05), yang berarti bahwa ada pengaruh kebiasaan merokok terhadap menopause. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mikkelsen (1998) yang dikutip oleh Siswono (2004) bahwa perempuan yang merokok sangat mungkin untuk mulai memasuki masa menopause sebelum usia 45 tahun dan juga membuat mereka menghadapi resiko osteoporosis dan serangan jantung.
5.8 Pengaruh Konsumsi Alkohol terhadap Menopause pada Wanita di Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009
Dari tabel 4.25. diketahui bahwa sebagian besar responden tidak pernah mengkonsumsi alkohol, yaitu 93,6%. Hanya 8 responden (6,4%) saja yang pernah mengkonsumsi alkohol, dimana 6 responden (4,8%) yang mengkonsumsi alkohol telah mengalami menopause dan 2 responden (1,6%) lagi belum mengalami menopause. Sedangkan dari 117 responden yang tidak mengkonsumsi alkohol, ada 58 responden (46,4%) yang telah menopause dan 59 responden (47,2%) belum menopause. Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa wanita yang tidak pernah mengkonsumsi alkohol lebih banyak yang belum memasuki menopause dibandingkan dengan wanita yang pernah mengkonsumsi alkohol.
Untuk konsumsi alkohol, analisa dengan Chi-Square tidak dapat dilakukan karena terdapat 2 sel (50%) yang nilai harapannya kurang dari 5. Analisa dilanjutkan dengan uji Exact Fisher dan didapatkan nilai p (0,274) > (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh konsumsi alkohol terhadap menopause.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mikkelsen (1998) yang dikutip oleh Siswono (2004) bahwa tidak ditemukannya hubungan antara konsumsi kopi atau alkohol atau perokok pasif dengan resiko menopause dini.
5.9 Pengaruh Riwayat Penyakit terhadap Menopause pada Wanita di Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009
Dari tabel 4.26. diketahui bahwa sebagian besar responden tidak pernah menderita suatu penyakit yang berkaitan dengan organ reproduksinya, yaitu 93,6%. Hanya 8 responden (6,4%) saja yang pernah menderita suatu penyakit, dimana 7 responden (5,6%) yang telah mengalami menopause dan 1 responden (0,8%) lagi belum mengalami menopause. Sedangkan dari 117 responden yang tidak pernah menderita suatu penyakit, ada 57 responden (45,6%) yang telah menopause dan 60 responden (48%) belum menopause. Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa wanita yang tidak pernah mengalami suatu penyakit yang berhubungan dengan reproduksinya lebih banyak yang belum memasuki menopause dibandingkan dengan wanita yang pernah menderita suatu penyakit. Penyakit yang pernah diderita responden antara lain kanker rahim, kista, dan diabetes mellitus. Penyakit seperti kanker rahim ini menyebabkan responden terpaksa melakukan operasi pengangkatan rahim.
Untuk konsumsi alkohol, analisa dengan Chi-Square tidak dapat dilakukan karena terdapat 2 sel (50%) yang nilai harapannya kurang dari 5. Analisa dilanjutkan dengan uji Exact Fisher dan didapatkan nilai p (0,066) > (0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh riwayat penyakit terhadap menopause.
Northrup (2006) mengatakan bahwa kira-kira satu di antara seratus wanita menyelesaikan transisi menopause mereka pada usia empat puluh atau lebih muda lagi. Wanita tersebut mungkin memiliki penyakit (seperti penyakit oto-imun atau kekurangan gizi) atau stress yang sangat parahyang memberi pengaruh buruk pada fungsi-fungsi reproduksi yang berkaitan dengan hormon. Bahkan pengikatan tuba telah terbukti dapat menurunkan kadar progesteron selama paling sedikit satu tahun setelah prosedur itu dijalankan. Dan banyak wanita yang menjalani hysterektomi dengan tetap mempertahankan indung telur mereka mengalami gejala-gejala perubahan hormonal serta haid mereka berhenti.
