• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PETUGAS LABORATORIUM TUBERKULOSIS DALAM PEMBUATAN SEDIAAN DAHAK YANG BERKUALITAS DI KOTA SURABAYA TAHUN 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "TESIS ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PETUGAS LABORATORIUM TUBERKULOSIS DALAM PEMBUATAN SEDIAAN DAHAK YANG BERKUALITAS DI KOTA SURABAYA TAHUN 2016"

Copied!
188
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PETUGAS LABORATORIUM TUBERKULOSIS DALAM PEMBUATAN

SEDIAAN DAHAK YANG BERKUALITAS DI KOTA SURABAYA TAHUN 2016

ROSDIYANTI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOGI SURABAYA

(2)

TESIS

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PETUGAS LABORATORIUM TUBERKULOSIS DALAM PEMBUATAN

SEDIAAN DAHAK YANG BERKUALITAS DI KOTA SURABAYA TAHUN 2016

ROSDIYANTI NIM. 101414553022

UNIVERSITAS AIRLANGGA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOGI SURABAYA

(3)

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PETUGAS LABORATORIUM TUBERKULOSIS DALAM PEMBUATAN

SEDIAAN DAHAK YANG BERKUALITAS DI KOTA SURABAYA TAHUN 2016

TESIS

Untuk memperoleh gelar Magister Epidemiologi Minat Studi Epidemiologi

Program Studi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Airlangga

Oleh: ROSDIYANTI NIM. 101414553022

UNIVERSITAS AIRLANGGA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOGI SURABAYA

(4)

PENGESAHAN

Dipertahankan di depan Tim Penguji Tesis Minat Studi Epidemiologi

Program Studi Epidemiologi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan diterima untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar

Magister Epidemiologi (M.Epid.) pada tanggal 25 Juli 2016

Mengesahkan

Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat

Dekan,

Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S NIP. 19560303 198701 2 001

Tim Penguji:

Ketua Anggota

: :

Dr. RR. Soenarnatalina M, Ir., M.Kes

1. Prof. Dr. Chatarina U.W, dr., M.S., M.PH 2. Dr. Santi Martini, dr., M.Kes

(5)

PERSETUJUAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Epidemiologi (M.Epid.)

Minat Studi Epidemiologi Program Studi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Airlangga

Oleh:

ROSDIYANTI NIM. 101414553022

Menyetujui, Surabaya, 25 Juli 2016

Pembimbing Ketua,

Prof. Dr. Chatarina U.W, dr., M.S., M.PH NIP. 19540916 198303 2 001

Pembimbing,

Dr. Santi Martini, dr., M.Kes NIP. 19660927 199702 2 001

Mengetahui,

Koordinator Program Studi Epidemiologi

(6)

PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : Rosdiyanti NIM : 101414553022 Program Studi : Epidemiologi Minat Studi : Epidemiologi Angkatan : 2014

Jenjang : Magister

menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tesis saya yang berjudul:

ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PETUGAS LABORATORIUM TUBERKULOSIS DALAM PEMBUATAN SEDIAAN DAHAK YANG BERKUALITAS DI KOTA SURABAYA TAHUN 2016

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Surabaya, 25 Juli 2016

Rosdiyanti

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia dan hidayahNya penyusunan tesis dengan judul “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya Tahun 2016” ini dapat terselesaikan. Tesis ini berisikan mengenai kinerja petugas laboratorium dalam pembuatan sediaan dahak dalam upaya meningkatkan kualitas diagnosis tuberkulosis di puskesmas Kota Surabaya tahun 2016.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Prof. Dr.Chartarina U.W, dr., M.S., M.PH selaku pembimbing ketua dan Dr. Santi Martini, dr., M.Kes selaku pembimbing II, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran serta motivasi demi kesempurnaan tesis ini. Ayahanda Kamarudin HB, Ibunda Rosuli S serta Ananda tersayang Quinsha C Arsyanda Al-Hayyu yang berkorban materil maupun spiritual dan menanti kesuksesanku..

Dengan terselesainya tesis ini, perkenankan saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada:

1 Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., M.T., AK., CMA., CA selaku rektor Universitas Airlangga Surabaya yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi Magister Epidemiologi

2 Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga yang telah memberikan izin untuk menempuh pendidikan di Program Studi Magister Epidemiologi

3 Prof. Dr. Chartarina U.W., dr., M.S.,M.PH selaku Koordinator Program Studi Magister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga 4 Prof. Dr. Rika Subarniati T, dr., S.KM, Dr. RR.Soenarnatalina M, Ir., M.Kes, Priyo Santoso, SKM., M.Kes selaku anggota penguji proposal tesis atas kesediannya menguji dan membimbing dalam perbaikan tesis

5 drg. Febria Rachmanita selaku Kepala Dinas kesehatan Kota Surabaya yang telah mengizinkan melakukan penelitian di Puskesmas yang ada di wilayah kerja Kota Surabaya

6 Sri Astuti, S.Si., MM, selaku kepala UPT Laboratorium Dinas Kesehatan Kota Surabaya beserta Staff

7 Teman Magister Epidemiologi angkatan 2014 dan angkatan 2015 yang telah memberikan dorongan dan bantuan nya dalam penyusunan teris ini

(8)

Demikian, semoga tesis ini bisa membari manfaat bagi diri kami sendiri dan pihak lain yang menggunakan.

Surabaya, Juli 2016

(9)

SUMMARY

Tuberculosis (TB) is an infectious disease directly caused by bacteria Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis remains one of the most deadly infectious diseases in the world. Indonesia, in 2014 was ranked second with the highest burden of TB in the world, just after India. The most common method for diagnosing TB is sputum microscopic examination. Error laboratory tests will result in errors in diagnosing. Indicators and targets in tuberculosis laboratory that needs to be fulfilled is a 90% quality of samples for the cross test.

Tuberculosis (TB) remains one of the most deadly infectious diseases in the world. In 2013, an estimated 9.0 million people suffered TB and for about 1.5 million people died with 360,000 of whom were HIV positive. Indonesia was ranked second with the highest burden of TB in the world after India. The number of TB patients in Indonesia is about 5.8% of the total number of TB patients worldwide. Each year there are 429,730 new cases and about of 62,246 people death from the disease. Incident cases of smear positive (based on the presence of at least one acid fast bacilli (AFB+) is around 102/ 100,000 population. East Java ranks second after West Java with the burden of tuberculosis and the City of Surabaya is one contributor to TB in the province.

Quality assessment of microscopic laboratory performance for TB is carried out through the implementation of TB External Quality Consolidation (Indonesian: PME; Pemantapan Mutu Eksternal) to carry out cross test for sputum samples with smear positive. Up to today, cross test is done with a conventional 100% positive preparations supplemented with 10% negative preparations with an error rate of <5%. In 2015 there were 49.733 samples inspected by various health institutions in the working area of Surabaya City Health Office. As many as 4,651 samples were being examined and were known to be positive while as many as 878 samples were scanty and the remaining 44,249 samples were negative. Several factors can affect the quality of the samples, namely the quality, picking and coloring of the samples (sputum), quality of the reagents, the reading of samples, as well as in recording and reporting, maintenance and storage both of samples and microscope.

The purpose of this study was to analyze the factors that affect the performance of staffs in laboratory with individual characteristics (age, sex, education), employment, training, working environment, motivation, incentives, workload, attitudes, and supervision in the preparation of sputum samples in the City of Surabaya in 2016. This study applied observational study with cross sectional design. The population under study consisted of as many as 63 laboratory staffs in the working area of Surabaya City Health Office in 2016, with a sample size of 50 laboratory staffs, obtained using simple random sampling.

