• Tidak ada hasil yang ditemukan

KINERJA BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA (BPMPPKB) KOTA TANGERANG SELATAN DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KINERJA BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA (BPMPPKB) KOTA TANGERANG SELATAN DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) - FISIP Untirta Repository"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

SELATAN DALAM MENGATASI PERMASALAHAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Manajemen Publik

Program Studi Ilmu Administrasi Negara

Oleh:

TRI SUGIH UTAMI

NIM. 6661100089

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

(2)
(3)
(4)
(5)

Tri Sugih Utami. NIM. 6661100089. Skripsi. Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Pembimbing I: Rina Yulianti, S.IP., M.Si dan Pembimbing II: Rahmawati, S.Sos., M.Si

Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) diberbagai sektor relatif mengalami peningkatan setiap tahunnya, hal ini dilihat dalam konteks fenomena gunung es, dimana kasus yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Pemerintah Kota Tangerang Selatan berupaya mengatasi permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) yang merupakan pelaksana pengendalian, sarana perlindungan, memfasilitasi, dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan dan anak dengan instansi terkait. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Penelitian ini mengacu pada indikator kinerja menurut Dwiyanto (2002:48). Metodelogi penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan kualitatif deskriptif dan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah melalui observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) belum berjalan dengan optimal, karena dalam pelaksanaannya mengalami masalah keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran serta tidak adanya agenda khusus dalam mensosialisasikan payung hukum sehingga perlu adanya peningkatan sumber daya manusia dan anggaran serta mengagendakan program sosialisasi payung hukum pada masyarakat.

(6)

Tri Sugih Utami. NIM. 6661100089. The Performance of The Community Empowerment Board of Women Empowerment and Family Planning on South Tangerang City Handling Domestic Violence Problems. The Faculty of Social and Political Science, University of Sultan Ageng Tirtayasa. The Firs Advistor Rina Yulianti, S.IP., M.Si. The Second Advistor Rahmawati, S.Sos., M.Si.

Domestic violence has increased relatively in every year. This should be seen as ice mountain phenomenon where the obvious cases are just small part of reality that is happening. Government of South Tangerang regional has tried to overcome these domestic violence problems through The Community Empowerment Board of Women Empowerment and Family Planning (BPMPPKB) that works as the executor to control program policy, protection and the facilitate policy integration and do coordination of performing the policies of women and child protection with related institution such as regional police, LBH and P2TP2A, health division and social and employment division. This study aims to figure out "The Performance of The Community Empowerment Board of Women Empowerment and Family Planning (BPMPPKB) on South Tangerang city handling domestic violence problems". This study was based on Dwiyanto's (2002:48) performance indicator reference. The methodology of this research used descriptive qualitative approach and data collection technique was performed through observation, interview, and documentation study. The results show that The Performance of The Community Empowerment Board of Women Empowerment and Family Planning (BPMPPKB) of South Tangerang city in handling domestic violence problems was not performed in optimal way, one of the cause is the limitation of human resource and there is no specific agenda in socializing the laws covering the problems. So it needs recruitment human resource increasing, and also need make a schedule for program of the laws covering socialization to society.

(7)

perjalanan menuju surga

(Nabi Muhammad. SAW)

Skripsi ini kupersembahkan untuk

Mamah, Alm Bapak, Kakak dan Adik ku

Serta untuk sahabat terbaik dan orang yang kusayangi

(8)

Assalamualaikum Wr. Wb

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah

SWT karena berkat ridho, rahmat dan hidayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada

peneliti, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat beserta salam

semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, para

sahabat dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Penyusunan skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh

gelar Sarjana pada Program studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang berjudul “Kinerja Badan

Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga

Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi

Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)”

Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak yang senantiasa mendukung serta membimbing penulis. Untuk itu, peneliti

ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, Rektor Universitas Sultan Ageng

Tirtayasa.

2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

(9)

Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

4. Mia Dwiana M., S.Sos., M.I.Kom.,Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Gandung Ismanto, S.Sos., MM.,Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan juga selaku Dosen

Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahan

kepada peneliti selama proses perkuliahan.

6. Rina Yulianti, S.IP., M.Si., Ketua Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan juga selaku

Dosen Pembimbing I yang membantu dan memberikan masukan bagi peneliti

dalam menyusun skripsi ini dari awal hingga akhir.

7. Rahmawati, S.sos., M.Si., Sekretaris Jurusan Administrasi Negara Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, juga selaku

Dosen Pembimbing II yang memberikan semangat dan membimbing peneliti

dalam menyusun skripsi ini dengan sabar dari awal hingga akhir.

8. Semua Dosen dan Staf Jurusan Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang membekali penulis

dengan ilmu pengetahuan selama perkuliahan.

(10)

dan Anak BPMPPKB yang telah memberikan data dan informasi pada

observasi awal.

10. Mamah dan (Alm) Bapak yang selalu memberikan dukungan dan kasih

sayang serta doa yang tak pernah putus kepada penulis. Terimakasih banyak

atas apa yang kalian berikan selama ini, dan mohon maaf apabila penulis

belum dapat membahagikan dan membalas segala kebaikan kalian.

11. Kakak dan adikku Eka, Dwi dan Riyad yang senantiasa memberikan peneliti

semangat dalam pembuatan skripsi ini.

12. Fadhly Fauzy Rachman, terima kasih banyak telah memberi peneliti motivasi

dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

13. Sahabat-sahabatku tercinta Cynthia, Bagus, Aab, Nova yang setia menemani

berbagi canda tawa, motivasi dan kasih sayang pada peneliti dalam menyusun

skripsi.

14. Teman-teman seperjuanganku, Ajrina, Vierta, Anin, Tiana, Toro, Reza, Ucup,

Cahyo, Hilmi, Agung, Herly, Toni, Eno, Dwi, Lasty yang selalu memberikan

semangat, masukan, canda tawa dan kasih sayang yang tak terlupakan sampai

kapanpun.

15. Kawan-kawan Jurusan Administrasi Negara FISIP UNTIRTA Reguler dan

non Reguler angkatan 2010.

(11)

karena keterbatasan penulis, maka dari itu saran dan kritik yang bersifat membangun

sangat diharapkan guna perbaikan dimasa yang akan datang. Akhir kata semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Serang, Oktober 2014

Tri Sugih Utami

(12)

Halaman

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ...v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Identifikasi Masalah ...14

1.3 Batasan Masalah...15

1.4 Rumusan Masalah ...15

1.5 Tujuan Penelitian ...15

1.6 Manfaat Penelitian ...16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1 Landasan Teori ...17

2.1.1 Organisai Publik ...18

2.1.2 Definisi Kinerja ...20

2.1.2.1 Indikator Kinerja ...25

2.1.2.2 Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja ...30

(13)

2.1.4 Kekerasan Dalam Rumah Tangga ...41

2.1.5 Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan ...48

2.1.6 Sanksi Hukum Bagi Pelaku KDRT ...51

2.2 Penelitian Terdahulu ...54

2.3 Kerangka Pemikiran ...57

2.4 Asumsi Dasar ...60

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ...61

3.2 Fokus Penelitian ...62

3.3 Lokasi Penelitian ...62

3.4 Fenomena yang diamati ...63

3.4.1 Definisi Konsep ...63

3.4.1 Definisi Operasional ...64

3.5 Instrumen Penelitian...65

3.6 Informan Penelitian ...71

3.7 Teknik Pengolahan data dan Analisa Data ...73

3.8 Jadwal Penelitian ...77

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ...78

4.1.1 Deskripsi Wilayah Kota Tangerang Selatan ...78

(14)

Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota

Tangerang Selatan ...80

4.2 Deskripsi Data ...89

4.2.1 Deskripsi Data Penelitian ...89

4.2.2 Daftar Informan Penelitian ...92

4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ...94

4.3.1 Produktivitas ...95

4.3.2 Kualitas Layanan ...100

4.3.3 Responsivitas ...106

4.3.4 Responsibilitas ...113

4.3.5 Akuntabilitas ...129

4.4 Pembahasan ...133

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ...147

5.2 Saran ...149

DAFTAR PUSTAKA ...x

LAMPIRAN

(15)

Halaman

Gambar 1.1 Grafik kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) Kota Tangerang Selatan

Per Tahun... 5

Gambar 2.1 Indikator Kinerja ... 29

Gambar 2.2 Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 44

Gambar 2.3 Siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Pasangan ... 45

Gambar 2.4 Kerangka Pemikiran ... 59

Gambar 3.1 Proses Analisis Data ... 74

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan Dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan ... 83

Gambar 4.2 Struktur Organisasi P2TP2A Kota Tangerang Selatan ... 98

Gambar 4.3 Ruang Pelayanan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan ... 105

Gambar 4.4 Alur Penaganan KDRT Oleh BPMPPKB Kota Tangerang Selatan ... 128

(16)

Halaman

Tabel 1.1 Jumlah Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kota Tangerang Selatan

Tahun 2013 ... 6

Tabel 2.1 Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan ... 50

Tabel 3.1 Daftar Pedoman Wawancara ... 69

Tabel 3.2 Informan Penelitian ... 72

Tabel 3.3 Jadwal Penelitian ... 77

Tabel 4.1 Daftar Kelurahan di Kota Tangerang Selatan ... 80

Tabel 4.2 Daftar Informan ... 93

Tabel 4.3 Data Pegawai Sub Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota Tangerang Selatan ... 96

Tabel 4.4 Jumlah Korban Tahun 2013 ... 136

Tabel 4.5 Rekapitulasi Temuan Lapangan ... 144

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kekerasan dalam rumah tangga atau yang lebih sering disebut KDRT ini

merupakan masalah sosial, yang dapat menghambat program pembangunan nasional,

yang semestinya semua masyarakat memperoleh hak dan kewajiban yang sama dalam

segala aspek kehidupan demi tercapainya pembangunan, karena masyarakat lah yang

sebenarnya manjadi pelaku utama dalam proses pembangunan. Selain itu, seharusnya

peran dan partisipasi dalam pembangunan serta manfaat yang dirasakan dari hasil

pembangunan, dapat dirasakan secara berimbang antara laki-laki dan perempuan

tanpa adanya diskriminasi.

Namun, pada kenyataanya masih saja ada anggapan bahwa kaum perempuan

adalah mahluk yang dianggap mempunyai fisik dan psikis yang lemah sehingga

selalu bergantung pada orang lain, dianggap bodoh, dianggap pasti akan kalah jika

berhadapan dengan kekuatan dan kekuasaan karena tidak ada yang melindungi.

Anggapan tersebut menerangkan bahwa perempuan masih tertinggal dibanding laki-

laki di berbagai aspek.

Menurut Surjadi (2011:5) dalam bukunya menjelaskan, bahwa budaya

patriarki merupakan budaya yang masih kental di Indonesia dan membawa pengaruh

(18)

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yakni kekerasan suami terhadap istri

(KESTI) di dalam kehidupan rumah tangga. Ada semacam hubungan kekuasaan di

dalam rumah tangga yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah

dari pada laki-laki. Struktur sosial tersebut menempatkan suami sebagai pemimpin

keluarga, yang memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangga. Dalam struktur

dominasi tersebut kekerasan seringkali digunakan untuk memenangkan perbedaan,

menyatakan rasa tidak puas ataupun untuk mendemonstrasikan dominasi semata-

mata. Dari hubungan yang demikian, seolah-olah laki-laki dapat melakukan apa saja

kepada perempuan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Dalam hal ini ada

ketidak setaraan antara laki-laki dengan perempuan, maka muncullah ketidak adilan

gender. Bentuk-bentuk ketidak adilan gender tampak pada adanya peminggiran

terhadap kaum perempuan (marginalisasi), penomor-duaan (subordinasi), pelabelan

(stereotipe negatif), adanya beban ganda pada perempuan serta kemungkinan

munculnya kekerasan pada perempuan.

Menurut pandangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Kanita

(2004:3), bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan atau yang biasa disebut KTP

harus diartikan meliputi kekerasan yang bersifat fisik, seksual, psikologis. Kekerasan

tersebut dapat terjadi pada :

1. Di dalam keluarga; termasuk pemukulan, penyalahgunaan secara seksual terhadap anak perempuan di dalam rumah tangga, perkosaan di dalam perkawinan, praktek tradisi yang membahayakan perempuan, kekerasan berupa eksploitasi seks;

(19)

3. Memaksa untuk melacur dilakukan atau diperbolehkan oleh negara, di manapun terjadi.

Permasalahan kekerasan terhadap perempuan dan sebagai mana dijelaskan di atas

merupakan bagian dari permasalahan ketidak adilan dan ketidak setaraan gender yang

tidak bisa ditolelir dan dibenarkan.

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi juga mendefinisikan

kekerasan berbasis gender pertama kali pada tahun 1993, ketika Majelis Umum

mengesahkan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Dalam Perempuan. Menurut

Deklarasi tersebut, yang dimaksud dengan kekerasan berbasis gender adalah:

“Segala tingkah laku yang merugikan yang ditujukan kepada perempuan karena jenis kelaminnya, termasuk penganiayaan isteri, penyerangan seksual, mas kawin yang dikaitkan dengan pembunuhan, perkosaan dalam perkawinan, pemberian gizi yang kurang pada anak perempuan, pelacuran paksa, sunat untuk perempuan, dan penganiaayaan seksual pada anak perempuan. Lebih khusus lagi, kekerasan terhadap perempuan meliputi setiap tindakan pemaksaan secara verbal (fisik), pemkasaan atau perampasan kebebasan yang membahayakan jiwa, ditujukan pada perempuan atau gadis yang merugikan secara fisik maupun psikologis,penghinaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang sehingga mengekalkan subordinasi perempuan”. (Heise et al, 1999 dalam Kanita, 2004).

Dengan menyimak beberapa pengetian di atas, maka dapat diperoleh

pengertian bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di sektor publik,

tetapi juga menjadi sektor domestik, yaitu di lingkup rumah tangga dimana antara

pelaku dan korban sudah saling mengenal satu sama lain secara personal. Namun,

sebenarnya siapapun bisa berpotensi untuk menjadi pelaku maupun korban dari

kekerasan dalam rumah tangga. Pelaku maupun korban kekerasan dalam rumah

tangga pun tidak mengenal status sosial, status ekonomi, tingkat pendidikan, usia,

(20)

Kasus-kasus KDRT dewasa ini semakin meningkat secara kuantitas, baik

pada level nasional, regional maupun lokal. LBH Apik mencatat data kasus KDRT

pada level nasional pada tahun 2009 berjumlah 143.586 kasus, pada 2010 sejumlah

105.103 kasus, pada tahun 2011 sejumlah 119.107 kasus, pada 2012 sejumlah

203.507 kasus dan pada tahun 2013 sejumlah 279.760 kasus. Sedangkan di Provinsi

Banten sendiri, menurut Kepala Bagian Perlindungan Perempuan BPPMD Provinsi

Banten, jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2012 sebanyak

517 kasus dan pada tahun 2013 sebanyak 504 kasus, data tersebut merupakan jumlah

keseluruhan dari kota dan kabupaten di Provinsi Banten.

