• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 PEMBAHASAN

6.1 Pengaruh Umur terhadap Kinerja Petugas Laboratorium

tahun 2016

Menurut Sastrohardiwiryo (2003) untuk menghindari rendahnya produktifitas umur dari pekerja tersebut haruslah dipertimbangkan. Dikarenakan perkerjaan seseorang dipengaruhi oleh umur, yang berpengaruh terhadap kondisi fisik, mental, kemampuan kerja dan tanggung jawab seseorang. Deva (2005) klasifikasi umur dibagi dua yaitu umur dibawah 40 tahun dan diatas atau sama dengan 40 tahun, karena pada kedua umur tersebut orang dengan produktivitas tinggi atau sebaliknya.

Variabel umur tidak mempengaruhi kinerja petugas laboratorium dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016. Hal ini disebabkan oleh petugas laboratorium tuberkulosis di setiap Puskesmas baik semua mengikuti kegiatan pelatihan sehingga baik petugas laborotorium tuberkulosis yang lama maupun baru memiliki keahlian yang sama dalam melakukan pemeriksaan sediaan dahak. Selain itu hal ini terjadi kemungkinan disebabkan sebaran data yang tidak merata, sehingga memerlukan banyak sampel untuk menjawab hipotesis. Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh War (1994) menyatakan bahwa usia tidak berpengaruh dengan kinerja, dikarenakan setiap kategori usia memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing maka dibutuhkan pengaturan kerja oleh kepala puskesmas agar kinerja lebih baik.

Hal ini tidak sejalan pada penelitian Sastrohardiwiryo (2003) yang menyatakan bahwa produktifitas kinerja sangat dipengaruhi oleh umur, karena menyangkut perubahan yang dirasakan oleh individu, sehubungan dengan pengalaman maupun perubahan kondisi fisik dan metal seseorang sehingga nampak dalam aktifitas sehari hari. Hal senada juga pada penelitian Robbins (2003) bahwa usia berpengaruh pada tingkat produktivitas terutama dikaitkan dengan keterampilan, kecepatan, kecekatan dan kekuatan individu.

6.2 Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016

Menurut Depnaker (1993) bahwa jenis kelamin wanita tidak mempengaruhi kemampuan fisik dan kultural. Jenis kelamin harus diperhatikan berdasarkan sifat pekerjaan, waktu mengerjakan dan peraturan dalam lingkungan kerja. Variabel

jenis kelamin tidak mempengaruhi kinerja petugas laboratorium dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016. Hal ini disebabkan oleh distribusi responden yang berjenis kelamin laki laki dan perempuan yang tidak merata pada penelitian ini, sehingga memerlukan banyak sampel untuk menjawab pertanyaan hipotesis.

Muchlas (1997) mengatakan bahwa dalam berbagai penelitian dapat dikatakan bahwa secara umum tidak ada perbedaan yang signifikan dalam produktivitas maupun kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan Perbedaan jenis kelamin hanyalah perbedaan fisik dan psikologis. Hal yang sama juga di ungkapkan oleh Sulistyiorini (2010) dalam hasil penelitian tentang faktor yang mempengaruhi kenerja petugas laboratorium dalam pemeriksaan tuberkulosis di Bantul.

6.3 Pengaruh Pendidikan terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016

Dalam bekerja individu memerlukan ketrampilan dan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaaannya dengan baik dan efisien. Keterampilan dan kemampuan ini dapat diperoleh dengan pendidikan formal dalam bentuk pendidikan terlembaga maupun informal dalam bentuk bimbingan dalam bekerja. Keterampilan dan kemampuan petugas puskesmas tidak ditentukan oleh pendidikan terlembaga saja, tetapi memerlukan pendidikan informal seperti pelatihan P2 TB strategi DOTS atau bimbingan kerja di lapangan.

Berdasarkan KEPMENKES RI NOMOR 370/MENKES/SK/III/200, petugas laboratorium adalah seorang yang berpendidikan analis kesehatan. Analis

Kesehatan atau disebut juga Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan adalah tenaga kesehatan dan ilmuan berketerampilan tinggi yang melaksanakan dan mengevaluasi prosedur laboratorium dengan memanfaatkan berbagai sumber daya.

