• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu Dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender Di Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu Dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender Di Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

KINERJA BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SETDAPROVSU

DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER

DI PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

PUTRI C. MARPAUNG

040903036

diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar S- 1

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Yang Maha Pengasih untuk

segala hikmat, berkat, dan kasih-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini.

Mengingat keterbatasan kemampuan, waktu, dan pengetahuan, penulis menyadari

bahwa skripsi ini tidak mungkin dapat berjalan lancar, tanpa bantuan serta bimbingan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, M. A., selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Humaizi, M. A., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Marlon Sihombing, M. A., selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi

Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Beti Nasution, M. Si., selaku Sekretaris Departemen Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Asima Yanti Siahaan, M. A., Ph. D., selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan waktu, tenaga, pikiran, serta pengertian untuk membantu, membimbing, dan

mengarahkan penulis dengan sabar hingga selesaonya penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Staf Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

yang telah membantu segala urusan administrasi penulis, khususnya Staf Departemen

Ilmu Administrasi Negara.

7. Ibu Dra. Enny Nurzaini, selaku Kepala Bagian Program dan Umum Biro Pemberdayaan

(3)

dan memberikan begitu banyak bantuan dalam pengumpulan data primer, bahkan di

tengah-tengah padatnya kesibukan kantor.

8. Ibu Ir. Hj. Nurlisa Ginting, selaku Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu,

untuk kesediaannya menerima kehadiran penulis selama beberapa kali untuk

mengumpulkan data di sela-sela kepadatan jadwal.

9. Seluruh Pegawai Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu, yang tidak dapat saya

sebutkan namanya satu demi satu, atas kesediannya membantu penulis sewaktu

melakukan penelitian di lapangan.

10.Bapak-ku, Pdt. S. Marpaung, dan Mama-ku, T. Hutauruk, yang sangat penulis sayangi.

Tidak hentinya kata terima kasih dariku untuk segala pengorbanan yang telah kalian

berikan. Tuhan-lah yang membalaskan. God bless you always.

11.Kakakku, Debora Marpaung, S. E., yang selalu bersedia mendengarkan segala curahan

hatiku selama pengerjaan skripsi ini.

12.Kekasihku, Serda Dedi K. P. Zega, yang meskipun jauh namun dukungan dan doa yang

tak henti-hentinya mengalir.

13.Untuk teman-teman “Ku-Ching”-ku, Astri, Juvin, Carol, Cika, Juli, dan Doni, terima

kasih atas segala kesenangan maupun kesedihan yang senantiasa kalian bagikan selama

masa perkuliahan kita. Semoga itu tetap berlanjut selamanya.

14.Untuk teman-teman dari Departemen Ilmu Administrasi Negara Angkatan ‘04, Shanty,

Dita, Alex, Akbar, Ayu Sriwahyuni, Fuadi, Tika, dan yang lain yang tidak mungkin

penulis sebutkan satu demi satu.

15.Buat semua pihak yang terlibat dalam pembuatan skripsi ini, namun tidak disebutkan,

(4)

Seperti kata pepatah, Tak ada gading yang tak retak, demikian pula halnya dengan

skripsi ini, pasti banyak kekurangan dan kesalahannya. Oleh karena itu, dengan tangan

terbuka tim penulis menerima koreksi serta saran-saran yang membangun dari pembaca.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang

membutuhkan.

Medan, 25 Juni 2008

Penulis,

(5)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULATAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

ABSTRAK

Kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender di Provinsi Sumatera Utara

Skripsi ini disusun oleh:

Nama : Putri C. Marpaung

NIM : 040903036

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dosen Pembimbing : Asimayanti Siahaan, M. A., Ph. D.

Meski telah banyak hal yang dilakukan, namun diskriminasi terhadap kaum perempuan masih tetap saja terjadi dengan pola-pola yang berbeda di berbagai negara di dunia. Negara Indonesia, yang dalam penelitian ini dikhususkan pada Provinsi Sumatera Utara, juga tidak terlepas dari praktek diskriminasi ini. Hal ini disebabkan karena telah mengakarnya budaya patriarki di kalangan masyarakat dan adanya mindset, yang mengidentikkan gender dengan kaum perempuan. Lahirnya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, mengharuskan aparat pemerintahan agar berwawasan gender dalam menjalankan kegiatannya. Tanpa diimplementasikan dengan baik, maka Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang merupakan cita-cita dari Inpres ini tidak mungkin dapat terwujud. Salah satu implementasinya yang paling nyata adalah dengan hadirnya Biro Pemberdayaan Perempuan di Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara. Biro inilah yang bertanggung jawab sebagai penggerak dalam meningkatkan kesadaran aparat dan publik mengenai pengarusutamaan gender. Dengan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: Kinerja Implementasi Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam Pengarusutamaan Gender di Provinsi Sumatera Utara. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah kinerja iBiro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender di Provinsi Sumatera Utara”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan kinerja implementasi pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu di Provinsi Sumatera Utara melalui kegiatan yang telah dilaksanakan serta target dan realisasinya, dan mencari tahu apa yang menjadi hambatan yang mempengaruhi kinerja tersebut. Unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai termasuk kepala di Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu, dan terdapat dua jenis informan, yaitu: informan biasa, yang terdiri atas pegawai struktural Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu, dan informan kunci, yaitu Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu.

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

ABSTRAK ………... iv

DAFTAR ISI ………... v

DAFTAR TABEL ………... vii

DAFTAR GAMBAR ……….. viii

BAB I PENDAHULUAN ………... 1

I. 1. Latar Belakang ………... 1

I. 2. Perumusan Masalah ……… 6

I. 3. Tujuan Penelitian ……… 7

I. 4. Manfaat Penelitian ……….. 7

I. 5. Kerangka Teori ……… 8

1. Implementasi Kebijakan Publik ……… 8

2. Kinerja Implementasi Kebijakan Publik …...……….... 22

3. Pengarusutamaan Gender …..……..………. 25

I. 6. Defenisi Konsep ………. 31

I. 7. Defenisi Operasional ……….. 32

I. 8. Sistematika Penulisan ………. 33

BAB II METODE PENELITIAN ……….. 35

II. 1. Bentuk Penelitian ……… 35

II. 2. Lokasi Penelitian………. 35

II. 3. Unit Analisis dan Informan ……….………... 35

II. 4. Teknik Pengambilan Data ……….. 36

II. 5. Teknik Analisa Data ………... 37

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN ……… 38

III. 1. Sejarah Singkat Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu …………. 38

III. 2. Tugas Pokok dan Fungsi Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu… 39 A. Dasar Hukum ………... 39

(7)

A. Bagan Struktur Organisasi ………... 41

B. Tugas Pokok dan Fungsi Struktur Organisasi ………. 41

III. 4. Kondisi Kepegawaian Personil Biro Pemberdayaan Perempuan- Setdaprovsu ……….. 49

BAB IV PENYAJIAN DATA ………. 52

IV. 1. Latar Belakang Informan ………... 52

IV. 2. Program Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu ………. 53

IV. 3. Kegiatan Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu ………. 57

A. Kegiatan Utama ………... 67

B. Kegiatan Lain-lain ………... 81

IV. 4. Pendanaan Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu ………. 90

IV. 5. Pencapaian Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu ……… 91

IV. 6. Hambatan-hambatan ………. 95

IV. 7. Strategi untuk Mengatasi Hambatan ………. 99

BAB V ANALISA DATA ……….. 101

V. 1. Ukuran-ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan ……… 101

V. 2. Sumber-sumber Kebijakan ……… 105

V. 3. Komunikasi Antarorganisasi dan Kegiatan-kegiatan Pelaksanaan ……... 107

V. 4. Karakteristik Badan-badan Pelaksana ……….. 108

V. 5. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik ………... 109

V. 6.Kecenderungan Pelaksanan (Implementors) ………. 111

BAB VI PENUTUP ……… 113

VI. 1. Kesimpulan ……… 113

VI. 2. Saran ……….. 115

DAFTAR PUSTAKA ………. 117

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel III. 1. Kondisi Kepegawaian Personil Biro Pemberdayaan Perempuan-

