• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TASIKMALAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TASIKMALAYA"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN

JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT

UMUM DAERAH TASIKMALAYA

SKRIPSI

Oleh :

MAYA RUHTIANI E1A008031

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN

JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT

UMUM DAERAH TASIKMALAYA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Oleh :

MAYA RUHTIANI E1A008031

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH

TASIKMALAYA Oleh:

Maya Ruhtiani E1A008031

Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan Pada tanggal November 2012

Penguji I/ Penguji II/ Penguji III/ Pembimbing I Pembimbing II Penilai

Saryono Hanadi, S.H., M.H Suyadi, S.H., M.Hum Tedi Sudrajat, S.H.M.H NIP. 19570329 198601 1 001 NIP. 196110110 198703 1 001 NIP. 19800403 200604 1 003

Mengetahui, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Dr. Angkasa, S.H., M.Hum NIP : 19640923 198901 1 001

(4)

PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : Maya Ruhtiani NIM : E1A008031

Judul Skripsi : Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya

Adalah benar bahwa skripsi ini hasil karya sendiri, baik sebagian maupun seluruhnya, semua informasi dan sumber data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini disebutkan dalam daftar pustaka dan telah dinyatakan secara jelas keberadaannya.

Bila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia menanggung resiko termasuk gelar kesarjanaan yang telah saya sandang

Purwokerto, November 2012

(5)

PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN SEBAGAI KONSUMEN JASA DALAM PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM

DAERAH TASIKMALAYA Oleh :

MAYA RUHTIANI E1A008031

ABSTRAK

Penelitian ini mengkaji tentang Perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan serta faktor-faktor apakah yang menunjang dan menghambat perlindungan hukum terhadap pasien di RSUD Tasikmalaya.

Dalam penelitian ini penulis mengkaji sejauh mana perlindungan hukum terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan tersebut dilaksanakan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Dengan metode yuridis sosiologis penulis mengkaji mengenai perlindungan hukum terhadap pasien dengan melihat sejauh mana hak-hak pasien dipenuhi oleh tenaga kesehatan serta rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya Baik, Faktor-faktor yang menghambat dan menunjang terdiri dari faktor Internal dan eksternal yang meliputi faktor komunikasi, Informasi, kesadaran hukum, fasilitas rumah sakit, lingkungan kerja serta sikap dari pasien.

Kata Kunci : Perlindungan Pasien, Rumah Sakit, Faktor Internal, Faktor Eksternal

(6)

ABSTRACT

This study reviews about the legal protection of patient as consumers of health care service in RSUD Tasikmalaya. This study aims to determine how the legal protection of patients as consumers of services in the health service and whether factors that support and pursue the legal protection of patients in RSUD Tasikmalaya.

In This study, the authors examine the extent to which the legal protection of patients in health care is carried out by medical workers at the hospital. With juridical studies of sociological method writer examines the legal protections for patients to see to what extent the rights of patients met by medical workers and hospitals. The results showed that the legal protection of patients as consumers of health care services in RSUD Tasikmalaya are good, Factors that support and pursue consists of internal factors and external factors as follow as communication, information, legal awareness, hospital facilities, the working environment and the attitude of the patients.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulilahhirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Pasien Sebagai

Konsumen Jasa Dalan Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya” sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Ketika dalam penusunan skripsi ini, penulis banyak menerima saran. masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, untuk dedikasi, kepemimpinan, dan kebijakannya.

2. Bapak Saryono Hanadi, S.H., M.H. selaku Kepala Bagian Hukum Kemasyarakatan dan Pembimbing Skripsi, untuk setiap bimbingannya, kesabarannya dan motivasinya dalam penyusunan karya akademik pamungkas ini.

3. Bapak Suyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Skripsi untuk kesabarannya dan motivasinya dalam membimbing karya sederhana ini

4. Bapak Tedi Sudrajat, S.H., M.H selaku Dosen Penguji untuk setiap bentuk evaluasi dan saran atas karya ini.

5. Bapak Djumadi, S.H., S.U. selaku dosen pembimbing akademik, untuk setiap dorongan, motivasi, dan bantuannya dalam menyelesaikan studi penulis di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

(8)

6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, terima kasih untuk ilmu yang sangat bermanfaat yang telah bapak/ibu berikan.

7. Bapak dr. Wasisto Hidayat, M.Kes. selaku Direktur, dr. Budi Tirmadi selaku Kepala Bidang Pelayanan dan seluruh dokter/tenaga kesehatan yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian dalam skrispsi ini.

8. Orangtua dan keluarga atas motivasi, penyemangat serta doa yang selalu diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat dan Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang selalu memberikan semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penelitian lebih lanjut berdasarkan skripsi ini sangat terbuka sebagai sumbangan terhadap ilmu pengetahuan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Purwokerto, November 2012

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

ABSTRAK... iv

ABSTRACT... v

KATA PENGANTAR... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Kegunaan Penelitian... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pelayanan Kesehatan 1. Pengertian dan Pengaturan Pelayanan Kesehatan... 10

2. Asas-asas Pelayanan Kesehatan... 12

3. Syarat-syarat Pelayanan Kesehatan... 21

4. Standart Pelayanan Kesehatan... 22

B. Pasien Sebagai Konsumen 1. Pengertian dan Pengaturan Pasien Sebagai Konsumen... 32

2. Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen... 35

3. Hak dan Kewajiban Pasien Sebagai Konsumen... 47

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen... 52

BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan... 59

B. Metode Penelitian... 59

C. Spesifikasi Penelitian... 61

D. Lokasi Penelitian... 61

(10)

F. Metode Informan Penelitian... 62

G. Sumber dan Jenis Data Yang Diperlukan... 64

H. Metode Pengumpulan Data... 65

I. Metode Pengolahan Data... 67

J. Metode penyajian Data... 68

K. Metode Uji Mutu Data... 69

L. Metode Analisis Data... 70

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA A. Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Tasikmalaya... 72

B. Faktor-faktor Yang Menghambat dan Menunjang Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan Kesehatan di RSUD Tasikmalaya... 129

BAB V PENUTUP A. Simpulan... 135

B. Saran... 136 DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upaya Peningkatan kualitas hidup manusia di bidang kesehatan merupakan suatu usaha yang sangat luas dan menyeluruh, usaha tersebut meliputi peningkatan kesehatan masyarakat baik fisik maupun non fisik. Di dalam sistem Kesehatan Nasional disebutkan, bahwa kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks. Hal ini sesuai dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia Internasional sebagai berikut : A state of complete physical, mental, and social, well being and

not merely the absence of deseaseor infirmity.1

Dalam upaya peningkatan kualitas hidup dan pelayanan kesehatan yang memadai maka pemerintah maupun swasta menyediakan institusi pelayanan kesehatan yang disebut sebagai rumah sakit. Rumah Sakit yang merupakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat disediakan untuk kepentingan masyarakat dalam hal peningkatan kualitas hidup. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan telah berkembang dengan pesat dan didukung oleh sarana kesehatan yang semakin canggih, perkembangan ini turut mempengaruhi jasa professional di bidang kesehatan yang dari waktu ke waktu semakin berkembang pula. Berbagai cara perawatan dikembangkan

1

(12)

sehingga akibatnya juga bertambah besar, dan kemungkinan untuk melakukan kesalahan semakin besar pula. 2

