• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V : Kesimpulan dan Saran

PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PASIEN KURANG MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN

A. Tinjauan Umum Tentang Pasien Kurang Mampu 1 Pengertian Pasien Kurang Mampu

2. Pengaturan Hukum Tentang Hak-Hak Pasien Kurang Mampu.

Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan ini sendiri diartikan sebagai suatu tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat

45

dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.46

Dalam bidang pelayanan kesehatan, hak pasien sangat penting. Hak pasien harus dipenuhi dengan baik mengingat kepuasaan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum. Berdasarkan dimensi kualitas layanan kesehatan maka harapan pasien sebagai konsumen pelayanan medis meliputi:

47

a. Pemberian layanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan;

b. Membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan);

c. Jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyaman;

d. Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien.

Pada Musyawarah ke-34 Asosiasi Kedokteran Sedunia (World Medical Association) bulan September 1981 di Lisabon, untuk pertama kalinya dideklarasikan hak-hak pasien, yang meliputi hak untuk memilih dokter secara bebas, hak untuk dirawat dokter yang memiliki kebebasan dalam membuat keputusan klinis dan etis tanpa pengaruh dari luar, hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adequate, hak untuk mengharapkan bahwa dokternya akan merahasiakan perincian kesehatan dan

46

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Liberty, Yogyakarta, 1999), hlm. 24.

47

Titik Triwulan Tutik dan Shita Febriana, Perlindungan Hukum Bagi Pasien (Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010), hlm. 27.

pribadinya, hak untuk mati secara bermartabat, dan hak untuk menerima atau menolak layanan moral dan spiritual.48

Hak-hak pasien sangat penting untuk dibahas karena pada kenyataan menunjukkan bahwa adanya ketidakpahaman mengenai hak dan kewajiban, menyebabkan kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak pasien sehingga perlindungan hukum pasien menjadi semakin pudar. Selain itu secara umum ada anggapan dimana kedudukan pasien lebih rendah dari kedudukan dokter, sehingga dokter dianggap dapat mengambil keputusan sendiri terhadap pasien mengenai tindakan apa yang perlu dilakukannya dalam upaya untuk menyembuhkan si pasien.

Anggapan ini ternyata keliru, jika dipandang dari sudut perjanjian karena hubungan antara dokter dan pasien timbul berdasarkan adanya perjanjian dari kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang dalam dunia medis disebut perjanjian terapeutik. Berdasarkan perjanjian terapeutik, kedudukan antara dokter dan pasien adalah sama atau sederajat. Secara hukum, pasien adalah subjek hukum mandiri yang dianggap dapat mengambil keputusan sendiri untuk kepentingan dirinya. Pasien tetap mampu mengambil keputusan sendiri yang berkaitan dengan kepentingan dirinya walaupun dalam kondisi sakit. Dengan demikian walaupun dalam kondisi sakit, kedudukan hukumnya tetap sama seperti orang sehat.

Pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak

48

Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010), hlm. 198.

asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan mentalnya tidak mendukung untuk mengambil keputusan yang diperlukan.

Pada umumnya dikenal dua jenis hak asasi atau hak dasar manusia yaitu hak dasar sosial dan hak dasar individual. Dalam hukum kesehatan terdapat dua azas hukum yang melandasi yakni the right to health care atau hak atas pelayanan kesehatan dan the right of self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri.49

The Right To Health Care menimbulkan hak individual lain yaitu theright to medical care (hak atas pelayanan medis). The Right to Self-Determination (hak menentukan nasib sendiri) terdapat pengaturannya dalam konvensi-konvensi internasional misalnya di dalam International Covenant on Civil and Political Right (1966) Pasal 1 menyatakan : “All peoples have the right to self- determinations...” artinya bahwa “setiap orang mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri...“.

Kedua hak tersebut merupakan hak primer atau hak dasar dalam bidang kesehatan. Akan tetapi batasan antara hak dasar sosial dan hak dasar individual agak kabur. Hal ini disebabkan karena hak dasar individual atau hak menentukan nasib sendiri juga terdapat pada hak dasar sosial.

The Right of Self-Determination (TROS) menjadi hak dasar atau hak primer individual, merupakan sumber dari hak-hak individual, yaitu:50

a. Hak atas privacy

b. Hak atas tubuhnya sendiri

49

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 37.

