• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perhutanan Sosial Dari Slogan Menjadi Pr

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perhutanan Sosial Dari Slogan Menjadi Pr"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

Perhutanan Sosial:

Dari Slogan Menjadi

Program

Naskah Akademik

Reformulasi Kebijakan

Perhutanan Sosial

(2)

Perhutanan Sosial: Dari Slogan Menjadi Program

Naskah Akademik Reformulasi

Kebijakan Perhutanan Sosial

Tim Penulis:

R. Yando Zakaria (Koordinator)

Eko Budi Wiyono (Wakil Koordinator) Asep Yunan Firdaus (Anggota)

Didik Suharjito (Anggota) Muayat Ali Muhsi (Anggota) Suwito (Anggota)

Roy Salam (Anggota)

Tri Candra Aprianto (Anggota) Luluk Uliyah (Anggota)

(3)

Kata Pengantar

Dokumen ini dengan sengaja disusun karena adanya keprihatinan berbagai pihak dalam menghadapi kenyataan rendahnya capai program Perhutanan Sosial yang telah dicanangkan Pemerintah yang dimaksudkan sebagai program prioritas pembangunan di perdesaan dalam kurun waktu 2014 – 2019. Berbagai eleman yang dianggap menghambat kelancaran program itu telah diurai satu per satu, lengkap dengan solusinya. Bahkan pihak Pemerintah sendiri mengakui adanya hambatan-hambatan itu, sebagaimana yang disampaikan dalam beberapa kesempatan, seperti Pekan Perhutanan Sosial 2017 dan Konferesi Internasional tentang Tenurial Sistem di penghujung Oktober 2017 lalu.

Dengan maksud membantu Pemerintah membenahi berbagai aspek yang diperlukan untuk memperlancar pencapaian target program perhutanan sosial, perlu penyatuan berbagai analisis, gagasan, dan solusi pembenahan program Perhutanan Sosial ke depan. Ide penyatuan gagasan yang disampaikan oleh Sekretariat Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial ini, suatu unit kerja independen yang dibentuk oleh Kantor Staf Presiden untuk membantu tugas-tugas Kantor Staf Presiden dalam dalam mengendalikan penyelenggaraan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, kemudian mendapatkan dukungan teknis dan pendanaan dari USAID-BIJAK.

Atas dukungan teknis dan dana dari USAID-BIJAK itu, kemudian sejumlah penulis, yang pada dasarnya telah menuliskan analisisnya untuk berbagai kesempatan, dikumpulkan dalam sebuah kegiatan lokatulis selama 3 hari. Berdasarkan diskusi dan penulisan draf yang dihasilkan dari kegiatan lokatulis itu para penulis itu selanjutnya diminta untuk menuliskan bagian-bagian dari dokumen yang dibutuhkan secara mandiri.

Dengan kata lain, dokumen ini dapat tersusun atas dasar partisipasi beberapa orang kontribusi penulis. Dalam pelaksanaannya, agar berbagai ide-ide cerdas yang berseliweran dalam forum FGD tidak menguap begitu saja, beberapa orang note taker pun dikerahkan. Hasil kerja mandiri para penulis ini kemudian disunting oleh Koordinator dan wakil coordinator kegiatan. Dalam proses lokatulis Koordinator juga bertindak sebagai fasilitator proses diskusi. Hasil akhir proses penulisan ini adalah sebagaimana yang kemudian tersaji dalam dokumen ini.

(4)

Perhutanan Sosial ini. Padahal publik boleh jadi ingan tahu apa artinya secara ekonomi dan ekologi jika lahan Perhutanan Sosial yang discadangkan seluas 12,7 ha itu

benar-benar jadi Apa pengaruhnya terhadap masalah struktur agraria yang timpang? Karena

50% juga harus berisi kayu, apa dampak program ini pada masalah lingkungan cq. deforestasi?

Lebih dari itu, sebagai suatu program yang utuh, Perhutanan Sosial ini boleh jadi mengandung 3 (tiga) sampai 4 (empat) tahap pernyelengaraan. Laiknya sebagai suatu program penataan ulang sistem penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria, tentu saja program perhutanan sosial tidak saja menyangkut urusan redistribusi akses dan penguasaan lahan, melainkan juga meliputi tahap penataan usaha perekonomian rakyat serta implementasi dan pengembangan usaha. Setiap tahapan tentunya membutuhkan sejumlah persyaratan dan serangkian kegiatan, dan karenanya membutuhkan waktu pelembagaan yang boleh jadi membutuhkan waktu sekitar 10 hingga 15 tahun.

Bahasan tentang siklus program perhutanan sosial yang lebih utuh ini juga absen dalam hiruk-pikuk wacana Perhutan Sosial dalam tiga tahun terkahir ini. Padahal, pada masing-masing tahap itu punya aspek technicalities dan tantangan yang berbeda-beda yang perlu mendapatkan perhatian pula. Ulasan yang lebih lengkap itu diperlukan agar khalayak tidak mengalami misleading, yang ditandai oleh hadirnya anggapan bahwa

program Perhutanan Sosial ini akan jadi cukup dalam waktu tahun saja! Padahal,

boleh jadi masing-masing tahap itu butuh waktu 5 tahun, karena sebagaimana yang telah kita alami dalam tahap percepatan pemberian izin ini, dalam aspek kebijakan saja ada begitu banyak kebijakan yang perlu dibenahi. Permen LHK 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, yang menjadi payung hukum penyelenggaraan program Perhutan Sosial saat ini saja baru muncul pada tahun ketiga setelah program dicanangkan. Padahal, untuk penyelenggaraan Tahap Penataan Produksi misalnya, kebijakan-kebiajakan menyangkut permodalan, baik dari sisi Badan Layanan Umum di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun perbankan jauh dari kondusif. Dengan catatan di atas, akan sangat baik bila ada pihak lain yang mau mengelola inisitif untuk mengembangkan dokumen ini menjadi dokumen yang lebih utuh. Dokumen yang lebih utuh itu, katakanlah semacam Buku Putih Perhutanan Sosial, bisa menjadi benchmark yang dapat diwariskan kepada rezem siapapun di masa-masa yang akan datang.

Semoga.***

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR II

DAFTAR ISI IV

DAFTAR TABEL VI

DAFTAR GAMBAR VII

BAB 1. PENDAHULUAN 1

1.1.LATAR BELAKANG 1

1.2.ARAH KEBIJAKAN KE DEPAN 5

1.3.OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH,KPH DAN DESA 6

1.4.ISI DOKUMEN 10

BAB 2. PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI JAWABAN SEJARAH KELAM PENGUSAHAAN

HUTAN 11

2.1.DINAMIKA MASA LALU 11

2.2.MASA BARU, TANTANGAN BARU 14

2.3.NAWACITA DAN KETIMPANGAN EKONOMI DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA HUTAN 17 2.4.KETERCAPAIAN PERHUTANAN SOSIAL DAN KEBUTUHAN REFORMULASI KEBIJAKAN 20

2.5.MEMPERCEPAT REALISASI PERHUTANAN SOSIAL 22

BAB 3. DINAMIKA KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL25

3.1.PENGEMBANGAN KONSEP PERHUTANAN SOSIAL 25

3.2.KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL SAAT INI 30 3.3.KENDALA DAN REKOMENDASI PELAKSANAAN KE DEPAN 33

BAB 4. PERCEPATAN PENETAPAN HUTAN ADAT 37

4.1.PENGANTAR 37

4.2.BEBERAPA KENDALA PENGAKUAN HUTAN ADAT 39

4.3.PENGATURAN BEBERAPA HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT 43

4.3.1. HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN DAN KAWASAN HUTAN 43 4.3.2.PENGAKUAN PADA KEARIFAN LOKAL 45 4.3.3.PENGAKUAN DESA ADAT 45 4.3.4.HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN 46 4.3.5.BEBERAPA PERATURAN KEBIJAKSANAAN 46 4.3.6.MASALAH PERANGKAT HUKUM 47

4.4.MEMPERCEPAT PENGAKUAN HAK MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS HUTAN ADAT 47

4.4.1PENGANTAR 47

4.4.2KEWENANGAN MENETAPKAN HUTAN ADAT 48 4.4.3MENETAPKAN HUTAN ADAT YANG TELAH DIAKUI PEMERINTAH DAERAH 49 4.4.4.MENETAPKAN HUTAN ADAT DIMANA MHA TELAH DIKUKUHKAN PEMERINTAH DAERAH 50 4.4.5.MENDORONG DITERBITKANNYA KEPUTUSAN KEPALA DAERAH UNTUK PENETAPAN MHA DAN

WILAYAH ADAT 51

(6)

4.4.7. KOORDINASI DENGAN KEMENTERIAN DALAM NEGERI DAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA

RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL 52

4.4.8.MENSIASATI KEBIJAKAN YANG ADA 54

4.5.KESIMPULAN UMUM DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 55

BAB 5. PERAN KPH DALAM PERHUTANAN SOSIAL 58

5.1.KELEMBAGAAN KPH 58

5.2.SINERGI KPH DAN PS 61

5.3.KPH MEMBANGUN JEJARING 63

5.4.REKOMENDASI 64

BAB 6. REVITALISASI KEBIJAKAN ANGGARAN UNTUK PERCEPATAN REALISASI

PERHUTANAN SOSIAL 67

6.1.PENGANTAR 67

6.2.GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN ANGGARAN PERHUTANAN SOSIAL 68 6.3.FRAGMENTASI ANGGARAN PERHUTANAN SOSIAL DAN KETIMPANGAN ESTIMASI 71 6.4.MENGHITUNG POTENSI KEBUTUHAN RIIL ANGGARAN PERCEPATAN PERHUTANAN SOSIAL 76 6.5.STRATEGI PEMENUHAN ANGGARAN PERCEPATAN PERHUTANAN SOSIAL 77