Banyaknya terjadi kasus-kasus serta gugatan dari pihak pasien yang melibatkan suatu rumah sakit akibat dari pasien tidak puas atau malah dirugikan dengan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit yang merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat. Semakin sadar masyarakat akan aturan hukum, semakin mengetahui mereka akan hak dan kewajibannya dan semakin luas pula suara-suara yang menuntut agar hukum memainkan peranannya di bidang kesehatan. Hal ini pula yang menyebabkan masyarakat (pasien) tidak mau lagi menerima begitu saja cara pengobatan yang dilakukan oleh pihak medis. Pasien ingin mengetahui bagaimana tindakan medis dilakukan agar nantinya tidak menderita kerugian akibat kesalahan dan kelalaian pihak medis.3

Berikut ini merupakan kasus-kasus yang terjadi akibat kurangnya perlindungan hukum yang diberikan kepada pasien :

Kasus yang dialami oleh Sudargo pada tahun 2010 di Jakarta yang menderita kencing manis kemudian karena kakinya terluka maka dia datang ke salah satu rumah sakit pemerintah untuk berobat, tetapi luka yang ada di kakinya bukannya sembuh malah semakin parah dan menimbulkan kakinya malah membusuk dan harus diamputasi, akibat adanya kelalaian yang dilakukan oleh pihak rumah sakit maka pihak dari keluarga Sudargo meminta pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit tersebut, namun ketika dimintai pertangungjawabannya pihak rumah

2

Bahder Johan, 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.5.

3

(13)

sakit tersebut seakan angkat tangan dan tidak mau tau dengan kerugian yang diderita oleh Sudargo. Sampai saat ini kasus tersebut belum ada penyelesaiannya.4

Kasus yang dialami oleh Ratih pada tahun 2011, dia menjalani operasi usus buntu di rumah sakit swasta di Jakarta Timur namun setelah menjalani operasi, Ratih mengalami pendarahan yang diikuti dengan infeksi dan pembusukan jaringan yang membuat Ratih harus mengalami cacat perut, karena luka yang dideritanya tidak kunjung sembuh, ketika keluarga dari Ratih meminta keterangan dari dokter yang menangani penyakit yang diderita Ratih, dokter tersebut hanya menjelaskan kepada keluarga dengan bahasa kedokteran yang tidak dimengerti, walaupun telah diadukan kepada Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) namun sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.5

Kasus yang dialami oleh seorang Ibu di Lombok pada bulan Januari tahun 2012, yang melahirkan di salah satu rumah sakit umum di Lombok namun bayinya meninggal dunia pada saat proses melahirkan, tragisnya bayi tersebut meninggal dengan kepala yang terputus dan kepalanya masih tertinggal di dalam perut, sehingga harus dilakukan operasi caesar untuk mengambil kepala bayi yang terputus tersebut. Disini pihak dari pasien tidak terima dan menganggap pihak dari rumah sakit telah melakukan malpraktik, kemudian keluarga pasien meminta pertanggungjawaban kepada pihak dari rumah sakit tersebut, namun pihak dari rumah sakit merasa prosedur yang dilakukan telah benar, karena pihak dari rumah

4

Indra Bastian Suryono, 2011, Penyelesaian Sengketa Kesehatan, Salemba Medika, Jakarta, hal. 100-101.

5

(14)

sakit tidak mau bertanggungjawab maka keluarga pasien melaporkan rumah sakit tersebut ke Polres setempat, namun sampai saat ini belum ada penyelesaiannya.6

Menurut Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan menyatakan banyaknya kasus malpraktik di Indonesia adalah akibat sistem kesehatan yang tidak menunjang. Menurut data Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) dari tahun 1998 sampai tahun 2004 telah menangani 255 kasus malapraktik dan jarang diselesaikan sampai tingkat penyidikan yang dikarenakan polisi juga masih tidak paham tentang masalah kesehatan ini dan mengakibatkan penanganan polisi terhadap kasus malapraktik kurang optimal.7

Timbulnya hubungan antara pasien dengan dokter maupun pasien dengan pihak rumah sakit dapat dikarenakan pasien sangat mendesak untuk mendapatkan pertolongan. Dalam keadaan seperti ini pihak rumah sakit terutama dokter langsung melakukan apa yang disebut dengan zaakwaarneming, yaitu di mana seorang dengan sukarela tanpa mendapat perintah mewakili urusan orang lain hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat menyelesaikan kepentingannya tersebut, selain hubungan antara dokter dengan pasien, peran rumah sakit dalam menerapkan perlindungan hukum terhadap pasien juga sangat diperlukan. Dalam dunia medis yang semakin berkembang, peranan rumah sakit sangat penting dalam menunjang kesehatan dari masyarakat. Maju atau mundurnya rumah sakit akan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari pihak-pihak yang bekerja di rumah sakit, dalam hal ini dokter, perawat dan orang-orang yang berada di tempat tersebut. Pihak rumah sakit diharapkan mampu memahami konsumennya secara

6

http//www.opensubscriber.com/massage/dokter@itd.ac.id. Diakses pada tanggal 28 Juni 2012 7

(15)

keseluruhan serta mampu menerapkan perlindungan terhadap pasien sebagai konsumen jasa kesehatan. Dalam pelayanan kesehatan, rumah sakit juga harus memperhatikan etika profesi tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Akan tetapi, tenaga profesional yang bekerja di rumah sakit dalam memberikan putusan secara profesional adalah mandiri. Putusan tersebut harus dilandaskan atas kesadaran, tanggung jawab dan moral yang tinggi sesuai dengan etika profesi masing-masing.8

Tenaga Kesehatan yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, dan yang dipekerjakan di rumah sakit haruslah memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati-hati di dalam melaksanakan tindakan medis, dengan tujuan agar perlindungan terhadap pasien dapat terealisasikan dan dari tindakan medis tersebut tidak menutup kemungkinan terjadi suatu kesalahan ataupun kelalaian. Kesalahan ataupun kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya dapat berakibat fatal baik terhadap badan maupun jiwa dari pasiennya, dan hal ini tentu saja sangat merugikan bagi pihak pasien.

Ditinjau dari segi ilmu kemasyarakatan dalam hal ini hubungan antara dokter dengan pasien menunjukkan bahwa dokter memiliki posisi yang dominan, sedangkan pasien hanya memiliki sikap pasif menunggu tanpa wewenang untuk melawan. Posisi demikian ini secara historis berlangsung selama bertahun-tahun, dimana dokter memegang peranan utama, baik karena pengetahuan dan keterampilan khusus yang ia miliki, maupun karena kewibawaan yang dibawa olehnya karena ia merupakan bagian kecil masyarakat yang semenjak bertahun

8

(16)

tahun berkedudukan sebagai pihak yang memiliki otoritas bidang dalam memberikan bantuan pengobatan berdasarkan kepercayaan penuh pasien.9

Pasien selaku konsumen, yaitu diartikan “setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik kepentingan sendiri maupun kepentingan orang lain”. Pasien sudah merasa bahagia apabila kepadanya dituliskan secarik kertas. Dari resep tersebut secara implisit telah menunjukkan adanya pengakuan atas otoritas bidang ilmu yang dimiliki oleh dokter yang bersangkutan. Otoritas bidang ilmu yang timbul dan kepercayaan sepenuhnya dari pasien ini disebabkan karena ketidaktahuan pasien mengenai apa yang dideritanya, dan obat apa yang diperlukan, dan disini hanya dokterlah yang tahu, ditambah lagi dengan suasana yang serba tertutup dan rahasia yang meliputi jabatan dokter tersebut yang dijamin oleh kode etik kedokteran. Kedudukan yang demikian tadi semakin bertambah kuat karena ditambah dengan faktor masih langkanya jumlah tenaga kesehatan/dokter, sehingga kedudukannya merupakan suatu monopoli baginya dalam memberikan pelayanan pemeliharaan kesehatan sehingga perlindungan terhadap pasien kurang terjamin. Lebih-lebih lagi karena sifat dari pelayanan kesehatan ini merupakan psikologis pihak-pihak yang saling mengikatkan diri dan tidak berkedudukan sederajat.10

