• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Atas Pencemaran di Laut Timor Berdasarkan Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tinjauan Yuridis Atas Pencemaran di Laut Timor Berdasarkan Hukum Internasional"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI LAUT TIMOR

BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1

dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Oleh:

NDARU ADJI TANDAYUNG

NIM. E0008195

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

commit to user

(3)

commit to user

(4)

commit to user

(5)

commit to user

v ABSTRAK

Ndaru Adji Tandayung, E0008195. 2012. TINJAUAN YURIDIS ATAS

PENCEMARAN DI LAUT TIMOR BERDASARKAN HUKUM

INTERNASIONAL. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan dari penelitian ini adalah di temukannya jawaban sementara atas identifikasi pengaturan hukum internasional dan hukum nasional atas pencemaran minyak di Laut Timor karena meledaknya ladang minyak Montara milik PT TEP Australasia (Thailand - Australia) dan negara yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yang menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Analisis data yang menggunakan metode penalaran deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa pengaturan hukum internasional dan hukum nasional Indonesia yang berlaku sudah cukup untuk mengatur pencemaran minyak di lingkungan laut. Negara yang bertanggung jawab dalam kasus meledaknya ladang minyak Montara milik PT TEP Australasia adalah Australia. Alasannya adalah Australia yang memberi ijin PT TEP Australasia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak di wilayah perairannya harus mengawasi dan bertanggung jawab atas meledaknya ladang minyak Montara karena dampak yang ditimbulkan serta penggunaan dispertan berbahaya dalam menanggulangi pencemaran minyak di lautan berdasarkan ketentuan United Nation Convention on The Law of The Sea 1982 yang tercantum dalam Pasal 235 yang didukung oleh ketentuan Pasal 60 ayat (4) dan (5), Pasal 79 ayat (3), Pasal 81, Pasal 139, Pasal 153 dan Pasal 195. Saran dari penelitian ini adalah perlu ada mekanisme dan pengaturan internasional yang lebih komprehensif lagi karena pengaturan ganti rugi pencemaran minyak di laut yang disebabkan oleh anjungan minyak lepas pantai belum diatur dalam hukum internasional.

(6)

commit to user

vi ABSTRACT

Ndaru Adji Tandayung, E0008195. 2012. LEGAL REVIEW OF POLLUTION IN TIMOR SEA UNDER INTERNATIONAL LAW. Faculty of Law Sebelas Maret University.

The aims of this research are found the temporary answer of the regulation on international law and national law of Indonesia; and also state responsibility of marine pollution in Timor Sea.

It is a normative research, using secondary data consist of primary, secondary, and tertiary legal materials. The technique of collecting data is library research. The technique of data analyzes is deductive method.

The conclusion of this research are the regulation of international law and domestic law in Indonesia is sufficient to regulate oil pollution in the marine environment. The state which has the responsibility of the marine pollution in Timor Sea is Australia. It is becaused Australia gives permission PT TEP Australasia to explore and exploit oil in its territorial waters shall supervise and be responsible for the explosion of Montara oil field because of its impact and use of hazardous dispertan in preventing oil pollution in the oceans under the provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 listed in Article 235 which is supported by the provisions of Article 60 Paragraph (1) and (5), Article 79, Article 81, Article 139, Article 153 and Article 195. And there needs to be mechanisms and a more comprehensive international arrangement again in regulating the compensation of oil pollution at sea caused by offshore oil platforms.

(7)

commit to user

vii

MOTTO

Man Jadda Wajada.

(Barangsiapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil)

Nil sine magno labore vita dedit mortalibus

(Tanpa kerja keras, kehidupan tak memberikan apapun kepada manusia)

“Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa, Tuhan lah yang berkehendak”

Nosce te ipsum

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada :

Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi segala berkat kenikmatan dan

karunia-Nya, serta selalu memperlancar segala proses yang harus saya

tempuh dalam pembuatan skripsi ini.

Ayah dan Ibu yang saya cintai dan sayangi terima kasih doa, bimbingan, ,

kasih sayang, dan dukungannya.

Adik-adikku yang selalu memberikan semangat dan keceriaan kepadaku.

Sahabat-sahabat dan seluruh teman-teman almamater saya Fakultas Hukum

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,

karunia, segala nikmat, dan kekuatan, sehingga penulisan hukum (skripsi) yang

berjudul “TINJAUAN YURIDIS ATAS PENCEMARAN DI LAUT TIMOR

BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL” ini dapat terselesaikan

dengan baik, lancar dan tepat waktu.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan skripsi ini tidak terlepas

dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak semoga kebaikan pihak-pihak

yang telah membantu dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Penulis dengan ini

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Budi Setiyanto, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis

selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta yang telah memberikan bimbingan kepada penulis.

3. Bapak Handojo Leksono, S.H. selaku dosen pembimbing 1 yang telah

memberikan bimbingan dan masukan yang sangat membantu bagi penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Emmy Latifah, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing 2 yang telah

memberikan bimbingan, perhatian, dan pengarahan yang sangat berharga

bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak dan ibu dosen, serta karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas

Maret Surakarta, terima kasih saya ucapkan atas semua ilmu dan kenangan

yang telah dibagi.

6. Ayah dan Ibu saya, yang selalu memberikan dukungan, kepercayaan,

support, dan doa-doa yang selalu terpanjatkan di setiap waktu. Inilah salah

satu bentuk baktiku.

7. Kedua adik terkasih Diwan Adji Radityo dan Destio Adji Wiratama yang

(10)

commit to user

x

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Kritik dan saran yang bersifat membangun mengenai penelitian ini sangat penulis

harapkan demi pengembangan ilmu lebih lanjut. Terima kasih.

Surakarta, 4 Juni 2012

Penulis

(11)

commit to user

1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional………....

2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara……....

3. Tinjauan Mengenai Sengketa Internasional………...

4. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan Internasional…..

5. Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut………....

B. Kerangka Pemikiran...

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………...

A. Hasil Penelitian………...…...

1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum

(12)

commit to user

xii

a. Pengaturan Berdasarkan Hukum Internasional……..

b. Pengaturan Berdasarkan Hukum Nasional………….

2. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di

Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand

Exploration and Production Public Company Limited

(PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya

Kilang Minyak Montara di Laut Timor…………...

B. Pembahasan Penelitian………...

1. Pengaturan Hukum Internasional Maupun Hukum

Nasional Terkait Dengan Pencemaran di Laut Timor...

2. Pertanggungjawaban Negara yang Terlibat di

Perusahaan The Petroleum Authority of Thailand

Exploration and Production Public Company Limited

(PT TEP) Australasia Dalam Kejadian Meledaknya

Kilang Minyak Montara di Laut Timor……….

BAB IV. PENUTUP………..….

A. Kesimpulan………...

B. Saran………...……

DAFTAR PUSTAKA………...……...

34

42

53

60

60

67

77

77

78

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

...

Tabel 1 ...

Gambar 1 ...………...

5

(14)

commit to user

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa bisa

digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam aktivitas hidup manusia. Hal

tersebut harus dilakukan secara tepat guna baik cara mengeksplorasinya dan cara

melestarikannya agar tidak terjadi kerusakan lingkungan yang bisa mengancam

keberlangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya. Aktivitas pemanfaatan

sumber daya alam tersebut tentu saja semakin maju dan modern, namun dengan

kemajuan teknologi yang digunakan untuk mengeksplorasi sumber daya alam

tersebut tidak ada yang bisa menjamin ada atau tidaknya kerusakan lingkungan.

