TESIS
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PETUGAS LABORATORIUM TUBERKULOSIS DALAM PEMBUATAN
SEDIAAN DAHAK YANG BERKUALITAS DI KOTA SURABAYA TAHUN 2016
ROSDIYANTI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOGI SURABAYA
TESIS
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PETUGAS LABORATORIUM TUBERKULOSIS DALAM PEMBUATAN
SEDIAAN DAHAK YANG BERKUALITAS DI KOTA SURABAYA TAHUN 2016
ROSDIYANTI NIM. 101414553022
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOGI SURABAYA
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PETUGAS LABORATORIUM TUBERKULOSIS DALAM PEMBUATAN
SEDIAAN DAHAK YANG BERKUALITAS DI KOTA SURABAYA TAHUN 2016
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Epidemiologi Minat Studi Epidemiologi
Program Studi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga
Oleh: ROSDIYANTI NIM. 101414553022
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI EPIDEMIOLOGI SURABAYA
PENGESAHAN
Dipertahankan di depan Tim Penguji Tesis Minat Studi Epidemiologi
Program Studi Epidemiologi
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan diterima untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
Magister Epidemiologi (M.Epid.) pada tanggal 25 Juli 2016
Mengesahkan
Universitas Airlangga Fakultas Kesehatan Masyarakat
Dekan,
Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S NIP. 19560303 198701 2 001
Tim Penguji:
Ketua Anggota
: :
Dr. RR. Soenarnatalina M, Ir., M.Kes
1. Prof. Dr. Chatarina U.W, dr., M.S., M.PH 2. Dr. Santi Martini, dr., M.Kes
PERSETUJUAN
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Epidemiologi (M.Epid.)
Minat Studi Epidemiologi Program Studi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga
Oleh:
ROSDIYANTI NIM. 101414553022
Menyetujui, Surabaya, 25 Juli 2016
Pembimbing Ketua,
Prof. Dr. Chatarina U.W, dr., M.S., M.PH NIP. 19540916 198303 2 001
Pembimbing,
Dr. Santi Martini, dr., M.Kes NIP. 19660927 199702 2 001
Mengetahui,
Koordinator Program Studi Epidemiologi
PERNYATAAN TENTANG ORISINALITAS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Rosdiyanti NIM : 101414553022 Program Studi : Epidemiologi Minat Studi : Epidemiologi Angkatan : 2014
Jenjang : Magister
menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan tesis saya yang berjudul:
ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PETUGAS LABORATORIUM TUBERKULOSIS DALAM PEMBUATAN SEDIAAN DAHAK YANG BERKUALITAS DI KOTA SURABAYA TAHUN 2016
Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima sanksi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Surabaya, 25 Juli 2016
Rosdiyanti
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunia dan hidayahNya penyusunan tesis dengan judul “Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya Tahun 2016” ini dapat terselesaikan. Tesis ini berisikan mengenai kinerja petugas laboratorium dalam pembuatan sediaan dahak dalam upaya meningkatkan kualitas diagnosis tuberkulosis di puskesmas Kota Surabaya tahun 2016.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Prof. Dr.Chartarina U.W, dr., M.S., M.PH selaku pembimbing ketua dan Dr. Santi Martini, dr., M.Kes selaku pembimbing II, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran serta motivasi demi kesempurnaan tesis ini. Ayahanda Kamarudin HB, Ibunda Rosuli S serta Ananda tersayang Quinsha C Arsyanda Al-Hayyu yang berkorban materil maupun spiritual dan menanti kesuksesanku..
Dengan terselesainya tesis ini, perkenankan saya mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada:
1 Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., M.T., AK., CMA., CA selaku rektor Universitas Airlangga Surabaya yang telah berkenan menerima penulis untuk belajar di Program Studi Magister Epidemiologi
2 Prof. Dr. Tri Martiana, dr., M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga yang telah memberikan izin untuk menempuh pendidikan di Program Studi Magister Epidemiologi
3 Prof. Dr. Chartarina U.W., dr., M.S.,M.PH selaku Koordinator Program Studi Magister Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga 4 Prof. Dr. Rika Subarniati T, dr., S.KM, Dr. RR.Soenarnatalina M, Ir., M.Kes, Priyo Santoso, SKM., M.Kes selaku anggota penguji proposal tesis atas kesediannya menguji dan membimbing dalam perbaikan tesis
5 drg. Febria Rachmanita selaku Kepala Dinas kesehatan Kota Surabaya yang telah mengizinkan melakukan penelitian di Puskesmas yang ada di wilayah kerja Kota Surabaya
6 Sri Astuti, S.Si., MM, selaku kepala UPT Laboratorium Dinas Kesehatan Kota Surabaya beserta Staff
7 Teman Magister Epidemiologi angkatan 2014 dan angkatan 2015 yang telah memberikan dorongan dan bantuan nya dalam penyusunan teris ini
Demikian, semoga tesis ini bisa membari manfaat bagi diri kami sendiri dan pihak lain yang menggunakan.
Surabaya, Juli 2016
SUMMARY
Tuberculosis (TB) is an infectious disease directly caused by bacteria Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis remains one of the most deadly infectious diseases in the world. Indonesia, in 2014 was ranked second with the highest burden of TB in the world, just after India. The most common method for diagnosing TB is sputum microscopic examination. Error laboratory tests will result in errors in diagnosing. Indicators and targets in tuberculosis laboratory that needs to be fulfilled is a 90% quality of samples for the cross test.
Tuberculosis (TB) remains one of the most deadly infectious diseases in the world. In 2013, an estimated 9.0 million people suffered TB and for about 1.5 million people died with 360,000 of whom were HIV positive. Indonesia was ranked second with the highest burden of TB in the world after India. The number of TB patients in Indonesia is about 5.8% of the total number of TB patients worldwide. Each year there are 429,730 new cases and about of 62,246 people death from the disease. Incident cases of smear positive (based on the presence of at least one acid fast bacilli (AFB+) is around 102/ 100,000 population. East Java ranks second after West Java with the burden of tuberculosis and the City of Surabaya is one contributor to TB in the province.
Quality assessment of microscopic laboratory performance for TB is carried out through the implementation of TB External Quality Consolidation (Indonesian: PME; Pemantapan Mutu Eksternal) to carry out cross test for sputum samples with smear positive. Up to today, cross test is done with a conventional 100% positive preparations supplemented with 10% negative preparations with an error rate of <5%. In 2015 there were 49.733 samples inspected by various health institutions in the working area of Surabaya City Health Office. As many as 4,651 samples were being examined and were known to be positive while as many as 878 samples were scanty and the remaining 44,249 samples were negative. Several factors can affect the quality of the samples, namely the quality, picking and coloring of the samples (sputum), quality of the reagents, the reading of samples, as well as in recording and reporting, maintenance and storage both of samples and microscope.
The purpose of this study was to analyze the factors that affect the performance of staffs in laboratory with individual characteristics (age, sex, education), employment, training, working environment, motivation, incentives, workload, attitudes, and supervision in the preparation of sputum samples in the City of Surabaya in 2016. This study applied observational study with cross sectional design. The population under study consisted of as many as 63 laboratory staffs in the working area of Surabaya City Health Office in 2016, with a sample size of 50 laboratory staffs, obtained using simple random sampling.
0.329), training (p value = 0.832), supervision (p value = 0.443) with the performance of laboratory staff in the preparation of sputum. While working environment (p value = 0.001), motivation (p value = 0.013), incentives (p value = 0.005), workload (p value = 0.004), attitude (p value = 0.155) indicated P value <0.05 which means that the working environment, motivation, incentives, workload and attitudes had influence on the performance of the laboratory staff in preparing samples. The results of multiple logistic regression also indicated that there was a significant correlation between the working environment (p value = 0.001), workload (p value = 0.024) and incentives (p value = 0.024) with the performance of staff in the laboratory in the preparing the sputum samples in the City of Surabaya in 2016.
