• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum

a. Pengaturan Berdasarkan Hukum Internasional

Pengaturan di dalam Hukum Internasional terhadap pencemaran minyak di kawasan laut suatu Negara terkait dengan kasus meledaknya ladang minyak Montara milik PT TEP Australasia (Australia - Thailand) yang terjadi di Laut Timor dapat dijabarkan sebagai berikut.

1) Pengaturan menurut Convention on the High Seas 1958

Bunyi Pasal 24 Konvensi Laut Lepas tahun 1958 menyatakan sebagai berikut.

“Every State shall draw up regulations to prevent pollution of the seas by the discharge of oil from ships or pipelines or resulting from the exploitation and exploration of the seabed and its subsoil, taking account of existing treaty provisions on the subject.”

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa setiap negara wajib mengadakan peraturan-peraturan untuk mencegah pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa laut tau yang disebabkan oleh eksplorasi dan eksploitasi dasar laut dan tanah di bawahnya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan perjanjian internasional yang terdapat mengenai masalah ini.

2) Pengaturan menurut Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment 1972

Konferensi Stockhlom pada tahun 1972 juga menyepakati beberapa dasar atau prinsip mengenai keberlangsungan lingkungan hidup untuk mencegah dan mengatasi pencemaran lingkungan seperti yang terdapat dalam prinsip ke 7 yang menyatakan sebagai berikut “States shall take all possible steps to prevent pollution of the seas by

commit to user

substances that are liable to create hazards to human health, to harm living resources and marine life, to damage amenities or to interfere with other legitimate uses of the sea.”

Prinsip tersebut memberikan kewajiban kepada semua negara untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah pencemaran laut yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia, sumber kekayaan hayati laut dan lain-lain penggunaan lingkungan laut. Prinsip ke 13 Konferensi Stockhlom tersebut juga menyebutkan bahwa :

In order to achieve a more rational management of resources and thus to improve the environment, States should adopt an integrated and coordinated approach to their development planning so as to ensure that development is compatible with the need to protect and improve environment for the benefit of their population.

Prinsip diatas menjelaskan bahwa untuk mencegah terjadinya persaingan atau perbenturan dari kepentingan yang berlainan dalam dan penggunaan lingkungan hidup manusia termasuk lingkungan laut, haruslah diadakan koordinasi dan harmonisasi di dalam usaha penyusunan perencanaan pembangunan nasional. Prinsip nomor 17 berbunyi “Appropriate national institutions must be entrusted with the task of planning, managing or controlling the environmental resources of States with a view to enhancing environmental quality.”

Prinsip nomer 17 dalam Konferensi Stockhlom mewajibkan dibentuknya suatu badan nasional yang mempunyai wewenang untuk mengadakan perencanaan, pengelolaan atau pemantauan dari pemanfaatan atau penggunaan sumber kekayaan alam dengan cara yang berorientasi pada ekologi. Ketentuan dalam prinsip nomor 21 juga terkait langsung dengan program lingkungan hidup yang menyatakan sebagai berikut.

states have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause

commit to user

damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.

Ketentuan prinsip ke 21 tersebut memberikan hak dan kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara atau pihak lain. Prinsip nomor 22 juga jelas menyatakan bahwa agar dapat dilaksanakan secara efektif maka berdasarkan tanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pencemaran, haruslah ada kerja sama antara negara untuk mengembangkan hukum internasional yang mengatur ganti rugi yang disebabkan oleh pencemaran. Mengutip prinsip nomor 22 Konferensi Stockhlom sebagai berikut.

States shall cooperate to develop further the international law regarding liability and compensation for the victims of pollution and other environmental damage caused by activities within the jurisdiction or control of such States to areas beyond their jurisdiction.

3) Pengaturan menurut United Nation Convention on The Law of The Sea 1982

Pencemaran laut menurut definisi Pasal 1 ayat (4) Konvensi Hukum Laut 1982 adalah

“Pollution of the marine environment means the introduction by man, directly or indirectly, of substance or energy into the the marine environment including estuaries, which results or is likely to result in such deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazards to human health, hindrance to marine activities including fishing and other legimate uses of the sea, impairment of quality for use of sea water and of armenities.”