5.10 Perubahan-Perubahan Fisik pada masa Menopause pada Wanita di Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009
Sebagian besar responden pernah atau sedang mengalami ketidakteraturan siklus haid, yaitu dari 64 responden ada 41 responden (64,1%) yang mengalaminya. Dari hasil penelitian ini beberapa responden mengungkapkan rasa takutnya akan terjadinya suatu penyakit karena siklus haidnya kadang-kadang tidak menentu. Ada juga beberapa responden mengungkapkan bahwa mereka merasa senang karena telah terbebas dari siklus bulanan yang kadang-kadang menjadi penghalang saat akan melakukan berbagai ibadah, misalnya untuk shalat dan berpuasa.
Sedangkan 23 responden (18,4%) lainnya tidak pernah mengalami ketidakteraturan siklus haid saat akan memasuki masa menopause. Dari penelitian diketahui bahwa beberapa responden merasa terkejut karena dengan tiba-tiba haid mereka berhenti tanpa ada tanda-tanda jelas. Reitz, 1993 mengungkapkan bahwa ada bentuk lain penghentian menstruasi yang mendadak. Terjadi karena adanya keadaaan
stress tertentu dalam kehidupan sang wanita seperti umpamanya kematian dalam keluarga, perpisahan dari seseorang yang dekat, pekerjaan, ini sifatnya tidak final karena jika stress itu telah lewat atau telah tercapai penyesuaian, siklusnya mungkin saja kembali.
Umumnya sebagian besar responden tidak pernah atau sedang mengalami gejala gejolak rasa panas (hot flush), yaitu dari 64 responden yang telah menopause ada 44 responden (68,8%) yang tidak merasakannya. Hanya 20 responden (31,3%) saja yang mengalami gejolak rasa panas. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Northrup (2006) yang mengatakan bahwa gelora panas (hot flush) adalah gejala menopause yang paling umum, terjadi sekitar 70 hingga 85 persen dari semua wanita pramenopause.
Gejala kekeringan vagina dapat dilihat dari beberapa gejala, seperti penurunan keinginan seksual, nyeri saat senggama, keputihan, dan rasa sakit saat senggama, frekuensi buang air kecil yang meningkat, serta tidak dapat menahan kencing saat batuk, bersin, dan tertawa.
Umumnya sebagian besar responden pernah mengalami gejala penurunan keinginan seksual, yaitu dari 64 responden yang telah menopause ada 33 responden (51,6%) yang merasakannya dan 31 responden (48,4%) tidak pernah merasakannya.
Pada gejala nyeri saat senggama, keputihan dan rasa sakit saat senggama, dari 64 responden, sebagian besar respoonden tidak mengalaminya, yaitu 53 responden (82,8%) pada wanita yang menopause. Sedangkan responden yang tidak pernah mengalaminya ada 11 responden (17,2%).
Umumnya sebagian besar responden tidak pernah atau sedang mengalami gejala peningkatan frekuensi buang air kecil, yaitu dari 64 responden yang telah menopause ada 54 responden (84,4%) yang tidak merasakannya dan sebanyak 10 responden (15,6%) yang merasakannya.
Pada gejala tidak dapat menahan kencing saat batuk, bersin dan tertawa, dari 64 responden yang telah menopause, sebagian besar respoonden tidak mengalaminya, yaitu 58 responden (90,6%) sedangkan 6 responden (9,4%) lainnya merasakannya.
Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa gejala kekeringan vagina sedikit dirasakan oleh wanita di Kelurahan Titi Papan. Beberapa wanita mengatakan dari beberapa gejala kekeringan vagina seperti penurunan keinginan seksual, nyeri saat senggama, sakit saat senggama tidak terlalu mereka rasakan karena pasangan mereka juga mengalami hal yang sama (keinginan seksual yang menurun) dan adanya pengertian dari masing-masing pasangan. Sedangkan gejala tidak dapat menahan kencing saat batuk, bersin dan tertawa merupakan hal yang biasa/wajar dan mereka juga mengalaminya dari remaja dulu.
