• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Hukum Terkait Barang Bukti yang terdapat diluar KUHAP

BAB II. PENGATURAN HUKUM TERKAIT BARANG BUKTI

B. Pengaturan Hukum Terkait Barang Bukti yang terdapat diluar KUHAP

tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam PERKAP ini dijelaskan bahwa begitu pentingnya dibuat suatu peraturan mengenai barang bukti mengingat bahwa barang bukti merupakan benda sitaan yang

perlu dikelola dengan tertib dalam rangka mendukung proses penyidikan tindak pidana. Tentunya dengan mengingat bahwa pengelolaan barang bukti di tingkat penyidikan sampai saat dibuatnya PERKAP tersebut belum tertib yang meliputi tata cara penerimaan, penyimpanan, pengamanan, perawatan, pengeluaran, dan pemusnahannya.57

Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Kapolri tersebut terkait barang bukti ialah sebagai berikut :

1. Definisi Barang Bukti

Adapun definisi Barang Bukti menurut Peraturan Kapolri adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

2. Definisi hal-hal yang Berkaitan dengan Barang Bukti

Adapun definisi-definisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan barang bukti ialah:

a. Barang Temuan sebagai Barang Bukti adalah benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang ditinggalkan atau ditemukan masyarakat atau penyidik karena tersangka belum tertangkap atau melarikan diri dan dilakukan penyitaan oleh penyidik.

57 PERKAP Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti Di Lingkungan Kepolisian RI bagian menimbang

b. Pengelolaan Barang Bukti adalah tata cara atau proses penerimaan, penyimpanan, pengamanan, perawatan, pengeluaran dan pemusnahan benda sitaan dari ruang atau tempat khusus penyimpanan barang bukti.

c. Pejabat Pengelola Barang Bukti yang selanjutnya disingkat PPBB adalah anggota Polri yang mempunyai tugas dan wewenang untuk menerima, menyimpan, mengamankan, merawat, mengeluarkan dan memusnahkan benda sitaan dari ruang atau tempat khusus penyimpanan barang bukti.

d. Tempat Penyimpanan Barang Bukti adalah ruangan atau tempat khusus yang disiapkan dan ditetapkan berdasarkan surat ketetapan oleh Kepala Satuan Kerja (Kasatker) untuk menyimpan benda-benda sitaan penyidik berdasarkan sifat dan jenisnya yang dikelola oleh PPBB.58

3. Prinsip-Prinsip Pengelolaan Barang Bukti.

Prinsip-prinsip pengelolaan barang bukti dalam peraturan ini meliputi:

a. Legalitas, yaitu setiap pengelolaan barang bukti harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Transparan, yaitu pengelolaan barang bukti dilaksanakan secara terbuka;

c. Proporsional, yaitu keterlibatan unsur-unsur dalam pelaksanaan pengelolaan barang bukti harus diarahkan guna menjamin keamanannya;

d. akuntabel, yaitu pengelolaan barang bukti dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, terukur, dan jelas; dan

58 Ibid. Pasal 1.

e. Efektif dan efisien yaitu setiap pengelolaan barang bukti harus dilakukan dengan mempertimbangkan adanya keseimbangan yang wajar antara hasil dengan upaya dan sarana yang digunakan.

4. Penggolongan Barang Bukti

Adapun penggolongan barang bukti menurut PERKAP ini ialah:

a. Benda Bergerak, yakni benda yang dapat dipindahkan dan/atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

b. Benda Tidak Bergerak, yakni:

1. Tanah beserta bangunan yang berdiri di atasnya;

2. Kayu tebangan dari hutan dan kayu dari pohon-pohon berbatang tinggi selama kayu-kayuan itu belum dipotong;

3. Kapal laut dengan tonase yang ditetapkan dengan ketentuan dan 4. Pesawat terbang

5. Prosedur Pengelolaan Barang Bukti yakni antara lain:

a. Penerimaan dan Penyimpanan;

b. Pengamanan dan Perawatan;

c. Pengeluaran dan Pemusnahan.59 6. Prosedur administrasi lainnya.

59 Ibid. Pasal 12-22

2. Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-089/J.A/1988 Tentang Penyelesaian Barang Rampasan

Dalam KEPJA ini dijelaskan bahwa dalam rangka intensifikasi pendapatan negara perlu diadakan suatu peraturan yang diharapkan bermanfaat untuk melancarkan, mempermudah dan mempercepat penyelesaian barang bukti yang dalam hal dirampas untuk negara yang dipandang perlu untuk dibenahi melalui keputusan Jaksa Agung.