Kenyataannya bila kerusakan lingkungan yang timbul akibat aktivitas eksplorasi

sumber daya alam oleh manusia ini tentu saja menjadi tanggung jawab manusia

untuk segera mengatasinya.

Kerusakan lingkungan bisa disebabkan oleh dua faktor yakni yang pertama

kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh alam misalnya letusan gunung

berapi, gempa bumi, angin topan, erosi dan sebagaianya. Faktor yang kedua yakni

kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh manusia misalnya penebangan hutan

secara liar baik untuk pembangunan kawasan industri atau pemanfaatan sumber

daya alam yang berlebihan, pembuangan sampah sembarangan, perburuan liar,

penggunaan dispertan berbahaya yang tidak ramah lingkungan dan sebagainya.

Akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perbuatan manusia sangat

merugikan, misalnya terjadi pencemaran akibat proses eksplorasi dan eksploitasi

sumber daya alam. Terkait hal tersebut untuk mencegah, menanggulangi serta

mengatasi pencemaran lingkungan tersebut diperlukan mekanisme khusus yang

berupa hukum berbentuk undang-undang yang mengatur tentang lingkungan

hidup. Permasalahan pencemaran lingkungan ini harus mendapat perhatian yang

cukup dan penanganan yang serius dikarenakan lingkungan hidup sebagai tempat

hidup manusia dan mahluk hidup lainya perlu dijamin kelestariannya guna

menjamin kehidupan semua mahluk hidup di masa depan sehingga dengan adanya

(15)

commit to user

Pada tahun 1972 untuk pertama kalinya diadakan konferensi tentang

lingkungan hidup yang dikenal dengan Konferensi Stockholm. Konferensi ini

merupakan titik balik dalam perkembangan politik lingkungan hidup

internasional. Konferensi tersebut dikatakan sebagai titik balik didasari karena

didalamnya termuat 26 prinsip dasar untuk mewujudkan upaya adanya pengaturan

lingkungan hidup yang lebih komprehensif baik di darat, di laut maupun di udara,

termasuk adanya konsep hanya ada satu bumi (only one earth) dalam artian bahwa

dalam perkembangan kehidupan manusia yang semakin banyak dan kompleks

kebutuhannya ini diperlukan suatu kesadaran akan pentingnya pengelolaan,

pemanfaatan, dan pelestarian lingkungan hidup yang bijaksana secara menyeluruh

bagi keberlangsungan hidup manusia yang ada di bumi untuk masa yang akan

datang.

Berbagai permasalahan pencemaran terhadap lingkungan terus dibicarakan

dalam konteks perbaikan lingkungan hidup internasional. Pencemaran atas laut

atau Marine Pollution merupakan salah satu masalah yang mengancam bumi saat

ini, dikarenakan semakin meningkatnya pola aktivitas penggunaan dan

pemanfaatan kekayaan alam yang terkandung di lautan. Pola aktivitas tersebut

bisa memberikan dampak berupa pelepasan zat-zat beracun dan berbahaya,

pembuangan kotoran dan sampah, kegiatan kapal, penggunaan instalasi dan

peralatan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dari dasar

laut dan tanah yang dibawahnya serta instalasi dan peralatan lainnya yang

dioperasikan di lingkungan laut. Pencemaran lingkungan yang terjadi di Laut

Timor salah satunya.

Pencemaran minyak di Laut Timor ini terjadi pada tanggal 21 Agustus

2009 akibat meledaknya ladang minyak Montara. Ladang minyak milik The

Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company

Limited (PT TEP) Australasia yang merupakan operator kilang minyak dari

Thailand yang berlokasi di Montara Well Head Platform, Laut Timor atau 200 km

dari Pantai Kimberley, Australia. Akibat dari ledakan tersebut berakibat pada

kebocoran pipa pada ujung sumur di kedalaman 3,6 kilometer sehingga minyak

(16)

commit to user

tersebut menumpahkan sekitar 400 barrel liter minyak mentah bercampur gas,

kondensat dan zat timah hitam serta zat-zat kimia lainnya per hari ke perairan

Laut Timor dan dalam realitasnya telah menghancurkan kawasan seluas 16.420

kilo meter persegi. Kerusakan lingkungan akibat pencemaran yang ditimbulkan

tersebut bisa dilihat dari sisi biofisik seperti terganggunya keseimbangan ekologi

laut dengan adanya zat-zat pencemar (pollutant) yang dapat meracuni kehidupan

binatang dan tumbuh-tumbuhan laut yang terkena langsung zat-zat pencemar

tersebut (Mochtar Kusumaatmadja, 1978: 178). Dampak psikologis dan sosial

ekonomi yang dialami masyarakat terutama nelayan yang tinggal di sekitar pesisir

Pulau Timor dan Pulau Rote pun terpukul. Hasil tangkapan ikan mereka turun

drastis dan banyak diantara mereka tidak bisa lagi melaut karena lahan garapan di

laut mereka tercemar berat. Hal paling berbahaya dan sangat dikhawatirkan adalah

ancaman serius bagi kesehatan masyarakat yang mendiami Timor Barat dan

kepulauan sekitarnya bila mengkonsumsi ikan yang tercemar. Pada tanggal 30

Agustus 2009, jejak tumpahan minyak mentah telah memasuki wilayah Zona

Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yg berbatasan dengan Zona Ekonomi

Eksklusif Australia. Selang sekitar 1 bulan kemudian tepatnya pada tanggal 3

November 2009, kebocoran minyak tersebut berhasil ditutup, namun minyak

mentah dan gas yang keluar telah mencemari kawasan di zona maritim seperti di

laut territorial, kawasan ZEEI, dan di wilayah laut landas kontinen Indonesia.

Dampak yang timbul akibat dari pencemaran minyak Montara oleh PT

TEP Australasia di Laut timor tersebut sangat besar dan merugikan Negara

Indonesia. Berdasarkan pengamatan Pusat Komando dan Pengendali Nasional

Operasi Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak Di Laut pada bulan

Mei 2010 ditemukan data sebagai berikut.

1. Bahwa kadar total senyawa PAH (Polisiklik Aromatik Hidrokarbon) air laut

berkisar antara 54,6 - 213.7 µg/l, dimana sudah menunjukkan nilai di atas

ambang batas baku mutu perairan. PAH, yang merupakan komponen minyak

mentah sangat beracun, yang PAH bisa memberi dampak kronik yang

(17)

commit to user

2. Efek PAH terhadap ikan, secara langsung PAH dapat langsung mematikan

insang atau paru-paru tersumbat sehingga ikan muda lebih mudah terpapar.

Pada kondisi kronis bisa terjadi iritasi kulit dan mata. PAH juga

menyebabkan kerusakan saluran pernafasan, hati, ginjal dan system

reproduksi, serta kualitas hidup dan generasi berikutnya.

3. PAH pada konsentrasi 10 - 210 ppm dapat menyebabkan bio-akumulasi dan

perubahan perilaku, sementara pada konsentrasi >1000 ppm dapat

menyebabkan kematian biota laut. Karena PAH bersifat bioakumulasi maka

patut diwaspadai apabila PAH ini terakumulasi di tubuh manusia yang

mengkonsumsi ikan.