ABSTRACT
Tuberculosis (TB) is an infectious disease directly caused by the bacteria Mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis remains one of the most deadly infectious diseases in the world. The most common method for diagnosing TB is sputum microscopic examination. Error laboratory tests will result in errors in diagnosing. Indicators and targets in tuberculosis laboratory that needs to be fulfilled is a 90% quality of samples for the cross test.
The purpose of this study was to analyze the factors that affect the performance of staffs in laboratory in preparing sputum samples in the City of Surabaya in 2016. This study applied observational study design with cross sectional approach. The population under this study consisted of 63 laboratory personnel in the working area of Surabaya City Health Office in 2016, with a sample size of 50 laboratory staff obtaines by simple random sampling.
Data analysis was carried out using Logistic regression test revealed that there was a significant correlation between working environment (p = 0.001), workload (p value = 0.024) and incentives (p value = 0.024) with the performance of the laboratory staff in preparing sputum samples in Surabaya in 2016.
From the findings above, it can be inferred that factors that influence the performance of the laboratory staff in the preparaing sputum samples were working environment, workload and incentives. Therefore it is expected that the City of Surabaya Health Office to develop physical environment, to raise incentives and to increase the number of laboratory personnel to reduce the workload.
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPAN ... i
SAMPUL DALAM ... ii
HALAMAN PRASYARAT GELAR ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSETUJUAN ... v
PERNYATAAN ORISINALITAS ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN ... xxii
2.8 Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis ... 26
4.7 Definisi Operasional dan Cara Pengukuran Variabel ... 62
5.3 Analisis Deskriptif ... 76 Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 83
5.4.11 Analisis Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan
Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 94
5.4.12 Analisis Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 94
5.4.13 Analisis Pengaruh Insentif terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 95
5.4.14 Analisis Pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 96
5.4.15 Analisis Pengaruh Sikap terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 97
5.4.16 Analisis Pengaruh Supervisi terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas ... 97
5.4.17 Rangkuman Hasil Analisis Bivariabel ... 98
5.4 Analisis Multivariabel ... 99
BAB 6 PEMBAHASAN ... 100
6.9 Pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang
Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 ... 113
6.10 Pengaruh Sikap terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 ... 114
6.11 Pengaruh Supervisi terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 ... 114
BAB 7 PENUTUP... 116
7.1 Kesimpulan ... 116
7.2 Saran ... 117
DAFTAR PUSTAKA ... 119
DAFTAR TABEL
No Judul Tabel Hal
Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 4.1
Perbedaan Uji Silang Metode Konvensional dengan LQAS Cara Penilaian Hasil Cross Check
Definisi Operasional dan Cara Pengukuran Variabel
32 34 62 Tabel 4.2 Hasil uji validitas Instrumen Motivasi 69 Tabel 4.3 Hasil uji validitas Instrumen Imbalan 69 Tabel 4.4 Hasil uji validitas Instrumen Beban Kerja 70 Tabel 4.5 Hasil uji validitas Instrumen Sikap 70 Tabel 4.6 Hasil uji validitas Instrumen Supervisi 71 Tabel 4.7 Hasil uji reliabelitas Instrumen Penelitian 72 Tabel 5.1 Jumlah Sarana pelayanan kesehatan di Kota Surabaya 75 Tabel 5.2 Jumlah tenaga kesehatan di Wilayah kerja Dinas Kesehatan
Kota Surabaya tahun 2016 76
Tabel 5.3 Frekuensi Umur Petugas Laboratorium di Kota Surabaya tahun
2016 77
Tabel 5.4 Frekuensi Jenis Kelamin Petugas Laboratorium Kota Surabaya
tahun 2016 77
Tabel 5.5 Frekuensi Pendidikan Petugas Laboratorium di Kota Surabaya
tahun 2016 77
Tabel 5.6 Frekuensi Masa Kerja Petugas Laboratorium di Kota Surabaya
tahun 2016 78
Tabel 5.7 Frekuensi Pelatihan Mikroskopis Tuberkulosis Petugas
Laboratorium di Kota Surabaya tahun 2016 78 Tabel 5.8 Frekuensi Lingkungan Kerja Petugas Laboratorium di Kota
Surabaya tahun 2016 78
Tabel 5.9 Frekuensi Motivasi Petugas Laboratorium di Kota Surabaya
tahun 2016 79
Tabel 5.10 Frekuensi Insentif Petugas Laboratorium di Kota Surabaya
tahun 2016 79
Tabel 5.11 Frekuensi Beban Kerja Petugas Laboratorium di Kota Surabaya
tahun 2016 80
Tabel 5.12 Frekuensi Sikap Petugas Laboratorium di Kota Surabaya tahun
2016 80
Tabel 5.13 Frekuensi Supervisi Petugas Laboratorium di Kota Surabaya
tahun 2016 80
Tabel 5.14 Frekuensi Kualitas Spesimen Petugas Laboratorium di Kota
Tabel 5.15 Frekuensi Ukuran Sediaan Petugas Laboratorium di Kota
Surabaya tahun 2016 81
Tabel 5.16 Frekuensi Kerataan Sediaan Petugas Laboratorium di Kota
Surabaya tahun 2016 81
Tabel 5.17 Frekuensi Ketebalan Sediaan Petugas Laboratorium di Kota
Surabaya tahun 2016 82
Tabel 5.18 Frekuensi Kebersihan Sediaan Petugas Laboratorium di Kota
Surabaya tahun 2016 82
Tabel 5.19 Frekuensi Kinerja Petugas Laboratorium di Kota Surabaya 82 Tabel 5.20 Distribusi Pengaruh Umur terhadap Kinerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan
Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya Tahun 2016 83 Tabel 5.21 Distribusi Pengaruh Jenis Kelamin terhadap Kinerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak
Yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 84 Tabel 5.22 Distribusi Pengaruh Pendidikan terhadap Kinerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak
yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 85 Tabel 5.23 Distribusi Pengaruh Masa Kerja terhadap Kinerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak
yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 85 Tabel 5.24 Distribusi Kualitas spesimen berdasarkan masa kerja petugas
Laboratorium Tuberkulosis di Dinas Kesehatan Kota Surabaya 86 Tabel 5.25 Distribusi Ukuran Sediaan berdasarkan Masa Kerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 87 Tabel 5.26 Distribusi Kerataan Sediaan berdasarkan Masa Kerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 87 Tabel 5.27 Distribusi Ketebalan Sediaan berdasarkan Masa Kerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 88 Tabel 5.28 Distribusi Kebersihan Sediaan berdasarkan Masa Kerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 89 Tabel 5.29 Hasil Akhir Kinerja (Kualitas Spesimen, Ukuran Sediaan,
Kerataaan Sediaan, Ketebalan Sediaan dan Kebersihan) terhadap Masa Kerja Petugas Mikroskopis Tuberkolosis di
Kota Surabaya tahun 2016 89
Tabel 5.30 Distribusi Pengaruh Pelatihan terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak
yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 90 Tabel 5.31 Distribusi Kualitas Spesimen berdasarkan Pelatihan Petugas
Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 90 Tabel 5.32 Distribusi Ukuran Sediaan berdasarkan Pelatihan Petugas
Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 91 Tabel 5.33 Distribusi Kerataan Sediaan berdasarkan Pelatihan Petugas
Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 92 Tabel 5.34 Distribusi Ketebalan Sediaan berdasarkan Pelatihan Petugas
Tabel 5.35 Distribusi Kebersihan Sediaan berdasarkan Pelatihan Petugas
Laboratorium Tuberkulosis di Kota Surabaya tahun 2016 93 Tabel 5.36 Hasil Akhir Kinerja (Kualitas Spesimen, Ukuran Sediaan,
Kerataaan Sediaan, Ketebalan Sediaan dan Kebersihan) terhadap Pelatihan Petugas Mikroskopis Tuberkolosis di Kota
Surabaya tahun 2016 93
Tabel 5.37 Distribusi Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan
Dahak yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 94 Tabel 5.38 Distribusi Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak
yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 95 Tabel 5.39 Distribusi Pengaruh Insentif terhadap Kinerja Petugas
Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak di Kota
Surabaya tahun 2016 95
Tabel 5.40 Distribusi Pengaruh Beban Kerja terhadap Kinerja Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak
yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 96 Tabel 5.41 Distribusi Pengaruh Sikap terhadap Kinerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak
yang Berkauliats di Kota Surabaya tahun 2016 97 Tabel 5.42 Distribusi Pengaruh Supervisi terhadap Kinerja Petugas
Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan Dahak
yang Berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016 98 Tabel 5.43 Hasil Analisis Chi-square Variabel Penelitian terhadap Kinerja
Petugas Laboratorium Tuberkulosis dalam Pembuatan Sediaan
DAFTAR GAMBAR
Proporsi Uji Silang Sediaan Dahak Triwulan I-III
di Kota Surabaya Tahun 2014 ... Proporsi Uji Silang Sediaan Dahak Triwulan I-III
Di Kota Surabaya Tahun 2015 ... Morfologi M.Tuberculosis dengan Pewarnaan
Ziehl Neelsen ... Jejaring Laboratorium TB di Indonesia ... Pot Dahak ... Alur Uji Silang ... Faktor yang Mempengaruhi Kinerja ... Kerangka Konseptual Penelitian ... Kerangka Operasional Penelitian ... Peta Pembagian Wilayah Kota Surabaya ...