Di Provinsi Banten sendiri Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat

Desa (BPPMD) mencatat bahwa, Kota Tangerang Selatan merupakan kota kedua

dengan jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga terbanyak yakni 103 kasus

terjadi sepanjang tahun 2013, sedangkan Kabupaten Tangerang menempati posisi

pertama dengan jumlah 168 kasus terjadi sepanjang tahun 2013, dengan adanya hal

ini semestinya ada perhatian khusus dalam upaya menekan angka kekerasan yang

semakin meningkat dari tahun ke tahunnya. Padahal notabenenya Kota Tangerang

Selatan merupakan kota yang baru berdiri selama lima tahun dan merupakan kota

yang pada tahun 2013 lalu baru saja mendapatkan penghargaan dari MURI sebagai

Kota Layak Anak (KLA) tingkat pratama dan merupakan satu-satunya kota yang

mendapatkan penghargaan ini di Provinsi Banten, berdasarkan data yang diperoleh

(21)

Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan, sejak tahun 2010 sampai tahun

2013 ini terjadi tindak kekerasan yang di laporkan, sebagai berikut:

Grafik 1.1

Grafik Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Per Tahun Kota Tangerang Selatan

200

150

162 167

116

187

100

50

0

2010 2011 2012 2013

(Sumber: BPMPPKB Kota Tangerang Selatan, 2014)

Berdasarkan tabel kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di atas

merupakan data KDRT yang dapat terungkap atau yang dilaporkan sepanjang tahun

2010 hingga tahun 2013, setiap tahunya jumlah korban kekerasan dalam rumah

tangga (KDRT) relatif mengalami peningkatan, namun pada tahun 2012 sempat

mengalami penurunan yaitu, sebanyak 116 kasus terjadi sepanjang tahun 2012,

menurut keterangan Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan BPMPPKB Kota

Tangerang Selatan kemungkinan hal ini terjadi karena telah dibentuknya Peraturan

Daerah Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Korban

Kekerasan sehingga menimbulkan kesadaran pada masyarakat untuk tidak melakukan

(22)

Tangga (KDRT) kembali mengalami peningkatan pada tahun 2013, sejumlah 187

kasus yang merupakan puncak meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga,

angka tersebut berasal dari beberapa sumber, yaitu:

Tabel 1.2

Jumlah Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Tahun 2013 Kota Tangerang Selatan

No Instansi Jumlah Pasangan

1 P2TP2A Kota Tangerang Selatan 43

2 Polres Jakarta Selatan 46

3 Polres Tigaraksa 93

4 Pos Pelayanan Terpadu 5

Jumlah 187

(Sumber: Peneliti, 2014)

Angka-angka di atas haruslah dilihat dalam konteks fenomena gunung es,

dimana kasus yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang

sebenarnya terjadi, mengingat sebagian masyarakat masih melihat kekerasan di

lingkup domestik masih dianggap sebagai urusan pribadi (private) dan merasa aib

untuk diungkap. Di sisi lain problem kekerasan dalam rumah tangga yang khususnya

di alami oleh para istri kemungkinan yang terjadi adalah dua kali lipat lebih besar dari

pada yang dilaporkan, selain itu juga tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(KDRT) di Kota Tangerang Selatan terbagi dalam beberapa jenis kekerasan yaitu,

(23)

Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

(BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan mencatat bahwa jenis kekerasan yang paling

banyak kerap menimpa masyarakat Kota Tangerang Selatan merupakan jenis

kekerasan fisik yang mencapai angka 64 kasus terjadi sepanjang tahun 2012, hal ini

sangat disayangkan sekali karena dapat membahayakan keselamatan korban,

mengingat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan tindak kekerasan

yang bersifat delik aduan dimana kasus ini hanya bisa diproses apabila ada yang

melaporkan baik oleh korban dan masyarakat sekitar yang melihat kejadian.

Berdasarkan keterangan Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan dan

Anak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan (Hj. Titi Suhartini, A.Md, Keb) yang

diwawancarai pada tanggal 25 November 2013 menjelaskan bahwa KDRT yang

terjadi di Kota Tangerang Selatan sebagian besar penyebabnya adalah faktor ekonomi

yaitu, KDRT tidak hanya terjadi pada kalangan rumah tangga yang strata sosial

bawah saja tapi juga pada rumah tangga yang menengah keatas biasanya kurang

adanya transparansi antara suami dan istri. Komunikasi yang baik dalam rumah

tangga dianggap perlu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Penyebab lainnya yaitu,

kemungkinan adanya orang ketiga dalam kehidupan rumah tangga yang

mengakibatkan keretakan dalam rumah tangga.

Penjelasan serupa disampaikan oleh Brigadir Juned selaku penyidik yang

bertugas pada Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta

Selatan pada tanggal 19 Maret 2014 menyatakan bahwa, penyebab tertinggi

(24)

dari Kota Tangerang Selatan yakni, sebesar 75% dari 49 kasus yang dilaporkan

disebabkan adanya wanita dan laki-laki idaman lain atau adanya kehadiran orang

ketiga dalam rumah tangga.

Hal ini cukup menarik perhatian, karena apabila biasanya kekerasan dalam

rumah tangga yang kerap terjadi dikarenakan kesulitan ekonomi serta pendidikan

yang masih rendah, justru hal berbeda terjadi di Kota Tangerang Selatan yang

notabenya merupakan salah satu kota maju di bidang perekonomian dan pendidikan

di Provinsi Banten. Berdasarkan penuturan Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan

BPMPPKB Kota Tangerang Selatan (Hj. Listya Windarty, S.sos, M.KM) yang

diwawancarai pada tanggal 15 Juli 2014 menjelaskan bahwa sebetulnya masyarakat

Kota Tangerang Selatan mayoritas berada pada ekonomi menengah ke atas yang

semestinya tindak KDRT berkurang karena, problem mereka dalam masalah ekonomi

rumah tangga berkurang dan tingkat pendidikan meraka juga tinggi sehingga

biasanya kalangan ini sadar akan adanya payung hukum, namun biasanya dalam

masalah komunikasi rumah tangga yang berada pada level ekonomi menengah keatas

tidak lancar dan kemungkinan menyebabkan adanya orang katiga.

Dengan semakin meningkatnya isu KDRT yang menunjukan bahwa, korban

KDRT menghadapi resiko yang besar, terutama pada perempuan dan anak-anak.

Akhirnya pada tanggal 22 September 2004 DPR menyetujui Rancangan Undang-

Undang Pengahapusan KDRT yakni, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang

(25)

a) Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

b) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

c) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

d) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Selain itu juga, melihat banyaknya kasus-kasus KDRT yang terjadi di Kota

Tangerang Selatan maka pemerintah Kota Tangerang Selatan memiliki komitmen

yang kuat untuk melindungi masyarakat Kota Tangerang Selatan dari praktek-praktek

yang tidak bertanggungjawab serta berupaya untuk mencegah praktek-praktek

tersebut dengan membentuk berbagai program dan kebijakan.

Pemerintah Kota Tangerang Selatan berupaya mengatasi permasalahan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) melalui Badan Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) yang merupakan

pelaksana dalam pengawasan serta pengendalian kebijakan program pemberdayaan

perempuan dan anak, selain itu juga sebagai sarana perlindungan perempuan dan

anak korban kekerasan.

Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga

Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan juga merupakan wadah bagi

masyarakan Kota Tangerang Selatan khususnya, dalam memfasilitasi pengintegrasian

kebijakan perlindungan perempuan dan anak terutama perlindungan terhadap

kekerasan, tenaga kerja perempuan, perempuan lanjut usia dan penyandang cacat

(26)

koordinasi pelaksanaan kebijakan perlindungan perempuan dan anak dengan instansi

terkait seperti dengan pihak kepolisian setempat, LSM dan LBH serta dengan Pusat

Layanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang

Selatan dan dinas terkait seperti Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial, dengan kerjasama

ini diharapkan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan perempuan dan

Keluarga Berencana (BPMPPKB) dapat meningkatkan fungsinya sebagai wadah

masyarakat dalam menghadapi permasalahan KDRT.

Selain itu belum lama ini pemerintah Kota Tangerang Selatan juga

mengesahkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Perlindungan

Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Dalam upaya meningkatkan perlindungan

terhadap perempuan dan anak dari tindak kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan

seksual, kekerasan ekonomi serta kekerasan psikis.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012, menjelaskan mengenai

tujuannya dalam pasal 3, yang disebutkan bahwa Penyelenggaraan Perlindungan

Perempuan dan Anak Korban Kekerasan bertujuan memberikan pencegahan,

perlindungan, dan pelayanan terhadap perempuan dan anak terhadap kekerasan yang

berbasis gender dan kepentingan terbaik bagi anak yang terjadi di rumah tangga atau

publik. Dengan di sahkan-nya peraturan daerah ini, menggambarkan bahwa

pemerintah Kota Tangerang Selatan lebih serius dalam menghadapi permasalahan

kekerasan dalam rumah tangga yang kerap terjadi dan berupaya memberikan

(27)

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sub Bidang Perlindungan

Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan (Hj. Titi Suhartini, A.Md,

Keb) dan hasil observasi awal peneliti mendapatkan beberapa masalah dalam

penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang kerap kali menimpa kaum

perempuan, antara lain yaitu:

Pertama, kurangnya sosialisasi yang menyebabkan masih banyaknya

masyarakat yang belum mengetahui adanya payung hukum dalam mengatasi

permasalahan KDRT yaitu, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta Peraturan Daerah Nomor 3

Tahun 2012 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Hal ini

terbukti berdasarkan hasil wawancara pada ibu rumah tangga dan RW pada salah satu

kelurahan di Kota Tangerang Selatan pada tanggal 7 Desember 2013, mereka

menjelaskan bahwa tidak mengetahui adanya undang-undang dan Peraturan Daerah

yang mengatur permasalahan KDRT. Berdasarkan hasil wawancara tersebut,

mengindikasikan bahwa masyarakat Kota Tangerang Selatan masih terbatas

pengetahuannya terhadap masalah hukum terkait KDRT.

Kedua, sumber daya manusia pendukung dalam pencegahan dan penanganan

KDRT masih dirasakan kurang optimal. Hal ini terlihat dari minimnya jumlah staff

dalam menangani masalah KDRT di Kota Tangerang Selatan, yakni di Sub Bidang

Perlindungan Perempuan dan Anak BPMPPKB Kota Tangerang Selatan saja hanya

(28)

belum bisa menangani secara maksimal karena terkadang terbentur dengan pekerjaan

lain. Biasanya, korban KDRT yang melapor ke BPMPPKB Kota Tangerang Selatan

selanjutnya akan diteruskan ke P2TP2A Kota Tangerang Selatan. Dengan terbatasnya

sumber daya yang dimiliki oleh BPMPPKB menyebabkan kurangnya responsivitas

karyawan dalam menangani kasus KDRT.

Berbeda halnya dengan Kota Cilegon walaupun jumlah staff yang dimiliki

relatif sama namun, menurut penuturan Kepala Bidang Pelayanan KB Badan

Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Kota Cilegon

(Drs.Opang Noval) yang diwawancarai pada 6 Agustus 2014 menjelaskan BKBPP

Kota Cilegon setidaknya memiliki 33 staff relawan yang bertugas untuk melayani

korban kekerasan sehingga BKBPP Kota Cilegon dapat lebih tanggap dalam

memberikan pelayanan kepada korban.

Sementara itu, di P2TP2A Kota Tangerang Selatan sendiri hanya memiliki

satu orang staff yang berjaga di kantor setiap harinya, selain itu P2TP2A juga belum

memiliki tenaga ahli yang cukup memadai. Tenaga ahli yang dimiliki hanya dua

orang di bagian perlindungan hukum dan dua orang di bagian psikologi. Bahkan para

tenaga ahli tersebut tidak selalu berada di P2TP2A Kota Tangerang Selatan setiap

hari, hanya dua kali dalam seminggu. Hal ini menyebabkan penanganan kasus KDRT

cenderung membutuhkan waktu yang cukup lama, selama tahun 2013 dengan jumlah

kasus KDRT sebanyak 187 kasus yang mendapatkan bantuan hukum hanya sebanyak

(29)

Ketiga, program yang dibuat belum berjalan dengan baik, padahal BPMPPKB

Kota Tangerang Selatan telah membentuk 540 anggota Satuan Tugas (SATGAS)

yang tersebar di seluruh wilayah Kota Tangerang Selatan yang terdiri dari para RW di

Kota Tangerang Selatan untuk menangani masalah KDRT yang kerap terjadi di

lingkungan masyarakat, namun baru sekitar 108 anggota saja yang aktif

berpartisipasi. Hal ini semakin diperkuat berdasarkan wawancara dengan seorang RW

yang menegaskan bahwa beliau tidak pernah hadir dalam pelatihan yang di

selenggarakan oleh BPMPPKB dan hanya mendapatkan informasi mengenai

tugasnya dari anggota lain yang hadir dalam pelatihan, bahkan beliau masih belum

paham mengenai tugasnya dalam pembentukan SATGAS.

Keempat, ketersediaan fasilitas dalam menangani kasus KDRT belum

memadai, berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 21 Tahun 2009 Tentang

Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Perempuan Dan Anak Korban Kekerasan Di

Provinsi Banten, menjelaskan fasilitas apa saja yang harus terpenuhi dalam dalam

pelayanan korban kekerasan, dalam penanganan kasus KDRT dibutuhkan shalter

sebagai rumah aman sementara agar keselamatan korban dapat terjamin, namun

sampai saat ini Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan dan

Keluarga Berencana Kota Tangerang Selatan (BPMPPKB) belum memilikinya.

Selain itu juga belum tersedianya ruang khusus bagi korban untuk melakukan

pengaduan serta kendaraan oprasinal bagi korban, dengan terbatasnya fasilitas

(30)

KDRT dirasa belum optimal, karena belum dapat menjamin sepenuhnya keselamatan

dan kerahasiaan korban.

Maka berdasarkan latar belakang di atas peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian yang lebih mendalam mengenai masalah yang sebenarnya terjadi mengenai

“Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan

Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan Dalam Mengatasi

Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)”. Sehingga peneliti

mengkaji lebih jauh upaya BPMPPKB Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi

permasalahan KDRT yang kerap terjadi.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang masalah di atas, maka peneliti

mengidentifikasikan permasalahan yang terjadi sebagai berikut:

1. Kurangnya sosialisasi pada masyarakat akan adanya payung hukum dalam

mengetasi masalah KDRT.

2. Kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Oleh BPMPPKB

Kota Tangerang Selatan sehingga terkesan lambat dalam menangani kasus

KDRT.

3. Satuan Tugas (SATGAS) yang dibentuk oleh BPMPPKB Kota Tangerang

Selatan belum berjalan optimal.

4. Fasilitas yang belum memadai dalam penanganan kasus KDRT sehingga

(31)

Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan belum dapat

sepenuhnya menjamin keselamatan korban.

