• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan

Dalam Perpres No 7 Tahun 2005 tentang RPJMN 2004-2009 tercantum bahwa salah satu permasalahan yang menyangkut pembangunan sumberdaya manusia (SDM) yang dihadapi Indonesia adalah kesenjangan pencapaian pembangunan antara lelaki dan perempuan (RI 2005). Kondisi perempuan Indonesia dibandingkan dengan lelaki pada tahun 2002 berdasarkan Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002 (BPS 2003) antara lain adalah sebagai berikut:

•Angka Partisipasi Sekolah penduduk (APS) usia sekolah 7-18 tahun adalah 80,67 persen perempuan banding 80,53 persen lelaki.

•Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang buta huruf: 12,69 persen perempuan banding 5,85 persen lelaki.

•Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) penduduk usia 15 tahun ke atas: 50,20 persen perempuan banding 85,60 persen lelaki.

•Persentase penduduk perempuan yang menjadi kepala rumahtangga (KRT): 12,44 persen perempuan banding 87,56 persen lelaki.

Alat ukur yang digunakan dalam pembangunan SDM adalah HDI (Human Development Index) atau IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dan GDI (Gender- relatedDevelopment Index). HDI dan GDI mengukur pencapaian pembangunan manusia dari dimensi dan indikator yang sama, tetapi GDI memperhitungkan kesenjangan pencapaian antara lelaki dan perempuan. Selisih yang semakin kecil antara angka GDI dan HDI menyatakan semakin kecilnya kesenjangan gender. Dimensi dari pengukuran GDI dan HDI adalah kesehatan (indikatornya usia harapan hidup), pendidikan (indikatornya melek aksara dan lamanya mengikuti pendidikan formal) dan standar hidup layak (Pendapatan Domestik Bruto per kapita). Berdasarkan Human Development Report 2006, angka HDI Indonesia adalah 0,711 yang menempati peringkat ke 108 dari 177 negara. Angka GDI Indonesia adalah 0,704 yang menempati peringkat 81 dari 140 negara (UNDP 2006). Angka GDI yang lebih rendah dari angka HDI menunjukkan adanya kesenjangan gender.

Ukuran lain dalam pembangunan pemberdayaan gender, disamping GDI, adalah GEM (Gender Empowerment Measured). Berdasarkan Indonesia Human Development Report 2004, angka GEM untuk Indonesia adalah 0,546 yang menempati peringkat ke 33 dari 71 negara yang diukur. Dimensi dari pengukuran GEM adalah partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang politik (indikatornya partisipasi perempuan di parlemen), partisipasi dan pengambilan keputusan di bidang ekonomi (indikatornya perempuan berposisi sebagai legislator, pejabat tinggi, manajer, pekerja teknis dan profesional), dan kekuatan terhadap sumberdaya ekonomi (indikatornya perempuan dalam angkatan kerja dan rata-rata upah di sektor non-pertanian) (BPS-Bappenas-UNDP, 2004). Menurut Johansson (2004), “While GDI shows women’s capabilities, GEM shows womens opportunities in economic and political life”.

Pengertian gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara lelaki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat (KPP 2002a). Jika pembagian peran lebih banyak merugikan salah satu pihak, maka akan timbul masalah gender. Dalam ruang lingkup pembangunan, kaum perempuan banyak yang belum mendapat kesempatan untuk berpartisipasi seperti dalam kegiatan pembinaan untuk pengembangan sumberdaya manusia (SDM) atau pengambilan keputusan. Menurut KPP (2002b), kesenjangan gender merupakan hambatan utama bagi peningkatan kualitas SDM, perwujudan hak asasi manusia, pengembangan pembinaan demokrasi dan pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan. Semua ini merupakan kunci peningkatan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan dan pemanfaatan serta penikmat hasil pembangunan.

Gender, menurut Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional, adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab lelaki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat (RI 2000). Gender bukanlah kodrat dari ketentuan Tuhan. Gender ini berkaitan dengan keyakinan bagaimana seharusnya lelaki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada (KPP 2002b).

Peran terkait dengan status yang keduanya merupakan konsep pokok dalam struktur sosial. Status adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok dan dalam masyarakat (Popenoe 1989) atau sekumpulan hak dan kewajiban (Sunarto 2004). Status dibagi menjadi dua yaitu status yang tergariskan (ascribed status) dan status yang diperoleh dengan usaha sengaja (achieved status). Status tergariskan adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dasar keturunan atau yang dibawa sejak lahir, seperti jenis kelamin, tingkat umur dan kelahiran dalam kelompok khusus; sedangkan status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada seseorang atas dari kemampuan atau prestasi (Koentjaraningrat 1986; Abdulsyani 1994; Sunarto 2004).

