PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN KURANG
MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG
PELAYANAN KESEHATAN
(STUDI DI RSU IMELDA PEKERJA INDONESIA MEDAN)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM: 100200102
IMELDA
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN KURANG
MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG
PELAYANAN KESEHATAN
(STUDI DI RSU IMELDA PEKERJA INDONESIA MEDAN)
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Oleh:
NIM: 100200102
IMELDA
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KERPERDATAAN
NIP: 19660303 198508 1 001 DR.HASIM PURBA, S.H.,M.HUM
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
DR. HASIM PURBA, S.H.,M.HUM
NIP: 19660303 198508 1 001 NIP: 19660202 199103 2 002
DR. ROSNIDAR SEMBIRING, S.H., M.HUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkah dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis
bisa menyelesaikan karya tulis skripsi ini dengan baik.
Penulisan Skripsi yang berjudul: Perlindungan Hukum Terhadap
Pasien Kurang Mampu Sebagai Konsumen Jasa di Bidang Pelayanan
Kesehatan (Studi Di RSU Imelda Pekerja Indonesia) adalah guna memenuhi
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan
kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik
tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan
berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara (USU).
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
3. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II
4. Bapak Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).
5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan dan Dosen Pembimbing I. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya
atas segala saran dan kritik yang sangat berarti dan bermanfaat bagi
penyelesaian skripsi ini.
6. Ibu Rabiatul Syariah, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum USU.
7. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan, kritikan, saran,
bimbingan, dan dukungan yang sangat berarti dan bermanfaat hingga
selesainya penyusunan skripsi ini.
8. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H., selaku Dosen Wali. Ucapan terima kasih
sebesar-besarnya atas segala bantuan sejak baru menjadi mahasiswa sampai
sekarang selesai menyelesaikan pendidikan.
9. Seluruh staf Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU.
10. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu
Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Kedua orang tua Penulis yang telah membesarkan, mendidik, dan mendukung
12. Adik-adik Penulis yang selama ini banyak mendukung Penulis dalam proses
perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
13. Bapak dr. Hedy Tan, MARS, MOG, Sp.OG selaku Direktur RSU IPI dan dr.
Imelda Liana Ritonga selaku Wadir Administrasi dan Keuangan yang telah
memberikan Penulis kesempatan untuk melakukan riset di RSU IPI.
14. Kepada seluruh staf RSU IPI yang telah membantu Penulis selama riset di
RSU IPI.
15. Kepada Vellichia Lawrence, Henjoko, Jerry Thomas, Herbert, Sally Putri,
Febrina Sumardy, dan sahabat-sahabat Penulis lainnya yang selalu bersama
Penulis dalam suka maupun duka pada saat menjalani masa perkuliahan.
16. Kepada Kwendi, Swanti N. Siboro, Lowria L. Napitupulu, Merty Pasaribu,
Meirita Pakpahan dan teman-teman Grup D lainnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu yang telah memberikan kenangan masa perkuliahan
yang indah kepada Penulis.
17. Kepada teman-teman satu departemen Penulis Robert, Rivera Wijaya, Moria
Gunawati dan Chyntia Stefany yang telah membantu dan mendukung Penulis
selama penulisan skripsi ini.
Medan, 2 April 2014
Penulis
IMELDA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL DAN SKEMA ... vi
ABSTRAK ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. ... L atar Belakang ... 1
B. ... R umusan Masalah ... 9
C. ... T ujuan Penulisan ... 10
D. ... M anfaat Penulisan ... 10
E... M etode Penelitian ... 12
F. ... K easlian Penulisan ... 15
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN KURANG MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN KESEHATAN
A. ... T injauan umum tentang pasien kurang mampu ... 20
1.... P engertian pasien kurang mampu ... 20
2.... P engaturan hukum tentang hak-hak pasien kurang mampu ... 30
3.... T anggung jawab rumah sakit dan dokter dalam pelayanan kesehatan pasien ... 50
B. ... T injauan umum tentang jasa di bidang pelayanan kesehatan ... 60
1... P engaturan dan jenis pelayanan kesehatan ... 60
2... T
ugas dan fungsi rumah sakit dalam pemberian
pelayanan kesehatan ... 73
BAB III RUMAH SAKIT UMUM IMELDA PEKERJA
INDONESIA MEDAN SEBAGAI SARANA PELAYANAN KESEHATAN BAGI PASIEN
B. ... J enis pelayanan jasa yang diberikan Rumah Sakit Umum Imelda ... 88
C. ... T ugas dan tanggung jawab Rumah Sakit Umum Imelda dalam pelayanan kesehatan ... 93
BAB IV IMPLEMENTASI PELAYANAN KESEHATAN
KEPADA PASIEN KURANG MAMPU PADA RUMAH SAKIT UMUM IMELDA PEKERJA INDONESIA MEDAN
A. ... J enis pelayanan kesehatan yang diberikan dan persyaratan pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien kurang mampu ... 98
B. ... H ak-hak pasien kurang mampu dalam memperoleh pelayanan kesehatan ... 108
C. ... H ambatan dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien kurang mampu pada Rumah Sakit Umum Imelda . 110
D. ... T anggung jawab hukum Rumah Sakit Umum Imelda Terhadap pasien kurang mampu ... 113
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. ... K
esimpulan ... 118
B. ... S
DAFTAR PUSTAKA ... 122
LAMPIRAN
DAFTAR SKEMA DAN TABEL
A. Daftar Skema
1. ... H
2. ... S
ub Sistem Dalam Pelayanan Kesehatan ... 64
3. ... S
truktur Organisasi RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan ... 86
B. Daftar Tabel
1. ... D
aftar Pasal-Pasal yang Mengatur Tentang Hak-Hak Pasien Menurut
UU Nomor 36 Tahun 2009, UU Nomor 29 Tahun 2004, dan UU
Nomor 44 Tahun 2009 ... 46
2. ... D
aftar Pasal-Pasal yang Mengatur Tentang Kewajiban Pasien
Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009, UU Nomor 29 Tahun 2004,
dan UU Nomor 44 Tahun 2009 ... 49
3. ... R
incian Luas Tanah RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan ... 81
4. ... D
aftar Nama Dokter Spesialis yang Bekerja di RSU Imelda Pekerja
ABSTRAK Imelda*1 Hasim Purba** Rosnidar Sembiring***
Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar setiap warga negara yang dilindungi dan dijamin oleh negara. Namun pelayanan kesehatan dalam pelaksanaannya hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan mampu. Masyarakat golongan tidak mampu seringkali terabaikan dalam pelayanan kesehatan baik oleh RS maupun oleh dokter. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini antara lain bagaimanakah jenis pelayanan kesehatan dan persyaratannya, hak-hak pasien kurang mampu dan hambatan dalam pemberian pelayanan kesehatan serta tanggung jawab RSU Imelda Pekerja Indonesia terhadap pasien kurang mampu.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dan bersifat deskriptif analitis. Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan metode penelitian lapangan (field research) yakni hasil wawancara dengan pihak RSU Imelda Pekerja Indonesia. Data sekunder yang telah dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan data primer yang diperoleh dari pihak RSU IPI Medan dengan teknik analisis data secara kualitatif.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa RSU IPI memberikan jenis pelayanan yang baik kepada pasien kurang mampu sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan pemberian pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh RSU IPI juga tidak membingungkan pasien hanya perlu kartu peserta jaminan kesehatan. pasien juga memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai yakni perawatan inap di ruang rawat kelas III, obat habis pakai dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan rujukan dari RSU IPI sebagai wujud haknya sebagai pasien kurang mampu. Dalam pemberian pelayanan kesehatan, RSU IPI mengalami hambatan dimana pasien kurang mampu yang tidak dapat menunjukkan kartu jaminan kesehatannya dan sikap acuh tak acuh pasien dalam pengurusan kartu jaminan kesehatan serta kurangnya fasilitas kesehatan yang dimiliki RSU IPI. RSU IPI bertanggungjawab atas segala kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis/paramedisnya baik secara kekeluargaan, non litigasi maupun litigasi. Penulis menyarankan agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien kurang mampu dapat ditingkatkan kualitasnya, pengurusan jaminan kesehatan ataupun jaminan sosial