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Penjelasan Sebelum Penelitian ... 124 Lampiran 2 Informed Consent ...
Lampiran 3 Panduan Observasi ... Lampiran 4 Lembar Kuesioner ... Lampiran 5 Kaji Etik ... Lampiran 6 Analisis Data ... Lamipran 7 Dokumentasi Penelitian ... Lampiran 8 Surat Izin Penelitian ...
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
PRM : Puskesmas Rujukan mikroskopis PS : Puskesmas Satelit
RAN : Rencana Aksi Nasional RUS : Rujukan Uji Silang SDK : Sumber Daya Kesehatan SK : Surat Keputusan
SPR : Slide Positive Rate SPS : Sewaktu Pagi Sewaktu TB : Tuberkulosis
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Identifikasi Masalah
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium
tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronis dan menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang utama (Soedarto, 2009).
Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu penyakit menular paling
mematikan di dunia. Tahun 2013, diperkirakan 9,0 juta orang menderita TB dan
1,5 juta orang meninggal dunia, 360 000 di antaranya adalah HIV positif (WHO,
2014).
Indonesia berada pada ranking ke dua dengan beban TB tertinggi di dunia
setelah India. Jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien
TB di dunia. Setiap tahun ada 429.730 kasus baru dan kematian 62.246 orang.
Insiden kasus TB BTA (Basil Tahan Asam) positif sekitar 102/100.000 penduduk.
Strategi nasional pengendalian TB dengan visi “Menuju Masyarakat Bebas
Masalah TB, Sehat, Mandiri dan Berkeadilan”. Strategi tersebut bertujuan
mempertahankan kesinambungan pengendalian TB periode sebelumnya (Depkes
RI, 2011). Provinsi Jawa Timur menduduki peringkat ke dua setelah Jawa Barat
dengan beban tuberkulosis tertinggi di Indonesia. Kota Surabaya merupakan salah
Pelaksanaan upaya penanggulangan TB di Indonesia secara administratif
berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan P2PL (Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan). Pembinaan Puskesmas berada di bawah Ditjen Bina
Upaya Kesehatan dan merupakan tulang punggung layanan TB dengan arahan
dari Subdit Tuberkulosis. Indonesia telah menerapkan strategi DOTS (Directly
Observed Treatment Short-course) sejak tahun 1995 sebagai strategi nasional
penanggulangan TB di seluruh Indonesia. Menemukan dan menyembuhkan
pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Depkes
RI, 2011).
Strategi DOTS terdiri 5 komponen kunci yaitu komitmen politis:
pemeriksaan dahak secara mikroskopis yang terjamin mutunya: pengobatan
jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang
tepat, termasuk pengawasan langsung pengobatan, jaminan ketersediaan OAT
(Obat Anti Tuberkulosis) yang bermutu serta sistem pencatatan dan pelaporan
yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja
program secara keseluruhan. Fokus utama penanggulangan TB dengan strategi
DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita TB. Target nasional untuk
Case detection rate (CDR) 70% dengan angka kesembuhan (cure rate) minimal
85% (Depkes RI, 2008).
Upaya mencapai target yang ditetapkan dalam strategi nasional program
penanggulangan TB, disusun 8 Rencana Aksi Nasional (RAN) yang salah
satunya adalah penguatan laboratorium yang dijabarkan menjadi penguatan
pemeriksaan mikroskopis, biakan maupun uji kepekaan (Kemenkes RI, 2013).
Metode yang paling umum digunakan untuk mendiagnosis TB di Indonesia
bahkan seluruh dunia adalah pemeriksaan dahak secara mikroskopis, bakteri
diamati pada sampel dahak kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Sedangkan
di negara maju, TB juga diagnosis melalui metode kultur (WHO, 2014).
Kemampuan laboratorium TB di setiap jenjang berbeda karena fungsi rujukan
laboratorium TB dalam program pengendalian TB (P2TB) sangat penting agar
rujukan bisa berjalan, maka harus ada jejaring laboratorium yang berfungsi
dengan baik. Setiap laboratorium tuberkulosis memiliki fungsi, peran, tugas dan
tanggung jawab yang saling berkaitan, sesuai kemampuan dan kedudukan
dalam jejaring laboratorium TB. Kegiatan jejaring laboratorium TB mencakup
standar mutu pelayanan dan pemantapan mutu (Kemenkes RI, 2013).
Penilaian mutu kinerja laboratorium mikroskopis TB dilakukan melalui
pelaksanaan Pemantapan Mutu Eksternal (PME) dengan melakukan uji silang
sediaan BTA. Selama ini uji silang BTA dilakukan secara konvensional yaitu
100% sediaan positif ditambah dengan 10% sediaan negatif dengan error rate
<5%. Tahun 2009 Ditjen P2ML Kemenkes RI telah menerapkan metode LQAS
(Lot Quality Assurance Sampling) dimana penilaian dimulai dari kualitas
spesimen, pewarnaan, kebersihan, ketebalan, ukuran dan kerataan (Kemenkes RI,
2013).
Pemeriksaan dahak secara mikroskopis untuk menetapkan klasifikasi
penderita tuberkulosis, keputusan untuk memulai pengobatan, memantau hasil
laboratorium merupakan inti keberhasilan pengendalian tuberkulosis. Kesalahan
hasil pemeriksaan laboratorium akan berdampak pada kesalahan dalam
mendiagnosis pasien, pasien menerima pengobatan yang salah. Hal tersebut akan
berdampak pada peningkatan biaya kesehatan, faktor psikologis, sosial serta akan
berakibat fatal. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam mendiagnosis
tuberkulosis diperlukan spesimen yang berupa dahak. Tetapi tidak semua
spesimen yang memenuhi standar, sehingga petugas laboratorium harus dapat
memilih spesimen yang bagus yaitu bagian dahak yang kental/purulen (Kemenkes
RI, 2013).
