BAB 5. PEMBAHASAN
5.1. Pengaruh Tingkat Pengetahuan Gizi, Pendapatan Keluarga dan
Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie
5.1.1. Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan energi anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,036 (p<0,05).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat (Khomsan, 2000), pengetahuan merupakan kemampuan seseorang yang memengaruhi terhadap tindakan yang dilakukan. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pengalaman orang lain dan dapat diperoleh dengan mengikuti penyuluhan. Dengan demikian pengetahuan gizi yang tinggi maka dapat menanggulangi masalah gizi yang dihadapi oleh anak-anaknya.
Sedangkan pendapat (Suhardjo, 1989), pengetahuan gizi sangat menentukan dalam hal pemilihan dan penentuan jenis makanan yang dikonsumsi oleh keluarga khususnya anak balita. Jika tingkat pengetahuan ibu tinggi maka tingkat kecukupan energi dalam rumah tangga akan baik pula. Teori (Berg, 1986), mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang maka semakin diperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang dipilih untuk di konsumsi oleh keluarga.
Menurut Marice (2008), pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap tersedianya bahan makanan sumber energi dalam rumah tangga khususnya pada anak balita, pengetahuan juga berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh terhadap meningkatnya kesehatan masyarakat.
Didalam sebuah keluarga biasanya ibu berperan sebagai pengatur makanan keluarga.
Oleh karena itu ibu adalah sasaran utama dalam pendidikan gizi untuk meningkatkan pengetahuan gizi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hardiviani (2003), di Desa Suwawal Barat Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, menunjukkan bahwa ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan energi anak balita. Seorang ibu harus memiliki pengetahuan gizi untuk menanggulangi masalah-masalah gizi yang dihadapi oleh anak-anaknya.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Erma Handarsari (2010), di Desa Wukir Sari Kecamatan Batang Kabupaten Batang, menunjukkan ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan energi anak balita. Semakin baik tingkat pengetahuan gizi ibu diikuti dengan kecukupan energi yang baik pula. Walaupun sebagian besar pendidikan ibu rendah, namun pengetahuan gizi ibu dikatakan lebih baik, karena ibu-ibu diwilayah ini sering mengikuti penyuluhan yang biasanya diselenggarakan oleh kader posyandu.
Dari hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan gizi ibu menunjukkan responden dengan pengetahuan baik serta dapat memberikan energi yang cukup pada
anak balita sebanyak 33 orang (63,5%) dan responden dengan pengetahuan kurang serta dapat memberikan energi yang cukup pada anak balita sebanyak 3 orang (25%).
Hasil ini dapat dilihat dari pernyataan responden tentang makanan apa yang ibu berikan pada anak umur diatas 3 tahun, responden yang paling banyak menjawab benar yaitu sebanyak 55 responden (85,9%) dan yang menjawab kurang benar yaitu sebanyak 2 responden (3,1%). makanan yang ibu berikan pada anak umur diatas 3 tahun adalah makanan yang biasa dimakan oleh keluarga, 3 kali sehari terdiri dari nasi, lauk pauk sayur dan buah. makanan yang ibu berikan pada anak umur 1-2 tahun adalah nasi lembik, telur, ikan, daging, ayam, tempe, tahu, sayuran dan buah, paling banyak menjawab benar yaitu sebanyak 46 responden (71,9%) dan yang menjawab kurang benar yaitu sebanyak 5 responden (7,8%).
Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan menggunakan metode Enter pada uji Regresi Logistik Ganda menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan energi anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,094 (p>0,05).
Selain pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga juga sangat memengaruhi terhadap tersedianya zat gizi yang cukup. Jika tingkat pengetahuan gizi ibu tinggi tetapi pendapatan keluarga rendah maka tidak bisa membeli bahan makanan sumber zat gizi yang dikonsumsi oleh anak-anaknya. Kurangnya asupan energi pada anak balita di karenakan rendahnya pendapatan keluarga yang mereka peroleh dan banyaknya anggota keluarga yang harus diberi makan walaupun tingkat pengetahuan gizi ibu tinggi.
Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan secara bersama-sama, yaitu tingkat pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga dan kebiasaan makan keluarga, ternyata hanya pendapatan keluarga yang berpengaruh terhadap kecukupan energi anak balita, sedangkan tingkat pengetahuan gizi dan kebiasaan makan keluarga tidak berpengaruh.