Setdaprovsu berdasarkan Status Kepegawaian dan Jenis Kelamin ... 49

Tabel III. 2. Kondisi Kepegawaian Personil Biro Pemberdayaan Perempuan-

Setdaprovsu berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin .... 50

Tabel IV. 1. Data Jenis Kelamin, Usia, Status, dan Jumlah Anak yang Dimiliki

Informan ... 52

Tabel IV. 2. Data Pendidikan Terakhir dan Latar Belakang Pendidikan Terakhir-

Informan ... 52

Tabel IV. 3. Data NIP (Nomor Induk Pegawai), Golongan, dan Jabatan -

Informan di Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu ... 53

Tabel IV. 4. Program Kerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu -

Tahun 2006 ... 58

Tabel IV. 5. Program Kerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprvosu -

Tahun 2007 ... 63

Tabel IV. 6. Dana APBD Provinsi Sumatera Utara yang Diterima oleh Biro -

Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu Tahun 2002-2008 ... 90

Tabel IV. 7. Jumlah Korban Trafiking di Provinsi Sumatera Utara Sejak -

Tahun 2004 s/d Maret 2008 ... 92

Tabel IV. 8. Tim Koordinasi Pengarusutamaan Gender yang Telah Dibentuk -

di Badan/Dinas Teknis Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara ... 93

Tabel IV. 9. Tim Koordinasi Pengarusutamaan Gender yang Telah Dibentuk -

di Pemerintahan Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara ... 93

Tabel V. 1. Dana APBD yang Diajukan Biro Pemberdayaan Perempuan -

Setdaprovsu dengan Dana APBD Biro Pemberdayaan Perempuan -

Setdaprovsu yang Direalisasikan Bappedasu ... 105

Tabel V. 2. Perbandingan Jumlah APBD Provinsi Sumatera Utara dengan -

Dana yang Diterima oleh Biro Pemberdayaan Perempuan –

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar I. 1. Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian ...10

Gambar I. 2. Model Proses atau Alur Smith ...12

Gambar I. 3. Model Proses Implementasi Kebijakan menurut Van Horn dan –

Van Meter ... 18

Gambar III. 1. Bagan Struktur Organisasi Biro Pemberdayaan Perempuan –

Setdaprovsu ...41

Gambar IV. 1. Diagram Mekanisme Informasi Tim Koordinasi –

Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pemberdayaan –

Perempuan ...72

Gambar IV. 2. Diagram Mekanisme Pelaporan Tim Koordinasi –

Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pemberdayaan –

Perempuan ... 73

Gambar IV. 3. Diagram Mekanisme Koordinasi Biro Pemberdayaan Perempuan –

Setdaprovsu secara Langsung dengan Kepala Dinas/Badan –

Teknis atau Kepala Daerah Pemerintahan Provinsi/ -

Kabupaten/Kota ... 74

Gambar IV. 4. Diagram Mekanisme Koordinasi Biro Pemberdayaan Perempuan –

Setdaprovsu dengan Kepala Dinas/Badan Teknis atau Kepala –

Daerah Pemerintahan Provinsi/Kabupaten/Kota melalui Tim –

Koordinasi Pengarusutamaan Gender ...74

Gambar IV. 5. Diagram Mekanisme Koordinasi Biro Pemberdayaan –

Perempuan Setdaprovsu dengan Kementerian Negara –

Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia ...76

Gambar IV. 6. Diagram Mekanisme Jejaringan Biro Pemberdayaan –

Perempuan Setdaprovsu dengan Berbagai Pihak ...80

Gambar IV. 7. Diagram Kronologis Pembentukan Peraturan Daerah Provinsi –

Sumatera Utara No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan –

Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak ...86

Gambar IV. 8. Tata Kerja Implementasi Gugus Tugas Provinsi ...88

Gambar IV. 9. Bagan Aliran Rencana Aksi Provinsi Penghapusan Perdagangan –

(10)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULATAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

ABSTRAK

Kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender di Provinsi Sumatera Utara

Skripsi ini disusun oleh:

Nama : Putri C. Marpaung

NIM : 040903036

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dosen Pembimbing : Asimayanti Siahaan, M. A., Ph. D.

Meski telah banyak hal yang dilakukan, namun diskriminasi terhadap kaum perempuan masih tetap saja terjadi dengan pola-pola yang berbeda di berbagai negara di dunia. Negara Indonesia, yang dalam penelitian ini dikhususkan pada Provinsi Sumatera Utara, juga tidak terlepas dari praktek diskriminasi ini. Hal ini disebabkan karena telah mengakarnya budaya patriarki di kalangan masyarakat dan adanya mindset, yang mengidentikkan gender dengan kaum perempuan. Lahirnya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, mengharuskan aparat pemerintahan agar berwawasan gender dalam menjalankan kegiatannya. Tanpa diimplementasikan dengan baik, maka Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) yang merupakan cita-cita dari Inpres ini tidak mungkin dapat terwujud. Salah satu implementasinya yang paling nyata adalah dengan hadirnya Biro Pemberdayaan Perempuan di Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara. Biro inilah yang bertanggung jawab sebagai penggerak dalam meningkatkan kesadaran aparat dan publik mengenai pengarusutamaan gender. Dengan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: Kinerja Implementasi Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam Pengarusutamaan Gender di Provinsi Sumatera Utara. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah kinerja iBiro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender di Provinsi Sumatera Utara”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan kinerja implementasi pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu di Provinsi Sumatera Utara melalui kegiatan yang telah dilaksanakan serta target dan realisasinya, dan mencari tahu apa yang menjadi hambatan yang mempengaruhi kinerja tersebut. Unit analisis dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai termasuk kepala di Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu, dan terdapat dua jenis informan, yaitu: informan biasa, yang terdiri atas pegawai struktural Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu, dan informan kunci, yaitu Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

I. 1. LATAR BELAKANG

Diskriminasi gender masih berlangsung di berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia,

walaupun ditemukan banyak sekali kemajuan dalam kesetaraan gender pada beberapa dekade

terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat beragam di berbagai negara atau kawasan,

namun polanya sangat mengejutkan. Tak ada satu kawasan pun di negara-negara berkembang

berlaku kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak hukum, sosial, dan ekonomi.

Kesenjangan gender terjadi begitu luas dalam hal akses terhadap dan kendali atas sumber

daya, dalam kesempatan ekonomi, dalam kekuasaan, dan dalam hak bersuara politik.

Meskipun perempuan dan anak perempuan menjadi pemikul langsung beban terberat dari

ketidaksetaraan ini, beban itu akan diderita juga oleh masyarakat, dan pada akhirnya akan

merugikan setiap orang (Bank Dunia, 2001:1).