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Imelda*1 Hasim Purba** Rosnidar Sembiring***
Pelayanan kesehatan merupakan hak dasar setiap warga negara yang dilindungi dan dijamin oleh negara. Namun pelayanan kesehatan dalam pelaksanaannya hanya dapat dinikmati oleh masyarakat golongan mampu. Masyarakat golongan tidak mampu seringkali terabaikan dalam pelayanan kesehatan baik oleh RS maupun oleh dokter. Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini antara lain bagaimanakah jenis pelayanan kesehatan dan persyaratannya, hak-hak pasien kurang mampu dan hambatan dalam pemberian pelayanan kesehatan serta tanggung jawab RSU Imelda Pekerja Indonesia terhadap pasien kurang mampu.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dan bersifat deskriptif analitis. Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research) dan metode penelitian lapangan (field research) yakni hasil wawancara dengan pihak RSU Imelda Pekerja Indonesia. Data sekunder yang telah dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan data primer yang diperoleh dari pihak RSU IPI Medan dengan teknik analisis data secara kualitatif.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa RSU IPI memberikan jenis pelayanan yang baik kepada pasien kurang mampu sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persyaratan pemberian pelayanan kesehatan yang ditetapkan oleh RSU IPI juga tidak membingungkan pasien hanya perlu kartu peserta jaminan kesehatan. pasien juga memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai yakni perawatan inap di ruang rawat kelas III, obat habis pakai dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan rujukan dari RSU IPI sebagai wujud haknya sebagai pasien kurang mampu. Dalam pemberian pelayanan kesehatan, RSU IPI mengalami hambatan dimana pasien kurang mampu yang tidak dapat menunjukkan kartu jaminan kesehatannya dan sikap acuh tak acuh pasien dalam pengurusan kartu jaminan kesehatan serta kurangnya fasilitas kesehatan yang dimiliki RSU IPI. RSU IPI bertanggungjawab atas segala kegiatan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga medis/paramedisnya baik secara kekeluargaan, non litigasi maupun litigasi. Penulis menyarankan agar pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien kurang mampu dapat ditingkatkan kualitasnya, pengurusan jaminan kesehatan ataupun jaminan sosial
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
tidak persulit dan dokter serta RS menunjung tinggi sikap tanggung jawab kepada pasiennya dalam memberikan pelayanan kesehatan.
Kata Kunci: Perlindungan Pasien, Pelayanan Kesehatan, Konsumen Jasa.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara memperoleh legitimasi kekuasaannya dari rakyat atas dasar
kepercayaan rakyat bahwa negara akan melindungi hak-hak asasi rakyatnya. John
Locke menyatakan sebuah teori bahwa perlindungan hak-hak kodrati sebagai
basis pendirian negara (Friedrich, 1969: 101-103): setiap orang tunduk terhadap
kekuasaan negara sepanjang dilakukan untuk menciptakan perdamaian, keamanan
dan kesejahteraan umum atau melindungi hak-hak kodrati rakyat.2
Hak-hak asasi rakyat ini salah satunya adalah kesehatan. Hak atas
Pemeliharaan kesehatan merupakan salah satu dari hak dasar sosial manusia.3
2
Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia
(P.T. Alumni, Bandung, 2007), hlm. 1.
Kesehatan merupakan kebutuhan primer setiap individu yang sangat berharga.
Kebutuhan akan kesehatan ini tidak memandang status, golongan, maupun ras
yang dimiliki seseorang karena kesehatan adalah hak yang dimiliki oleh seluruh
masyarakat. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai organisasi
pemerintahan berkewajiban melindungi hak-hak asasi warga negaranya
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD RI Tahun 1945 bahwa
3
negara wajib melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum.
Seluruh warga negara Indonesia berhak atas pelayanan kesehatan yang
baik. Hal ini terdapat pada Pasal 28 H UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi:
“setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ... serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan” dan Pasal 34 Ayat (3) UUD RI Tahun 1945
yang berbunyi: “ Negara Bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan pelayanan umum yang layak.”
Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Suatu negara yang kesehatan rakyatnya kurang terurus dengan baik akibatnya
akan menghasilkan sumber daya manusia yang kualitasnya rendah sehingga sulit
bersaing dengan negara-negara lain pada kompetisi global.4
Untuk mendukung perlindungan hak atas pemeliharaan kesehatan,
pemerintah menyelenggarakan suatu kebijakan di bidang kesehatan yaitu dengan
pemberian jaminan kesehatan kepada seluruh warga negara Indonesia tanpa
terkecuali melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program JKN
yang diselenggarakan sekarang oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini
memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakat di bidang kesehatan dalam
bentuk Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan
Masyarakat (Jamkesmas).
4
Pemerintah Indonesia membentuk suatu peraturan perundang-undang
tentang jaminan sosial pada tahun 2004 bersama Dewan Perwakilan Rakyat, yang
digunakan sebagai payung hukum dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial
kepada masyarakat. Peraturan perundang-undangan yang diundangkan ini dinamai
Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Nomor 40
Tahun 2004. Kebijakan dan peraturan perundang-undangan tersebut dicanangkan
oleh pemerintah dengan harapan agar dapat memenuhi kebutuhan dan
memberikan perlindungan di bidang kesehatan kepada warga negaranya
Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait
dalam bidang pemeliharaan kesehatan.5
Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan, maka hubungan antara dokter
dengan pasien menunjukkan bahwa dokter memeiliki posisi yang dominan
sedangkan pasien dalam hal ini hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa
kewenangan untuk melawan.
Ketiga pihak ini membentuk hubungan
medik dan hubungan hukum yakni pemeliharaan kesehatan secara umum dan
pelayanan kesehatan secara khusus. Dokter dan rumah sakit sebagai pemberi jasa
pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan.
6
5
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm. 1.
Posisi demikian secara historis berlangsung selama
bertahun-tahun dimana dokter memegang peranan utama, baik karena
pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimilikinya maupun karena
kewibawaannya karena ia sebagai bagian kecil dari masyarakat yang sejak
6
bertahun-tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam
memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.
Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada
pasiennya, keselamatan dan perkembangan kesehatan pasien merupakan landasan
mutlak bagi rumah sakit khususnya dokter atau tenaga medis lainnya yang
menjalankan praktik profesinya. Seorang dokter harus melakukan segala upaya
semaksimal mungkin untuk menangani pasiennya.7
Pemberian tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi
menyebabkan suatu kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh petugas
kesehatan dalam melakukan tugas profesinya. Selain itu, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan telah berkembang semakin pesat,
yang diimbangi pula dengan perkembangan sarana kesehatan yang semakin
canggih juga tidak menutup kemungkinan terjadinya kesalahan atau kelalaian
dalam pemberian jasa pelayanan kesehatan terhadap pasien selaku konsumen jasa
di bidang kesehatan.
