• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Beberapa Hak Masyarakat Hukum Adat

Dalam dokumen Perhutanan Sosial Dari Slogan Menjadi Pr (Halaman 51-55)

BAB 4. PERCEPATAN PENETAPAN HUTAN ADAT

4.3. Pengaturan Beberapa Hak Masyarakat Hukum Adat

4.3.1. Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Hutan dan Kawasan Hutan

Setelah beberapa pengujian melalui Putusan Mahkamah Konstitusi46 pengakuan UU 41 terhadap MHA dan hutan adat dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Hutan adat adalah bagian dari hutan hak, bukan hutan negara

44 Sebagai gambaran, saat ini terdapat sekitar 700 nagari di Sumatera Barat. Secara teoritik terdapat pula sekitar 3200 suku, karena suatu nagari baru bisa dibentuk jika sudah ada apa yang disebut sebagai urang apek jinih (orang-orang dari empat suku yang berebeda). Dengan asumsi terdapat sekurang-kurangnya 10 kaum dalam setiap suku agar dapat diperhitungkan sebagai suku pembentuk suatu nagari, maka saat ini terdapat sekitar 32.000 kaum. Perhitungan matematis yang tidak jauh berbeda juga berlaku dalam kasus masyarakat Batak Toba.

45 Zakaria, 2016, op.cit.

46 Putusan MK No. 45/PUU-XI/2011, Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 dan Putusan MK No. 35/PUU- X/2012.

b. Masyarakat hukum adat dikukuhkan melalui Peraturan Daerah

c. Masyarakat hukum adat dapat mengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus

d. Pemanfaatan hutan oleh masyarakat hukum adat harus sesuai dengan fungsinya.

e. Pemanfaatan hutan adat dapat dilakukan pada kawasan hutan produksi dan hutan konservasi sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Hal yang acap mengganjal dari UU 41 ini adalah ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) yang menyatakan bahwa pengakuan hutan adat hanya dapat dilakukan jika MHA masih hidup dan diakui. Pengakuan MHA dikukuhkan melalui Peraturan Daerah.

Logika yang ada dalam kedua pasal ini terkait dengan rumusan Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 ayat (2) UU 41 sebelum Putusan MK 35. Kedua pasal tersebut memandang bahwa hutan adat adalah bagian dari hutan negara. Atas dasar itulah

maka jika negara ingin memberikan hutan kepada M(A maka masyarakat itu harus

membuktikan keabsahan dirinya sebagai subjek hukum yang layak memangku hutan adat.

Semestinya, Putusan MK 35 memberikan koreksi terhadap makna Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) ini. Putusan MK 35 dengan tegas mengatakan bahwa hutan adat adalah salah satu bentuk hutan hak. Ia bukan lagi hutan negara. Konsisten dengan UU 41, hutan hak diartikan sebagai hutan yang terdapat di atas tanah yang dibebani dengan hak atas tanah. Dengan demikian, yang menjadi syarat utama penentuan hutan hak adalah bukti penguasaan objek tanah, bukan terhadap subjek haknya. Namun, kenyataannya tidak demikian. MK lebih menyoroti keberadaan ketentuan pengukuhan MHA melalui Peraturan Daerah itu sebagai upaya mengatasi kekosongan hukum karena belum adanya Undang-undang mengenai MHA. Putusan MK 35 sama sekali tidak membahas bagaimana konsekuensi penetapan hutan adat sebagai hutan hak terhadap keberadaan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41. Keterbatasan dalam Putusan MK 35 ini menuntut kita mengembangkan interpretasi hukum yang tepat dalam memaknai Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 67 ayat (2) UU 41. Penetapan terhadap hutan adat dapat dilakukan atas dasar keabsahan subjek hukum, dalam hal ini adalah pengakuan terhadap keberadaan MHA, dan keabsahan penguasaan atas objek hutan adat. Khusus mengenai keabsahan subjek hukum MHA, UU 41 dalam Pasal 67 ayat (2) menyatakan harus berbentuk Peraturan Daerah. Namun, untuk keabsahan penguasan atas objek hutan hak, UU 41 tidak

mengatur dengan rinci dan menyerahkannya kepada pengaturan dalam bidang hukum pertanahan.

4.3.2. Pengakuan pada Kearifan Lokal

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menempatkan pengakuan MHA dan kearifan lokal dalam posisi sentral. Salah satu prinsip PPLH adalah kearifan lokal yang diartikan sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan masyarakat untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.47 Selain itu Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) harus bersandar pada kearifan lokal.

Pemerintah dan pemerintah provinsi menetapkan kebijakan pengakuan MHA, kearifan lokal dan hak-hak MHA terkait PPLH. Sementara itu pemerintah kabupaten melaksanakannya. Saat ini sedang dirancang peraturan di tingkat nasional untuk pengakuan kearifan lokal tersebut.

Pengakuan terhadap kearifan lokal ini berdimensi luas. Tidak sekedar yang ada di kawasan hutan namun juga di luar kawasan hutan, di wilayah daratan ataupun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bagaimana mengaitkan pengakuan terhadap wilayah kearifan lokal dengan hutan adat yang ada di dalam dan luar kawasan hutan adalah isu hukum yang harus diselesaikan.

4.3.3. Pengakuan Desa Adat

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa mengakui keberadaan desa adat sebagai subjek hukum. Dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana disebutkan dalam tabel 1, MHA dapat ditetapkan sebagai desa adat. Desa adat mempunyai kewenangan mengatur masyarakat dan wilayah adatnya berdasarkan hukum adat. Desa adat mempunyai harta kekayaan. Salah satunya adalah tanah ulayat dan hutan milik desa.