4. Dampak sosial, adalah mengakibatkan terancamnya 17.000 masyarakat

pesisir Pulau Timor yang berada di Kabupaten Rote Ndao, Kabupaten Sabu

Raijua. Bahkan, nelayan Kolbano di Timor Tengah Selatan tak dapat

menangkap ikan di pantai selatan Pulau Timor. Usaha nelayan di wilayah

perairan Rote Ndao dan Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara terancam gulung

tikar akibat meledaknya ladang minyak Montara di dekat gugusan Pulau Pasir

(ashmore reef) yang menjadi pusat pencarian ikan dan biota laut lain oleh

nelayan tradisional.

5. Survei sosial ekonomi oleh Tim Nasional pada tanggal 15-20 Februari 2010

di pesisir Nusa Tenggara Timur meliputi Kabupaten Timor Tengah Selatan,

Kupang, Rote Ndao dan Sabu. Dari hasil survey menunjukan adanya

pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dirasakan masyarakat.

6. Gas hydrocarbon dalam volume yang besar, mengakibatkan kerusakan

ekosistem perairan Laut Timor. Berbagai perubahan terjadi mengindikasikan

telah terjadi gangguan lingkungan perairan sebagai habitat ikan, alga dan

rumput laut. Jutaan ikan diduga bermigrasi akibat perubahan lingkungan

sekitarnya, dan populasi rumput laut menurun sebagai dampak pencemaran.

Menurut data yang dihimpun dari Laporan Komisi Penyelidik Montara,

dalam tindakan untuk menetralisir dampak pencemaran minyak montara, pihak

Australian Maritime Safety Authority (AMSA) menggunakan 7 (tujuh) zat

(18)

commit to user

Corexit EC9500, Corexit EC9527A dan Ardrox 6120 yang jumlah penggunaan

sebagai berikut.

Tabel 1

Dispertan Jumlah yang Digunakan

(liter)

Tergo-R40 1000

Slick gone LTSW 38.000

Shell VDC 5000

Corexit EC9500 17000

Slickgone NS 63.415

Ardrox 6120 32.000

Corexit EC9527A 27.720

Sumber: West Timor Care Foundation

Dari data diatas yang paling berdampak signifikan adalah penggunaan

Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A yang dilarang di Inggris yang berlaku juga

di negara-negara persemakmurannya. Studi ekstensif mengenai Corexit EC9500

dan Corexit EC9527A dilakukan dan diperiksa oleh Marine Management

Organization (MMO) di Inggris dan gagal uji tes shore rocky. Uji shore rocky

merupakan standart yang menjamin bahwa dispersan tidak menyebabkan

"perubahan ekologis yang signifikan merusak," terutama di sepanjang daerah

garis pantai daerah

(http://www.marinemanagement.org.uk/protecting/pollution/approval.htm diakses

pada tanggal 28 Februari 2012 jam 21.12WIB).

Dengan demikian, baik Corexit EC9500 dan Corexit EC9527A telah

dihapus dari daftar produk yang disetujui untuk digunakan dalam kondisi apapun

di Negara Inggris sejak tanggal 21 Januari 1998. Australia yang notabene

merupakan negara persemakmuran Inggris, melalui Maritim Australia Safety

Authority (AMSA) lebih memilih untuk menggunakan dispertan dalam

menetralisir pada dampak pencemaran termasuk penggunaan Corexit 9500 dan

Corexit 9527 dalam kasus ledakan Montara. Menurut data West Timor Care

(19)

commit to user

yang banyak ternyata diketahui berdampak luas terhadap kesehatan manusia

seperti sakit pernapasan, gangguan saraf, hati, sistem ginjal dan darah.

Perkembangan terkini terkait upaya penyelesaian masalah ini masih dalam

tahap perundingan, dalam rangka memastikan dan mendorong Pemerintah

Australia sebagai pemberi ijin Blok West Atlas, untuk turut menekan PT TEP

Australasia menjalankan tanggung jawabnya di Laut Timor. Upaya-upaya

penyelesaian untuk mengatasi dampak yang diakibatkan telah dilakukan.

Pemerintah Australia telah membentuk Komisi Penyelidikan Tumpahan Minyak

Montara, suatu tim khusus untuk menyelediki kasus pencemaran laut ini. Atas

permintaan Komisi ini, Leeders Consulting Australia melakukan uji analisis

sampel minyak dan air dari Laut Timor di perairan Indonesia dan membuktikan

bahwa kandungan minyak yang mencemari perairan Indonesia berasal dari ladang

Montara.

Masalah seperti ini menjadi penting dikarenakan perbatasan suatu negara

merupakan manifestasi utama kedaulatan suatu negara (sovereignty), termasuk

penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, serta

keamanan dan keutuhan wilayah. Kawasan Laut Timor disini memiliki nilai

strategis bagi perekonomian Indonesia yang menyimpan kekayaan alam baik

hayati dan kekayaan mineral. Kegunaan ekonomis lingkungan laut nusantara

dapat dilihat dari peranan lingkungan laut sebagai tempat atau lokasi pelbagai

kegiatan misalnya pelayaran, kegiatan di pelabuhan, pemasangan kabel, pipa laut

dan tanki-tanki penyimpanan, tempat mengadakan penelitian ilmiah,

pengembagan daerah pantai dan rekreasi dan tempat pembuangan sampah dan

kotoran (Mochtar Kusumaatmadja, 1978: 175).

Ketentuan mengenai pencemaran lingkungan laut dalam United Nation

Convention on The Law of The Sea 1982 (UNCLOS 1982) diatur di bagian XII

tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Lingkungan Laut dengan

kewajiban-kewajiban yang tercantum pada konvensi-konvensi lainnya guna perlindungan

lingkungan laut. Konvensi hukum laut 1982 tersebut meletakkan kewajiban

kepada negara-negara peserta untuk melindungi dan memelihara lingkungan laut

(20)

commit to user

peserta yang turut serta dalam keanggotaaa UNCLOS 1982. Berdasarkan

terminologi Hukum Internasional, peristiwa pencemaran Laut Timor dapat

dikualifikasi sebagai suatu sengketa international public karena melibatkan

kepentingan dua negara atau lebih yakni pihak Indonesia dan Australia. Kaitannya

dengan kasus ini PT TEP Australasia perusahaan minyak asal Thailand yang

memiliki ijin mengeksplorasi minyak dari Australia telah mencemari laut

Indonesia atas meledaknya ladang minyak Montara, karena didalamnya terdapat

permasalahan pelanggaran wilayah atau kedaulatan teritorial suatu negara dan

kewajiban pemenuhan ganti rugi akibat tumpahnya minyak oleh anjungan lepas

pantai tersebut. Beberapa peneliti telah melakukan sejenis. Suhaidi dalam

penelitiannya yang dimuat dalam Jurnal Equality (2005) mengkaji tentang

kedaulatan negara pantai dalam menjaga kawasan laut seperti ketentuan dalam

UNCLOS 1982 (Suhaidi, 2005:105-110). Thomas A. Mensah (2010) melakukan

penelitian yang dimuat dalam Aegean Rev Law Sea mengkaji tentang kasus

terbakar slops atau kargo yang sengaja dibuat untuk wadah minyak serta dapat

dipindahkan milik Piraeus Ships Registry yang meledak dan menimbulkan

pencemaran laut. Kasus tersebut mengaji apakah slops tersebut bisa dikategorikan

sebagai kapal menurut ketentuan International Oil Pollution Compensation Fund

1992 dan International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage

1992 sehingga bisa diajukan klaim ganti rugi (Thomas A Mensah, 2010:145-155).