Untuk melihat sejauh mana perlindungan hukum yang diberikan oleh suatu institusi kesehatan atau rumah sakit kepada pasien/konsumen kesehatan tentu saja kita tidak hanya mendengar dari orang lain atau hanya membaca dari buku saja, untuk itu disini penulis harus meneliti secara langsung ke suatu institusi

9

Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 12. 10

(17)

kesehatan/rumah sakit tertentu dan disini peneliti memilih Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya sebagai tempat untuk meneliti mengenai perlindungan konsumen kesehatan, apakah perlindungan hukum terhadap konsumen kesehatan tersebut sudah dijalankan dengan baik sesuai dengan Undang-undang Kesehatan yang ada saat ini atau masih ada yang perlu diperbaiki dan apa saja yang menjadi faktor penghambat dan pendorong adanya perlindungan hukum terhadap konsumen kesehatan tersebut.

Dari penjelasan yang dikemukakan di atas maka masalah perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan, mengandung permasalahan yang sangat kompleks dan menarik untuk diteliti dan mendorong penulis untuk mengkaji lebih dalam mengenai perlindungan hukum bagi pasien yang tumbuh dan berkembang di kalangan dunia medis khususnya dalam konteks pelayanan kesehatan.

Hal ini yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian dalam konteks penyusunan skripsi dengan judul sebagai berikut :

“Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen Jasa Dalam Pelayanan

(18)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut :

1) Bagaimanakah perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya?

2) Faktor-faktor apakah yang menunjang dan menghambat perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Untuk mengetahui bagaimanakah perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya

2) Dan untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menunjang dan menghambat perlindungan hukum pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan di RSUD Tasikmalaya

D. Kegunaan Penelitian

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan antara lain : 1. Kegunaan yang bersifat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan sebagai instrumen pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan.

(19)

b. Penelitian ini dapat menjadi acuan ilmiah bagi pengembangan Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan di masa mendatang. c. Penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka terutama dalam

bidang hukum perlindungan konsumen dan dalam bidang hukum kesehatan, menambah pengetahuan penulis dan pembaca lainnya tentang Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan.

2. Kegunaan yang bersifat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan Hukum Perlindungan Konsumen dan Hukum Kesehatan, khususnya dalam praktik kedokteran. Dan sebagai acuan meningkatkan kualitas pelayanan dari tenaga kesehatan kepada pasien sebagai konsumen jasa dalam pelayanan kesehatan.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pelayanan Kesehatan

1. Pengertian dan Pengaturan Pelayanan Kesehatan

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia di samping sandang pangan dan papan, tanpa hidup yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit manusia tidak mungkin dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik. Selain itu orang yang sedang sakit (pasien) yang tidak dapat menyembuhkan penyakitnya sendiri, tidak ada pilihan lain selain meminta pertolongan dari tenaga kesehatan yang dapat menyembuhkan penyakitnya dan tenaga kesehatan tersebut akan melakukan apa yang dikenal dengan upaya kesehatan dengan cara memberikan pelayanan kesehatan.11

Sebagaimana yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan pada Pasal 1 ayat (11) Ketentuan Umum yang berbunyi :

“Upaya Kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat”.

Didalam ketentuan Umum yang ada pada Undang-undang Kesehatan memang tidak disebutkan secara jelas mengenai Pelayanan Kesehatan namun hal tersebut tercermin dari pasal 1 Ketentuan Umum ayat (11) bahwa upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka untuk

11

(21)

kepentingan kesehatan di masyarakat. walaupun tidak diuraikan secara jelas mengenai pelayanan kesehatan namun kita dapat memahaminya melalui pengertian-pengertian yang dikemukakan oleh para sarjana sebagai berikut ini :

Menurut Levey dan Loomba Pelayanan Kesehatan Adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat. Jadi pelayanan kesehatan adalah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), preventif ( pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan rehabilitasi (pemulihan) kesehatan perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat dan lingkungan.Yang dimaksud sub sistem disini adalah sub sistem dalam pelayanan kesehatan adalah input, proses, output, dampak, umpan balik. 12

Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Levey dan Loomba Hendrojono Soewono juga menyebutkan bahwa yang dimaksud pelayanan kesehatan adalah setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan yang ditujukan terhadap perorangan, kelompok/masyarakat.13

Begitupula dengan apa yang dikemukakan oleh Wiku Adisasmito bahwa Pelayanan kesehatan adalah segala bentuk kegiatan yang ditujukan untuk

12

http://peterpaper.blogspot.com/2010/04/pelayanan-kesehatan-1.html?diunduh pada tanggal 21

april 2012 pukul 07.45. 13

Hendrojono, Soewono, 2007, Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Kedokteran dalam

(22)

meningkatkan derajat suatu masyarakat yang mencakup kegiatan penyuluhan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan dan pemulihan kesehatan yang diselenggarakan secara terpadu dan berkesinambungan yang secara sinergis berhasil guna dan berdaya guna sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.14

2. Asas-asas Pelayanan Kesehatan

Bilamana ditinjau dari kedudukan para pihak di dalam pelayanan kesehatan, dokter dalam kedudukannya selaku profesional di bidang medik yang harus berperan aktif, dan pasien dalam kedudukannya sebagai penerima layanan kesehatan yang mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan kesehatan yang diterimanya. Hal ini disebabkan, dokter bukan hanya melaksanakan pekerjaan melayani atau memberi pertolongan semata-mata, tetapi juga melaksanakan pekerjaan profesi yang terkait pada suatu kode etik kedokteran. Dengan demikian dalam kedudukan hukum para pihak di dalam pelayanan kesehatan menggambarkan suatu hubungan hukum dokter dan pasien, sehingga di dalam pelayanan kesehatan pun berlaku beberapa asas hukum yang menjadi landasan yuridisnya.

14

Wiku Adisasmito, 2008, Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan Diagnosis Related Group

(23)

Menurut Veronica Komalawati yang mengatakan bahwa, asas-asas hukum yang berlaku dan mendasari pelayanan kesehatan dapat disimpulkan secara garis besarnya sebagai berikut 15:

(a) Asas Legalitas

Asas ini pada dasarnya tersirat di dalam Pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa ;

(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan;

(2) Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki;

(3) Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari pemerintah.

Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka pelayanan kesehatan hanya dapat diselenggarakan apabila tenaga kesehatan yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan dan perizinan yang diatur dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, terutama Pasal 29 ayat (1) dan (3); Pasal 36; Pasal 38 ayat (1) yang antara lain berbunyi sebagai berikut :

Pasal 29 ayat (1) dan (3) antara lain menyatakan bahwa ;

(1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi;

(3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan :

a.Memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;

15

Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik

(Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, Bandung, PT.Citra

(24)

b.Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/ janji dokter atau dokter gigi;

c.Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; d.Memiliki sertifikat kompetensi; dan

e.Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Di samping persyaratan-persyaratan tersebut di atas, dokter atau dokter gigi dalam melakukan pelayanan kesehatan harus pula memiliki izin praktik, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Undang-Undang Praktik Kedokteran sebagai berikut :

“Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat Izin Praktik”.

Selanjutnya, surat izin praktik ini akan diberikan jika telah dipenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan secara tegas di dalam ketentuan Pasal 38 ayat (1) yang menyatakan bahwa ;

Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter dan dokter gigi harus ;

a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih berlaku;

b. Mempunyai tempat praktik;

c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.