(10)

0.329), training (p value = 0.832), supervision (p value = 0.443) with the performance of laboratory staff in the preparation of sputum. While working environment (p value = 0.001), motivation (p value = 0.013), incentives (p value = 0.005), workload (p value = 0.004), attitude (p value = 0.155) indicated P value <0.05 which means that the working environment, motivation, incentives, workload and attitudes had influence on the performance of the laboratory staff in preparing samples. The results of multiple logistic regression also indicated that there was a significant correlation between the working environment (p value = 0.001), workload (p value = 0.024) and incentives (p value = 0.024) with the performance of staff in the laboratory in the preparing the sputum samples in the City of Surabaya in 2016.

(11)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is an infectious disease directly caused by the bacteria Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis remains one of the most deadly infectious diseases in the world. The most common method for diagnosing TB is sputum microscopic examination. Error laboratory tests will result in errors in diagnosing. Indicators and targets in tuberculosis laboratory that needs to be fulfilled is a 90% quality of samples for the cross test.

The purpose of this study was to analyze the factors that affect the performance of staffs in laboratory in preparing sputum samples in the City of Surabaya in 2016. This study applied observational study design with cross sectional approach. The population under this study consisted of 63 laboratory personnel in the working area of Surabaya City Health Office in 2016, with a sample size of 50 laboratory staff obtaines by simple random sampling.

Data analysis was carried out using Logistic regression test revealed that there was a significant correlation between working environment (p = 0.001), workload (p value = 0.024) and incentives (p value = 0.024) with the performance of the laboratory staff in preparing sputum samples in Surabaya in 2016.

From the findings above, it can be inferred that factors that influence the performance of the laboratory staff in the preparaing sputum samples were working environment, workload and incentives. Therefore it is expected that the City of Surabaya Health Office to develop physical environment, to raise incentives and to increase the number of laboratory personnel to reduce the workload.

(12)

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ... i

SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN ... v

PERNYATAAN ORISINALITAS ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ... xxii

(13)

2.8 Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis ... 26

4.7 Definisi Operasional dan Cara Pengukuran Variabel ... 62

(14)

5.3 Analisis Deskriptif ... 76 Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 83

(15)

5.4.11 Analisis Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan

Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 94

5.4.12 Analisis Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 94

5.4.13 Analisis Pengaruh Insentif terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 95

5.4.14 Analisis Pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 96

5.4.15 Analisis Pengaruh Sikap terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 97

5.4.16 Analisis Pengaruh Supervisi terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 97

5.4.17 Rangkuman Hasil Analisis Bivariabel ... 98

5.4 Analisis Multivariabel ... 99

BAB 6 PEMBAHASAN ... 100

(16)

6.9 Pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang

Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 ... 113

6.10 Pengaruh Sikap terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 ... 114

6.11 Pengaruh Supervisi terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 ... 114

BAB 7 PENUTUP... 116

7.1 Kesimpulan ... 116

7.2 Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 119

(17)

DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Hal

Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 4.1

Perbedaan Uji Silang Metode Konvensional dengan LQAS Cara Penilaian Hasil Cross Check

Definisi Operasional dan Cara Pengukuran Variabel

32 34 62 Tabel 4.2 Hasil uji validitas Instrumen Motivasi 69 Tabel 4.3 Hasil uji validitas Instrumen Imbalan 69 Tabel 4.4 Hasil uji validitas Instrumen Beban Kerja 70 Tabel 4.5 Hasil uji validitas Instrumen Sikap 70 Tabel 4.6 Hasil uji validitas Instrumen Supervisi 71 Tabel 4.7 Hasil uji reliabelitas Instrumen Penelitian 72 Tabel 5.1 Jumlah Sarana pelayanan kesehatan di Kota Surabaya 75 Tabel 5.2 Jumlah tenaga kesehatan di Wilayah kerja Dinas Kesehatan

Kota Surabaya tahun 2016 76

Tabel 5.3 Frekuensi Umur Petugas Laboratorium di Kota Surabaya tahun

2016 77

Tabel 5.4 Frekuensi Jenis Kelamin Petugas Laboratorium Kota Surabaya

tahun 2016 77

Tabel 5.5 Frekuensi Pendidikan Petugas Laboratorium di Kota Surabaya

tahun 2016 77

Tabel 5.6 Frekuensi Masa Kerja Petugas Laboratorium di Kota Surabaya

tahun 2016 78

Tabel 5.7 Frekuensi Pelatihan Mikroskopis Tuberkulosis Petugas

Laboratorium di Kota Surabaya tahun 2016 78 Tabel 5.8 Frekuensi Lingkungan Kerja Petugas Laboratorium di Kota

Surabaya tahun 2016 78

Tabel 5.9 Frekuensi Motivasi Petugas Laboratorium di Kota Surabaya

tahun 2016 79

Tabel 5.10 Frekuensi Insentif Petugas Laboratorium di Kota Surabaya

tahun 2016 79

Tabel 5.11 Frekuensi Beban Kerja Petugas Laboratorium di Kota Surabaya

tahun 2016 80

Tabel 5.12 Frekuensi Sikap Petugas Laboratorium di Kota Surabaya tahun

2016 80

Tabel 5.13 Frekuensi Supervisi Petugas Laboratorium di Kota Surabaya

tahun 2016 80

Tabel 5.14 Frekuensi Kualitas Spesimen Petugas Laboratorium di Kota

(18)

Tabel 5.15 Frekuensi Ukuran Sediaan Petugas Laboratorium di Kota

Surabaya tahun 2016 81

Tabel 5.16 Frekuensi Kerataan Sediaan Petugas Laboratorium di Kota

Surabaya tahun 2016 81

Tabel 5.17 Frekuensi Ketebalan Sediaan Petugas Laboratorium di Kota

Surabaya tahun 2016 82

Tabel 5.18 Frekuensi Kebersihan Sediaan Petugas Laboratorium di Kota

Surabaya tahun 2016 82

Tabel 5.19 Frekuensi Kinerja Petugas Laboratorium di Kota Surabaya 82 Tabel 5.20 Distribusi Pengaruh Umur terhadap Kinerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan

Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya Tahun 2016 83 Tabel 5.21 Distribusi Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Kinerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak

Yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 84 Tabel 5.22 Distribusi Pengaruh Pendidikan terhadap Kinerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak

yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 85 Tabel 5.23 Distribusi Pengaruh Masa Kerja terhadap Kinerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak

yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 85 Tabel 5.24 Distribusi Kualitas spesimen berdasarkan masa kerja petugas

Laboratorium Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Surabaya 86 Tabel 5.25 Distribusi Ukuran Sediaan berdasarkan Masa Kerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 87 Tabel 5.26 Distribusi Kerataan Sediaan berdasarkan Masa Kerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 87 Tabel 5.27 Distribusi Ketebalan Sediaan berdasarkan Masa Kerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 88 Tabel 5.28 Distribusi Kebersihan Sediaan berdasarkan Masa Kerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 89 Tabel 5.29 Hasil Akhir Kinerja (Kualitas Spesimen, Ukuran Sediaan,

Kerataaan Sediaan, Ketebalan Sediaan dan Kebersihan) terhadap Masa Kerja Petugas Mikroskopis Tuberkolosis di

Kota Surabaya tahun 2016 89

Tabel 5.30 Distribusi Pengaruh Pelatihan terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak

yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 90 Tabel 5.31 Distribusi Kualitas Spesimen berdasarkan Pelatihan Petugas

Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 90 Tabel 5.32 Distribusi Ukuran Sediaan berdasarkan Pelatihan Petugas

Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 91 Tabel 5.33 Distribusi Kerataan Sediaan berdasarkan Pelatihan Petugas

Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 92 Tabel 5.34 Distribusi Ketebalan Sediaan berdasarkan Pelatihan Petugas

(19)

Tabel 5.35 Distribusi Kebersihan Sediaan berdasarkan Pelatihan Petugas

Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 93 Tabel 5.36 Hasil Akhir Kinerja (Kualitas Spesimen, Ukuran Sediaan,