Analis Kesehatan adalah profesi yang bekerja pada sarana kesehatan yang melaksanakan pelayanan pemeriksaan, pengukuran, penetapan, dan pengujian terhadap bahan yang berasal dari manusia atau bahan bukan berasal dari manusia untuk penentuan jenis penyakit, penyebab penyakit, kondisi kesehatan atau faktor- faktor yang dapat berpengaruh pada kesehatan perorangan dan masyarakat (Patelki, 2012).

Variabel pendidikan tidak mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016 disebabkan hampir semua responden berpendidikan analis kesehatan, hal ini memenuhi standar kualifikasi tenaga laboratorium berpendidikan analis kesehatan (Kepmenkes, 2001). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan oleh Arif (2007) yang menyebutkan bahwa tidak terdapat pengaruh pendidikan dengan kinerja petugas mikroskopis malaria dalam pemeriksaan sediaan darah di Ogan Komering Ulu. Namun Penelitian yang di lakukan oleh Pakpahan (2013) menyebutkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi kinerja yang dihasilkan.

6.4 Pengaruh Masa Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium

Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak di Kota Surabaya Tahun 2016

Pengalaman atau masa kerja dikaitkan dengan waktu mulai bekerja dimana pengalaman, masa ketertarikan diri dengan pekerjaan juga ikut menentukan kinerja seseorang karena semakin lama masa kerja seseorang, makin cakap mereka akan lebih baik karena sudah menyusaikan diri dengan pekerjaan. Banyak pengalaman yang dimiliki, maka semakin banyak pula keterampilan yang pernah diketahuinya dan hal ini akan memberikan rasa percaya diri dan akan mempunyai sikap ketika menghadapi suatu pekerjaan atau persoalan, sehingga kualitas kinerja akan lebih baik.

Variabel masa kerja tidak mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016. Hal ini disebabkan masa kerja petugas laboratorium tuberkulosis baik yang sudah lama bekerja sebagai laboran maupun belum lama, semua diikutsertakan dalam kegiatan pelatihan mikroskopis dalam pembuatan sediaan dahak. Sehingga memiliki pemahaman dan keterampilan yang sama. Selain itu kemungkinan hal ini terjadi karena sebaran data yang tidak merata, sehingga memerlukan banyak sampel untuk menjawab hipotesis.

Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Supardi (2004) di Kabupaten Kendal yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh masa kerja terhadap kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam penemuan kasus suspek penderita tuberkulosis.

Penelitian yang dilakukan oleh Rye dkk (2009) di Kota Palu provinsi Sulawesi Tengah juga menyatakan hal yang sama bahwa tidak terdapat pengaruh masa kerja terhadap penemuan kasus tuberkulosis. Pada penelitian Arianti (2005) di Kabupaten Buleleng juga sejalan. Hasil penelitian tersebut sesuai pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniati (2011) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kinerja petugas, petugas dengan masa kerja baru atau lama memberikan kontribusi yang sama bagi keberhasilan program P2TB di Kota Pekalongan. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Khoirudin (2013) yang menyebutkan bahwa lama nya masa kerja tidak berpengeruh secara statistika antara masa kerja dengan kinerja tenaga kesehatan dalam upaya peningkatan penemuan suspek TB paru di Kediri.

6.5 Pengaruh Pelatihan terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak di Kota Surabaya tahun 2016

Kemapaman pegawai dalam bekerja untuk mencapai tujuan organisasi/instansi dipengaruhi oleh berbagai faktor secara internal, salah satunya adalah melalui pelatihan, dimana melalui program tersebut diharapkan organisasi/instansi dapat mempertahankan pegawai yang berpotensi dan berkualitas. Pelatihan (training) merupakan suatu usaha peningkatan pengetahuan dan keahlian seseorang pegawai untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Dengan adanya peningkatan keahlian, pengetahuan, wawasan, dan sikap karyawan pada tugas-tugasnya melalui program pelatihan yang sudah dilaksanakan dalam organisasi dapat meningkatkan kinerja pegawai organisasi tersebut (Pakpahan dkk, 2013).

Menurut Sastrohadiwiryo (2003) pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan dan mengembangkan keterampilan atau keahlian kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standart kualifikasi keterampilan atau keahlian yang pelaksanaannya dilakukan secara berjenjang dan berlanjut. Pelatihan kerja yang merupakan hak setiap pekerja dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan keterampilan serta keahlian sesuai bakat, minat dan kemampuanya diselenggarakan oleh lembaga pelatihan pemerintah.