Dari ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa, keseluruhan persyaratan tersebut merupakan landasan legalitasnya dokter dan dokter gigi dalam menjalankan pelayanan kesehatan. Artinya, “asas legalitas” dalam pelayanan kesehatan secara latern tersirat dalam Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

(25)

Menurut asas ini, penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam pelayanan kesehatan dapat pula diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari pelayanan kesehatan yang dilakukan. Dengan demikian berlakunya asas keseimbangan di dalam pelayanan kesehatan sangat berkaitan erat dengan masalah keadilan. Dalam hubungannya dengan pelayanan kesehatan, keadilan yang dimaksud sangat berhubungan dengan alokasi sumber daya dalam pelayanan kesehatan.

(c) Asas Tepat Waktu

Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, asas tepat waktu ini merupakan asas yang cukup krusial, oleh karena sangat berkaitan dengan akibat hukum yang timbul dari pelayanan kesehatan. Akibat kelalaian dokter untuk memberikan pertolongan tepat pada saat yang dibutuhkan dapat menimbulkan kerugian pada pasien. Berlakunya asas ini harus diperhatikan dokter, karena hukumnya tidak dapat menerima alasan apapun dalam hal keselamatan nyawa pasien yang terancam yang disebabkan karena keterlambatan dokter dalam menangani pasiennya.

(d) Asas Itikad Baik

Asas itikad baik ini pada dasarnya bersumber pada prinsip etis untuk berbuat baik pada umumnya yang perlu pula diaplikasikan dalam pelaksanaan kewajiban dokter terhadap pasien dalam pelayanan kesehatan. Dokter sebagai pengemban

(26)

profesi, penerapan asas itikad baik akan tercermin pada sikap penghormatan terhadap hak-hak pasien dan pelaksanaan praktik kedokteran yang selalu patuh dan taat terhadap standar profesi. Kewajiban untuk berbuat baik ini tentunya bukan tanpa batas, karena berbuat baik harus tidak boleh sampai menimbulkan kerugian pada diri sendiri.

(e) Asas Kejujuran

Kejujuran merupakan salah satu asas yang penting untuk dapat menumbuhkan kepercayaan pasien kepada dokter dalam pelayanan kesehatan. Berlandaskan asas kejujuran ini dokter berkewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien, yakni sesuai standar profesinya. Penggunaan berbagai sarana yang tersedia pada institusi pelayanan kesehatan, hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien yang bersangkutan. Di samping itu, berlakunya asas ini juga merupakan dasar bagi terlaksananya penyampaian informasi yang benar, baik dari pasien maupun dokter dalam berkomunikasi. Kejujuran dalam menyampaikan informasi sudah barang tentu akan sangat membantu dalam kesembuhan pasien. Kebenaran informasi ini sangat berhubungan dengan hak setiap manusia untuk mengetahui kebenaran.

(f) Asas Kehati-hatian

Kedudukan dokter sebagai tenaga profesional di bidang kesehatan, mengharuskan agar tindakan dokter harus didasarkan atas ketelitian dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dalam pelayanan kesehatan. Karena kecerobohan dalam bertindak yang mengakibatkan terancamnya jiwa pasien,

(27)

dapat berakibat dokter terkena tuntutan pidana. Asas kehati-hatian ini secara yuridis tersirat di dalam Pasal 58 ayat (1) yang menentukan bahwa;

“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya”. Dalam pelaksanaan kewajiban dokter, asas kehati-hatian ini diaplikasikan dengan mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien terutama hak atas informasi dan hak untuk memberikan persetujuan yang erat hubungannya dengan

informed consent dalam transaksi terapeutik.

(g) Asas Keterbukaan

Salah satu asas yang ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 adalah asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban, yang secara tersirat di dalamnya terkandung asas keterbukaan. Hal ini dapat diinterpretasikan dari Penjelasan Pasal 2 angka (9) yang berbunyi ;

“Asas penghormatan terhadap hak dan kewajiban berarti bahwa pembangunan kesehatan dengan menghormati hak dan kewajiban masyarakat sebagai bentuk kesamaan kedudukan hukum”

Pelayanan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna hanya dapat tercapai bilamana ada keterbukaan dan kesamaan kedudukan dalam hukum antara dokter dan pasien dengan didasarkan pada sikap saling percaya. Sikap tersebut dapat tumbuh apabila dapat terjalin komunikasi secara terbuka antara dokter dan pasien, di mana pasien dapat memperoleh penjelasan dari dokter dalam komunikasi yang transparan.16

16

Veronica Komalawati, 2002, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terepeutik

(Persetuajuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien); Suatu Tinjauan Yuridis, Bandung, PT.Citra

(28)

Di samping Veronica Komalawati, Munir Fuady sebagaimana yang dikutip dari bukunya Veronica Komalawati mengemukakan pendapatnya bahwa, di dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan terdapat beberapa asas etika modern dari praktik kedokteran yang disebutkan oleh Catherine Tay Swee Kian antara lain sebagai berikut17 :

(1) Asas Otonom

Asas ini menghendaki agar pasien yang mempunyai kapasitas sebagai subyek hukum yang cakap berbuat, diberikan kesempatan untuk menentukan pilihannya secara rasional sebagai wujud penghormatan terhadap hak asasinya untuk menentukan nasibnya sendiri. Meskipun pilihan pasien tidak benar, dokter tetap harus menghormatinya dan berusaha untuk menjelaskan dengan sebenarnya menurut pengetahuan dan keahlian profesional dokter tersebut agar pasien benar-benar mengerti dan memahami tentang akibat yang akan timbul tatkala pilihannya tidak sesuai dengan anjuran dokter. Dalam hal terjadi demikian, menjadi kewajiban dokter untuk memberikan masukan kepada pasien tentang dampak negatif yang mungkin timbul sebagai akibat ditolaknya anjuran dokter tersebut. (2) Asas Murah Hati

Asas ini mengajarkan kepada dokter untuk selalu bersifat murah hati dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasiennya. Berbuat kebajikan, kebaikan dan dermawan merupakan anjuran yang berlaku umum bagi setiap individu. Hal ini hendaknya dapat diaplikasikan dokter dalam pengabdian profesinya dalam

17

(29)

pelayanan kesehatan yang dilakukan baik terhadap individu pasien maupun terhadap kesehatan masyarakat.

(3) Asas Tidak Menyakiti

Dalam melakukan pelayanan kesehatan terhadap pasien, dokter hendaknya mengusahakan untuk tidak menyakiti pasien tersebut, walaupun hal ini sangat sulit dilakukan, karena kadang-kadang dokter harus melakukan pengobatan yang justru menimbulkan rasa sakit kepada pasiennya. Dalam hal terjadi demikian, maka dokter harus memberikan informasi kepada pasien tentang rasa sakit yang mungkin timbul sebagai akibat tindakan yang dilakukan guna kesembuhan pasien tersebut dan agar pasien tidak menganggap apa yang telah dilakukan dokter bertentangan dengan asas tidak menyakiti.

(4) Asas Keadilan

Keadilan harus dilakukan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam artian bahwa dokter harus memberikan pengobatan secara adil kepada pasien dengan tidak memandang status sosial ekonomi mereka. Di samping itu, asas ini juga mengharuskan dokter untuk menghormati semua hak pasien antara lain hak atas kerahasiaan, hak atas informasi dan hak memberikan persetujuannya dalam pelayanan kesehatan.