Kerataaan Sediaan, Ketebalan Sediaan dan Kebersihan) terhadap Pelatihan Petugas Mikroskopis Tuberkolosis di Kota

Surabaya tahun 2016 93

Tabel 5.37 Distribusi Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan

Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 94 Tabel 5.38 Distribusi Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak

yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 95 Tabel 5.39 Distribusi Pengaruh Insentif terhadap Kinerja Petugas

Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak di Kota

Surabaya tahun 2016 95

Tabel 5.40 Distribusi Pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak

yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 96 Tabel 5.41 Distribusi Pengaruh Sikap terhadap Kinerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak

yang Berkauliats di Kota Surabaya tahun 2016 97 Tabel 5.42 Distribusi Pengaruh Supervisi terhadap Kinerja Petugas

Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak

yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 98 Tabel 5.43 Hasil Analisis Chi-square Variabel Penelitian terhadap Kinerja

Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan

(20)

DAFTAR GAMBAR

Proporsi Uji Silang Sediaan Dahak Triwulan I-III

di Kota Surabaya Tahun 2014 ... Proporsi Uji Silang Sediaan Dahak Triwulan I-III

Di Kota Surabaya Tahun 2015 ... Morfologi M.Tuberculosis dengan Pewarnaan

Ziehl Neelsen ... Jejaring Laboratorium TB di Indonesia ... Pot Dahak ... Alur Uji Silang ... Faktor yang Mempengaruhi Kinerja ... Kerangka Konseptual Penelitian ... Kerangka Operasional Penelitian ... Peta Pembagian Wilayah Kota Surabaya ...

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Penjelasan Sebelum Penelitian ... 124 Lampiran 2 Informed Consent ...

Lampiran 3 Panduan Observasi ... Lampiran 4 Lembar Kuesioner ... Lampiran 5 Kaji Etik ... Lampiran 6 Analisis Data ... Lamipran 7 Dokumentasi Penelitian ... Lampiran 8 Surat Izin Penelitian ...

(22)

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

(23)

PRM : Puskesmas Rujukan mikroskopis PS : Puskesmas Satelit

RAN : Rencana Aksi Nasional RUS : Rujukan Uji Silang SDK : Sumber Daya Kesehatan SK : Surat Keputusan

SPR : Slide Positive Rate SPS : Sewaktu Pagi Sewaktu TB : Tuberkulosis

(24)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium

tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronis dan menjadi masalah

kesehatan masyarakat yang utama (Soedarto, 2009).

Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu penyakit menular paling

mematikan di dunia. Tahun 2013, diperkirakan 9,0 juta orang menderita TB dan

1,5 juta orang meninggal dunia, 360 000 di antaranya adalah HIV positif (WHO,

2014).

Indonesia berada pada ranking ke dua dengan beban TB tertinggi di dunia

setelah India. Jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien

TB di dunia. Setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang.

Insiden kasus TB BTA (Basil Tahan Asam) positif sekitar 102/100.000 penduduk.

Strategi nasional pengendalian TB dengan visi “Menuju Masyarakat Bebas

Masalah TB, Sehat, Mandiri dan Berkeadilan”. Strategi tersebut bertujuan

mempertahankan kesinambungan pengendalian TB periode sebelumnya (Depkes

RI, 2011). Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat ke dua setelah Jawa Barat

dengan beban tuberkulosis tertinggi di Indonesia. Kota Surabaya merupakan salah

(25)

Pelaksanaan upaya penanggulangan TB di Indonesia secara administratif

berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan P2PL (Pengendalian Penyakit

dan Penyehatan Lingkungan). Pembinaan Puskesmas berada di bawah Ditjen Bina

Upaya Kesehatan dan merupakan tulang punggung layanan TB dengan arahan

dari Subdit Tuberkulosis. Indonesia telah menerapkan strategi DOTS (Directly

Observed Treatment Short-course) sejak tahun 1995 sebagai strategi nasional

penanggulangan TB di seluruh Indonesia. Menemukan dan menyembuhkan

pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes

RI, 2011).

Strategi DOTS terdiri 5 komponen kunci yaitu komitmen politis:

pemeriksaan dahak secara mikroskopis yang terjamin mutunya: pengobatan

jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang

tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan, jaminan ketersediaan OAT

(Obat Anti Tuberkulosis) yang bermutu serta sistem pencatatan dan pelaporan

yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja

program secara keseluruhan. Fokus utama penanggulangan TB dengan strategi

DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita TB. Target nasional untuk

Case detection rate (CDR) 70% dengan angka kesembuhan (cure rate) minimal

85% (Depkes RI, 2008).

Upaya mencapai target yang ditetapkan dalam strategi nasional program

penanggulangan TB, disusun 8 Rencana Aksi Nasional (RAN) yang salah

satunya adalah penguatan laboratorium yang dijabarkan menjadi penguatan

(26)

pemeriksaan mikroskopis, biakan maupun uji kepekaan (Kemenkes RI, 2013).

Metode yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis TB di Indonesia

bahkan seluruh dunia adalah pemeriksaan dahak secara mikroskopis, bakteri

diamati pada sampel dahak kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Sedangkan

di negara maju, TB juga diagnosis melalui metode kultur (WHO, 2014).

Kemampuan laboratorium TB di setiap jenjang berbeda karena fungsi rujukan

laboratorium TB dalam program pengendalian TB (P2TB) sangat penting agar

rujukan bisa berjalan, maka harus ada jejaring laboratorium yang berfungsi

dengan baik. Setiap laboratorium tuberkulosis memiliki fungsi, peran, tugas dan

tanggung jawab yang saling berkaitan, sesuai kemampuan dan kedudukan

dalam jejaring laboratorium TB. Kegiatan jejaring laboratorium TB mencakup

standar mutu pelayanan dan pemantapan mutu (Kemenkes RI, 2013).

Penilaian mutu kinerja laboratorium mikroskopis TB dilakukan melalui

pelaksanaan Pemantapan Mutu Eksternal (PME) dengan melakukan uji silang

sediaan BTA. Selama ini uji silang BTA dilakukan secara konvensional yaitu

100% sediaan positif ditambah dengan 10% sediaan negatif dengan error rate

<5%. Tahun 2009 Ditjen P2ML Kemenkes RI telah menerapkan metode LQAS

(Lot Quality Assurance Sampling) dimana penilaian dimulai dari kualitas

spesimen, pewarnaan, kebersihan, ketebalan, ukuran dan kerataan (Kemenkes RI,

2013).

Pemeriksaan dahak secara mikroskopis untuk menetapkan klasifikasi

penderita tuberkulosis, keputusan untuk memulai pengobatan, memantau hasil

(27)

laboratorium merupakan inti keberhasilan pengendalian tuberkulosis. Kesalahan

hasil pemeriksaan laboratorium akan berdampak pada kesalahan dalam

mendiagnosis pasien, pasien menerima pengobatan yang salah. Hal tersebut akan

berdampak pada peningkatan biaya kesehatan, faktor psikologis, sosial serta akan

berakibat fatal. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam mendiagnosis

tuberkulosis diperlukan spesimen yang berupa dahak. Tetapi tidak semua

spesimen yang memenuhi standar, sehingga petugas laboratorium harus dapat

memilih spesimen yang bagus yaitu bagian dahak yang kental/purulen (Kemenkes

RI, 2013).

Menurut Depkes RI (2012) menyebutkan bahwa salah satu indikator dan

target laboratorium tuberkulosis yang akan dicapai adalah kualitas sediaan untuk

uji silang harus baik yaitu 90%. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari

Dinas Kesehatan Kota Surabaya, masih terdapat kinerja petugas mikroskopis yang

masih kurang baik dalam hal pembuatan sediaan dahak seperti pada gambar 1.1.