Menurut Depkes RI (2012) menyebutkan bahwa salah satu indikator dan
target laboratorium tuberkulosis yang akan dicapai adalah kualitas sediaan untuk
uji silang harus baik yaitu 90%. Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari
Dinas Kesehatan Kota Surabaya, masih terdapat kinerja petugas mikroskopis yang
masih kurang baik dalam hal pembuatan sediaan dahak seperti pada gambar 1.1.
Sumber Data: Profil Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2015
Gambar 1.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 periode triwulan I
terdapat 61% fasilitas kesehatan yang mempunyai kinerja petugas mikroskopis
dengan kategori kinerja baik dan 39% fasilitas kesehatan dengan kategori kinerja
jelek. Periode triwulan II terdapat 64% fasilitas kesehatan dengan ketegori kinerja
kinerja baik dan 36% dengan kategori kinerja jelek. Periode triwulan ke III
terdapat 87% fasilitas kesehatan dengan kategori kinerja baik dan 13% dengan
ketegori kinerja kurang baik, pada periode ini terjadi peningkatan kinerja petugas
yang baik dikarenakan pada akhir periode ke II telah diadakan on job training
(OJT) mikroskopis pada petugas laboratorium.
Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2016
Gambar 1.2 Proporsi Uji Silang Sediaan Dahak Triwulan I-III di Kota Surabaya Tahun 2015.
Gambar 1.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2015 periode triwulan I
terdapat 74% fasilitas kesehatan yang mempunyai kinerja petugas mikroskopis
dengan kategori kinerja baik dan 26% fasilitas kesehatan dengan kategori kinerja
kinerja kinerja baik dan 44 dengan kategori kinerja jelek. Periode triwulan ke III
terdapat 61% fasilitas kesehatan dengan kategori kinerja baik dan 39% dengan
ketegori kinerja kurang baik.
Pada tahun 2015 terdapat 49.733 sediaan yang diperiksa oleh fasilitas
kesehatan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Surabaya, dari sediaan yang
diperiksa tersebut diketahui sediaan yang positif berjumlah 4.651 sediaan, scanty
878 sediaan dan yang negatif sebanyak 44.249 sediaan. Beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kualitas sediaan adalah kualitas spesimen (sputum),
pembuatan sediaan, pewarnaan sediaan, kualitas reagen, pembacaan sediaan,
pencatatan dan pelaporan, pemeliharaan mikroskop dan penyimpanan sediaan.
(Dinkes Kota Surabaya, 2014).
Banyak faktor yang mempengaruhi pemeriksaan dahak secara mikroskopis
yang terdiri dari faktor dari dalam laboratorium yang dimulai dari kualitas
spesimen, pembuatan sediaan, pembacaan sediaan, pencatatan dan pelaporan.
Faktor di luar laboratorium yang terdiri dari pasien, petugas kesehatan,
pengambilan sampel, pengadaan logistik, pengelola program (Depkes RI, 2012).
Menurut Gibson (1996) ada tiga variabel yang mempengaruhi perilaku dan
kinerja individu yaitu: 1. variabel individu yang terdiri dari: keterampilan,
kemampuan, latar belakang dan demografis, 2. variabel organisasi terdiri dari:
sumberdaya, kepemimpinan, imbalan, dan desain pekerjaan, dan 3. variabel
fsikologis yang terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian, dan motivasi.
Data dari Dinas Kesehatan Kota Surabaya tahun 2015 bahwa terdapat 75
70% perempuan dan 30% laki laki, dengan umur di atas 23 tahun, dengan latar
belakang pendidikan analis kesehatan dan bukan analis kesehatan, dengan beban
kerja yang hampir sama (Dinkes Kota Surabaya, 2015).
Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Lestari (2011) tentang hubungan
kinerja petugas dengan Case detection rate (CDR) di Puskesmas Kota Makassar
diketahui bahwa ada hubungan pelatihan, motivasi dengan kinerja petugas.
Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawati dkk (2012) di Pekalongan
menyebutkan bahwa ada hubungan antara persepsi petugas tentang supervisi
dengan kinerja petugas puskesmas dalam pengelolaan pengobatan TB mangkir di
Kota Pekalongan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Badri (2006) menyebutkan
ada hubungan yang bermakna antara pelatihan, persepsi, motivasi, sumber daya
dan insentif terhadap kinerja petugas laboratorium dalam penemuan pendetita TB
paru di Kota Jambi.
Penelitian yang dilakukan oleh Pradytia (2010) menyebutkan bahwa
terdapat persamaan karakteristik petugas pada puskesmas dengan error rate (ER)
tinggi dan puskesmas error rate rendah yaitu: jenis kelamin, masa kerja, pelatihan
pemeriksaan TB, pengetahuan mikroskopis TB, kebiasaan dan penggunaan alat
pelindung diri serta mematuhi prosedur kerja di Kabupaten Situbondo. Begitu
pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Junaidi (2005) tentang kualitas tenaga
mikroskopis untuk program DOTS di Nusa Tenggara Barat menyebutkan bahwa
tenaga mikroskopis tidak pernah melakukan tahap pra analitik terhadap kualitas
1.2 Kajian Masalah
Laboratorium mikroskopis merupakan penunjang utama untuk tata laksana
pasien TB. Ketersediaan perangkat laboratorium mikroskopis tidak dapat
dipisahkan dalam memberikan pelayanan tata laksana pasien TB selain obat anti
tuberkulosis (OAT). Laboratorium mikroskopis sebagai manisfestasi dari
komponen kedua dari strategi DOTS akan berperan dan berfungsi maksimal
apabila dilaksanakan oleh sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan
mempunyai kompetensi yang standar. Semua institusi fasilitas pelayanan
kesehatan yang melakukan pemeriksaan mikroskopis harus dikelola dan
dilaksanakan oleh SDM yang terlatih dan terakreditasi.
Secara nasional kondisi di Kota Surabaya hampir semua tenaga
laboratorium di Fasyankes pelaksana DOTS telah terlatih pemeriksaan
mikoroskopis TB, tetapi dengan adanya mutasi dan pengembangan/pemekaran
daerah yang diikuti oleh penambahan fasyankes, dan kemajuan di bidang teknis
Pengendalian TB, maka diperlukan pelatihan secara berkesinambungan, baik
untuk pelatihan awal (initial) maupun pelatihan ulang (refreshing).
Upaya pemenuhan kebutuhan tenaga teknis laboratorium yang terampil
sesuai kebutuhan program, diperlukan pelatihan dengan kurikulum yang
terakreditasi serta dilengkapi dengan materi pembelajaran yang konsisten dan
sistematis. Pelatihan Pemeriksaan mikroskopis TB ini adalah untuk petugas teknis
laboratorium fasyankes dengan filosofi peningkatan keterampilan teknis.
Penelitian mengenai kinerja khususnya petugas laboratorium masih sedikit
mempunyai fungsi dan peranan yang penting dalam program pemberantasan TB.
Mutu hasil pemeriksaan yang baik dihasilkan oleh laboratorium yang memiliki
kinerja yang baik. Adanya kinerja petugas laboratorium yang masih rendah di
Kota Surabaya memberi gambaran masih tingginya potensi kesalahan yang
ditimbulkan dari hasil pemeriksaan dahak. Memperhatikan data tersebut diatas
disimpulkan permasalahan penelitian bahwa masih rendahnya kinerja petugas
mikroskopis tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak, hal inilah yang
mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis faktor
yang mempengaruhi kinerja petugas laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan
sediaan yang berkualitas dahak di Kota Surabaya tahun 2016”.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat
diajukan peneliti adalah: Faktor apakah yang mempengaruhi kinerja petugas
laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas di
Kota Surabaya tahun 2016?