(5) Asas Kesetiaan

Asas kesetiaan mengajarkan bahwa dokter harus dapat dipercaya dan setia terhadap amanah yang diberikan pasien kepadanya. Pasien berobat kepada dokter, karena percaya bahwa dokter akan menolongnya untuk mengatasi penyakit yang dideritanya. Hal ini merupakan amanah yang harus dilaksanakan dokter dengan

(30)

penuh tanggung jawab untuk menggunakan segala pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya demi keselamatan pasiennya.

(6) Asas Kejujuran

Asas ini mengajarkan bahwa, dalam pelayanan kesehatan menghendaki adanya kejujuran dari kedua belah pihak, baik dokter maupun pasiennya. Dokter harus secara jujur mengemukakan hasil pengamatan dan pemeriksaan yang dilakukan kepada pasien, dan pasien pun harus secara jujur mengungkapkan riwayat perjalanan penyakitnya. Dalam praktik pelayanan kesehatan, pelaksanaan

Informed Consent harus berorientasi pada kejujuran.

Selanjutnya jika ditinjau dari hukum positif yang berlaku, yakni Undang-Undang No. 29 Tahun 2004, maka pada dasarnya asas-asas hukum tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan sudah mempunyai kekuatan mengikat bagi penyelenggara pelayanan kesehatan.

Menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 36 tahun 2009 ditetapkan bahwa:

“Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, perlindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminasi dan norma-norma agama”.

Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa:

“Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien”.18

18

http://drampera.blogspot.com/2011/04/asas-asas-dalam-penyelenggaraan.html diakses pada tanggal 10 mei 2012 pukul 08.50.

(31)

3. Syarat-syarat Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kedokteran berbeda dengan pelayanan kesehatan masyarakat, untuk dapat disebut sebagai suatu pelayanan yang baik, keduanya harus memiliki berbagai persyaratan pokok. Syarat pokok pelayanan kesehatan yaitu19:

1. Tersedia dan berkesinambungan (available and continuous)

Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan adalah harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat berkesinambungan (continuous), artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat tidak sulit untuk ditemukan, serta keberadaannya dalam masyarakat pada setiap dibutuhkan.

2. Dapat diterima dan wajar (acceptable and appropriate)

Pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik.

3. Mudah dicapai (accessible)

Pengertian ketercapaian adalah dari sudut lokasi. Pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik. Pelayanan kesehatan dianggap tidak baik apabila terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja dan tidak ditemukan di pedesaan.

4. Mudah dijangkau (affordable)

Pengertian keterjangkauan terutama dari sudut biaya. Biaya pelayanan kesehatan harus sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

5. Bermutu (quality)

19

(32)

Mutu menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan di pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.

4. Standar Pelayanan Kesehatan

Bagian penting dari suatu pelayanan kesehatan adalah tersedia dan dipatuhinya standar, karena pelayanan kesehatan yang bermutu adalah bila pelayanan tersebut dilaksanakan sesuai dengan standar yang ada. Umumnya petugas banyak menemui variasi pelaksanaan pelayanan kesehatan. Dalam penjaminan mutu pelayanan kesehatan standar digunakan untuk menjadikan variasi yang ada seminimal mungkin.20

Standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan consensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.21

Dari pengertian di atas maka apabila dihubungkan dengan standar pelayanan kesehatan maka disini sudah pasti berhubungan dengan pemberi pelayanan kesehatan itu sendiri seperti puskesmas atau rumah sakit sebagai tempat yang memberikan pelayanan kesehatan, dan secara langsung hal tersebut

20

Bustami, 2011, Penjaminan Mutu Pelayanan Kesehatan dan Akseptabilitasnya, Jakarta, Erlangga. Hal. 21.

21

(33)

berhubungan dengan tenaga kesehatan, maka untuk mengetahui standar pelayanan kesehatan kita dapat melihatnya dari standar profesi medik/ standar kompetensi tenaga kesehatan.22

Untuk mengetahui standar pelayanan kesehatan maka harus melihat pada standar pelayanan kesehatan yang harus dimiliki oleh pemberi pelayanan kesehatan dalam hal ini penyedia layanan kesehatan seperti puskesmas atau rumah sakit dan dari tenaga kesehatan itu sendiri seperti dokter, perawat, apoteker dan lain-lain.

Pelayanan kesehatan baik di puskesmas, rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan lainnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait, saling tergantung, saling mempengaruhi antara satu sama lain. Standar pelayanan kesehatan yang baik terdiri dari 3 (tiga) komponen yang harus dimiliki yaitu adanya masukan (input, disebut juga structure), proses, dan hasil (outcome).23

1. Masukan (Input)

Masukan (Input) yang dimaksud di sini adalah sarana fisik, perlengkapan dan peralatan, organisasi dan manajemen keuangan, serta sumber daya manusia dan sumber daya lainnya di puskesmas dan rumah sakit. Beberapa aspek penting yang harus mendapat perhatian dalam hal ini adalah kejujuran, efektivitas, serta kuantitas dan kualitas dari masukan yang ada.

Pelayanan kesehatan yang baik memerlukan dukungan input yang bermutu yaitu sumber daya yang ada perlu diorganisasikan dan dikelola sesuai dengan

22

Ibid, hal. 183. 23

(34)

perundang-undangan dan prosedur kerja yang berlaku dalam hal ini adalah memiliki tenaga kesehatan yang baik yang bekerja secara profesional.

2. Proses yang Dilakukan

Proses adalah semua kegiatan atau aktivitas dari seluruh karyawan dan tenaga profesi dalam interaksinya dengan pelanggan. Baik tidaknya proses yang dilakukan di puskesmas atau rumah sakit dapat diukur dari:

1) Relevan atau tidaknya proses yang diterima oleh pelanggan dalam hal ini pasien;

2) Efektif atau tidaknya proses yang dilakukan; 3) Dan mutu proses yang dilakukan.

Variable proses merupakan pendekatan langsung terhadap pelayanan kesehatan. Semakin patuh petugas atau tenaga kesehatan terhadap standar pelayanan kesehatan, maka semakin baik pula standar pelayanan kesehatan yang dimiliki.

3. Hasil yang dicapai

Hasil yang dicapai disini adalah merupakan tindak lanjut dari pelayanan kesehatan yang diberikan terhadap pasien, apakah pelayanan kesehatan yang diberikan telah sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang ada atau tidak dapat dilihat dari hasil pengobatan yang diberikan kepada pasien dan apakah pasien tersebut dengan melihat dari kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan tersebut.

Mengenai standar pelayanan kesehatan di rumah sakit diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 129 Tahun 2008 Tentang Standar Pelayanan

(35)

Minimal Rumah Sakit. Hal tersebut berarti segala hal yang bersangkutan dengan standar pelayanan kesehatan harus sesuai dengan yang ada didalam peraturan menteri tersebut.