5.1.2. Pendapatan Keluarga
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap kecukupan energi anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,000 (p<0,05).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat (Suhardjo, 1989), tingkat pendapatan akan memengaruhi pola kebiasaan makan yang selanjutnya berperan dalam penyediaan prioritas penyediaan pangan berdasarkan nilai ekonomi dan nilai gizinya. Bagi mereka dengan pendapatan yang sangat rendah hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan berupa sumber karbohidrat yang merupakan pangan prioritas utama. Jika tingkat pendapatan meningkat maka pangan merupakan prioritas kedua.
Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan seseorang tidak mampu membeli pangan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hardiviani (2003), di Desa Suwawal Barat Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, menunjukkan bahwa ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap kecukupan energi pada anak balita. Tingkat pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan
kualitas dan kuantitas makanan. Tetapi perlu disadari bahwa tidak selalu membawa perbaikan pada susunan makanan. Tingkat pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli untuk makanan. Jika keuangan memungkinkan serta memiliki keleluasaan dalam memilih, maka kebutuhan makanan akan terpenuhi.
Akan tetapi jika keuangan terbatas, memilih makanan yang murah, namun diharapkan dengan uang yang sedikit tersebut dapat dibelanjakan bahan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi. Jadi dalam mengolah diperlukan pertimbangan yang cermat, hal dimaksud agar dapat menggunakan uang belanja dengan sebaik-baiknya serta dapat mencukupi kebutuhan keluarga, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayu Nilasari (2012), di Kabupaten Cilacap, menunjukkan bahwa ada pengaruh antara pendapatan dengan kecukupan energi anak balita. Kenaikan pendapatan akan memberi reaksi yang proporsional terhadap tingkat kecukupan energi. Hasil penelitian Priyadi (2002), di Kabupaten Kendal, Propinsi Jawa Tengah, dimana hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa pendapatan keluarga memengaruhi tingkat kecukupan energi pada anak balita.
Dari hasil penelitian tentang pendapatan keluarga menunjukkan responden dengan pendapatan tinggi, serta dapat memberikan energi yang cukup pada anak balita sebanyak 24 orang (85,7%) dan responden dengan pendapatan rendah serta dapat memberikan energi yang cukup pada anak balita sebanyak 12 orang (33,3%).
Hasil ini dapat dilihat dari keluarga yang mempunyai pendapatan tinggi akan dapat memberikan makanan cukup sumber energi dibandingkan keluarga yang
berpendapatan rendah. Diharapkan walaupun pendapatan rendah dapat membeli bahan makanan sumber zat gizi dengan harga yang murah.
Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan menggunakan metode Enter pada uji Regresi Logistik Ganda menunjukkan bahwa ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap kecukupan energi anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai Exp (B) sebesar 16,266 dengan nilai p=0,000 (p<0,05), yang berarti keluarga yang berpendapatan tinggi berkemungkinan 16,266 kali kecukupan energi anak balita cukup dibandingkan keluarga yang berpendapatan rendah.
5.1.3. Kebiasaan Makan Keluarga
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada pengaruh kebiasaan makan keluarga terhadap kecukupan energi anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,020 (p<0,05).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat (Saptandari, 2013), Pendefinisian tentang makanan juga berpengaruh pada kebiasaan makan dan kecukupan gizi, pengertian makan hanya ditujukan pada nasi atau produk olahan yang berasal dari bahan dasar beras, seperti lontong. Kalau belum makan nasi belum dianggap makan, apapun lauknya. Ada pula jenis masakan yang dihubungkan dengan upacara/selametan, seperti selamaten kelahiran, pernikahan hingga kematian, terdapat perbedaan makanan yang disajikan atau dihantarkan kepada tetangga atau kerabat. Dalam berbagai kebiasaan makan itu, terlihat bagaimana kebiasaan makan
tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai budaya setempat yang tentunya berpengaruh pada kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Uraian tentang keberagaman kebiasaan makan dan pengolahan makanan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memahami kondisi gizi dan kesehatan masyarakat maupun bagi program penyuluhan gizi dan kesehatan secara menyeluruh. Walaupun hampir semua orang mengetahui bahwa pangan dan gizi merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sangat erat kaitannya dengan kesehatan dan penyakit. Banyak juga yang sudah mengetahui bahwa kekurangan gizi akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, menyebabkan banyak penyakit kronis, serta menyebabkan orang tidak mungkin melakukan kerja keras. Namun demikian, aspek budaya masih mendominasi perilaku dan kebiasaan makan yang terjadi dalam masyarakat
Menurut Suhardjo (2003), kebiasaan makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya, padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek budaya sangat mempengaruhi perilaku kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Sedangkan pendapat (Wibowo, 2011), Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya.
