• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kinerja Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana Dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender Di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kinerja Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana Dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender Di Kota Medan"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

1

KINERJA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN

GENDER DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Departemen Ilmu Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

OLEH

GIOVANNY IVO ASIMA L 110903112

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk diperbanyak dan dipertahankan oleh : Nama : Giovanny Ivo Asima L

NIM : 110903112

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : KINERJA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN GENDER DI KOTA MEDAN

Medan, Oktober 2015

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Ilmu Administrasi Negara

Dra. Asima Yanti Siahaan, MA Ph.D Drs. Rasudyn Ginting, M.Si. NIP. 196401201988032002 NIP. 195908141986011002

Dekan

FISIP USU MEDAN

(3)

i ABSTRAK

KINERJA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN

GENDER DI KOTA MEDAN Nama : Giovanny Ivo Asima L

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Dosen Pembimbing : Dra. Asima Yanti Siahaan, MA, Ph.D

Meskipun sampai pada saat ini telah banyak kemajuan pembangunan yang telah tercapai, namun pada kenyataannya kesenjangan gender masih terjadi di berbagai bidang pembangunan. Kesenjangan gender tersebut tentunya sangat merugikan kaum perempuan. Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional menginstruksikan kepada semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melaksanakan PUG dan dilanjutkan dengan diintegrasikannya perspektif gender ke dalam perencanaan pembangunan, serta munculnya berbagai kegiatan yang berbasis gender. Tujuan ditetapkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender ini adalah supaya terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses implementasi dari kebijakan tersebut di kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode analisis kualitatif yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta, data, dan informasi yang didapat selama penelitian berlangsung. Penelitian dilakukan di kantor Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

Pengarusutamaan gender sebenarnya sudah dijalankan di kota Medan. Secara umum pelaksanaan kebijakan tersebut di kota Medan masih mengalami kekurangan terutama dalam hal komunikasi dan koordinasi antar badan pelaksana yang tidak berjalan dengan baik dan harmonis. Selain itu dana yang kurang mencukupi juga menghambat kelancaran dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Perlu ditingkatkan koordinasi antar semua pihak yang terkait agar pelaksanaan kebijakan tersebut dapat maksimal.

(4)

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang menjadi sumber semangat, kesabaran dan ketekunan terbesar bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kinerja Badan Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana Dalam Implementasi Pengarusutamaan Gender Di Kota Medan”. Skripsi ini dibuat sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk orangtua tercinta yaitu Bapak St.Ir.Sabar Lumban Gaol dan Mama Tiambun Simbolon. Segenap cinta, semangat, pengorbanan dan terutama DOA dari Bapak dan Mama adalah hal yang selalu saya ingat ketika menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih untuk semua perjuangan dan pengorbanan dari Bapak dan Mama yang telah mengantarkan saya hingga sekarang ini. Kebahagiaan Bapak dan Mama adalah alasan terbesar saya untuk dapat dengan cepat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga untuk abang dan adik-adik saya yang sangat saya sayangi yaitu Frans Todo Tua Lumban Gaol, Hartaty Emi Ernest Lumban Gaol, Inal Dani Petrus Lumban Gaol dan Josep Andre Kresyo Lumban Gaol. Saya sangat menyayangi kalian dengan segenap hati saya. Semoga dengan terselesaikannya skripsi ini bisa membuat Bapak, Mama, Abang dan Adik-Adik saya bangga.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam pengerjaan skripsi ini, yaitu:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosialdan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Rasyudin Ginting, MSP selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU.

(5)

iii

4. Bapak Hatta Ridho, S.Sos, MSP selaku Dosen Pembimbing Akademik dan dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan kritik yang membangun.

5. Ibu Dra. Asima Yanti Siahaan, MA, Ph.D selaku dosen pembimbing skripsi saya yang dengan penuh kesabaran dan perhatian membimbing saya selama menyelesaikan skripsi, dan telah memberikan inspirasi yang sangat berharga juga kepada saya selama proses bimbinganskripsi ini. 6. Seluruh dosen di Departemen Ilmu Administrasi Negara FISIP USU yang

memberikan ilmu selama perkuliahan.

7. Staf pegawai administrasi yang ada di Departemen Ilmu Administrasi Negara yang telah membantu segala urusan administratif penulis di lingkungan kampus hingga terselesaikannya penulisan skripsi ini.

8. Ibu Yuslinar, Ibu Eli Ratna dan Ibu Nana dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan yang banyak membantu dalam memberikan informasi selama pengerjaan skripsi ini.

9. Teman-teman Duar Manajemen Kepo (DMK)-ku; Fanny Kudadiri, Yuniarti Pardede, Hosianna ‘Uchi’ Manik, Ranita Veronica, Lia Meliana, Susi Yanti, Siska, Morina, Meria, Marisi, Obed dan Sabam. Terima kasih atas kegilaan, keceriaan yang kita lewati selama masa perkuliahan. Aku amat sangat bersyukur karena Tuhan memberikanku teman, sahabat dan saudara seperti kalian. I LOVE YOU SO MUCH, DMK. Sukses untuk kita. God bless us.

10. Kepada Fanny Kudadiri dan Obed Firdaus Nababan yang telah terlebih dahulu menyandang gelar S.Sos, terima kasih karena telah bersedia dengan tulus hati meluangkan waktu untuk memberikan pencerahan dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Kepada keluarga besar dari Bapak dan Mama (Opung, Tulang, Nantulang, Paktua, Maktua, Uda, Nanguda dan sepupu-sepupu saya), terima kasih atas dukungan kalian melalui doa, motivasi, semangat dan nasehat.

(6)

iv

Fajar dan Feliks), terima kasih atas dukungan doa dan semangat yang telah kalian berikan.

13. Kepada penyemangatku, Bang Fernandez Sirait, terima kasih atas dukungan doa, semangat, pengertian, perhatian dan kasih sayang yang sudah diberikan.

14. Kepada teman-teman AN 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih untuk moment indah selama ±4 tahun ini. See you on the top, guys!