Hari M. Osofsky (2011) melakukan penelitian yang dimuat dalam Florida Law

Review mengaji tentang perlu adanya upaya pembentukan lembaga dan

pengembangan aturan khusus yang membantu negara dalam kasus pencemaran

lingkungan laut dalam studi kasus Deepwater Horizon karena meledaknya

anjungan minyak lepas pantai milik British Petroleum (Hari M. Osofsky,

2011:1077-1137).

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji

lebih mendalam mengenai pencemaran lingkungan laut yang melewati lintas batas

negara melalui penelitian hukum yang berjudul : “TINJAUAN YURIDIS ATAS

PENCEMARAN DI LAUT TIMOR BERDASARKAN HUKUM

(21)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka

permasalahan yang akan diteliti pada penelitian ini adalah

1. Bagaimana pengaturan Hukum Internasional maupun Hukum Nasional terkait

dengan pencemaran di Laut Timor ?

2. Negara manakah yang bertanggungjawab terhadap kejadian meledaknya

kilang minyak Montara di Laut Timor yang melibatkan PT TEP Australasia

(Thailand - Australia) tersebut ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk menemukan kesesuaian pengaturan Hukum Internasional dan

Hukum Nasional terkait dengan pencemaran minyak di Laut Timor.

b. Untuk menemukan mekanisme pertanggung jawaban negara dan

penyelesaian pencemaran laut yang melewati lintas batas negara.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis sendiri terutama

di bidang ilmu hukum internasional, khususnya di ruang lingkup hukum

laut internasional maupun hukum lingkungan internasional.

b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana di

bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universias Sebelas Maret

Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian ini ada dua,

yakni baik secara teoritis maupun praktis yang meliputi :

1. Manfaat Teoritis

Penulisan hukum ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

(22)

commit to user

umumnya serta hukum laut internasional dan hukum lingkungan internasional

pada khususnya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan kepada

pihak-pihak terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat yang bertugas untuk

menyusun perundang-undangan nasional yang komprehensif terkait dengan

lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup yang bertugas untuk

menerapkan amanat undang-undang dalam pengimplementasian

program-program dan kebijakan terkait dengan lingkungan hidup, serta mampu

memberikan manfaat bagi kalangan akademisi dalam upaya mempelajari

serta memahami ilmu hukum khususnya hukum laut internasional dan hukum

lingkungan internasional.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah

penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder atau dengan kata lain metode doktrinal

yang bersaranakan terutama logika deduksi untuk membangun sistem

hukum positif. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara

sistematis, dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya

dengan masalah yang diteliti.

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat deskriptif analistis. Suatu penelitian

deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang

manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya, agar dapat membantu didalam

memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori

(23)

commit to user

3. Pendekatan Penelitian

Suatu penelitian hukum normatif tentu harus menggunakan

pendekatan perundang-undangan karena yang akan diteliti adalah berbagai

aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian

(Johny Ibrahim, 2006:32).

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer

sebagai berikut.

1) Convention on the High Seas 1958

2) International Convention on Civil Liability for Oil Pollution

Damage 1969

3) International Convention on the Esta-bilishement of an International

Fund for Compensation for Oil Pollution Damage 1971

4) Stockhlom Declaration 1972

5) United Nations Convention on Law Of The Sea (UNCLOS) 1982

6) Rio Declaration 1992

7) Undang-Undang Nomer 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

8) Undang-Undang Nomer 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

9) Undang-Undang Nomer 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup

10) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomer 19 Tahun 1999

Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut

11) Peraturan Presiden Nomer 109 tahun 2006 tentang Penanggulangan

Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut (PKDTML)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini

sebagai berikut.

(24)

commit to user

2) Dokumen

3) Pendapat ahli yang berhubungan dengan permasalahan yang

diteliti.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yang digunakan adalah kamus.

5. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka

(library research) yaitu dengan cara membaca, mengkaji, dan membuat

catatan dari buku-buku, peraturan Perundang-Undangan, dokumen, jurnal

tulisan-tulisan, cybermedia, serta kumpulan pendapat ahli yang

berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian.

6. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif

yang didasarkan pada pengukuran dengan logika deduksi yakni dengan

menghimpun atau mengkaji data secara umum kemudian ditarik lebih khusus

terkait dengan objek penelitian sehingga data hasil penelitian berupa data

deskriptif (Soerjono Soekanto, 2010:32).

7. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan

pustaka, pembahasan, dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun

(25)

commit to user

BAB I : PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

B.Rumusan Masalah

C.Tujuan Penelitian

D.Manfaat Penelitian

E.Metode Penelitian

F. Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A.Kerangka Teori

1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional

2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara

3. Tinjuan Mengenai Sengketa Internasional

4. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan

Internasional

5. Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut

B.Kerangka Pemikiran

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Penelitian

B.Pembahasan

BAB IV : PENUTUP

A.Kesimpulan

B.Saran

(26)

commit to user

13

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Mengenai Hukum Laut Internasional

Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tidak lepas dari sejarah

pertumbuhan hukum laut internasional pada masa imperium Romawi yang

mengenal pertarungan antara dua konsepsi. Konsepsi yang pertama yaitu Res

Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama

masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau dimiliki oleh

masing-masing negara. Konsepsi kedua yaitu Res Nullius, yang menyatakan

bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan

dimiliki oleh masing-masing negara (Dikdik Mohamad Sodik, 2011: 1-2).

Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan

perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya imperium Romawi

diawali dengan munculnya klaim sejumlah negara atau kerajaan atas

sebagaian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alasan

bermacam-macam atau laut tertutup (mare clausum). Menyikapi atas berbagai

klaim tersebut Hugo Grotius mengajukan prinsip kebebasan laut (mare

liberum) dengan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang

didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas dilayari oleh siapapun.

Perbedaan 2 (dua) prisip tersebut pada akhirnya tercapai kesepakatan

penganut mare clausum dengan mare liberum dengan diakuinya pembagian

laut ke dalam laut teritorial yang jatuh di bawah kedaulatan penuh suatu

negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas untuk seluruh umat manusia.

Perkembangan konsepsi mengenai hukum laut internasional semakin maju

hal ini bisa dilihat dalam Konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut

Teritorial, Proklamasi Presiden AS Truman tahun 1945 tentang landas

kontinen yang selanjutnya diatur dalam Konvensi IV Jenewa 1958, hingga

pada puncaknya perundingan masalah kelautan adalah dengan adanya

Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United

(27)

commit to user

Jamaika. Konferensi Hukum Laut III ini diadakan berdasarkan Resolusi

Majelis Umum PBB Nomer 2750 (XXV) tanggal 17 Desember 1970.

UNCLOS 1982 ini memuat 320 pasal, 9 buah lampiran serta beberapa

resolusi pendukung dalam perkembangannya (Didik Mohamad Sodik, 2011 :

1-15).

Hukum laut internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur

hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah

yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction). Dalam Konvensi Hukum Laut

1982, dibahas beberapa pembagian wilayah-wilayah laut, antara lain sebagai

berikut.

a. Perairan Dalam (Internal Waters)

Internal Waters merupakan perairan bagian sisi dalam dari garis

pangkal. Negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah laut ini,

sehingga kapal asing tidak boleh melintas kecuali dalam keadaan yang

bersifat memaksa (Pasal 8 UNCLOS 1982). Garis Pangkal yang

dimaksud adalah garis yang ditarik melingkar sejauh 12 mil pada pantai

saat air laut surut yang dihitung dari pulau terluar. Ada tiga jenis garis

pangkal, yakni :

1) Garis Pangkal Normal

Garis pangkal yang ditarik pada pantai saat air laut surut mengikuti

lekukan pantai.