Kebiasaan makan masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi).
Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (kari kambing), sie reboh, keumamah, eungkot paya (ikan paya), mie Aceh, dan martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Desti Sagita Putri dan Dadang Sukandar (2012), di Kecamatan Taman Sari Kabupaten Bogor, terdapat pengaruh signifikan antara kebiasaan makan balita terhadap kecukupan energi. Hal ini menunjukkan kebiasaan makan adalah salah satu unsur penting yang memengaruhi kecukupan energi seseorang.
Dari hasil penelitian tentang kebiasaan makan keluarga menunjukkan responden dengan kebiasaan makan baik serta dapat memberikan energi yang cukup pada anak balita sebanyak 31 orang (66%) dan responden dengan kebiasaan makan kurang baik serta dapat memberikan energi yang cukup pada anak balita sebanyak 5 orang (29,4%).
Hasil ini dapat dilihat dari pernyataan responden tentang dalam penyajian makanan, siapa yang paling di utamakan dalam keluarga, responden yang paling banyak melakukan kebiasaan benar yaitu sebanyak 38 responden (59,4%) dan yang melakukan kebiasaan kurang benar yaitu sebanyak 26 responden (40,6%). Dalam penyajian makanan diharapkan yang paling diutamakan dalam keluarga adalah anak balita. Karena anak balita merupakan kelompok yang paling rentan mengalami
kekurangan energi protein (KEP). KEP merupakan suatu kondisi kurang gizi disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari.
Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan menggunakan metode Enter pada uji Regresi Logistik Ganda menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh kebiasaan makan keluarga terhadap kecukupan energi anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,055 (p>0,05).
Adanya kebiasaan makan yang baik tetapi masih banyak kecukupan energi yang kurang pada anak balita dikarenakan pendapatan keluarga yang masih rendah.
Sedangkan keluarga yang mempunyai kebiasaan makan kurang baik tetapi kecukupan energinya cukup disebabkan tingkat pengetahuan gizi ibu tinggi dan pendapatan keluarga tinggi. sebagian responden dalam menyajikan hidangan untuk keluarga lebih memprioritaskan atau mengutamakan kepala keluarga pada saat makan dari pada anak balitanya.
Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan secara bersama-sama, yaitu tingkat pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga dan kebiasaan makan keluarga, ternyata hanya pendapatan keluarga yang berpengaruh terhadap kecukupan energi anak balita, sedangkan tingkat pengetahuan gizi dan kebiasaan makan keluarga tidak berpengaruh.
5.2. Pengaruh Tingkat Pengetahuan Gizi, Pendapatan Keluarga dan Kebiasaan Makan Keluarga terhadap Kecukupan Protein anak Balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie
5.2.1. Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan protein anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,016 (p<0,05).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat (Khomsan, 2000), pengetahuan merupakan kemampuan seseorang yang mempengaruhi terhadap tindakan yang dilakukan. Pengetahuan gizi dapat diperoleh dari pengalaman orang lain dan dapat diperoleh dengan mengikuti penyuluhan. Dengan demikian pengetahuan gizi yang tinggi maka dapat menanggulangi masalah gizi yang dihadapi oleh anak-anaknya.
Sedangkan pendapat (Suhardjo, 1989), pengetahuan gizi sangat menentukan dalam hal pemilihan dan penentuan jenis makanan yang dikonsumsi oleh keluarga khususnya anak balita. Jika tingkat pengetahuan ibu tinggi maka tingkat kecukupan protein dalam rumah tangga akan baik pula. Teori (Berg, 1986), mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat pengetahuan gizi seseorang maka semakin diperhitungkan jenis dan jumlah makanan yang dipilih untuk dikonsumsi oleh keluarga.