15. Kepada semua pihak yang membantu kelancaran skripsi ini, yang mau berbagi dan berdiskusi yang tidak dapat saya sebutkan semuanya.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, karena itu penulis menunggu setiap kritik dan saran demi perbaikan ke depannya. Semoga kita semua semakin dekat dengan kesuksesan. Tuhan memberkati.

Medan, Oktober 2015

(7)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Fokus Masalah ... 10

I.3 Rumusan Masalah ... 10

I.4 Tujuan Penelitian ... 11

I.5 Manfaat Penelitian ... 11

I.6 Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KERANGKA TEORI II.1 Kerangka Teori ... 14

II.1.1 Implementasi Kebijakan ... 14

II.1.1.1 Pengertian Implementasi Kebijakan ... 14

II.1.1.2 Model-Model Implementasi Kebijakan ... 16

II.1.2 Kinerja Implementasi Kebijakan ... 24

II.1.3 Pengarusutamaan Gender ... 26

(8)

vi BAB III METODE PENELITIAN

III.1 Bentuk Penelitian ... 33

III.2 Lokasi Penelitian ... 34

III.3 Informan Penelitian ... 34

III.4 Teknik Pengumpulan Data ... 35

III.5 Teknik Analisa Data ... 37

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN IV.1 Gambaran Umum Kota Medan ... 39

IV.1.1 Letak Geografis ... 39

IV.1.2 Keadaan Demografis ... 40

IV.1.3 Pemerintahan ... 42

IV.2Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan 44 IV.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi ... 44

IV.2.2 Visi dan Misi ... 46

IV.2.2.1 Visi ... 46

IV.2.2.2 Misi ... 47

IV.2.3 Struktur Organisasi ... 47

IV.2.4 Susunan Kepegawaian ... 53

BAB V ANALISIS TEMUAN V.1 Identitas Informan ... 56

V.2 Program dan Kegiatan Bidang Pemberdayaan Perempuan ... 58

V.3 Hambatan-Hambatan ... 71

(9)

vii

V.5 Kinerja Implementasi Berdasarkan Teori Van Meter Dan Van Horn .... 75

BAB VI PENUTUP

VI.1 Kesimpulan ... 83 VI.2 Saran ... 85

(10)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan ... 40

Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon ... 54

Tabel IV.3 Komposisi pegawai berdasarkan golongan kepangkatan ... 54

Tabel IV.4 Komposisi pegawai berdasarkan jenis kelamin ... 55

Tabel V.1 Data Jenis Kelamin dan Pendidikan Terakhir Informan ... 57

(11)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 Peningkatan jumlah PNS berdasarkan jenis kelamin ... 9 Gambar II.1 Model Kebijakan Van Meter dan Van Horn ... 22 Gambar IV.1 Bagan Organisasi Pemerintah Kota Medan ... 43 Gambar IV.2 Kantor Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

Kota Medan ... 45 Gambar V.1 Ruang P2TP2A Kota Medan ... 67 Gambar V.2 Ruang Rapat Kantor Badan Pemberdayaan Perempuan dan

(12)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Pengajuan Judul Skripsi

Lampiran 2 Surat Permohonan Pengajuan Judul Skripsi Lampiran 3 Surat Penunjukan Dosen Pembimbing Lampiran 4 Undangan Seminar Proposal

Lampiran 5 Jadwal Seminar Proposal

Lampiran 6 Daftar Hadir Peserta Seminar Proposal Lampiran 7 Berita Acara Seminar Proposal

Lampiran 8 Surat Izin Penelitian dari Fakultas ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan

Lampiran 9 Surat Rekomendasi Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan ke Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan

Lampiran 10 Laporan Bimbingan Skripsi

Lampiran 11 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional

Lampiran 12 Peraturan Walikota Medan Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan

Lampiran 13 Rencana Strategis Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan Tahun 2011-2015

(13)

i ABSTRAK

KINERJA BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA DALAM IMPLEMENTASI PENGARUSUTAMAAN

GENDER DI KOTA MEDAN Nama : Giovanny Ivo Asima L

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Dosen Pembimbing : Dra. Asima Yanti Siahaan, MA, Ph.D

Meskipun sampai pada saat ini telah banyak kemajuan pembangunan yang telah tercapai, namun pada kenyataannya kesenjangan gender masih terjadi di berbagai bidang pembangunan. Kesenjangan gender tersebut tentunya sangat merugikan kaum perempuan. Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional menginstruksikan kepada semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk melaksanakan PUG dan dilanjutkan dengan diintegrasikannya perspektif gender ke dalam perencanaan pembangunan, serta munculnya berbagai kegiatan yang berbasis gender. Tujuan ditetapkannya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender ini adalah supaya terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses implementasi dari kebijakan tersebut di kota Medan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode analisis kualitatif yang diperoleh berdasarkan kemampuan nalar peneliti dalam menghubungkan fakta, data, dan informasi yang didapat selama penelitian berlangsung. Penelitian dilakukan di kantor Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

Pengarusutamaan gender sebenarnya sudah dijalankan di kota Medan. Secara umum pelaksanaan kebijakan tersebut di kota Medan masih mengalami kekurangan terutama dalam hal komunikasi dan koordinasi antar badan pelaksana yang tidak berjalan dengan baik dan harmonis. Selain itu dana yang kurang mencukupi juga menghambat kelancaran dari pelaksanaan kebijakan tersebut. Perlu ditingkatkan koordinasi antar semua pihak yang terkait agar pelaksanaan kebijakan tersebut dapat maksimal.

