PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENGELOLAAN DAN EKSEKSUSI BARANG BUKTI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
IMMANUEL CHRISTIAN M SINAGA 150200216
DEPARTERMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus, atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.
Adapun Judul Skripsi yang penulis Kemukakan adalah : “PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENGELOLAAN DAN EKSEKUSI BARANG BUKTI”, penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun, penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi mauoun penulisan dari skripsi ini.
Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang teah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:
1. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting, S.H,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. O.K Saidin, S.H., M.Hum, Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum, Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum, yang masing-masing adalah selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum, Selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada penulis.
4. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.
5. Bapak Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.
6. Bapak Dr. Jelly Leviza S.H., M.Hum selaku dosen Pembimbing Akademik penulis.
7. Bapak/Ibu Dosen dan Seluruh staf Administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Buat teman baikku Meydana Nurwasih Sitorus yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan Yesus menyertaimu selalu, jasamu akan selalu aku kenang.
9. Buat Papa tercinta Drs. Erwin Sinaga dan Mama tercinta M. S. Irene Panjaitan S.H., M.Hum, terima kasih buat kasih sayang, pengorbanan, dan perhatian yang sangat banyak kepada penulis.
10. Buat Adikku tercinta Sarah Kezia Sinaga terima kasih buat kebaikan dan dukungannya yang telah diberikan kepada penulis, semoga Tuhan Yesus menyertaimu selalu.
11. Buat Oma tercinta Armada Situmeang, SH, tulang tercinta Herman Ronald, SH yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Oma tetap diberikan kesehatan
12. Buat Sahabat-sahabatku seperjuangan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Raynaldo Divian dan Yosua Sinaga yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13. Buat Sahabat-sahabatku Dani, Itoku Elysia Sinaga, dan Maria Agytha yang selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini Tuhan Yesus menyertaimu selalu.
14. Untuk Theovanny Karenina Tarigan yang selalu mendukung dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan Yesus menyertaimu dan perkuliahanmu.
15. Buat Teman-teman komunitas HRMC, Rudi, Dani, Haga, Galung, Jannes.
Yang selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga sukses dan jaya selalu.
Besar harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana, bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca.
Medan, April 2019
Penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAKSI ... vii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 5
D. Keaslian Penulisan ... 6
E. Tinjauan Pustaka ... 7
1. Pengertian Kejaksaan ... 7
2. Pengertian Eksekusi ... 13
3. Pengertian Barang Bukti ... 14
4. Pengertian Barang Rampasan ... 18
F. Metode Penelitian ... 20
G. Sistematika Penulisan ... 22
BAB II. PENGATURAN HUKUM TERKAIT BARANG BUKTI ... 24
A. Pengaturan Hukum Terkait Barang Bukti yang terdapat didalam KUHAP .. 24
B. Pengaturan Hukum Terkait Barang Bukti yang terdapat diluar KUHAP ... 45
BAB III. WEWENANG YANG DIMILIKI KEJAKSAAN TERKAIT BARANG BUKTI ... 52
A. Wewenang Kejaksaan Dalam Melaksanakan Eksekusi Terhadap Barang
Bukti Sesuai Putusan Hakim ... 52
B. Wewenang Kejaksaan RI Dalam Pengelolaan Barang Rampasan ... 69
BAB IV. MEKANISME PENGELOLAAN BARANG BUKTI YANG DILAKUKAN OLEH KEJAKSAAN RI ... 75
A. Alur Pergantian Status Barang Bukti ... 75
B. Cara-cara Pengelolaan Barang Rampasan Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan RI ... 80
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90
A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 96 ...
PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENGELOLAAN DAN EKSEKUSI BARANG BUKTI
PROF. Dr. SYAFRUDDIN KALO S.H, M.Hum* Dr. MOHAMMAD EKAPUTRA S.H, M.Hum**
IMMANUEL CHRISTIAN M SINAGA***
A B S T R A K S I
Seseorang yang melakukan kejahatan pada umumnya menggunakan suatu benda atau barang untuk mempermudah dirinya melakukan sesuatu hal yang dikehendakinya, barang tersebut ialah yang biasa disebut dengan Barang Bukti. Kejaksaan adalah lembaga independen yang memiliki wewenang dalam melakukan penuntutan serta eksekusi terhadap putusan Hakim. Dalam melakukan tugasnya untuk melakukan eksekusi terhadap putusan hakim terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan khususnya dalam melakukan eksekusi terhadap barang bukti yang dapat berupa dikembalikan, dimusnahkan, digunakan untuk perkara lain atau dirampas untuk negara.