Adapun hal-hal yang diatur dalam KEPJA tersebut terkait barang bukti ialah:

1. Definisi Barang Bukti yaitu barang bergerak atau tidak bergerak yang melalui penyitaan penyidik dapat digunakan untuk mendukung kegiatan pemeriksaan dalam pengadilan.60

2. Definisi Barang Rampasan yaitu barang bukti yang berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara.61

3. Penyelesaian Barang Rampasan yang dibagi atas 3 (tiga) yaitu:

a. Dengan cara dijual lelang melalui Kantor Lelang Negara b. Dipergunakan bagi kepentingan negara dan sosial.

c. Dimusnahkan atau dirusak hingga tidak dapat dipergunakan lagi.62

60 Lihat Pasal 1 KEPJA Nomor: KEP-089/J.A/09/1988 Tentang Penyelesaian Barang Rampasan

61 Ibid. Pasal 2

62 Ibid. Pasal 3

4. Pemberian wewenang oleh Jaksa Agung kepada Kepala Kejaksaan Negeri dan Jaksa Agung Muda yang dimandatkan untuk melakukan urusan-urusan pengelolaan barang milik negara yang berasal dari barang rampasan.63

5. Izin Lelang, Pelaksanaan Lelang, Teknis Pelaksanaan Setiap Cara Penyelesaian Barang Rampasan.

6. Serta peraturan-peraturan sejenis yang telah diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian RI.

3. Herziene in Landcsh Regerment

Di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (HIR) juga terdapat peraturan perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:64

1. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)

2. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti) HIR juga menyebutkan beberapa pembagian barang-barang yang dapat dipergunakan sebagai bukti, dibagi atas

63 Ibid. Pasal 5

64 Lihat Pasal 42 Hetterziene Inlandsch Reglement

1. Barang yang merupakan objek peristiwa pidana.

2. Barang yang merpakan produk peristiwa pidana.

3. Barang yang digunakan sebagai alat pelaksanaan peristiwa pidana.

4. Barang-barang yang terkait di dalam peristiwa pidana.

Barang yang merupakan objek, misalnya dalam perkara pencurian uang, maka objek uang tersebut digunakan sebagai barang bukti. Selain itu dibedakan antara objek mati (tidak bernyawa) dan objek yang bernyawa, maka objek mati adalah benda-benda tak bernyawam sedangkan misalnya yang bernyawa misalnya pencurian hewan dan lain sebagainya, barang yang merupakan produk peristiwa pidana, misalnya uang palsu atau obat-obatan dan sebagainya. Demikian pula barang yang digunakan sebagai alat pelaksanaan peristiwa pidana, misalnya senjata api atau parang yang digunakan untuk penganiayaan atau pembunuhan orang dan sebagainya, sedangkan barang yang terkait di dalam peristiwa pidana misalnya bekas-bekas darah pada pakaian, bekas sidik jari, dan lain sebagainya.65

65 Andi Muhammad Sofyan, Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar (Jakarta : Kencana, 2017) h. 260.

BAB III

WEWENANG YANG DIMILIKI KEJAKSAAN TERKAIT BARANG BUKTI A. Wewenang Kejaksaan Dalam Melaksanakan Eksekusi Terhadap Barang

Bukti Sesuai Putusan Hakim

Kejaksaan ialah suatu lembaga independen yang memiliki banyak wewenang terkhusus dalam penyelesaian perkara pidana. Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:66

1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran.

66 https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3 diakses pada tanggal 29 Maret 2019 pukul 15:45 WIB

2. Menuntut Perkara.

3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.

4. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.

Kejaksaan sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang sebagai penuntut umum, sebagaimana di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, bahwa sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karean itu, perlu dilakukan penataan perubahan tersebut.67

Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya, kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaanm hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.

67 Muhammad Sofyan, Abd. Asis, Op. Cit. H.98

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjelaskan beberapa wewenang Jaksa Penuntut Umum secara umum dalam penyelesaian perkara pidana. Adapun diantaranya:68

1. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana dan pemberitahuan baik dari penyidik maupun pegawai negeri sipil tertentu khusus yang diberi wewenang oleh Undang-Undang.

2. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b yang pada pokoknya menyatakan bahwa pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara dan pada tahap kedua dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.