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Menganalisis faktor yang mempengaruhi kinerja petugas (kuaitas spesimen,
ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran sediaan)
laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas di
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi variabel umur, jenis kelamin, pendidikan, masa kerja,
pelatihan, lingkungan kerja, motivasi, insentif, beban kerja, sikap, supervisi,
kualitas spesimen, ukuran sediaan, kerataan sediaan dan ketebalan sediaan.
2. Menganalisis pengaruh karakteristik responden (umur, jenis kelamin,
pendidikan) terhadap kinerja petugas (kualitas spesimen, ketebalan sediaan,
kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran sediaan) laboratorium
tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas di Kota
Surabaya tahun 2016.
3. Menganalisis pengaruh masa kerja terhadap kinerja petugas (kualitas
spesimen, ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran
sediaan) laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang
berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016.
4. Menganalisis pengaruh pelatihan mikroskopis TB terhadap kinerja petugas
(kualitas spesimen, ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan
dan ukuran sediaan) laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan
dahak yang berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016.
5. Menganalisis pengaruh lingkungan kerja terhadap kinerja petugas (kualitas
spesimen, ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran
sediaan) laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang
berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016.
6. Menganalisis pengaruh motivasi terhadap kinerja petugas (kualitas spesimen,
laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas
di Kota Surabaya tahun 2016.
7. Menganalisis pengaruh insentif terhadap kinerja petugas (kualitas spesimen,
ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran sediaan)
laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas
di Kota Surabaya tahun 2016.
8. Menganalisis pengaruh beban kerja terhadap kinerja petugas (kualitas
spesimen, ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran
sediaan) laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang
berkualitas di Kota Surabaya tahun 2016.
9. Menganalisis pengaruh sikap terhadap kinerja petugas (kualitas spesimen,
ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran sediaan)
laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas
di Kota Surabaya tahun 2016.
10. Menganalisis pengaruh supervisi terhadap kinerja petugas (kualitas spesimen,
ketebalan sediaan, kerataan sediaan, kebersihan sediaan dan ukuran sediaan)
laboratorium tuberkulosis dalam pembuatan sediaan dahak yang berkualitas
di Kota Surabaya tahun 2016.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dalam kelaboratoriuman. Selain itu juga dapat digunakan sebagai
mengenai upaya peningkatan mutu pemeriksaan laboratorium tuberkulosis
berdasarkan penerapan ilmu dalam bidang kesehatan masyarakat.
1.5.2 Manfaat Praktisi
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai evaluasi kerja untuk
meningkatkan kualitas pelayanan laboratorium dalam hal pembuatan sediaan
dahak untuk pemeriksaan tuberkulosis di Kota Surabaya.
1.5.3 Manfaat Bagi Dinas Kesehatan Kota Surabaya
Diharapkan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam membuat
dan penetapkan kebijakan bagi Dinas Kesehatan Kota Surabaya dalam
meningkatkan kualitas dan pengembangan Sumber Daya Kesehatan khususnya
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis (TB)
Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Pada dasarnya kuman penyebab TB
paru dapat menyerang organ tubuh lain misalnya kulit akan tetapi sebagian besar
menyerang paru-paru. Bakteri tersebut biasanya masuk ke dalam tubuh manusia
melalui udara pernapasan ke dalam paru-paru kemudian kuman tersebut menyebar
dari paru-paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem
saluran limfe, melalui saluran pernapasan (bronchus) atau langsung menyebar ke
bagian tubuh lainnya (Erlien, 2008).
2.2 Epidemiologi Tuberkulosis (TB)
Indonesia berada pada ranking kedua setelah India dengan beban TB
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000
dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus per tahun. Jumlah kematian akibat
TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya (WHO, 2015). Meskipun
memiliki beban penyakit TB tertinggi, Indonesia merupakan negara di wilayah
Asia Tenggara yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan
keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah
294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati, lebih dari 169.213 diantaranya
terdeteksi BTA positif. Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama
Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program
pengendalian TB nasional yang utama (Depkes RI, 2011).
2.2.1 Etiologi
Tuberkulosis termasuk penyakit zoonosis, karena penyakit ini dapat
ditularkan dari hewan ke manusia misalnya sapi. Mycobacterium tuberculosis
termasuk dalam ordo Actinomycetales, famili Mycobacteriaceae, dan genus
Mycobacterium. Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang langsing atau
bengkok yang mempunyai panjang 1-4μm dan lebar 0,2–0,5 μm. Pada perbenihan
berbentuk kokoid dan berfilamen, koloni cembung, kering dan warna kuning
gading, bersifat aerob obligat dengan suhu optimum 37⁰C, tidak berspora, dan
pada pewarnaan Ziehl Neelsen kuman berwarna merah dengan latar belakang biru
(Widoyono, 2011).
Kuman tuberkulosis umumnya ditularkan dari penderita manusia ke orang
lain melalui udara pernafasan. Selain itu tuberkulosis usus dapat terjadi jika
tertular kuman TB melalui air susu sapi penderita tuberkulosis. Kuman ini dapat
menular melalui inokulasi kulit. Setelah masuk kedalam tubuh, kuman akan
menyebar ke paru-paru, lalu bersama darah dan limfe menyebar ke berbagai organ
viseral lainnya (Soedarto, 2009).
Bakteri ini mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap
pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan
asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman tuberkulosis juga
tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob. Bakteri
pada pemanasan 60 derajat celcius selama 30 menit, dan dengan alkohol 70-90%
selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara terutama di tempat
yang lembab dan gelap (bisa berbulan bulan), namun tidak tahan terhadap sinar
dan aliran udara (Widoyono, 2011).
Gambar 2.1 Morfologi M. Tuberculosis dengan pewarnaan Ziehl Neelsen Sumber : Depkes RI, 2006.
Gambar 2.1 menunjukkan hasil dari pewarnaan BTA dengan
menggunakan pewarnaan Ziehl Neelsen. Pada pewarnaan tahan asam ini akan
terlihat kuman M.tuberculosis berwarna merah dan latar belakang berwarna biru
(Depkes RI, 2006).
2.2.2 Patogenesis
Infeksi terjadi biasanya melalui debu atau titik cairan (droplet) yang
mengandung kuman tuberkulosis bicara saat berhadapan dengan orang lain, basil
inkubasinya selama 3-6 bulan. Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan
kualitas paparan dengan sumber infeksi dan tidak berhubungan dengan faktor
genetik dan faktor penjamu lainnya. Penyakit timbul setelah kuman menetap dan
berkembang biak dalam paru–paru atau kelenjar getah bening.
Perkembangan penyakit tergantung pada jumlah kuman yang masuk dan
daya tahan. Perjalanan kuman tuberkulosis dapat langsung melalui aliran limfe,
aliran darah, melalui bronkus dan traktus digestivus. Pada mulanya kuman
menjalar melalui saluran limfe ke kelenjar getah bening. Selanjutnya melalui
ductus thoracicus masuk ke dalam aliran darah dan terus ke organ tubuh. Dapat
pula langsung dari proses perkejuan pecah ke bronkus, disebar ke seluruh paru–
paru atau tertelan digestivus (Widoyono, 2011).