Peran adalah tingkah laku yang diharapkan dari seseorang terkait dengan kedudukannya (Popenoe 1989; Abdulsyani 1994) atau suatu perbuatan seseorang dengan cara tertentu dalam usaha menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang dimilikinya (Abdulsyani 1994). Peran adalah aspek dinamis dari status (Abdulsyani 1994; Sunarto 2004). Berkembangnya suatu masyarakat dan lancarnya roda kehidupan masyarakat karena anggota masyarakat tidak bertindak melampaui batas-batas peranannya; sebaliknya, kehidupan masyarakat akan rusak jika anggota masyarakat berbuat melampaui atas peranannya atau tidak menyadari akan peranannya (Kartasapoetra dan Kreimers 1987). Peran gender adalah peran sosial yang dihubungkan dengan keadaan lelaki atau perempuan. Peran gender yang diharapkan ini diajarkan dan diperkuat melalui sosialisasi sejak lahir (Popenoe 1989). Dalam sosialisasi gender, agen penting yang berperan adalah keluarga, kelompok bermain (teman bergaul), sekolah dan media massa (Popenoe 1989; Sunarto 2004).

Berbagai pembedaan peran dan kedudukan (status) antara lelaki dan perempuan baik langsung berupa perlakuan atau sikap maupun tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun struktur masyarakat. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender itu (KPP 2002c; Fakih 2004) meliputi

(1) Marjinalisasi perempuan yang mendeskripsikan rendahnya status dan akses serta penguasaan seseorang terhadap sumberdaya ekonomi dan politik. Contoh: tidak adanya hak waris untuk kaum

(2) Subordinasi yaitu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau utama dibanding lainnya. Contoh: anggapan bahwa perempuan itu emosional sehingga perempuan tidak dapat memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

(3) Pandangan stereotipi (pelabelan) yaitu citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum melahirkan ketidakadilan. Contoh: anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami, sehingga pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.

(4) Kekerasan yang merupakan suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu di lingkungan rumahtangga atau tempat umum, juga dalam masyarakat. Contoh: pelecehan seksual yang bersifat non fisik hingga penyiksaan yang bersifat fisik.

(5) Beban kerja yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Hampir 90 persen pekerjaan dalam rumahtangga dikerjakan oleh perempuan, sehingga bagi perempuan yang bekerja akan memikul beban kerja ganda, di rumah dan di tempat kerja. Pekerjaan domestik adalah jenis “pekerjaan perempuan” dan dikategorikan “pekerjaan bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara.

Istilah gender terkait dengan istilah feminisme. Feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut (Bhasin dan Khan 1995; Fakih 2004). Fakih (2004) membagi aliran feminisme menjadi dua aliran besar dalam ilmu sosial yakni aliran fungsionalisme dan aliran konflik, sebagai berikut

(1)Aliran fungsionalisme atau fungsionalisme struktural. Teori ini meyakini bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berkaitan dan masing-masing bagian secara terus-menerus mencari keseimbangan dan harmoni. Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan. Teori ini mempengaruhi pemikiran feminisme liberal dan pengaruh feminisme liberal terwujud dalam program Women In Development (WID). Dasar pemikiran feminisme liberal (Umar 2001; Fakih 2004; lihat Ritzer dan Goodman 2003) adalah semua manusia, lelaki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Kelompok ini

menghendaki agar perempuan terintegrasikan secara total di dalam semua peran, sehingga tidak ada kelompok gender yang lebih dominan.

(2)Aliran konflik. Menurut Fakih (2004), teori konflik meyakini bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan dan kekuasaan yang merupakan pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan lelaki dan perempuan. Perubahan akan terjadi melalui konflik yang akhirnya akan mengubah posisi dan hubungan. Teori ini dianut oleh feminisme marxis, feminisme sosialis dan feminisme radikal. Feminisme marxis memandang bahwa penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme, dan eksploitasi ekonomi sebagai dasar penindasan gender. Feminisme sosialis berusaha memerangi konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun atas bias gender. Feminisme sosialis (Ritzer dan Goodman 2003) mendeskripsikan penindasan gender sebagai sesuatu yang muncul dari usaha sistem patriarki dan kapitalis untuk mengontrol produksi dan reproduksi sosial. Menurut Umar (2001), kelompok feminisme radikal memandang perempuan tidak harus bergantung kepada lelaki. Aliran ini mengupayakan pembenaran rasional bahwa lelaki adalah masalah bagi perempuan.

Dalam rangka menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi kepada kaum perempuan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi pertama yang menyangkut kesetaraan dan keadilan gender yaitu Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Of All Forms Of Discrimination Against Women, CEDAW), selanjutnya Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional diterbitkan dalam rangka mengimplementasikan UU No. 7 Tahun 1984 tersebut dan Beijing Platform for Action (BPFA). BPFA merupakan hasil dari Konperensi Internasional Perempuan Keempat yang diselenggarakan oleh PBB pada tahun 1995 di Beijing. Salah satu hasil dari BPFA adalah pentingnya untuk mendisain, menerapkan dan memantau kebijakan dan program pembangunan yang sensitif gender pada semua tingkatan

Handayani dan Sugiarti 2002). Saat ini yang menjadi landasan pokok untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009.