50

Berikut ini skema hak-hak yang dimiliki oleh pasien dalam profesi kedokteran berdasarkan pemaparan di atas:

SKEMA 1

Hak-Hak Pasien Dalam Profesi Kedokteran

HAK DASAR KESEHATAN

SOSIAL INDIVIDUAL The Right to

Health Care Hak atas Hak atas Privacy badan sendiri Hak atas

Pelayanan Medis Hak atas rahasia - Hak atas informasi Kedokteran - Hak memilih

- Hak menolak •Perawatan •Tindakan medis tertentu - Hak menghentikan perawatan

- Hak atas second opinion

- Hak memeriksa rekam medis

Sumber: Penuntun Kuliah Hukum Kedokterankarya Danny Wiradharma hlm. 41.

Di negara kita pengaturan tentang hak asasi manusia di bidang kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana pada Pasal 4 yang berbunyi bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan”. Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, negara mengatur bahwa setiap warga negaranya berhak atas kesehatan. Pengaturan hak atas kesehatan bagi warga negaranya ini adalah sama untuk semua warga negara, tidak membedakan status, golongan, ras maupun agama.

Dalam pengaturan perundang-undangan di bidang kesehatan tidak ada pembedaan antara pasien mampu, pasien kurang mampu maupun pasien miskin. Menurut peraturan perundang-undang ketiganya adalah sama status dan kedudukannya dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 5 Ayat (1), “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”.

Oleh karena itu, maka tidak pembedaan yang signifikan antara hak yang dimiliki pasien mampu dan pasien kurang mampu dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

Dalam memperoleh pelayanan kesehatan, seorang pasien mempunyai hak sebagai berikut:51

a. Hak atas informasi medis

Dalam hal ini pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan keadaan penyakit, yakni tentang diagnosis, tindakan medis yang dilakukan, risiko dari tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan medis tersebut. Hal-hal yang perlu diinformasikan ini harus meliputi prosedur yang akan dilakukan, risiko yang mungkin terjadi, manfaat dari tindakan yang dilakukan dan alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Selain itu perlu juga diinformasikan pula kemungkinan yang akan terjadi jika tidak dilakukan tindakan yang dimaksud atau ramalan (prognosis) atau perjalanan penyakit yang akan di derita. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai perkiraan biaya pengobatannya.

51

Chrisdiono M. Achadiat, Pernik-Pernik Hukum Kedokteran : Melindungi Pasien dan Dokter (Widya Medika, Jakarta, 1996), hlm. 4-6.

Prosedur tindakan medis yang hendak dilakukan juga perlu diuraikan alat yang akan digunakan dalam tindakan medis, bagian tubuh mana yang akan terkena dapat dari tindakan medis, efek yang ditimbulkan dari pelaksanaan tindakan medis (kemungkinan menyebabkan cacat/nyeri beserta waktu timbulnya, taraf keseriusan), kemungkinan perlu dilakukannya operasi.

Pihak yang berkewajiban memberikan informasi, tergantung dari sifat tindakan medis, invasif atau tidak. Dokter boleh mendelegasikan pemberian informasi tersebut kepada dokter lain atau perawat dengan syarat dokter atau perawat yang menerima delegasi harus paham mengenai informasi yang akan ia katakan kepada si pasien mengenai penyakit yang di deritanya. Informasi medis yang berhak diketahui oleh pasien, termasuk pula identitas dokter yang merawat. Dokter dapat menahan informasi medis, apabila hal tersebut akan melemahkan daya tahan pasien.52

b. Hak atas persetujuan tindakan medis atau yang dikenal dengan informed consent

Syarat utama dalam mengadakan perjanjian di bidang medis adalah kesepakatan yang terjadi karena adanya kerjasama antara dokter dan pasien. Sesuai dengan teori bahwa informed consent merupakan hak pasien maka dokter berkewajiban menjelaskan segala sesuatu mengenai penyakit pasien kepadanya dan memperoleh izin/persetujuan untuk melakukan tindakan medis. Tindakan medis yang diberikan kepada si pasien dilakukan setelah

52

memperoleh izin/persetujuan dari pasien yang telah memperoleh informasi tentang penyakitnya dari dokter.

Persetujuan dan informasi kemudian dilembagakan dalam sebuah lembaga bernama lembaga informed consent. Lembaga informed consent ini mendapatkan kekuatan hukum dengan diundangkannya Pemenkes Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dalam Permenkes ini informasi dan persetujuan medis menjadi hak dari pasien yang disusun dalam Pasal 2 Ayat (1), bahwa “Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.” Mengenai persetujuan tindakan medis diuraikan lebih rinci pada Pasal 45 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3) Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi:

1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.