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan pemaparan dalam indentifikasi masalah, maka peneliti dalam

penelitian ini membatasi masalah pada Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang

Selatan Dalam Mengatasi Permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT),

dan memfokuskan penelitian ini pada penanganan kasus kekerasan terhadap isteri.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka sebagai

rumusan masalah yang akan dikaji adalah Bagaimana Kinerja Badan Pemberdayaan

Masyarakat Pemberdayaan perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota

Tangerang Selatan dalam mengatasi permasalahan kekerasan dalam rumah tangga

(KDRT) ?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah di jelaskan di atas, maka penelitian ini

memiliki tujuan untuk, mengkaji lebih dalam, bagaimanakah kinerja Badan

Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana

(BPMPPKB) Kota Tangerang Selatan dalam mengatasi permasalahan kekerasan

dalam rumah tangga (KDRT), dan untuk mengetahui hal apa saja yang menjadi

hambatan dalam mengatasi tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

(32)

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan dampak dari tercapainya tujuan. Oleh karena

itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

praktis yaitu sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi serta menambah

pengetahuan juga wawasan dan pemahaman lebih tentang adanya badan pemerintah

yang bertugas menaungi korban KDRT dan masyarakat dapat lebih mengetahui peran

BPMPPKB khususnya serta program apa saja yang telah di buat dalam upaya

mengatasi permasalahan KDRT yang kerap terjadi.

2. Secara Praktis

Manfaat praktis pada penelitian ini diharapkan dapat memberikan umpan

balik (feedback) kepada Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan Perempuan

dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) dalam upayanya Mengatasi Permasalahan

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KARANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI

DASAR PENELITIAN

2.1. Landasan Teori

Setiap penelitian memerlukan landasan teori dalam setiap penelitianya, karena

teori sangat berguna untuk membantu peneliti menemukan cara yang tepat dalam

mengelola sumber daya serta waktu dalam menyelesaikan penelitian. Menurut

Wiliam Wiersman (1986) dalam Sugiyono (2012:41) menyatakan bahwa:

A theory is a generalization or series of generalization by which we attempt to explain some phenomena in a systematic manner. Teori adalah generalisasi atau kumpulan generalisasi yang dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai fenomena secara sistematik. “

Sedangkan menurut Kerlinger (1978) dalam Sugiyono (2012:41) mengemukakan

bahwa:

“Teori adalah seperangkat konstruk, definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesisfikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjaleskan dan meramalkan fenomena.”

Pada landasan teori berikut, peneliti akan menjelaskan beberapa teori yang

digunakan sebagai acuan dalam mengkaji penelitian. Dalam Bab II ini akan

dijelaskan secara berurutan beberapa teori dan bahan pustaka berdasarkan pengertian

para ahli terkait dengan “Kinerja Badan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan

(34)

mengatasi permasalahan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).” Teori merupakan

hal yang penting dalam suatu penelitian karena sebagai landasan untuk mendapatkan

data dalam penelitian, baik teori inti maupun teori pendukung.

2.1.1 Organisasi Publik

Penelitian ini dilakukan di kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMPPKB) Kota Tangerang

Selatan, yang merupakan suatu organisasi yang dikelola oleh pemerintah daerah

terkait. Dalam membahas masalah pengertian organisasi publik, peneliti

menggunakan beberapa definisi dari para ahli antara lain sebagai berikut.

Pengertian organisasi menurut Mashun (2006:1) dalam bukunya menjelaskan

bahwa organisasi sering dipahami sebagai kelompok orang yang berkumpul dan

bekerjasama dengan cara yang terstruktur untuk mencapai tujuan atau sejumlah

sasarantertentu yang telah ditetapkan bersama. Pendapat serupa juga dikemukakan

oleh Weber dalam buku Thoha (2011:113) bahwa, organisasi merupakan suatu

kerangka hubungan yang berstruktur di dalamnya berisi wewenang, tanggung jawab,

dan pembagian kerja untuk menjalankan suatu fungsi tertentu.

Pendapat berbeda mengenai pengertian organisasi dikemukakan oleh Barnard

dalam Thoha (2011:114) mengatakan bahwa organisasi itu adalah suatu sistem

kegiatan-kegiatan yang terkoordinir secara sadar, atau suatu kekuatan dari dua

(35)

bahwa, organisasi merupakan terdiri dari serangkaian kegiatan yang dicapai lewat

suatu proses kesadaran, kesengajaan, dan koordinasi yang bersasaran. Dari definisi

tentang organisasi diatas dapat disimpulkan bahwa organisasi merupakan kegiatan

yang dilakukan oleh satu orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan bersama sebelumnya.

Selain pengetian organisasi maka penulis juga akan menjabar definisi publik

berdasarkan para ahli yakni, Frederickson dalam Sedarmayanti (2010:356) yang

berpendapat bahwa, publik merupakan seluruh masyarakat yang dilayani melalui

lembaga atau instansi pemerintah yang bergerak dibidang pelayanan publik.

Maka adapun pengertian organisasi publik menurut Sedarmayanti dalam

bukunya menjelaskan bahwa, organiasi publik merupakan instansi pemerintah yang

memiliki legilitas formal, dan difasilitasi oleh negara untuk menyelenggaran

kepentingan rakyat di segala bidang, yang sifatnya sangat kompleks.

Berdasarkan pengertian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa organisasi

publik merupakan suatu wadah bagi masyarakat yang terdiri dari kumpulan orang

yang memiliki tujuan dan tanggungjawab untuk memberikan pelayanan bagi

masyarakat yang kebutuhannya difasilitasi oleh negara untuk mencapai tujuan seluruh

(36)

2.1.2. Definisi Kinerja

Konsep kinerja merupakan singkatan dari kenetika energi kerja yang

padanannya dalam bahasa Inggris adalah performance. Arti kata performance

merupakan kata benda dimana salah satu artinya “thing done” (sesuatu hasil yang

telah dikerjakan). Istilah performance sering diindonesiakan sebagai performa.

Menurut The Scribner Bantam English Dictionary tahun 1979, dalam Sedarmayanti

(2010:259) kinerja berasal dari kata “to perform” yang mempunyai beberapa

pengertian:

1. To do or carry out execute, melakukan, menjalankan, melaksanakan.

2. To discharge of fulfil as a vow, memenuhi atau menjalankan suatu kewajiban suatu nazar.

3. To portray, as character in aplay, menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan.

4. To render by the voice or musical instrument, menggambarkan dengan suara atau alat music.

5. To execute or complete an undertaking, melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab.

6. To act a part in a play, melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan. 7. To perform music, memaikan/pertunjukan music.

8. To do want is expected of a person or machine, melakukan sesuatu yang diharapkan sesorang atau mesin.

Berdasarkan hal diatas, maka arti performance atau kinerja adalah hasil kerja

yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi,

sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka upaya

mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan

(37)

Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebut prestasi atau tingkatan

keberhasilan individu maupun kelompok individu. Kinerja hanya bisa diketahui jika

individu atau kelompok individu tersebut mempunyai kriteria keberhasilan yang telah

ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan atau targer tertentu yang hendak

dicapai. Tanpa adanya tujuan atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak

mungkin dapat diketahui karena tidak ada tolak ukur keberhasilanya. Menurut

Simanjuntak (2005:1) kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas

tertentu. Sedangkan menurut Bernardian dan Russell (1993:397) dalam Sedarmayanti

(2010:260) kinerja didefinisikan sebagai catatan mengenai out come yang dihasilkan

dari suatu aktivitas tertentu, selama kurun waktu tertentu pula. Dalam buku yang

sama Sedarmayanti juga mengatakan bahwa kinerja merupakan perbuatan,

pelaksanaan pekerjaan, prestasi kerja, pelaksanaan pekerjaan yang berdaya guna.