Pemberdayaan perempuan dan tercapainya kesetaraan gender merupakan masalah hak

asasi manusia dan ketidakadilan sosial, dan salah bila dipersepsikan sebagai isu perempuan

saja, karena masalah dan kondisi sosial tersebut merupakan persyaratan dalam proses

pembangunan masyarakat yang adil dan kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan (Sadli

dalam Ihromi, dkk., 2006:7). Kesetaraan akan meningkatkan kemampuan negara untuk

berkembang, mengurangi kemiskinan, dan menjalankan pemerintahan secara efektif. Dengan

demikian, meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari strategi pembangunan

yang mengupayakan pemberdayaan semua orang (laki-laki dan perempuan) untuk

melepaskan diri dari kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup (Bank Dunia, 2001:1).

Anggapan yang menyatakan bahwa perempuan tidak pantas dan tidak perlu dilibatkan

(12)

sesuai dengan semangat memanusiakan manusia serta program pemberdayaan perempuan

yang menjadi kebijakan pemerintah selama ini (Sedarmayanti, 2004:145).

Di Indonesia, masalah gender sudah sejak lama mendapat perhatian. Dimulai dari

perjuangan Raden Ajeng Kartini pada masa sebelum Indonesia merdeka, dimana kaum

perempuan tidak diperbolehkan untuk menikmati pendidikan sekolah. Selain disebabkan oleh

jumlah institusi pendidikan yang masih sangat terbatas, kondisi tersebut juga dipicu oleh

budaya saat itu, yang mengabaikan pentingnya bekal pendidikan bagi perempuan. Wafatnya

pejuang hak kaum perempuan tersebut pun turut membuat pembicaraan ini kian lama

semakin surut. Keadaan tersebut kemudian sedikit berubah ketika untuk pertama kalinya

Kongres Perempuan diadakan pada tahun 1928. Perjuangan atas hak-hak kaum perempuan

kembali dibicarakan.

Ketika memasuki masa pemerintahan Orde Baru, ketidakadilan gender ini semakin

terabaikan, meski Undang Undang No. 7 Tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk

diskriminasi terhadap perempuan yang merupakan ratifikasi dari Convention on The

Elimination of all Form of Discrimination Against Women (CEDAW) disahkan pada masa

itu. Bahkan dianggap menjadi hal yang wajar, apabila laki-laki berada pada lingkungan

publik, sementara perempuan diposisikan pada lingkungan domestik. Secara tegas, hal

tersebut dicanangkan dalam Panca Dharma Wanita, yaitu (Suparno, 2005:37):

1. Wanita sebagai pendamping suami

2. Wanita sebagai penerus keturunan

3. Wanita sebagai pendidik anak

4. Wanita pencari nafkah

5. Wanita sebagai warga masyarakat

Memasuki masa reformasi, masalah mengenai kepentingan perempuan yang kerap

(13)

(Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional

oleh Presiden Abdurrahman Wahid, pengarusutamaan gender ditetapkan menjadi salah satu

strategi yang dapat membawa kaum perempuan untuk ikut mengambil bagian dalam

pembangunan nasional.

Ironisnya, kepemimpinan Megawati Soekarno Putri sebagai presiden perempuan

pertama di Indonesia yang menggantikan posisi Abdurrahman Wahid, ternyata dinilai tidak

berhasil membantu kaumnya untuk menghadapi masalah-masalah seperti trafficking,

kekerasan terhadap perempuan, dan partisipasi perempuan dalam politik (International Herald

Tribune, diakses pada tanggal 19 Nopember 2007). Adanya seorang pemimpin yang datang

dari kaum perempuan dalam bangsa ini, ternyata tidak membawa dampak yang besar

terhadap kepentingan kaum tersebut yang sudah lama termarjinalkan.

Hingga saat ini, ketika demokratisasi di era otonomi daerah diwarnai dengan

maraknya proses legislasi yang menghasilkan berbagai undang-undang dan paraturan serta

kebijakan publik, seperti peraturan pengarusutamaan gender dan kuota perempuan, ternyata

tidak serta merta mengangkat posisi perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam

politik dan dalam proses pembuatan kebijakan publik (Formasi Indonesia, 15 Juni 2008).

Seringkali peraturan-peraturan daerah tiba-tiba keluar namun akhirnya berdampak kepada

perempuan yang menjadi sasaran (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, diakses

pada tangga; 27 Nopember 2007).

Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Jurnal Ekonomi

Rakyat, diakses pada tanggal 15 Juni 2008). Sejalan dengan itu, pengarusutamaan gender

yang dicanangkan oleh pemerintah seharusnya bisa menjadi strategi untuk pencapaian tujuan

(14)

Tujuan ditetapkannya Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan

Gender adalah supaya terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelasaksanaan,

pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang

berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam

kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini ditetapkan karena

memang kaum perempuan cenderung memiliki kesempatan yang terbatas untuk membekali

dirinya dengan sumber daya yang ada, yang akhirnya berujung pada kurangnya keterlibatan

mereka pada masalah kebijakan dan program pembangunan nasional.

Setiap kebijakan publik, seperti halnya pengarusutamaan gender ini, hanya akan

menjadi rentetan catatan elit, jika tidak diimplementasikan. Dengan demikian, tahap

implementasi tersebut pun menjadi tahap yang penting, sehingga kinerjanya harus senantiasa

dipantau. Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara

(Setdaprovsu) adalah salah satu unit sekretariat daerah Provinsi Sumatera Utara yang

memiliki komitmen penuh dalam mensosialisasikan pengarusutamaan gender ini ke seluruh

kalangan, terutama di kalangan para pembuat kebijakan.

Meski pengarusutamaan gender telah diberlakukan secara nasional, tetapi kenyataan

yang harus dihadapi saat ini masih jauh dari yang diharapkan. Menurut Laporan

Pembangunan Manusia1 2007/2008 yang dipublikasikan oleh UNDP, nilai GDI Indonesia,

yaitu 0,721 harus diperbandingkan dengan nilai HDI-nya 0,728. Nilai GDI Indonesia adalah

99,1% dari nilai HDI-nya. Dari 156 negara yang memiliki nilai HDI dan GDI, 79 negara

(15)

mempunyai rasio yang lebih baik daripada Indonesia (UNDP, 16 Pebruari 2008). Sedangkan

menurut laporan yang dipublikasikan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional

(BKKBN), bahwa pada tahun 2005 Provinsi Sumatera Utara berada pada peringkat ke-18

dari 33 provinsi yang ada di Indonesia (BKKBN, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008).

Menurut hasil analisa peroleh suara perempuan dalam Pemilu Legislatif tahun 2004,

ada sebanyak 9 (sembilan) provinsi tidak memiliki wakil perempuan sebagai anggota DPD,

yang antara lain: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara

Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Padahal

apabila dilihat dari urutan perolehan suara, di hampir 50% provinsi perempuan merupakan

kandidat terpopuler pertama dan kedua. Artinya pemilih tidak “alergi” pada kandidat

perempuan, dan perempuan sebagai kandidat juga telah menunjukkan kekuatan untuk

mendapatkan dukungan suara. (Kementerian Negeri Pemberdayaan Perempuan, diakses pada

tanggal 06 Januari 2008).

Masalah rendahnya representasi perempuan dalam struktur politik formal atau di

arena pembuatan keputusan publik di segala tingkatan di Indonesia menjadi persoalan yang

penting bagi perempuan untuk mengartikulasikan kepentingannya. Dampak dari ketimpangan

tata hubungan sosial laki-laki dan perempuan menimbulkan setidaknya 4 (empat) implikasi

negatif, yakni: pertama, perempuan sebagai salah satu sumber daya insani pembangunan

memiliki kualitas rendah, sehingga tidak memiliki daya saing, akibatnya produktifitasnya

rendah; kedua, posisi perempuan jauh tertinggal dibanding laki-laki di seluruh sektor

pembangunan politik, pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan, hukum dan

pertahanan keamanan; ketiga, di tengah masyarakat baik di lingkungan keluarga dan umum,

muncul perilaku kekerasan terhadap perempuan (violence), perdagangan orang (trafiking).