Standar Minimal Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit antara lain :

1. Gawat Darurat

- Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa memenuhi standar 100%

- Jam buka pelayanan gawat darurat 24 jam

- Pemberi pelayanan kegawatdaruratan yang bersertifikat yang masih berlaku ATLS/BTLS/ACLS/PPGD 100 %

- Kesediaan tim penanggulangan bencana 1 tim

- Waktu tanggap pelayanan dokter di gawat darurat ≤ 5 menit terlayani setelah pasien datang

- Kepuasan pelanggan ≥ 70 %

- Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka 100 %

- Kematian pasien ≤ 24 jam ≤ dua per seribu (pindah ke pelayanan rawat inap setelah 8 jam)

2. Rawat Jalan

- Dokter pemberi Pelayanan di Poliklinik Spesialis 100% Dokter Spesialis - Ketersediaan pelayanan

a. Klinik Anak

b. Klinik Penyakit Dalam c. Klinik Kebidanan d. Klinik Bedah

- Jam buka pelayanan 08.00 s/d 13.00 Setiap hari kerja kecuali Jum’at : 08.00 - 11.00

- Waktu tunggu di rawat jalan ≤ 60 menit - Kepuasan pelanggan ≥ 90 %

3. Rawat Inap

- Pemberi pelayanan di Rawat Inap a. Dokter spesialis

b. Perawat minimal pendidikan D3

- Dokter penanggung jawab pasien rawat inap 100 % - Ketersediaan Pelayanan Rawat Inap

a. Anak

b. Penyakit Dalam c. Kebidanan d. Bedah

(36)

- Jam Visite Dokter Spesialis 08.00 s/d 14.00 setiap hari kerja - Kejadian infeksi pasca operasi ≤ 1,5 %

- Kejadian infeksi nosokomial ≤ 1,5 %

- Tidak adanya kejadian pasien jatuh yang berakhir kecacatan / kematian 100 %

- Kematian pasien > 48 jam ≤ 0,24 % - Kejadian pulang Paksa ≤ 5 % - Kepuasan pelanggan ≥ 90 % - Rawat inap TB :

a. Penegakan Dianogsis TB melalui pemeriksaan mikroskopis TB 100% b. Terlaksananya kegiatan pencatatan dan pelaporan TB di rumah sakit

100%

- Ketersediaan pelayanan rawat inap di rumah sakit yang memberikan pelayanan jiwa yaitu NAPZA,Gangguan psikotik, Gangguan Nerotik, dan Gangguan Mental Organik

- Tidak adanya kejadian kematian pasien gangguan jiwa karena bunuh diri 100%

- Kejadian re-admission pasien gangguan jiwa dalam waktu ≤ 1 bulan 100% - Lama hari perawatan pasien gangguan jiwa ≤ 6 minggu

4. Bedah Sentral (Bedah saja )

- Waktu tunggu operasi elektif ≤ 2 hari - Kejadian Kematian di meja operasi ≤ 1 % - Tidak adanya kejadian operasi salah sisi 100 % - Tidak adanya kejadian operasi salah orang 100 %

- Tidak adanya kejadian salah tindakan pada operasi 100 %

- Tidak adanya kejadian tertinggalnya benda asing / lain pada tubuh pasien setelah operasi 100 %

- Komplikasi anastesi karena overdosis, reaksi anastesi, dan salah penempatan endotracheal tube ≤ 6 %

5. Persalinan dan Perinatalogi (kecuali rumah sakit khusus diluar rumah sakit ibu dan Anak)

- Kejadian kematian ibu karena persalinan a. Perdarahan ≤ 1 %

b. Pre –Eklamsia ≤ 30% c. Sepsis ≤ 0,2 %

- Pemberi pelayanan persalinan normal a. Dokter Sp.OG

b. Dokter Umum terlatih (Asuhan Persalinan Normal ) c. Bidan

- Pemberi pelayanan dengan persalinan penyulit Tim PONEK yang terlatih. - Pemberi pelayanan persalinan dengan tindakan operasi

a. Dokter Sp.OG b. Dokter Sp.A c. Dokter Sp.An

- Kemampuan menangani BBLR 1500 gr - 2500 gr 100% - Pertolongan Persalinan melalui seksio cesaria ≤ 20 %

(37)

- Keluarga Berencana :

a. Persentase KB (Vasektomi & tubektomi) yang dilakukan oleh tenaga kompeten dr. Sp.OG, dr.Sp.B, dr.Sp.U, dokter umum terlatih 100% b. Persentase peserta KB mantap yang mendapatkan konseling KB mantap

oleh bidan terlatih 100% - Kepuasan Pelanggan ≥ 80 % 6. Intensif

- Rata-rata Pasien yang kembali ke perawatan intensif dengan kasus yang sama < 72 jam yaitu ≤ 3 %

- Pemberi pelayanan Unit intensif

a. Dokter Sp.Anestesi dan dokter spesialis sesuai dengan kasus yang di tangani

b. 100 % perawat minimal D3 dengan sertifikat Perawat mahir ICU/setara (D4)

7. Radiologi

- Waktu tunggu hasil pelayanan thorax foto ≤ 3 jam - Pelaksana ekspertisi Dokter Spesialis Radiologi

- Kejadian kegagalan pelayanan Rontgen Kerusakan foto ≤ 2% - Kepuasan pelanggan ≥ 80 %

8. Laboratorium Patologi Klinik

- Waktu tunggu hasil pelayanan laboratorium ≤ 140 menit - Kimia darah & darah rutin Pelaksana ekspertisi

- Dokter Spesialis Patologi Klinik Tidak adanya kesalahan pemberian hasil pemeriksaan laboratorium 100 %

- Kepuasan pelanggan ≥ 80 % 9. Rehabilitasi Medik

- Kejadian Drop Out pasien terhadap pelayanan rehabilitasi medik yang direncanakan ≤ 50 %

- Tidak adanya kejadian kesalahan tindakan rehabilitasi medik 100 % - Kepuasan pelanggan ≥ 80 %

10. Farmasi

- Waktu tunggu pelayanan a. Obat jadi ≤ 30 menit b. Obat Racikan ≤ 60 menit

- Tidak adanya Kejadian kesalahan pemberian obat 100% - Kepuasan pelanggan ≥ 80 %

- Penulisan resep sesuai formularium 100 % 11. Gizi

- Ketepatan waktu pemberian makanan kepada pasien ≥ 90 % - Sisa makanan yang tidak termakan oleh pasien ≤ 20% - Tidak adanya kejadian kesalahan pemberian diet 100 % 12. Tranfusi Darah

- Kebutuhan darah bagi setiap pelayanan tranfusi 100 % terpenuhi - Kejadian reaksi tranfusi ≤ 0,01 %

(38)

- Pelayanan terhadap pasien GAKIN yang datang ke RS pada setiap unit pelayanan 100 % terpenuhi

14. Rekam Medik

- Kelengkapan pengisian rekam medik 24 jam setelah selesai pelayanan 100% - Kelengkapan Informed Concent setelah mendapatkan informasi yang jelas

100%

- Waktu penyediaan dokomen rekam medik pelayanan rawat jalan ≤ 10 menit

- Waktu penyediaan dokumen rekam medik rawat Inap ≤ 15 menit 15. Pengelolaan Limbah

- Buku mutu limbah cair a. BOD < 30 mg/1 b. COD < 80 mg/1 c. TSS < mg/1 d. PH 6-9

- Pengelolaan limbah padat infeksius sesuai dengan aturan 100 % 16. Administrasi dan manajemen

- Tindak lanjut penyelesaian hasil pertemuan direksi 100 % - Kelengkapan laporan akuntabilitas kinerja 100 %

- Ketepatan waktu pengusulan kenaikan pangkat 100 % - Ketepatan waktu pengurusan gaji berkala 100 %

- Karyawan yang mendapat pelatihan minimal 20 jam setahun ≥ 60 % - Cost recovery ≥ 40 %

- Ketepatan waktu penyusunan laporan keuangan 100 %

- Kecepatan waktu pemberian informasi tentang tagihan pasien rawat inap ≤ 2 jam

- Ketepatan waktu pemberian imbalan (insentif ) sesuai kesepakatan waktu 100 %

17. Ambulance/ Kereta Jenazah

- Waktu pelayanan ambulance / kereta jenazah 24 jam

- Kecepatan memberikan pelayanan ambulance/kereta jenazah di rumah sakit ≤ 30 menit