2.2.3 Gejala Tuberkulosis
Mengetahui penderita tuberkulosis dengan baik harus dikenali tanda dan
gejalanya. Gajala klinis yang terjadi tergantung pada jenis organ yang terinfeksi
kuman ini. Gejala utama TB paru adalah batuk berdahak selama 2–3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit
paru selain TB, seperti bronkiekstasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru
Tuberkulosis milier adalah tuberkulosis yang menyerang berbagai organ
tubuh, yang dijumpai pada bayi atau penderita berusia lanjut yang daya tahan
tubuhnya rendah (Soedarto, 2009).
2.3 Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB paru dalam program penanggulangan tuberkulosis,
ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis untuk menemukan
BTA positif, yaitu dengan pengambilan 3 spesimen dahak sewaktu-pagi-sewaktu
(SPS). Penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis
merupakan cara diagnosis utama di Indonesia. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sesuai dengan indikasinya (Depkes RI, 2011).
2.4 Penemuan Penderita TB Paru
Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan cara promosi secara
aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan,
didukung penyuluhan secara aktif oleh petugas kesehatan maupun masyarakat
untuk meningkatkan penemuan pasien TB. Pemeriksaan dahak juga dilakukan
terhadap orang yang kontak dengan pasien TB, terutama keluarga penderita TB
yang menunjukan gejala yang sama (Irianto, 2002).
2.5 Klasifikasi Penyakit TB dan Tipe Pasien
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah untuk
menentukan paduan pengobatan yang sesuai, registrasi kasus secara benar,
pengobatan. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis
memerlukan suatu definisis kasus yang meliputi empat hal yaitu:
1. Klasifikasikan berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena
Berdasarkan organ tubuh yang terkena tuberkulosis terbagi atas dua macam
yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru
menyerang jaringan (parenkim) paru tidak termasuk pleura (selaput paru) dan
kelenjar pada hilus. Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung,
kelenjar limpe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin dan lain lain.
2. Klasifikasi berdasarkan Hasil Pemeriksaan Mikroskopis
Tuberkulosis paru BTA positif jika pada pemeriksaan dahak mikroskopis TB
paru BTA positif apabila ditemukan sekurangnya 2 atau 3 spesimen (sputum)
yang diperiksa hasilnya positif atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
dan foto toraks menunjukkan gambaran tuberkulosis serta biakan kuman TB
hasilnya juga positif. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Tuberkulosis paru BTA negatif, jika kasus tidak memenuhi definisi BTA paru
positif dengan kriteria: paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasil BTA negatif, foto
toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis, tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT, ditentukan dengan petimbangan dokter yang
3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit
TB paru BTA negatif fhoto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya yaitu berat dan ringan. Berat bila gambaran fhoto toraks
memperlihatkan gembaran kerusakan paru yang luas atau keadaan umum pasien
buruk.TB ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya
yaitu TB ekstra paru ringan misalnya TB kelenjar limpe, pleuritis eksudantiva
unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal. TB ekstra
paru berat misalnya maninggitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudatival bilateral, TB tulang belakang, Tb usus, TB saluran kemih dan alat
kelamin.
4. Klasifikasi berdasarkan Riwayat Pengobatan
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi 5 tipe
pasien yaitu:
a. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan
b. Kasus kambuh adalah perderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pengobatan dahak BTA positif
c. Kasus setelah putus berobat adalah kasus setelah gagal
d. Kasus pindahan adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan disuatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
e. Kasus gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) (Irianto, 2002).
2.6 Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Prinsif
pengobatan adalah membunuh kuman. Pengobatan tuberkulosis mengunakan
kombinasi lebih dari satu obat menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
dengan metode Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS), dan diberikan
dalam jangka panjang secara terus menerus, tidak terputus ditengah pengobatan
(Somantri, 2008).
2.7 Puskesmas
2.7.1 Pengertian Puskesmas
Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Repoblik Indonesia nomor 75
tahun 2014 tentang pusat kesehatan masyarakat, puskesmas adalah fasilitas
layanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan tingkat
pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif untuk
mencapai derajat kesehatan yang tinggi diwilayah kerjanya.
Puskesmas adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai
pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam
bidang kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
menyelenggarakan kegiatan secara menyeluruh, terpadu, berkesinambungan pada
2.7.2 Fungsi Penyelenggaraan Puskesmas
Puskesmas menyelenggarakan fungsi dalam Upaya Kesehatan Masyarakat
(UKM) tingkat pertama, yaitu setiap kegiatan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah
kesehatan dengan sasaran keluarga, kelompok, dan masyarakat diwilayahnya yang
meliputi 10 fungsi (Kemenkes RI, 2014) yaitu:
1. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan
masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan
2. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan
3. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat
dalam bidang kesehatan
4. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat: menyelenggarakan pelayanan kesehatan
yang mengutamakan keamanan dan keselamatan penderita, petugas dan
pengunjung
5. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prisif koordinatif dan kerja
sama inter dan antar profesi
6. Melaksanakan rekam medis
7. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses
pelayanan kesehatan
8. Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan
9. Mengkoordinasi dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan kesehatan
10. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem
rujukan.
2.7.3 Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas
Prinsip penyelenggaraan Puskesmas berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2014 meliputi:
1. Berdasarkan prinsip paradigma sehat, Puskesmas mendorong seluruh
pemangku kepentingan berkomitmen dalam mencegah dan mengurangi risiko
kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok dan masyarakat.
2. Berdasarkan prinsip pertanggungjawaban wilayah, Puskesmas menggerakkan
dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah
kerjanya.
3. Berdasarkan prinsip kemandirian masyarakat, Puskesmas mendorong
kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat.
4. Berdasarkan prinsip pemerataan, Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan
Kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat di
wilayah kerjanya secara adil tanpa membedakan status sosial, ekonomi,
agama, budaya dan kepercayaan.
5. Berdasarkan prinsip teknologi tepat guna, Puskesmas menyelenggarakan
Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai
dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak
buruk bagi lingkungan.
6. Berdasarkan prinsip keterpaduan dan kesinambungan, Puskesmas
lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang
didukung dengan manajemen Puskesmas (Kemenkes RI, 2014).
2.7.4 Azas Pertanggungjawaban Wilayah
Penyelenggaraan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan
pengembangan harus menerapkan azas penyelenggaraan Puskesmas secara
terpadu. Azas penyelenggaraan Puskesmas tersebut dikembangkan dari ketiga
fungsi Puskesmas. Dasar pemikirannya adalah pentingnya menerapkan prinsip
dasar dari setiap fungsi Puskesmas dalam menyelenggarakan setiap upaya
Puskesmas, baik upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan.
Azas penyelenggaraan Puskesmas yang dimaksud diantaranya adalah azas
pertanggungjawaban wilayah. Hal ini dimaksudkan Puskesmas bertanggungjawab
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah
kerjanya (Kemenkes RI, 2014).
Untuk ini Puskesmas harus melaksanakan berbagai kegiatan, antara lain
sebagai berikut (Kemenkes RI, 2014).
1. Menggerakkan pembangunan berbagai sektor tingkat kecamatan, sehingga
berwawasan kesehatan
2. Memantau dampak berbagai upaya pembangunan terhadap kesehatan
masyarakat di wilayah kerjanya
3. Membina setiap upaya kesehatan strata pertama yang diselenggarakan oleh
masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya
4. Menyelenggarakan upaya kesehatan strata pertama (primer) secara merata
2.7.5 Jejaring Laboratorium Mikroskopis Tuberkulosis
Jejaring laboratorium mikroskopis Tuberkulosis di Indonesia terlihat pada
gambar 2.2.