Perempuan memiliki beban ganda (double burden), dimana ia terlibat dalam pekerjaan rumah

(16)

dan keempat, perempuan memiliki akses, peran dan kontrol yang rendah pada semua

dimensi pembangunan sehingga hasil pembangunan belum dinikmati secara adil oleh kaum

perempuan (Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprvosu, Penelitian Lapangan 2008).

Menurut data yang diperoleh dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi

Sumatera Utara mengenai rekapitulasi jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan

pemerintahan Provinsi Sumatera Utara per September 2007, jumlah PNS pria jauh lebih besar

dibandingkan dengan jumlah PNS wanita, yaitu sebanyak 7.513 orang PNS pria berbanding

3.402 orang PNS wanita. Dari data tersebut juga diperoleh bahwa jumlah wanita yang

termasuk dalam pejabat Eselon I dan II hanya berjumlah 4 (empat) orang (Badan

Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Utara, Penelitian Lapangan 2008).

Kesenjangan inilah yang menarik minat penulis untuk mengadakan suatu penelitian

yang berjudul “KINERJA BIRO PEMBERDAYAAN PEREMPUAN SETDAPROVSU

DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER DI PROVINSI

SUMATERA UTARA”. Penelitian ini akan menjabarkan kinerja implementasi

pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu melalui

variabel-variabel yang akan dikemukakan nantinya.

I. 2. PERUMUSAN MASALAH

Dengan demikian, rumusan masalah yang ingin dikembangkan oleh penulis adalah

sebagai berikut.

Bagaimanakah kinerja Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu dalam implementasi

(17)

I. 3. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah untuk

menggambarkan kinerja implementasi pengarusutamaan gender oleh Biro Pemberdayaan

Perempuan Setdaprovsu melalui kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan serta hasilnya,

dan mencari tahu apa yang menjadi hambatan yang mempengaruhi kinerja tersebut.

I. 4. MANFAAT PENELITIAN

Selain adanya tujuan yang hendak dicapai, penelitian ini pun diharapkan bermanfaat

bagi banyak pihak. Hasil dari penelitian ini kiranya bermanfaat sebagai berikut.

a. Peneliti memperoleh pengetahuan serta mengembangkan kemampuan menulis karya

ilmiah dalam menganalisa permasalahan di lapangan. Selain itu, juga sebagai salah satu

syarat untuk menyelesaikan mata kuliah Internship di Departemen Ilmu Administrasi

Negara – FISIP USU Medan.

b. Peneliti akan memperoleh informasi mengenai gambaran kinerja Biro Pemberdayaan

Perempuan Setdaprovsu dalam implementasi pengarusutamaan gender di Provinsi

Sumatera Utara.

c. Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu akan semakin termotivasi untuk mencapai

visi dan misinya dalam mewujudkan pengarusutamaan gender.

d. Sebagai sumbangan bagi kaum akademis secara umum, yang mampu menambah

khasanah ilmiah dan kepustakaan baru dalam penelitian-penelitian ilmu sosial.

e. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan

masukan bagi Fakultas dan menjadi referensi tambahan bagi mahasiswa/i di masa

(18)

I. 5. KERANGKA TEORI

I. 5. 1. Implementasi Kebijakan Publik

Dengan mengacu pada konsep kebijakan yang dikemukakan James Anderson bahwa

kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang

aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan (Winarno,

2002:16), maka dapat diketahui bahwa kebijakan (dalam hal ini berarti kebijakan publik)

timbul karena adanya suatu masalah yang berkaitan dengan publik. Adapun kata “publik”,

menurut Thomas Dye, mengandung 3 (tiga) konotasi, yaitu pemerintah, masyarakat dan

umum (Abidin, 2004:22).

Kebijakan publik secara garis besar mencakup tahap-tahap perumusan masalah

kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan (Winarno, 2002:27). Tahap

implementasi merupakan tahap yang penting. Namun bukan berarti tahap yang lainnya tidak

berpengaruh. Ketiga tahap ini saling berkaitan. Suatu program kebijakan hanya akan mnejadi

catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu program

kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan,

yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat

bawah (Winarno, 2002:29-30).

Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang

terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu

kebijakan dengan membentuk output yang jelas yang dapat diukur. Dengan demikian, tugas

implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan

kebijakan mencapai hail melalui aktivitas atau kegiatan program dari pemerintah

(Tangkilisan, 2003:9).

Dari beberapa pemahaman yang diungkapkan di atas, terlihat dengan jelas bahwa

(19)

kebijaksanaan kepada masyarakat sehingga kebijaksanaan tersebut membawa hasil

sebagaimana diharapkan.

Berkaitan dengan tahap implementasi kebijakan ini, Tangkilisan (2003:18)

mengemukakan 3 (tiga) kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi, yaitu

penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menterjemahkan makna program ke dalam

pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan; organisasi, yaitu merupakan unit atau

wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan; dan penerapan, yang

berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya.

Untuk menjalankan kegiatan dalam tahap implementasi tersebut, para ahli

merumuskan beberapa model yang dapat digunakan demi lancarnya implementasi suatu

kebijakan. Berikut ini akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukakan para

ahli dari berbagai literatur.

a. Model Top-Down

Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian (dalam Putra, 2003:86)

ini, meninjau dari kerangka analisisnya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah

satu model top-down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan

ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom-up.

Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian terpusat pada

hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan

implementasinya, dan potensi hirarkhi dengan batas-batasnya, serta kesungguhan

implementor untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut.

Sedangkan untuk pendekatan bottom-up, mereka mencoba memprediksikan

signifikansi hubungan antara para aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan atau area

problem, dengan keterbatasan hirarkhi formal dalam kondisi hubungan dengan

(20)

dari 3 (tiga) variabel yang berhubungan dengan: (1) karateristik masalah; (2) struktur

manajemen program yang tercermin dalam berbagai macam peraturan operasional

kebijakan; dan (3) faktor-faktor di luar peraturan. Namun demikian, tampaknya

penekanannya masih sangat tergantung pada tipologi pelaksana, dan masih bersifat

administrasi, dengan titik berat pada analisis hipotesis dan cara-cara untuk mencapai

tujuan yang masih terpusat pada kompliansi dan kontrol yang koordinatif atau koordinasi.

Model top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian ini akan

memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena modelnya

memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung

jawab yang bersifat singel atau penuh. Model ini mempunyai skor rendah pada

bukti-bukti penting atau realisme dan kemampuan pelaksana. Modelnya ini juga memandang

bahwa implementasi kebijakan dapat berjalan secara mekanistis atau linier. Maka

penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan kontrol yang efektif yang

mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari aktor lain.

Gambar

Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian

(Sumber: Putra, 2003:89)

Karakteristik Masalah 1.Ketersediaan teknologi dan teori teknis 2.Keragaman perilaku kelompok sasaran 3.Sifat populasi

4.Derajat perubahan perilaku yang diharapkan

Daya Dukung Peraturan

1.Kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran 2.Teori kasual yang memadai 3.Sumber keuangan yang mencukupi 4.Integrasi organisasi pelaksana 5.Diskresi pelaksana

6.Rekrutmen dari pejabat

7.Akses formal pelaksana organisasi

Variabel Non-Peraturan

1.Kondisi sosio ekonomi dan

2.Perhatian pers thd. masalah kebijakan 3.Dukungan publik

4.Sikap dan sumber daya 5.Dukungan kewenangan

(21)

b. Model Bottom-Up

Model yang dikemukakan oleh Smith (dalam Putra, 2003:90) ini memandang

implementasi sebagai proses atau alur, yang melihat proses kebijakan dari perspektif

perubahan sosial dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan

untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok

sasaran.