Kesalahan atau kelalaian yang terjadi ini dapat mengakibatkan kerugian
yang bagi si pasien yang dapat meliputi kerugian materiil maupun kerugian
immateriil. Kesalahan atau kelalaian tersebut dapat berupa pihak rumah sakit
melalaikan kewajibannya memberikan pelayanan kesehatan atau dokter
melakukan tindakan medis yang berakibat fatal bagi pasiennya. Atas kesalahan
atau kelalaian tersebut, pasien berhak memperoleh haknya. Hak pasien ini adalah
7
mendapatkan ganti rugi apabila pelayanan kesehatan yang diterima tidak
sebagaimana mestinya.8
Pasien yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang
kesehatan seringkali diposisikan sebagai pihak yang lemah karena kurangnya
pengetahuan yang dimilikinya tentang hak-hak yang seharusnya ia peroleh dalam
memperoleh suatu pelayanan kesehatan baik dari pihak dokter maupun dari pihak
rumah sakit.
Memiliki pengetahuan yang baik tentang standar pelayanan medik dan
standar profesi medik, pemahaman tentang malpraktik medik, penanganan
penderita gawat darurat, rekam medis, euthanasia, dan lain-lain adalah
pengetahuan masa kini yang perlu untuk didalami secara profesional.9
Dewasa ini sering kita jumpai kasus-kasus yang mengakibatkan pasien
dirugikan terutama pasien kurang mampu dan pasien miskin. Pasien kurang
mampu dan pasien miskin dianggap tidak memiliki kemampuan dalam bidang
ekonomi ini kerap diabaikan atau tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang
layak alias ditelantarkan. Misalnya saja pada kasus yang baru terjadi pada awal
tahun 2014 ini yakni tentang seorang kakek yang sudah lanjut usia yang
ditemukan dalam keadaan sekarat di sebuah gubuk di pinggir jalan Desa
Sukadanaham, Kecamatan Tanjungkarang Barat Bandar Lampung yang kemudian
meninggal dunia setelah mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah
Abdul Moeloek.
8
Ibid, hlm. 6.
9
Kakek bernama Suparman bin Sariun alias Mbah Edi (63 tahun) diduga
menjadi korban pasien buangan dari Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr A
Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung. Saat warga menemukan Suparman di gubuk
tersebut di tangannya masih terdapat bekas suntikan jarum infus dan sejumlah
perban yang masih menempel. Kasus pembuangan pasien miskin yang tidak
mempunyai sanak keluarga ini terungkap pada tanggal 22 Januari 2014.
Suparman dikeluarkan dari mobil ambulans dalam keadaan tidak sadarkan
diri dengan bekas infus di tangannya dan balutan kain kassa di kakinya. Kakek
malang ini kemudian ditinggalkan begitu saja di sebuah gubuk di Jalan
Sukadanaham, Tanjungkarang Barat hingga ditemukan dan dibawa warga ke
RSUD Dadi Tjokrodipo bersama Camat setempat.
Setelah diperiksa pihak RSUD dr Dadi Tjokrodipo, ternyata kondisi
Suparman mengalami penyakit jiwa dan di RSUD dr A Dadi Tjokrodipo tidak
memiliki dokter jiwa sehingga dirujuk ke RSUD dr Abdul Moeloek. Tetapi
setelah mendapatkan perawatan di RSUD Abdul Moeloek, Suparman hanya
mampu bertahan beberapa jam sebelum akhirnya nyawanya tidak dapat
terselamatkan akibat parahnya sakit yang ia derita. Jenazah Suparman telah
dimakamkan oleh pihak RSUD Abdul Moeloek di tempat pemakaman umum
(TPU) Jagabaya pada 27 Januari 2014.10
Menurut salah satu tersangka yang diduga terlibat dalam kasus
pembuangan pasien di Bandar Lampung, Muhaimin (33) yang bertugas sebagai
10
supir ambulans dihadapan penyidik Polresta Bandar Lampung bahwa RSUD dr A
Dadi Tjokrodipo telah beberapa kali membuang pasiennya. Hal ini juga
dibenarkan keempat tersangka lainnya yakni Rika Aryadi (perawat), Rudi Hendra
Hasan (juru parkir), serta Andi Febrianto dan Andika (Cleaning service).11
Selain kasus pembuangan pasien, adapula kasus lainnya yang
mencerminkan minimnya perlindungan hukum terhadap pasien kurang mampu di
Negara kita Indonesia seperti:12
1. kasus pemulung, Supriono yang membawa pulang jenazah anaknya yang
telah meninggal karena muntaber dengan gerobak sampah karena tidak
sanggup menyewa ambulan untuk membawa pulang jenazah anaknya ke
Bogor untuk dimakamkan;
2. Kisah malang bayi berusia dua bulan sepuluh hari bernama Naila yang
meninggal akibat keterlambatan penanganan dimana Naila mengalami
sesak nafas akut yang sudah sangat memprihatinkan saat dibawa ke RSU
Lasinrang, Pinrang, Sulawesi Selatan. Namun, sesampainya di RS orang
tua Naila diwajibkan untuk mengantri. Orang tua Naila meminta belas
kasihan petugas rumah sakit agar Naila dapat diperiksa lebih dahulu, tapi
ditolak oleh petugas dan menanyai tentang segala macam surat yang
menerangkan bahwa orang tua Naila berasal dari keluarga tidak mampu.
Orang tua Naila mendapatkan nomor antrian 115 sementara antrian baru
11
diakses tanggal 14 Februari 2014 pukul 20.45 WIB.
12
sampai nomor 95 yang diperiksa. Ayah Naila pun mengurus surat-surat
tersebut, tanpa pertolongan medis dari rumah sakit, si kecil Naila pun
hanya dapat terbaring lemah dipangkuan ibunya menghembuskan nafas
terakhir. Setelah dua jam mengurus surat-surat tersebut, baru ada perawat
yang menolong Naila, namun Naila telah tiada. Pihak RS memberikan
jatah ambulans untuk membawa pulang jenazah Naila ke rumah untuk
dimakamkan.
3. Kisah derita bayi Dera meninggal mengalami masalah pernafasan. Dokter
RS Zahira menyarankan agar Dera dirujuk ke rumah sakit lain akibat alat
yang tidak memadai. Ayah Dera mencari rumah sakit rujukan lain namun
tidak ada satu pun rumah sakit yang menerima Dera.
Kasus-kasus di atas menggambarkan bahwa masih minimnya perlindungan
hukum terhadap pasien yang semakin memacu semangat dan rasa ingin tahu
penulis untuk mengkaji lebih lanjut mengenai perlindungan hukum terhadap
pasien terutama terhadap pasien kurang mampu untuk mengetahui sejauh
manakah pasien kurang mampu ini memperoleh perlindungan hukum dalam
bidang pelayanan kesehatan. Rumah sakit dan dokter masih acuh tak acuh
Melalui latar belakang di atas, penulis mencoba mengangkat persoalan
mengenai :
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN KURANG MAMPU
SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN KESEHATAN
(STUDI DI RSU IMELDA PEKERJA INDONESIA MEDAN)”
B. Permasalahan
Berdasarkan pemaparan latar belakang, maka perlindungan hukum
terhadap pasien kurang mampu sangat perlu karena pasien kurang mampu tersebut
adalah warga negara Indonesia sehingga menjadi tanggung jawab negara untuk
melindungi warga negaranya tanpa membeda-bedakan status, golongan maupun
ras. Penulis akan membahas masalah-masalah yang seringkali kurang jelas
diketahui oleh masyarakat selaku pasien terutama pasien kurang mampu yang
memiliki keterbatasan dalam hal ekonomi antara lain :
1. Bagaimanakah jenis pelayanan kesehatan yang diberikan dan persyaratan
pemberian pelayanan kesehatan oleh RSU IPI kepada pasien kurang
mampu ?
2. Bagaimanakah hak-hak pasien kurang mampu di RSU IPI ?
3. Apakah hambatan yang dialami RSU IPI saat pemberian pelayanan
kesehatan tersebut kepada pasien kurang mampu ?