Keterangan :
:Pembinaan dan Pengawasan Mutu : Mekanisme Rujukan
Gambar 2.2 Jejaring Laboratorium TB di Indonesia
Laboratorium mikroskopis TB minimal terdiri dari :
1. Ruang pendaftaran/ruang tunggu
Ruang ini harus memiliki fentilasi yang cukup melalui pengaturan sirkulasi
udara yang baik
LAB. RUJUKAN NASIONAL
LAB. RUJUKAN PROVINSI/ LAB. RUJUKAN UJI SILANG II
LAB. RUJUKAN UJI SILANG I
FASYANKES MIKROSKOPIS TB 1. Puskesmas 2. Rumah Sakit
3. Laboratorium Swasta
FASYANKES SATELIT (LS) 1. Puskesmas (PS)
2. Rumah Sakit
2. Lokasi pengumpulan dahak
Lokasi harus memiliki ventilasi yang baik dan terkena paparan sinar matahari
langsung untuk menghindari infeksi. Sebaiknya tidak berada di dekat
kumpulan orang banyak, agar memberikan rasa nyaman kepada pasien untuk
berdahak dengan bebas. Prosedur tetap pengumpulan dahak harus dipasang di
lokasi pengumpulan dahak agar pasien dapat membacanya terlebih dahulu.
Harus tersedia sarana cuci tangan: air mengalir dan sabun cair agar pasien
mencuci tangannya setelah pengumpulan dahak.
3. Ruang kerja laboratorium
Akses ke ruang ini hanya terbatas untuk petugas laboratorium, pintu harus
selalu tertutup untuk mencegah turbulensi udara yang dapat mencemari
lingkungan. Pencahayaan harus cukup terang baik bersumber dari sinar
matahari maupun aliran listrik. Letak meja kerja harus dipertimbangkan agar
aliran udara tidak mengarah kepada petugas. Sebaiknya udara mengalir dari
arah belakang petugas laboratorium.
4. Ruang administrasi
Dalam keadaan keterbatasan ruang, ruangan administrasi dapat bersatu
dengan ruang kerja laboratoium tetapi harus memiliki meja terpisah (Depkes
RI, 2007).
Peralatan dan Fasilitas di Laboratorium Mikroskopik TB
1. Baju laboratorium. Terbuat dari bahan yang mudah dicuci dan kuat, tertutup
di bagian depan dengan panjang melewati lutut, lengan sepanjang
bekerja dan ditanggalkan apabila petugas meninggalkan ruang kerja
laboratorium. Pencucian baju laboratorium dilakukan di tempat kerja dengan
terlebih dahulu didekontaminasi. Baju kerja yang kotor tidak boleh dibawa
pulang.
2. Wadah penampung alat bekas pakai (lidi, pot dahak dan alat tercemar lain)
harus cukup kuat, tidak mudah bocor dan tertutup. Sebaiknya wadah diberi
alas plastik sehingga mudah dipindahkan. Larutan desinfektan dalam wadah
harus cukup untuk merendam limbah.
3. Otoklaf (kalau tersedia) harus diletakkan di dalam ruang kerja laboratorium
sehingga memastikan seluruh bahan yang terkontaminasi tidak lagi infeksius
ketika keluar dari ruang kerja laboratoium.
4. Bahan habis pakai : Sabun cair yang mengandung desinfektan untuk cuci
tangan, Towell Tissue/ Lap untuk mengeringkan tangan setelah cuci tangan.
Larutan desinfektan : Lysol, larutan hypoclorite 1-5 % (Misnadiarly, 2006).
2.8 Pemeriksaan Dahak Secara Mikroskopis
Tujuan pemeriksaan dahak adalah menegakkan diagnosis, menilai kemajuan
pengobatan, menentukan tingkat penularan.Daftar tersangka penderita TB yang
akan diambil dahaknya harus dicatat dalam formulir TB 06. Harus mencantumkan
nomor urut, nomer identitas sediaan dahak, nama tersangka, umur dan jenis
kelamin, alamat lengkap, tanggal dan hasil pemeriksaan dahak, serta nomor
registrasi laboratorium. Pencatatan tersebut mempunyai tujuan yaitu:
a. Mengetahui jumlah suspek yang diperiksa
c. Memudahkan pelacakan bila hasil pemeriksaan dahak positif dan penderita
tersebut tidak kembali (Depkes RI, 2007).
2.9 Pengumpulan Dahak 1. Persiapan pasien
Pasien diberitahu bahwa uji dahak sangat bernilai untuk menentukan status
penyakitnya, karena itu anjuran pemeriksaan SPS untuk pasien baru dan SP untuk
pasien dalam pemantauan pengobatan harus dipenuhi. Dahak yang baik adalah
yang berasal dari saluran nafas bagian bawah, berupa lendir yang berwarna
kuning kehijauan (mukopurulen).
Pasien berdahak dalam keadaan perut kosong, sebelum makan/minum dan
membersihkan rongga mulut terlebih dahulu dengan berkumur air bersih. Bila ada
kesulitan berdahak pasien harus diberi obat ekspektoran yang dapat merangsang
pengeluaran dahak dan diminum pada malam sebelum mengeluarkan dahak.
Olahraga ringan sebelum berdahak juga dapat merangsang dahak keluar. Dahak
adalah bahan infeksius sehingga pasien harus berhati-hati saat berdahak dan
mencuci tangan. Pasien dianjurkan membaca prosedur tetap pengumpulan dahak
yang tersedia di tempat/ lokasi berdahak.
2. Persiapan Alat
Pot dahak bersih dan kering, diameter mulut pot ≥3,5 cm, transparan,
berwarna bening, dapat menutup dengan erat, bertutup ulir minimal 3 ulir, pot
kuat, tidak mudah bocor. Sebelum diserahkan kepada pasien, pot dahak harus
sudah diberi identitas sesuai identitas/nomor register pada form TB05. Pot dahak
Sumber: Depkes RI, 2011. Gambar 2.3. Pot dahak
3. Cara Pengeluaran Dahak yang Baik
a. Waktu Pengambilan Dahak: S (Sewaktu, pertama): Dahak dikumpulkan
saat datang pada kunjungan pertama ke laboratorium fasyankes. P
(Pagi): Dahak dikumpulkan pagi segera setelah bangun tidur pada hari
ke-2, dibawa langsung oleh pasien ke laboratorium fasyankes. S
(Sewaktu, kedua): Dahak dikumpulkan di laboratorium fasyankes pada
hari ke-2 saat menyerahkan dahak pagi.
b. Tempat Pengumpulan Dahak: pengumpulan dahak harus dilakukan di
ruang terbuka dan mendapat sinar matahari langsung atau di ruangan
dengan ventilasi yang baik, untuk mengurangi kemungkinan penularan
akibat percikan dahak yang infeksius. Dahak adalah bahan yang
infeksius, pada saat berdahak aerosol/percikan dapat menulari orang
tempat yang jauh dari kerumunan orang, misalnya di depan ruang
pendaftaran, ruang pemeriksaan, ruang obat dll. Harus diperhatikan
pula arah angin pada saat berdahak. Maka jangan mengambil dahak di
ruangan tertutup dengan ventilasi yang buruk, misal : kamar kecil,ruang
kerja (ruang pendaftaran, ruang pengumpulan sampel, laboratorium),
ruang tunggu dan ruang umum lainnya.
c. Cara Berdahak: beri petunjuk pada pasien untuk kumur dengan air
bersih sebelum mengeluarkan dahak, Bila memakai gigi palsu, lepaskan
sebelum berkumur, tarik nafas dalam (2-3 kali) dan setiap kali
hembuskan nafas dengan kuat letakkan pot yang sudah dibuka dekat
dengan mulut dan keluarkan dahak ke dalam pot, batukkan dengan
keras dari dalam dada, tutup pot dengan rapat dengan cara memutar
tutupnya, setelah mengeluarkan dahak bersihkan mulut dengan tisue,
buang tisue di tempat sampah yang tertutup kemudian cuci tangan
(Widoyono, 2011).
d. Bila dahak sulit dikeluarkan, lakukan olah raga ringan kemudian
menarik nafas dalam beberapa kali. Bila terasa akan batuk, nafas
ditahan selama mungkin lalu disuruh batuk. Malam hari sebelum tidur,
perbanyak minum air ( Depkes RI, 2011).
e. Pengumpulan Dahak: Pot berisi dahak diserahkan kepada petugas
laboratorium, denganmenempatkan pot dahak di tempat yang telah
f. Penilaian Kualitas Dahak Secara Makroskopis
Petugas laboratorium harus melakukan penilaian terhadap dahak pasien.