Jika barang bukti tersebut diputus oleh hakim agar dirampas untuk negara maka Kejaksaan memiliki beberapa metode atau cara dalam melakukan pengelolaan terhadap barang hasil rampasan tersebut.
Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Pengaturan Hukum Didalam Maupun Diluar KUHAP terkait Barang Bukti dan sejauh mana Wewenang Kejaksaan Terkait Barang Bukti serta Mekanisme Pengelolaan Barang Rampasan Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan RI.
Tujuan dilakukannya penelitian yang dilakukan pada penulisan ini ialah untuk mengetahui secara garis besar dasar hukum terkait barang bukti baik didalam KUHAP maupun diluar KUHAP, wewenang Kejaksaan RI terkait eksekusi barang bukti maupun pengelolaan barang rampasan, serta tentang cara dalam pengelolaan barang rampasan.
Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian normatif empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti serta mempelajari implementasi dari peraturan perundang-undangan serta bagaimana bekerjanya hukum tersebut didalam masyarakat dengan melakukan wawancara serta observasi. Data sekunder yang didapat berupa berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang- undangan, buku-buku, media cetak dan elektronik dan sebagainya. Kemudian data tersebut diolah secara kualitatif.
Barang bukti memiliki beberapa sumber hukum. Barang bukti yang dipersidangan ditetapkan hakim untuk dirampas oleh negara wajib untuk dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum. Kejaksaan memiliki wewenang dalam melaksanakan eksekusi putusan hakim, serta melakukan pengelolaan terhadap barang rampasan tersebut. Pengelolaan barang rampasan yakni terdiri dari dijual langsung, penetapan status penggunaan, hibah dan lelang KPKNL
* Dosen Pembimbing I
** Dosen Pembimbing II
*** Mahasiswa Fakultas Hukum USU
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Umumnya dalam melakukan kejahatan seseorang akan menggunakan alat atau barang untuk memudahkannya dalam melakukan sesuatu atau mengehendaki sesuatu.
Misalnya dalam kasus pembunuhan, seorang pelaku pembunuhan pada umumnya menggunakan senjata tajam maupun senjata api untuk memudahkan proses pembunuhan yang hendak dilakukannya. Dimana dalam hal ini senjata tajam maupun senjata api dapat dijadikan barang bukti sehingga terang benderanglah proses pembunuhan yang dilakukan orang tersebut.
Dalam tindak pidana seperti korupsi, pencucian uang, penggelapan, penipuan, pencurian barang bukti dikategorikan sebagai barang-barang yang didapat dari hasil kehendak suatu tindak pidana tersebut misalnya yakni kendaraan bermotor, sejumlah uang, dan benda bergerak lainnya dalam tindak pidana pencurian, penggelapan dan sejenisnya serta rumah, sebidang tanah, sejumlah uang, emas, apartemen dan benda- benda yang memiliki nilai ekonomis yang relatif tinggi lainnya dalam tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Selain perlunya alat bukti yang sah berupa Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa untuk menjadi dasar pembuktian yang
dilakukan oleh Hakim,1 Hakim dapat menghadirkan barang bukti tersebut sebagai dasar pembuktian untuk mencari kebenaran materil atas perkara yang ditanganinya.2
Pembuktian disini ialah pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya sehingga harus mempertanggungjawabkannya.3
Mengenai pengertian barang bukti tidak terdapat jelas terkait definisinya. Namun dalam HIR Pasal 63 sampai 67 HIR disebutkan, bahwa “barang-barang yang dapat dipergunakan sebagai bukti dapatlah dibagi atas:
1. Barang yang merupakan objek peristiwa pidana.
2. Barang yang merupakan produk peristiwa pidana.
3. Barang yang digunakan sebagai alat pelaksanaan peristiwa pidana.
4. Barang-barang yang terkait di dalam peristiwa pidana
Maka dapat disimpulkan barang bukti merupakan barang mengenai dimana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan maan delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik. Sehingga, barang bukti ini sangat penting dalam suatu proses pembuktian. Peranan barang bukti bagi penyidik yaitu untuk mengungkap pelaku dari tindak pidana tersebut. Bagi penuntut umum, barang bukti digunakan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan terhadap terdakwa. Sedangkan bagi hakim, barang bukti
1 Lihat Pasal 184 KUHAP.
2 Ibid. Pasal 181.
3 Darwan Prints, Hukum Acara Pidana (Suatu Pengantar), (Jakarta: Djambatan, 1989) h.106
sangat penting untuk menjadi dasar pertimbangan dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa.