Pendapat tentang kinerja juga disampaikan oleh Armstrong dan Baron

(1998:15) dalam Wibowo (2012:7) kinerja merupakan hasil pekerjaan yang

mempunyai hubungan kuat dengan tujun strategis organisasi, kepuasan konsumen,

dan memberikan kontribusi pada ekonomi. August W. Smith dalam Suwanto dan

Donni (2011:196) juga mengatakan bahwa performance is output derives from

processes, human otherwise (kinerja merupakan hasil dari suatu proses yang

dilakukan manusia).

Menurut Mondy dan Noe 1990 dalam Sedarmayanti (2010:261) kinerja dapat

(38)

1. Hasil kerja (apa yang harus dicapai oleh seseorang), 2. Kompetensi (bagaimana sesorang mencapainya.

Selain itu lebih jauh Indra Bastian dalam Irham Fahmi (2011:2) menjelaskan

bahwa Kinerja adalah gambaran mengenai tingkatan pencapaian pelaksanaan suatu

kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi

organisasi yang tertuang dalam perumusan skema strategis (strategic planning) suatu

organisasi.

Dari beberapa definisi di atas dapat di simpulkan bahwa kinerja merupakan

penampilan hasil karya seseorang dalam bentuk kualitas ataupun kuantitas dalam

suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok

kerja pegawai. Tiga hal penting dalam kinerja adalah tujuan, ukuran, dan penilaian.

Penentuan tujuan setiap unit organisasi merupakan strategi untuk meningkatkan

kinerja. Tujuan ini akan memberikan arah dan pengaruh bagaimana seharusnya

perilaku kerja yang diharapkan organisasi dari setiap personel. Tetapi ternyata tujuan

saja tidak cukup, sebab itu diperlukan ukuran apakah seseorang personel telah

mencapai tujuan hasil kinerja yang diharapkan. Untuk itu penilaian kinerja yang baik

harus mamapu menciptakan gambaran yang tepat mengenai kinerja karyawan yang

dinilai. Penilaian tidak hanya digunakan untuk menilai dan memperbaiki kinerja yang

buruk, manun juga untuk mendorong karyawan menjadi lebih baik lagi.

Adapun standar kinerja yang baik menurut Sedarmayanti (2010:203) dalam

(39)

1. Dapat dicapai, sesuai dengan usaha yang dilakukan pada kondisi yang diharapkan.

2. Ekonomis, biaya rendah dikaitkan dengan kegiatan yang dicakup.

3. Dapat diterapkan, sesuai kondisi yang ada. Jika terjadi perubahan kondisi, harus dibangun standar yang setiap saat dapat disesuaikan dengan kondisi yang ada.

4. Konsisten, akan membantu keseragaman komunikasi dan operasi keseluruhan fungsi organisasi.

5. Menyeluruh, mencakup semua aktivitas yang saling berkitan.

6. Dapat dimengerti, diekspresikan dengan mudah, jelas untuk menghindari kesalahan komunikasi, instruksi yang digunkan harus spesifik dan lengkap. 7. Dapat diukur, harusdapat dikomunikasikan dengan presisi.

8. Stabil, harus memiliki jangka waktu yang cukup untuk memprediksi dan menyediakan usaha yang akan dilakukan.

9. Dapat diadaptasi, harus didesain sehingga elemen dapat ditambah, dirubah, dan dibuat teknik tanpa melakukan perubahan pada seluruh struktur.

10. Legitimasi, secara resmi disetujui.

11. Seimbang, diterima sebagai dasar perbandingan oleh berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan.

12. Fokus pada pelanggan, harus terarah pada hal pentingyang diinginkan pelanggan.

Suatu pengertian mengenai kinerja yang dikemukakan oleh Wirawan

(2009:54) dalam bukunya menjelaskan bahwa “keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-

fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu

tertentu. Secara umum dimensi kinerja dapat dikelompokan menjadi tuga jenis, yaitu

hasil kerja, perilaku kerja, dan sifat pribadi yang berhubungan dengan pekerjaan.”

Dimensi kinerja yang dikemukakan oleh wirawan diatas, secara umum

dikelompokan menjadi 3 jenis yaitu:

1. Hasil kerja

Hasil kerja merupakan keluaran dalam bentuk barang dan jasa yangdapat

(40)

hasil kerja pekerja sejan dengan pendapat Peter Drucker melalui teori

Manajement by Objectives (MBO). Seorang pekerja dinilai melalui hasil

kerjanya baik secara kualitatif dan kuantitatif.

2. Perilaku kerja

Ketika berada dalam tempat kerja karyawan memiliki dua prilaku, yaitu

prilaku pribadi dan prilaku kerja. Prilaku pribadi merupakan perilaku yang

tidak berhubungan dengan pekerjaan, misalnya: cara berjalan, cara berbicara,

dan sebagianya. Prilaku kerja dicantumkan dalam standar kinerja, prosedur

kinerja, kode etik, dan peraturan organisasi. Perilaku kerja dapat

dikelompokan menjadi prilaku kerja umum dan khusus. Perilaku kerja umum

merupakan perilaku yang dioerlukan semua jenis pekerjaan, misalnya: loyal

pada organisasi, disiplin, dan bekerja keras. Perilaku kerja khusus diperlukan

untuk pekerjaan tertentu.

3. Sifat pribadi yang ada hubunganya dengan pekerjaan

Seseorang memliki banyak sifat pribadi yang dibawa sejak lahir dan diperoleh

kerika dewasa dari pengalaman dalam pekerjaan. Sifat pribadi yang dinilai

hanyalah sifat pribadi yang berhubungan dengan pekerjan, misalnya:

penampilan, sikapterhadap pekerjaan, jujur, cerdas, dan sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat kita pahami bahwa kinerja merupakan

suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan secara individu maupun kelompok

(41)

mencapai tujuan organisasi melalui standar yang telah ditetapkan dalam kurun waktu

yang telah ditetapkan organisasi.

2.1.2.1. Indikator Kinerja

Indikator kinerja atau performance indicators secara konseptual Lembaga

administrasi Negara/LAN (2001:9) dalam Ismail Nawawi (2013:245) mengemukakan

bahwa indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif yang

menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan.

Oleh karena itu, indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan

diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik

dalam tahap perencanaa (ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going) , maupun tahap

setelah kegiatan selesai dan berfungsi (ex-post).

Menurut Mahsun dalam buku pengukuran kinerja sektor publik (2006:7)

menjelaskan indikator kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung

yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi kerja. Indikator kinerja

juga merupakan sekumpulan indikator yang dapat dianggap sebagai ukuran kerja

kunci, baik yang bersifat financial maupun non-financial untuk melaksanakan operasi

dan kinerja unit bisnis.

Sedangkan menurut Lohman (2003) dalam Mahsun (2006:7) mendefinisikan

indikator kinerja merupakan suatu variabel yang digunakan untuk mengekpresikan

(42)

pada target-target dan tujuan organisasi. Dari definisi dan penjelasan mengenai

indikator Kinerja di atas dapat dilihat bahwa indikator kinerja memiliki fungsi yang

akan dijelaskan oleh para ahli sebagai berikut.

Menurut Sedarmayanti (2010:198) indikator kinerja memiliki fungsi sebagai

berikut:

a. Memperjelas tentang apa, berapa dan kapan kegiatan dilaksanakan

b. Menciptakan konsensus yang dibangun oleh berbagai pihak terkait untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan dalam menilai kinerjanya termasuk kinerja instansi pemerintah yang melaksanakanya.

c. Membangun dasar bagi pengukuran, analisis, dan evaluasi kinerja organisasi/unit kerja.