Sumber Data: Profil Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2015

(28)

Gambar 1.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 periode triwulan I

terdapat 61% fasilitas kesehatan yang mempunyai kinerja petugas mikroskopis

dengan kategori kinerja baik dan 39% fasilitas kesehatan dengan kategori kinerja

jelek. Periode triwulan II terdapat 64% fasilitas kesehatan dengan ketegori kinerja

kinerja baik dan 36% dengan kategori kinerja jelek. Periode triwulan ke III

terdapat 87% fasilitas kesehatan dengan kategori kinerja baik dan 13% dengan

ketegori kinerja kurang baik, pada periode ini terjadi peningkatan kinerja petugas

yang baik dikarenakan pada akhir periode ke II telah diadakan on job training

(OJT) mikroskopis pada petugas laboratorium.

Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2016

Gambar 1.2 Proporsi Uji Silang Sediaan Dahak Triwulan I-III di Kota Surabaya Tahun 2015.

Gambar 1.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2015 periode triwulan I

terdapat 74% fasilitas kesehatan yang mempunyai kinerja petugas mikroskopis

dengan kategori kinerja baik dan 26% fasilitas kesehatan dengan kategori kinerja

(29)

kinerja kinerja baik dan 44 dengan kategori kinerja jelek. Periode triwulan ke III

terdapat 61% fasilitas kesehatan dengan kategori kinerja baik dan 39% dengan

ketegori kinerja kurang baik.

Pada tahun 2015 terdapat 49.733 sediaan yang diperiksa oleh fasilitas

kesehatan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Surabaya, dari sediaan yang

diperiksa tersebut diketahui sediaan yang positif berjumlah 4.651 sediaan, scanty

878 sediaan dan yang negatif sebanyak 44.249 sediaan. Beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi kualitas sediaan adalah kualitas spesimen (sputum),

pembuatan sediaan, pewarnaan sediaan, kualitas reagen, pembacaan sediaan,

pencatatan dan pelaporan, pemeliharaan mikroskop dan penyimpanan sediaan.

(Dinkes Kota Surabaya, 2014).

Banyak faktor yang mempengaruhi pemeriksaan dahak secara mikroskopis

yang terdiri dari faktor dari dalam laboratorium yang dimulai dari kualitas

spesimen, pembuatan sediaan, pembacaan sediaan, pencatatan dan pelaporan.

Faktor di luar laboratorium yang terdiri dari pasien, petugas kesehatan,

pengambilan sampel, pengadaan logistik, pengelola program (Depkes RI, 2012).

Menurut Gibson (1996) ada tiga variabel yang mempengaruhi perilaku dan

kinerja individu yaitu: 1. variabel individu yang terdiri dari: keterampilan,

kemampuan, latar belakang dan demografis, 2. variabel organisasi terdiri dari:

sumberdaya, kepemimpinan, imbalan, dan desain pekerjaan, dan 3. variabel

fsikologis yang terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, dan motivasi.

Data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya tahun 2015 bahwa terdapat 75

(30)

70% perempuan dan 30% laki laki, dengan umur di atas 23 tahun, dengan latar

belakang pendidikan analis kesehatan dan bukan analis kesehatan, dengan beban

kerja yang hampir sama (Dinkes Kota Surabaya, 2015).

Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Lestari (2011) tentang hubungan

kinerja petugas dengan Case detection rate (CDR) di Puskesmas Kota Makassar

diketahui bahwa ada hubungan pelatihan, motivasi dengan kinerja petugas.

Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati dkk (2012) di Pekalongan

menyebutkan bahwa ada hubungan antara persepsi petugas tentang supervisi

dengan kinerja petugas puskesmas dalam pengelolaan pengobatan TB mangkir di

Kota Pekalongan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Badri (2006) menyebutkan

ada hubungan yang bermakna antara pelatihan, persepsi, motivasi, sumber daya

dan insentif terhadap kinerja petugas laboratorium dalam penemuan pendetita TB

paru di Kota Jambi.

Penelitian yang dilakukan oleh Pradytia (2010) menyebutkan bahwa

terdapat persamaan karakteristik petugas pada puskesmas dengan error rate (ER)

tinggi dan puskesmas error rate rendah yaitu: jenis kelamin, masa kerja, pelatihan

pemeriksaan TB, pengetahuan mikroskopis TB, kebiasaan dan penggunaan alat

pelindung diri serta mematuhi prosedur kerja di Kabupaten Situbondo. Begitu

pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Junaidi (2005) tentang kualitas tenaga

mikroskopis untuk program DOTS di Nusa Tenggara Barat menyebutkan bahwa

tenaga mikroskopis tidak pernah melakukan tahap pra analitik terhadap kualitas

(31)

1.2 Kajian Masalah

Laboratorium mikroskopis merupakan penunjang utama untuk tata laksana

pasien TB. Ketersediaan perangkat laboratorium mikroskopis tidak dapat

dipisahkan dalam memberikan pelayanan tata laksana pasien TB selain obat anti

tuberkulosis (OAT). Laboratorium mikroskopis sebagai manisfestasi dari

komponen kedua dari strategi DOTS akan berperan dan berfungsi maksimal

apabila dilaksanakan oleh sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan

mempunyai kompetensi yang standar. Semua institusi fasilitas pelayanan

kesehatan yang melakukan pemeriksaan mikroskopis harus dikelola dan

dilaksanakan oleh SDM yang terlatih dan terakreditasi.

Secara nasional kondisi di Kota Surabaya hampir semua tenaga

laboratorium di Fasyankes pelaksana DOTS telah terlatih pemeriksaan

mikoroskopis TB, tetapi dengan adanya mutasi dan pengembangan/pemekaran

daerah yang diikuti oleh penambahan fasyankes, dan kemajuan di bidang teknis

Pengendalian TB, maka diperlukan pelatihan secara berkesinambungan, baik

untuk pelatihan awal (initial) maupun pelatihan ulang (refreshing).

Upaya pemenuhan kebutuhan tenaga teknis laboratorium yang terampil

sesuai kebutuhan program, diperlukan pelatihan dengan kurikulum yang

terakreditasi serta dilengkapi dengan materi pembelajaran yang konsisten dan

sistematis. Pelatihan Pemeriksaan mikroskopis TB ini adalah untuk petugas teknis

laboratorium fasyankes dengan filosofi peningkatan keterampilan teknis.

Penelitian mengenai kinerja khususnya petugas laboratorium masih sedikit

(32)

mempunyai fungsi dan peranan yang penting dalam program pemberantasan TB.

Mutu hasil pemeriksaan yang baik dihasilkan oleh laboratorium yang memiliki

kinerja yang baik. Adanya kinerja petugas laboratorium yang masih rendah di

Kota Surabaya memberi gambaran masih tingginya potensi kesalahan yang

ditimbulkan dari hasil pemeriksaan dahak. Memperhatikan data tersebut diatas

disimpulkan permasalahan penelitian bahwa masih rendahnya kinerja petugas

mikroskopis tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak, hal inilah yang

mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis faktor

yang mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan

sediaan yang berkualitas dahak di Kota Surabaya tahun 2016”.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat

diajukan peneliti adalah: Faktor apakah yang mempengaruhi kinerja petugas

laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas di

Kota Surabaya tahun 2016?

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Menganalisis faktor yang mempengaruhi kinerja petugas (kuaitas spesimen,

ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran sediaan)

laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas di

(33)

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja,

pelatihan, lingkungan kerja, motivasi, insentif, beban kerja, sikap, supervisi,

kualitas spesimen, ukuran sediaan, kerataan sediaan dan ketebalan sediaan.

2. Menganalisis pengaruh karakteristik responden (umur, jenis kelamin,

pendidikan) terhadap kinerja petugas (kualitas spesimen, ketebalan sediaan,

kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran sediaan) laboratorium

tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas di Kota

Surabaya tahun 2016.

3. Menganalisis pengaruh masa kerja terhadap kinerja petugas (kualitas

spesimen, ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran

sediaan) laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang

berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016.