Smith menyatakan bahwa ada 4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan dalam

proses implementasi kebijakan, yaitu: (1) idealizede policy, yaitu suatu pola interaksi

yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong,

mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya; (2) target group,

yaitu bagiian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola

interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini

banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan

pola-pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya; (3) implementing organization,

yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab

dalam implementasi kebijakann; (4) environmental factors, yaitu unsur-unsur di dalam

lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial,

ekonomi dan politik).

Keempat variabel di atas tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan

yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu sering

menimbulkan tekanan (tension) bagi terjadinya transaksi atau tawar menawar antara

formulator dan implementor kebijakan.

Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor

tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana. Karena modelnya memandang bahwa

(22)

peluang terjadinya transaksi melalui proses negosiasi, atau bargaining untuk

menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group.

Namun kemampuan badan atau unit pelaksana di saat kebijakan diimplementasikan masih

diragukan kesiapan dan kemampuannya.

Gambar

Model Proses atau Alur Smith

(Sumber: Putra, 2003:92)

c. Model Goggin

Untuk mengimplementasikan kebijakan dengan model Goggin ini dapat

mengindentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada

keseluruhan implementasi, yakni: (1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk di dalamnya

kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan

organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan

mendukung implementasi secara efektif, dan (3) pengaruh lingkungan dari masyarakat

dapat berupa karakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat

termasuk pola komunikasinya (Tangkilisan, 2003:20)

Policy

Making

Process

Implementing Organization

Target Group

Idealized Policy

Environmental Factors

Tensions

Transactions

Institutions Feedback

(23)

d. Model Grindle

Grindle menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan

dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan

dipengaruhioleh isi kebijakan yang terdiri dari: (1) Kepentingan-kepentingan yang

dipengaruhi, (2) Tipe-tipe manfaat, (3) Derajat perubahan yang diharapkan, (4) Letak

pengambilan keputusan, (5) Pelaksanaan program, dan (6) Sumber daya yang dilibatkan.

Isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah

besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya

ditentukan oleh sejumlah kecil suatu unit pengambil kebijakan.

Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: (1) kekuasaan,

kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga penguasa, dan (3)

kepatuhan dan daya tanggap. Karenanya setiap kebijakan perlu mempertimbangkan

konteks atau lingkaran dimana tindakan administrasi dilakukan (Tangkilisan, 2003:20).

e. Model Van Meter dan Van Horn

Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S. Van Meter dan Carl E.

Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari

kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan

pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa

mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan

kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal

memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena

keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin

merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir

(24)

Model yang ditawarkan Van Meter dan Van Horn ini mempunyai 6 (enam)

variabel yang membentuk ikatan (linkage) antara kebijakan dan pencapaian

(performance). Variabel-variabel tersebut dijelaskan sebagai berikut (Winarno,

2002:110-119).

1) Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan.

Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang

menentukan pencapaian kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini menilai sejauh

mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan.

Ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan

keputusan kebijakan secara menyeluruh. Di samping itu, ukuran-ukuran dasar dan

tujuan-tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam

beberapa kasus. Misalnya, pemerintah berusaha menciptakan lapangan pekerjaan

untuk para pengangguran dengan membuat beberapa proyek padat karya. Untuk

menjelaskan apakah implementasi telah berhasil atau tidak, perlu ditentukan jumlah

pekerjaan yang telah diciptakan, identitas orang-orang dipekerjakan dan kemajuan

proyek-proyek pembangunan yang berhubungan.

2) Sumber-sumber kebijakan.

Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan

implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau

perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang

efektif.

3) Komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan.

Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang

kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke bahwa dalam suatu organisasi

(25)

menyimpannya atau menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja.

Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan

interpretasi-interpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau

jika sumber-sumber yang sama memberikan interpretasi-interpretasi yang

bertentangan, para pelaksana akan menghadapi kesulitan yang lebih besar untuk

melaksanakan maksud-maksud kebijakan.

Dalam hubungan-hubungan antarorganisasi maupun antarpemerintah, dua tipe

kegiatan pelaksanaan merupakan hal yang paling penting. Pertama, nasihat dan

bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi seringkali dapat

melakukan banyak hal untuk memperlancar implementasi kebijakan dengan jalan

membantu pejabat-pejabat bawahan menginterpretasikan peraturan-peraturan dan

garis-garis pedoman pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap

inisiatif-inisiatif dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan

yang berguna dalam melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan

pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn,

kita dapat menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk kepada perbedaan

antara kekuasaan normatif, renumeratif, dan kekuasaan koersif.

4) Karakteristik badan-badan pelaksana.

Pembahasan mengenai karakteristik badan-badan pelaksana ini tidak bisa lepas dari

struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik-karakteristik,

norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam

badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan, baik potensial maupun nyata, dengan

apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini

terdiri dari ciri-ciri struktur formal dari organisasi-organisasi dan atribut-atribut yang

(26)

Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin

berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan:

a) Kompetensi dan ukuran staf suatu badan;

b) Tingkat pengawasan hierarkis terhadap keputusan-keputusan sub unit dan

proses-proses dalam badan-badan pelaksana;

c) Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara

anggota-anggota legislatif dan eksekutif);

d) Vitalitas suatu organisasi;

e) Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefinisikan sebagai jaringan

kerja komunikasi horisontal dan vertikal secara bebas, serta tingkat kebebasan

yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar

organisasi;

f) Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau

“pelaksana keputusan”.

5) Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik

Para peminat perbandingan politik negara dan kebijakan publik secara khusus tertarik

dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada hasil-hasil

kebijakan. Sekalipun dampak dari faktor-faktor ini pada implementasi

keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan

Van Horn, faktor-faktor ini mungkin mempunyai efek yang mendalam terhadap

pencapaian badan-badan pelaksana.

Untuk tujuan ilustratif, Van Meter dan Van Horn mengusulkan agar kita memberi

pertimbangan pertanyaan-pertanyaan berikut mengenai lingkungan ekonomi, sosial

dan politik yang mempengaruhi yurisdiksi atau organisasi dimana implementasi itu

(27)

a) Apakah sumber-sumber ekonomi dalam yurisdiksi atau organisasi pelaksana

cukup mendukung implementasi yang berhasil?

b) Sejauh mana atau bagaimana kondisi-kondisi ekonomi dan sosial yang berlaku

akan dipengaruhi oleh implementasi kebijakan yang bersangkutan?

c) Apakah sifat pendapat umum, bagaimana pentingnya isu kebijakan yang

berhubungan?

d) Apakah elit-elit mendukung atau menentang implementasi kebijakan?

e) Apakah sifat-sifat pengikut dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana; apakah ada

oposisi atau dukungan pengikut dari kebijakan?

f) Sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan swasta dimobilisasi untuk

mendukung atau menentang kebijakan?

6) Kecenderungan pelaksana (implementors)

Pada tahap ini pengalaman-pengalaman subyektifitas individu-individu memegan

peran yang sangat besar. Van Meter dan Van Horn kemudian mengidentifikasikan

tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan

keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi (komprehensi,

pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan,

netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu.

Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar dan

tujuan-tujuan kebijakan merupakan satu hal yang penting. Implementasi kebijakan yang

berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh.

Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh

ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Dalam kondisi seperti ini, persepsi

individu memegang peran. Dalam keadaan ketidaksesuaian kognitif, individu

(28)

persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan keputusan kebijakan. Intensitas

kecenderungan pelaksanan inilah yang akan mempengaruhi pencapaian implementasi.

Adapun ikatan (linkage) antara keenam variabel tersebut di atas dengan

pencapaian suatu kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar

Model Proses Impelementasi Kebijakan menurut Van Horn dan Van Meter

(Sumber: Winarno, 2002:111)

Keterangan Gambar (Winarno, 2002:120-122):

Menurut Van Meter dan Van Horn, tipe dan tingkatan sumber-sumber yang

disediakan oleh keputusan kebijakan akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan komunikasi

dan pelaksanaan. Bantuan teknik dan pelayanan-pelayanan lain hanya dapat ditawarkan

jika ditetapkan oleh keputusan kebijakan dan semangat para pelaksana hanya dapat

Kecenderungan

pelaksana-pelaksana Komunikasi antar

organisasi dan kegiatan-kegiatan

pelaksanaan

Karakteristik-karakteristik dari

badan-badan pelaksana

Kondisi ekonomi, sosial dan politik Sumber-sumber

Kebijaksanaan Dasar dan tujuan-tujuan Ukuran-ukuran

(29)

Pada sisi yang lain, kecenderungan para pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung

oleh tersedianya sumber-sumber. Jika jumlah uang atau sumber-sumber lain dipandang

tersedia, maka para pelaksana mungkin memandang program dengan senang hati dan

kemungkinan besar hal ini akan mendorong ketaatan para pelaksana kebijakan karena

mereka berharap akan memperoleh keuntungan dari sumber-sumber tadi. Hal sebaliknya

juga dapat terjadi. Bila suatu program tidak mempunyai cukup sumber-sumber

pendukung dan dengan demikian tidak prospektif, maka dukungan dan ketaatan terhadap

program akan menurun.

Dengan demikian, kaitan antara sumber-sumber dan lingkungan ekonomi, sosial,

dan politik dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana menunjukkan bahwa tersedianya

sumber-sumber keuangan dan sumber-sumber lain mungkin akan menimbulkan tuntutan

untuk dapat berperan serta dan implementasi program yang berhasil. Faktor ini juga akan

mendorong kelompok-kelompok yang pasif untuk berperan serta di dalam implementasi

kebijakan. Akan tetapi apabila sumber-sumber yang tersedia sangat terbatas, kelompok

kepentingan akan memilih jalan menentang kebijakan berdasarkan perbandingan nilai

keuntungan yang didapat dengan biaya yang harus dibayar.

Selain itu, Van Meter dan Van Horn juga mengajukan hipotesis bahwa lingkungan

ekonomi, sosial, dan politik dari yurisdiksi atau organisasi pelaksana akan mempengaruhi

karakter badan-badan pelaksana, kecenderungan-kecenderungan para pelaksana dan

pencapaian itu sendiri. Kondisi lingkungan juga akan berpengaruh kepada

kecenderungan-kecenderungan para pelaksana. Jika masalah-masalah yang dapat

diselesaikan oleh suatu program begitu berat dan kelompok kepentingan dimobilisir untuk

mendukung suatu program, maka besar kemungkinan para pelaksana menerima

tujuan-tujuan, ukuran-ukuran dasar, dan sarana-sarana kebijakan. Sebaliknya, bila

(30)

program, maka besar kemungkinan para pelaksana menolak program tersebut. Lebih

lanjut, kondisi-kondisi lingkungan mungkin menyebabkan para pelaksana melaksanakan

suatu kebijakan tanpa mengubah pilihan-pilihan pribadi mereka tentang kebijakan itu.

Akhirnya, variabel-variabel lingkungan ini dipandang mempunyai pengaruh langsung

pada pemberian-pemberian pelayanan publik. Kondisi-kondisi lingkungan mungkin

memperbesar atau membatasi pencapaian, sekalipun kecenderungan-kecenderungan para

pelaksana dan kekuatan-kekuatan lain dalam model ini juga mempunyai pengaruh

terhadap implementasi program.

Van Meter dan Van Horn mengemukakan adanya kemungkinan pengaruh yang

interaktif antara komunikasi antarorganisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksana serta

karakteristik-karakteristik badan-badan pelaksana. Kegiatan pelaksanaan dan tindakan

lanjut memberikan badan-badan tambahan vitalitas dan keahlian, yaitu memperbaiki

kemampuan mereka dalam melaksanakan program-program. Kegiatan-kegiatan tersebut

dapat menjadi sumber dukungan politik yang mempermudah implementasi kebijakan

secara efektif. Sementara itu, sifat kegiatan-kegiatan pelaksanaan dan tindakan lanjut

yang mencakup ketentuan bantuan teknis akan dipengaruhi oleh karakteristik badan

pelaksana.

Pusat perhatian di sini pada dasarnya adalah pada tingkat sejauh mana

ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan ditransmisikan kepada para pelaksana dengan

jelas, tepat, konsisten dan dalam cara yang tepat pada waktunya.

Dari beberapa model implementasi kebijakan publik yang telah dijabarkan di atas,

terdapat suatu kesimpulan bahwa implementasi kebijakan dapat berhasil dan dapat juga

gagal. Rippley dan Franklin (dalam Tangkilisan, 2003:21) menyatakan keberhasilan

(31)

kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan straet level

burcancrats terhadap atas mereka. Kedua, keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran

rutinitas dan tiadanya persoalan. Ketiga, implementasi yang berhasil mengarah kepada

kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang

diharapkan.

Sementara itu, Peters (dalam Tangkilisan, 2003:22) mengatakan, implementasi

kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor:

1) Informasi

Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang

tepat, baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan

yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.

2) Isi kebijakan

Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau

ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri,

menunjukkan adanya kekurang yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang

menyangkut sumber daya pembantu.

3) Dukungan

Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pelaksanaannya tidak cukup

dukungan untuk kebijakan tersebut.

4) Pembagian potensi

Hal ini terkait dengan pembagian potensi di antara para aktor implementasi dan juga

(32)

I. 5. 2. Kinerja Implementasi Kebijakan Publik

Ketika kita mendengar kata “kinerja”, kebanyakan kaum awan akan berasumsi bahwa

kata tersebut memiliki kaitan yang sangat erat dengan proses manajemen yang identik dengan

sebuah perusahaan. Sehari-harinya, kata “kinerja” memang sering disandingkan dengan

istilah-istilah yang menyangkut kegiatan dalam sebuah perusahaan, seperti kinerja pegawai,

kinerja keuangan, dan pada umumnya ketika kita ingin mengetahui kinerja sesuatu hal, kita

selalu menggunakan kata “mengukur”. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi “mengukur

kinerja pegawai” ataupun “mengukur kinerja keuangan”. Kata “mengukur” tersebut

seakan-akan menggambarkan bahwa untuk mengetahui kinerja tentang sesuatu, kita harus selalu

mengukurnya dengan angka-angka.

Asumsi tersebut terbentuk karena adanya kecenderungan-kecenderungan sehari-hari

dalam kehidupan kita. Namun, pada dasarnya kinerja (performance) adalah gambaran

mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam

mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning

suatu organisasi (Mahsun, 2006:25).

Dari pengertian tersebut di atas, dapat diambil beberapa pokok pemikiran yang

penting, antara lain bahwa untuk mengetahui kinerja sesuatu, bukan hanya dengan

mengukurnya, tetapi juga dengan menggambarkannya; dan kinerja tidak terbatas pada ruang

lingkup manajemen perusahaan saja.