6.6.KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 79

BAB 7. OPTIMALISASI DANA DESA UNTUK PERHUTANAN SOSIAL 81

7.1.PENGANTAR 81

7.2.MENGAPA DESA MENJADI SUBYEK HUKUM? 83

7.3.BAGAIMANA IMPLEMENTASINYA? 89

7.4.APA YANG HARUS DILAKUKAN DESA 90

BAB 8. KERANGKA KEBIJAKAN DAN KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM PERCEPATAN

PEMENUHAN TARGET PERHUTANAN SOSIAL 93

8.1.PERMASALAHAN POKOK 93

8.2.KERANGKA HUKUM PERHUTANAN SOSIAL YANG BERLAKU SAAT INI 94

8.2.1. TERKAIT KEWENANGAN 97 8.2.2.PELAYANAN TERPADU SATU PINTU 103 8.2.2. PROSEDUR PS YANG SEDANG BERJALAN 104

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017) 2 abel 3.1. Kategori Perhutanan Sosial dan Statusnya 31 Tabel 3.2. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017) 33 Tabel 6.1. Rata-rata Anggaran per Hektar Untuk Menghasilkan Luas

Hutan yang Dikelola Masyaralat Pada Direktorat PKPS dan

Balai PSKL Tahun 2015-2017 73

Tabel 6.2. Estimasi Biaya Pendampingan Masyarakat Dalam

Mengusulkan Ijin Perhutanan Sosial Oleh LSM 75

Tabel 8.1. Perbedaan asas pembagian kewenangan 103

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pencapaian kumulative ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017

21 Gambar 2.2. Pencapaian ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir

2017 pasca terbitnya Permen LHK No 83 2016 tentang

Perhutanan Sosial 21

Gambar 3.1. Birokrasi Perizinan PS 34

Gambar 3.2. Diagram Alur Percepatan Program Perhutanan Sosial 35

Gambar 5.1. Struktur Organisasi KPH 60

Gambar 5.2. Interaksi hutan lestari dan masyarakat sejahtera 63 Gambar 6.1. Rata-rata Jumlah Anggaran Perhutanan Sosial Secara Nasional

Th. 2015-2017 68

Gambar 6.2. Ratio Pertumbuhan Anggaran Program Perhutanan Sosial dan

Kemitraan Lingkungan Tahun 2015-2017 69

Gambar 6.3. Tren Proporsi Anggaran Program Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Yang Di Distribusikan per Kegiatan

TA. 2015-2017 70

Gambar 6.4. Pagu dan Realisasi Anggaran Ditjen PSKL Tahun 2015-2016 71 Gambar 6.5. Pertumbuhan Anggaran Kegiatan Penyiapan Areal Perhutanan

Sosial Di APBN TA 2015-2017 72

Grafik 6.6. Proporsi Anggaran Berdasarkan Bisnis Proses Penyiapan Areal

Perhutanan Sosial Pada APBN 2017 74

Gambar 7.1. Skema Pengelolaan Perhutanan Sosial 86

(9)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu persoalan yang dihadapi Indonesia dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara adalah melemahnya sendi-sendi perekonomian Nasional.1 Lebih lanjut, dalam dokumen yang berisikan janji-janji politik dalam rangka Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2014 yang disebut Nawacita itu, disebutkan pula bahwa lemahnya sendi-sendi perekonomian bangsa, antara lain, terlihat dari belum terselesaikannya persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, kesenjangan antar-wilayah, kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan. Di dalam uraian tentang 9 (sembilan) agenda prioritas yang dijanjikan iantara lain disebutkan pula bahwa Pemerintah akan menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat Nawacita 4) serta

mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar (Nawacita 5).

Pelaksanaan Reforma Agraria ini menyasar empat kategori tanah, yakni: (i) Tanah-tanah legalisasi aset yang menjadi objek dan sekaligus arena pertentangan klaim antara kelompok masyarakat dengan pihak perusahaan dan instansi pemerintah, dan tanah-tanah yang sudah dihaki masyarakat namun kepastian hukum nya belum diperoleh penyandang haknya; (ii) Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) untuk diredistribusikan kepada kelompok masyarakat miskin pedesaan; (iii) Hutan negara yang dialokasikan untuk desa dan masyarakat desa melalui skema-skema hutan adat dan perhutanan sosial termasuk Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan sebagainya; dan (iv) Pengelolaan dan pengadaan lahan aset desa untuk diusahakan oleh rumah tangga petani miskin secara bersama. Kategori pertama dan kedua adalah tanah seluas sekitar 9 (sembilan) juta hektar yang termuat dalam janji politik Jokowi-JK dalam Nawacita. Sedangkan kategori ketiga adalah hutan negara seluas sekitar 12,7 juta hektar, yang belakang disebutkan akan direalisasikan melalui program perhutanan sosial (PS).2

Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017 pun kemudian dikeluarkan. Di di dalamnya ditegaskan kembali bahwa

1 Joko Widodo dan Jusuf Kalla, 2014. Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian. Visi-Misi dan Program Aksi.

(10)

reforma agrarian menjadi salah satu prioritas nasional yang dijalankan pemerintah pusat hingga daerah. Selasa 14/03/17 Presiden dan Wakil Presiden melakukan rapat kordinasi teknis terbatas dengan dengan pimpinan lembaga tinggi negara. Pada kesempatan itu kembali Presiden dan Wakil Presiden menegaskan target program reforma agraria itu.

Masalahnya, meski masa pemerintahan Jokowi-JK telah melampaui tahun ketiga, dengan menggunakan skenario pelaksanaan yang ada saat ini, capaian target pelaksanaan program Perhutanan Sosial saja masih di bawah angka 10% dari target. Itupun sudah memasukan capaian program sebelum Jokowi – JK memerintah.

Tabel 1.1. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)3

No Skema Pra Kabinet 4 Kemitraan 18.712,22 16.300,99 24.468,89 30.158,81 89.640,91

5 Hutan Adat - - 13.121,99 3.341,25 16.463,24

Jumlah 449.104,23 103.648,47 122.195,18 613.000,361 1.301.070,24

Realisasi program yang rendah itu telah diprediksi Wiratno (2016), Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kelola Lingkugan (PSKL).4 Menurut Wiratno, kemampuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagaimana yang ada saat ini, merujuk data 2010-2014 dan pada 2015 - Juli 2016, nyatanya Pemerintah hanya mampu menyerahkan hak kelola dan/atau izin seluas 200.000-300.000 hektar/tahun. Artinya, target rata-rata 2,5 juta hektar/ tahun pada periode 2015-2019 sudah pasti tidak akan tercapai.5

Masalah lain yang juga dirujuk sebagai kendala utama, yang sering dikemukakan oleh Pemerintah sendiri, adalah adanya hambatan pendanaan program yang relatif terbatas. Namun, menurut Dr. Mubariq Ahmad, seorang ekonom senior cum praktisi PS, sebenarnya pemerintah punya banyak sekali dana untuk kegiatan dengan tema PS ini. Sayangnya dana itu dikelola dalam kapling-kapling kecil dan

3 Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, November 2017.

4Wiratno, . Keberpihakan, Kepedulian, Kepeloporan, Konsistensi, Kepemimpinan Masa Depan

Perhutanan Sosial di )ndonesia . Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Hutan Indonesia, Reposisi Tata Kelola Hutan Indonesia untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kelestarian

Lingkungan, dan Kesejahteraan Rakyat, Hotel Sahid, Jakarta, 1-2 September 2016, Sebagaimana bisa diakses pada

http://konservasiwiratno.blogspot.co.id/2016/09/keberpihakan-kepedulian-kepeloporan.html?m=1 Saat ini Wiratno menjabat Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekologi (KSDAE), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

5Lihat juga Didik Soehardjito, tanpa tahun. Mempercepat Realisasi Perhutanan Sosial , makalah

(11)

dikuasai raja-raja kecil yang hasilnya kecil juga. Menurutnya, perlu dilakukan konsolidasi program dan dananya disatukan dalam satu sistem pengendalian.6

Kendala lain dari rendahnya realisasi program PS adalah panjangnya rantai perizinan, dari tingkat kelompok tani hutan hingga menteri. Walaupun ada pengecualian pada pada provinsi yang telah memasukkan PS dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah atau mempunyai peraturan gubernur tentang PS dan memiliki anggaran dalam dalam APBD.

Padahal, kawasan hutan yang telah dialokasikan Pemerintah untuk program Perhutanan Sosial ini lebih dari 10% dari seluruh luas kawasan hutan keseluruhan. Dengan kata lain, jika target yang telah dicanangkan Permerintah tersebut dapat direalisasikan secara optimal, maka rencana pemerintah untuk melakukan pemerataan pembangunan, pengurangan kemiskinan, dan penyediaan lapangan kerja melalui perbaikan tata guna lahan dan pembentukan kekuatan ekonomi rakyat diharapan dapat tercapai.