4. Menganalisis pengaruh pelatihan mikroskopis TB terhadap kinerja petugas

(kualitas spesimen, ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan

dan ukuran sediaan) laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan

dahak yang berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016.

5. Menganalisis pengaruh lingkungan kerja terhadap kinerja petugas (kualitas

spesimen, ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran

sediaan) laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang

berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016.

6. Menganalisis pengaruh motivasi terhadap kinerja petugas (kualitas spesimen,

(34)

laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas

di Kota Surabaya tahun 2016.

7. Menganalisis pengaruh insentif terhadap kinerja petugas (kualitas spesimen,

ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran sediaan)

laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas

di Kota Surabaya tahun 2016.

8. Menganalisis pengaruh beban kerja terhadap kinerja petugas (kualitas

spesimen, ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran

sediaan) laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang

berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016.

9. Menganalisis pengaruh sikap terhadap kinerja petugas (kualitas spesimen,

ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran sediaan)

laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas

di Kota Surabaya tahun 2016.

10. Menganalisis pengaruh supervisi terhadap kinerja petugas (kualitas spesimen,

ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran sediaan)

laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas

di Kota Surabaya tahun 2016.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dalam kelaboratoriuman. Selain itu juga dapat digunakan sebagai

(35)

mengenai upaya peningkatan mutu pemeriksaan laboratorium tuberkulosis

berdasarkan penerapan ilmu dalam bidang kesehatan masyarakat.

1.5.2 Manfaat Praktisi

Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai evaluasi kerja untuk

meningkatkan kualitas pelayanan laboratorium dalam hal pembuatan sediaan

dahak untuk pemeriksaan tuberkulosis di Kota Surabaya.

1.5.3 Manfaat Bagi Dinas Kesehatan Kota Surabaya

Diharapkan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam membuat

dan penetapkan kebijakan bagi Dinas Kesehatan Kota Surabaya dalam

meningkatkan kualitas dan pengembangan Sumber Daya Kesehatan khususnya

(36)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TB)

Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit menular yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pada dasarnya kuman penyebab TB

paru dapat menyerang organ tubuh lain misalnya kulit akan tetapi sebagian besar

menyerang paru-paru. Bakteri tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia

melalui udara pernapasan ke dalam paru-paru kemudian kuman tersebut menyebar

dari paru-paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem

saluran limfe, melalui saluran pernapasan (bronchus) atau langsung menyebar ke

bagian tubuh lainnya (Erlien, 2008).

2.2 Epidemiologi Tuberkulosis (TB)

Indonesia berada pada ranking kedua setelah India dengan beban TB

tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000

dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus per tahun. Jumlah kematian akibat

TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya (WHO, 2015). Meskipun

memiliki beban penyakit TB tertinggi, Indonesia merupakan negara di wilayah

Asia Tenggara yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan

keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah

294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati, lebih dari 169.213 diantaranya

terdeteksi BTA positif. Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama

(37)

Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program

pengendalian TB nasional yang utama (Depkes RI, 2011).

2.2.1 Etiologi

Tuberkulosis termasuk penyakit zoonosis, karena penyakit ini dapat

ditularkan dari hewan ke manusia misalnya sapi. Mycobacterium tuberculosis

termasuk dalam ordo Actinomycetales, famili Mycobacteriaceae, dan genus

Mycobacterium. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang langsing atau

bengkok yang mempunyai panjang 1-4μm dan lebar 0,2–0,5 μm. Pada perbenihan

berbentuk kokoid dan berfilamen, koloni cembung, kering dan warna kuning

gading, bersifat aerob obligat dengan suhu optimum 37⁰C, tidak berspora, dan

pada pewarnaan Ziehl Neelsen kuman berwarna merah dengan latar belakang biru

(Widoyono, 2011).

Kuman tuberkulosis umumnya ditularkan dari penderita manusia ke orang

lain melalui udara pernafasan. Selain itu tuberkulosis usus dapat terjadi jika

tertular kuman TB melalui air susu sapi penderita tuberkulosis. Kuman ini dapat

menular melalui inokulasi kulit. Setelah masuk kedalam tubuh, kuman akan

menyebar ke paru-paru, lalu bersama darah dan limfe menyebar ke berbagai organ

viseral lainnya (Soedarto, 2009).

Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap

pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan

asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberkulosis juga

tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob. Bakteri

(38)

pada pemanasan 60 derajat celcius selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-90%

selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat

yang lembab dan gelap (bisa berbulan bulan), namun tidak tahan terhadap sinar

dan aliran udara (Widoyono, 2011).

Gambar 2.1 Morfologi M. Tuberculosis dengan pewarnaan Ziehl Neelsen Sumber : Depkes RI, 2006.

Gambar 2.1 menunjukkan hasil dari pewarnaan BTA dengan

menggunakan pewarnaan Ziehl Neelsen. Pada pewarnaan tahan asam ini akan

terlihat kuman M.tuberculosis berwarna merah dan latar belakang berwarna biru

(Depkes RI, 2006).

2.2.2 Patogenesis

Infeksi terjadi biasanya melalui debu atau titik cairan (droplet) yang

mengandung kuman tuberkulosis bicara saat berhadapan dengan orang lain, basil

(39)

inkubasinya selama 3-6 bulan. Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan

kualitas paparan dengan sumber infeksi dan tidak berhubungan dengan faktor

genetik dan faktor penjamu lainnya. Penyakit timbul setelah kuman menetap dan

berkembang biak dalam paru–paru atau kelenjar getah bening.

Perkembangan penyakit tergantung pada jumlah kuman yang masuk dan

daya tahan. Perjalanan kuman tuberkulosis dapat langsung melalui aliran limfe,

aliran darah, melalui bronkus dan traktus digestivus. Pada mulanya kuman

menjalar melalui saluran limfe ke kelenjar getah bening. Selanjutnya melalui

ductus thoracicus masuk ke dalam aliran darah dan terus ke organ tubuh. Dapat

pula langsung dari proses perkejuan pecah ke bronkus, disebar ke seluruh paru–

paru atau tertelan digestivus (Widoyono, 2011).

2.2.3 Gejala Tuberkulosis

Mengetahui penderita tuberkulosis dengan baik harus dikenali tanda dan

gejalanya. Gajala klinis yang terjadi tergantung pada jenis organ yang terinfeksi

kuman ini. Gejala utama TB paru adalah batuk berdahak selama 2–3 minggu atau

lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,

batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan

menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang

lebih dari satu bulan. Gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit

paru selain TB, seperti bronkiekstasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru

(40)

Tuberkulosis milier adalah tuberkulosis yang menyerang berbagai organ

tubuh, yang dijumpai pada bayi atau penderita berusia lanjut yang daya tahan

tubuhnya rendah (Soedarto, 2009).

2.3 Diagnosis Tuberkulosis

Diagnosis TB paru dalam program penanggulangan tuberkulosis,

ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis untuk menemukan

BTA positif, yaitu dengan pengambilan 3 spesimen dahak sewaktu-pagi-sewaktu

(SPS). Penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis

merupakan cara diagnosis utama di Indonesia. Pemeriksaan lain seperti foto

toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis

sesuai dengan indikasinya (Depkes RI, 2011).

2.4 Penemuan Penderita TB Paru

Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan cara promosi secara

aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan,

didukung penyuluhan secara aktif oleh petugas kesehatan maupun masyarakat

untuk meningkatkan penemuan pasien TB. Pemeriksaan dahak juga dilakukan

terhadap orang yang kontak dengan pasien TB, terutama keluarga penderita TB

yang menunjukan gejala yang sama (Irianto, 2002).