2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap

3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis; b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan; c) Alternatif tindakan lain dan resikonya;

d) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Persetujuan yang diberikan oleh pasien dapat berupa persetujuan tertulis maupun persetujuan lisan. Persetujuan tertulis diperlukan untuk setiap tindakan medis yang mengandung resiko tinggi, ditandatangani oleh pihak yang berhak memberikan persetujuan.53 Mengenai pihak yang berkewajiban memberikan persetujuan, secara yuridis adalah pasien sendiri, kecuali bila ia tidak cakap hukum dalam keadaan tertentu. Syarat seorang pasien boleh memberikan persetujuan tindakan medis, yaitu:54

1) Pasien tersebut sudah dewasa

Batasan usia seseorang dikatakan dewasa masih mengalami perdebatan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa seseorang dikatakan dewasa jika telah berusia 21 Tahun atau telah menikah. Seseorang yang belum mencapai usia 21 Tahun tetapi telah menikah dianggap telah dewasa.

2) Pasien dalam keadaan sadar

Pasien harus dalam keadaan dapat diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar. Hal ini mengandung makna bahwa pasien tidak sedang dalam kondisi pingsan, koma atau terganggu kesadarannya karena pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lainnya.

3) Pasien dalam keadaan sehat akal

Pasien tidak mengalami gangguan kejiwaan sehingga dapat memberikan persetujuan dengan sadar.

53

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm. 18-19.

54

Ery Rustiyanto, Etika Profesi Perekam Medis & Informasi Kesehatan, Ed. 1, Cet. 1 (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009), hlm.33.

Dalam keadaan pasien gawat darurat atau tidak sadar, dokter boleh melakukan tindakan ”atas dasar penyelamatan jiwa”, tanpa memerlukan

informed consent55. Leenen mengemukakan suatu konstruksi hukum yang disebut “fiksi hukum” di mana seseorang dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang pada umumnya disetujui oleh para pasien yang berada dalam situasi yang sama.56 Van der Mijn berpendapat bahwa tindakan medis pada pasien tidak sadar bisa dikaitkan dengan Pasal 1354 KUH Perdata, yaitu

Zaakwaarneming atau perwakilan sukarela.57

Dokter yang melanggar ketentuan informed consent akan dikenakan sanksi. Permenkes RI Nomor 585 Tahun 1989 tentang Informed Consent

(Persetujuan Tindakan Medis) Pasal 13 menyatakan bahwa terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin prakteknya.

Informed consent tidak membuat dokter terbebas dari tanggung gugat atas kerugian yang terjadi karena tindakan atau akibat tindakan medis yang dilakukan.58

55

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 59.

Untuk sanksi perdata digunakan KUH Perdata Pasal 1365 mengenai Onrechtmatigedaad, yakni sanksi dalam bentuk ganti kerugian atas cacat atau luka karena adanya perbuatan yang salah misalnya kelalaian. Oleh

56

Ibid, hlm. 59-60.

57

Ibid, hlm. 60.

58

Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia

karena itu tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang tidak menimbulkan kerugian, tidak dapat dijatuhi sanksi perdata.59

Persetujuan tindakan medis di dalam tata hukum pidana merupakan hal yang penting karena dengan adanya persetujuan, maka tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis (dokter, perawat dsb) mempunyai dasar hukum yang kuat. Tanpa persetujuan, tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dapat diduga melanggar hak-hak pasien dan perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur delik yang dirumuskan dalam pasal-pasal KUHP. Pelanggaran terhadap informed consent dapat dijatuhi sanksi pidana yang diatur dalam KUHP Pasal 351 mengenai penganiayaan, misalnya dokter melakukan operasi tanpa izin pasien atau ahli anestesi yang melakukan bius tanpa izin pasien dapat dikenakan Pasal 89 yaitu tentang perbuatan membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. c. Hak memilih dokter atau rumah sakit

Pada dasarnya setiap dokter memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tindakan medis, namun pasien tetap diberikan kebebasan untuk memilih dokter atau rumah sakit yang dikehendakinya. Kebebasan ini dapat dilaksanakan oleh pasien tertentu dengan berbagai konsekuensi yang harus ditanggungnya, misalnya masalah biaya, jika si pasien memilih rumah sakit yang elite/ asing maka otomatis biaya perawatan yang harus ditanggungnya lebih besar dibandingkan jika ia milih rumah sakit yang umum.