Ketika kata “kinerja” ini kita sandingkan dengan implementasi kebijakan publik,

maka fokus kita adalah untuk menggambarkan sudah sejauh mana kebijakan yang telah

dirumuskan tersebut berhasil dijalankan. Dari sini orang akan berasumsi lagi bahwa

mengukur kinerja implementasi kebijakan publik, berarti kita telah memasuki tahap evaluasi

kebijakan, dan bukan lagi tahap implementasinya. Karena seperti yang dikemukakan oleh

(33)

merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau

program-program tertentu. Tipe evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang

menyangkut: Apakah program dilaksanakan dengan semestinya? Berapa biayanya? Siapa

yang menerima manfaat (pembayaran atau pelayanan), dan berapa jumlahnya? Apakah

terdapat duplikasi atau kejenuhan dengan program-program lain? Apakah ukuran-ukuran

dasar dan prosedu-prosedur secara sah diikuti? (Winarno, 2002:167-168).

Padahal, sebelum sampai kepada tahap evaluasi kebijakan, model implementasi yang

dikemukakan oleh Van Horn dan Van Meter pun telah menjabarkan hal yang sama. Winarno

mengemukakan bahwa model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van

Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan

pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program.

Perlu diperhatikan bahwa beberapa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak

substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan

mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial

karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh

karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan

sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002:103).

Dari pendapat Winarno di atas, dapat disimpulkan bahwa mengetahui kinerja dari

implementasi suatu kebijakan menjadi suatu tahap yang penting, karena melalui proses

tersebut dapat diketahui apa yang menjadi penyebab gagalnya suatu kebijakan tidak

menghasilkan dampak yang substansial.

Studi mengenai implementasi suatu kebijakan memang sering diabaikan oleh

ilmuwan politik dengan beberapa alasan, yaitu: pertama, disebabkan oleh asumsi yang naif

bahwa sekali kebijakan itu dibuat oleh pemerintah, maka kebijakan itu akan

(34)

diharapkan oleh para pembuat kebijakan. Implementasi seakan-akan merupakan hal yang

sederhana dan nampak tidak mencakup isu-isu besar.

Kedua, pada tahun 1960-an di Amerika Serikat pertumbuhan Sistem Anggaran

Belanja, Penyusunan Program dan Perencanaan (PPB) merupakan teknik analitik utama di

dalam mengkaji kebijakan. Hal ini telah mendorong para analisis kebijakan untuk

mengabaikan masalah-masalah implementasi kebijakan. PPB mengkonsentrasikan perhatian

para pembuat keputusan pada pilihan-pilihan antara metode-metode yang berbeda dalam

mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang dipilih. Mereka memusatkan perhatian utama pada

keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pembuat keputusan di Washington D. C. dengan

mengesampingkan eselon-eselon bawahan dari badan-badan yang bertanggung jawab bagi

implementasi. Perhatian PPB dalam memperbaiki landasan bagi pembuat kebijakan tidak

ditujukan kepada masalah-masalah dalam memerikan pelayanan kebijakan, tetapi PPB lebih

menekankan sasaran program-program dan sarana-sarana alternatif dalam mencapai sasaran

itu. Fokus seperti itu tidak membutuhkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap

implementasi atau pelaksanaan program-program publik. Hal inilah yang diperkirakan

menjadi salah satu sebab mengapa studi mengani implementasi kebijakan mendapatkan

perhatian yang tidak begitu besar dari para ilmuwan politik.

Ketiga, beberapa kesulitan seringkali ditemui dalam usaha mengkaji secara terinci

proses implementasi kebijakan. Masalah-masalah implementasi adalah sangat kompleks dan

para ahli seringkali dihambat oleh pertimbangan-pertimbangan metodologi. Di samping itu,

untuk melengkapi studi implementasi membutuhkan banyak variabel dan sangat sulit untuk

mengukurnya. Akhirnya suatu analisis implementasi yang komprehensif memerlukan

perhatian yang besar terhadap banyak tindakan dalam kurun waktu yang panjang. Hal ini

akan berakibat pada kebutuhan alokasi waktu yang lama dan sumber-sumber yang besar

(35)

menjadi penyebab rendahnya motivasi para ilmuwan politik untuk mengkaji implementasi

kebijakan publik. (Winarno, 2002:104-105).

I. 5. 3. Pengarusutamaan Gender

Kesamaan perempuan dan laki-laki dimulai dengan dikumandangkannya ‘emansipasi’

di tahun 1950 dan 1960-an. Setelah itu, tahun 1963 muncul gerakan kaum perempuan yang

mendeklarasikan suatu resolusi melalui badan ekonomi sosial PBB. Kesamaan perempuan

dan laki-laki diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975,

yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu

dikembangkan berbagai program pemberdayaan perempuan, dan mulai diperkenalkan tema

Women In Development (WID), yang bermaksud mengintegrasi perempuan dalam

pembangunan (Departemen Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008).

Setelah itu, beberapa kali terjadi pertemuan internasional yang memperhatikan

tentang pemberdayaan perempuan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi

menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar kuantitas, maka tema

WID diubah menjadi Women and Development (WAD) (Departemen Kehutanan, diakses

pada tanggal 16 Pebruari 2008).

Tahun 1992 dan 1993, studi Anderson dan Moser memberikan rekomendasi bahwa

tanpa kerelaan, kerjasama, dan keterlibatan kaum laki-laki maka program pemberdayaan

perempuan tidak akan berhasil dengan baik. Dengan alasan tersebut maka dipergunakan

pendekatan gender yang dikenal dengan Gender and Development (GAD) yang menekankan

prinsip hubungan kemitraan dan keharmonisan antara perempuan dan laki-laki (Departemen

Kehutanan, diakses pada tanggal 16 Pebruari 2008).

Pada tahun 2000 konferensi PBB menghasilkan ‘The Millenium Development Goals’

(36)

cara efektif untuk memerangi kemiskinan, kelaparan, dan penyakit serta menstimulasi

pembangunan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan (Departemen Kehutanan, diakses

pada tanggal 16 Pebruari 2008).

Untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang kehidupan dan

pembangunan, diperlukan strategi. Gender mainstreaming (GMS) atau pengarusutamaan

gender (PUG) merupakan suatu strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender

menjadi satu dimensi integral dalam kebijakan dan program pembangunan nasional untuk

mengembangkan kapasitas kelembagaan dalam rangka menciptakan kesetaraan gender, mulai

dari proses pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, sampai dengan

pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak

kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pembangunan sektoral.

Untuk pertama kalinya, pada Konferensi Wanita Sedunia Ke-4 yang diselenggarakan

di Beijing tahun 1995, istilah “Gender Mainstreaming” tercantum di Beijing Platform of

Action. Semua negara-negara peserta termasuk Indonesia dan organisasi yang hadir pada

konferensi itu, secara eksplisit menerima mandat untuk mengimplementasikan “Gender

Mainstreaming” di negara dan tempat masing-masing (Departemen Hukum dan HAM, 27

Maret 2008).

Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi

dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian

kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Keseteraan dan

Keadilan Gender (KKG), maka Pemerintah Indonesia melalui GBHN 1999 menyatakan

bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh

lembaga yang mampu mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG).

Meskipun begitu, usaha untuk mencapai KKG ternyata masih mengalami hambatan

(37)

khusunya oleh perempuan. Program pengarusutamaan gender di Indonesia belum berjalan

secara optimal. Karena selain dimensi permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan

pemahaman masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu, mengingat istilah itu

bukan berasal dari bahasa Indonesia.