Umumnya responden tidak mengalami perubahan pada kulit yang menjadi kering dan keriput, yaitu sebanyak 40 responden (62,5%). Beberapa responden tidak terlalu memperhatikan perubahan yang terjadi pada kulit mereka. Beberapa responden mengatakan bahwa sejak dahulu mereka merawat kulit dengan menggunakan pelembab kulit sehingga kulit mereka tidak terlalu terlihat perubahannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zendrato (2004) bahwa tidak semua wanita mengalami perubahan kulit tersebut pada masa
Sebagian besar responden tidak mengalami gejala keringat yang berlebih di malam hari, yaitu dari 64 responden yang telah menopause ada 53 responden (82,8%) yang tidak merasaannya. Sedangkan responden yang mengalami gejala ini ada 11 responden (17,2%) pada wanita yang telah. Beberapa responden mengatakan bahwa berkeringat di malam hari merupakan bukan suatu perubahan karena sebelum memasuki usia menopause mereka juga pernah merasakannya, terutama saat cuaca sedang panas.
Pada gejala insomnia ini hanya 26 responden (40,6%) yang mengalaminya, sedangkan 38 responden (59,4%) tidak mengalaminya.
Banyak wanita tidak akan mengalami insomnia kalau bukan karena mereka berkeringat di malam hari dan merasakan gelora panas. Bagi yang lain, kecemasan membuat mereka tidak dapat tidur nyenyak. Pada masa menopause, insomnia dan kelelahan sering merupakan akibat dari emosi-emosi yang tidak terprosesdan tidak tersalur seperti kemarahan, kesedihan, atau kecemasan, yang sering menyertai perubahan-perubahan besar dalam kehidupan setengah baya (Northrup, 2006).
Perubahan pada masa menopause yang membuat badan menjadi gemuk akan mengakibatkan juga wanita tersebut mengalami tubuh yang semakin cepat lelah selain kelelahan akibat beban emosi dan pikiran pada wanita menopause.
Sebagian besar responden tidak mengalami penambahan berat badan, yaitu sebanyak 37 responden (57,8%). Sedangkan yang mengalami penambahan berat badan ada 27 responden (42,2%) pada wanita yang telah. Berdasarkan penelitian, setiap kurun 10 tahun, berat badan wanita akan bertambah atau tubuh melebar kesamping secara bertahap. Berdasarkan penelitian tersebut juga ditemukan bahwa
29% wanita pada masa menopause memperlihatkan kenaikan berat badan dan 20% di antaranya memperlihatkan kenaikan yang mencolok (Kasdu, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden mengalami gejala rasa cepat lelah, yaitu sebanyak 36 responden (56,3%). Beberapa wanita mengatakan bahwa mereka merasakan kelelahan karena faktor badan yang bertambah gemuk juga dikarenakan menghadapi situasi yang kadang memicu emosi mereka, seperti mengatur anak-anak yang mulai dewasa. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Flint, Samil, dan Wisnu Whardani (1985-1986) yang dikutip oleh Darmojo (2004), yang meliputi wanita klimakterium daerah Jawa Tengah dan Minangkabau dan meliputi golongan ekonomi atas, menengah, dan bawah menemukan bahwa keluhan yang paling sering dirasakan adalah rasa cepat lelah.
5.11 Perubahan-Perubahan Psikologi pada masa Menopause pada Wanita di Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009
Sebagian besar responden mengalami gejala ingatan yang menurun, yaitu sebanyak 37 responden (57,8%). Sedangkan responden yang tidak mengalami gejala ingatan yang menurun ada 27 responden (42,2%). Dari hasil penelitian ini ada beberapa responden yang mengungkapkan bahwa terkadang mereka susah untuk mengingat suatu hal atau dimana letak suatu benda jika ditanyakan. Banyak wanita mengalami “pikiran linglung” atau “kepala seperti dipenuhi kapas” di masa pra -menopause. Mereka mengeluh sering lupa nama-nama atau meletakkan benda-benda di tempat yang salah. Ini bukan awal dari penyakit Alzheimer, malainkan keadaan yang sangat normal yang dialami banyak wanita saat terjadi perubahan hormone dan
perombakan dalam otak. Hal yang sama sering terjadi di saat menjelang menstruasi maupun sesudah melahirkan (Northrup, 2006).