(14)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan ... 40

Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon ... 54

Tabel IV.3 Komposisi pegawai berdasarkan golongan kepangkatan ... 54

Tabel IV.4 Komposisi pegawai berdasarkan jenis kelamin ... 55

Tabel V.1 Data Jenis Kelamin dan Pendidikan Terakhir Informan ... 57

(15)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 Peningkatan jumlah PNS berdasarkan jenis kelamin ... 9 Gambar II.1 Model Kebijakan Van Meter dan Van Horn ... 22 Gambar IV.1 Bagan Organisasi Pemerintah Kota Medan ... 43 Gambar IV.2 Kantor Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

Kota Medan ... 45 Gambar V.1 Ruang P2TP2A Kota Medan ... 67 Gambar V.2 Ruang Rapat Kantor Badan Pemberdayaan Perempuan dan

(16)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Pengajuan Judul Skripsi

Lampiran 2 Surat Permohonan Pengajuan Judul Skripsi Lampiran 3 Surat Penunjukan Dosen Pembimbing Lampiran 4 Undangan Seminar Proposal

Lampiran 5 Jadwal Seminar Proposal

Lampiran 6 Daftar Hadir Peserta Seminar Proposal Lampiran 7 Berita Acara Seminar Proposal

Lampiran 8 Surat Izin Penelitian dari Fakultas ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan

Lampiran 9 Surat Rekomendasi Penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kota Medan ke Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan

Lampiran 10 Laporan Bimbingan Skripsi

Lampiran 11 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional

Lampiran 12 Peraturan Walikota Medan Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Rincian Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan

Lampiran 13 Rencana Strategis Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan Tahun 2011-2015

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada berbagai aspek kehidupan di seluruh dunia, meskipun fakta menunjukkan adanya kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender pada beberapa dekade terakhir ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara-negara berkembang dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Kesenjangan gender terjadi begitu luas dalam hal kendali atas sumber daya, dalam kesempatan ekonomi, dalam kekuasaan, dan dalam partisipasi politik. Meskipun perempuan dan anak perempuan menjadi pemikul langsung beban terberat dari ketidaksetaraan ini, beban itu akan diderita juga oleh masyarakat, dan pada akhirnya akan merugikan setiap orang (Bank Dunia, 2000:1).

(18)

2

sesuatu yang dibentuk karena pemahaman yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Meningkatkan kesetaraan gender adalah bagian penting dari strategi pembangunan yang mengupayakan pemberdayaan semua orang (laki-laki dan perempuan) untuk melepaskan diri dari kemiskinan serta meningkatkan taraf hidup (Bank Dunia, 2000:1).

Bangsa yang maju mengakui perlunya perbaikan kualitas, status dan peran perempuan dalam pembangunan untuk meningkatkan keadilan sosial dan memenuhi hak-hak asasi manusia yang setara antara perempuan dan laki-laki. Peningkatan kualitas perempuan menjadi dasar untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan bagi suatu bangsa. Analisa ini memberikan bukti bahwa rendahnya pendidikan dan keterampilan perempuan, derajat kesehatan dan gizi yang rendah, serta terbatasnya akses terhadap sumber daya pembangunan akan membatasi produktivitas bangsa, membatasi pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi efisiensi pembangunan secara keseluruhan.

(19)

3

sektor pembangunan, pencapaian perempuan jauh tertinggal dibandingkan dengan lawan jenisnya, walaupun sebenarnya kebijakan dan program pembangunan telah menganut anti-diskriminasi gender.

Kesulitan untuk mewujudkan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan menurut UNDP disebabkan karena adanya beberapa alasan yaitu : 1. Kurangnya komitmen politik; 2. Salah arah kebijakan; dan 3. Ketidakefisienan dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan. Kendala-kendala yang berasal dari nilai-nilai ideologi yang dominan yaitu ideologi patriarki juga memberi kontribusi yang cukup besar sebagai faktor yang mempersulit upaya untuk mewujudkan kesetaraan antara kaum perempuan dan laki-laki (Singarimbun 1996 dalam Nugroho, 2008:156).

Di Indonesia, konsep gender sudah lama mendapat perhatian, yaitu dimulai dari perjuangan Raden Ajeng Kartini, pada masa sebelum Indonesia merdeka, dimana kaum perempuan tidak diperbolehkan untuk mengikuti pendidikan sekolah. Di Indonesia, kesempatan perempuan tetap lebih sedikit dibanding dengan kesempatan untuk laki-laki karena faktor tradisi dan budaya. Pandangan umum yang terjadi adalah laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga sedangkan perempuan sebagai manajer rumah tangga.

(20)

4

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women), dan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. Konstitusi dan peraturan perundang-undangan inilah yang diharapkan dapat mempercepat penghapusan diskriminasi gender. Namun demikian, perangkat hukum tersebut sesungguhnya tidaklah cukup karena belum ada satu payung hukum yang mampu menjadi sandaran utuh bagi penghapusan diskriminasi gender. Hal inilah yang mengakibatkan bangsa Indonesia belum dapat memaksimalkan upaya penghapusan diskriminasi gender.

(21)

5

Berdasarkan Human Development Report (HDR) tahun 2007/2008, angka gender-related development index (GDI) Indonesia adalah 0,721. Angka GDI tersebut telah meningkat bila dibandingkan dengan angka GDI dalam HDR tahun 2006 yaitu sebesar 0,704. Hasil tersebut mengindikasikan adanya peningkatan akses perempuan terhadap pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Namun, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, GDI Indonesia masih termasuk rendah, hanya lebih tinggi Myanmar dan Kamboja. Meskipun telah meningkat, nilai GDI Indonesia masih lebih rendah juga bila dibandingkan dengan nilai HDI pada tahun yang sama yaitu sebesar 0,728. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan data Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (KNPP) juga menunjukkan kesenjangan yang relatif besar jika dibandingkan dengan data HDR. Angka GDI tahun 2005 adalah 0,651, meningkat menjadi 0,653 pada tahun 2006 dan meningkat lagi menjadi 0,658 pada tahun 2007. Sedangkan angka HDI pada tahun 2005 adalah 0,696, pada tahun 2006 adalah 0,701 dan pada tahun 2007 adalah 0,706. Nilai gender empowerment measurement (GEM) Indonesia berdasarkan laporan pembangunan manusia berbasis gender (KNPP-BPS) juga menunjukkan peningkatan, yaitu dari 0,613 pada tahun 2005 menjadi 0,618 pada tahun 2006, dan 0,621 pada tahun 2007.