2) Garis Pangkal Lurus

Garis pangkal yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik atau

ujung-ujung terluar dari pantai.

3) Garis Pangkal Kepulauan

Garis pangkal yang ditarik dengan menghubungkan titik-titik terluar

pulau-pulau atau karang kering terluar dari kepulauan suatu negara.

b. Laut Teritorial (Territorial Sea)

Territorial Sea diatur dalam Pasal 2-32 UNCLOS 1982. Definisi

laut territorial adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal yang

(28)

commit to user

memiliki kedaulatan terbatas atas wilayah laut ini yang meliputi ruang

udara diatas laut territorial, dasar laut dan tanah dibawahnya (rights of

the coastal state over the territorial sea). Kapal-kapal Negara lain pun

memiliki hak lintas damai atau the right of innocent passage (Pasal 17-32

UNCLOS 1982) untuk dapat melintasi laut teritorial sebuah negara

sebatas kapal tersebut dengan syarat :

1) Melintasi laut tanpa memasuki perairan dalam atau singgah di

pelabuhan.

2) Lintasan tersebut harus cepat dan tidak terputus, kecuali situasi

overmacht.

3) Lintasan tersebut harus damai dan tidak melakukan kejahatan,

survei, pencemaran atau mengganggu sistem komunikasi di wilayah

teritorial Negara pantai tersebut.

c. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)

Perairan kepulauan berada pada sisi dalam garis pangkal untuk

mengukur laut territorial, tanpa memperhatikan kedalaman dan jaraknya

pada pantai. Kedaulatan Negara pantai terbatas pada wilayah laut ini,

sehingga negara lain dapat menikamati hak lintas damai dan hak lintas

transit (Pasal 49 UNCLOS 1982).

d. Zona Tambahan (Contiguous Zone)

Contiguous zone merupakan zona yang berbatasan dengan laut

teritorial. Negara pantai atau kepulauan dapat melakukan pengawasan di

zona ini untuk mencegah pelanggaran terhadap pajak, imigrasi dan

kesehatan. Zona tambahan ini tidak boleh melebihi jarak 24 mil dari garis

pangkal. Diatur dalam Pasal 33 UNCLOS 1982.

e. Selat (Straits)

Straits atau selat diatur dalam Pasal 34-44 UNCLOS 1982.

Wilayah ini sering dipergunakan untuk pelayaran internasional.

Negara-negara yang berada di tepi selat juga mempunyai kedaulatan dan

(29)

commit to user

1) Selat-selat yang menghubungkan laut lepas atau ZEE dengan

perairan yang termasuk dalam yurisdiksi nasional (laut teritorial)

suatu negara.

2) Selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional yang

menghubungkan suatu laut lepas atau ZEE dengan laut lepas atau

ZEE lainnya.

f. Landas Kontinen (Continental Shelf)

Landas Kontinen suatu negara meliputi dasar laut dan tanah di

bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut

teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga

pinggiran luar tepi kontinen atau hingga berjarak 200 mil laut dari garis

pangkal. Wilayah laut ini memiliki sumber daya alam yang banyak

sehingga Negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi

dan mengeksplorasi sumber daya alam didalamnya. Negara lain pun bisa

mengeksploitasi dan mengeksplorasi wilayah tersebut setelah mendapat

ijin dari negara pantai (Pasal 77 UNCLOS 1982).

g. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zones)

Zona ekonomi eklusif adalah daerah marit di luar tersambung

dengan laut teritorial, yang luasnya tidak boleh melebihi 200 nautica

miles dari garis pangkal yang di pakai untuk mengatur laut teritorial.

Zona ekonomi eklusif berisi hak-hak negara pantai seperti riset ilmiah

kelautan, perlindungan dan pelestarian laut, serta pembuatan dan

pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan. ZEE diatur pada Pasal

55-75 UNCLOS 1982.

h. Laut Lepas (High Seas)

Pengaturan laut lepas ada didalam Pasal 86-120 UNCLOS 1982.

High seas merupakan bagian laut yang tidak termasuk perairan

pedalaman, laut territorial, zona ekonomi eksklusif suatu negara dan

perairan kepulauan dalam suatu Negara kepulauan. Yurisdiksi suatu

negara tidak berlaku pada wilyah ini karena hal ini merupakan perairan

(30)

commit to user

menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua negara, tidak

ada satu pun negara secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari

padanya ke bawah kedaulatannya. Kebebasannya yaitu kebebasan

berlayar menangkap ikan, kebebasan menempatkan kabel dan pipa

bawah laut, serta kebebasan terbang di atas laut lepas. Dikenal juga

kebebasan dan aturan-aturan kapal di laut bebas (interference with ships

on the high seas) yang meliputi stateless ship (kapal berbendera

negaranya), hot persuit (pengejaran seketika), the right of approach (hak

untuk mendekat), treaties (melakukan perjanjian), piracy (perompakan di

laut), belligerent right (hak untuk negara yang sedang berperang dengan

memperbolehkan melakukan perdagangan dengan kapal dagang musuh),

self defense (pertahanan sendiri), dan action authorized by the united

nations (sanksi atau tindakan dari Persatuan bangsa-bangsa.

2. Tinjauan Mengenai Pertanggungjawaban Negara

Pertanggungjawaban negara memiliki dua pengertian yang pertama

adalah pertanggungjawaban negara atas tindakan Negara yang melanggar

kewajiban internasional yang telah dibebankannya. Kedua yakni

pertanggungjawaban yang dimiliki negara atas pelanggaran terhadap orang

asing (Jawahir Thontowi, 2006: 193). Menurut Karl Zemanek, tanggung

jawab negara memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara

internasional yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yang

menimbulkan akibat tertentu bagi (negara) pelakunya dalam bentuk

kewajiban-kewajiban baru terhadap korban (Andrey Sujatmoko, 2005: 29).

Pertanggungjawaban oleh negara biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas

hukum internasional. Negara dikatakan bertanggungjawab dalam hal negara

tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian internasional, melanggar

kedaulatan wilayah negara lain, menyerang negara lain, menciderai

perwakilan diplomatik negara lain atau memperlakukan warga asing dengan

seenaknya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban negara berbeda-beda

kadarnya tergantung pada kewajiban yang diembannya atau besar kerugian

(31)

commit to user

Subjek pertanggungjawaban dalam hukum internasional menempatkan

negara sebagai subjek utama. Hal ini dikuatkan pada ketentuan Pasal 1 dari

rancangan pasal-pasal mengenai tanggungjawab dalam hukum internasional

oleh The Internasional Law Commission (ILC) yang menyatakan “setiap

tindakan negara yang salah secara internasional membebani kewajiban negara

bersangkutan”. Subjek pertanggungjawaban berikutnya adalah individu. Hal

ini ditandai ketika pembentukam peradilan internasional pasca Perang Dunia

(PD) II. Peradilan ini didirikan di Tokyo dan Nuremberg dalam upaya

memberi keadilan terhadap para korban kekejaman PD II yang ditujukan

untuk meminta pertanggungjawaban individual. Tanggal 1 Juli 2002 ketika

Statuta Roma mulai berlaku, maka pengakuan atas individu sebagai subjek

yang dibebani tanggungjawab dalam hukum internasional bersifat sangat

terbatas hanya dalam lapangan hukum pidana internasional dan hukum

perang (Jawahir Thontowi, 2006: 195-196). Ada beberapa pembenaran atas

adanya pelanggaran dalam rancangan pasal-pasal ILC dimasukan ke dalam

BAB V bagian satu yakni sebagai berikut.