Dalam melakukan dakwaan serta tuntutan Jaksa sebagai penuntut umum tidak hanya melakukan tuntutan badan dan/atau denda terhadap terdakwa tetapi juga akan melakukan tuntutan terhadap barang bukti yang dapat berupa tuntutan agar barang bukti tersebut dimusnahkan atau dirampas untuk kepentingan negara atau dikembalikan kepada pemilik yang sah. Lalu barang bukti tersebut akan dieksekusi oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai Putusan Hakim yang memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht).
Di dalam melaksanakan putusan Hakim, Jaksa memiliki wewenang untuk mengeksekusi barang tersebut dengan cara memusnahkannya atau merampasnya untuk kepentingan negara atau mengembalikan barang bukti tersebut kepada pemiliknya yang sah sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim.
Dalam hal perampasan barang bukti untuk kepentingan negara Lembaga Kejaksaan RI juga berperan dalam melakukan pengelolaan atas barang bukti tersebut.
Kejaksaan melakukan beberapa cara atau mekanisme dalam pengelolaan barang bukti tersebut yang dalam prakteknya sangat penting dan krusial terutama dalam pemanfaatan serta pemasukan kas negara.
Tercatat bahwa sepanjang tahun 2018 Kejaksaan Negeri Medan telah menyetor sekitar hampir 27 Miliar Rupiah kepada kas negara melalui beberapa pundi-pundi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh Kejaksaan Negeri Medan yakni
melalui Penjualan Hasil Sitaan/Rampasan Barang Bukti, Pendapat Hasil Denda dan Sebagainya, Pendapatan Hasil Denda Tilang, Pendapatan Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi yang Ditetapkan Pengadilan, Pendapatan Denda dari Tindak Pidana Khusus serta pendapatan-pendapatan lainnya dimana pundi-pundi yang terbesar ialah melalui Penjualan Hasil Sitaan/Rampasan Barang Bukti hingga mencapai angka hampir 17 (tujuh belas) Miliar Rupiah.4
Dapat dilihat bahwa begitu besar kontribusi yang dapat diberikan oleh hanya salah satu Kejaksaan Negeri melalui pengelolaan barang rampasan tersebut dan jika dipadukan kepada seluruh Kejaksaan yang ada di wilayah Indonesia tentu sangat besar pula penerimaan negara bukan pajak yang dapat di setorkan ke kas negara.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas, hal ini lah yang mendorong Penulis untuk membahas serta meneliti tentang “Peranan Kejaksaan Dalam Pengelolaan Dan Eksekusi Barang Bukti” mengingat bahwa Kejaksaan memiliki peran serta wewenang yang besar dalam hal pengelolaan dan eksekusi barang bukti untuk pemanfaatan serta kemajuan negara khususnya di dalam bidang hukum.
4 Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh Kejaksaan Negeri Medan (terlampir)
B. Perumusan Masalah
Dari uraian tersebut diatas Penulis akan membahas permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai Lembaga Kejaksaan terhadap barang bukti?
2. Bagaimana cara mengklarifikasi barang yang dapat dikelola oleh Kejaksaan?
3. Bagaimana sistem tata cara pengelolaan barang bukti yang dilakukan oleh Lembaga Kejaksaan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Bahwa setiap karya ilmiah memiliki tujuan yang akan diperoleh berdasarkan suatu permasalahan yang ada. Adapun tujuan yang akan dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui secara garis besar pengaturan hukum terkait tentangbarang bukti baik didalam KUHAP maupun diluar KUHAP.
b. Untuk mengetahui secara garis besar wewenang Kejaksaan RI terkait eksekusi maupun pengelolaan barang bukti
c. Untuk mengetahui tata cara pengelolaan barang bukti yang dilakukan oleh Lembaga Kejaksaan
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Untuk memberikan informasi kontribusi pemikiran dan menambah khasanah dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang sejauh mana peranan Kejaksaan dalam pengelolaan dan eksekusi terhadap barang bukti pada khususnya, sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana pada umumnya dan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan pengelolaan dan ekseksui barang bukti pada khususnya.
b. Manfaat Praktis
1. Untuk memberikan solusi kepada praktisi hukum atau yang lainnya mengenai pengenalan tentang Lembaga Kejaksaan serta wewenang Kejaksaan terkait barang bukti yang baik.