4. Bagaimanakah tanggungjawab hukum yang dilakukan RSU IPI untuk
C. Tujuan Penulisan
Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan
manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan
penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan mengkaji jenis pelayanan kesehatan yang diberikan
dan persyaratan pemberian jasa pelayanan kesehatan tersebut kepada pasien
kurang mampu di RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan.
b. Untuk mengetahui hak-hak yang dapat diperoleh pasien kurang mampu di
RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan.
c. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi saat pemberian jasa pelayanan
kesehatan kepada pasien kurang mampu di RSU Imelda Pekerja Indonesia.
d. Untuk mengetahui tanggung jawab hukum RSU Imelda Pekerja Indonesia
Medan kepada pasien kurang mampu
D. Manfaat Penulisan
Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang
diteliti. Untuk itu suatu penelitian setidaknya mampu memberikan manfaat praktis
pada kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi
yang saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis. Melalui skripsi ini
1. Manfaat teoritis
Manfaat teroritis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang bertalian
dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teroritis tersebut antara lain :
a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum secara umum dan
khususnya di bidang keperdataan tentang perlindungan hukum terhadap
pasien kurang mampu sehingga di masa yang akan datang pasien kurang
mampu lebih dapat dilindungi oleh hukum.
b. Hasil penulisan skripsi diharapkan dapat menambah literatur atau
kepustakaan di bidang perlindungan pasien terutama pasien kurang
mampu.
2.Manfaat praktis
Manfaat praktis yaitu manfaat dari penulisan hukum ini yang berkaitan
dengan pemecahan masalah. Penulis berharap hasil penulisan skripsi ini
dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang perlindungan
hukum terhadap pasien kurang mampu dewasa ini khususnya pada Rumah
Sakit Imelda Medan serta sumbangan pemikiran kepada pemerintah agar
lebih memperhatikan perlindungan hukum terhadap pasien yang dalam
penulisan ini diutamakan kepada pasien kurang mampu yang mempunyai
E.Metode Penelitian
Metode yang diterapkan di dalam suatu penelitian adalah kunci utama untuk
menilai baik buruknya suatu penelitian.13 Penelitian merupakan sarana yang
dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan
ilmu pengetahuan.14 Skripsi ini sebagai hasil penelitian tentu dihasilkan dari
penerapan metodologi penelitian sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap
komunitas pengemban ilmu hukum.15
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah
penelitian empiris yang bersifat deskriptif analitis. Sedangkan penelitian empiris
atau sosiologis16, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti data
primer yang diperoleh dari lapangan. Penelitian empiris atau sosiologis terdiri
dari:17
a. Penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis);
b. Penelitian terhadap efektivitas hukum.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto18
13
Tampil Anshari Siregar, Metodologi Penelitian Hukum : Penulisan Skripsi (Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005), hlm.15.
, penelitian hukum empiris atau sosiologis
disebutnya sebagai penelitian non-doktrinal yang diartikan sebagai penelitian
14
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, 2007, hlm. 13-14.
15
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi: Penelitian Hukum Nomartif, Ed. Revisi (Bayumedia Publishing, Malang, 2008), hlm. 26.
16
Tampil Anshari Siregar, op.cit., hlm.23-24.
17
Soerjono Soekanto, op.cit., hlm 51.
18
berupa studi-studi empiris untuk menemukan teori-teori mengenai proses
terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat sehingga
penelitian ini juga sering disebut sebagai Socio Legal Research. Sedangkan
penelitian deskriptif ialah penelitian yang pada umumnya bertujuan untuk
mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau
daerah tertentu mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor
tertentu.19 Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.20 Penelitian
deskriptif dalam arti luas biasanya disebut dengan istilah penelitian survei.21
2. Data
Dengan metode deskriptif analitis artinya skripsi ini tidak hanya mengkaji data
secara lengkap tetapi juga menganalisis data tersebut dengan gejala-gejala yang
diteliti, apakah gejala tersebut sesuai atau tidak dengan data umum yang disajikan.
Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini,
menggunakan metode penelitian lapangan (field research) yang didukung oleh
metode penelitian kepustakaan (library research). Metode penelitian kepustakaan
dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.22
19
Ibid, hlm. 36.
Sedangkan metode penelitian lapangan dilakukan terhadap data yang bersifat
primer yang ada di lapangan. Menurut Soerjono Soekanto, data primer
merupakan data yang diperoleh dari sumber pertama, yakni dalam skripsi ini
20
Soerjono Soekanto, Op. cit., hlm. 10.
21
Soerjono Soekanto dan Abdurrahman, Metode Penelitian hukum, Cet. Kedua (PT Rineka Cipta, Jakarta, 2003), hlm. 22.
22
adalah pihak RSU Imelda Pekerja Indonesia Medan. Sedangkan menurutnya data
sekunder dalam penelitian hukum terdiri atas tiga bahan hukum, yaitu:23
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti
undang-undang, peraturan pemerintah, konvensi atau perjanjian internasional,
dan berbagai peraturan hukum nasional dan internasional yang mengikat
(terutama yang berkaitan dengan perlindungan pasien dalam bidang
pelayanan kesehatan).
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum, dan berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan
dengan penelitian yang dilakukan ini.
c. Bahan hukum tertier (tersier), yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya
adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
3. Analisis Data
Dalam skripsi ini, analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan
memahami manusia dari sudut pandang orang yang bersangkutan itu sendiri,
berguna untuk memahami dan mengerti gejala yang diteliti.24
23
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu TInjauan Singkat, Ed. Pertama, Cet. Ketujuh (PT Raja Grafindo Persada Jakarta, 2003), hlm. 13.
Kegiatan yang
dilakukan adalah melakukan pengumpulan data dengan menggunakan
pengamatan, wawancara (mengajukan pertanyaan), dan menganalisis
dokumen-dokumen yang bersifat pribadi. Dapat disimpulkan, penelitian seperti ini bersifat
holistic (menyeluruh) dengan usaha mencari informasi sedalam-dalamnya dan
24
sebanyak-banyaknya mengenai aspek dan gejala yang diteliti. Analisis kualitatif
berkaitan erat dengan subjektivitas peneliti yang tergantung pada hal-hal spesifik
yang penting dipandang oleh yang meneliti.
Penarikan kesimpulan dalam skripsi ini dilakukan dengan metode deduktif, yakni
cara penarikan kesimpulan dengan membahas terlebih dahulu tentang data secara
umum yang sudah diketahui, diyakini, dan dikumpulkan secara lengkap. Data atau
gejala umum ini kemudian dibandingkan serta dianalisis dengan data-data dan
gejala-gejala yang diteliti dalam lapangan yang bersifat khusus. Dengan begitu,
kesimpulan dapat didapat berupa apakah data atau gejala di lapangan sesuai atau
tidak sesuai dengan data yang yang bersifat umum yang diyakini tersebut.
F. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PASIEN KURANG MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG
PELAYANAN KESEHATAN (STUDI DI RSU IMELDA PEKERJA
INDONESIA MEDAN)” ini merupakan benar hasil karya sendiri dari penulis
sendiri, tanpa meniru Karya Tulis milik orang lain. Oleh karenanya, keaslian dan
kebenaran ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis sendiri dan telah sesuai
dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu
kejujuran, rasional, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan ilmplikasi etis dalam
proses menemukan kebenaran ilmu sehingga dengan demikian penulisan Karya
Tulis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk
berasal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik yang dipublikasikan ataupun
tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis
dengan benar dan lengkap.