Selain beberapa kendala yang sudah disebutkan, rendahnya realisasi pelaksanaan program reforma agraria itu juga disebabkan oleh (a) data tentang potensi tanah obyek RA masih belum terkonsolidasi dengan baik, dan (b) juga belum seluruhnya clear and clean; (c) peran Pemerintah daerah dan desa yang belum terlalu jelas dalam pelaksanaan program reforma agraria; dan (d) kapasitas masyarakat untuk mengajukan usulan yang relatif rendah.7

Sementara itu, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di perdesaan juga masih memiliki sejumlah kendala lain yang membuat penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di perdesaan tidak optimal. Faktanya, kurang dari 5% dari jumlah yang telah memiliki tata batas desa defenitif (BIG, 2017); hampir 50% dari jumlah desa yang ada memiliki konflik tata batas dengan kawasan hutan (Renstra Kemenhut 2009); Skema Pembagian dan Penggunaan Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) belum optimal (Monef KSP (2017), dll.); dan banyak BUMDesa belum menemukan ranah kegiatan yang

6 Komunikasi Yando Zakaria dengan Mubariq Ahmad, suatu hari di awal tahun 2017.

7 Beberapa kajian yang dilakukan baru-baru ini, sebagaimana yang dilakukan oleh Surrya Affif,

. ……… ; Land and Forest Governance )ndex/LFG). Mengukur Kinerja Pemerintah Propinsi

dalam Pengelolaan Hutan dan Lahan di 8 (Delapan) Propinsi di Indonesia (ICEL, The Asia

Foundation, and UKA)D ; Usman, . Percepatan Perhutanan Sosial: Memperkuat Tata Kelola

(Forum Transparansi Anggran/FITRA Riau); serta Heriyanto, et.al., , . )novative Finacing for Social Forestry Development (Kerjasama IPB dan UNDP Indonesia), mengkonformasi beberapa persoalan yang telah menghambat pencapaian target program ini. Masalah-masalah ini pun sudah mengemuka pada masa sebelumnya, sebagaimana yang disampaikan para-pihak dalam lokakarya

Strategi Penguatan Perhutanan Sosial dan Peran CSO, Bogor, – Oktober , sebagaimana

(12)

menguntungkan, sebagaimana yang banyak dilaporkan dalam media massa akhir-akhir ini.

Sejumlah kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di perdesaan ini harus pula segera diatasi. Salah satu strategi yang dapat diupayakan adalah menjadi pelaksanaan program reforma agraria sebagai pintu masuk untuk penyelesaian permasalahan pemerintahan dan pembangunan desa dimaksud.

Berbagai permasalahan berikut solusi yang perlu diambil telah disuarakan berbagai pihak, sebagaimana yang mengemuka pada Pesona 2017 yang diselenggarakan 6-8 September 2017 dan Pertemuan Nasional Kelompok Kerja Perhutanan Sosial yang diselenggarakan 20 Oktober 2017.

Misalnya, soal rantai perizinan yang panjang (yang harus diterbitkan oleh Menteri). Jika dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83 / MENLHK / SETJEN / KUM.1 / 10/2016 tentang Perhutanan Sosial, perizinan dapat didelegasikan kepada Gubernur, terutama untuk provinsi-provinsi yang memiliki program perhutanan sosial di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah baru bersifat pengecuali, ke depan penyerahan kewenangan kepada daerah ini perlu menjadi kebijaka regular, dengan penguatan kapasitas aparat di tingkat daerah itu tentunya. Alternatif ini sejalan dengan pembagian wewenang antara tingkat Pusat dan Daerah sebagaimana disahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam praktiknya, proses penerbitan hak pengelolaan dan / atau lisensi dapat didelegasikan ke Dinas Kehutanan, misalnya. Sehingga peran Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berfungsi pada tingkat pembuatan kebijakan dan pengendalian di lapangan.

(13)

pengelolaan tata ruang dan untuk memahami karakteristik masyarakat lokal dan / atau masyarakat adat sebagai kandidat potensial pengelola PS.

Beberapa solusi untuk mengatasi masalah keuangan pun telah disuarakan.

Oleh sebab itu, catatan yang dikemukakan Wiratno tentang perlunya struktur kelembagaan, regulasi, dana, dan kekuatan jaringan kerja multipihak untuk ditinjau ulang harus mendapat perhatian yang serius.

1.2. Arah Kebijakan ke Depan

Setidaknya ada 6 arahan kebijakan untuk mempercepat pencapaian target program Perhutanan Sosial ke depan. Masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Untuk terselenggaranya program RA perlu dilakukan konsolidasi semua peta terkait obyek TORA dan PS pada pokja koordinator. Setidaknya peta indikatif TORA, Peta Inidikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) dan peta dasar administratif desa yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menjadi dasar konsolidasi peta. Pengaturan selanjutnya dilakukan oleh satu tim pokja yang telah mendapatkan mandat pelaksana program ini. Konsolidasi dokumen obyek TORA dan PS ini untuk memudahkan proses sosialisasi ke daerah-daerah yang wilayahnya masuk dalam peta indikatif baik TORA maupun PS. 2. Penyelenggaraan program RA yang sudah ada sekarang dilengkapi dengan

pendekatan tambahan yang baru, yakni menjadikan desa sebagai subyek penerima obyek TORA dan PS. Pengaturan lebih lanjut tentang keterlibatan kelompok-kelompok masyarakat di desa-desa yang bersangkutan, terutama kelompok-kelompok marjinal, akan dibahas melalui mekanisme musyawarah desa, sebagaimana yang telah diatur oleh UU Desa;

3. Pelaksanaan program RA diutamakan di desa-desa yang masuk dalam Peta Indikatif PS; juga desa-desa yang saat ini memiliki konflik batas dengan kawasan hutan (overlay peta indikatif obyek TORA dan PS dengan daftar desa yang memiliki konflik tata batas dengan kawasan hutan); saligus mempertimbangkan desa-desa yang merupakan peta usulan baru dari masyarakat.

4. Dalam hal obyek TORA dan PS di desa (-desa) terpilih itu terkandung klaim masyarakat adat, melalui musyawarah desa atau musyawarah antar-desa (MAD), obyek TORA dan PS ditetapkan sebagai hutan adat.

(14)

pembangunan jangka menengah daerah atau yang belum mempunyai peraturan gubernur tentang PS dan yang belum memiliki anggaran dalam dalam APBD. Hal ini sebenarnya sesuai dengan pembagian kewenangan antara Pusat dan Daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

6. Terkait dengan upaya redistribusi dan legislasi tanah, kekurangan juru ukur yang saat ini menjadi salah satu hambatan pelaksanaan program, dapat diatasi dengan kesepakatan bersama antara Menteri ATR, Menteri LHK, dan Menteri Desa PDTT untuk menjadikan juru ukur LHK dan para pendamping desa sebagai juru ukur dalam rangka identifikasi data TORA.

Agar keenam kebijakan pokok untuk mempercepat pencapaian target program reforma itu tercapai maka diperlukan pula tiga langkah hukum utama. Masing-masing adalah sebagai berikut:

1. Diberlakukannya Instruksi Presiden tentang Percepatan Pencapaian Target Program Reforma Agraria sebagai dasar hukum langkah-langkah percepatan pencapaian target program reforma agraria ini;

2. Meninjau-ulang peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan program reforma agraria yang terindentifikasi dapat menghalangi pencapaian target reforma agraria; dan

3. Diaktifkannya tim pelaksana yang yang terwujud dalam Pokja dan tim pengendali yang bekerja untuk pencapaian target pelaksanaan reforma agraria.

1.3. Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah, KPH dan Desa

(15)

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016

tentang Perhutanan Sosial menyatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerh

memfasilitasi Pemegang HPHD, IUPHKm, IUPHHK-HTR, Kemitraan Kehutanan dan

Pemangku Kehutanan Pasal ayat . Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi fasilitasi pada tahap usulan permohonan, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas termasuk manajemen usaha, pembentukan koperasi, tata batas areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan hutan desa, rencana kerja usaha, dan rencana kerja tahunan, bentuk-bentuk kegiatan kemitraan kehutanan,

pembiayaan, pasca panen, pengembangan usaha dan akses pasar Pasal ayat .

Amanat tersebut tentu sejalan dengan peran Pemerintah Kabupaten sebagaimana diatur dalam Dalam Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Antara lain dinyatakan bahwa, dalam bidang pemberdayaan masyarakat dan Desa, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk menyelenggarakan Penataan Desa; Fasilitasi kerjasama antar Desa dalam satu Kabupaten; Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan Desa.

Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, jajaran pemerintah di atas Pemerintah Desa berkewajiban membina dan mengawasi (ps. 112 UU Desa). Secara spesifik Pasal 115 UU Desa menyatakan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Salah satu wujudnya adalah melakukan fasilitasi penyelenggaraan pemerintahan desa; melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa; melakukan upaya percepatan pembangunan perdesaan; dan melakukan upaya percepatan pembangunan desa melalui bantuan keuangan, bantuan pendampingan, dan bantuan teknis.

Program perhutanan sosial dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan desa jelas merupakan bagian dari pembangunan desa yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan (UU Desa, Pasal 78 ayat 1).

(16)

dan keuangan daerah. Termasuk himbauan pada pemerintah desa untuk secara sungguh-sungguh memanfaatkan perluang yang terbuka ini.