2.5 Klasifikasi Penyakit TB dan Tipe Pasien

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah untuk

menentukan paduan pengobatan yang sesuai, registrasi kasus secara benar,

(41)

pengobatan. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis

memerlukan suatu definisis kasus yang meliputi empat hal yaitu:

1. Klasifikasikan berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena

Berdasarkan organ tubuh yang terkena tuberkulosis terbagi atas dua macam

yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru

menyerang jaringan (parenkim) paru tidak termasuk pleura (selaput paru) dan

kelenjar pada hilus. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang

organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung,

kelenjar limpe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat

kelamin dan lain lain.

2. Klasifikasi berdasarkan Hasil Pemeriksaan Mikroskopis

Tuberkulosis paru BTA positif jika pada pemeriksaan dahak mikroskopis TB

paru BTA positif apabila ditemukan sekurangnya 2 atau 3 spesimen (sputum)

yang diperiksa hasilnya positif atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif

dan foto toraks menunjukkan gambaran tuberkulosis serta biakan kuman TB

hasilnya juga positif. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3

spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

Tuberkulosis paru BTA negatif, jika kasus tidak memenuhi definisi BTA paru

positif dengan kriteria: paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasil BTA negatif, foto

toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis, tidak ada perbaikan setelah

pemberian antibiotika non OAT, ditentukan dengan petimbangan dokter yang

(42)

3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit

TB paru BTA negatif fhoto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat

keparahan penyakitnya yaitu berat dan ringan. Berat bila gambaran fhoto toraks

memperlihatkan gembaran kerusakan paru yang luas atau keadaan umum pasien

buruk.TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya

yaitu TB ekstra paru ringan misalnya TB kelenjar limpe, pleuritis eksudantiva

unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. TB ekstra

paru berat misalnya maninggitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis

eksudatival bilateral, TB tulang belakang, Tb usus, TB saluran kemih dan alat

kelamin.

4. Klasifikasi berdasarkan Riwayat Pengobatan

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi 5 tipe

pasien yaitu:

a. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan

b. Kasus kambuh adalah perderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian

kembali lagi berobat dengan hasil pengobatan dahak BTA positif

c. Kasus setelah putus berobat adalah kasus setelah gagal

d. Kasus pindahan adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan disuatu

kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita

(43)

e. Kasus gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau

kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir

pengobatan) (Irianto, 2002).

2.6 Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Prinsif

pengobatan adalah membunuh kuman. Pengobatan tuberkulosis mengunakan

kombinasi lebih dari satu obat menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

dengan metode Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS), dan diberikan

dalam jangka panjang secara terus menerus, tidak terputus ditengah pengobatan

(Somantri, 2008).

2.7 Puskesmas

2.7.1 Pengertian Puskesmas

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Repoblik Indonesia nomor 75

tahun 2014 tentang pusat kesehatan masyarakat, puskesmas adalah fasilitas

layanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan tingkat

pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk

mencapai derajat kesehatan yang tinggi diwilayah kerjanya.

Puskesmas adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai

pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam

bidang kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang

menyelenggarakan kegiatan secara menyeluruh, terpadu, berkesinambungan pada

(44)

2.7.2 Fungsi Penyelenggaraan Puskesmas

Puskesmas menyelenggarakan fungsi dalam Upaya Kesehatan Masyarakat

(UKM) tingkat pertama, yaitu setiap kegiatan untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah

kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat diwilayahnya yang

meliputi 10 fungsi (Kemenkes RI, 2014) yaitu:

1. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan

masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan

2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan

3. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat

dalam bidang kesehatan

4. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada individu,

keluarga, kelompok dan masyarakat: menyelenggarakan pelayanan kesehatan

yang mengutamakan keamanan dan keselamatan penderita, petugas dan

pengunjung

5. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prisif koordinatif dan kerja

sama inter dan antar profesi

6. Melaksanakan rekam medis

7. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses

pelayanan kesehatan

8. Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan

9. Mengkoordinasi dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan kesehatan

(45)

10. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem

rujukan.

2.7.3 Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas

Prinsip penyelenggaraan Puskesmas berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 meliputi:

1. Berdasarkan prinsip paradigma sehat, Puskesmas mendorong seluruh

pemangku kepentingan berkomitmen dalam mencegah dan mengurangi risiko

kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.

2. Berdasarkan prinsip pertanggungjawaban wilayah, Puskesmas menggerakkan

dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah

kerjanya.

3. Berdasarkan prinsip kemandirian masyarakat, Puskesmas mendorong

kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.

4. Berdasarkan prinsip pemerataan, Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan

Kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat di

wilayah kerjanya secara adil tanpa membedakan status sosial, ekonomi,

agama, budaya dan kepercayaan.

5. Berdasarkan prinsip teknologi tepat guna, Puskesmas menyelenggarakan

Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai

dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak

buruk bagi lingkungan.

6. Berdasarkan prinsip keterpaduan dan kesinambungan, Puskesmas

(46)

lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang

didukung dengan manajemen Puskesmas (Kemenkes RI, 2014).

2.7.4 Azas Pertanggungjawaban Wilayah

Penyelenggaraan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan

pengembangan harus menerapkan azas penyelenggaraan Puskesmas secara

terpadu. Azas penyelenggaraan Puskesmas tersebut dikembangkan dari ketiga

fungsi Puskesmas. Dasar pemikirannya adalah pentingnya menerapkan prinsip

dasar dari setiap fungsi Puskesmas dalam menyelenggarakan setiap upaya

Puskesmas, baik upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan.

Azas penyelenggaraan Puskesmas yang dimaksud diantaranya adalah azas

pertanggungjawaban wilayah. Hal ini dimaksudkan Puskesmas bertanggungjawab

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah

kerjanya (Kemenkes RI, 2014).

Untuk ini Puskesmas harus melaksanakan berbagai kegiatan, antara lain

sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014).

1. Menggerakkan pembangunan berbagai sektor tingkat kecamatan, sehingga

berwawasan kesehatan

2. Memantau dampak berbagai upaya pembangunan terhadap kesehatan

masyarakat di wilayah kerjanya

3. Membina setiap upaya kesehatan strata pertama yang diselenggarakan oleh

masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya

4. Menyelenggarakan upaya kesehatan strata pertama (primer) secara merata

(47)

2.7.5 Jejaring Laboratorium Mikroskopis Tuberkulosis

Jejaring laboratorium mikroskopis Tuberkulosis di Indonesia terlihat pada

gambar 2.2.

Keterangan :

:Pembinaan dan Pengawasan Mutu : Mekanisme Rujukan

Gambar 2.2 Jejaring Laboratorium TB di Indonesia

Laboratorium mikroskopis TB minimal terdiri dari :

1. Ruang pendaftaran/ruang tunggu

Ruang ini harus memiliki fentilasi yang cukup melalui pengaturan sirkulasi

udara yang baik

LAB. RUJUKAN NASIONAL

LAB. RUJUKAN PROVINSI/ LAB. RUJUKAN UJI SILANG II

LAB. RUJUKAN UJI SILANG I

FASYANKES MIKROSKOPIS TB 1. Puskesmas 2. Rumah Sakit

3. Laboratorium Swasta

FASYANKES SATELIT (LS) 1. Puskesmas (PS)

2. Rumah Sakit

(48)

2. Lokasi pengumpulan dahak

Lokasi harus memiliki ventilasi yang baik dan terkena paparan sinar matahari

langsung untuk menghindari infeksi. Sebaiknya tidak berada di dekat

kumpulan orang banyak, agar memberikan rasa nyaman kepada pasien untuk

berdahak dengan bebas. Prosedur tetap pengumpulan dahak harus dipasang di

lokasi pengumpulan dahak agar pasien dapat membacanya terlebih dahulu.

Harus tersedia sarana cuci tangan: air mengalir dan sabun cair agar pasien

mencuci tangannya setelah pengumpulan dahak.