Karya tulis skripsi ini memiliki kemiripan dengan beberapa skripsi yang
sudah ditulis oleh beberapa mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yaitu:
1. Nama : Sri Menda Ginting
NIM : 900200250
Judul : Perjanjian Pelayanan Kesehatan antara P.T. Indonesian Divisi
Medan dengan Rumah Sakit Sri Rati Medan Ditinjau dari Segi
Hukum Perdata.
Perumusan masalah yang diangkat dalam skripsi tersebut antara lain:
a. Bagaimana ketentuan tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang
berlaku bagi perjanjian pelayanan kesehatan antara PT. Indosat dengan
pengusaha Rumah Sakit Sri Ratu Medan ?
b. Bagaimana kedudukan perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut
apabila ternyata tidak memenuhi syarat-syarat tertentu atau ketentuan yang
telah ditetapkan ?
c. Bagaimana pengatiran perjanjian kerja sama yang dilakukan oleh pihak PT.
d. Hal-hal apa saja yang melatar belakangi diadakannya perjanjian pelayanan
kesehatan dan hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban dari masing-masing
pihak yang terkait di dalam perjanjian kerjasama ini ?
2. Nama : Pamela R. Tampubolon
NIM : 010200041
Judul : Tinjauan Terhadap Perjanjian antara Pelaku Usaha dengan
Konsumen Jasa Layanan Kesehatan sama kaitannya dengan
Hukum Perlindungan Konsumen.
Perumusan masalah yang diangkat dalam skripsi tersebut antara lain:
a. Apakah ada keseimbangan hak dan kewajiban pasien sebagai konsumen
jasa layanan kesehatan dengan dokter/rumah sakit sebagai pelaku usaha
jasa layanan kesehatan ?
b. Bagaimana perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa layanan
kesehatan apabila dikaitkan dengan perjanjian terapeutik antara pasien
dengan dokter ?
c. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa yang dapat dilakukan pasien
sebagai konsumen jasa layanan kesehatan atau dokter/rumah sakit sebagai
pelaku usaha jasa layanan kesehatan dalam hal terjadinya wanprestasi oleh
salah satu pihak terhadap perjanjian tersebut ditinjau dari aspek hukum
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi,
penulisan hukum ini akan dibagi menjadi lima bab dengan menggunakan
sistematika berikut :
BAB I: Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang penulisan, permasalahan, tujuan dan
manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan dan sistematika
penulisan.
BAB II: Perlindungan Konsumen Terhadap Pasien Kurang Mampu Sebagai
Konsumen Jasa Di Bidang Pelayanan Kesehatan
Bab ini menguraikan mengenai2 (dua) hal yakni tinjauan umum tentang
pasien kurang mampu yang berisi tentang pengertian pasien kurang mampun,
pengaturan hukum tentang hak pasien kurang mampu, tanggung jawab dokter dan
pihak rumah sakit terhadap pasien kurang mampu, kebijakan pemerintah untuk
memberikan proteksi kepada pasien kurang mampu dan tinjauan umum tentang
jasa pelayanan kesehatan yang berisi tentang pengaturan dan jenis pelayanan
kesehatan serta tugas dan fungsi rumah sakit dalam pemberian pelayanan
kesehatan.
BAB III: Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan Sebagai
Sarana Pelayanan Kesehatan Bagi Pasien
Bab ini menguraikan tentang sejarah berdirinya Rumah Sakit Imelda
Medan serta tugas dan tanggung jawab Rumah Sakit Imelda Medan dalam
pelayanan kesehatan.
BAB IV: Implementasi Pelayanan Kesehatan Kepada Pasien Kurang Mampu
Di Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia Medan
Bab ini menguraikan permasalahan yang akan diteliti penulis di Rumah
Sakit Imelda Medan yakni mengenai jenis pelayanan kesehatan yang diberikan
dan persyaratan pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien kurang mampu
serta hak-hak pasien kurang mampu, hambatan dalam pemberian pelayanan
kesehatan serta tanggung jawab hukum kepada pasien kurang mampu yang
dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Imelda Medan.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari seluruh bab di atas yang sertai
dengan saran yang berisi masukan yang diperoleh setelah melakukan studi kasus
untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ingin diteliti oleh penulis.
Daftar Pustaka
BAB II
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN TERHADAP PASIEN KURANG
MAMPU SEBAGAI KONSUMEN JASA DI BIDANG PELAYANAN
KESEHATAN
A. Tinjauan Umum Tentang Pasien Kurang Mampu
1. Pengertian Pasien Kurang Mampu
Dalam pelayanan kesehatan, pasien berkedudukan sebagai konsumen jasa
di bidang pelayanan kesehatan. Pengertian pasien tidak banyak dibahas di dalam
literatur hukum kesehatan maupun literatur hukum kedokteran. Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan pasien sebagai orang yang sakit (yang dirawat
dokter); penderita (sakit).25
Pengertian lebih lanjut terdapat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran, dalam Pasal 1 Angka (10), dikatakan bahwa
“Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi”. Menurut Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 1 Angka (4) dikatakan bahwa
“Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya
untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung
maupun tidak langsung di Rumah Sakit.”
25
Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tidak dijumpai kata
pasien, pasien dalam kode etik tersebut diganti dengan kata “penderita”. Menurut
Wila Chandrawila Supriadi, Pasien adalah orang sakit yang membutuhkan
bantuan dokter untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya dan pasien juga
diartikan sebagai orang sakit yang awam mengenai penyakitnya.26
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama dalam buku "Aspek Jasa
Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien”, Pasien adalah
orang perorangan yang memerlukan jasa dari orang lain, yang dalam hal ini
adalah dokter untuk konsultasi masalah kesehatannya, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
27
Menurut Amri Amir dalam buku “Bunga Rampai
Hukum Kesehatan”, Pasien adalah orang yang sedang menderita penyakit atau
gangguan badaniah/rohaniah yang perlu ditolong agar lekas sembuh dan berfungsi
kembali melakukan kegiatannya sebagai salah satu anggota masyarakat.28
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Pasien adalah
orang awam yang melakukan konsultasi ke dokter atau dokter gigi atau di rumah
sakit mengenai masalah kesehatannya untuk memperoleh jasa berupa pelayanan
kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jasa yang dimaksud adalah keterampilan yang dimiliki seorang dokter atau
dokter gigi untuk mencari solusi kesehatan yang diderita pasien.29
26
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm. 27.
Profesi
27
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010), hlm. 198.
28
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan (Widya Medika, Jakarta, 1997), hlm. 17
29
kedokteran harus tunduk pada kode etik organisasi profesi kedokteran sehingga
orang yang menjalankan profesi ini dapat disebut dengan “menyediakan jasa”.
Pengertian pasien kurang mampu tidaklah diuraikan secara jelas dalam
peraturan perundang-undangan maupun dalam literatur-literatur mengenai hukum
kesehatan dan hukum kedokteran. Namun kita dapat menemukan definisi
mengenai orang tidak mampu dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yakni dalam Pasal 1
Angka 6 “Orang Tidak Mampu adalah orang yang mempunyai sumber mata
pencaharian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang
layak namun tidak mampu membayar Iuran bagi dirinya dan keluarganya”.
Orang tidak mampu secara umum didefinisikan sebagai orang yang
berpenghasilan, hanya saja penghasilan tersebut cukup untuk memenuhi
kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluargannya atau
singkatnya penghasilannya hanya cukup buat makan sehari-hari. Orang tidak
mampu berbeda dengan orang miskin. Orang miskin adalah orang yang sama
sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber
mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya.30
Pasien kurang mampu dapat diartikan sebagai orang awam yang
melakukan konsultasi dengan dokter atau dokter gigi mengenai masalah
kesehatannya untuk memperoleh jasa berupa pelayanan kesehatan baik secara
langsung maupun tidak langsung akan tetapi penghasilannya tidak cukup untuk
30
membiayai biaya pelayanan kesehatan diperoleh. Pasien kurang mampu yang
dibahas penulis di dalam skripsi ini adalah pasien yang memperoleh jaminan
kesehatan dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang
berobat di RSU Imelda Pekerja Indonesia (RSU IPI).