Variabel pelatihan tidak mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016. Hal ini dikarenakan sebaran data yang tidak merata, sehingga memerlukan banyak sampel untuk menjawab hipotesis. Selain itu hal ini terjadi karena semua petugas laboratorium tuberkulosis semua diikutsertakan dalam kegiatan pelatihan dalam pembuatan sediaan dahak.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hariadi dkk (2009) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan dan kinerja petugas TB di Kabupaten Bengkulu Utara. Penelitian yang dilakukan oleh Devisa (2010) di Kabupaten Bengkulu menyatakan hal yang sama bahwa tidak terdapat pengaruh pelatihan terhadap kinerja petugas mikroskopis TB paru di Puskesmas.

6.6 Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak di Kota Surabaya tahun 2016

Lingkungan kerja merupakan bagian komponen yang sangat penting di dalam karyawan melakukan aktivitas bekerja. Dengan memperhatikan lingkungan kerja yang baik atau menciptakan kondisi kerja yang mampu memberikan motivasi karyawan untuk bekerja, maka dapat membawa pengaruh terhadap semangat kerja karyawan. Pengertian lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Disini yang dimaksud dengan lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Lingkungan kerja ada dua macam yaitu lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non fisik (Rahmawanti dkk, 2014).

Menurut Sedamaryanti (2001) lingkungan kerja fisik merupakan semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat disekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung, sedangkan lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan kerja dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan.Terciptanya lingkungan kerja yang nyaman, aman dan menyenangkan merupakan salah satu cara perusahaan untuk dapat meningkatkan kinerja para karyawan.

Variabel lingkungan kerja mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016. Hal

ini dikarenakan pada saat penelitian banyak Puskesmas yang berada di Kota Surabaya melakukan kegiatan renovasi sehingga tempat melakukan pemeriksaan sediaan dahak sempit dan kurang nyaman.

Hal ini sejalan dengan penelitian Rahmawati dkk (2014) di Malang menyatakan bahwa lingkungan kerja mempengaruhi kinerja petugas. Menurut Sutrisno (2010) menyatakan bahwa lingkungan kerja adalah keseluruhan sarana dan prasarana kerja yang ada di sekitar karyawan yang sedamg melalukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan. Lingkungan kerja ini meliputi tempat bekerja, fasilitas dan alat bantu dalam pekerjaan, kebersihan, pencahayaan, dan dapat menciptakan lingkungan kerja yang menyenangkan. Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini dilakukan oleh Sukmawati (2008) yang menyebutkan bahwa lingkungan kerja fisik berpengaruh terhadap kinerja karyawan.

Keberadaan sarana dalam organisasi merupakan hal yang pokok sekaligus modal untuk berfungsinya suatu organisasai. Alat kerja yang canggih disertai dengan pelatihan penggunaannya secara lengkap dan sempurna akan banyak berpengaruh terhadap produktifitas kerja dan kualitas kerja. Menurut Lewa dan Subono (2005) bahwa lingkungan kerja didesain sedemikian rupa agar dapat tercipta hubungan kerja yang mengikat pekerja dengan lingkungan. Lingkungan kerja yang menyenangkan dapat membuat para karyawan merasa betah dalam menyelesaikan pekerjaannya serta mampu mencapai suatu hasil yang optimal. Sebaliknya apabila kondisi lingkungan kerja tersebut tidak memadai akan

menimbulkan dampak negatif dalam penurunan tingkat produktifitas kinerja karyawan.

6.7 Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak di Kota Surabaya tahun 2016

Motivasi seseorang tersebut memberikan dorongan atau semangat untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan. Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku seseorang secara optimal, hal ini disebabkan karena motivasi merupakan kondisi internal, kejiwaan dan mental manusia seperti aneka keinginan, harapan, kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang mendorong individu untuk berperilaku kerja untuk mencapai kepuasan atau mengurangi ketidakseimbangan.

Motivasi dapat sebagai inisiatif penggerak perilaku seseorang secara optimal, hal ini disebabkan karena motivasi merupakan kondisi internal, kejiwaan dan mental manusia seperti aneka keinginan, harapan, kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang mendorong individu untuk berperilaku kerja untuk mencapai seseorang dapat sebagai alasan seseorang untuk berperilaku guna mencapai tujuan, dalam hal ini adalah kinerja seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia sesuai dengan hirarki Maslow.

Menurut Stoner (1982) motivasi adalah suatu hal yang menyebabkan dan yang mendukung tidakan atau perilaku seseorang yang merupakan hasil sejumlah proses, yang bersifat internal, atau eksternal bagi seseorang individu yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.