(22)

6

pendidikan, berpartisipasi di bidang politik, kedudukan dalam jabatan publik, ketenagakerjaan, maupun pendapatan.

Banyak usaha yang dilakukan pemerintah dalam hal pengarusutamaan gender. Salah satunya adalah memiliki menteri pemberdayaan perempuan dengan harapan bias gender dapat diselesaikan. Pemerintah juga telah berupaya menerapkan kesetaraan gender di Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh Indonesia dengan mengikuti pertemuan beberapa negara dan menghasilkan program tujuan pembangunan millenium (Millenium Development Goals). Prioritas ke-3 dari tujuan pembangunan millenium itu adalah kesetaraan gender. Walaupun begitu perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan gender masih menghadapi beribu kendala. Dari Konferensi di Beijing (1995), yang diinformasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, teridentifikasi 12 isu keprihatinan yaitu :

(23)

7

memperjuangkan kaum perempuan baik sektor pemerintah maupun non pemerintah (swasta), perlindungan dan pengayoman terhadap hak-hak azasi perempuan secara sosial maupun hukum masih lemah, keterbatasan akses kaum perempuan terhadap media massa, sehingga ada kecenderungan media informasi menggunakan tubuh wanita sebagai media promosi dan eksploitasi murahan, kaum perempuan paling rentan terhadap pencemaran lingkungan seperti air bersih, sampah industri dan lingkungan lainnya, terbatasnya kesempatan dalam mengembangkan potensi dirinya dan kekerasan terhadap anak perempuan (BKKBN. Isu Global Gender. 2007:13).”

Setiap kebijakan publik, seperti halnya pengarusutamaan gender ini, hanya akan menjadi rentetan catatan, jika tidak diimplementasikan. Dengan demikian, tahap implementasi merupakan tahap yang penting, sehingga kinerjanya harus senantiasa dipantau. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan (BPPKB) adalah salah satu badan yang mempunyai tugas pokok melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan urusan Pemerintah daerah di bidang Pemberdayaan Perempuan, perlindungan anak dan keluarga berencana. Dalam hal ini, peneliti akan terfokus pada kinerja bidang pemberdayaan perempuan dalam pelaksanaan salah satu fungsinya yaitu dalam melaksanakan pengarusutamaan gender.

(24)

8

1. Perempuan sebagai salah satu sumber daya insani pembangunan memiliki kualitas rendah sehingga tidak memiliki daya saing, akibatnya produktifitasnya rendah.

2. Posisi perempuan jauh tertinggal dibanding laki-laki di seluruh sektor

pembangunan, seperti politik, pendidikan, ketenagakerjaan, ekonomi, kesehatan, hukum dan pertahanan keamanan.

3. Di tengah masyarakat, baik di lingkungan keluarga dan umum, muncul perilaku kekerasan terhadap perempuan (violence) dan perdagangan orang (trafiking). Perempuan memiliki beban ganda, dimana kaum perempuan terlibat dalam pekerjaan rumah tangga (domestik) dan di sektor publik juga bekerja untuk menambah penghasilan keluarga.

4. Perempuan memiliki akses, peran dan kontrol yang rendah pada semua dimensi pembangunan sehingga hasil pembangunan belum dinikmati secara adil oleh kaum perempuan (Marpaung 2008:5).

(25)

9

Gambar I.1 : Peningkatan jumlah PNS berdasarkan jenis kelamin

(http://www.bkn.go.id/en/profil/unit-kerja/inka/direktorat-pengolahan- data/profil-statistik-pns/pertumbuhan-jumlah-pns-dirinci-menurut-jenis-kelamin-tiap-tahunnya.html, diakses pada tanggal 22 Mei 2015)

Melalui PUG, pemerintah diharapkan dapat bekerja lebih efisien dan efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif gender untuk perempuan dan laki-laki. Kebijakan dan pelayanan publik serta program dan perundang-undangan yang adil dan responsif gender akan membuahkan manfaat yang adil bagi mereka. Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) menghendaki bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang.

(26)

10

mutlak diperlukan untuk meningkatkan status dan kedudukan perempuan di berbagai bidang pembangunan.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: “Kinerja Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana dalam melaksanakan pengarusutamaan gender di kota Medan”.

I.2 Fokus Masalah

Dalam penelitian kualitatif perlu dibuat batasan masalah yang berisi fokus atau pokok permasalahan yang akan diteliti. Ini bertujuan untuk memperjelas dan mempertajam pembahasan. Penelitian ini difokuskan kepada bidang pemberdayaan perempuan pada BPPKB yang memiliki fungsi dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender di Kota Medan.

I.3 Rumusan Masalah

Masalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian dimana penulis mengajukan pertanyaan terhadap dirinya tentang hal-hal yang akan dicari jawabnya melalui kegiatan penelitian (Arikunto, 2002:47).

(27)

11 I.4 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: untuk mengetahui bagaimana kinerja Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana dalam melaksanakan pengarusutamaan gender di kota Medan.

I.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang bisa didapatkan dari penelitian ini adalah :

a. Secara subjektif, bermanfaat bagi peneliti dalam melatih kemampuan menulis karya ilmiah dan untuk meningkatkan serta mengembangkan kemampuan berpikir penulis dalam menganalisa masalah-masalah serta menetapkan teori-teori yang ada sebagai hasil dari teori yang telah diperoleh di bangku kuliah terhadap praktek lapangan.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang berguna bagi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan.

(28)

12 I.6 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, fokus masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : KERANGKA TEORI

Bab ini memuat tentang teori-teori yang dipakai, seperti teori implementasi, kinerja implementasi dan pengarusutamaan gender.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

(29)

13 BAB V : ANALISIS TEMUAN

Bab ini berisi tentang penjelasan dan penguatan terhadap temuan dengan cara mengutip pendapat-pendapat dari informan yang dianggap kredibel.

BAB VI : PENUTUP

(30)

14 BAB II

KERANGKA TEORI

II.1 Kerangka Teori

Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti. Selanjutnya teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep (Singarimbun, 1995 : 37).