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Pasal 1 Angka (5) dikatakan bahwa Jasa adalah setiap layanan yang
berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen. Sedangkan konsumen dalam Pasal 1 Angka (2)
diartikan sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Pasien mempunyai ciri khas yang sama dengan konsumen dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Unsur-unsur konsumen antara lain:31
a. Adanya subjek atau orang
Subjek yang disebut dalam konsumen berarti setiap orang yang
berstatus sebagai pemakai barangdan/atau jasa. Istilah orang pada konsumen
tidak hanya terbatas pada orang secara individual atau natuurlijke persoon
tetapi juga termasuk badan hukum atau rechtspersoon. Namun dalam
pengertian pasien yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran sangat jelas disebutkan bahwa setiap orang
yang dimaksud adalah orang individu atau natuurlijke persoon.
b. Pemakai
Konsumen umumnya diartikan sebagai pemakai terakhir dari produk
yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha,32 yaitu setiap orang yang
mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau
diperjualbelikan lagi.33 Sesuai bunyi penjelasan Pasal 1 Angka (2) UU
Perlindungan Konsumen, kata “pemakai” menekankan konsumen adalah
konsumen akhir (ultimate comsumer). Konsumen sebagai konsumen terakhir
sebagaimana yang dimaksud penjelasan Pasal 1 Angka (2) tersebut adalah
sama dengan konsumen akhir yang dikenal dalam kepustakaan ekonomi.34
UU Perlindungan Konsumen sudah selayaknya meninggalkan prinsip yang
sangat merugikan konsumen. Konsumen memang tidak sekadar pembeli
(buyer atau koper), tetapi semua orang (perorangan atau badan usaha) yang
mengkonsumsi jasa dan/atau barang. Jadi, yang paling penting terjadinya suatu
transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang dan/atau
jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannnya.35
Dalam pengertian pasien, untuk bisa dimasukkan ke dalam unsur
pemakai (jasa), harus ada hubungan hukum antara pasien tersebut dengan
dokter. Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dan pasien dengan
rumah sakit dibedakan ke dalam 4 bentu, antara lain:36
32
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010), Hlm. 17.
33 Ibid.
34
Dalam literatur ekonomi dikenal dua macam konsumen, yaitu konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.
35
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, Aspek Jasa Pelayanan Kesehatan Dalam Perspektif Perlindungan Pasien (Karya Putra Darwati, Bandung, 2010), hlm. 199.
36
1) Rumah sakit dengan perawat yang diatur dalam Perjanjian Kerja
(arbeidsovereenkomst), Pasal 1601 KUH Perdata.
2) Dokter spesialis dengan rumah sakit yang diatur dengan
toelatingscontract.
3) Dokter spesialis dengan pasien yang diatur dengan
behandelingsvereenkomst.
4) Pasien dengan rumah sakit yang diatur dengan
verzorgingsovereenkomst.
Secara yuridis, timbulnya hubungan antara dokter dengan pasien bisa
berdasarkan 2 hal, yakni:37
1) Perjanjian (ius contractual)
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien berdasarkan perjanjian
mulai terjadi saat seorang pasien datang ke tempat dokter atau ke rumah
sakit dan dimulainya wawancara medis dan pemeriksaan oleh dokter.
Seorang dokter tidak bisa menjamin bahwa ia pasti akan dapat
menyembuhkan penyakit pasiennya, karena hasil suatu pengobatan santa
tergantung pada banyak faktor-faktor yang berkaitan (usia, tingkat
keseriusan penyakit, macam penyakit yang diderita, komplikasi dan
lain-lain)38
37
Ibid.
. Dengan demikian, perjanjian antara dokter-pasien secara yuridis
dimasukkan ke dalam golongan “perjanjian berusaha sebaik mungkin”
(inspanningsverbintenis). Namun, hal ini tidaklah berarti bahwa dokter
tersebut boleh berbuat sesuka hatinya dalam menjalankan profesinya dan
hal itu harus berdasarkan standar profesi medis yang berlaku.
Dari seorang dokter dapat disyaratkan bahwa dapat melakukan suatu
tindakan medis ia harus bertindak dengan hati-hati dan teliti; berindikasi
medis; tindakan yang dilakukan berdasarkan standar profesi medis; dan
adanya persetujuan pasien (informed consent).39
“Penggantian dari biaya, kerugian dan bunga yang timbul karena
tidak dipenuhinya suatu perjanjian hanya dapat dituntut, apabila si
berhutang sesudah ditagih, tetap lalai tidak memenuhi
kewajibannya, atau apabila si berhutang wajib memberi atau
melakukan sesuatu, hanya dapat memberikan atau melakukan
dalam jangka waktu tertentu, dan waktu mana telah
dilampauinya.”
Jika seorang dokter
tidak melakukan, salah melakukan atau terlambat melakukan suatu
tindakan medis sampai menimbulkan cedera/kerugian kepada pasien,
maka ia dapat dituntut berdasarkan wanprestasi seperti yang tercantum
di dalam KUH Perdata, Pasal 1243, yaitu:
Prinsip ini mengartikan suatu wanprestasi (breach of contract) jika
seorang dokter telah menyanggupi atau menjamin akan kesembuhan
pasiennya, namun ternyata telah gagal. Di dalam hal kesanggupan
tersebut, maka secara yuridis dikatakan telah terjadi suatu kontrak atau
perjanjian akan tercapainya suatu hasil tertentu atau yang dinamakan
perjanjian hasil (resultaatverbintenis). Perjanjian semacam ini
seolah-olah telah terjadi suatu kontrak di mana dijanjikan suatu hasil khusus
akan tercapai dari tindakan medis dokter. Jika gagal, maka unsur
wanprestasi yang dimaksud telah terjadi pada pihak dokternya.
2) Undang-undang (ius delicto).
Di dalam KUH Perdata, selain gugatan berdasarkan pada wanprestasi,
juga dapat berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige
daad), yang diatur dalam Pasal 1365. Dalam Arrest Hoge Raad, 31
Januari 1919 telah merumuskan perbuatan melanggar hukum, “dat
onder onrechtmatige daad is te verstaan een handelen of nalaten, dat of
inbreuk maakt op eens anders recht, of in strijd is met des daders
rechtsplicht of industruist, hetzij tegen de goede zaden, hetzij tegen de
zorgvuldigheid, welke in het maatschappelijk verkeer betaamt ten
aanzien van een anders persoon of goed” (sebagai suatu tindakan atau
non tindakan yang atau bertentangan dengan kewajiban si pelaku, atau
bertentang dengan susila baik, atau kurang hati-hati dan ketelitian yang
seharusnya dilakukan di dalam masyarakat terhadap seseorang atau
barang orang lain).40
Dalam dunia medis, ketidakhati-hatian dan ketelitian tersebut mengacu
pada standar-standar dan prosedur profesi medis di dalam melakukan
suatu tindakan medis tertentu, yaitu Kode Etik dan Sumpah Dokter yang
dengan tegas telah mengatur berbagai kewajiban tersebut.
40
c. Barang dan/atau Jasa.
Kata barang dan/atau jasa sering diganti penggunaan terminologinya
dengan kata “produk”. Saat ini kata “produk” sudah berkonotasi barang
dan/atau jasa. Dalam dunia medis, pelayanan kesehatan digolongkan ke dalam
bentuk jasa. Pengertian jasa menurut Pasal 1 Angka 5 adalah setiap layanan
yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen.