Variabel motivasi mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016. Hal ini disebabkan oleh hampir semua responden memiliki motivasi yang tinggi dalam pembuatan sediaan dahak. Hasil ini sejalan dengan penelitian oleh Suardiana (2006) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara motivasi petugas kesehatan terhadap kinerja nya dalam menemukan kasus pneumonia di Kabupaten Bangli. Namun hasil ini berbeda dengan Melayu (2003) dan As’at (2004) yang menyatakan motivasi berkaitan erat dengan kinerja.

Gibson dkk (1996) mengatakan bahwa motivasi sebagai semua kondisi yang memberikan dorongan dari dalam seseorang yang digambarkan sebagai keinginan, kemauan, dorongan atau keadaan dalam diri seseorang yang mengaktifkan atau menggerakkan. Dengan motivasi yang tepat diharapkan setiap petugas mau bekerja keras dan antusias untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi.

6.8 Pengaruh Insentif terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016

Menurut Sunyoto (2012) menyatakan kompensasi merupakan suatu jaringan berbagai subproses untuk memebrikan balas jasa kepada karyawan untuk pelaksanaan pekerjaan dan untuk memotivasi karyawan agar mencapai tingkat prestasi yang diinginkan. Hasibuan (2009) mengatakan bahwa kompensasi adalah semua pendapatan yang berbentuk uang, barang langsung atau tidak langsung yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan kepada perusahaan. Di dalam kompensasi terdapat sistem insentif yang menghubungkan

kompensasi dengan kinerja. Dengan kompensasi kepada pekerja diberikan penghargaan berdasarkan kinerja dan berdasarkan senioritas atau jumlah jam kerja (Wibowo, 2007).

Variabel insentif mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016. Hasil ini sesuai dengan Stoner (2000) yang menyatakan bahwa insentif atau imbalan yang diterima karyawan baik dalam bentuk fasilitas ataupun honorarium akan berhubungan langsung dengan kebutuhan pokok karyawan, seperti kebutuhan ekonomi sekarang maupun yang akan datang, jika kebutuhan pokok terpenuhi maka seseorang akan terfokus pada pekerjaannya.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Akhmadi (2011) yang menilai kinerja pelayanan kesehatan dalam pengobatan TB di Makassar menunjukkan bahwa insentif untuk meningkatkan organisasi perawatan dan praktik manajemen, dapat berkontribusi terhadap kinerja yang lebih baik terhadap pelayanan kesehatan dalam pengobatan TB. Dalam penelitian tersebut, pentingnya kompensasi bagi petugas TB. Hal ini ditunjukkan dimana insentif yang diberikan dapat mendorong pada kinerja pelayanan kesehatan dalam pengobatanTB. Hal yang sama juga dihasilkan pada penelitian Widyatmini dan Hakim (2009) menunjukkan bahwa insentif berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja PNS. Tambahan penghasilan dan apresiasi kinerja yang diberikan oleh pemerintah diharapkan dapat meningkatkan semangat kerja.

Menurut Simamora (2006) sistem imbalan baik berupa finansial maupun nonfinansial yang di kendalikan oleh organisasi dapat digunakan sebagai alat

untuk memotivasi karyawan nya. Sistem imbalan akan mempengaruhi produktivitas dan tendensi mencari pekerjaan lainnya.

Hubungan antara kompensasi dengan kinerja adalah positif, artinya semakin baik kompensasi yang diterima oleh pegawai, maka kinerja pegawai juga semakin baik. Semakin tinggi kompetensi seorang pegawai maka akan berpengaruh meningkatkan kinerja pegawai dan semakin baik kompensasi yang diberikan kepada para pegawai maka mereka akan lebih semangat lagi dalam melakukan pekerjaan dan menghasilkan kinerja yang baik juga. Begitu juga dengan kepemimpinan, semakin baik kepemimpinan maka akan berpengaruh meningkatkan kinerja pegawai.

Kompensasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.Kompensasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai. Kompensasi yang akan diberikan kepada para pegawai harus sesuai dengan kinerja yang mereka hasilkan agar mereka bisa termotivasi dan bisa lebih semangat lagi dalam bekerja. Hal ini harus lebih ditingkatkan lagi agar kinerja karyawan tidak akan menurun melainkan bisa lebih meningkat lagi.