Menurut Marice (2008), pengetahuan gizi ibu berpengaruh terhadap tersedianya bahan makanan sumber protein dalam rumah tangga khususnya pada anak balita, pengetahuan juga berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan berpengaruh terhadap meningkatnya kesehatan masyarakat.
Didalam sebuah keluarga biasanya ibu berperan sebagai pengatur makanan keluarga.
Oleh karena itu ibu adalah sasaran utama dalam pendidikan gizi untuk meningkatkan pengetahuan gizi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hardiviani (2003), di Desa Suwawal Barat Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, menunjukkan bahwa ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan protein anak balita. Seorang ibu harus memiliki pengetahuan gizi untuk menanggulangi masalah-masalah gizi yang dihadapi oleh anak-anaknya.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Erma Handarsari (2010), di Desa Wukir Sari Kecamatan Batang Kabupaten Batang, menunjukkan ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan protein anak balita. Semakin baik tingkat pengetahuan gizi ibu diikuti dengan kecukupan protein yang baik pula. Walaupun sebagian besar pendidikan ibu rendah, namun pengetahuan gizi ibu dikatakan lebih baik, karena ibu-ibu diwilayah ini sering mengikuti penyuluhan yang biasanya diselenggarakan oleh kader posyandu.
Dari hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan gizi ibu menunjukkan responden dengan pengetahuan baik serta dapat memberikan protein yang cukup pada anak balita sebanyak 41 orang (78,8%) dan responden dengan pengetahuan kurang serta dapat memberikan protein yang cukup pada anak balita sebanyak 5 orang (41,7%).
Hasil ini dapat dilihat dari pernyataan responden tentang makanan apa yang ibu berikan pada anak umur diatas 3 tahun, responden yang paling banyak menjawab
benar yaitu sebanyak 55 responden (85,9%) dan yang menjawab kurang benar yaitu sebanyak 2 responden (3,1%). makanan yang ibu berikan pada anak umur diatas 3 tahun adalah makanan yang biasa dimakan oleh keluarga, 3 kali sehari terdiri dari nasi, lauk pauk sayur dan buah. makanan yang ibu berikan pada anak umur 1-2 tahun adalah nasi lembik, telur, ikan, daging, ayam, tempe, tahu, sayuran dan buah, paling banyak menjawab benar yaitu sebanyak 46 responden (71,9%) dan yang menjawab kurang benar yaitu sebanyak 5 responden (7,8%).
Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan menggunakan metode Enter pada uji Regresi Logistik Ganda menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kecukupan protein anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,121 (p>0,05).
Selain pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga juga sangat memengaruhi terhadap tersedianya zat gizi yang cukup. Jika tingkat pengetahuan gizi ibu tinggi tetapi pendapatan keluarga rendah maka tidak bisa membeli bahan makanan sumber zat gizi yang dikonsumsi oleh anak-anaknya. Kurangnya asupan protein pada anak balita di karenakan rendahnya pendapatan keluarga yang mereka peroleh dan banyaknya anggota keluarga yang harus diberi makan walaupun tingkat pengetahuan gizi ibu tinggi.
Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan secara bersama-sama, yaitu tingkat pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga dan kebiasaan makan keluarga, ternyata hanya pendapatan keluarga yang berpengaruh terhadap kecukupan energi
anak balita, sedangkan tingkat pengetahuan gizi dan kebiasaan makan keluarga tidak berpengaruh.
5.2.2. Pendapatan Keluarga
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap kecukupan protein anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,014 (p<0,05).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat (Suhardjo, 1989), tingkat pendapatan akan memengaruhi pola kebiasaan makan yang selanjutnya berperan dalam prioritas penyediaan pangan berdasarkan nilai ekonomi dan nilai gizinya. Bagi mereka dengan pendapatan yang sangat rendah hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan berupa sumber karbohidrat yang merupakan pangan prioritas utama. Jika tingkat pendapatan meningkat maka pangan merupakan prioritas kedua. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan seseorang tidak mampu membeli pangan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hardiviani (2003), di Desa Suwawal Barat Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara, menunjukkan bahwa ada pengaruh pendapatan keluarga terhadap kecukupan protein pada anak balita. Tingkat pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Tetapi perlu disadari bahwa tidak selalu membawa perbaikan pada susunan makanan. Tingkat pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli untuk makanan. Jika keuangan memungkinkan serta memiliki keleluasaan dalam memilih, maka kebutuhan makanan akan terpenuhi.