Oleh sebab itu, alih-alih sekedar sebagai pengecualian, pendelegasian kewenangan kepada provinsi cq. gubernur ini justru dapat diperkuat posisinya sebagai pilihan utama untuk menggantikan posisi Pusat cq. Menteri LHK. Dalam praktiknya, proses penerbitan hak pengelolaan dan/atau izin itu bisa didelegasikan kepada Dinas Kehutanan, misalnya. Dengan demikian peran Pusat cq. Menteri LHK betul-betul berfungsi pada tingkat penyusunan kebijakan dan pengendalian kegiatan di tingkat lapangan. Antara lain, kebijakan tentang kawasan hutan yang dapat dialokasikan.

Demikian pula, dalam satu dasa warsa terakhir, untuk mengoptimalkan pengelolaan hutan, keseluruhan kawasan hutan di Indonesia telah terbagi habis ke dalam sejumlah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (Kementerian Kehutanan, 2011).8 Maka, dalam rangka mempercepat proses perizinan, bukan tidak mungkin persetujuan atas permohonan hak dan izin pengusahaan PS dikeluarkan oleh pimpinan KPH.9

Bahwa saat ini KPH masih belum memiliki kapasitas dan masih dililit oleh sejumlah permasalahan, itu soal yang lain lagi. Kondisi itu tidak lain akibat dari kebijakan tentang KPH selama ini. Artinya, jika memang KPH yang akan menerima pendelegasian kewenangan persetujuan hak dan/atau izin PS itu, tentu ada sejumlah perubahan kebijakan tentang keberadaan KPH yang harus dilakukan. Termasuk pengembangan kapasitas untuk menjalankan kewenangan yang baru ini.

Pilihan ini menjadi masuk akal karena toh KPH memang sejak dari awal diasumsikan sudah dapat menentukan ruang kelola dan mampu memahami karekater masyarakat lokal dan/atau masyarakat adat calon pengelola PS.

Ingin dikatakan di sini, sebagaimana dikemukakan Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Institute Pertanian Bogor, 10 sejatinya di mana kewenangan pemberian hak dan/atau izin itu akan diletakkan bukanlah soal substantif dalam menuju pengelolaan hutan yang legal dan legitimate. Melainkan merupakan ekspresi dari perebutan kesempatan untuk menjadikan proses persetujuan PS sebagai ajang transaksional ekonomi rente. Peluang ini harus diminimalisir dengan mengedepankan masalah pengelolaan kawasan hutan yang

8 Kementerian Kehutanan, 2011. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi. Jakarta: Kementerian Kehutanan.

(17)

lebih rasional sebagai interest utama yang harus dikedepankan di dalam proses perumusan kebijakan.

Untuk mengatasi masalah keterbatasan dana, pada tingkat tapak, ada tiga strategi yang dapat dijalankan untuk memperkuat inisiatif perhutanan sosial di tingkat lapangan. Pertama, mengintegrasikan pengelolaan hutan desa dan hutan adat ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Kedua, mengoptimalkan pengolahan potensi yang ada menjadi produk yang memiliki nilai jual (seperti kasus buah kepayang (pangium edule), kopi, dan jahe misalnya). Ketiga, melakukan restorasi lahan.

Ketiga strategi tersebut pada muaranya adalah menjadikan pemerintah desa dan masyarakat desa sebagai aktor utama dalam pengelolaan hutan. Termasuk upaya untuk penyelamatan lingkungan. Dengan begitu, pengembangan Perhutanan Sosial di Kabupaten Merangin merupakan bagian dari kategori pemberdayaan masyarakat desa.

Dalam konteks penggunaan anggaran desa maka penyelenggaraan perhutanan sosial juga dapat dimasukkan dalam prioritas pembangunan dan masuk ke dalam berbagai dokumen perencanaan dan penganggaran di tingkat desa (RPJMDes, RKPDes, dan APBDes).

Stretegi kerja yang demikian itu sesuai pula dengan Peraturan Menteri Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 1 tahun 2015 pasal 9 tentang Bidang Pembangunan Desa, yang antara lain disebutkan dalam pengembangan ekonomi lokal desa dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan desa. Dalam pasal 14, disebutkan pula bahwa pembangunan Desa juga meliputi fasilitasi pembentukan kelompok tani.

Bahkan, saat ini, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2017 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2018 yang baru saja ditandatangani tanggal 22 September 2017 lalu, sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1, khususnya pada butir 3 tentang Kegiatan Prioritas Bidang Pemberdayaan Masyarakat Desa, huruf c. angka 1), salah dua kegiatan yang menjadi prioritas adalah kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan hutan desa dan hutan sosial. Demikian pula, sebagaimana diatur pada angka 5), salah dua bidang usaha yang dapat dikembangkan oleh Badan Usaha Milik Desa adalah kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan desa dan hutan sosial.

(18)

1.4. Isi Dokumen

Dokumen ini pada dasarnya dimaksudkan sebagai pendukung yang berisikan argementasi-argumentasi akademik atas beberapa solusi yang ditawarkan dalam mempercepat pencapaian target program Perhutan Sosial ke depan, sebagaimana secara ringkas telah diuraikan dalam bagian-bagian terdahulu. Oleh sebab itu, dokumen ini akan berisikan hal-hal berikut ini:

• Bab 1. Pendahuluan

• Bab 2. Perhutanan Sosial Sebagai Jawaban Sejarah Kelam Pengelolaan Hutan • Bab 3. Dinamika Kebijakan dan Implementasi Program Perhutanan Sosial • Bab 4. Percepatan Penetapan Hutan Adat

• Bab 5. Peran KPH dalam Perhutanan Sosial

• Bab 6. Revitalisasi Kebijakan Anggaran Untuk Percepatan Realisasi Perhutanan Sosial

• Bab 7. Optimalisasi Dana Desa Untuk Perhutanan Sosial

(19)

BAB 2. PERHUTANAN SOSIAL SEBAGAI JAWABAN SEJARAH

KELAM PENGUSAHAAN HUTAN

2.1. Dinamika masa lalu

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat adalah salah satu program strategis pembangunan kehutanan di Indonesia. Pelibatan, pemberian akses dan hak kepada masyarakat untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hutan telah menjadi keniscayaan dan paradigma untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, sekaligus menyejahterakan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan.

Lalu, keniscayaan dan paradima ini melahirkan pertanyaan bagi para penggiat

kehutanan, tentang perhutanan sosial, Apakah masyarakat mampu mengelola hutan? Apakah hutan dapat lestari apabila pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat? Mampukah masyarakat merestorasi kawasan hutan yang terdegradasi

dan terdeforestasi?

(20)

Intervensi pemerintah dan pengusaha swasta dalam pemanfaatan sumberdaya alam hutan seperti di Pilipina, Malaysia, Indonesia, Brazil, India, Thailand, Cameron dan lain-lain telah menyebabkan terdesaknya ruang hidup masyarakat untuk memperoleh manfaat dari hutan. Antiklimak dari proses ini adalah hilangnya ruang hidup masyarakat (Lebensraum) karena masuknya industri kehutanan modern yang ekspansif dan ekstensif sifatnya. Pada kasus di Indonesia, masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan kehidupannya sangat bergantung pada sumberdaya alam hutan dihadapkan pada keadaan sangat sulit ketika harus berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang menyerahkan seluruh hutan negaranya untuk dimanfaatkan oleh perusahaan swasta dan perusahaan negara. Orientasi keuntungan bagi perusahaan lebih dikedepankan dibandingkan dengan memberi peluang hidup dan dipertahankannya nilai-nilai budaya masyarakat terhadap hutan. Antiklimaks lainnya dari praktik pemanfaatan sumber daya hutan dengan menggunakan model-model kehutanan modern dan industrial adalah laju kerusakan hutan (deforestasi) yang tinggi. (Awang, 2005)

Mengacu pada Awang 2005, atau beberapa referensi lain, model penguasaan negara atas sumberdaya hutan dan memandang hutan sebagai sumber ekonomi, sebenarnya sudah berlangsung sejak jaman kolonial Belanda, Jepang, yang berlanjut hingga Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Bahkan setelah masa reformasi di awal tahun 2000-an, komoditas kayu masih menjadi andalan sebagai sumber devisa negara.

Pada zaman kolonial Belanda, sumberdaya hutan (SDH) di Jawa sudah memasuki masa eksploitasi tahap kedua, karena eksploitasi tahap pertama sesungguhnya sudah dimulai pada zaman raja-raja. Pada zaman kolonial pelaku eksploitasi SDH adalah VOC dan pengusaha etnik Cina. Penebangan hutan pada masa itu diutamakan untuk memenuhi kebutuhan kayu jati guna pembuatan kapal-kapal kayu yang industri perkapalannya berada di pantai utara Jawa dan industri perkapalan yang ada di Rotterdam dan Amsterdam (Peluso, 1992; Simon, 1999; Awang 2005). Pembuatan kapal-kapal kayu yang dipergunakan untuk kepentingan perdagangan hasil-hasil bumi dari Indonesia ke Luar Negari.

Sedang di luar jawa, Kegiatan eksploitasi kayu terjadi sebelum tahun 1967 dimulai dengan cara-cara sporadis yang dilakukan oleh masyarakat melalui sistem

(21)

penduduk (transmigrasi), migrasi penduduk secara spontan, kegiatan penebangan kayu dan pembukaan wilayah hutan untuk eksploitasi hutan (Potter 1991; Awang 2005).