2. Untuk menjadi pedoman bagi masyarakat tentang pengawasan sejauh mana peranan Kejaksaan dalam mengelola serta mengeksekusi barang bukti yang mana dilakukan semata-mata untuk pemanfaatan dan kesejahteraan masyarakat.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi dengan judul “Peranan Kejaksaan Dalam Pengelolaan dan Eksekusi Barang Bukti” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekalipun telah dilakukan penelitian mengenai pengelolaan barang bukti oleh beberapa penulis, salah satunya adalah Eksekusi
Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika Yang Dirampas Untuk Negara (Studi putusan hakim pengadilan negeri Balige). Pada prinsipnya perolehan data dalam penulisan karya ilmiah ini berdasarkan penelitian empiris dengan cara wawancara ditambahkan beberapa literatur yang ada, baik dari perpustakaan, media masa, cetak maupun elektronik yang relevan dengan judul skripsi ini. Sehingga demikian penulis dapat memastikan skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.
E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Kejaksaan
Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan, serta dalam persidangan juga Jaksa sebagai penuntut umum melakukan pembuktian atas suatu perkara yang sedang ditanganinya.
Pembuktian disini ialah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar dapat dikpakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut.5
Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pengertian antara Jaksa dan Penuntut umum dibedakan, yaitu menurut Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sebagai berikut:
5 J.C.T Simorangkir,dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Aksara Baru, 1983) h.135
1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.6
2. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim7
Adapun menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.
b. Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Kedudukan Kejaksaan atau penuntut umum sebagaimana menurut Pasal 2 Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ialah sebagai berikut:8
1. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
6 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
7 Lihat Pasal 13 KUHAP
8 Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
2. Kekekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
3. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan. Yang dimaksud dengan Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan ialah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya dibidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan. Oleh karena itu kegiatan penuntutan di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti oleh hanya karena Jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap berlangsung sekalipun untuk itu dilakukan oleh Jaksa lainnya sebagai pengganti.
Pelaksanaan Kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh:9
1. Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden.
9 Lihat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
2. Kejaksaan tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan tinggi yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
3. Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan Negeri dipimpin oleh seorang Kepala Kejaksaan Negeri yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. Pada Kejaksaan Negeri tertentu terdapat juga Cabang Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan.
Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.10
Secara umum adapun tugas dan wewenang Kejaksaan ialah sebagai berikut:11 1. Dalam bidang Pidana yaitu:
a. Melakukan Penuntutan;
10 www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=1 diakses pada tanggal 24 Februari 2019 pukul 11:30 WIB
11 Lihat Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undanng-Undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik;
2. Dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yaitu Kejaksaan dengan kekuasaan khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk atas nama negara atau pemerintah
3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum yaitu:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
2. Pengertian Eksekusi
Eksekusi ialah pelaksanaan putusan hakim atau pelaksanaan hukuman badan peradilan, khususnya hukuman mati.12 Sehingga pengertian tersebut memberikan batasan dan wewenang bahwa hanya hakim dalam peradilan yang dapat memberikan putusan yang pengeksekusiannya diatur oleh hukum.
Eksekusi merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht) yang dijalankan secara paksa oleh terpidana sesuai putusan yang ditetapkan oleh hakim di persidangan tersebut. Dalam Pasal 195 Hersien Inlandsch Reglement (HIR)/Pasal 207 Rechtreglement voor de Buitengwesten (RBG) dikatakan: “Hal menjalankan Putusan Pengadilan Negeri dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri adalah atas perintah dan tugas Pimpinan ketua Pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal HIR”.
Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa, yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.13
Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa atau penuntut umum ini, bukan lagi pada penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan dan lain-lain yang dalam ini jelas KUHAP menyatakan : “jaksa”, berbeda dengan pada penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan dan lain-lain disebut “penuntut umum”. Dengan
12 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Eksekusi.
13 Lihat Pasal 270 KUHAP
sendirinya ini berarti Jaksa yang tidak menjadi Penuntut Umum untuk suatu perkara boleh melaksanakan putuan pengadilan.