Melemahnya ingatan juga membuat banyak wanita khawatir. Walaupun gejala ini akan dialami oleh setiap orang yang beranjak tua, namun jejak ingatan yang buruk serta hilangnya konsentrasi bias menjadi masalah khusus selama menopause. Kurangnya konsentrasi serta melemahnya ingatan mungkin dihubungkan dengan perubahan pembuluh darah (Mackenzie, 2002).
Sebagian besar responden tidak mengalami gejala kecemasan, yaitu sebanyak 48 responden (75%). Sedangkan responden yang mengalami gejala kecemasan ada 16 responden (25%). Dari penelitian beberapa responden mengungkapkan bahwa terkadang mereka merasa terlalu cemas terhadap suatu hal seperti saat haid mereka tidak teratur atau terlalu banyak. Di dalam pikiran mereka perubahan yang terjadi itu merupakan tanda-tanda suatu penyakit, padahal mereka telah memeriksakan ke petugas kesehatan ataupun ke Puskesmas.
Kecemasan pada wanita lansia yang telah menopause umumnya bersifat relatif, artinya ada orang yang cemas dan dapat tenang kembali, setelah mendapatkan semangat/dukungan dari orang di sekitarnya; namun ada juga yang terus-menerus cemas, meskipun orang-orang disekitarnya telah memberi dukungan. Akan tetapi banyak juga wanita yang mengalami menopause namun tidak mengalami perubahan yang berarti dalam kehidupannya (Northrup, 2006).
Sebagian besar responden tidak mengalami gejala mudah tersinggung, yaitu sebanyak 39 responden (60,9%). Sedangkan responden yang mengalami gejala mudah tersinggung ada 25 responden (39,1%). Jika dibandingkan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Yanuarita (2006) bahwa dari 59 responden sebanyak 33 responden (55,9%) mengalami rasa mudah tersinggung dan 26 responden (44,1%) lainnya tidak merasakan mudah tersinggung.
Gejala stress dapat dilihat dari beberapa gejala, seperti rasa tidak berguna lagi dan rasa gelisah yang berlebihan. Sebagian besar responden tidak mengalami gejala rasa tidak berguna, yaitu sebanyak 54 responden (84,4%). Sedangkan responden yang mengalami gejala rasa tidak berguna lagi ada 10 responden (15,6%). Pada gejala rasa gelisah, sebagian besar responden tidak mengalaminya, yaitu sebanyak 47 responden (73,4%).
Beberapa responden mengungkapkan bahwa mereka masih bisa melakukan sesuatu hal yang berguna walaupun kemampuan mereka telah terbatas dan orang-orang disekitar mereka mengatakan mereka telah tua. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yanuarita (2006) bahwa sebanyak 53 responden (89,8%) merasa tidak tertekan karena tidak dibutuhkan lagi selama masa pra-menopausenya. Mereka tidak tertekan karena mesara masih berguna/dibutuhkan dalam keluarganya dan mereka juga masih ada yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Gejala depresi dapat dilihat dari beberapa contoh gejala, seperti rasa takut menjadi tua dan rasa tidak cantik lagi. Sebagian besar responden tidak mengalami gejala rasa takut menjadi tua yaitu sebanyak 56 responden (87,5%). Sedangkan responden yang mengalami gejala rasa takut menjadi tua ada 8 responden (12,5%). Menurut Yanuarita (2006), mereka tidak merasa takut menjadi tua karena hal itu memang tidak perlu ditakutkan, merasa sudah sewajarnya dan ada juga yang merasa
Pada gejala rasa tidak cantik lagi, sebagian besar responden tidak mengalaminya, yaitu sebanyak 55 responden (85,9%). Sedangkan responden yang mengalami gejala rasa tidak cantik lagi ada 9 responden (14,1%). Menurut Yanuarita (2006), mereka yang berada dalam masa menopause tidak terlalu memeprmasalahkan adanya perubahan kecantikan, merasa sudah sewajarnya terjadi jika umur sudah tua, dan ada juga yang merasa masih tetap cantik.