Sebelum menyusun dan menetapkan indikator kinerja, menurut Ismail

Nawawi (2013:242) terlebih dahulu perlu diketahui syarat-syarat yang harus yang

harus dipenuhi oleh suatu indikator kinerja. Syarat-syarat yang berlaku untuk semua

kelompok kinerja tersebut sebagai berikut:

1. Spesifik dan jelas, sehingga dapat dipahami dan tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.

2. Dapat diukur secara objektif baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif; yaitu dua atau lebih yang mengukur indikator kinerja memiliki kesimpulan yang sama.

3. Relevan; indikator kinerja harus menangani aspek objek yang relevan. 4. Dapat dicapai, penting, dan harus berguna untuk menunjukan keberhasilan

masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak,serta proses.

5. Harus cukup fleksibel dan sensitif terhadap perubahan/penyesuaian pelaksanaan dan hasil pelaksanaan kegiatan.

(43)

Sedangkan menurut Palmer (1995) dalam Mahsun (2006:74) terdapat

persyaratan umum untuk terwujudnya suatu indikator yang ideal dengan syarat-syarat

sebagai berikut:

1. Consistency. Berbagai definisi yang digunakan untuk merumuskan indikator kinerja harus konsisten, baik antara periode waktu maupun antar unit-unit organisasi.

2. Comparibility. Indikator kinerja harus mempunyai daya banding secara layak. 3. Clarity. Indikator kinerja harus sederhana, didefinisikan secara jelas dan

mudah dipahami.

4. Controllability. Pengukuran kinerja terhadap seorang manajer publik harus berdasarkan pada area yang dapat dikendalikan.

5. Contingency. Perumusan indikator kinerja bukan variabel yang independen dari lingkungan internal dan eksternal.

6. Comprehensiveness. Indikator kinerja harus merefleksikan semua aspek berlaku yang cukup penting untuk pembuatan keputusan manajerial.

7. Boundedness. Indikator kinerja harus difokuskan pada faktor-faktor utama yang merupakan keberhasilan organisasi.

8. Relevance. Bebagai penerapan membutuhkan indikator spesifik sehingga relevan untuk kondisi dan kebutuhan tertentu.

9. Feasibility. Target-terget yang digunakan sebagai dasar perumusan indikator kinerja harus merupakan harapan yang realistik dan dapat dicapai.

Ada beberapa jenis indikator kinerja yang sering digunakan dalam

pelaksanaan pengukuran kinerja organisasi, yaitu: indikator masukan (input),

indikator proses (process), indikator keluaran (output), indikator hasil (outcome),

indikator manfaat (benefit), dan indikator dampak (impact). Masing-masing indikator

di jelaskan sebagai berikut:

1. Indikator masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan

kegiatan dapat bejalan untuk mengkasilkan keluaran. Indikator ini dapat

berupa dana, sumber daya manusia, informasi, kebijakan/peraturan

(44)

2. Indikator proses adalah segala besaran yang menunjukan upaya yang

dilakukan dalam rangka mengolah masukan menjadi keluaran. Indikator

proses menggambarkan perkembangan atau aktivitas yang terjadi atau

dilakukan selama pelaksanaan kegiatan berlangsung, khususnya dalam proses

mengolah masukan menjadi keluaran.

3. Indikator keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari

sesuatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/atau nonfisik.

4. Indikator hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya

keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).

5. Indikator manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari

pelaksanaan kegiatan.

6. Indikator dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun

negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah

ditetapkan.

Menurut Selim dan Woodward dalam Nawawi (2013:244) mengemukakan

bahwa ada lima dasar yang bisa dijadikan indikator kinerja sektor publik antara lain:

1. Pelayanan, yang menunjukan seberapa besar pelayanan yang diberikan.

2. Ekonomi, yang menunjukan apakah biaya yang digunakan lebih murah daripada yang direncanakan.

3. Efisiensi, yang menunjukan perbandingan hasil yang dicapai dengan pengeluaran.

4. Efektivitas, yang menunjukan hasil yang seharusnya dengan hasil yang dicapai.

(45)

Selain itu terdapat tujuh indikator kinerja yang saling berkaitan menurut

Harsey, Blanchard, dan Johnson dalam Wibowo (2012:102) menjelaskan seperti

berikut:

Gambar 2.1 Indikator Kinerja

Competence Feedback

Motive Goals

Means Opportunity Standard

Sumber: Paul Hersey, Kenneth H. Blan achard, dan Dewey E. Johnson dalam Wibowo (2012:102)

1. Tujuan, merupakan keadaan yang berbeda yang secara aktif dicarai oleh seorang individu atau organisasi untuk dicapai.

2. Standar, mempunyai arti penting karena memberitahukan kapan suatu tujuan dapat diselesaikan. Standar merupakan suatu ukuran apakan tujuan yang dinginkan dapat dicapai.

3. Umpan balik, merupakan masukan yang dipergunakan untuk mengatur kemajuan kinerja, standar kinerja, dan pencapaian tujuan. Dengan umpan balik dilakukan evaluasi terhadap kinerja dan sebagai hasilnya dapat dilakukan perbaikan kinerja.

4. Alat atau Sarana, merupakan sumber daya yang dapat dipergunakan untuk membantu menyelesaikan tujuan dengan sukses.

5. Kompetensi, merupakan persyaratan utama dalam kinerja. Kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk menjalakan pekerjaan yang diberikan kepadanya dengan baik.

6. Motif, merupakan alasan atau pendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu.

(46)

Pendapat lain juga di kemukakan oleh Dwiyanto (2002:48) dalam bukunya

menjelaskan beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi

publik, yaitu:

1. Produktivitas, adalah rasio antara input dan output, secara filosofis produktivitas merupakan sikap mental yang selalu berusaha dan mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini.

2. Kualitas Layanan, merupakan indikator yang relative tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja birokrasi yang mudah dan murah digunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi indikator untuk menilai kinerja birokrasi publik.

3. Responsivitas, yaitu kemampuan birokrasi untuk mengenal keutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan aspirasi masyarakat.

4. Responsibilitas, menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan birokrasi publik itu sesuai dengan prinsip administrasi yang benar dengan kebijakan birokrasi baik yang eksplisit dan implisit.

5. Akuntabilitas, menunjukan seberapa besar kebijakan dan kegiatan birokrasi publik tunduk pada para bejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya, para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya harus memprioritaskan kepentingan publik.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa indikator kinerja

merupakan kriteria atau sarana yang digunakan untuk mengukur keberhasilan tujuan

kinerja yang telah ditetapkan suatu organisasi dengan efisien dan efektif dengan

menggunakan pengukuran-pengukuran tertentu.

2.1.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja

Pelaksanaan kinerja akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang

(47)

Wirawan (2009:6) kinerja merupakan hasil sinergi dari sejumlah faktor, faktor-faktor

tersebut adalah:

1. Faktor internal pegawai, yaitu faktor-faktor dari dalam diri pegawai yang

merupakan faktor bawaan dari lahir meliputi bakat, sifat pribadi, serta

keadaan fisik kejiwaan dan faktor yang diperoleh ketika ia berkembang

meliputi pengetahuan, keterampilan, etos kerja, penglaman kerja, dan

motivasi kerja.

2. Faktor lingkungan internal organisasi, manajemen organisasi harus

menciptakan lingkungan internal organisasi yang kondusif sehingga dapat

mendukung dan meningkatkan produktivitas karyawan.