Dalam perundingan ke delapan (Uruguay/Uruguay Round),
berlangsung dari tahun 1986 sampai 1994 melahirkan apa yang disebut dengan
WTO ( World Trade Organization), pada tanggal 1 Januari 1995. Perjanjian
WTO mengatur masalah mengenai GATT (the General Agreement on Tariffs
and Trade), jasa atau GATS (the General Agreement on Trade in Services) dan
hak cipta atau TRIPs (the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Property Rights).41 Meskipun ketiga perjanjian ini berbeda dalam ruang
lingkup dan isinya, namun, ada sejumlah prinsip dasar yang mendasari
ketiganya, yakni :Most Favoured Nations; National Treatment; Transparency;
Elimination of Quantitative Restrictions; Rectriction to Safequard the BOP;
Special and Differential Treatment. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut,
hanya dua prinsip yang wajib diberlaku pada kebijakan pemerintah
menyangkut perdagangan jasa, yaitu Most-Favoured Nations42 dan perlakuan
nasional43
41
Agus Budianto dan Gwendolyn Ingrid Utama, op.cit., hlm. 203.
.
42
Jasa yang berlaku dalam perjanjian GATS adalah jasa-jasa kecuali
jasa pemerintahan, yaitu “jasa-jasa yang disediakan dalam pelaksanaan
kekuasaan pemerintah”; jasa seperti ini telah dijabarkan sebagai jasa yang
“tidak disuplai pada dasar komersial, maupun dalam persaingan dengan satu
atau lebih penyedia (supplier) jasa”.
Di Indonesia, pemerintah telah memberikan penawaran perdana
(intial offer) di sektor jasa untuk diliberalisasikan dalam kerangka WTO. Atas
dasar itu, Departemen Perdagangan RI memberikan 7 intial offer antara lain di
sektor pendidikan kejuruan; profesi kesehatan; kepemilikan perbankan kepada
warga asing yang semula 49% menjadi 51%; diizinkannya profesi pengacara
asing beroperasi di Indonesia; jasa konstruksi asing untuk membangun
infrastruktur di Indonesia; pembangunan rumah sakit asing dengan kapasitas
minimal mempunyai 400 tempat tidur; dan perluasan izin keimigrasian.44
Dalam hal ini, bidang jasa kesehatan menyangkut lima hal, yaitu :
tenaga medis termasuk perawat; penyelenggara pelayanan kesehatan; penyedia
pelayanan kesehatan; penyedia dana dan fasilitas kesehatan.
d. Yang tersedia dalam masyarakat.
Dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, tidak disebutkan apakah jasa
pelayanan kesehatan harus tersedia dalam masyarakat atau tidak. Namun, jika
untuk semua jasa dan semua sektor, bahkan ketika negara belum membuat komitmen untuk menyediakan akses bagi perusahaan asing dalam sektor itu.
43
Perlakuaan Nasional berarti memperlakukan perusahaan, produk atau jasa asing tidak kurang setara dari perlakuan terhadap produk dan jasa negara sendiri. Meskipun perlakuan nasional adalah prinsip umum WTO, dalam konteks GATS ini hanya berlaku ketika negara telah membuat komitmen spesifik, dan pengecualian diperbolehkan.
kita lihat dalam praktik di masyarakat, ketersediaan pelayanan kesehatan oleh
dokter ataupun oleh rumah sakit sudah menjamur di masyarakat.
e. Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup lain.
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain. Dalam pelayanan kesehatan,
unsur ini sangat jelas penerapannya. Seseorang tidak akan menggunakan jasa
dokter jika ia tidak sakit (diri sendiri) atau ia memanggil dokter tersebut untuk
menyembuhkan keluarga atau tetangga (orang lain) yang sakit.
f. Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangankan.
Unsur ini jelas dalam pelayanan kesehatan. Dimana Pasien sebagai
konsumen akhir menerima upaya penyembuhan dari dokter atau rumah sakit
untuk kesembuhannya, pastinya tidak untuk diperdagangkan kembali.
Dari keenam unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian konsumen
adalah sama dengan pengertian pasien.45 Pasien menggunakan jasa dokter atau
dokter gigi yang tentunya jasa tersebut telah tersedia dalam masyarakat sebelumnya
dan tentunya digunakan untuk kepentingannya sendiri atau tidak untuk
diperjualbelikan.
2. Pengaturan Hukum Tentang Hak-Hak Pasien Kurang Mampu.
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa dalam pengertian hukum, hak
adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan ini sendiri
diartikan sebagai suatu tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat
45
dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh
hukum.46
Dalam bidang pelayanan kesehatan, hak pasien sangat penting. Hak pasien
harus dipenuhi dengan baik mengingat kepuasaan pasien menjadi salah satu
barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal
tuntutan hukum. Berdasarkan dimensi kualitas layanan kesehatan maka harapan
pasien sebagai konsumen pelayanan medis meliputi:
47
a. Pemberian layanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan;
b. Membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan
SARA (suku, agama, ras dan antar golongan);
c. Jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyaman;
d. Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien.
Pada Musyawarah ke-34 Asosiasi Kedokteran Sedunia (World Medical
Association) bulan September 1981 di Lisabon, untuk pertama kalinya
dideklarasikan hak-hak pasien, yang meliputi hak untuk memilih dokter secara
bebas, hak untuk dirawat dokter yang memiliki kebebasan dalam membuat
keputusan klinis dan etis tanpa pengaruh dari luar, hak untuk menerima atau
menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adequate, hak untuk
mengharapkan bahwa dokternya akan merahasiakan perincian kesehatan dan
46
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar (Liberty, Yogyakarta, 1999), hlm. 24.
47
pribadinya, hak untuk mati secara bermartabat, dan hak untuk menerima atau
menolak layanan moral dan spiritual.48
Hak-hak pasien sangat penting untuk dibahas karena pada kenyataan
menunjukkan bahwa adanya ketidakpahaman mengenai hak dan kewajiban,
menyebabkan kecenderungan untuk mengabaikan hak-hak pasien sehingga
perlindungan hukum pasien menjadi semakin pudar. Selain itu secara umum ada
anggapan dimana kedudukan pasien lebih rendah dari kedudukan dokter, sehingga
dokter dianggap dapat mengambil keputusan sendiri terhadap pasien mengenai
tindakan apa yang perlu dilakukannya dalam upaya untuk menyembuhkan si
pasien.
Anggapan ini ternyata keliru, jika dipandang dari sudut perjanjian karena
hubungan antara dokter dan pasien timbul berdasarkan adanya perjanjian dari
kedua belah pihak untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian yang dalam
dunia medis disebut perjanjian terapeutik. Berdasarkan perjanjian terapeutik,
kedudukan antara dokter dan pasien adalah sama atau sederajat. Secara hukum,
pasien adalah subjek hukum mandiri yang dianggap dapat mengambil keputusan
sendiri untuk kepentingan dirinya. Pasien tetap mampu mengambil keputusan
sendiri yang berkaitan dengan kepentingan dirinya walaupun dalam kondisi sakit.
Dengan demikian walaupun dalam kondisi sakit, kedudukan hukumnya tetap
sama seperti orang sehat.
Pasien juga berhak mengambil keputusan terhadap pelayanan kesehatan
yang akan dilakukan terhadapnya, karena hal ini berhubungan erat dengan hak
48
asasinya sebagai manusia. Kecuali apabila dapat dibuktikan bahwa keadaan
mentalnya tidak mendukung untuk mengambil keputusan yang diperlukan.