Kata “gender” selalu diidentik dengan jenis kelamin, padahal makna yang

sesungguhnya tidaklah demikian. Gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara

laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Peran dan tanggungjawab itu

dapat dipertukarkan atau berganti sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya

(Suara Karya, diakses pada tanggal 27 Maret 2008).

Akhirnya disepakati perlu adanya strategi yang tepat agar dapat menjangkau ke

seluruh instansi pemerintah, swasta, masyarakat dan lain sebagainya. Strategi tersebut dikenal

dengan istilah “Gender Mainstreaming” (GMS) atau “Pengarustutamaan Gender” (PUG).

Strategi ini sangat penting sehingga pemerintah memandang perlu mengeluarkan Inpres yang

selanjutnya dikenal dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, merupakan landasan hukum yang

kuat untuk melaksanakan PUG, khususnya bagi jajaran pemerintahan.

Melalui PUG ini, pemerintah dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam

memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender untuk perempuan

dan laki-laki. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang

adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi mereka. Keadilan dan

Kesetaraan Gender (KKG) menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai

kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama

terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang.

Adapun pengertian Pengarusutamaan Gender ini menurut Inpres No. 9 Tahun 2000

(38)

dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui

perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk

menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gendr, harus dapat dibuktikan bahwa aspek

gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam 4 (empat) fungsi utama manajemen program

setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu:

a. Perencanaan: menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki.

b. Pelaksanaan: memastikan bahwa strategi-strategi yang dijelaskan mempunyai dampak,

baik pada perempuan maupun laki-laki.

c. Pemantauan: mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program, dalam hal partisipasi dan

manfaat bagi perempuan dan laki-laki.

d. Penilaian: memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih

baik sebagai hasil prakarsa tersebut.

Untuk dapat lebih memahami tentang PUG, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa

“PUG dalam Kebijakan dan Program Sektoral” adalah (Departemen Hukum dan HAM,

diakses pada tanggal 27 Maret 2008):

a. Memasukkan permasalasan gender dalam program pembangunan. Di bidang hukum dan

Hak Asasi Manusia (HAM), implementasinya dapat dilakukan melalui praktek-praktek

hukum di kalangan peradilan, maupun di luar peradilan yang responsif gender,

b. Mengintegrasikan permasalahan gender dalam agenda pembangunan di bidang hukum

dan HAM.

c. Mengupayakan untuk memasukkan kerangka gender ke dalam desain, pelaksanaan

rencana dan program sektoral,

d. Mengakui adanya suatu arus utamaan dimana gagasan, keputusan dan penyebaran sumber

(39)

e. Mengubah arus utama agar lebih tanggap dan kondusif terhadap tujuan kesetaraan dan

keadilan gender dalam pembangunan di samping memadukan isu gender ke dalam arus

utama.

Dalam panduan pelaksanaan Inpres No. 9 Tahun 2000, disebutkan bahwa tujuan PUG

ini, antara lain: pertama, membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program

yang responsif gender; kedua, memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok

yang mengalami marjinalisasi, sebagai dampak dan bias gender; dan ketiga, meningkatkan

pemahaman dan kesadaran semua pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah, sehingga

mau melakukan tindakan yang sensitif gender di bidang masing-masing.

Sasaran utama dari PUG, seperti tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah

lembaga pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki. Sumber Daya Manusia yang tersedia

mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan berperan dalam membuat kebijakan,

program dan kegiatan, dan perencanaan program mutlak harus mengarusutamakan gender

dalam setiap langkahnya.

Seperti yang telah disinggung di latar belakang, secara umum, PUG dilaksanakan

dengan mengadakan suatu analisa gender atau pun melalui upaya Komunikasi, Informasi, dan

Edukasi (KIE) tentang pengarusutamaan gender pada instansi dan lembaga pemerintahan di

tingkat Pusat dan Daerah. Analisa gender dilaksanakan untuk mengindentifikasikan dan

memahami ada tidak adanya dan sebab-sebab terjadinya ketidaksetaraan dan ketidakadilan

gender, termasuk pemecahan permasalahannya. Upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi

(KIE) dilaksanakan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan instansi dan

lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan Daerah tentang gender.

Kegiatan analisa gender ini sendiri meliputi:

a. Mengindentifikasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh

(40)

b. Mengindentifikasi dan memahami sebab sebab terjadinya ketidaksetaraan dan

ketidakadilan gender dan menghimpun faktor-faktor penyebabnya;

c. Menyusun langkah-langkah yang diperlukan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan

gender;

d. Menetapkan indikator gender untuk mengukur capaian dari upaya-upaya mewujudkan

kesetaraan dan keadilan gender.

Pemecahan permasalahan yang dihasilkan dalam analisa gender diwujudkan dan

diintegrasikan dalam perencanaan kebijakan dan proses pembangunan nasional.

Dalam rangka pelaksanaan pengarusutamaan gender, Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan memberikan bantuan teknis sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta

kewenangannya kepada instansi dan lembaga pemerintahan di tingkat Pusat dan Daerah.

Bantuan ini dapat berupa panduan, pelatihan konsultasi, informasi, koordinasi, advokasi, dan

penyediaan bahan dan data.

Untuk memantapkan pelaksanaan pengarusutamaan gender, Pimpinan Instansi dan

lembaga pemerintah baik Pusat maupun Daerah disarankan untuk melakukan beberapa hal

sebagai berikut.

a. Membentuk dan/atau menunjuk mekanisme internal/unit kerja/penanggung jawab guna

kelancaran pelaksanaan pengarusutamaan gender;

b. Menyusun uraian kerja dan menetapkan langkah-langkah yang diperlukan dalam

pelaksanaan pengarusutamaan gender;

c. Melaksanakan koordinasi internal yang berkaitan dengan bidang tugasnya untuk

menjamin terlaksananya pengarusutamaan gender dengan baik;

d. Memberikan bantuan teknis dalam bentuk penyediaan data dan informasi, pelatihan dan

konsultasi yang berkaitan dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangannya kepada

Gambar

Gambar Implementasi Kebijakan menurut Sabatier dan Mazmanian
Gambar  Model Proses atau Alur Smith
Gambar Model Proses Impelementasi Kebijakan menurut Van Horn dan Van Meter
Tabel Kondisi Kepegawaian Personil Biro Pemberdayaan Perempuan Setdaprovsu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ibu Yuslinar, Ibu Eli Ratna dan Ibu Nana dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan yang banyak membantu dalam memberikan informasi selama pengerjaan

Peraturan Walikota Medan Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Rincian Tugas Pokok Dan Fungsi Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana Kota

Lampiran 14 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan Lampiran 15 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera

Rencana Kerja Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017 ini dibuat mengacu kepada Rencana Strategis Sekretariat Daerah

LAKIP Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa Provinsi Sumatera Utara disusun dengan maksud untuk memberikan informasi kepada publik terkait capain kinerja

Di Biro Pemerintahan Seketariat Provinsi Sumatera Utara (Setdaprovsu) pengelompokan pekerjaan dan aktivitas sudah ditetapkan, namun pegawai tidak semuanya bekerja

Dimana yang menjadi kebijakannya disini adalah Peraturan Gubernur Sumbar Nomor 25 Tahun 2015 Tentang Rencana Aksi Daerah Pengarusutamaan Gender Provinsi Sumbar 2015

Faktor utama yang menghambat implementasi program pemberdayaan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan gender di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah minimnya anggaran,