Secara singkat bisa diterjemahkan bahwa, pencemaran laut adalah dimasukkannya secara langsung maupun tidak langsung oleh perbuatan manusia suatu substansi atau bahan energi kedalam lingkungan laut yang menyebabkan merosotnya kadar lingkungan laut, sehingga menyebabkan bahaya bagi sumber daya alam hayati di laut,

commit to user

kesehatan manusia, rintangan melakukan kegiatan di laut dan mengurangi pemanfaatan dalam penggunaan lingkungan laut. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut dalam UNCLOS 1982 diatur di bagian XII yang meliputi Pasal 192 yang berbunyi “States have the obligation to protect and preserve the marine environment”. Pasal tersebut menyatakan bahwa adanya kewajiban kepada negara-negara peserta untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut.

Pasal 193 UNCLOS 1982 juga menyatakan sebagai berikut “States have the sovereign right to exploit their natural resources pursuant to their environmental policies and in accordance with their duty to protect and preserve the marine environment.” Pasal 193 tersebut mengatur tentang hak negara-negara peserta untuk mengelola sumber-sumber kekayaan alam mereka sesuai dengan kebijaksanaan lingkungan serta sesuai pula dengan kewajiban melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari masing-masing negara.

Pengaturan selanjutnya adalah dalam Pasal 194 yang menyatakan sebagai berikut.

1. States shall take, individually or jointly as appropriate, all measures consistent with this Convention that are necessary to prevent, reduce and control pollution of the marine environment from any source, using for this purpose the best practicable means at their disposal and in accordance with their capabilities, and they shall endeavour to harmonize their policies in this connection.

2. States shall take all measures necessary to ensure that activities under their jurisdiction or control are so conducted as not to cause damage by pollution to other States and their environment, and that pollution arising from incidents or activities under their jurisdiction or control does not spread beyond the areas where they exercise sovereign rights in accordance with this Convention.

3. The measures taken pursuant to this Part shall deal with all sources of pollution of the marine environment. These measures shall include, inter alia, those designed to minimize to the fullest possible extent:

commit to user

(a) the release of toxic, harmful or noxious substances, especially those which are persistent, from land-based sources, from or through the atmosphere or by dumping. (b) pollution from vessels, in particular measures for

preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, preventing intentional and unintentional discharges, and regulating the design, construction, equipment,operation and manning of vessels.

(c) pollution from installations and devices used in exploration or exploitation of the natural resources of the seabed and subsoil, in particular measures for preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, and regulating the design, construction, equipment, operation and manning of such installations or devices.

(d) pollution from other installations and devices operating in the marine environment, in particular measures for preventing accidents and dealing with emergencies, ensuring the safety of operations at sea, and regulating the design, construction,equipment, operation and manning of such installations ordevices.

4. In taking measures to prevent, reduce or control pollution of the marine environment, States shall refrain from unjustifiable interference with activities carried out by other States in the exercise of their rights and in pursuance of their duties in conformity with this Convention.

5. The measures taken in accordance with this Part shall include those necessary to protect and preserve rare or fragile ecosystems as well as the habitat of depleted, threatened or endangered species and other forms of marine life.

Pasal 194 tersebut secara ringkas dapat diterjemahkan bahwa adanya kewajiban khusus dari negara di antaranya adalah tidak memindahkan kerusakan atau bahaya atau untuk mengubah suatu jenis pencemaran ke jenis pencemaran lain, memonitor resiko akibat pencemaran dan tanggung jawab serta ganti rugi.

Pasal selanjutnya adalah Pasal 195 mengenai kewajiban untuk tidak memindahkan bahaya atau kerusakan atau mengubah suatu pencemaran ke jenis pencemaran lain, yang dinyatakan sebagai berikut “In taking measures to prevent, reduce and control pollution of the

commit to user

marine environment, States shall act so as not to transfer, directly or indirectly,damage or hazards from one area to another or transform one type of pollution into another.” Pasal 195 tersebut memberikan pengertian dalam menanggulangi pencemaran lingkungan laut, negara harus bertindak sedemikian rupa agar tidak memindahkan baik secara langsung maupun tidak langsung, kerusakan atau bahaya dari suatu ke daerah lain atau merubah bentuk pencemaran ke dalam bentuk pencemaran lain.

Pasal 196 UNCLOS 1982 juga secara jelas menyatakan sebagai berikut.

1. States shall take all measures necessary to prevent, reduce and control pollution of the marine environment resulting from the use of technologies under their jurisdiction or control, or the intentional or accidental introduction of species, alien or new, to a particular part of the marine environment, which may cause significant and harmful changes there to.

2. This article does not affect the application of this Convention regarding the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment.