a. Persetujuan

Persetujuan yang sah (valid consent) oleh negara terhadap

tindakan negara lainnya yang bertentangan dengan yang seharusnya

merupakan salah satu alasan pemaaf. Persetujuan ini bisa dilaksanakan

asal tidak bertentangan dengan peremptory norms atau jus cogen.

b. Bela Diri

Suatu negara diijinkan bertindak dalam cara yang bertentangan

dengan kewajiban internasional yang diembannya dengan tujuan untuk

membela diri sebagaimana yang dinyatakan dalam Piagam PBB yang

berbunyi "nothing in this chapter precluded the wrongfulness of any act

of a state which not in conformity with an obligation arising under peremptory norm general international law”.

c. Force Majeure

Hukum Internasional mengenal alasan akibat dari keadaan yang

(32)

commit to user

berlaku dalam hal "the occurence of an irresistible force or of an

unforceseen event, beyond the control of the state, it materially

impossible in the circumstance to perform the obligation". Pernyataan

ayat (1) tersebut menekankan pengecualian pengenaan tanggungjawab

internasional terhadap situasi yang benar-benar diluar kemampuan.

Pengertian force majeure dibatasi oleh ayat (2) dari pasal sama yang

berbunyi tidak akan berlaku dalam hal "either alone or in combination

with other factors, to the conduct of the state invoking it". Oleh karena

itu, penggunaan alasan ini tidak bisa digunakan dalam hal negara itu

sendiri yang menyebabkannya.

d. Distress

Menurut Pasal 24 Draft ILC pengertian distress adalah sebuah

situasi dimana negara pelaku tidak memiliki cara lain yang lebih baik

(reasonable way) dalam upayanya untuk menyelamatkan hidupnya atau

orang-orang yang berada dalam tanggung-jawabnya. Alasan berdasarkan

pada distress tidak bisa digunakan menurut ayat (2) dalam hal keadaan

yang muncul merupakan akibat dari tindakan negara itu sendiri dan

perbuatan yang dilakukan malah akan menimbulkan kerugian yang sama

atau bahkan lebih besar.

e. Necessity

Necessity merupakan alasan yang bisa digunakan dalam hal negara

tersebut menghadapi bahaya yang luar biasa bagi kepentingannya.

Tindakan yang tergolong necessity haruslah tidak menimbulkan bahaya

bagi negara-negara lain yang berkepentingan atas kewajiban yang

dilanggar. Pengecualian untuk tidak menggunakan necessity dinyatakan

oleh Pasal 25 ayat (2) dalam hal perjanjian itu sendiri secara terang tidak

memberikan kemungkinan bagi penggunaan necessity atau negara itu

sendiri.

Bentuk pertanggungjawaban negara yang diakui hukum internasional

menurut Brownlie menerapkan istilah reparation untuk ditujukan kepada

(33)

commit to user

seperti pembayaran kompensasi atau restitusi, permintaan maaf,

penghukuman atas individu yang bertanggung jawab, mengambil tindakan

supaya tidak terjadinya pengulangan, segala bentuk pembalasan (satisfaction)

lainnya. Kompensasi adalah reparasi dalam pengertian sempit yang

berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang sebagai nilai ganti atas

kerugian. Kompensasi dapat diberikan terhadap pelanggaran-pelanggaran

oleh suatu negara walaupun pelanggaran terhadap tersebut tidak berhubungan

dengan kerugian yang bersifat finansial, misalnya terhadap kekebalan

diplomatik atau konsuler. Ganti Rugi dalam kaitannya persoalan diatas

sebagai reparasi moral atau politis (Jawahir Thontowi, 2006: 204-205).

3. Tinjauan Mengenai Sengketa Internasional

Hubungan internasional yang diadakan antar negara, negara dengan

individu, atau negara dengan organisasi internasional tidak selamanya terjalin

dengan baik atau timbul sengketa. Sengketa dapat bermula dari berbagai

sumber misalnya sengketa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan

lingkungan, perdagangan, dan lain-lain. Mahkamah Internasional Permanen

(PCIJ) dalam sengketa Mavrommatis Palestine Concession (Preliminary

Objections) 1924 mendefinisikan pengertian sengketa sebagai berikut “disagreement on a point of law or fact, a conflict of legal views or interest between two person” (Huala Adolf, 2004: 2). Menurut Mahkamah internasional (ICJ), sengketa internasional adalah suatu situasi ketika dua

negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan

atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian, dan

secara lengkap mahkamah juga menyatakan sebagai berikut.

(34)

commit to user

Menurut M. Nicholson pengertian konflik adalah sebagai berikut. “a conflict exists when two people wish to carry out acts which are mutually inconsistent. They may both want to do the same thing, such as eat the same apple, or they may want to do different things where the different things are mutually incompatible, such as when they both want to stay together but one wants to go to the cinema and the other to stay at home. A conflict is resolved when some mutually compatible set of actions is worked out. The definition of conflict can be extended from individuals to groups (such as states or nations), and more than two parties can be involved in the conflict. The principles remain the same” (M.Nicholson, 1992: 11).

Sengketa antar negara internasional dapat merupakan sengketa yang

tidak dapat mempengaruhi kehidupan internasional dan dapat pula merupakan

sengketa yang mengancam perdamaian dan ketertiban internasional. Peran

hukum internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional adalah

memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan

sengketanya menurut hukum internasional. Hukum Internasional membagi

sengketa internasional menjadi 2 (dua) yakni sengketa politik (political or

nonjusticiable dispute) dan sengketa hukum (legal or judicial disputes)

(Huala Adolf, 2004: 3).

a. Sengketa Politik

Sengketa politik adalah sengketa ketika suatu negara

mendasarkan tuntutan tidak atas pertimbangan yurisdiksi melainkan atas

dasar politik atau kepentingan lainnya. Sengketa yang tidak bersifat

hukum ini penyelesaiannya secara politik. Keputusan yang diambil dalam

penyelesaian politik hanya berbentuk usul-usul yang tidak mengikat

negara yang bersengketa. Usul tersebut tetap mengutamakan kedaulatan

negara yang bersengketa dan tidak harus mendasarkan pada ketentuan

hukum yang diambil.

b. Sengketa Hukum

Sengketa hukum yaitu sengketa dimana suatu negara

mendasarkan sengketa atau tuntutannya atas ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam suatu perjanjian atau yang telah diakui oleh hukum

(35)

commit to user

secara hukum punya sifat yang memaksa kedaulatan negara yang

bersengketa. Hal ini disebabkan keputusan yang diambil hanya

berdasarkan atas prinsip-prinsip hukum internasional.

Dalam hal penyelesaian sengketa internasional, aturan dasar mengenai

penyelesaian sengketa tersebut diatur di piagam PBB, dalam Pasal 33 Piagam

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan :

" the parties to any dispute, the continuance of which is likely to endanger the maintanance of international peace and security, shall, first of all, seek asolution by negotiation, enquiry, mediation, conciliation, arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies or arrangements, or other peaceful means of their own choice”.