Pasca Kemerdekaan, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru, sumberdaya hutan menjadi andalan pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah minyak dan gas bumi. Kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap pemanfaatan SDH adalah memanfaatkan semaksimal mungkin hutan alam primer sehingga kegiatan tersebut mampu membuka isolasi wilayah-wilayah di luar Jawa, dan sekaligus mendatangkan devisa yang besar bagi kepentingan pembangunan nasional. Dalam Hidayat (2008) menyebutkan bahwa Pemerintahan Soeharto memperoleh devisa asing yang besar industry kehutanan, keseluruhannya mencapai 3 miliar US dolar tahun 1990-an, dan ini merupakan pendapatan nasional terbesar kedua setelah sektor minyak bumi.

Pada era orde baru, hutan-hutan alam dieksploitasi melalui pemberian konsesi-konsesi pengusahaan berupa HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dengan menebang kayu gelondongan (log) dan mengekspornya. Sumatera dan Kalimantan adalah sasaran pertama eksploitasi hutan karena mempunyai stok kayu komersil terbesar, dan paling dekat dengan pusat pasar asia, seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, Korea Selata, dan Jepang. Dalam hubungan ini, perusahaan swasta, baik dalam negeri dan transnasional diizinkan untuk mengoperasionalkan kegiatan usahanya di sector kehutanan di Indonesia, yaitu dengan mendaftarkan perizinan usahanya di Departemen Kehakiman. Banyak perusahaan transnasional telah membentuk joint operation dengan perusahaan swasta dalam negeri untuk mengoperasikan konsesi HPH. (Hidayat, 2008).

(22)

Dan sebaliknya, Hidayat (2008) menyebutkan bahwa keadaan ekonomi masyarakat sebagai penggunal lebih awal atas sumber daya hutan dan produksi kayu menjadi lebih buruk, setelah beroperasinya konsesi HPH di berbagai daerah oleh pengusaha transnasional dan dalam negeri, sebagaimana temuan lapangan oleh penelitian. Meskipun, pemerintah masih mengakui hak-hak hutan adat masyarakat lokal, masyarakat lokal hanya diperbolehkan untuk mengumpulkan produksi sumber daya hutan-non hutan. Dengan demikian, konflik lahan antara masyarakat lokal dan pemilik konsesi HPH telah dilaporkan terjadi luar di berbagai daerah.

2.2. Masa baru, tantangan baru

Dalam Era Reformasi, pembangunan dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Terdapat hal dilematis dalam kebijakan kehutanan. Disatu sisi, Pemerintah Pusat dianggap mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, disisi lain ketika kabupaten beserta masyarakatnya diberikan kesempatan yang lebih luas untuk mengelola hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan (Putu Oka dkk, 2008 dalam Taqwaddin, 2012).Hal ini terbukti, selama tahun 1997-2000, pada awal era otonomi daerah, angka perusakan hutan meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi 2,83 juta hektar karena euforia reformasi yang menyebabkan pembabatan hutan secara besar-besaran. Namun sejak tahun 2002 hingga 2005 angka kerusakan hutan sudah mulai turun menjadi 1,18 juta hektar pertahun. (Setiawan 2007, dalam Taqwaddin, 2012)

Posisi masyarakat dalam era reformasi lebih kuat dengan menaikkan posisi tawar masyarakat di hadapan para pengusaha HPH. Banyak masyarakat yang mempunyai keberanian untuk menyatakan ketidaksukaannya terhadap HPH dengan berbagai aksi perlawanan karena HPH sudah mengambil kekayaan di atas hutan adat mereka, dan juga HPH tersebut tidak memberikan kesejahteraan dan bagi hasil kepada masyarakat sekitar hutan. Banyak HPH di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, Riau, tidak dapat melaksanakan operasi penebangan kayu karena dilarang oleh masyarakat, alat-alat berat di sita oleh masyarakat dan portal jalan-jalan desa yang dilewati oleh mobil pengangkut kayu di tutup. Ada komunitas masyarakat yang menuntut ganti rugi kayu-kayu dalam kawasan hutan adat mereka dengan kompensasi ratusan juta rupiah sampai milyaran rupiah. Apabila ganti rugi seperti ini sudah diselesaikan, barulah HPH tersebut dapat beroperasi kembali. (Awang, 2005).

(23)

karena eksploitasi hutan oleh mereka telah menyebabkan deforestasi yang meluas. Sayangnya pencabutan izin ini tidak diikuti dengan percepatan penetapan siapa pengelola berikutnya di areal eks HPH tersebut sehingga menjadi areal open acces yang dibuka dan diduduki oleh masyarakat untuk kegiatan perladangan dan pembangunan kebun-kebun rakyat. Kegiatan pembalakan liar (illegal logging) di Jawa dan Luar Jawa menjadi sangat mengkhawatirkan yang menyebabkan tingkat deforestasi sangat tinggi. Pada tahun 1980 laju deforestasi di Indonesia rata-rata sebesar 1 juta ha, kemudian meningkat menjadi 1,7 juta ha pada tahun 1990-an, dan sejak tahun 1996 deforestasi mencapai 2 juta ha per tahunnya (FWI/GFW, 2001, dalam Awang 2005).

Dalam Sese Tolo (2013) menegaskan bahwa melihat sejarah tata kelola kehutanan Indonesia maka dapat ditarik inferensinya bahwa kerusakan hutan disebabkan oleh kebijakan tata kelola kehutanan yang dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi global. Hal ini nampak dalam dua hal yakni: pertama, kebijakan ekonomi politik yang pro terhadap investasi, baik asing maupun domestik, dalam sektor kehutanan, pertanian, dan pertambangan, yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, telah berkontribusi terhadap kerusakan hutan di Indonesia. Kebijakan ekonomi politik pro investasi ini sangat nampak dalam pemerintahan kolonial, Orde Baru dan pasca Orde Baru.

Kedua, kegagalan untuk mengatasi deforestasi dan degradasi hutan disebabkan oleh kegagalan untuk menentukan penyebab utama deforestasi (the failure to address the fundanmental driver) dan tendensi untuk melihat sektor kehutanan sebagai entitas yang terpisah dari sektor lain (the tendency to view the forest sector in isolation from other sectors) . Tendensi seperti ini menimbulkan kontradiksi kebijakan antar-departemen. Regulasi yang dibuat oleh departemen dalam kabinet pemerintahan cenderung tumpang-tindih. Singkatnya, deforestasi di negara berkembang, termasuk di Indonesia, terjadi karena kemiskinan, rendahnya kapasitas manajemen, dan buruknya kebijakan ekonomi politik (Ricketts 2010, Dalam Sese Tolo, 2013).

(24)

hutan oleh elit pemerintahan. (Dalam Sese Tolo, 2013). Konsep trickle down effect atau pertumbuhan dalam pendekatan state based untuk pemerataan ternyata tidak serta-merta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan kesejahteraan antar masyarakat, khususnya antara masyarakat yang memiliki akses terhadap manfaat hutan (pengusaha hutan, dan elit lokal) dan masyarakat kebanyakan yang memiliki keterbatasan akses terhadap manfaat hutan. Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia (pendidikan, sosial ekonomi, dan informasi) mengakibatkan semakin terbatasnya akses masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terhadap manfaat ekonomi hutan. Oleh karena itu, kapasitas masyarakat harus ditingkatkan agar akses terhadap sumberdaya hutan meningkat.

Kondisi ini menjadikan sebuah pemikiran untuk menciptkan pendekatan pengelolaan hutan yang lebih memberikan keseimbangan pada aspek sosial, kelestarian hutan, dan juga ekonomi. Pendekatan pengelolaan hutan yang lebih mengedapankan pemberdayaan masyarakat dan prosperity approach (pendekatan kemakmuran), lalu ke Community Based Forest Management/CBFM yang pada perkembangannya, saat ini dikemudian dikenal dengan Social Forestry/Perhutanan Sosial. Program social forestry dapat mengambil peran ke depan untuk mengakomodir keinginan, hasrat dan harapan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Pengembangan social forestry dalam pengelolaan hutan harus dapat membalikkan paradigma dari pendekatan yang bersifat top down menjadi bottom up atau pendekatan partisipatif dan mengutamakan partisipasi masyarakat setempat. Strategi optimum pengembangan social forestry untuk masyarakat adalah pemberian kesempatan pengelolaan hutan kepada masyarakat dengan ketentuan-ketentuan yang memberi insentif pada efesiensi dan keberlanjutan usaha dan kelestarian hutannya, tanpa harus membagi-bagi dan menyerahkan kepemilikan areal hutan pada masyarakat pelaku ekonomi.

(25)

Secara nasional, kebijakan CBFM (Community Based Forest Management – Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) baru dimulai pada era Kabinet Pembangunan VI. Menteri Kehutanan Djamaluddin Suryohadikusumo menerbitkan dua program sekaligus—yakni Hutan Kemasyarakatan (1995) dan PMDH – Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (1997). Kedua program tersebut terus berlanjut dalam tiga kabinet berikutnya—meliputi Kabinet Pembangunan VII, Kabinet Reformasi Pembangunan, dan Kabinet Persatuan Nasional. M Prakosa—Menteri Kehutanan Kabinet Gotong-Royong—mencabut Program PMDH pada tahun 2004 dan meluncurkan Program Social Forestry di tahun yang sama. Perubahan signifikan dalam perkembangan kehutanan masyarakat terjadi dalam era kepemimpinan MS Kaban. MS Kaban memperbaharui Program Hutan Kemasyarakatan dengan adanya pemberian ijin pengelolaan kepada masyarakat. Di samping itu, dikeluarkan juga kebijakan Hutan Desa (HD) yang memungkinkan lembaga Desa mendapatkan hak pengelolaan hutan. (Santoso, 2015).