3. Ruang kerja laboratorium

Akses ke ruang ini hanya terbatas untuk petugas laboratorium, pintu harus

selalu tertutup untuk mencegah turbulensi udara yang dapat mencemari

lingkungan. Pencahayaan harus cukup terang baik bersumber dari sinar

matahari maupun aliran listrik. Letak meja kerja harus dipertimbangkan agar

aliran udara tidak mengarah kepada petugas. Sebaiknya udara mengalir dari

arah belakang petugas laboratorium.

4. Ruang administrasi

Dalam keadaan keterbatasan ruang, ruangan administrasi dapat bersatu

dengan ruang kerja laboratoium tetapi harus memiliki meja terpisah (Depkes

RI, 2007).

Peralatan dan Fasilitas di Laboratorium Mikroskopik TB

1. Baju laboratorium. Terbuat dari bahan yang mudah dicuci dan kuat, tertutup

di bagian depan dengan panjang melewati lutut, lengan sepanjang

(49)

bekerja dan ditanggalkan apabila petugas meninggalkan ruang kerja

laboratorium. Pencucian baju laboratorium dilakukan di tempat kerja dengan

terlebih dahulu didekontaminasi. Baju kerja yang kotor tidak boleh dibawa

pulang.

2. Wadah penampung alat bekas pakai (lidi, pot dahak dan alat tercemar lain)

harus cukup kuat, tidak mudah bocor dan tertutup. Sebaiknya wadah diberi

alas plastik sehingga mudah dipindahkan. Larutan desinfektan dalam wadah

harus cukup untuk merendam limbah.

3. Otoklaf (kalau tersedia) harus diletakkan di dalam ruang kerja laboratorium

sehingga memastikan seluruh bahan yang terkontaminasi tidak lagi infeksius

ketika keluar dari ruang kerja laboratoium.

4. Bahan habis pakai : Sabun cair yang mengandung desinfektan untuk cuci

tangan, Towell Tissue/ Lap untuk mengeringkan tangan setelah cuci tangan.

Larutan desinfektan : Lysol, larutan hypoclorite 1-5 % (Misnadiarly, 2006).

2.8 Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis

Tujuan pemeriksaan dahak adalah menegakkan diagnosis, menilai kemajuan

pengobatan, menentukan tingkat penularan.Daftar tersangka penderita TB yang

akan diambil dahaknya harus dicatat dalam formulir TB 06. Harus mencantumkan

nomor urut, nomer identitas sediaan dahak, nama tersangka, umur dan jenis

kelamin, alamat lengkap, tanggal dan hasil pemeriksaan dahak, serta nomor

registrasi laboratorium. Pencatatan tersebut mempunyai tujuan yaitu:

a. Mengetahui jumlah suspek yang diperiksa

(50)

c. Memudahkan pelacakan bila hasil pemeriksaan dahak positif dan penderita

tersebut tidak kembali (Depkes RI, 2007).

2.9 Pengumpulan Dahak 1. Persiapan pasien

Pasien diberitahu bahwa uji dahak sangat bernilai untuk menentukan status

penyakitnya, karena itu anjuran pemeriksaan SPS untuk pasien baru dan SP untuk

pasien dalam pemantauan pengobatan harus dipenuhi. Dahak yang baik adalah

yang berasal dari saluran nafas bagian bawah, berupa lendir yang berwarna

kuning kehijauan (mukopurulen).

Pasien berdahak dalam keadaan perut kosong, sebelum makan/minum dan

membersihkan rongga mulut terlebih dahulu dengan berkumur air bersih. Bila ada

kesulitan berdahak pasien harus diberi obat ekspektoran yang dapat merangsang

pengeluaran dahak dan diminum pada malam sebelum mengeluarkan dahak.

Olahraga ringan sebelum berdahak juga dapat merangsang dahak keluar. Dahak

adalah bahan infeksius sehingga pasien harus berhati-hati saat berdahak dan

mencuci tangan. Pasien dianjurkan membaca prosedur tetap pengumpulan dahak

yang tersedia di tempat/ lokasi berdahak.

2. Persiapan Alat

Pot dahak bersih dan kering, diameter mulut pot ≥3,5 cm, transparan,

berwarna bening, dapat menutup dengan erat, bertutup ulir minimal 3 ulir, pot

kuat, tidak mudah bocor. Sebelum diserahkan kepada pasien, pot dahak harus

sudah diberi identitas sesuai identitas/nomor register pada form TB05. Pot dahak

(51)

Sumber: Depkes RI, 2011. Gambar 2.3. Pot dahak

3. Cara Pengeluaran Dahak yang Baik

a. Waktu Pengambilan Dahak: S (Sewaktu, pertama): Dahak dikumpulkan

saat datang pada kunjungan pertama ke laboratorium fasyankes. P

(Pagi): Dahak dikumpulkan pagi segera setelah bangun tidur pada hari

ke-2, dibawa langsung oleh pasien ke laboratorium fasyankes. S

(Sewaktu, kedua): Dahak dikumpulkan di laboratorium fasyankes pada

hari ke-2 saat menyerahkan dahak pagi.

b. Tempat Pengumpulan Dahak: pengumpulan dahak harus dilakukan di

ruang terbuka dan mendapat sinar matahari langsung atau di ruangan

dengan ventilasi yang baik, untuk mengurangi kemungkinan penularan

akibat percikan dahak yang infeksius. Dahak adalah bahan yang

infeksius, pada saat berdahak aerosol/percikan dapat menulari orang

(52)

tempat yang jauh dari kerumunan orang, misalnya di depan ruang

pendaftaran, ruang pemeriksaan, ruang obat dll. Harus diperhatikan

pula arah angin pada saat berdahak. Maka jangan mengambil dahak di

ruangan tertutup dengan ventilasi yang buruk, misal : kamar kecil,ruang

kerja (ruang pendaftaran, ruang pengumpulan sampel, laboratorium),

ruang tunggu dan ruang umum lainnya.

c. Cara Berdahak: beri petunjuk pada pasien untuk kumur dengan air

bersih sebelum mengeluarkan dahak, Bila memakai gigi palsu, lepaskan

sebelum berkumur, tarik nafas dalam (2-3 kali) dan setiap kali

hembuskan nafas dengan kuat letakkan pot yang sudah dibuka dekat

dengan mulut dan keluarkan dahak ke dalam pot, batukkan dengan

keras dari dalam dada, tutup pot dengan rapat dengan cara memutar

tutupnya, setelah mengeluarkan dahak bersihkan mulut dengan tisue,

buang tisue di tempat sampah yang tertutup kemudian cuci tangan

(Widoyono, 2011).

d. Bila dahak sulit dikeluarkan, lakukan olah raga ringan kemudian

menarik nafas dalam beberapa kali. Bila terasa akan batuk, nafas

ditahan selama mungkin lalu disuruh batuk. Malam hari sebelum tidur,

perbanyak minum air ( Depkes RI, 2011).

e. Pengumpulan Dahak: Pot berisi dahak diserahkan kepada petugas

laboratorium, denganmenempatkan pot dahak di tempat yang telah

(53)

f. Penilaian Kualitas Dahak Secara Makroskopis

Petugas laboratorium harus melakukan penilaian terhadap dahak pasien.

Tanpa membuka tutup pot, petugas laboratorium melihat dahak melalui

dinding pot yang transparan. Hal-hal yang perlu diamati adalah: Vol 3,5

- 5 ml, Kekentalan : mukoid, Warna : Hijau kekuningan (purulen) Bila

ternyata air liur, petugas harus meminta pasien berdahak kembali,

sebaiknya dengan pendampingan. Perhatian : pada saat mendampingi

pasien berdahak, petugas harus berada dibelakang pasien dan hindari

arah angin menuju petugas.

4. Pemberian Identitas Sediaan Dahak: Aturan pemberian identitas uji dan

sediaan dahak.