Berdasarkan rumusan diatas, maka dalam bab ini penulis akan mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan dijadikan titik tolak landasan berfikir dalam penelitian ini.

II.1.1 Implementasi Kebijakan

II.1.1.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

(31)

15

Implementasi merupakan sebuah penempatan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan maupun nilai dan sikap. Dalam oxford advance leaner dictionary dikemukakan bahwa implementasi adalah put something into effect yang artinya adalah penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak ( Susilo, 2007:174)

Implementasi kebijakan dalam arti yang luas dipandang sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai sistem, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran maupun sebagai hasil (Winarno, 2002:101).

(32)

16

Implementasi atau pelaksanaan merupakan kegiatan yang penting dari keseluruhan proses perencanaan program/kebijakan. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran (Subarsono, 2005:87).

Patton dan Sawicki dalam Tangkilisan (2003:9) meyatakan bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukug pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

II.1.1.2 Model-Model Implementasi Kebijakan

(33)

17

suatu kebijakan. Berikut akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukakan para ahli.

a. Model top-down oleh Sabatier dan Mazmanian

Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian dalam Putra (2003:86) ini, meninjau dari kerangka analisisnya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom up.

Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian ini terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan implementasinya, dan potensi hierarki dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementor untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut.

Model Top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazamanian akan memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena modelnya memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung jawab yang bersifat single atau penuh. Penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan kontrol yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari sistem lain.

b. Model Bottom - Up oleh Smith

(34)

18

kebijakan dari perspektif perubahan sosial politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.

Smith menyatakan bahwa ada 4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu : 1. Idealized policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya. 2. Target group, yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya. 3. Implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan. 4. Environmental factor, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik).

(35)

19

Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana, karena modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka peluang terjadinya transaksi melalui proses negoisasi, atau bargaining untuk menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group.

c. Model Van Meter dan Van Horn

Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002: 103)

Model yang ditawarkan Van Meter dan Van Horn ini mempunyai 6 (enam) variabel yang membentuk ikatan (lingkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Variabel-variabel tersebut adalah : (Winarno, 2002: 110-119)

(36)

20

Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap sistem-sistem yang menentukan pencapaian kebijakan. Pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran–ukuran dasar dan tujuan kebijakan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran–ukuran dasar dan tujuan kebijakan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus.

2. Sumber-Sumber Kebijakan

Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

(37)

21

pelaksana akan mengahdapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud kebijakan.

4. Karakteristik Badan-Badan Pelaksana

Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan:

a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan

b. Tingkat pengawasan hierarkis terhdap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan eksekutif)

d. Vitalisasi suatu organisasi

e. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefenisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizontaldan vertikal secara bebas, serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi

f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”.

5. Kondisi-Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik

(38)

22

mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.

6. Kecenderungan pelaksana(implementors)

[image:38.595.125.504.400.709.2]

Van Meter dan Van Horn mengidentifikasikan tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi (komprehensi, pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan, netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu.

Gambar II.1 Model Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Ukuran-ukuran

Dasar dan tujuan-tujuan

Pencapaian

Sumber: Winarno, 2002:111

Komunikasi antar organisasi

dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Karakteristik badan-badan pelaksana

Kondisi ekonomi, sosial dan politik Kebijaksanaan

Sumber-sumber

(39)

23 d. Model George C. Edwards III

Model implementasi dalam pandangan George C.Edwards ini lebih melihat dari sisi administrasinya.Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

b. Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal diatas kertasdan menjadi dokumen saja. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial serta fasilitas-fasilitas.

c. Disposisi

(40)

24

Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

d. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. (Subarsono, 2005:94).

II.1.2 Kinerja Implementasi Kebijakan

(41)

25

perusahaan saja. Hal ini dikatakan karena pada umumnya ketika kita ingin mengetahui kinerja suatu hal, kita akan selalu menggunakan kata “mengukur”. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi “mengukur kinerja pegawai” ataupun “mengukur kinerja keuangan” yang memiliki ruang lingkup hanya pada manajemen perusahaan saja.

Ketika kata “kinerja” ini kita sandingkan dengan implementasi kebijakan publik, maka fokus kita adalah untuk menggambarkan sudah sejauh mana kebijakan yang telah dirumuskan tersebut berhasil dijalankan/diimplementasikan, bukan dalam tahap evaluasi. Karena sebelum sampai pada tahap evaluasi kebijakan, model implementasi yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn pun telah menjabarkan hal yang sama. Winarno mengemukakan bahwa model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno dalam Marpaung 2008:23).

(42)

26 II.1.3 Pengarusutamaan Gender

Kesamaan hak perempuan dan laki-laki dimulai dengan adanya emansipasi pada tahun 1950 dan 1960-an, serta diperkuat pula dengan adanya deklarasi yang merupakan hasil dari konferensi PBB pada tahun 1975 yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu, dikembangkanlah berbagai program pemberdayaan perempuan, yaitu mulai diperkenalkannya tema World In Development (WID) atau Perempuan dalam Pembangunan (Departemen Kehutanan, dalam Marpaung, 2008:26). Mulai dikenalnya konsep WID dilanjutkan dengan dirumuskannya konvensi penghapusan segala tindak diskriminasi terhadap perempuan (Convention for Eliminating Discrimination Againts Women atau CEDAW).

(43)

27

dimana sebagian besar ide, konsep dan solusinya didasarkan dari paradigma modernisasi (Nugroho, 2008:138).

Dalam pelaksanaannya akhirnya terlihat bahwa konsep WID gagal menghapus masalah diskriminasi terhadap perempuan. Masih banyak terlihat kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sebagai respon dari gagalnya konsep WID tersebut maka muncul konsep baru yang dikenal dengan konsep Gender dan Pembangunan (Gender And Development/GAD). Konsep ini lebih didasarkan kepada suatu pendekatan mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses-prose pembangunan. Pendekatan ini juga lebih memusatkan pada isu gender dan tidak melihat pada masalah perempuan saja (Nugroho, 2008: 140).

