• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

I. 5. Kerangka Teori

3. Pengarusutamaan Gender …

Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya ‘emansipasi’ di tahun 1950 dan 1960-an. Setelah itu, tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesamaan perempuan dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan tema

Women In Development (WID), yang bermaksud mengintegrasi perempuan dalam

pembangunan (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008).

Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan tentang pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar kuantitas, maka tema WID diubah menjadi Women and Development (WAD) (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008).

Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008).

Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan ‘The Millenium Development Goals’ (MDGs) yang mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sebagai

cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008).

Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, diperlukan strategi. Gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan gender (PUG) merupakan suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dalam kebijakan dan program pembangunan nasional untuk mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam rangka menciptakan kesetaraan gender, mulai dari proses pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, sampai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pembangunan sektoral.

Untuk pertama kalinya, pada Konferensi Wanita Sedunia Ke-4 yang diselenggarakan di Beijing tahun 1995, istilah “Gender Mainstreaming” tercantum di Beijing Platform of

Action. Semua negara-negara peserta termasuk Indonesia dan organisasi yang hadir pada

konferensi itu, secara eksplisit menerima mandat untuk mengimplementasikan “Gender

Mainstreaming” di negara dan tempat masing-masing (Departemen Hukum dan HAM, 27

Maret 2008).

Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Keseteraan dan Keadilan Gender (KKG), maka Pemerintah Indonesia melalui GBHN 1999 menyatakan bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG).

Meskipun begitu, usaha untuk mencapai KKG ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada umumnya, dan

khusunya oleh perempuan. Program pengarusutamaan gender di Indonesia belum berjalan secara optimal. Karena selain dimensi permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan pemahaman masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu, mengingat istilah itu bukan berasal dari bahasa Indonesia.

Kata “gender” selalu diidentik dengan jenis kelamin, padahal makna yang sesungguhnya tidaklah demikian. Gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Peran dan tanggungjawab itu dapat dipertukarkan atau berganti sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya (Suara Karya, diakses pada tanggal 27 Maret 2008).

Akhirnya disepakati perlu adanya strategi yang tepat agar dapat menjangkau ke seluruh instansi pemerintah, swasta, masyarakat dan lain sebagainya. Strategi tersebut dikenal dengan istilah “Gender Mainstreaming” (GMS) atau “Pengarustutamaan Gender” (PUG). Strategi ini sangat penting sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan Inpres yang selanjutnya dikenal dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, merupakan landasan hukum yang kuat untuk melaksanakan PUG, khususnya bagi jajaran pemerintahan.

Melalui PUG ini, pemerintah dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender untuk perempuan dan laki-laki. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi mereka. Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang.

Adapun pengertian Pengarusutamaan Gender ini menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan,

dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gendr, harus dapat dibuktikan bahwa aspek gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam 4 (empat) fungsi utama manajemen program setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu:

a. Perencanaan: menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki. b. Pelaksanaan: memastikan bahwa strategi-strategi yang dijelaskan mempunyai dampak,

baik pada perempuan maupun laki-laki.

c. Pemantauan: mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program, dalam hal partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan laki-laki.

d. Penilaian: memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih baik sebagai hasil prakarsa tersebut.

Untuk dapat lebih memahami tentang PUG, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa “PUG dalam Kebijakan dan Program Sektoral” adalah (Departemen Hukum dan HAM, diakses pada tanggal 27 Maret 2008):

a. Memasukkan permasalasan gender dalam program pembangunan. Di bidang hukum dan

Hak Asasi Manusia (HAM), implementasinya dapat dilakukan melalui praktek-praktek hukum di kalangan peradilan, maupun di luar peradilan yang responsif gender,

b. Mengintegrasikan permasalahan gender dalam agenda pembangunan di bidang hukum

dan HAM.

c. Mengupayakan untuk memasukkan kerangka gender ke dalam desain, pelaksanaan

rencana dan program sektoral,

d. Mengakui adanya suatu arus utamaan dimana gagasan, keputusan dan penyebaran sumber daya dilakukan melalui pencapaian tujuan pembangunan.

e. Mengubah arus utama agar lebih tanggap dan kondusif terhadap tujuan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan di samping memadukan isu gender ke dalam arus utama.

Dalam panduan pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000, disebutkan bahwa tujuan PUG ini, antara lain: pertama, membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang responsif gender; kedua, memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dan bias gender; dan ketiga, meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah, sehingga mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing.

Sasaran utama dari PUG, seperti tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah lembaga pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki. Sumber Daya Manusia yang tersedia mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan berperan dalam membuat kebijakan, program dan kegiatan, dan perencanaan program mutlak harus mengarusutamakan gender dalam setiap langkahnya.

Seperti yang telah disinggung di latar belakang, secara umum, PUG dilaksanakan dengan mengadakan suatu analisa gender atau pun melalui upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) tentang pengarusutamaan gender pada instansi dan lembaga pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah. Analisa gender dilaksanakan untuk mengindentifikasikan dan memahami ada tidak adanya dan sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender, termasuk pemecahan permasalahannya. Upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dilaksanakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah tentang gender.

Kegiatan analisa gender ini sendiri meliputi:

a. Mengindentifikasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh

b. Mengindentifikasi dan memahami sebab sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dan menghimpun faktor-faktor penyebabnya;

c. Menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender;

d. Menetapkan indikator gender untuk mengukur capaian dari upaya-upaya mewujudkan

kesetaraan dan keadilan gender.

Pemecahan permasalahan yang dihasilkan dalam analisa gender diwujudkan dan diintegrasikan dalam perencanaan kebijakan dan proses pembangunan nasional.

Dalam rangka pelaksanaan pengarusutamaan gender, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan memberikan bantuan teknis sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangannya kepada instansi dan lembaga pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah. Bantuan ini dapat berupa panduan, pelatihan konsultasi, informasi, koordinasi, advokasi, dan penyediaan bahan dan data.

Untuk memantapkan pelaksanaan pengarusutamaan gender, Pimpinan Instansi dan lembaga pemerintah baik Pusat maupun Daerah disarankan untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut.

a. Membentuk dan/atau menunjuk mekanisme internal/unit kerja/penanggung jawab guna kelancaran pelaksanaan pengarusutamaan gender;

b. Menyusun uraian kerja dan menetapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam

pelaksanaan pengarusutamaan gender;

c. Melaksanakan koordinasi internal yang berkaitan dengan bidang tugasnya untuk

menjamin terlaksananya pengarusutamaan gender dengan baik;

d. Memberikan bantuan teknis dalam bentuk penyediaan data dan informasi, pelatihan dan konsultasi yang berkaitan dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangannya kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah melaksanakan dan bertanggung jawab atas pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pengarusutamaan gender di lingkungannya. Hasil pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pengarusutamaan gender ini kemudian, oleh Pimpinan instansi dan lembaga pemerintah baik Pusat maupun Daerah, dilaporkan kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.

Keberhasilan PUG dapat terwujud apabila seluruh kalangan masyarakat, baik yang bergabung dalam lembaga pemerintah (departemen atau non departemen), organisasi profesi, organisasi swasta, organisasi keagamaan maupun pada unit masyarakat yang terkecil, yaitu keluarga.

Dokumen terkait