59

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 60.

d. Hak atas rahasia medis

Keterangan yang diperoleh dokter dalam melaksanakan profesinya dikenal dengan nama rahasia kedokteran60

Dalam beberapa literatur disebutkan perumusan rahasia medis adalah

atau rahasia medis dalam literatur lainnya.

1) Segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien baik secara sadar maupun secara tidak sadar kepada dokter.

2) Segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sewaktu mengobati dan merawat pasien.

Selain dokter, rumah sakit juga berkewajiban menjaga rahasia medis pasien yang melakukan perawatan di rumah sakit tersebut.61

Namun hak ini dapat dikesampingkan dalam hal-hal sebagai berikut :

1) Diatur oleh Undang-Undang (misalnya UU Penyakit Menular);

2) Bila pasien mendapat hak sosial tertentu (misalnya tunjangan atau penggantian biaya kesehatan);

3) Pasien sendiri sudah mengizinkan secara lisan maupun secara tertulis; 4) Pasien menunjukkan kesan bahwa ia menghendaki demikan (misalnya

membawa pendamping ke ruang praktek dokter);

5) Bila untuk kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi.

Menurut etika kedokteran, kerahasiaan medis ini tetap harus dihormati oleh dokter walaupun pasien tersebut telah meninggal dunia. Peraturan

60

M. Sofyan Lubis, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Cet. 1 (Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009), hlm. 39.

61

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bab IX, Pasal 38.

Pemerintah Nomor 10 Tahun 1996 telah mengatur tentang pelanggaran terhadap hak atas rahasia medis. Pelaku pelanggaran hak ini akan dikenakan Pasal 112 dan Pasal 322 KUHP, disamping sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan. Selain sanksi pidana, pelaku juga dapat dikenakan sanksi perdata yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 1365 Angka (1),(2).

Petugas kesehatan seringkali ditempatkan pada posisi yang dilematis, apalagi dengan maraknya tuntutan HAM. Misalnya pada institusi TNI, seorang dokter karena perintah atasan harus memberikan penjelasan dan keterangan perihal penyakit pasiennya. Di satu sisi dokter harus menjaga kerahasiaan penyakit pasien, akan tetapi di sisi lain dokter juga harus menaati perintah atasannya. Dalam kondisi seperti ini Pasal 51 KUHP dapat dijadikan rujukan, menyatakan bahwa “orang yang melakukan tindak pidana untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan pembesar yang berhak akan itu, tidak dapat dipidana atau istilahnya presume consent.62

e. Hak atas Pendapat Kedua (Second Opinion)

Misalnya seseorang yang memutuskan menjadi anggota TNI karenanya segala data mengenai dirinya harus diketahui oleh atasan/instansinya.

Adakalanya seorang pasien yang telah memeriksakan kondisi kesehatannya kepada seorang dokter dan memperoleh hasil pemeriksaan menginginkan pendapat dari dokter lain mengenai kondisi kesehatanya. Hal ini pun kerap menyinggung perasaan sang dokter karena dokter menganggap

62

Ns. Ta’adi, Hukum Kesehatan : Pengantar Menuju Perawat Profesional (EGC, Jakarta, 2009), hlm. 28-30.

pasien tidak percaya akan kemampuannya dan meragukan hasil kerjanya. Pasien dapat saja meminta pendapat ke dokter yang lain setelah memperoleh pendapat dari dokter pertama. Akan tetapi, jika terdapat perbedaan pendapat antara kedua dokter tersebut maka pasien hanya akan menjadi lebih bingung mengenai kondisi kesehatannya.

Yang dimaksud pendapat kedua adalah adanya kerjasama antara dokter pertama dan dokter kedua dimana dokter pertama memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua.63

Dalam hak atas pendapat kedua, dokter kedua akan mempelajari hasil pemeriksaan dokter pertama dan bila ia melihat adanya perbedaan pendapat, maka ia akan menghubungi dokter pertama untuk membicarakan tentang perbedaan hasil pemeriksaan yang dilakukannya.

Kerjasama ini dilakukan bukan atas inisiatif dari dokter pertama tetapi atas inisiatif pasien. Apabila inisiatif datang dari dokter pertama, maka hal ini dinamakan “rujuk”, dimana pasien dirujuk ke dokter yang lebih ahli.