Kata “gender” selalu diidentikkan dengan jenis kelamin, padahal makna yang sesungguhnya tidaklah demikian. Gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Peran dan tanggungjawab itu dapat dipertukarkan atau berganti sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.

(44)

28

pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, sampai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pembangunan sektoral.

Konsep pengarusutamaan gender pertama sekali muncul saat Konferensi PBB untuk perempuan ke IV di Beijing tahun 1995. PUG didesakkan sebagai strategi yang harus diadopsi oleh PBB, pemerintah dan organisasi yang relevan untuk memewujudkan kesetaraan gender. (Komnas Perempuan diakses pada tanggal 18 Maret 2015)

Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) mendefenisikan PUG sebagai:

“Strategi agar kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi bagian tak terpisahkan dari desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan program dalam seluruh lingkup politik, ekonomi dan sosial, sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan keuntungan dan ketidakadilan tidak ada lagi.”

Definisi PUG yang saat ini banyak diadopsi oleh negara dan lembaga-lembaga pembangunan adalah versi United Nations Economic and Social Council (1997) dalam Sinta (2006:13), yaitu :

(45)

29

Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Keseteraan dan Keadilan Gender (KKG), maka pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Meskipun begitu, usaha untuk mencapai KKG ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada umumnya, dan khususnya oleh perempuan. Program pengarusutamaan gender di Indonesia belum berjalan secara optimal. Karena selain dimensi permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan pemahaman masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu, mengingat istilah itu bukan berasal dari bahasa Indonesia.

(46)

30

Adapun pengertian Pengarusutamaan Gender ini menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gender, harus dapat dibuktikan bahwa aspek gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam 4 (empat) fungsi utama manajemen program setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu:

a. Perencanaan: menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki.

b. Pelaksanaan: memastikan bahwa strategi-strategi yang dijelaskan mempunyai dampak, baik pada perempuan maupun laki-laki.

c. Pemantauan: mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program, dalam hal partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan laki-laki.

d. Penilaian: memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih baik sebagai hasil prakarsa tersebut.

(47)

31

yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang.

Sasaran utama dari PUG seperti yang tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah lembaga pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki. Sumber daya manusia yang tersedia mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan berperan dalam membuat kebijakan, program dan kegiatan, dan perencanaan program mutlak harus mengarusutamakan gender dalam setiap langkahnya.

II.2 Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial, sehingga dengan konsep maka peneliti dapat memahami unsur-unsur yang ada dalam penelitian baik variabel, indikator, parameter maupun skala pengukuran yang dikehendaki di dalam penelitian (Singarimbun, 1995). Defenisi konsep memberikan batasan terhadap pembahasan dari permasalahan yang ditentukan oleh peneliti. Adapun defenisi konsep dari penelitian ini, yaitu:

a. Kinerja Implementasi

(48)

32 b. Pengarusutamaan Gender

Pengarusutamaan Gender adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

c. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

(49)

14 BAB II

KERANGKA TEORI

II.1 Kerangka Teori

Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti. Selanjutnya teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep (Singarimbun, 1995 : 37).

Berdasarkan rumusan diatas, maka dalam bab ini penulis akan mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan dijadikan titik tolak landasan berfikir dalam penelitian ini.

II.1.1 Implementasi Kebijakan

II.1.1.1 Pengertian Implementasi Kebijakan

(50)

15

Implementasi merupakan sebuah penempatan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan maupun nilai dan sikap. Dalam oxford advance leaner dictionary dikemukakan bahwa implementasi adalah put something into effect yang artinya adalah penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak ( Susilo, 2007:174)

Implementasi kebijakan dalam arti yang luas dipandang sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai sistem, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran maupun sebagai hasil (Winarno, 2002:101).

(51)

16

Implementasi atau pelaksanaan merupakan kegiatan yang penting dari keseluruhan proses perencanaan program/kebijakan. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Ada banyak variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan baik bersifat individual maupun kelompok atau institusi. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy makers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran (Subarsono, 2005:87).

Patton dan Sawicki dalam Tangkilisan (2003:9) meyatakan bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukug pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

II.1.1.2 Model-Model Implementasi Kebijakan

(52)

17

suatu kebijakan. Berikut akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukakan para ahli.

a. Model top-down oleh Sabatier dan Mazmanian

Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian dalam Putra (2003:86) ini, meninjau dari kerangka analisisnya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom up.

Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan Mazmanian ini terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan implementasinya, dan potensi hierarki dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementor untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut.

Model Top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazamanian akan memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena modelnya memaksimalkan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung jawab yang bersifat single atau penuh. Penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan kontrol yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari sistem lain.

b. Model Bottom - Up oleh Smith

(53)

18

kebijakan dari perspektif perubahan sosial politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.

Smith menyatakan bahwa ada 4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu : 1. Idealized policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya. 2. Target group, yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya. 3. Implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan. 4. Environmental factor, yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik).

(54)

19

Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana, karena modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka peluang terjadinya transaksi melalui proses negoisasi, atau bargaining untuk menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group.

c. Model Van Meter dan Van Horn

Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno, 2002: 103)

Model yang ditawarkan Van Meter dan Van Horn ini mempunyai 6 (enam) variabel yang membentuk ikatan (lingkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Variabel-variabel tersebut adalah : (Winarno, 2002: 110-119)

(55)

20

Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap sistem-sistem yang menentukan pencapaian kebijakan. Pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran–ukuran dasar dan tujuan kebijakan berguna dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran–ukuran dasar dan tujuan kebijakan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus.

2. Sumber-Sumber Kebijakan

Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

(56)

21

pelaksana akan mengahdapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud kebijakan.

4. Karakteristik Badan-Badan Pelaksana

Van Meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan:

a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan

b. Tingkat pengawasan hierarkis terhdap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan eksekutif)

d. Vitalisasi suatu organisasi

e. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefenisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horizontaldan vertikal secara bebas, serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi

f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”.