5. Pembuatan dan penyimpanan sediaan apus dahak

Cara pembuatan sediaan dahak: Ambil dahak pada bagian yang purulen

dengan lidi, sebarkan diatas kaca sediaan dengan bentuk oval ukuran 2x3

kemudian ratakan dengan gerakan spiral kecil. Jangan membuat gerakan spiral

bila sediaan dahak sudah kering karena akan menyebabkan aerosol. Keringkan

pada suhu kamar, masukkan lidi bekas ke dalamwadah berisi desinfektan.

6. Fiksasi

Fiksasi dilakukan dengan memegangkaca sediaan dengan pinset,

pastikankaca sediaan menghadap ke atas.Lewatkan sediaan di atas api bunsenyang

(54)

7. Penilaian Ketebalan Sediaan Apus

Untuk menilai ketebalan sediaan sebelum dilakukan pewarnaan dapat

dilakukan dengan meletakkan sediaan yg kering 4-5 cm di atas kertas koran.

Sediaan yang baik apabila kita masih dapat melihat tulisan secara samar. sediaan

yang benar, tulisan di koran masih terbaca secara samar. Sediaan yang terlalu

tebal, tulisan di koran tidak terbaca. Sediaan yang terlalu tipis, tulisan di koran

terbaca dengan mudah (Kemenkes RI, 2012).

2.10 Uji Silang Metode Lot Quality Assurance System (LQAS)

Uji silang merupakan pemeriksaan ulang sediaan mikroskopis oleh

laboratorium rujukan tanpa mengetahui hasil pemeriksaan oleh laboratorium

sebelumnya (blinded rechecking) yang dilakukan secara berkala dan

berkesinambungan dengan tujuan untuk peningkatan mutu. Pemeriksaan ulang

sediaan BTA sputum dari laboratorium mikroskopis TB di fasilitas pelayanan

kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4 dan Laboratorium Swasta).

Tujuan dariuji silang adalah untuk mengevaluasi laboratorium dalam

jejaring TB serta mengetahui kinerja dari laboratorium mikroskopis TB. Manfaat

dari kegiatan uji silang untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan laboratorium

mikroskopis. Metode pengambilan sediaan selama ini mengunakan konvensional

yaitu 10% sediaan BTA negatif dan seluruh sediaan BTA positif. Namun pada

tahun 2007 telah diterapkan uji silang dengan metode LQAS (Lot Quality

(55)

Tabel 2.1 Perbedaan uji silang metode Konvensional dengan LQAS

Konvensional LQAS

Sampling : 100% slide positif

ditambah 10% slide negatif Sampling : semua slide mendapat kesempatan yang sama Pemilihan slide tergantung dari minat

petugas Pemilihan secara acak dengan menggunakan statistika sederhana Formulir TB05, TB04 dan TB12 Formulir TB05, TB04 dan TB12 yang

disempurnakan Penyimpanan dipisahkan antara slide

positif dan slide negatif Penyimpanan slide digabung sesuai dengan TB04 Analisis uji silang adalah Error Rate Berdasarkan derajat kesalahan

Errir Rate >5%= jelek Satu kesalahan besar atau tiga kesalahan kecil = jelek

Kualitas : sediaan dan pewarnaan Kualitas : spesimen, kebersihan, ukuran, ketebalan dan rata rata.

Dengan adanya LQAS ini tidak mengubah sistem uji silang tetapi hanya

memutakhirkan metode uji silang, menilai kinerja laboratorium secara

menyeluruh, tidak untuk konfirmasi diagnosis, sediaan disimpan berdasarkan

TB04, setiap sediaan memiliki kesempatan yang sama untuk di uji silang,

penilaian kinerja petugas berdasarkan jumlah dan tipe kesalahan bukan

prosentase dan kemungkinan penyebab kesalahan lebih mudah diketahui.

Langkah dalam melakukan uji silang LQAS adalah (Depkes RI, 2011):

1. Tentukan jumlah seluruh sediaan: jumlah seluruh sediaan yang positif dan

yang negatif yang diperiksa pada tahun lalu.

2. Hitung Slide Positif Rate (SPR) = proporsi sediaan positif diantara seluruh

sediaan

3. Tentukan sensitifitas, spesifisitas dan jumlah kesalahan yang masih dapat

(56)

Gambar 2.4 Alur Uji Silang

1) Pengambilan sampel oleh wasor

2) Pengiriman sampel oleh wasor(blinded) 3) Hasil pembacaan lab uji silang

4) Umpan balik hasil uji silang

5) Sediaan yang di “screpancy” ke pembaca II 6) Hasil pembacaan ulang oleh lab II

LAB UJI SILANG (II) a) Pengambilan sampel oleh wasor

b) Pengiriman sampel oleh wasor(blinded) c) Hasil pembacaan sediaan oleh kontroler d) Umpan balik hasil uji silang

Alur Uji Silang Sediaan BTA ( Untuk UPK )

(57)

2.10.1 Indikator Keberhasilan Uji Silang

1. Cakupan 90% : Jumlah laboratorium yang mengikuti uji silang dibanding

seluruh laboratorium pemeriksa mikroskopis TB.

2. Rutinitas 90% : Jumlah laboratorium peserta uji silang dengan frekuensi

partisipasi 4 (empat) kali per tahun dibanding seluruh laboratorium pemeriksa

mikroskopis TB.

3. Kinerja Baik 80% : Jumlah peserta uji silang dengan hasil pembacaan

baik.Pembacaan baik ialah pembacaan tanpa kesalahan besar dan atau

kesalahan kecil kurang dari 3.

4. Kualitas Sediaan Baik 80% : Jumlah laboratorium peserta uji silang

dengan 6 unsur kualitas sediaan dahak yang baik yaitu : Ukuran, kerataan,

ketebalan, pewarnaan, kebersihan dan kualitas dahak (Depkes RI, 2011).

2.10.2 Klasifikasi Kesalahan pada uji silang dengan metode LQAS

Perhitungan angka kesalahan laboratorium metode yang digunakan

sebagai berikut :

Tabel 2.2 Cara Penilaian Hasil Cross Check

Hasil dari Lab Hasil Lab Uji Silang

Peserta Negatif Scanty 1+ 2+ 3+ Negatif Betul NPR NPT NPT NPT

Gambar

Gambar 1.1  Proporsi  Uji Silang Sediaan Dahak Triwulan I-III di Kota Surabaya
Gambar 1.2 Proporsi Uji Silang Sediaan Dahak Triwulan I-III di Kota Surabaya
Gambar 2.1  Morfologi M. TuberculosisSumber : Depkes RI, 2006.  dengan pewarnaan Ziehl Neelsen
gambar 2.2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sering terjadinya kesenjangan dalam memberikan pelayanan baik itu Puskesmas maupun di Rumah Sakit. Dimana masyarakat yang tidak menggunakan KIS lebih diutamakan dan

Mengenai pengertian dari metode penelitian Arikunto (2006:160) menjelaskan bahwa : ‟‟Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh penelit i dalam mengumpulkan data

Sedangkan pada opsi put Eropa, writer juga dapat mengalami kerugian jika yang terjadi pada saat maturity time adalah strike price lebih besar dibanding harga

Segala puji kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Tumbuh Kembang Anak

Penelitian tindakan kelas ini difokuskan pada peningkatan kemampuan mahasiswa calon guru kimia dalam melakukan Praktikum Kimia Dasar dengan strategi learning cycle

moderator   the moderator, the compere (of a show) paling; yang paling mahal   the most (+ adjective); the most expensive panjang   long (of things or distances, but not

(3) Anggota kehormatan adalah seseorang yang berjasa terhadap Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK), Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Fakultas Syari’ah

Kualitas layanan, kepercayaan, reputasi, kebiasaan, kepuasan berpengaruh signifikan terhadap Kepercayaan dan kepuasan nasabah tidak berpengaruh signifikan terhadap