Akan tetapi jika keuangan terbatas, memilih makanan yang murah, namun diharapkan dengan uang yang sedikit tersebut dapat dibelanjakan bahan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi. Jadi dalam mengolah diperlukan pertimbangan yang cermat, hal dimaksud agar dapat menggunakan uang belanja dengan sebaik-baiknya serta dapat mencukupi kebutuhan keluarga, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayu Nilasari (2012), di Kabupaten Cilacap, menunjukkan bahwa ada pengaruh antara pendapatan dengan kecukupan protein anak balita. Kenaikan pendapatan akan memberi reaksi yang proporsional terhadap tingkat kecukupan protein. Hasil penelitian Priyadi (2002), di Kabupaten Kendal, Propinsi Jawa Tengah, dimana hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa pendapatan keluarga mempengaruhi tingkat kecukupan protein pada anak balita.
Dari hasil penelitian tentang pendapatan keluarga menunjukkan responden dengan pendapatan tinggi, serta dapat memberikan protein yang cukup pada anak balita sebanyak 25 orang (89,3%) dan responden dengan pendapatan rendah serta dapat memberikan protein yang cukup pada anak balita sebanyak 21 orang (58,3%).
Hasil ini dapat dilihat dari keluarga yang mempunyai pendapatan tinggi akan dapat memberikan makanan cukup sumber protein dibandingkan keluarga yang berpendapatan rendah. Diharapkan walaupun pendapatan rendah dapat membeli bahan makanan sumber zat gizi dengan harga yang murah.
Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan menggunakan metode Enter pada uji Regresi Logistik Ganda menunjukkan bahwa ada pengaruh pendapatan
keluarga terhadap kecukupan protein anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai Exp (B) sebesar 5,814 dengan nilai p=0,017 (p<0,05), yang berarti keluarga yang berpendapatan tinggi berkemungkinan
5,814 kali kecukupan protein anak balita cukup dibandingkan keluarga yang berpendapatan rendah.
5.2.3. Kebiasaan Makan Keluarga
Berdasarkan hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada pengaruh kebiasaan makan keluarga terhadap kecukupan protein anak balita di Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie. Hal ini ditunjukkan dari nilai p=0,011 (p<0,05).
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat (Saptandari, 2013), Pendefinisian tentang makanan juga berpengaruh pada kebiasaan makan dan kecukupan gizi, pengertian makan hanya ditujukan pada nasi atau produk olahan yang berasal dari bahan dasar beras, seperti lontong. Kalau belum makan nasi belum dianggap makan, apapun lauknya. Ada pula jenis masakan yang dihubungkan dengan upacara/selametan, seperti selamaten kelahiran, pernikahan hingga kematian, terdapat perbedaan makanan yang disajikan atau dihantarkan kepada tetangga atau kerabat. Dalam berbagai kebiasaan makan itu, terlihat bagaimana kebiasaan makan tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai budaya setempat yang tentunya berpengaruh pada kondisi gizi dan kesehatan masyarakat. Uraian tentang keberagaman kebiasaan makan dan pengolahan makanan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memahami kondisi gizi dan kesehatan masyarakat maupun bagi program penyuluhan gizi dan kesehatan secara menyeluruh. Walaupun hampir semua orang mengetahui bahwa
pangan dan gizi merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang sangat erat kaitannya dengan kesehatan dan penyakit. Banyak juga yang sudah mengetahui bahwa kekurangan gizi akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, menyebabkan banyak penyakit kronis, serta menyebabkan orang tidak mungkin melakukan kerja keras. Namun demikian, aspek budaya masih mendominasi perilaku dan kebiasaan makan yang terjadi dalam masyarakat
Menurut Suhardjo (2003), kebiasaan makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya, padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek budaya sangat mempengaruhi perilaku kehidupan
Menurut Suhardjo (2003), kebiasaan makan terhadap anak sangat dipengaruhi oleh budaya, unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan dalam masyarakat yang diajarkan secara turun temurun kepada seluruh anggota keluarganya, padahal kadang-kadang unsur budaya tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Aspek budaya dalam kehidupan masyarakat Indonesia berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan, agama, adat dan kebiasaan masyarakat. Sampai saat ini aspek budaya sangat mempengaruhi perilaku kehidupan