- Response time pelayanan ambulance oleh masyarakat yang membutuhkan - Sesuai ketentuan daerah

18. Pemulasaraan Jenazah

- Waktu tanggap (response time) pelayanan pemulasaraan jenazah ≤ 2 jam 19. Pelayanan pemeliharaan sarana rumah sakit

- Kecepatan waktu menanggapi kerusakan alat ≤ 80 % - Ketepatan waktu pemeliharaan alat 100 %

- Peralatan laboratorium dan alat ukur yang di gunakan yang digunakan dalam pelayanan terkalibrasi tepat waktu sesuai dengan ketentuan kalibrasi 100 %

20. Pelayanan Laundry

- Tidak adanya kejadian linen yang hilang 100 %

- Ketepatan waktu penyediaan linen untuk ruang rawat inap 100 % 21. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ( PPI )

(39)

- Adanya anggota tim PPI yang terlatih ≥ 75 %

- Tersedia APD disetiap instalasi / departement ≥ 60 %

- Kegiatan pencatatan dan pelaporan infeksi nosokomial / HAI (health care associated infections) di rumah sakit (minimum 1 parameter) ≥ 75%

Standar Pelayanan tersebut menjadi pedoman bagi tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya, dan standar pelayanan kesehatan tersebut juga menentukan apakah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh institusi kesehatan telah sesuai dengan standar yang telah ditentukan.

Setelah membahas mengenai standar pelayanan kesehatan maka kita juga akan membahas mengenai standar tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan dalam melakukan pekerjaannya selalu berhubungan dengan orang yang sedang menderita penyakit, tentu menimbulkan perasaan yang tidak enak dan juga mempengaruhi emosi pasien, sehingga tenaga kesehatan selalu berhubungan dengan orang yang secara fisik dalam keadaan sakit dan dapat pula secara psikis juga dalam keadaan sakit.

Ukuran apa yang dituntut dari seorang profesional dalam melakukan pekerjaannya dan siapa yang menentukan ukuran tersebut berkaitan erat dengan situasi dan kondisi dari tempat standar profesi medik itu berlaku.

Undang-undang tentang Kesehatan yaitu Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dalam salah satu Pasalnya yaitu Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009 menetapkan sebagai berikut:

(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.

(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.

(40)

(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Selain Undang-undang Kesehatan kita juga dapat mengetahui mengenai standar profesi medik atau yang disebut sebagai standar tenaga kesehatan dari pendapat yang diberikan oleh Leenan sebagaimana yang dikutip dari bukunya Ameln sebagai berikut 24:

“De Formulering van de norma voor de medische profesionele standard zou dan kunnen zijn: zorgvuldigd volgens de medische standard handelen al seen gemiddelde bekwaam arts van gelijke medische categorie in gelijke omstandigheden met middelen die in redelijke verhouding staan tot het concrete handelingsdoel.”

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut:

“Norma standar profesi medik dapat diformulasikan sebagai berikut: bertindak teliti sesuai dengan standar medik sebagai dilakukan seorang dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dari kategori keahlian medik yang sama dalam keadaan yang sama dengan cara yang ada dalam perseimbangan yang pantas untuk mencapai tujuan dari tindakan yang kongkret.”

Sebagaimana yang dikutip dari bukunya Endang Kusuma Astuti maka jika diamati maka dari pendapat yang dikemukakan oleh Leenan tersebut terdapat lima unsur, yaitu 25:

a. Tindakan yang diteliti, berhati-hati.

b. Sesuai ukuran medis. Unsur ukuran medis ini ditentukan oleh pengetahuan medis. Pengertian ukuran medis dapat dirumuskan bahwa: suatu cara perbuatan medis tertentu dalam suatu kasus yang konkret menurut suatu ukuran tertentu. Ukuran tersebut didasarkan pada ilmu medis dan pengalaman dalam bidang

24

Ameln, F. Drs, SH, 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Jakarta, Garfika Jaya. Hal. 58. 25

Endang, Kusuma, Astuti, 2009, Transaksi Teurapetik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di

(41)

medis. Harus disadari bahwa sukar sekali untuk memberi suatu kriteria yang tepat untuk dapat dipakai pada pihak perbuatan medis karena situasi kondisi dan juga karena reaksi pasien yang berbeda-beda.

c. Sesuai dengan dokter yang memiliki kemampuan rata-rata dibandingkan dengan dokter dari kategori keahlian medis yang sama. Ukuran etika, menurut standar yang tertinggi dari dokter, sesuai dengan Pasal 2 Kode Etik Kedokteran Indonesia Tahun 1983, yang menyatakan bahwa:

“dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi”.

d. Dalam situasi dan kondisi yang sama. Unsur ini tidak terdapat pada rumusan Supreme Court of Canada, tetapi terdapat pada rumusan Daniel K. Robert pada Practicing in the same or similar locality. Dalam situasi kondisi yang sama, misalnya praktik di Puskesmas berbeda dengan rumah sakit tipe A, Seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

e. Dengan sarana upaya yang memenuhi perbandingan yang wajar dibandingkan dengan tujuan konkret tindakan medis tersebut. Hal ini dapat dikaitkan dengan tindakan diagnostik, terapeutik dan dengan peringanan penderita (conforting), dan pula dengan tindakan preventif. Dokter harus menjaga adanya suatu keseimbangan antara tindakan dan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu. Jika ada suatu tindakan diagnosis yang berat dilakukan pada suatu penyakit yang relatif ringan sekali, hal ini tidak memenuhi prinsip keseimbangan. Dokter harus selalu membandingkan tujuan tindakan medis dengan resiko tindakan tersebut dan berusaha untuk resiko yang terkecil.

(42)

B. Pasien Sebagai Konsumen

1. Pengertian dan Pengaturan Pasien sebagai konsumen

Berbicara mengenai pasien sebagai konsumen dalam kaitannya di dalam pelayanan medis, dimana terdapat hubungan antara tenaga pelaksana (tenaga kesehatan) dengan pasien yang merupakan konsumen jasa. Terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan konsumen.

Menurut UU No. 8/ Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 (2) menyebutkan konsumen adalah

“Setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri , keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Adapun yang menarik di sini, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli, sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. Lain halnya pendapat dari Hondius (Pakar masalah Konsumen di Belanda) menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa. Jasa adalah “ setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.26

Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pasien sebagai konsumen adalah individu (orang) yang menggunakan jasa dalam hal ini layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan dalam kaitannya dengan kesehatan. Orang yang menggunakan jasa

26

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. hal 1.