Mempertahankan dan meningkatkan kompensasi yang ada untuk mempertahankan dan meningkatkan kompensasi yaitu ditunjang dengan beberapa faktor seperti keahlian dalam bekerja, keahlian seseorang dalam bekerja harus terus-menerus ditingkatkan, peningkatan keahlian seorang pegawai dapat dilihat dari pengalaman-pengalaman mereka dalam bekerja. Dengan hasil pekerjaan yang mereka lakukan sesuai dengan keahlian maka kompensasi yang diberikan kepada mereka juga sesuai dengan apa yang mereka lakukan. Dengan itu juga mereka

akan termotivasi dalam bekerja dan mereka bisa mendapatkan prestasi kerja sesuai apa yang diharapkan (Dharma, 2008).

6.9 Pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016

Secara konseptual beban kerja dapat ditinjau dari selisih antara energi yang tersedia pada setiap pekerjaan dengan energi yang diperlukan untuk mengkerjakan suatu tugas dengan sukses. Konsep yang mendasari pengukuran kinerja adalah pertama menyelesaikan suatu tugas memerlukan waktu tertentu. Tingkat beban kerja diperhitungkan dari jumlah waktu yang telah dipakai untuk mengerjakan suatu tugas sampai selesai. Kedua, manusia hanya memiliki kapasitas energi yang terbatas, sebagai akibatnya jika seseorang harus mengerjakan beberapa tugas dalam waktu yang sama maka akan terjadi kompensasi prioritas antar tugas-tugas itu guna memperebutkan energi yang terbatas (Sugianto, 1993).

Variabel beban kerja mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016. Hal ini disebabkan oleh kurangnya tenaga laboratorium sehingga semua pemeriksaan (darah, urin, feses) dikerjakan sendiri tanpa bantuan petugas lain, Selain itu tingginya angka kunjungan pasien sehinnga menambah beban kerja petugas laboratorium. Selain karena kurangnya tenaga laboratorium beratnya beban kerja yang dirasakan oleh responden juga disebabkan pada saat dilakukannya penelitian ini sebagian besar petugas laboratorium juga sedang melakukan pemeriksaan

menyatakan bahwa beban kerja yang terlalu berat dapat menurunkan kinerja karyawan.

6.10 Pengaruh Sikap terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak di Kota Surabaya tahun 2016

Robbins (2003) menyebutkan bahwa sikap itu penting karena mempengaruhi perilaku, sedangkan perilaku berpengaruh terhadap kinerja dan produktivitas karyawan. Notoatmodjo (2014) sikap adalah bagaimana pendapat atau penilaian orang atau responden terhadap hal yang terkait dengan kesehatan, sehat sakit dan faktor yang terkait dengan faktor resiko kesehatan.

Variabel sikap tidak mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016. Dikarenakan hampir semua responden bersikap mendukung dalam pemeriksaan dahak dikarenakan responden berpendapat pembuatan sediaan dahak adalah tugas dan kompetensi seorang analis kesehatan yang bertugas di Puskesmas. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kurniawati dkk (2014) di Pekalongan yang menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh sikap terhadap kinerja petugas laboratorium dalam pembuatan sediaan dahak penderita tuberkulosis.

6.11 Pengaruh Supervisi terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak di Kota Surabaya tahun 2016

Sedarmayanti (2007) supervisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja, dikarenakan supervisi adalah kegiatan bimbingan dan evaluasi kerja yang rutin dilakukan yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja petugas dan mempertahankan kompetensi dan motivasi petugas yang dilakukan

secara langsung. Kegiatan yang dilakukan selama supervisi adalah observasi, bantuan tekhnis, diskusi bersama tentang permasalahan yang ditemukan, mencari solusi pemecahan masalah bersama, memberikan laporan dan membarikan saran perbaikan.

Variabel supervisi tidak mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak di Kota Surabaya tahun 2016. Hal ini dikarenakan sebaran data yang tidak merata, sehingga memerlukan banyak sampel untuk menjawab hipotesis. Selain itu supervisi yang dilakukan tidak mempengaruhi kinerja petugas laboratorium dalam pembuatan sediaan dahak. Ini bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati dkk (2012) yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara persepsi petugas tentang supervisi dengan kinerja petugas puskesmas dalam pengelolaan pengobatan TB mangkir di Kota Pekalongan. Begitu pula dengan Ilyas (2002) menyatakan bahwa supervisi merupakan proses yang memacu anggota unit kerja untuk berkontribusi positif.

BAB 7

Dokumen terkait