Program kehutanan masyarakat mengalami kemajuan yang significan dengan

masuknya istilah Perhutanan Sosial ke dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) periode 2010-2014, yang sudah menyatakan target seluas 1 juta hektar. Hal ini lebih diperkuat lagi pada era Presiden Joko Widodo, yang menetapkan RPJMN 2015-2019, ditargetkan alokasi lahan hutan untuk Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta hektar, dalam skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Hak, termasuk Hutan Adat. Momen ini bersamaan dengan lahirnya Eselon I yang secara khusus mendapat tanggungjawab untuk melaksanakan Perhutanan Sosial, yaitu Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan hingga sekarang.

2.3. Nawacita dan Ketimpangan Ekonomi dalam Pemanfaatan Sumber

Daya Hutan

Dokumen Jalan Perubahan Menuju Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan berkepribadian, Visi, Misi, dan Program Aksi Joko Widodo – M. Jusuf Kalla yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) memuat sembilan agenda prioritas yang dinamakan Nawacita. Dengan terpilihnya Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden (2014-2019), dokumen itu meningkat statusnya sebagai Janji Politik dan sekaligus amanat rakyat kepada Presiden terpilih untuk melaksanakannya.

(26)

ekonomi semesta dan nasional Indonesia yang mengarah pada kemandirian ekonomi negara. Secara ideologi dan metodologi, Nawacita dijadikan rujukan pembuatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 dan diturunkan menjadi program yang dijalankan oleh kementerian dan lembaga pemerintah pusat melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP).

Secara esensial, Nawacita memuat agenda reforma agraria dan strategi membangun Indonesia dari pinggiran dimulai dari daerah dan desa. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-1019 memuat pula komponen-komponen program Reforma Agraria secara terpisah-pisah.

Program reforma agraria muncul sebagai bentuk keprihatinan terhadap pemasalahan yang paling mendasar dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini, yang dapat dikelompokkan dalam lima hal yaitu kemiskinan pengangguran, ketimpangan sosial, tanah-tanah terlantar, dan sengketa serta konflik pertanahan. Data kependudukan, jumlah orang miskin mencapai 11,22% dari total populasi Indonesia, berada di Pedesaan dan pada umumnya adalah petani dan ternyata sekitar 90% adalah pekerja. Kemiskinan terjadi akibat tidak adanya akses mereka kepada faktor-faktor Produksi, termasuk tanah. Berdasarakaan data terakhir diperoleh informasi bahwa jumlah Petani Gurem (menguasai tanah kurang dari 0,5 Hektar) rnencapai 56% dari total jumlah petani. Disamping ketersediaan tanah yang dimiliki sangat terbatas, kondisi tanah yang berada dalam sengketa/konflik/perkara semakin menutup kesempatan bagi rakyat untuk memanfaatkan tanah secara optimal. Hal ini juga terjadi pada pada kawasan hutan yang menyimpan potensi tetapi tidak termanfaatkan. Berdasarkan data luas areal Hutan Produksi yang dapat di konversi mencapai 13,8 juta ha. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa potensi sumber daya tanah yang dapat dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat cukup tersedia dan patut dikelola secara professional.

Persoalan lain yang dihadapi bangsa yaitu pengangguran. Jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2015 sebanyak 7,56 juta orang, bertambah 320 ribu orang dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu 7,24 juta jiwa yang setengahnya berada di pedesaan. Kedua hal tersebut diatas mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial.

(27)

langsung menyentuh rakyat yang mengalami kemiskinan dan pengangguran atau fokus pada tataran mikro. Kebijakan yang efektif dan fundamental dapat menurunkan kemiskinan dan pengangguran, yang pada tataran makro sekaligus dapat memperkuat stabilitas perekonomian. Kebijakan yang dipandang mampu mewujudkan semua itu adalah kebijakan Reforma Agraria yang sejalan dengan Nawacita Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau yang dikenal sebagai UU Pokok Agraria (UUPA) merupakan rujukan pokok bagi kebijakan dan pelaksanaan reforma agraria. Pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang digariskan UUPA dimaksudkan untuk memastikan tanah tidak dimonopoli oleh segelintir penguasa tanah, dengan mengorbankan golongan ekonomi lemah yang hidupnya tergantung pada tanah, terutama para petani produsen makanan.

Sementara itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memberi landasan sektoral bagi pengaturan jurisdiksi baru bagi keberadaan kawasan hutan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pengakuan hak-hak tenurial masyarakat memperoleh momentum dengan Putusan MK 45/ PUU-IX/2011 dan Putusan MK 35/PUU-X/2012. Selanjutnya, momentum itu berada pada babak yang

sama ketika komitmen hutan untuk rakyat forest for people) di Kementerian Kehutanan hingga 2014, dan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) semakin menguat dengan mengakselerasi pemberian izin perhutanan sosial untuk kelompok masyarakat dan desa

Reforma Agraria adalah proses alokasi dan konsolidasi kepemilikan, penguasaan/akses, dan penggunaan lahan. Reforma agraria dilakukan melalui 2 program utama, yaitu alokasi kepemilikan lahan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) dan pemberian legalitas akses Perhutanan Sosial kepada masyarakat bawah. Kedua program ini sebagai bentuk reformas agrarian telah menjadi target nasional yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019.

(28)

Tanaman Rakyat), HKm (Hutan Kemasyarakatan), HD (Hutan Desa), Hutan Adat, dan Hutan Rakyat.

2.4. Ketercapaian Perhutanan Sosial dan Kebutuhan Reformulasi

Kebijakan

Target pencapaian Perhutanan Sosial seperti yang dimandatkan oleh RPJMN 2015-2017 masih jauh dari angka 12,7 juta ha. Sampai trimester akhir 2015-2017, capaian pemberian ijin Perhutanan Sosial secara kumulative mencapai sekitar 1 juta ha melalui skema HKm, HTR, HD, Kemitraan, dan Hutan Adat. Secara lengkap, pencapaian kumulative pemberian ijin Perhutanan Sosial, dapat dilihat pada gambar 2.1 dibawah ini.

(29)

(Sumber: http://perhutanan-sosial.id/#statistik (DG PSKL, KLHK)

(Sumber: http://perhutanan-sosial.id/#statistik (DG PSKL, KLHK)

Gambar 1.2. Pencapaian ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017 pasca terbitnya Permen LHK No 83 2016 tentang Perhutanan Sosial

(30)

2.5. Mempercepat Realisasi Perhutanan Sosial

Satu jalan cepat yang dapat ditempuh adalah peran aktif Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan pemerintah desa (atau nama lainnya: nagari, negeri) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Langkah pertama, Menteri LHK bersama-sama Mendagri, dan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi mendeklarasikan bahwa kawasan hutan negara yang berada di dalam wilayah administrasi desa pengelolaannya didevolusikan kepada desa. Secara teknis operasional, deklarasi ini ditindaklanjuti oleh Direktur Jenderal, Dinas Kehutanan Provinsi, KPH dan pemerintah desa. KPH yang sudah aktif baik yang sudah mempunyai dokumen RPHJP maupun belum, dapat diminta oleh Ditjen PSKL untuk segera mengajukan usulan areal PS yang berada di dalam kawasan hutan KPHnya. Areal PS yang diusulkan tersebut sudah merupakan hasil identifikasi luas dan batas kawasan hutan bersama-sama masyarakat desa yang akan menerimanya. Batas areal hutan yang diusulkan dapat menggunakan batas administratif desa. Dengan kata lain kawasan hutan negara yang diusulkan oleh pemerintah desa melalui KPH dan Dinas Kehutanan Provinsi untuk PS adalah kawasan hutan yang masuk kedalam wilayah administrasi desa (wilayah pangkuan atau wewengkon atau pertuanan). Kawasan hutan yang diusulkan tersebut segera disahkan oleh Kementerian LHK.

Gambaran umunya adalah sebagai berikut: Jika kita menggunakan data PODES BPS yang sudah di-overlay dangan peta BAPLAN 2006 & 2008, luas hutan negara yang berada di dalam wilayah administrasi desa adalah 22 juta Ha, hampir dua kali lipat dari luas target PS 12,7 juta Ha. BPS (2015) menyebutkan bahwa pada tahun 2014 jumlah rumahtangga desa hutan sekitar 8,6 juta. Jumlah desa sekitar 20.000, jadi rata-rata per desa 1000 ha. Areal hutan 1000 ha itu dapat dikelola semuanya sebagai HD atau semuanya HKm (rata-rata 2 ha per rumahtangga), atau sebagian HD dan sebagian HKm. Jika dibuat rata-rata per rumahtangga mendapatkan 1-2 Ha. Apakah pengelolaannya dengan HD, HKm, HTR atau kemitraan sepenuhnya diputuskan dan disepakati di tingkat masyarakat desa masing-masing melalui musyawarah dan konsensus pemerintah desa, BPD, dan masyarakat desa.