Tanpa membuka tutup pot, petugas laboratorium melihat dahak melalui
dinding pot yang transparan. Hal-hal yang perlu diamati adalah: Vol 3,5
- 5 ml, Kekentalan : mukoid, Warna : Hijau kekuningan (purulen) Bila
ternyata air liur, petugas harus meminta pasien berdahak kembali,
sebaiknya dengan pendampingan. Perhatian : pada saat mendampingi
pasien berdahak, petugas harus berada dibelakang pasien dan hindari
arah angin menuju petugas.
4. Pemberian Identitas Sediaan Dahak: Aturan pemberian identitas uji dan
sediaan dahak.
5. Pembuatan dan penyimpanan sediaan apus dahak
Cara pembuatan sediaan dahak: Ambil dahak pada bagian yang purulen
dengan lidi, sebarkan diatas kaca sediaan dengan bentuk oval ukuran 2x3
kemudian ratakan dengan gerakan spiral kecil. Jangan membuat gerakan spiral
bila sediaan dahak sudah kering karena akan menyebabkan aerosol. Keringkan
pada suhu kamar, masukkan lidi bekas ke dalamwadah berisi desinfektan.
6. Fiksasi
Fiksasi dilakukan dengan memegangkaca sediaan dengan pinset,
pastikankaca sediaan menghadap ke atas.Lewatkan sediaan di atas api bunsenyang
7. Penilaian Ketebalan Sediaan Apus
Untuk menilai ketebalan sediaan sebelum dilakukan pewarnaan dapat
dilakukan dengan meletakkan sediaan yg kering 4-5 cm di atas kertas koran.
Sediaan yang baik apabila kita masih dapat melihat tulisan secara samar. sediaan
yang benar, tulisan di koran masih terbaca secara samar. Sediaan yang terlalu
tebal, tulisan di koran tidak terbaca. Sediaan yang terlalu tipis, tulisan di koran
terbaca dengan mudah (Kemenkes RI, 2012).
2.10 Uji Silang Metode Lot Quality Assurance System (LQAS)
Uji silang merupakan pemeriksaan ulang sediaan mikroskopis oleh
laboratorium rujukan tanpa mengetahui hasil pemeriksaan oleh laboratorium
sebelumnya (blinded rechecking) yang dilakukan secara berkala dan
berkesinambungan dengan tujuan untuk peningkatan mutu. Pemeriksaan ulang
sediaan BTA sputum dari laboratorium mikroskopis TB di fasilitas pelayanan
kesehatan (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4 dan Laboratorium Swasta).
Tujuan dariuji silang adalah untuk mengevaluasi laboratorium dalam
jejaring TB serta mengetahui kinerja dari laboratorium mikroskopis TB. Manfaat
dari kegiatan uji silang untuk meningkatkan kualitas pemeriksaan laboratorium
mikroskopis. Metode pengambilan sediaan selama ini mengunakan konvensional
yaitu 10% sediaan BTA negatif dan seluruh sediaan BTA positif. Namun pada
tahun 2007 telah diterapkan uji silang dengan metode LQAS (Lot Quality
Tabel 2.1 Perbedaan uji silang metode Konvensional dengan LQAS
Konvensional LQAS
Sampling : 100% slide positif
ditambah 10% slide negatif Sampling : semua slide mendapat kesempatan yang sama Pemilihan slide tergantung dari minat
petugas Pemilihan secara acak dengan menggunakan statistika sederhana Formulir TB05, TB04 dan TB12 Formulir TB05, TB04 dan TB12 yang
disempurnakan Penyimpanan dipisahkan antara slide
positif dan slide negatif Penyimpanan slide digabung sesuai dengan TB04 Analisis uji silang adalah Error Rate Berdasarkan derajat kesalahan
Errir Rate >5%= jelek Satu kesalahan besar atau tiga kesalahan kecil = jelek
Kualitas : sediaan dan pewarnaan Kualitas : spesimen, kebersihan, ukuran, ketebalan dan rata rata.
Dengan adanya LQAS ini tidak mengubah sistem uji silang tetapi hanya
memutakhirkan metode uji silang, menilai kinerja laboratorium secara
menyeluruh, tidak untuk konfirmasi diagnosis, sediaan disimpan berdasarkan
TB04, setiap sediaan memiliki kesempatan yang sama untuk di uji silang,
penilaian kinerja petugas berdasarkan jumlah dan tipe kesalahan bukan
prosentase dan kemungkinan penyebab kesalahan lebih mudah diketahui.
Langkah dalam melakukan uji silang LQAS adalah (Depkes RI, 2011):
1. Tentukan jumlah seluruh sediaan: jumlah seluruh sediaan yang positif dan
yang negatif yang diperiksa pada tahun lalu.
2. Hitung Slide Positif Rate (SPR) = proporsi sediaan positif diantara seluruh
sediaan
3. Tentukan sensitifitas, spesifisitas dan jumlah kesalahan yang masih dapat
Gambar 2.4 Alur Uji Silang
1) Pengambilan sampel oleh wasor
2) Pengiriman sampel oleh wasor(blinded) 3) Hasil pembacaan lab uji silang
4) Umpan balik hasil uji silang
5) Sediaan yang di “screpancy” ke pembaca II 6) Hasil pembacaan ulang oleh lab II
LAB UJI SILANG (II) a) Pengambilan sampel oleh wasor
b) Pengiriman sampel oleh wasor(blinded) c) Hasil pembacaan sediaan oleh kontroler d) Umpan balik hasil uji silang
Alur Uji Silang Sediaan BTA ( Untuk UPK )
2.10.1 Indikator Keberhasilan Uji Silang
1. Cakupan 90% : Jumlah laboratorium yang mengikuti uji silang dibanding
seluruh laboratorium pemeriksa mikroskopis TB.
2. Rutinitas 90% : Jumlah laboratorium peserta uji silang dengan frekuensi
partisipasi 4 (empat) kali per tahun dibanding seluruh laboratorium pemeriksa
mikroskopis TB.
3. Kinerja Baik 80% : Jumlah peserta uji silang dengan hasil pembacaan
baik.Pembacaan baik ialah pembacaan tanpa kesalahan besar dan atau
kesalahan kecil kurang dari 3.
4. Kualitas Sediaan Baik 80% : Jumlah laboratorium peserta uji silang
dengan 6 unsur kualitas sediaan dahak yang baik yaitu : Ukuran, kerataan,
ketebalan, pewarnaan, kebersihan dan kualitas dahak (Depkes RI, 2011).
2.10.2 Klasifikasi Kesalahan pada uji silang dengan metode LQAS
Perhitungan angka kesalahan laboratorium metode yang digunakan
sebagai berikut :
Tabel 2.2 Cara Penilaian Hasil Cross Check
Hasil dari Lab Hasil Lab Uji Silang
Peserta Negatif Scanty 1+ 2+ 3+ Negatif Betul NPR NPT NPT NPT