Implikasi yang terjadi hendaknya negara-negara anggota PBB

menyelesaikan sengketa intermasional yang terjadi melalui jalan damai, hal

ini juga diperkuat adanya Resolusi Majelis Umum (MU) PBB Nomor 2625

24 Oktober 1970 mengenai General Assembly Declaration on Principles of

International law concerning Friendly Relations and Corporation among

States in accordance with the Charter of the United Nation, yang menyatakan

sebagai berikut "States shall accordingly seek early and just settlement of

their international disputes by negotiation, inquiry and mediation,

conciliation and arbitration, judicial settlement, resort to regional agencies

or arrangements or other peaceful means of their choice”.

Negara dalam melaksanakan penyelesaian secara damai tersebut

hendaknya berdasarkan prinsip-prinsip penyelesaian sebagai berikut (Huala

Adolf, 2004 : 15-18).

a. Prinsip Itikad Baik

Prinsip ini dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan

paling sentral dalam penyelesaian sengketa antar negara, sehingga prinsip

ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak

(36)

commit to user

b. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam Penyelesaian Sengketa

Prinsip ini juga sangat sentral dan penting karena melarang para

pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata

(kekerasan). Prinsip ini juga termuat dalam Pasal 13 Bali Concord dan

preambule ke 4 Deklarasi Manila.

c. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa

Prinsip ini membebaskan para pihak untuk menentukan dan

memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan

(principle of free choice of means).

d. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap

Pokok Sengketa

Prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini

termasuk kebebasan untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan

diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan.

Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan

untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono).

e. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)

Prinsip ini menjadi dasar pelaksanaan prinsip ke tiga dan empat

yang disebutkan diatas sebagai realisasi manakala ada kesepakatan para

pihak.

f. Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Prinsip ini mewajibkan bahwa sebelum para pihak mengajukan

sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah penyelesaian

sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara, harus

terlebih dahulu ditempuh (exhausted).

g. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan, Kemerdekaan,

dan Integritas Wilayah Negara-Negara

Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk

terus menaati dan melaksanakan kewajiban internasionalnya dalam

berhubungan satu sama lainnya berdasarkan prinsip-prinsip fundamental

(37)

commit to user

Ada 7 (tujuh) cara-cara penyelesaian sengketa internasional secara

damai yakni sebagai berikut (Huala Adolf, 2004: 19-25).

a. Negoisasi

Negoisasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar

dan paling tua digunakan oleh umat manusia. Alasan utamanya adalah

dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur penyelesaian

sengketanya dan tiap penyelesaiannya didasarkan konsensus para pihak.

Namun dalam negoisasi juga ada kelemahannya antara lain, yang

pertama bilamana kedudukan para pihak yang tidak seimbang, salah satu

pihak yang kuat mengintervensi pihak yang lemah. Kedua, dalam proses

negoisasi memakan waktu yang lama dan berlangsung lambat. Ketiga,

apabila satu pihak terlalu keras dalam pendiriannya sehingga

menyebakan proses negoisasi menjadi tidak produktif.

b. Pencarian Fakta (inquiry atau fact-finding)

Cara ini ditempuh bilamana cara konsultasi dan negoisasi telah

dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan demikian

ada campur tangan dari pihak ketiga untuk menyelidiki kedudukan fakta

yang sebenarnya serta berupaya melihat suatu permasalahan dari semua

sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan masing-masing.

c. Jasa-Jasa Baik

Menurut Bindschedler mendefinisikan jasa baik adalah "the

involvement of one or more states or an international organization in a

dispute between states with the aim of settling it or contributing to its

settlement”. Cara ini adalah melalui bantuan pihak ketiga dengan mempertemukan para pihak sedemikian rupa sehingga mereka mau

(38)

commit to user

Pengaturan mengenai jasa baik ini dapat ditemukan dalam

berbagai perjanjian multilateral dan bilateral yakni sebagai berikut.

1) The Hague Convention on the Pasific Settlement of International

Dispute tanggal 18 Oktober 1907

2) Bab 6 (Pasal 33-38) Piagam PBB

3) The American Treaty on Pasific Settlement tanggal 30 April 1948

d. Mediasi

Mediasi adalah suatu cara penyelesaian melalui pihak ketiga,

dimana pihak ketiga ini disebut dengan mediator. Pihak ketiga ini bisa

berupa negara, organisasi internasional atau individu. Mereka berperan

secara aktif dalam proses negosiasi karena sebagai pihak yang netral,

maka mereka berupaya mendamaikan para pihak dengan memberikan

saran penyelesaian sengketa agar bisa dicapai kompromi yang diterima

para pihak. Pengaturan hukum mediasi ini bisa ditemukan dalam

ketentuan sebagai berikut.

1) Pasal 3 The Hague Convention on The Peaceful Settlement of

Disputes tanggal 18 Oktober 1907 yang menyatakan sebagai berikut. “Independently of this recourse, the Contracting Powers deem it expedient and desirable that one or more Powers, strangers to the dispute, should, on their own initiative and as far as circumstances may allow, offer their good offices or mediation to the States at variance. Powers strangers to the dispute have the right to offer good offices or mediation even during the course of hostilities. The exercise of this right can never be regarded by either of the parties in dispute as an unfriendly act.

Pasal 4 menyatakan sebagai berikut “The part of the mediator

consists in reconciling the opposing claims and appeasing the

feelings of resentment which may have arisen between the States at

variance.”

(39)

commit to user

3) The General Act for The Pasific Settlement of International

Disputes, tanggal 26 September 1928 yang diubah tanggal 28 April

1949

4) The European Convention for the Peaceful Settlement of Disputes

e. Konsiliasi

Menurut Bindschdler, penyelesaian ini juga melibatkan pihak

ketiga yang terdiri dari dua unsur, yakni unsur ketidakberpihakan dan

unsur kenetralan. Pengertian Konsiliasi juga diberikan ole Institut Hukum

Internasional yang dituangkan dalam Pasal 1 the Regulation on the

Procedure of International Conciliation tahun 1961 yang berbunyi

sebagai berikut.

"a method for the settlement of international disputes of any nature according to which a commission set up by the parties, either on a permanent basis or on an ad hoc basis to deal with a dispute, proceeds, to the impartial examination of the disputes and attemps to define the terms of a settlement susceptible of being accepted by them or of affording the parties, with a view to its settlement, such aid as they may have requested”.

Konsiliasi ini juga diatur dalam The Hague Convention for The

Pasific Settlement of International Dispute tahun 1899 dan 1907 yang

memuat mekanisme dan aturan pembentukan komisi konsiliasi. Komisi

konsiliasi ini bisa sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang

berfungsi untuk menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh

para pihak. Persidangan suatu komisi konsiliasi biasanya terdiri dari dua

tahap, yaitu tahap tertulis dan tahap lisan. Pertama, sengketa (diuraikan

secara tertulis) diserahkan kepada badan konsiliasi, kemudian badan ini

akan mendengarkan keterangan lisan dari para pihak. Para pihak dapat

hadir pada tahap pendengaran tersebut, tetapi bisa juga diwakili oleh

kuasanya. Dalam putusan badan konsiliasi ini, sifatnya tidak mengikat

para pihak karena diterima tidaknya usulan tersebut bergantung

(40)

commit to user

f. Arbitrasi

Arbitrasi adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada

pihak ketiga yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan

mengikat (binding). Penyerahan suatu sengketa kepada arbitrase dapat

dilakukan suatu pembuatan suatu Compromis, yaitu penyerahan kepada

arbitrase suatu sengketa yang telah lahir atau melalui pembuatan suatu

klausul arbitrase dalam perjanjian, sebelum sengketanya lahir (clause

compromissoire).