Belenggu budaya patriarkhi telah mengakibatkan perempuan tidak menyadari proses diskriminasi dan subordinasi yang selama ini terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan proses pewacanaan konsep kesetaraan dan keadilan gender pada semua warga, baik lelaki dan perempuan (Dwi et al. 2002; Subhan 2002). Berdasarkan Inpres No. 9 Tahun 2000, kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi lelaki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan; sedangkan keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap lelaki dan perempuan (RI 2000).

Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender maka perlu dikembangkan kebijakan pembangunan yang responsif gender, yaitu kebijakan yang memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap perbedaan lelaki dan perempuan dalam masyarakat yang disertai upaya menghapus hambatan struktural dalam mencapai kesetaraan. Sesuai amanat Inpres No. 9 Tahun 2000 maka pembangunan di semua sektor perlu mengintegrasikan pendekatan gender dalam kebijakan dan programnya dengan melalui strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). PUG adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi suatu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Tujuan PUG adalah untuk terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (RI 2000). Dengan demikian, melalui strategi PUG dapat dikembangkan kebijakan dan program yang responsif gender. Untuk pembangunan di daerah, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Keputusan

Pelaksanaan PUG Dalam Pembangunan Di Daerah (Depdagri 2003; Depdagri 2004). Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 mengatur tentang pembentukan organisasi pelaksanaan PUG yaitu koordinator pelaksana, kelompok kerja dan focal point PUG serta pembiayaan untuk pelaksanaan PUG sebesar lima persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah masing- masing.

Faktor empiris menunjukkan masih adanya kelemahan dalam perencanaan pembangunan yang belum mengakomodasi kepentingan dan aspirasi perempuan secara seimbang sehingga mengakibatkan potensi, posisi, peran, dan kedudukan perempuan sering diabaikan dalam pelaksanaan dan pemanfaatan hasil-hasil pembangunan (KPP 2002b). Penyebab perempuan terisolir dari proses pembangunan adalah karena: (1) beban ganda dimana perempuan melakukan pekerjaan domestik dan sekaligus mencari nafkah; dan (2) kebijakan pembangunan tidak diperuntukkan bagi kaum perempuan. Kaum lelaki dianggap sebagai kepala rumahtangga dan berhak untuk jadi wakil dalam komunitas yang lebih luas (Krisnawaty 1993). Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan pembangunan berperspektif gender yang merupakan suatu upaya untuk mentransformasikan PUG kedalam kegiatan nyata institusi sektor. Intinya adalah mengintegrasikan permasalahan diskriminasi terhadap lelaki dan perempuan kedalam seluruh komponen perencanaan pembangunan yaitu kebijakan, program dan kegiatan, sehingga kepentingan, aspirasi dan kebutuhan peningkatan peran dan partisipasi perempuan dan lelaki dalam pembangunan dapat diakomodasikan secara proporsional kedalam kepentingan dan tujuan pembangunan pada institusi sektor (KPP 2002d). Hal ini sesuai dengan pendapat Moser (1993), “The goal of gender planning is the emancipation of women from their subordination, and their achievement of equality, equity and empowerment”.

Perencana kebijakan menggunakan analisis gender untuk menilai dampak kebijakan bagi perempuan dan lelaki atas program dan atau peraturan yang diusulkan dan dilaksanakan. Analisis gender mengakui bahwa realitas kehidupan perempuan dan lelaki adalah berbeda, sedangkan kesempatan yang sama tidak harus berarti menghasilkan output yang sama (KPP 2002b; Handayani dan Sugiarti 2002). Analisis gender mengidentifikasi isu gender yang disebabkan oleh

(1) memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya;

(2) berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya pada pengambilan keputusan; dan

(3) memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung dari kebijakan, program maupun kegiatan pembangunan (KPP 2002d). Metode analisis gender yang disebut dalam Kepmendagri No. 132 Tahun 2003 adalah Gender Analysis Pathway (GAP). GAP ini digunakan untuk membantu perencana dalam melakukan PUG dalam perencanaan kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan (Depdagri 2003). GAP adalah suatu metode analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, kontrol, partisipasi dan manfaat yang diperoleh lelaki dan perempuan dalam program pembangunan (KPP 2003).