5. Kondisi-Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik

(57)

22

mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.

6. Kecenderungan pelaksana(implementors)

[image:57.595.125.504.400.709.2]

Van Meter dan Van Horn mengidentifikasikan tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi (komprehensi, pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan, netralitas, penolakan) dan intensitas tanggapan itu.

Gambar II.1 Model Kebijakan Van Meter dan Van Horn

Ukuran-ukuran

Dasar dan tujuan-tujuan

Pencapaian

Sumber: Winarno, 2002:111

Komunikasi antar organisasi

dan kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Karakteristik badan-badan pelaksana

Kondisi ekonomi, sosial dan politik Kebijaksanaan

Sumber-sumber

(58)

23 d. Model George C. Edwards III

Model implementasi dalam pandangan George C.Edwards ini lebih melihat dari sisi administrasinya.Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:

a. Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

b. Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi bila implementor kekurangan sumber daya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan dengan efektif. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal diatas kertasdan menjadi dokumen saja. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial serta fasilitas-fasilitas.

c. Disposisi

(59)

24

Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif.

d. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP). Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat memanfaatkan waktu yang tersedia. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. (Subarsono, 2005:94).

II.1.2 Kinerja Implementasi Kebijakan

(60)

25

perusahaan saja. Hal ini dikatakan karena pada umumnya ketika kita ingin mengetahui kinerja suatu hal, kita akan selalu menggunakan kata “mengukur”. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi “mengukur kinerja pegawai” ataupun “mengukur kinerja keuangan” yang memiliki ruang lingkup hanya pada manajemen perusahaan saja.

Ketika kata “kinerja” ini kita sandingkan dengan implementasi kebijakan publik, maka fokus kita adalah untuk menggambarkan sudah sejauh mana kebijakan yang telah dirumuskan tersebut berhasil dijalankan/diimplementasikan, bukan dalam tahap evaluasi. Karena sebelum sampai pada tahap evaluasi kebijakan, model implementasi yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn pun telah menjabarkan hal yang sama. Winarno mengemukakan bahwa model proses implementasi yang diperkenalkan Van Meter dan Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak substansial karena kebijakan tidak disusun dengan baik atau karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winarno dalam Marpaung 2008:23).

(61)

26 II.1.3 Pengarusutamaan Gender

Kesamaan hak perempuan dan laki-laki dimulai dengan adanya emansipasi pada tahun 1950 dan 1960-an, serta diperkuat pula dengan adanya deklarasi yang merupakan hasil dari konferensi PBB pada tahun 1975 yang memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Berkaitan dengan itu, dikembangkanlah berbagai program pemberdayaan perempuan, yaitu mulai diperkenalkannya tema World In Development (WID) atau Perempuan dalam Pembangunan (Departemen Kehutanan, dalam Marpaung, 2008:26). Mulai dikenalnya konsep WID dilanjutkan dengan dirumuskannya konvensi penghapusan segala tindak diskriminasi terhadap perempuan (Convention for Eliminating Discrimination Againts Women atau CEDAW).

(62)

27

dimana sebagian besar ide, konsep dan solusinya didasarkan dari paradigma modernisasi (Nugroho, 2008:138).

Dalam pelaksanaannya akhirnya terlihat bahwa konsep WID gagal menghapus masalah diskriminasi terhadap perempuan. Masih banyak terlihat kasus-kasus diskriminasi terhadap kaum perempuan. Sebagai respon dari gagalnya konsep WID tersebut maka muncul konsep baru yang dikenal dengan konsep Gender dan Pembangunan (Gender And Development/GAD). Konsep ini lebih didasarkan kepada suatu pendekatan mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam proses-prose pembangunan. Pendekatan ini juga lebih memusatkan pada isu gender dan tidak melihat pada masalah perempuan saja (Nugroho, 2008: 140).

Kata “gender” selalu diidentikkan dengan jenis kelamin, padahal makna yang sesungguhnya tidaklah demikian. Gender adalah pembagian peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial budaya. Peran dan tanggungjawab itu dapat dipertukarkan atau berganti sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.

(63)

28

pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan program, sampai dengan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing, sehingga dapat mencapai hasil dan dampak kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pembangunan sektoral.

Konsep pengarusutamaan gender pertama sekali muncul saat Konferensi PBB untuk perempuan ke IV di Beijing tahun 1995. PUG didesakkan sebagai strategi yang harus diadopsi oleh PBB, pemerintah dan organisasi yang relevan untuk memewujudkan kesetaraan gender. (Komnas Perempuan diakses pada tanggal 18 Maret 2015)

Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) mendefenisikan PUG sebagai:

“Strategi agar kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi bagian tak terpisahkan dari desain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan program dalam seluruh lingkup politik, ekonomi dan sosial, sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan keuntungan dan ketidakadilan tidak ada lagi.”

Definisi PUG yang saat ini banyak diadopsi oleh negara dan lembaga-lembaga pembangunan adalah versi United Nations Economic and Social Council (1997) dalam Sinta (2006:13), yaitu :

(64)

29

Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakan-kebijakan dalam program pembangunan dan upaya-upaya untuk mencapai Keseteraan dan Keadilan Gender (KKG), maka pemerintah Indonesia menyatakan bahwa Pengarusutamaan Gender merupakan kebijakan nasional yang harus diemban oleh lembaga yang mampu mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG). Meskipun begitu, usaha untuk mencapai KKG ternyata masih mengalami hambatan dan masih sulit untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat pada umumnya, dan khususnya oleh perempuan. Program pengarusutamaan gender di Indonesia belum berjalan secara optimal. Karena selain dimensi permasalahannya yang sangat beragam, persepsi dan pemahaman masyarakat tentang gender masih sering berbeda dan rancu, mengingat istilah itu bukan berasal dari bahasa Indonesia.