(31)

Langkah kedua, KPH melakukan pembinaan teknis, kelembagaan dan manajemen bisnis. Langkah kedua ini butuh waktu, komitmen para pihak dengan kompetensi dan perannya, dan pendanaan. KPH dapat meminta bantuan kepada perguruan tinggi/ universitas setempat, LSM, atau pelaku bisnis dalam pembinaan masyarakat tersebut, termasuk memfasilitasi kerjasama masyarakat dengan pelaku bisnis. Pembinaan teknis kegiatan ekonomi produktif berbasis sumberdaya hutan (kayu, bukan kayu, dan jasa lingkungan) dalam kerangka pengelolaan hutan maupun kegiatan ekonomi produktif di luar kehutanan perlu segera dilakukan untuk membangkitkan pendapatan masyarakat desa dan KPH. KPH dapat membantu penguatan kelembagaan masyarakat desa, misalnya BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), peraturan desa atau aturan-aturan adat untuk pengelolaan hutan. Kelembagaan masyarakat desa diperkuat untuk mewujudkan keadilan distribusi tanggung jawab dan manfaat atas sumberdaya hutan dan kelestarian hutan. KPH juga dapat membantu penguatan kapasitas manajemen bisnis masyarakat.

Kapasitas KPH sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat tapak, termasuk keberhasilan PS. SDM KPH yang selama ini masih sangat terbatas semestinya sudah mulai membaik sehubungan dengan proses mutasi dan penataan SDM dari Dinas Kehutanan Kabupaten dan UPT-UPT Pusat. Infrastruktur KPH untuk mendukung kegiatan pelayanan oleh KPH kepada masyarakat perlu ditingkatkan, misalnya kendaraan dan perlengkapan kantor.

Dinas-dinas dan badan-badan PEMDA yang terkait (Dinas kehutanan, pertanian, industri, pariwisata, pekerjaan umum) disinergikan untuk membangun desa hutan. KPH menjadi penggerak atau yang memobilisir sumberdaya yang tersedia di daerahnya, bahkan dapat menjalin kerjasama atau membangun jejaring dengan para pihak yang lebih luas. KPH harus diberi kewenangan yang luas. Kementerian LHK mendukung peran KPH dalam pembinaan masyarakat, dalam bentuk dukungan anggaran, kebijakan/regulasi, koordinasi dan sinergi di level kementerian/lembaga negara, lembaga donor, ilmu pengetahuan, jejaring nasional dan internasional, monitoring dan evaluasi kenerja. Demikian pula pemerintah provinsi mendukung anggaran (APBD), pembinaan SDM, regulasi daerah, koordinasi dan sinergi dinas-dinas dan badan-badan di level provinsi dan kabupaten.

(32)

pedesaan industri pengolahan hasil hutan sudah berjalan. Secara umum kegiatan industri lebih produktif dan lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha produksi primer, sehingga dapat lebih meningkatkan pendapatan rumahtangga dan masyarakat desa. Oleh karena itu pengembangan PS tidak berhenti hanya pada pengelolaan hutan di tingkat tapak, tetapi perlu diintegrasikan dengan pengembangan industri dan jasa kehutanan di pedesaan. Generasi muda pedesaan diharapkan lebih tertarik dan dapat berkiprah dalam bisnis industri berbasis sumberdaya hutan (dan pertanian dalam arti luas) di pedesaan. Sudah ada beberapa contoh sukses dari sarjana-sarjana yang terjun di bisnis agroindustri. Hubungan saling ketergantungan para warga desa yang menjadi pelaku bisnis kehutanan akan menjaga kelestarian hutan.

(33)

BAB 3. DINAMIKA KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI

PROGRAM PERHUTANAN SOSIAL

3.1. Pengembangan Konsep Perhutanan Sosial

Sejak zaman pra kemerdekaan, Sumberdaya Hutan (SDH) bagi berbagai komunitas di Indonesia telah memiliki nilai ekonomi dan ekologi, serta makna sosial, budaya, dan politik. Dengan kata lain, SDH juga berperan dalam pembentukan peradaban kehidupan manusia di Indonesia, sehingga setiap budaya dan etnis memiliki konsep dan pandangan tersendiri tentang penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Dalam prakteknya, pengelolaan hutan oleh masyarakat juga telah lama dikenal dengan nama lokal seperti: gampong di Aceh, tombak di Tapanuli Utara, repong di Lampung, talun di Jawa Barat, tembawang di Kalimantan Barat, lembo dan simpukng di Kalimantan Timur, mamar di Nusa Tenggara Timur dan sebagainya.

Bahkan dari bukti sejarah yang ada, masyarakat Jawa kuno pada abad ke-9 di masa kerajaan Medang (Mataram Kuno) telah mengenal istilah tuha alas, juru alas, pasuk alas dan tuha buru yang menunjukkan peran dari masyarakat yang ditunjuk untuk mengawasi hutan dan mengelola perburuan satwa. Informasi seperti ini antara lain terdapat pada prasasti Jurungan (876 M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830), Kubukubu (905), Sarsahan (908), dan Kaladi (909).11

Menurut catatan, pada masa itu sebagian besar hutan di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, ditumbuhi pohon-pohon jati yang keadaannya hampir murni dalam larikan-larikan teratur . 12 Perdebatan terjadi di kalangan ahli kehutanan Eropa, yaitu antara kelompok ahli yang menganggap hutan jati sebagai hutan alam namun dipelihara oleh masyarakat setempat, dengan kelompok ahli yang menganggap bahwa pohon-pohon jati itu ditanam oleh orang-orang Hindu yang berasal dari Hidustan, India. Pendapat kelompok yang kedua ini dapatlah disebut sebagai cikal bakal pendapat tentang pengelolaan hutan oleh rakyat yang berkembang di kemudian hari.13

Pada akhir abad 18 kondisi hutan di Jawa mulai mengalami degradasi yang sangat serius. Kondisi ini membuat pemerintah kolonial Belanda menugaskan Gubernur Jendral Herman Willem Daendels untuk melakukan rehabilitasi dan reforestasi kawasan hutan pada awal abad 19. Untuk itu Daendels membentuk Dienst

11 SusantioD _ (Arkeolog : Sinar Harapan, Jumat, 17 November 2006) 12 Djadjapertjunda 2001, hal 81

(34)

van het Boschwezen (Jawatan Kehutanan) serta mengeluarkan Peraturan Pemangkutan Hutan di Jawa yang selanjutnya dikembangkan menjadi Baschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Undang-Undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865), disusul dengan peraturan Domeinverklaring 1870 yang mengklaim bahwa tanah hutan (forest land) yang tidak dibebani hak privat menjadi domain negara.14 Dengan berlandaskan pada rangkaian peraturan tersebut, jawatan kehutanan kolonial (Boschwezen) membuat batas politik dan administratif terhadap kawasan hutan dan pertanian, dan mulai membangun hutan jati dengan menerapkan prinsip-prinsip kehutanan modern. 15

Dalam rangka meningkatkan pengamanan hutan dari gangguan pencurian

kayu dan menekan biaya produksi, jawatan kehutanan kolonial mulai melibatkan masyarakat lokal sebagai buruh, antara lain dalam proses pemanenan kayu.16 Selain itu, jawatan kolonial juga memanfaatkan tenaga masyarakat setempat dalam pembuatan hutan tanaman yang dimulai sejak tahun 1873, melalui aktivitas yang dikenal sebagai tumpangsari. Salah satu rimbawan kolonial yang mengembangkan konsep ini adalah Buurman van Vreeden.17 Metode tumpangsari diadopsi dari konsep taungya yang dikembangkan jawatan kehutanan kolonial Inggris di Myanmar/Burma. Konsep dasar taungya sendiri diadopsi dari sistem hutan kerakyatan masyarakat adat Karen.18

Sementara itu, beberapa ahli kehutanan kolonial mulai mengembangkan kajian tentang pola-pola pengelolaan kekayaan hutan oleh masyarakat. Salah satu pemikiran yang berkembang adalah pendapat ilmiah yang mengatakan bahwa pohon-pohon jati di Jawa ditanam oleh para pendatang yang berasal dari Hindustan, India.19 Seperti telah disebutkan, pemikiran ini dianggap sebagai cikal bakal kajian tentang kehutanan masyarakat. Beberapa ahli kehutanan kolonial lainnya mulai meneliti sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat di beberapa tempat di kepulauan Nusantara. Salah satu sistem hutan kerakyatan di Kalimantan Barat, yaitu tembawang, pertama kali dilaporkan oleh ilmuwan Belanda tahun 1848. Sementara, keberadaan kebun damar di Lampung dan kebun kemenyan di Sumatra Utara, yang keduanya merupakan kebun campur yang dikelola dengan meniru pola hutan alam, dilaporkan oleh ilmuwan Belanda sekitar tahun 1850.20

14 Soepardi (1974), Peluso (1992), Simon (2001) 15 Siscawati dan Muhshi (2008)

16 Peluso (1992)

(35)

Pada tahun 1942-1945 sebelum kemerdekaan kondisi rawan pangan dan kemiskinan yang parah membuat pemerintah memberikan hak milik kepada masyarakat yang mengelola hutan untuk tujuan pangan. Mengiringi kelahiran Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, pemerintah pada tahun 1960-an mencanangkan dan memberikan hak kepada masyarakat yang tinggal di dalam kawasan hutan di beberapa wilayah di Lampung dalam bentuk Hak Garap Keluarga selama 10 tahun. Masyarakat yang terbukti menggarap dengan baik akan memperoleh hak milik. Program ini berjalan sampai dengan tahun 1965 dan bukti kepemilikan tanah dari prose-proses ini sering diabaikan (Sirait 2008, Komunikasi Personal)21.