Metode analisis gender lainnya adalah Model Moser atau Teknik Analisis Moser yang dibuat oleh Caroline O.N. Moser. Model Moser adalah suatu teknik analisis yang membantu perencana atau peneliti dalam menilai, mengevaluasi, merumuskan usulan dalam tingkat kebijakan, program dan kegiatan yang lebih peka gender, dengan menggunakan pendekatan terhadap persoalan perempuan, identifikasi terhadap peranan gender perempuan (produktif, reproduktif dan sosial kemasyarakatan) dan identifikasi kebutuhan praktis-strategis gender (Moser 1993; Handayani dan Sugiarti 2002; KPP 2003).

Regulasi di Indonesia sudah banyak yang mengarusutamakan gender dalam pembangunan, namun regulasi saja tidak cukup, diperlukan komitmen untuk pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bemmelen (1995) yang menyatakan bahwa persamaan hak di depan hukum jelas tidak menjamin kesetaraan de facto. Oleh karena itu, menurut Aguilar dan Castaneda (2001), untuk mengejar tujuan pembangunan yang berkelanjutan, tiap orang mempunyai tanggungjawab dan kewajiban, dengan melakukan bersama semua tindakan yang akan memungkinkan realisasi ubahan yang diusulkan. Jika orang yang berpartisipasi berada pada posisi yang subordinasi dan tertindas (dipandang dari sudut gender, usia, etnis, kelas atau kondisi sosial-ekonomi, agama, politik), hal ini akan sulit untuk mencapai persetujuan minimum yang dibutuhkan untuk membawa mereka mengakui satu sama lain sebagai setara yaitu sebagai orang dengan kewajiban yang akan dibagi dan yang dapat dipercayai.

Program pembangunan secara formal seringkali dikuasai oleh lelaki dan karena sumberdaya yang penting dalam kehidupan suatu masyarakat hampir selalu dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan sosial, ekonomi dan politik yang lebih kuat maka adanya marjinalisasi terhadap peran perempuan dalam pengambilan keputusan sering diabaikan. Hal ini terjadi karena perempuan memang jarang dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat formal. Pelibatan perempuan ke dalam wacana yang bersifat pengaturan sumberdaya kolektif di tingkat komunitas (lokal) masih belum banyak dibahas dalam pendekatan pembangunan. Padahal, isu pengaturan sumberdaya di tingkat komunitas merupakan isu penting yang terkait langsung dengan kehidupan perempuan miskin (Anonim, 2003).

Menurut Soetrisno (1993), kemiskinan dari sudut pandang perempuan berarti tidak hanya kekurangan ekonomis, tetapi juga penderitaan fisik maupun pengorbanan dari kehormatannya sebagai perempuan seperti menjual dirinya sebagai perempuan. Menurut Hubeis (2004)

“Kombinasi kendala ketiadaan akses pada unsur ekonomi, sosial, dan kekuasaan yang dihadapi oleh perempuan (miskin) menyebabkan terjadinya peningkatan feminization of poverty. Sejak tahun 1970-an, jumlah perempuan di dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan telah meningkat menjadi 50 persen dibanding dengan 30 persen lelaki. Lebih dari 70 persen dari 1.300 juta orang miskin saat kini adalah perempuan. Untuk kasus Indonesia, keadaan tersebut tak jauh beda.”

Rumahtangga dalam isu gender dan kemiskinan merupakan salah satu sumber diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. Ketidaksetaraan di dalam alokasi sumberdaya dalam rumahtangga memperlihatkan lelaki dan perempuan mengalami bentuk kemiskinan yang berbeda (Anonim 2003).

Pada tingkat dunia sudah ada satu komitmen internasional yang terkait dengan persoalan perempuan, kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan yaitu The Millennium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan hasil komitmen The Millenium Declaration, yaitu suatu konsensus global dari 189 negara anggota PBB (termasuk Indonesia) yang lahir pada tahun 2000. Delapan komitmen kunci yang dikemukakan dalam MDGs(UNIFEM and BMZ 2004) sebagai berikut

(1) Eradicate extreme poverty and hunger (2) Achieve universal primary education

(3) Promote gender equality and women’s empowerment (4) Reduce child mortality

(5) Improve maternal health

(6) Combat HIV/AIDS, malaria and other diseases (7) Ensure environmental sustainability

(8) Develop a global partnership for development.

Dari delapan komitmen MDGs, enam komitmen pertama berhubungan langsung dengan kondisi dan kebutuhan perempuan yang perlu ditangani serta memberikan berbagai bentuk partisipasi kepada perempuan untuk berkiprah dalam pembangunan, sedangkan dua komitmen lainnya terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Menurut OECD (1996), perempuan termasuk pelaku kunci dalam pengelolaan lingkungan yang terkait dengan peran mereka yang menonjol sebagai pengguna utama sumberdaya untuk keperluan rumahtangga mereka. Penguatan posisi perempuan melalui intervensi pembangunan dapat membawa kemajuan pembangunan yang lebih berkesetaraan dan pada gilirannya mempertinggi harapan untuk menyuarakan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.