Pada umumnya dikenal dua jenis hak asasi atau hak dasar manusia yaitu
hak dasar sosial dan hak dasar individual. Dalam hukum kesehatan terdapat dua
azas hukum yang melandasi yakni the right to health care atau hak atas
pelayanan kesehatan dan the right of self determination atau hak untuk
menentukan nasib sendiri.49
The Right To Health Care menimbulkan hak individual lain yaitu theright
to medical care (hak atas pelayanan medis). The Right to Self-Determination (hak
menentukan nasib sendiri) terdapat pengaturannya dalam konvensi-konvensi
internasional misalnya di dalam International Covenant on Civil and Political
Right (1966) Pasal 1 menyatakan : “All peoples have the right to
self-determinations...” artinya bahwa “setiap orang mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya sendiri...“.
Kedua hak tersebut merupakan hak primer atau hak
dasar dalam bidang kesehatan. Akan tetapi batasan antara hak dasar sosial dan hak
dasar individual agak kabur. Hal ini disebabkan karena hak dasar individual atau
hak menentukan nasib sendiri juga terdapat pada hak dasar sosial.
The Right of Self-Determination (TROS) menjadi hak dasar atau hak
primer individual, merupakan sumber dari hak-hak individual, yaitu:50
a. Hak atas privacy
b. Hak atas tubuhnya sendiri
49
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran (Binarupa Aksara, Jakarta, 1996), hlm. 37.
50
Berikut ini skema hak-hak yang dimiliki oleh pasien dalam profesi kedokteran
berdasarkan pemaparan di atas:
SKEMA 1
Hak-Hak Pasien Dalam Profesi Kedokteran
HAK DASAR KESEHATAN
SOSIAL INDIVIDUAL
The Right to
Health Care Hak atas Hak atas Privacy badan sendiri Hak atas
Pelayanan Medis Hak atas rahasia - Hak atas informasi Kedokteran - Hak memilih
- Hak menolak •Perawatan •Tindakan medis
tertentu
- Hak menghentikan perawatan
- Hak atas second opinion
- Hak memeriksa rekam medis
Sumber: Penuntun Kuliah Hukum Kedokterankarya Danny Wiradharma hlm. 41.
Di negara kita pengaturan tentang hak asasi manusia di bidang kesehatan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dimana
pada Pasal 4 yang berbunyi bahwa “setiap orang berhak atas kesehatan”.
Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, negara mengatur
bahwa setiap warga negaranya berhak atas kesehatan. Pengaturan hak atas
kesehatan bagi warga negaranya ini adalah sama untuk semua warga negara, tidak
Dalam pengaturan perundang-undangan di bidang kesehatan tidak ada
pembedaan antara pasien mampu, pasien kurang mampu maupun pasien miskin.
Menurut peraturan perundang-undang ketiganya adalah sama status dan
kedudukannya dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Hal ini telah ditegaskan
dalam Pasal 5 Ayat (1), “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”.
Oleh karena itu, maka tidak pembedaan yang signifikan antara hak yang
dimiliki pasien mampu dan pasien kurang mampu dalam memperoleh pelayanan
kesehatan.
Dalam memperoleh pelayanan kesehatan, seorang pasien mempunyai hak
sebagai berikut:51
a. Hak atas informasi medis
Dalam hal ini pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang berkaitan
dengan keadaan penyakit, yakni tentang diagnosis, tindakan medis yang
dilakukan, risiko dari tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukannya
tindakan medis tersebut. Hal-hal yang perlu diinformasikan ini harus meliputi
prosedur yang akan dilakukan, risiko yang mungkin terjadi, manfaat dari
tindakan yang dilakukan dan alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Selain
itu perlu juga diinformasikan pula kemungkinan yang akan terjadi jika tidak
dilakukan tindakan yang dimaksud atau ramalan (prognosis) atau perjalanan
penyakit yang akan di derita. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai
perkiraan biaya pengobatannya.
51
Prosedur tindakan medis yang hendak dilakukan juga perlu diuraikan
alat yang akan digunakan dalam tindakan medis, bagian tubuh mana yang akan
terkena dapat dari tindakan medis, efek yang ditimbulkan dari pelaksanaan
tindakan medis (kemungkinan menyebabkan cacat/nyeri beserta waktu
timbulnya, taraf keseriusan), kemungkinan perlu dilakukannya operasi.
Pihak yang berkewajiban memberikan informasi, tergantung dari sifat
tindakan medis, invasif atau tidak. Dokter boleh mendelegasikan pemberian
informasi tersebut kepada dokter lain atau perawat dengan syarat dokter atau
perawat yang menerima delegasi harus paham mengenai informasi yang akan
ia katakan kepada si pasien mengenai penyakit yang di deritanya. Informasi
medis yang berhak diketahui oleh pasien, termasuk pula identitas dokter yang
merawat. Dokter dapat menahan informasi medis, apabila hal tersebut akan
melemahkan daya tahan pasien.52
b. Hak atas persetujuan tindakan medis atau yang dikenal dengan informed
consent
Syarat utama dalam mengadakan perjanjian di bidang medis adalah
kesepakatan yang terjadi karena adanya kerjasama antara dokter dan pasien.
Sesuai dengan teori bahwa informed consent merupakan hak pasien maka
dokter berkewajiban menjelaskan segala sesuatu mengenai penyakit pasien
kepadanya dan memperoleh izin/persetujuan untuk melakukan tindakan medis.
Tindakan medis yang diberikan kepada si pasien dilakukan setelah
52
memperoleh izin/persetujuan dari pasien yang telah memperoleh informasi
tentang penyakitnya dari dokter.
Persetujuan dan informasi kemudian dilembagakan dalam sebuah
lembaga bernama lembaga informed consent. Lembaga informed consent ini
mendapatkan kekuatan hukum dengan diundangkannya Pemenkes Nomor 585
Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik. Dalam Permenkes ini
informasi dan persetujuan medis menjadi hak dari pasien yang disusun dalam
Pasal 2 Ayat (1), bahwa “Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien harus mendapatkan persetujuan.” Mengenai persetujuan tindakan medis
diuraikan lebih rinci pada Pasal 45 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang berbunyi:
1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapatkan
persetujuan.
2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap
3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c) Alternatif tindakan lain dan resikonya;
d) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
Persetujuan yang diberikan oleh pasien dapat berupa persetujuan
tertulis maupun persetujuan lisan. Persetujuan tertulis diperlukan untuk setiap
tindakan medis yang mengandung resiko tinggi, ditandatangani oleh pihak
yang berhak memberikan persetujuan.53 Mengenai pihak yang berkewajiban
memberikan persetujuan, secara yuridis adalah pasien sendiri, kecuali bila ia
tidak cakap hukum dalam keadaan tertentu. Syarat seorang pasien boleh
memberikan persetujuan tindakan medis, yaitu:54
1) Pasien tersebut sudah dewasa
Batasan usia seseorang dikatakan dewasa masih mengalami
perdebatan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa seseorang
dikatakan dewasa jika telah berusia 21 Tahun atau telah menikah.
Seseorang yang belum mencapai usia 21 Tahun tetapi telah menikah
dianggap telah dewasa.
2) Pasien dalam keadaan sadar
Pasien harus dalam keadaan dapat diajak berkomunikasi secara wajar
dan lancar. Hal ini mengandung makna bahwa pasien tidak sedang
dalam kondisi pingsan, koma atau terganggu kesadarannya karena
pengaruh obat, tekanan kejiwaan, atau hal lainnya.
3) Pasien dalam keadaan sehat akal
Pasien tidak mengalami gangguan kejiwaan sehingga dapat
memberikan persetujuan dengan sadar.
53
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran (Mandar Maju, Bandung, 2001), hlm. 18-19.
54