Pasal 196 tersebut menyatakan bahwa Negara peserta harus melakukan pengawasan untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, sebagai akibat dari penggunaan teknologi, memasukan zat secara sengaja atau tidak kedalam lingkungan laut yang dapat merusak lingkungan laut.

Mengenai kerja sama global dan regional dalam menanggulangi pencemaran laut yang terjadi diatur dalam Pasal 197 sampai dengan Pasal 201. Bunyi Pasal 197 UNCLOS 1982 menyatakan sebagai berikut.

“States shall cooperate on a global basis and, as appropriate, on a regional basis, directly or through competent international organizations, in formulating and elaborating international rules, standards and recommended practices and procedures consistent with this Convention, for the protection and

commit to user

preservation of the marine environment, taking into account characteristic regional features.”

Pasal 197 tersebut menjelaskan bahwa Negara-negara peserta harus bekerja sama secara global maupun regional yang perlu untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Terkait dengan ketentuan selanjutnya yakni Pasal 198 menyatakan sebagai berikut.

“When a State becomes aware of cases in which the marine environment is in imminent danger of being damaged or has been damaged by pollution,it shall immediately notify other States it deems likely to be affected by such damage, as well as the competent international organizations.”

Pasal 198 diatas menyebutkan bahwa apabila suatu negara menyadari adanya keadaan dimana lingkungan laut berada dalam ancaman bahaya mendesak akan kerusakan atau telah rusak akibat pencemaran Negara termaksud harus segera memberitahu Negara negara lain yang menurut perkiraannya sangat mungkin akan terancam oleh kerusakan tersebut demikian pula kepada organisasi organisasi internasional yang kompeten.

Pasal 199 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa hal-hal yang termuat dalam Pasal 198 maka mewajiban kepada Negara-negara yang terkena dampak pencemaran harus saling bekerja sama antara satu dengan yang lain untuk mengurangi kerusakan yang timbul dan meningkatkan pola penanggulangan darurat pencemaran dalam lingkungan laut. Kutipan Pasal 199 tersebut adalah sebagai berikut.

“In the cases referred to in article 198, States in the area affected, in accordance with their capabilities, and the competent international organizations shall cooperate, to the extent possible, in eliminating the effects of pollution and preventing or minimizing the damage. To this end, States shall jointly develop and promote contingency plans for responding to pollution incidents in the marine environment.”

Pasal 200 ketentuan UNCLOS 1982 mengenai kerja sama antar negara dalam menanggulangi pencemaran menyatakan sebagai berikut.

commit to user

States shall cooperate, directly or through competent international organizations, for the purpose of promoting studies, undertaking programmes of scientific research and encouraging the exchange of information and data acquired about pollution of the marine environment. They shall endeavour to participate actively in regional and global programmes to acquire knowledge for the assessment of the nature and extent of pollution, exposure to it, and its pathways, risks and remedies.

Pasal tersebut bila diterjemahkan menyatakan bahwa Negara-negara harus saling bertukar informasi dalam usaha untuk mengetahui besarnya pencemaran, bahaya pencemaran, resiko dan cara mengatasi pencemaran lingkungan laut tersebut. Ketentuan Pasal 201 sebagai implementasi Pasal 201 menyatakan sebagai berikut.

“In the light of the information and data acquired pursuant to article 200, States shall cooperate, directly or through competent international organizations, in establishing appropriate scientific criteria for the formulation and elaboration of rules, standards and recommended practices and procedures for the prevention, reduction and control of pollution of the marine environment.”

Pasal tersebut mengatakan bahwa untuk mengimplementasikan ketentuan pasal 200, negara-negara,organisasi-organisasi terkait harus saling bekerja sama untuk menetapkan kriteria ilmiah guna pencegahan, penanggulangan dan pengendalian lingkungan laut.

Pengaturan mengenai monitoring dan analisa tentang penilaian lingkungan laut terdapat dalam Pasal 204 sampai dengan Pasal 206 UNCLOS 1982. Pasal 204 tersebut berbunyi sebagai berikut.

1. States shall, consistent with the rights of other States, endeavour, as far as practicable, directly or through the competent international organizations, to observe, measure, evaluate and analyse, by recognized scientific methods, the risks or effects of pollution of the marine environment.

2. In particular, States shall keep under surveillance the effects of any activities which they permit or in which they engage in order to determine whether these activities are likely to pollute the marine environment.

commit to user

Ketentuan pasal 204 tersebut menyebutkan bahwa Negara-negara harus berusaha sedapat mungkin konsisten dengan hak-hak negara-negara lain, secara langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompeten, untuk mengamati, mengatur, menilai, dan menganalisa berdasarkan metode ilmiah yang dibakukan mengenai resiko atau akibat pencemaran lingkungan laut. Secara Khusus Negara-negara pun harus tetap mengawasi pengaruh dari setiap kegiatan yang mereka ijinkan atau di dalam kegiatan termaksud mengandung kemungkinan mencemarkan lingkungan laut.