3. Faktor lingkungan eksternal organisasi, merupakan keadaan, kejadian, atau

situasi yang terjadi dilingkungan ekternal organisasi yang memengaruhi

kinerja karyawan.

Pendapat lain tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, antara lain

dikemukakan oleh Armstrong dan Baron dalam Wibowo (2012:100), yaitu sebagai

berikut:

1. Personal factors, ditunjukan oleh tingkat keterampilan, kompetensi yang dimiliki, motivasi dan komitmen inidividu.

2. Leadership factor, ditentukan oleh kualitas dorongan, bimbingan, dan dukungan yang dilakukan manajer dan team leader.

3. Team factors, ditunjukkan oleh kualitas dukungan yang diberikan oleh rekan kerja.

(48)

5. Contextual/situational factors, ditunjukan oleh tingginya tingkat tekanan dan perubahan lingkungan internal dan eksternal.

Selain itu Hersey, Blanchard, dan Johnson dalam Wibowo (2012:101)

merumuskan adanya tujuh faktor kinerja yang mempengaruhi kinerja dan dirumuskan

dengan akronim ACHIVE:

A = Ability (knowledge dan skill)

C = Clarity (understanding atau role perception) H = Help (organizational support)

I = Incentive (motivation atau willingness)

E = Evaluation (coaching dan performance feedback) V = Validity (valid dan legal personnel practices) E = Environment (environmental fit).

Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

dalam kinerja dan pendorong pencapaian kerja organisasi publik yaitu bersumber dari

individu masing-masing, seperti apa gaya kepemimpinan di organisasi publik

tersebut, adanya kerja sama tim yang saling mendukung, system kerja dan fasilitas

yang memadai. Apa bila semua faktor-faktor tersebut dimiliki oleh suatu organisasi

publik, maka bukan tindak mungkin organisasi tersebut akan mencapai keberhasilan

kerja sesuai yang telah di targetkan bersama.

2.1.3 Pemahaman Gender

Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari kata

bahasa Inggris, yaitu „gender‟ yang berarti jenis kelamin. Dalam Nugroho (2011:2)

istilah gender pertama kali diperkenalkan oleh Robet Stoller (1968) untuk

(49)

ciri-ciri fisik biologis. Selanjutnya Ann Oakley (1972) ikut mengembangkan istilah

dan pengertian gender. Sebagaimana Stoller, Oakley mengartikan gender sebagai

konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh

kebudayaan manusia.

Menurut Naqiyah dalam bukunya (2005:25) menjelaskan istlah gender

dipakai untuk pengertian jenis kelamin secara nonbiologis, yaitu secara sosiologis

dimana perempuan direkonstruksikan sebagai makhluk yang lemah lembut.

Sedangkan, laki-laki sebagi makhluk yang perkasa (gender stereotype).

Menurut Fakih (2013:8) dalam bukunya menjelaskan bahwa:

“Gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikostruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lebut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa.

Masih dalam buku yang sama Fakih (2013:9) menjelaskan konsep Gender

merupakan semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki

yang bisa berubah dari waktu kewaktu serta berbeda dari tempat ke tempat yang

lainya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas lain.

Oakley (1972) dalam Sex, Gender and Society, yang di kutip dalam Fakih

(2013:71) mengartikan gender sebagai berikut:

(50)

yang oleh karenanya secara permanen berbeda. Sedangkan gender adalah perbedaan perilaku (behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang di konstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melaikan diciptakan oleh manusia (laki-laki dan perempuan) melalui proses soasial dan kultural yang panjang.”

Suzzane Williams, Janet Seed, dan Adelina Mwau dalam The OXFAM

Gender Training Manua, yang di kutip dalam Nugroho (2011:2) mengartikan gender

sebagai berikut:

“…. manusia dilahirkan dan dididiki sebagai bayi perempuan dan laki-laki supaya kelak menjadi anak perempuan dan laki-laki serta berlanjut sebagai perempuan dewasa dan laki-laki dewasa. Mereka dididik tentang bagaimana cara bersikap, berprilaku, berperan, dan melakukan pekerjaan yang sepantasnya sebagai perempuan dan laki-laki dewasa. Mereka dididik bagaimana berelasi diantara mereka, sikap-sikap yang dipelajari inilah yang pada akhirnya membentuk identitas diri dan peran gender mereka dalam masyarakat.”

Sementara itu Naqiyah (2005:26) dalam bukunya menjelaskan, istilah gender

dapat dibedakan dalam beberapa pengertian yaitu:

1. Gender sebagai suatu istilah sains dengan makna tertentu, 2. Gender sebagai fenomena sosial budaya,

3. Gender sebagai kesadaran sosial,

4. Gender sebagai persoalan sosial budaya,

5. Gender sebagai sebuah konsep untuk dianalisis, dan

6. Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang suatu kenyataan.

Sementara itu, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Republik

Indonesia, dalam Nugroho (2011:6) mengartikan; gender adalah peran-peran sosial

yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan kes empatan laki-

laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar peran-peran sosial tersebut

(51)

Menurut Nugroho gender tidak bersifat universal namun bervariasi dari

masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain dari waktu ke waktu. Sekalipun

demikian, ada dua elemen gender yang bersifat universal, yaitu; 1) gender tidak

identik dengan jenis kelamin, dan 2) gender merupakan dasar dari pembagian kerja di

semua masyarakat.

Menurut H.T. Wilson dalam Sex and Gender yang dikutip dalam Nugroho

(2011:6) mengaertikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan

sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang

sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan.

Kenyataan biologis yang membedakan dua jenis kelamin melahirkan teori

tentang gender menurut Edward Wilson (1975) dalam Nugroho (2011:22) mengenai

masalah kesetaraan dan keadilan gender membagi perjuangan kaum perempuan

secara sosiologis atas dua kelompok besar, yaitu konsep nature dan konsep nurture.

Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang dikenal dengan

equilibrium, ketiganya diuraikan sebagai berikut:

1. Teori nature

Gambar

Grafik 1.1 Grafik Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Per Tahun Kota Tangerang
Tabel 1.2 Jumlah Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Tahun 2013 Kota
Gambar 2.1 Indikator Kinerja
Gambar 2.2 Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Independent Sample J-Jest untuk rnelihat perbedaan kedua kelornpok penelitian pada variabel uang saku, pengeluaran pangan, jarak ternpat tinggal dari warung

Pada usia ini otot dan saraf di dalam mulut bayi cukup berkembang dan mengunyah, menggigit, menelan makanan dengan baik, mulai tumbuh gigi, suka memasukkan sesuatu ke dalam

Pada saat ini banyak kegiatan sosial maupun komersial dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi, baik dalam lingkup lokal maupun global

Dimana konsumen kerap kali memberi produk lebih didasarkan pada mereknya baru kemudian kualitas yang ditawarkan oleh produk ataupun jasa (Aaker, 1996) Lebih

auditee dengan audit dan persepsi auditee dari kegunaan audit bagi pemangku kepentingan eksternal pada audit laporan keuangan pemerintah daerah yang dilakukan

Tujuan program ini untuk mengawasi peredaran makanan agar tidak tercemar dari mikroba dan bahan-bahan kimia yang dilarang mulai dari produksi sampai makanan di

Berdasarkan Surat Kepala Dinas Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Karo Nomor : 961/KPP- SKR/VIII/2011 perihal Pemilihan Langsung, maka Panitia Pengadaan barang dan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya yang meneliti tentang pengaruh pengungkapan ketidakpastian posisi pajak perusahaan,