Dalam UU nomor 5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan konsep dan istilah Perhutanan Sosial masih belum muncul. Bahkan pengurusan Hutan Milik yang dilakukan oleh pemiliknya diatur dengan bimbingan Menteri dan dapat dituntut apabila bertentangan dengan aturan dan kepentingan umum. Kemudian dalam UU Pokok Kehutanan No. 41/1999, sebagai kebijakan yang menggantikan UU Pokok Kehutanan tahun 1967, pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal dimasukkan kedalam keseluruhan kerangka kerja kehutanan yang sah, walaupun sistem lokal ini masih berada di bawah kehutanan pemerintah.

Penyelenggaraan Kongres Kehutanan Dunia ke 8 pada tahun 1978 di Jakarta yang mengusung tema Forest for People dianggap sebagai tonggak awal perhutanan sosial dunia. Ini adalah respons dunia kehutanan terhadap dampak-dampak negara dari sistem pengelolaan hutan yang dominan ketika itu. Pada tahap ini program perhutanan sosial diadopsi dan secara bertahap dan dilembagakan ke dalam sistem pengelolaan hutan oleh negara, meskipun hak kepemilikan dan pemanfaatan oleh masyarakat tradisional masih dianggap tidak sah.

Istilah Social Forestry sendiri, pertamakali dipublikasikan oleh Jack Westoby seorang ekonom kehutanan FAO pada tahun 1968. Social Forestry dipandang sebagai strategi pembangunan kehutanan, yaitu suatu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi bagi masyarakat (Tewari 83)22.

Sebenarnya Perhutani telah mulai melakukan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) pada tahun 1972 yang ditandai dengan program tumpang sari Ma-Lu (Mantri Lurah) dan Ma-Ma (Magelang Magetan). Selanjutnya Ford Foundation pada tahun 1980-an mendukung Pehutanan Sosial di Jawa dan pada tahun 1984-1985 melaksanakan studi di luar Jawa (Kalimantan, Sulawesi, dan Papua). Hasil studi

(36)

ini kemudian mendorong lahirnya kebijakan HPH Bina Desa dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan: 691/1991. Selanjutnya HPH Bina Desa dirubah menjadi PMDH (Pembinaan Masyarakat Desa Hutan) dengan SK Menhut: 69/1995 jo SK Menhut.523/1997.

Pada masa itu kegiatan tumpang sari Perhutani hanya memberikan kesempatan kepada masyarakat menanam padi, jagung dan palawija di sela-sela pohon jati. Sementara program HPH Bina Desa dan PMDH yang dilakukan pengusaha hutan memisahkan masyarakat dari hutan. Kegiatannya berupa bantuan sosial, pembangunan jalan, jembatan dan masjid serta mengajari masyarakat menanam padi secara menetap dan meninggalkan perladangan.

Demikian juga dengan kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diperkenalkan pertama kali oleh pemerintah dengan SK Menhut: 622/1995. HKm generasi awal ini berupa penunjukan masyarakat oleh pemerintah untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan. Jadi perhutanan sosial pada masa-masa awal ini masih melihat masyarakat sebagai obyek dan bukan sebagai subyek pengelola hutan.

Berangkat dari berbagai hasil penelitian dan investigasi dari peneliti dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terhadap praktek-praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat di berbagai wilayah nusantara, pada tahun 1993 beberapa LSM seperti: Walhi, Latin, LLBT di Kalbar, Plasma Kaltim dan lain-lain, memperkenalkan konsep pengelolaan hutan oleh rakyat sebagai Sistem Hutan Kerakyatan (SHK). Selanjutnya pada tahun 1997, jaringan LSM pendukung SHK membentuk Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) untuk tujuan kampanye dan promosi. Saat itu Pemerintah dan LSM termasuk perguruan tinggi berada pada posisi yang saling berseberangan karena belum adanya dialog yang produktif. Kemudian interaksi melalui kolaborasi untuk membangun saling percaya antara para pihak mulai berjalan dengan lahirnya Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) pada bulan September 1997. Dialog kebijakan mulai sering dilaksanakan dan perbaikan kebijakan mulai dilakukan dengan mempertimbangkan masukan para pihak. Kebijakan HKm diperbaiki dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek pengelola hutan melalui SK Menhut: 677/1998 jo SK Menhut: 865/1999 jo SK Menhut: 31/2001.

Dengan kebijakan HKm yang baru masyarakat mendapatkan izin kegiatan HKm berupa izin sementara 3-5 (tiga sampai lima) tahun sebelum mendapatkan izin definitif selama 25 tahun. Menteri Kehutanan menerbitkan 26 Izin sementara kegiatan HKm di 8 (delapan) propinsi dengan luas 19.073 hektar.23 Namun sampai

(37)

habis masa izin sementara tersebut tidak ada izin definitif yang diterbitkan oleh pemerintah. Bahkan pada tahun 2004 pemerintah menerbitkan Permenhut: 1/2004 tentang Sosial Forestry yang mengaburkan HKm dan tidak memberikan solusi terhadap izin sementara kegiatan HKm yang tidak berlanjut. Sehingga kegiatan HKm pada waktu itu berjalan mandeg dan tidak berkembang.

Sesaat sebelum era reformasi bergulir, peristiwa penting yang juga turut menandai era baru perhutanan sosial adalah keluarnya SK Menteri Kehutanan tahun 1998 yang menetapkan (daerah) Krui sebagai Kawasan dengan Tujuan Istimewa (KdTI), yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum pada tingkatan yang lebih tinggi, sehingga dapat dilihat sebagai sebuah terobosan dari Menteri Kehutanan yang cukup progresif ketika itu.24

Peraturan Pemerintah: 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan Penyusunan Rencana Pengelolalaan dan Pemanfaatan Hutan sebagai revisi terhadap PP 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, telah memberikan dasar hukum yag lebih kuat terhadap perhutanan sosial. Tidak hanya mengatur HKm, peraturan pemerintah ini juga memperkenalkan Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Kemitraan. Berdasarkan PP 3/2008 kemudian pemerintah menetapkan peraturan operasional tentang Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat. Peraturan operasional ini beberapa kali dirubah dan terakhir adalah: Permenhut: P.89/2014 tentang Hutan Desa, Permenhut: P.88/2014 tentang Hutan Kemasyarakatan dan Permenhut: P31/2013 tentang Hutan Tanaman Rakyat. Peraturan operasional tentang kemitraan yang paling terakhir ditetapkan dengan Permenhut: P 39/2013.

PP 3/2008 dengan peraturan operasionalnya merupakan tonggak penting perkembangan perhutanan sosial di Indonesia, karena untuk pertama kali masyarakat memperoleh hak/izin mengelola dan memanfaatkan hutan selama 35 tahun. Hal ini ditandai dengan Pencanangan Penetapan Areal Kerja dan Pemberian Izin Definitif HKm oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla pada tanggal 27 Desember 2007 di Gunung Kidul Yogyakarta.

Namun perkembangan perhutanan sosial selanjutnya berjalan sangat lambat. Kelompok masyarakat yang mengajukan HKm dan Lembaga Desa yang mengajukan HD bisa menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan SK PAK (Penetapan Areal Kerja) dari Menteri serta menunggu bertahun-tahun pula untuk mendapatkan HPHD dari gubernur dan IUPHKm dari Bupati. Selain itu pemberian hak/perizinan sering kali dikaitkan dengan event-event politik, dan di lapangan masyarakat untuk

Gambar

Tabel 1.1. Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)3
Gambar 1.2. Pencapaian ijin Perhutanan Sosial sampai trimester akhir 2017 pasca terbitnya Permen LHK No 83 2016 tentang Perhutanan Sosial
Tabel 3.1. Kategori Perhutanan Sosial dan Statusnya
Tabel 3. 2.  Capaian Perhutanan Sosial (sampai November 2017)26
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penyelenggaraan reforma agraria di Indonesia dalam naungan pemerintahan Joko Widodo perlu menyiapkan sebuah lembaga baru untuk membantu percepatan.. perhutanan sosial

Proses penyusunan dokumen RPJMD Kabupaten Trenggalek pada dasarnya dilaksanakan melalui tahapan penyusunan rancangan awal RPJMD, penyusunan rancangan RPJMD, musrenbang

Rasio kas pada tahun 2012 mendapat skor 7.50 dengan bobot skor persentase 0 sampai 10 sehingga dapat dikatagorikan Cukup Likuid, dan pada tahun 2013 masih dengan skor

Universitas Negeri Semarang. Permasalahan tentang perlindungan hak merek pada masyarakat Kota Semarang merupakan permasalahan yang penting bagi para pengusaha baik

Tersedianya regulasi hak dan akses masyarakat atas hutan Luas pemanfaatan di bawah tegakan hutan dalam bentuk agroforestry pada kegiatan HD, HKm, HTR, HR seluas 250.000 ha

Kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam Undang-Undang Bea Meterai Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi di Indonesia di

Mengerjakan Soal Latihan Tugas : Makalah / Paper tentang Budidaya Tanaman Porang - Ketepatan dan penguasaan Materi 14-16 Menjelaskan Teknik Budidaya, Pengolahan

Peneliti menggunakan pedoman observasi sebagai pedoman pengamatan terhadap berbagai kegiatan yang sedang berlangsung di kelas ketika peneliti melakukan