Hak atas pendapat kedua ini memberikan keuntungan yang besar bagi pasien. Pertama, pasien tidak perlu lagi mengeluarkan biaya lebih untuk melakukan pemeriksaan medis. Kedua, kedua dokter dapat saling berkomunikasi dan bersikap lebih terbuka sehingga memungkinkan menghasilkan pendapat yang lebih baik.

f. Hak atas rekam medik (medical record)

63

Membuat rekam medis menjadi kewajiban dokter dan rumah sakit sejak diundangkannya Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 tentang Rekam Medik yang ditegaskan dalam Pasal 2 yang berbunyi “Setiap sarana pelayanan kesehatan yang melakukan pelayanan rawat jalan, maupun rawat inap wajib membuat rekam medik.” Pengertian rekam medik menurut Pasal 1 Butir a Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 adalah berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.

Dalam Pasal 10 Permenkes Nomor 749a Tahun 1989 dan Pasal 47 Ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2004 diatur mengenai kepemilikan dari rekam medik adalah sebagai berikut:64

1) Berkas rekam medik adalah milik dokter, dokter gigi atau sarana pelayanan kesehatan

2) Isi rekam medik milik pasien

Pendapat dari para pakar Hukum Kesehatan, hak pasien untuk melihat rekam medik (inzage recht) termasuk untuk memperoleh salinan dari rekam medik yang isinya adalah milik pasien.65 Akan tetapi ada bagian-bagian tertentu dalam rekam medis yang bukan milik pasien, yaitu:66

1) Personal note atau persoonlijke aantekeningan, yaitu catatan pribadi dokter, misalnya mengenai perkiraan tentang hal-hal yang berhubungan

64

M. Sofyan Lubis, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Cet. Pertama (Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009), hlm. 41.

65

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm. 27.

66

Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 37.

dengan pasien atau rencana-rencana tertentu dalam menegakkan diagnosis/memutuskan terapi.

2) Catatan tentang orang ketiga, misalnya anamnesis langsung tentang penyakit-penyakit yang kemungkinan terdapat pada sanak keluarga pasien.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa rekam medik yang berisi pendapat pribadi dokter ini tidak perlu diperlihatkan kepada pasien.67 Selain hak-hak pasien diatas ada beberapa hak pasien lainnya seperti: hak untuk menolak pengobatan/perawatan; hak untuk menghentikan pengobatan/perawatan; hak untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya68, kemudian hak atas rasa aman, hak pasien menggugat, hak menolak perawatan tanpa izin, hak atas rasa aman, hak mengakhiri perjanjian perawatan,hak mengenai bantuan hukum, dan hak atas twenty-for-a-day-visitor-rights.69

Hak pasien juga diatur dalam peraturan perundang-undangan antara lain di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Berikut ini tabel hak pasien yang diatur dalam ketiga UU tersebut:

67

M. Sofyan Lubis, Konsumen dan Pasien Dalam Hukum Indonesia, Ed. 1, Cet. 1 (Liberty, Yogyakarta, 2008), hlm. 16.

68

Danny Wiradharma, op.cit., hlm. 57.

69

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Cet. 1 (PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005), hlm. 33-34.

TABEL 1

Daftar Pasal-Pasal yang Mengatur Tentang Hak-Hak Pasien Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009, UU Nomor 29 Tahun 2004 dan UU Nomor 44 Tahun

2009

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit Setiap orang mempunyai hak:

1) Hak atas kesehatan;70

2) Hak yang sama dalam

askes untuk mendapatkan sumber daya dibidang kesehatan;71

3) Hak dalam memperoleh

pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau;72

4) Hak untuk menentukan

sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan

bagi dirinya sendiri;73

5) Lingkungan yang sehat

bagi pencapaian derajat kesehatan;74

6) Hak atas informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab;75

7) Hak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan

Seorang pasien mempunyai hak:80

1)Hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana yang dimaksud Pasal 45 Ayat

(3);

2)Hak untuk meminta

pendapat dokter atau dokter gigi lain;

3)Hak untuk mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan medis;

4)Hak untuk menolak

tindakan medis;

5)Hak untuk mendapatkan

keterangan yang merupakan rahasia dokter

dan isi dari rekam medis.

Setiap pasien mempunyai hak:81

1) memperoleh informasi

mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit;

2) memperoleh informasi

tentang hak dan kewajiban pasien;

3) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;