(43)

tersebut adalah orang yang menginginkan akan adanya pengobatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.27

Dalam pelayanan di bidang kesehatan, tidak terpisah akan adanya seorang tenaga kesehatan dengan konsumen, dalam hal ini pasien. Pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan dan dari pihak rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan. Dari sudut pandangan sosiologis dapat dikatakan bahwa pasien maupun tenaga kesehatan memainkan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat. Dalam hubungannya dengan tenaga kesehatan, misalnya dokter, tenaga kesehatan mempunyai posisi yang dominan apabila dibandingkan dengan kedudukan pasien yang awam dalam bidang kesehatan.28

Pasien dalam hal ini, dituntut untuk mengikuti nasehat dari tenaga kesehatan, yang mana lebih mengetahui akan bidang pengetahuan tersebut. Dengan demikian pasien senantiasa harus percaya pada kemampuan dokter tempat dia menyerahkan nasibnya. Pasien sebagai konsumen dalam hal ini, merasa dirinya bergantung dan aman apabila tenaga kesehatan berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya. Keadaan demikian pada umumnya didasarkan atas kerahasiaan profesi kedokteran dan keawaman masyarakat yang menjadi pasien. Situasi tersebut berakar pada dasar-dasar historis dan kepercayaan yang sudah melembaga dan membudaya di dalam masyarakat. Hingga kini pun kedudukan dan peranan dokter relatif lebih tinggi dan terhormat. Pasien sebagai konsumen jasa di bidang pelayanan medis, dengan melihat perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, resiko

27

Ibid, hal. 13. 28

(44)

yang dihadapi semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien, misalnya terdapat kesederajatan. Di samping dokter, maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang diatur dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan bahwa dokter melakukan kekeliruan karena kelalaian.29

2. Perlindungan Hukum Pasien Sebagai Konsumen

Berbicara mengenai perlindungan hukum pasien sebagai konsumen maka harus melihat terlebih dahulu mengenai pengertian dari perlindungan konsumen yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Hal ini diartikan bahwa adanya upaya mengenai adanya kepastian hukum itu dengan cara memberikan perlindungan hukum kepada konsumen.

Perlindungan hukum pasien sebagai konsumen disini berkaitan dengan adanya jasa yang diberikan oleh tenaga kesehatan, namun sebelumnya perlu diketahui mengenai pengertian jasa. Sebagaimana yang dikemukakan oleh William Stantoa dan Jetzel J. Walker dalam Bukunya Malayu. S. P. Hasibuan menyatakan bahwa30:

“Jasa adalah kegiatan yang dapat diidentifikasikan dan tidak berwujud yang merupakan tujuan penting dari suatu transaksi guna memberikan kepuasan pada konsumen”.

29

Wila Chandrawila, 2001, Hukum Kedokteran, Mandar Maju, Bandung. Hal 7-11. 30

H.Malayu,S.P. Hasibuan, 2001, Pelayananan Terhadap Konsumen Jasa, Jakarta, PT. Bumi Aksara. Hal. 161.

(45)

Jasa adalah setiap setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. (Pasal 1 ayat (5) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen). Dalam permasalahan yang diangkat penulis mengenai perlindungan pasien, adalah pasien di sini merupakan konsumen dalam bidang jasa medis.

Sebagaimana yang diatur didalam UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen melalui penjelasan, bagian umum, menentukan beberapa Undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen, yang salah satunya adalah UU No. 23 Tahun 1992 ( diganti menjadi UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan).

Pembentukan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, didasari pada pemikiran bahwa kedudukan konsumen yang lebih lemah dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha, disamping itu konsumen yang pada dasarnya tidak mengetahui hak-haknya karena pendidikan konsumen yang rendah dan UU Perlindungan Konsumen memberikan landasan bagi pemberdayaan konsumen. Selain itu tujuan diberlakukannya UU No. 8 Tahun 1999 adalah mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.31

Dilihat dari kedudukan pasien dan konsumen, maka pasien tidak identik dengan konsumen, sebab hubungan yang unik antara tenaga kesehatan dan pasien, sangat sulit disamakan hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha di bidang ekonomi. Dilihat dari sudut pasien, maka pengaturan tentang perlindungan pasien

31

(46)

tidak dapat diambil dari UU No. 8 Tahun 1999, sebab selain terlalu umum, juga tidak mewakili kepentingan pasien yang sangat banyak dan juga sangat unik. Dilihat dari sudut tenaga kesehatan, maka tenaga kesehatan tidak dapat diidentikan dengan pelaku usaha di dalam bidang ekonomi, sebab pekerjaan dalam bidang kesehatan adalah pekerjaan yang banyak mengandung unsur sosial.32

Jadi berkaitan dengan perlindungan hukum pasien sebagai konsumen memang tidak hanya harus diatur didalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Konsumen tetapi juga harus dikaitkan dengan apa yang diatur didalam UU No. 36 Tahun 2009 yang mana didalamnya diatur secara jelas mengenai hak-hak pasien dan kewajiban pasien, hak-hak tenaga kesehatan dan kewajiban dari tenaga kesehatan itu sendiri sehingga didalamnya terdapat suatu pola hubungan antara pasien sebagai konsumen dan tenaga kesehatan sebagai pemberi jasa kepada konsumen yang akhirnya akan menimbulkan suatu perlindungan hukum terhadap pasien itu sendiri.

Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien dalam kaitannya sebagai konsumen di bidang pelayanan kesehatan akan berkaitan pula dengan adanya pola hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien itu sendiri karena pola hubungan yang timbul tersebut juga akan berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien.

Hubungan antara dokter dan pasien telah terjadi sejak dahulu (zaman yunani kuno), dokter sebagai seorang yang memberikan pengobatan terhadap orang yang

32

(47)

membutuhkannya. Hubungan ini merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter. Hubungan yang sangat pribadi itu oleh Wilson33 dalam bukunya Veronika Komalawati, digambarkan seperti halnya hubungan antara pendeta dan jemaah yang sedang mengutarakan perasaannya. Pengakuan pribadi itu sangat penting bagi eksplorasi diri, membutuhkan kondisi yang terlindung dalam ruang konsultasi.34

Hubungan antara dokter dan pasien ini berawal dari pola hubungan vertikal paternalistik seperti antara bapak dan anak yang bertolak dari prinsip father knows best yang melahirkan hubungan yang bersifat paternalistik. Dalam hubungan ini, kedudukan dokter dengan pasien tidak sederajat yaitu kedudukan dokter lebih tinggi daripada pasien karena dokter dianggap mengetahui tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit dan penyembuhannya. Sedangkan pasien tidak tahu apa-apa tentang hal itu sehingga pasien menyerahkan nasibnya sepenuhnya di tangan dokter.35

Hubungan hukum timbul jika pasien menghubungi dokter karena ia rasa ada sesuatu yang dirasakannya membahayakan kesehatannya. Keadaan psikobiologisnya memberikan peringatan bahwa ia merasa dalam hal ini, dokterlah yang dianggapnya mampu menolongnya dan memberikan bantuan pertolongan (hulpverlenen). Jadi, kedudukan dokter dianggap lebih tinggi oleh pasien dan peranannya lebih penting daripada pasien. Sebaliknya dokter

33

Veronika Komalawati, 1999, op, cit, hal. 38 34

Endang, Kusuma Astuti, 2009, Transaksi Teurapetik Dalam Upaya Pelayanan Medis Di Rumah

Sakit, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 97.

35

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Agama dan Budi Pekerti3. Pendidikan Pancasila

Dilihat dari hasil lapangan bahwa kemudahan penggunaan internet banking mampu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengguna internet banking bank Mandiri

Keragaan pasar dalam sistem pemasaran kubis di Kecamatan Gisting menunjukkan producer share masih rendah (hanya ≤ 54,49 %), marjin pemasaran masih cenderung tinggi

Populasi dalam penelitian ini terbagi menjadi populasi sumur gali yakni 20 sumur gali dan populasi perilaku pengguna sumur gali yang berjumlah 125 responden.

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam pembangunan daerah tertinggal selama kurun waktu sejak pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sampai dengan bulan Juni 2011 antara

Hasil analisis koefisien determinasi menunjukkan pengaruh bauran pemasaran terhadap variasi naik turunnya keputusan konsumen membeli produk mebel pada mebel BMS di

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir dengan judul “Rancang Bangun

Sub-kriteria harga lahan dengan melihat orientasi perkembangan dan pertumbuhan wilayah perkotaan dengan segala aktivitas yang berkembang mempengaruhi harga lahan,