(65)

30

Adapun pengertian Pengarusutamaan Gender ini menurut Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa PUG sebagai suatu strategi untuk menciptakan kondisi kesetaraan dan keadilan gender, harus dapat dibuktikan bahwa aspek gender benar-benar tercermin dan terpadu dalam 4 (empat) fungsi utama manajemen program setiap instansi, lembaga maupun organisasi, yaitu:

a. Perencanaan: menyusun pernyataan atau tujuan yang jelas bagi perempuan dan laki-laki.

b. Pelaksanaan: memastikan bahwa strategi-strategi yang dijelaskan mempunyai dampak, baik pada perempuan maupun laki-laki.

c. Pemantauan: mengukur kemajuan dalam pelaksanaan program, dalam hal partisipasi dan manfaat bagi perempuan dan laki-laki.

d. Penilaian: memastikan bahwa status perempuan maupun laki-laki sudah menjadi lebih baik sebagai hasil prakarsa tersebut.

(66)

31

yang sama untuk ikut serta dalam proses pembangunan, akses yang sama terhadap pelayanan serta memiliki status sosial dan ekonomi yang seimbang.

Sasaran utama dari PUG seperti yang tertuang dalam Inpres No. 9 Tahun 2000 adalah lembaga pemerintah dengan kewenangan yang dimiliki. Sumber daya manusia yang tersedia mulai dari tingkat pusat sampai dengan lini lapangan berperan dalam membuat kebijakan, program dan kegiatan, dan perencanaan program mutlak harus mengarusutamakan gender dalam setiap langkahnya.

II.2 Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial, sehingga dengan konsep maka peneliti dapat memahami unsur-unsur yang ada dalam penelitian baik variabel, indikator, parameter maupun skala pengukuran yang dikehendaki di dalam penelitian (Singarimbun, 1995). Defenisi konsep memberikan batasan terhadap pembahasan dari permasalahan yang ditentukan oleh peneliti. Adapun defenisi konsep dari penelitian ini, yaitu:

a. Kinerja Implementasi

(67)

32 b. Pengarusutamaan Gender

Pengarusutamaan Gender adalah strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam pembangunan, dimana aspek gender terintegrasi dalam perumusan kebijakan dengan kegiatan melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi.

c. Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

(68)

33 BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Bentuk Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif dengan analisis kualitatif. Hal ini untuk memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada serta mampu menggambarkan secara baik mengenai fakta di lapangan yang ada peneliti memberikan informasi apa ada adanya.

Menurut Muleong (2007:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Sedangkan menurut Zuriah (2006:47) penelitian dengan menggunakan metode deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk memberikan gejala-gejala, fakta-fakta atau kejadian-kejadian secara akurat dan sistematif mengenai sifat-sifat populasi dan daerah tertentu.

(69)

34

penelitian kualitatif yakni untuk melihat secara jelas data yang didapatkan di lapangan dengan menganalisisnya.

III.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada kantor Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Medan yang beralamat di Jalan Ibus Raya Nomor 131, Petisah, Medan. Peneliti memilih badan ini karena melaksanakan pengarusutamaan gender merupakan salah satu tugas pokok dan fungsi dari salah satu bidang yang ada pada badan ini, yaitu bidang pemberdayaan perempuan.

III.3 Informan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga subyek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian ditentukan secara sengaja atau purposessive sampling. Subyek penelitian inilah yang akan menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian (Usman, 2009).

(70)

35

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti menentukan informan dengan menggunakan teknik purpossive sampling, yaitu dimana pengambilan informan dilakukan secara sengaja dan informan yang digunakan adalah mereka yang benar-benar paham dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam mengenai permasalahan yang akan diteliti (Sutopo 2002:22). Oleh karena itu, peneliti dalam hal ini menggunakan informan penelitian yang terdiri dari :

1. Informan kunci yaitu Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan. 2. Informan utama yaitu :

a. Kepala Sub Bidang Pengarusutamaan Gender b. Staf Sub Bidang Pengarusutamaan Gender c. Kepala Sub Bidang Data dan Informasi d. Kepala Sub Bagian Umum

III.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

1. Teknik pengumpulan data primer, yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung di lokasi penelitian. Pengumpulan data primer ini diperoleh melalui:

(71)

36

wawancara yang mendalam (in-depth interview), yaitu dengan terlibat secara tatap muka dengan menggunakan wawancara yang bersifat seni struktur (semistructure interview). Hal ini bertujuan agar pelaksanaan wawancara lebih terasa bebas sehingga pihak yang diajak wawancara dapat mengeluarkan ide-idenya tanpa terfokus pada pedoman wawancara yang sifatnya lebih struktur. Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam mewawancarai informan dilakukan menurut pedoman langakah-langkah wawancara Lincoln dan Guba yang terdiri dari: (1) penetapan informan wawancara; (2) menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan dijadikan awal pokok pembicaraan; (3) membuka alur wawancara dengan perkenalan diri; (4) melanjutkan alur wawancara; (5) mengkonfirmasikan hasil wawancara dan mengakhirinya.

Dalam melakukan wawancara alat-alat yang digunakan peneliti adalah buku catatan, tape re

Gambar

Gambar I.1 : Peningkatan jumlah PNS berdasarkan jenis kelamin
Gambar II.1 Model Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Gambar II.1 Model Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Tabel IV.1
+7

Referensi

Dokumen terkait

- Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja. Kode Rekening Uraian

- BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja.. Kode Rekening Uraian

- BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja.. Kode Rekening Uraian

- BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT, PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja.. Kode Rekening Uraian

“Masalah perempuan dan kemiskinan terutama dikarenakan kemiskinan struktural akibat kebijakan pembangunan dan sosial budaya yang berlaku, keterbatasan kesempatan pendidikan

Untuk menjadikan kepentingan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan penilaian kebijakan-kebijakan dalam

Peran Badan Keluarga Berencana Dan Pemberdayaan Perempuan dalam Pemberdayaan Perempuan yaitu dengan melakukan sosialisasi tentang kelompok usaha kepada peserta

1. Secara simultan Motivasi Kerja berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Pegawai pada Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan Kota Banjar. Dengan demikian variabel