3. Dalam hal Acara Pemeriksaan Singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu69

4. Mengadakan prapenuntutan dengan memperhatikan ketentuan atau syarat formil dan materil suatu perkara.

5. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan dan penahanan lanjutan. Melakukan penahanan rumah, melakukan penahanan kota, serta mengalihkan jenis penahanan.

68 Djisman Samosir, Op.Cit. h.109

69 Lihat Pasal 12 KUHAP

6. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapa mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan.70

7. Mengadakan penjualan lelang benda sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karean tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara itu memperoleh kekuatan hukum tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya.71

8. Melarang atau mengurangi kebebasan hubungan antara penasihat hukum daengan tersangka sebagai akibat disalahgunakan haknya, mengawasi hubungan antara penasihat hukum dengan tersangka tanpa mendengar pembicaran, dan dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengarkan pembicaraan tersebut. Pengurangan kebebasan hubungan antara penasihat hukum dan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan penuntut umum ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan.72 9. Meminta dilakukan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk

memeriksa sah atau tidaknya penghentian oleh penyidik. Penghentian penyidikan oleh penyidik maksudnya ialah untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.

10. Dalam perkara koneksitas, karena perkara pidana itu harus diadili oleh penadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum

70 Ibid. Pasal 31.

71 Ibid. Pasal 45 ayat 1.

72 Ibid. Pasal 74.

menerima penyerahan perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang.

11. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke pengadilan.73

12. Mengadakan “tindakan lain” dalam lingkup tugas dan tanggungjawab selaku penuntut umum74

13. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan.

14. Membuat surat penetapan penghentian penuntutatn dikarenakan:

a. Tidak terdapat cukup bukti

Apa yang dimaksud dengan tidak terdapat cukup bukti ialah berdasarkan Pasal 84 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan alat bukti yang sah adalah;

i. Keterangan saksi;

ii. Keterangan ahli;

iii. Surat;

iv. Petunjuk;

v. Keterangan terdakwa.

b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana. Maksudnya ialah untuk menjelaskan bahwa Pasal yang dipersangkakan kepada seseorang itu tidak memenuhi unsur-unsur sama sekali.

73 Ibid. Pasal 139.

74 Ibid. Pasal 14 huruf i

c. Perkara ditutup demi huhkum. Misalnya tersangka meninggal dunia atau perbuatan tersangka daluarsa.75

15. Melanjutkan penuntutan terhadap tersangka yang diberhentikan penuntutan dikarenakan adanya alasan baru.

16. Mengadakan pemecahan penuntutan (splitsing) terhadap satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidanayang dilakukan beberapa orang tersangka.

17. Melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan disertai surat dakwaan beserta berkas perkara.

18. Mengadakan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan

19. Membuat surat dakwaan.76

20. Untuk maksud penyempurnaan atau tidak melanjutkan penuntutan, penuntutan umum dapat megubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang atau selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.

Meskipun Jaksa sebagai penuntut umum mewakili negara didalam menuntut setiap orang, apabila ada pelanggaran terhadap hukum pidana dan apabila setelah mempelajari dan mempertimbangkan bahwa suatu perkara pidana tertentu secara yuridis ada cukup alasan untuk menuntut terdakwa, jika Jaksa sebagai penuntut

75 Ibid. Pasal 140 ayat (2) huruf a.

76 Ibid. Pasal 143 ayat (2).

umum berpendapat ada kepentingan umum yang harus dilindungi, perkara tersebut dapat dikesampingkan. Prinsip yang demikian disebut dengan prinsip oportunitas (principe opportuniteit). Apabiila Jaksa penuntut umum sebagai wakil negara telah mempelajari suatu perkara pidana secara yuridis ada cukup alasan untuk menuntut seorang tersangka, maka penuntut umum wajib menuntut tersangka tanpa pandang bulu.

Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (eksekusi) dalam system peradilan pidana di Indonesia merupakan bagian dari penegakan hukum pidana. Secara hukum atau pelaksanaan hukum secara inconcreto oleh aparat-aparat pelaksanaan hukum Pidana. Secara umum telah diketahui, aparat-aparat atau lembaga hukum yang melaksanakan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap adalah Kejaksaan Republik Indonesia. Sebagaimana telah diatur di dalam pasal 270 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana yang berisi:77

“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan surat putusan kepadanya”

Hal tersebut diatur juga dalam Pasal 30 ayat (3) huruf (b) Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan republik Indonesia yang berbunyi :

“Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”

Selanjutnya diatur dan ditekankan lagi pada pasal 54 ayat (1) Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menyatakan bahwa:

77 Lihat Pasal 270 KUHAP

“Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Jaksa”

Bahwa dalam pelaksanaanya, kejaksaan harus memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan sebagaimana dikatakan di dalam undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.78

Keadilan itu sendiri merupakan sesuatu yang sulit untuk didefinisikan, tetapi bisa dirasakan dan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas dan kaidah yang menjamin adanya keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat.

Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.79

Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta

78 Lihat Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

79 Marwan Effendy, Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2007), h.127.

wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain.

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan selain sebagai penyandang Dominus Litis, juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Undang-Undang Kejaksaan memperkuat kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruhkekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya harus tunduk dan patuh pada tugas, fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Tugas adalah amanat pokok yang wajib dilakukan dalam suatu tindakan jabatan. Sedangkan wewenang adalah pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kompetensi yurisdiksi

baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak. Dengan tugas dan wewenang, suatu badan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut.80

Melihat uraian diatas maka antara fungsi, tugas dan wewenang merupakan tiga kata yang selalu berkaitan satu sama lain. Mengenai dua kata yang selalu berkaitan antara tugas dan wewenang dapat dibuktikan secara tertulis dalam beberapa undang-undang, dalam hal ini diambil contohnya dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, yaitu:

1. Dalam bidang Pidana yaitu:

a. Melakukan Penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik;

2. Dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yaitu Kejaksaan dengan kekuasaan khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk atas nama negara atau pemerintah

80 Ibid h. 128

3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum yaitu:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.81

Dalam melakukukan eksekusi terhadap putusan hakim terdapat beberapa jenis ekekusi yang harus dilaksanakan seorang Jaksa diantaranya:

1. Eksekusi terhadap badan atau terdakwa yang dikenakan pidana.

Eksekusi terhadap terdakwa yang dikenakan pidana terbagi beberapa cara sesuai dengan putusan Hakim yang berwenang. Adapun macam-macam pidana yang dapat dikenakan terhadap terdakwa yaitu:82

a. Pidana Mati : Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan pidana mati maka pelaksanaannya dilakukan menurut ketentuan undang-undang tidak di muka umum (Pasal 271 KUHAP). Menurut ketentuan yang diatur dalam KUHP Pasal 11 pelaksanaan hukuman/pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.

81 Lihat Pasal 30 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

82 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h.31.

Ketentuan yang diatur dalam KUHP tersebut sejak tanggal 27 April 1964 sudah tidak berlaku karena diganti dengan Undang-Undang No.

2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Mati Yang Dijatuhkan Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer. Pelaksanaan atau eksekusi pidana mati tidak dapat dilakukan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan Grasi diterima oleh terpidana (Pasal 13 UU No. 22 TH.

2002). Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang menjalankan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pidana mati merupakan sanksi terberat, oleh kareananya kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati di dalam KUHP jumlahnya terbatas dan hanya diberikan kepada kejahatan berat, seperti:83

1) Kejahatan terhadap kemanan negara yang diatur dalam Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), dan Pasal 124 ayat (3) KUHP.

2) Kejahatan pembuhunan, sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat (3) dan Pasal 340 KUHP

83 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan: USU Press, 2015) h.

157

3) Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan dalam keadaan yang memberatkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 365 ayat (4) dan Pasal 368 ayat (2) KUHP

4) Kejahatan pembajakan di laut, tepi laut, pantai dan sungai, sebagaimana diatur dalam Pasal 444 KUHP

5) Kejahatan penerbangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 479 K ayat (2) dan Pasal 479 O ayat (2) KUHP.

b. Pidana Kurungan/Penjara : pidana ini ialah bertujuan sebagai perampasan kebebasan seseorang. Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan sejak tahun 1918, pada waktu mulai berlakunya KUHP.

Menurut Barda Nawawi Arief bahwa dasar pembenaran yang paling utama dilakukannya suatu pemidanaan khususnya pidana penjara terletak pada sifat atau fungsinya sebagai suatu proses untuk mengubah atau memperbaiki watak dan tingkah laku pelanggar hukum84

c. Pidana Bersyarat : Pidana bersyarat adalah Pidana dengan syarat-syarat tertentu, yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana/hukuman percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu sistem penjatuhan pidana oleh

c. Pidana Bersyarat : Pidana bersyarat adalah Pidana dengan syarat-syarat tertentu, yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana/hukuman percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu sistem penjatuhan pidana oleh

Dokumen terkait