Bunyi Pasal 205 UNCLOS 1982 adalah “States shall publish reports of the results obtained pursuant to article 204 or provide such reports at appropriate intervals to the competent international organizations, which should make them available to all States.” Pasal tersebut mengemukakan bahwa Negara-negara harus melaporkan segala informasi yang terkait dengan pencemaran laut yang terjadi.

Pengaturan Pasal 206 UNCLOS 1982 berisi bahwa manakala negara-negara mempunyai alasan yang kuat bahwa kegiatan-kegiatan dibawah yurisdiksinya dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut, maka mereka harus dapat menilai efek yang ditimbulkan dari kegiatan-kegiatan tersebut. Kutipan Pasal 206 tersebut sebagai berikut.

“When States have reasonable grounds for believing that planned activities under their jurisdiction or control may cause substantial pollution of or significant and harmful changes to the marine environment, they shall,as far as practicable, assess the potential effects of such activities on the marine environment and shall communicate reports of the results of such assessments in the manner provided in article 205.”

b. Pengaturan Berdasarkan Hukum Nasional

Pengaturan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 Pasal 207 sampai dengan Pasal 212 juga mewajibkan Negara-negara peserta konvensi untuk membuat peraturan atau undang-undang nasional untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut. Indonesia mewujudkan hal tersebut dalam beberapa undang-undang

commit to user

yang terkait dengan pengaturan tersebut yang diatur dalam, Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, Perpres Nomor 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML). Maka terkait dengan pencemaran minyak yang terjadi di Laut Timor tersebut maka dari perundangan-undangan nasional tersebut dapat diidentifikasi beberapa pasal yang yang mengatur tentang pencemaran laut yang terjadi yakni sebagai berikut.

1) Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Undang-undang ini yang menyebutkan tentang perlindungan dan pelestarian lingkungan laut tercantum dalam pasal 23 yang berbunyi sebagai berikut.

(1) Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional.

(2) Administrasi dan yurisdiksi, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

2) Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Ketentuan Undang-undang ini yang menyebutkan tentang hak-hak berdaulat Negara Kesatuan Republik Indonesia atas wilayahnya yang tercantum dalam pasal 7 yang berbunyi “Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan hak-hak lain di Wilayah Yurisdiksi

commit to user

yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.”

Pengaturan Pasal 8 juga mengatur mengenai perbatasan wilayah Indonesia dengan wilayah yurisdiksi negara lain yang secara lengkap menyatakan sebagai berikut.

(1) Wilayah Yurisdiksi Indonesia berbatas dengan wilayah yurisdiksi Australia, Filipina, India, Malaysia, Papua Nugini, Palau, Thailand, Timor Leste, dan Vietnam.

(2) Batas Wilayah Yurisdiksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk titik-titik koordinatnya ditetapkan berdasarkan perjanjian bilateral dan/atau trilateral.

(3) Dalam hal Wilayah Yurisdiksi tidak berbatasan dengan negara lain, Indonesia menetapkan Batas Wilayah Yurisdiksinya secara unilateral berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional. 3) Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam Undang-undang ini pengaturan tentang asas yang digunakan dan pengaturan pencemaran lingkungan hidup yang tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi :

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas:

a. tanggung jawab negara; b. kelestarian dan keberlanjutan; c. keserasian dan keseimbangan; d. keterpaduan; e. manfaat; f. kehati-hatian; g. keadilan; h. ekoregion; i. keanekaragaman hayati; j. pencemar membayar; k. partisipatif; l. kearifan lokal;

m.tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. otonomi daerah.

commit to user

Pasal 53 Undang-Undang Lingkungan Hidup ini menyatakan bahwa :

(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat;

b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan/atau;

d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bunyi Pasal 54 juga menyatakan bahwa pencemar yang dalam hal ini adalah orang wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Kutipan Pasal ini secara lengkap sebagai berikut.

(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.

(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahap:

a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan unsur pencemar;

b. remidiasi; c. rehabilitasi; d. restorasi; dan/atau

e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 62 terutama pada ayat (2) dan ayat (3) terkait dengan kewajiban memberikan sistem informasi

Dokumen terkait