Di dalam Pasal 36 ayat 4 UUKK diatur tentang pelaksanaan keputusan hakim yang memperhatikan kemanusiaan dan keadilan. Pertama-tama, Panitera membuat dan menandatangani surat keterangan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Kemudian Jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan yang dikirim kepada Lembaga Pemasyarakatan.
Kalau Panitera belum dapat mengirimkan kutipan putusan, oleh karena surat putusan belum selesai pembuatannya, maka kutipan itu dapat diganti dengan suatu keterangan yang ditandatangani oleh Hakim dan Penitera dan yang memuat hal-hal yang harus disebutkan dalam surat kutipan tersebut. Jaksa setelah menerima surat kutipan atau surat keterangan tersebut di atas, harus berusaha, supaya putusan Hakim selekas mungkin dijalankan.
3. Pengertian Barang Bukti.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:14
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
14 Lihat pasal 39 KUHAP
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan,
Atau dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti15
Selain itu di dalam Hetterziene in Landcsh Regerment (HIR) juga terdapat perihal barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat atau pun orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan. Penjelasan Pasal 42 HIR menyebutkan barang-barang yang perlu di-beslag di antaranya:
a. Barang-barang yang menjadi sasaran tindak pidana (corpora delicti)
b. Barang-barang yang terjadi sebagai hasil dari tindak pidana (corpora delicti) c. Barang-barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
(instrumenta delicti)
d. Barang-barang yang pada umumnya dapat dipergunakan untuk memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa (corpora delicti)
15 Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 1989)h.
19.
Selain dari pengertian-pengertian yang disebutkan oleh Kitab Undang-Undang di atas, pengertian mengenai barang bukti juga dikemukakan dengan doktrin oleh beberapa Sarjana Hukum. Prof. Andi Hamzah mengatakan, barang bukti dalam perkara pidana adalah barang bukti mengenai mana delik tersebut dilakukan (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan (alat yang dipakai untuk melakukan delik), termasuk juga barang yang merupakan hasil dari suatu delik.16 Ciri-ciri benda yang dapat menjadi barang bukti :
1. Merupakan objek materil 2. Berbicara untuk diri sendiri
3. Sarana pembuktian yang paling bernilai dibandingkan sarana pembuktian lainnya
4. Harus diidentifikasi dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa Martiman Prodjohamidjojo berpendapat bahwa barang bukti atau corpus delicti adalah barang bukti kejahatan. Dalam Pasal 181 KUHAP majelis hakim wajib memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenali barang bukti terebut. Jika dianggap perlu, hakim sidang memperlihatkan barang bukti tersebut.
Ansori Hasibuan berpendapat barang bukti ialah barang yang digunakan oleh terdakwa untuk melakukan suatu delik atau sebagai hasil suatu delik, disita oleh penyidik untuk digunakan sebagai barang bukti pengadilan.
16 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (jakarta: Sinar Grafika, 2006) h. 254
Dari pendapat beberapa Sarjana Hukum di atas dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan barang bukti adalah:17
a. Barang yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
b. Barang yang dipergunakan untuk membantu melakukan suatu tindak pidana c. Benda yang menjadi tujuan dari dilakukannya suatu tindak pidana
d. Benda yang dihasilkan dari suatu tindak pidana
e. Benda tersebut dapat memberikan suatu keterangan bagi penyelidikan tindak pidana tersebut, baik berupa gambar ataupun berupa rekaman suara
f. Barang bukti yang merupakan penunjang alat bukti mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam suatu perkara pidana. Tetapi kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan.
Bila kita bandingkan dengan sistem Common Law seperti di Amerika Serikat, alat-alat bukti tersebut sangat berbeda. Dalam Criminal Procedure Law Amerika Serikat, yang disebut forms of evidence atau alat bukti adalah: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence dan judicial notice.18 Dalam sistem Common Law ini, real evidence (barang bukti) merupakan alat bukti yang paling bernilai. Padahal real evidence atau barang bukti ini tidak termasuk alat bukti menurut hukum acara pidana kita.
17 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit.
18 Andi Hamzah, Op.Cit.
Bila memperhatikan keterangan di atas, tidak terlihat adanya hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa untuk menentukan pidana kepada terdakwa, kesalahannya harus terbukti dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah; dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.19
Berdasarkan penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi barang bukti dalam sidang pengadilan adalah sebagai berikut: 20
a. Menguatkan kedudukan alat bukti yang sah;
b. Mencari dan menemukan kebenaran materiil atas perkara sidang yang ditangani;
c. Setelah barang bukti menjadi penunjang alat bukti yang sah maka barang bukti tersebut dapat menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan yang didakwakan JPU.