5.12 Tindakan terhadap Perubahan-Perubahan pada masa Menopause pada Wanita di Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009
Sebagian besar responden memilih untuk memeriksakan ke petugas kesehatan dalam menghadapi perubahan haid yang mnjadi tidak teratur selama masa menopausenya, yaitu sebanyak 33 responden (80,49%). Sebanyak 8 responden (19,51%) tidak melakukan tindakan apapun. Hasil penelitian ini berbeda dibandingkan dengan hasil penelitian Yanuarita (2006), yaitu sebanyak 28 responden (47,5%) tidak melakukan tindakan apapun dalam menghadapi perubahan haidnya walaupun perubahan itu mereka rasakan karena merasa tidak tertanggu. Sebanyak 15 responden (25,4%) yang memeriksakan dirinya ke dokter karena merasa tertekan akibat haid yang tidak teratur dan juga terjadi perdarahan (blooding) dan takut terkena suatu penyakit.
Dari 20 responden yang mengalami hot flush, sebanyak 11 responden (55%) memilih untuk memeriksakan ke petugas kesehatan karena mereka merasa terganggu akan rasa panas yang tiba-tiba muncul dan meresahkan mereka. sedangkan 6 responden (30%) tidak melakukan tindakan apapun karena merasa tidak terganggu
akan gejala tersebut dan sebanyak masing-masing 1 responden (5%) lebih memilih makan makanan bergizi, mencari informasi dan pergi ke salon kecantikan.
Dalam mengatasi penurunan keinginan seksual, dari 33 responden sebanyak 25 responden (30%) memilih tidak melakukan tindakan apapun. Mereka mengatakan lebih memilih membicarakannya dengan suami/pasangan mereka dan merasa hal ini terlalu pribadi untuk dibahas dan jika diperlukan saja mereka akan mengutarakannya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Yanuarita (2006) yaitu sebanyak 21 responden (50%) meminta pengertian dari suami mereka dalam mengatasi penurunan keinginan seksual.
Masa klimakterium bukan merupakan halangan untuk melakukan aktivitas seksual. Sebagian wanita pada masa ini masih dapat menikmati hubungan seksual, sekalipun sudah dapat dipastikan kuantitasnya berkurang. Yang menjadi perhatian dalam hubungan seksual pada masa ini adalah kualitasnya. Untuk mencapai itu dapat diperkirakan sangat sulit, oleh karena kegairahan seksual sudah menurun, kemampuan memberikan dan menerima rangsangan sudah berkurang. Perlu adanya kesabaran antara suami dan istri dan pengertian yang baik oleh karena perubahan tersebut merupakan perubahan yang alami (Manuaba, 1998).
Untuk mengatasi nyeri saat senggama, keputihan dan sakit saat senggama 6 responden (54,54%) memilih memeriksakan kepetugas kesehatan karena merasa takut akan adanya suatu penyakit akibat gejala yang mereka rasakan. Sedangkan dalam mengatasi frekuensi buang air kecil yang meningkat, dari 10 responden ada 6 responden (60%) tidak melakukan tindakan apapun karena merasa hal itu biasa saja
saat batuk, bersin, dan tertawa, semua responden memilih tidak melakukan apapun dalam mengatasinya.
Untuk mengatasi perubahan kulit yang semakin kendur, kering dan keriput, dari 24 responden ada 8 responden (33,33%) yang memilih memakai kosmetik, 6 responden (25%) memilih memeriksakan ke petugas kesehatan, 4 responden (16,67%) memilih menggunakan pelembab kulit, dan 2 responden (8,33%) memilih pergi ke salon kecantikan. Hanya 4 responden (16,67%) yang tidak melakukan apapun mengatasinya karena merasa sudah hal yang wajar karena sekarang sudah masanya mereka memasuki usia tua. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Zendrati (2004) yang menyatakan bahwa walaupun mengalami perubahan kulit, sebagian wanita merasa tidak terkejut dan cemas, tetapi tetap saja ada keinginan untuk menutupi perubahan tersebut sampai tingkat tertentu dengan berbagai cara.
Sebagian besar responden tidak melakukan tindakan apapun dalam mengatasi keringat yang berlebihan yaitu sebanyak 7 responden (50%) karena tidak merasa terganggu dan pasangan merekapun tidak pernah mengeluh jika setiap pagi bangun