UU Desa menyebutkan bahwa kekayaan desa yang berupa tanah disertipikatkan atas nama pemerintah desa.48 Tidak dijelaskan oleh Undang-Undang ini mengenai bentuk hak atas tanah yang dapat diberikan kepada pemerintah desa. Di lihat dari subjek hukumnya, maka hak yang mungkin dipegang oleh pemerintah desa adalah hak pakai. Meskipun demikian, hak pakai berarti sebagai hak memanfaatkan tanah negara. Bagaimana tanah negara dapat dipersamakan dengan aset desa? Bagaimana pula halnya jika aset desa berupa tanah ulayat? Apa bentuk pengakuan hak yang akan diberikan? Lalu, hak atas tanah apa yang seharusnya ada

47 Pasal 1 angka 30 UUPPLH.

pada hutan milik desa? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari UU Desa.

4.3.4. Hak Masyarakat Hukum Adat dalam Pengukuhan Kawasan Hutan

Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P. 44/Menhut-II/2012 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 62/Menhut-II/2013 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan mengatur mengenai penanganan terhadap hak MHA dalam proses pengukuhan hutan. Salah satu hal penting dari peraturan menteri ini adalah klausul mengenai bentuk pengakuan keberadaan MHA. Permenhut No. P. 62/Menhut-II/2013 yang menyebutkan Putusan MK 35 dalam konsiderans menimbangnya menyatakan bahwa pengakuan tersebut harus dilakukan dengan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.49

Untuk memperjelas apa yang sudah disebutkan dalam Pasal 67 ayat (2) UU 41, Permenhut ini menambahkan bahwa Peraturan Daerah itu harus dilengkapi dengan peta wilayah adat. Menariknya, Permenhut ini juga menyatakan bahwa setelah wilayah adat diakui, maka wilayah itu dikeluarkan dari kawasan hutan. Di sini tampak pertentangan antara Permenhut ini dengan UU 41 dan dengan Putusan MK 35 yang menyatakan bahwa kawasan hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak. Di dalam hutan hak itu terdapat hutan adat dan hutan hak perorangan serta badan hukum. Dengan demikian maka pengakuan terhadap hutan adat tidak serta merta mengeluarkannya dari kawasan hutan.

4.3.5. Beberapa Peraturan Kebijaksanaan

Selain berdasarkan peraturan perundang-undangan, pemerintah juga dapat melakukan tindakan berbasis kepada peraturan kebijaksanaan (beleidsregel, policy rule). Tujuannya adalah untuk efektifitas pelaksanan tugas pemerintahan. Dalam kaitan dengan hutan adat, dapat disebutkan dua peraturan kebijaksanaan yang telah dibuat Pemerintah. Yang pertama adalah Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013 dan yang lain adalah Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 522/8900/SJ tanggal 20 Desember 2013.

Surat Edaran Menteri Kehutanan dimaksudkan untuk memberikan penjelasan mengenai perubahan UU 41 setelah Putusan MK 35. Dalam Surat tersebut, Menteri menegaskan bahwa penetapan hutan adat dilakukan oleh Menteri setelah ada penetapan keberadaan MHA melalui Peraturan Daerah.

Adapun Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang disebutkan di atas adalah untuk melakukan pemetaan sosial terhadap MHA. Dalam Surat ini, Menteri Dalam

Negeri meminta para kepala daerah untuk memetakan keberadaan MHA di wilayahnya serta permasalahan sosial yang mereka hadapi.

4.3.6. Masalah Perangkat Hukum

Dar uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat distorsi antara janji politik pemerintah untuk MHA dengan program pembangunan nasional. RPJMN 2015-2019 harus diakui memuat program-program yang sangat jauh semangatnya dari Nawacita dalam hal pengakuan MHA.

Pemetaan dan analisis pada sejumlah peraturan perundang-undangan menunjukkan bahwa hambatan utama percepatan pengakuan hutan adat ada pada ketidaksinkronan peraturan. Jika pengakuan diawali dengan pengukuhan MHA oleh pemerintah daerah maka produk hukum daerah apakah yang seharusnya digunakan. Saat ini, terdapat dua model yakni melalui Peraturan Daerah dan dengan Keputusan Kepala Daerah. Manakah yang harus diacu? Pemerintah Pusat belum menunjukkan arahan yang jelas. Jika misalnya atas dasar hirarki peraturan perundang-undangan maka UU 41 dan UU Desa harus menjadi rujukan, dengan kata lain bahwa pengakuan MHA harus dengan Peraturan Daerah, mengapa Permendagri No. 52/2014 tetap diberlakukan? Namun, jika Permendagri tersebut diubah atau dicabut sehingga tidak mungkin lagi pengakuan melalui Keputusan Kepala Daerah maka Pemerintah harus menyediakan solusi bagi pengakuan-pengakuan yang sudah dilakukan sejumlah pemerintah daerah dengan Keputusan Kepala Daerah (pelaksanaan Permendagri 52/2014).

Ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan tidak mampu diatasi oleh instrumen peraturan kebijaksanaan seperti surat-surat edaran Menteri. Peraturan kebijaksanaan merupakan modal pemerintah untuk mengefektifkan tugas pemerintahan. Termasuk di dalam tugas ini adalah pengakuan MHA dan hutan adat yang merupakan mandat konstitusional Pemerintah. Namun, hal ini tidak terjadi ketika Pemerintah mengeluarkan surat-surat edaran yang terkait dengan MHA dan hutan adat. Peraturan kebijaksanaan ini belum memberikan solusi hukum apapun untuk mengatasi sumbatan pengakuan hutan adat.

4.4. Mempercepat Pengakuan Hak MAsyarakat Hukum Adat atas Hutan

Dalam dokumen Perhutanan Sosial Dari Slogan Menjadi Pr (Halaman 51-55)