Orang yang dipilih melakukan arbitrase disebut arbitrator atau

arbiter. Arbitrator dipilih adalah mereka yang telah ahli mengenai pokok

sengketa serta disyaratkan netral. Arbitrator yang sudah ditunjuk

selanjutnya menetapkan terms of reference atau aturan permainan

(hukum acara) yang menjadi patokan dan aturan yang harus disepakati

dalam upaya menyelesaikan sengketa para pihak yang bersengketa.

Penyelesaian mengenai arbitrasi seperti ini dikenal sejak diatur dalam

The Hague Convention for The Pasific Settlement of International

Dispute of 1899 dan 1907, yang mana konvensi ini melahirkan suatu

badan arbitrase intermasional yaitu Permanent Court of Arbitration

(Mahkamah Permanen Arbitrase).

g. Pengadilan Internasional

Penggunaan cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau

badan peradilan internasional ini biasanya ditempuh bila cara-cara

penyelesaian yang ada ternyata tidak berhasil atau prinsip exhaustion of

local remedies. Dalam pengadilan dikenal ada dua kategori, yaitu

pengadilan permanen dan pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus.

Pengadilan Permanen dapat ditempuh melalui berbagai cara atau

lembaga, yaitu Permanent Court of International of Justice (PCIJ) atau

Mahkamah Permanen Internasional, International Court of Justice (ICJ)

atau Mahkamah Internasional, The International Tribunal for the Law of

the Sea maupun International Criminal Court (ICC). Dalam pengaturan

(41)

commit to user

berikut "The International Court of Justice shall be principal organ of

the United Nation, It shall function in accordance with the annexed

Statute, which is based upon the Statute of the Permanent Court of

International Justice and forms an Integral Part of the present Charter.” Dalam putusannya Mahkamah Internasional mengikat para pihak

yang bersengketa, hal ini termuat dalam Pasal 59 Statuta Mahkamah,

yang menyatakan bahwa "the decision of the Court has no binding force

except between the parties and in respect of that particular case". Sifat

putusan Mahkamah adalah mengikat, final dan tidak ada banding seperti

yang tercantum dalam pasal "the judgement is final and without

appeal...”. Pengadilan ad hoc atau pengadilan khusus, biasanya digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian

ekonomi internasional.

4. Tinjauan Mengenai Hukum Lingkungan Internasional

Hukum Lingkungan Internasional adalah salah satu cabang ilmu yang

mulai berkembang sejak tahun 60-an, United Nations Conference on the

Human Environment yang lebih dikenal dengan Konferensi Stockholm yang

diadakan di Stockholm pada tahun 1972 merupakan Konferensi dengan isu

lingkungan hidup internasional yang pertama kali dilaksanakan.

(42)

commit to user

Dasar rintisan hukum lingkungan internasional dimulai pada zaman

abad pertengahan dimana pada masyarakat Eropa mulai ada ketentuan yang

mempunyai tujuan khusus untuk melindungi lingkungan semisal peraturan

hukum tentang pengawasan terhadap pembakaran arang batu, yang disertai

dengan adanya hukuman yang berat (Lord Kennett, 1974: 465-475).

Hukum lingkungan atau environmental law dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai berikut.

“the field of law dealing with the maintenance and protection of the environment, including preventive measures such as the requirements of environmental impact statements, as well as measures to assign liability and provide cleanup for incidents that harm the environment.”

Hukum lingkungan internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja

adalah keseluruhan kaedah, azas-azas yang terkandung di dalam

perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional yang

berobjek lingkungan hidup yaitu masyarakat negara-negara, termasuk

subjek-subjek hukum internasional bukan negara, diwujudkan dalam kehidupan

bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan

internasional (Mochtar Kusumaatmadja, 1982:7).

Menurut Prinsip 21 Declaration of the United Nations Conference on

the Human Environment 1972 menyatakan states have, in accordance with

the Charter of the United Nations and the principles of international law, the

sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own

environmental policies”. Ketentuan tersebut memberikan hak dan kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi

bagian wilayahnya secara tidak menimbulkan kerugian terhadap negara atau

(43)

commit to user

Hukum Lingkungan Internasional adalah hukum lingkungan, yang

dibentuk dan ditentukan kekuasaan internasional bagi warga atau anggota

serta masyarakat internasional berdasarkan cita-cita dan aspirasi hukum

masyarakat internasional.

5. Tinjauan Mengenai Pencemaran Laut

Laut adalah keseluruhan air asin yang menggenangi permukaan bumi.

Definisi ini bersifat fisik semata, sedangkan definisi laut menurut hukum

adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas diseluruh

permukaan bumi (Boer Mauna, 2011: 305).

Pencemaran Laut menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun

1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut adalah “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga

kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan

laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.”

Pencemaran laut menurut definisikan Pasal 1 ayat (4) Konvensi

Hukum Laut 1982 adalah sebagai berikut.

“Pollution of the marine environment means the introduction by man, directly or indirectly, of substance or energy into the the marine environment including estuaries, which results or is likely to result in such deleterious effects as harm to living resources and marine life, hazards to human health, hindrance to marine activities including fishing and other legimate uses of the sea, impairment of quality for use of sea water and of armenities.”

Secara singkat bisa diterjemahkan bahwa, pencemaran laut adalah

dimasukkannya secara langsung maupun tidak langsung oleh perbuatan

manusia suatu substansi atau bahan energi kedalam lingkungan laut yang

menyebabkan merosotnya kadar lingkungan laut, sehingga menyebabkan

bahaya bagi sumber daya alam hayati di laut, kesehatan manusia, rintangan

melakukan kegiatan di laut dan mengurangi pemanfaatan dalam penggunaan

lingkungan laut. Definisi pencemaran laut menurut The United States

Gambar

       Tabel 1
    Gambar 1

Referensi

Dokumen terkait

Menurut sistem hukum laut internasional, permukaan laut secara horizontal dibagi atas beberapa zona dan yang paling dekat dengan pantai dinamakan Laut Wilayah. Zona

Adapun hal yang dapat disimpulkan dari tulisan ini adalah Pengaturan Hukum Laut Internasional belum secara komprehensif mengatur hak penangkapan ikan secara tradisional karena

Timor Leste ingin perjanjian CMAST dibatalkan telah sesuai dengan perspektif Hukum Perjanjian Internasional menyangkut Australia sudah dari awal tidak menunjukan

lingkungan/wilayah laut Indonesia disusun dan dilakukan dalam suatu politik hukum yang memperhatikan ketentuan-ketentuan internasional yang berkaitan dengan pencemaran

Pencemaran laut akibat tumpahan minyak yang terjadi di perairan Indonesia akibat meledaknya ladang minyak PTTEP Australasia di Platform Montara telah memperoleh

Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang telah penulis terima selama ini, penulis memberanikan diri untuk memberi judul: “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENCEMARAN LINTAS BATAS

Negara pantai memiliki kedaulatan penuh di laut teritorialnya, kedaulatan ini meliputi ruang udara diatasnya serta dasar laut dan tanah dibawahnya (pasal 2 konvensi hukum laut

Volume 6, Nomor 2, Tahun 2023 521 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 UNCLOS 1982, kepemilikan suatu negara atas wilayah laut telah diatur yang kemudian menghasilkan delapan zonasi