4. Pengertian Barang Rampasan
Barang Rampasan adalah benda sitaan berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk Negara.21 Status suatu barang yang pada akhirnya menjadi barang rampasan ialah ketika suatu barang terkait suatu perkara yang disita pada saat proses persidangan demi kelancaran pemeriksaan yang dilakukan Hakim dan Jaksa yang pada saat pemeriksaan itu
19 Lihat pasal 183 KUHAP
20 Ibid Pasal 184.
21 Lihat pasal 1 angka 4 Permenkumham No. 16 Tahun 2014
berstatus sebagai barang sitaan. Ketika Hakim dalam pembacaan putusan di dalam persidangan dan memutus bahwa barang tersebut untuk dirampas oleh negara maka dari saat itulah status suatu barang sitaan tersebut menjadi barang rampasan dikarenakan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap melalui pembacaan putusan pengadilan.
Maka terlihat bahwa penyitaan bersifat sementara, dimana barang milik seseorang dilepaskan darinya untuk keperluan pembuktian (baik pembuktian di tingkat penyidikan, penuntutan maupun pengadilan).22 Jika terbukti barang yang disita tersebut merupakan hasil tindak pidana, maka tindakan selanjutnya terhadap barang itu adalah dirampas untuk negara melalui putusan pengadilan.23 Jika tidak terbukti, maka barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya.
Sedangkan, perampasan hanya dapat dilakukan berdasarkan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa barang tersebut dirampas oleh negara.
Apabila Hakim dalam putusannya memutus untuk memusnahkan barang sitaan tersebut maka barang itu tidak akan menjadi barang rampasan. Begitu pula ketika hakim dalam putusannya memutus untuk mengembalikan barang tersebut kepada pemilik yang sah maka barang sitaan tersebut beralih status dan wajib untuk dikembalikan kepada pemiliknya yang sah melalui Jaksa sebagai eksekutor atau pelaksana putusan Hakim.
22 Lihat pasal 1 angka 16 KUHAP
23 Lihat pasal 1 angka 4 Permenkumham No. 16 Tahun 2014
F. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan bahan-bahan di dalam penyusunan skripsi ini diperginakan suatu cara metode yaitu:
a. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, dipergunakan metode penelitian Normatif Empiris.
b. Data dan Sumber Data
Sebagaimana umumnya, penelitian Empiris dengan mempelajari implementasi daripada peraturan perundang-undangan serta bagaimana bekerjanya hukum tersebut di dalam masyarakat. Data primer diperoleh dengan cara wawancara yang merupakan proses memperoleh keterangan dengan cara tanya jawab, serta bertatap muka antara penulis sebagai pewawawancara dengan responden dengan menggunakan alat yang dinamakan panuan wawancara.24 Pewawancara juga bersifat netral dan adil terhadap semua responden sesuai dengan teknik wawancara yang baik.25 Data Primer juga diperoleh dengan cara observasi langsung yang merupakan pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut.26 Serta data sekunder diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
24 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2017) h. 170
25 M. Singarimbun, S. Effendi, Metode Penelitian Survei (Yogyakarta: Pusat Peneliti dan Studi Kependudukan UGM, 1981) h.203
26 Moh. Nazir, Op.Cit h.154
Adapun data primer yang digunakan ialah:
1. Wawancara kepada pejabat terkait di Kejaksaan Negeri Medan.
2. Observasi terkait kegiatan pengeloalaan barang bukti di Kejaksaan Negeri Medan.
Adapun data sekunder ialah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yakni:
1. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
2. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, media cetak dan elektronik 3. Bahan hukum tersier berupa kamus yang relevan dengan skripsi ini.
c. Metode Pengumpulan Data
Data primer diperoleh melalui penelitian terhadap kegiatan hukum yang terjadi di dalam masyarakat, yakni melakukan penelitian menggunakan teknik wawancara dan observasi. Data sekunder diperoleh melalui penelitian perpustakaan (library research), yakni melakukan penelitian menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku media cetak dan elektronik yang diniliai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
d. Analisis Data
Data-data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Analisa kualitati ini ditujukan untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan
konsep yang diperlukan dan akan diurai secara komprehensif untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab, dan masing-masing bab dari sub- sub bab. Adapun susunannya :
BAB I. Berisikan pendahuluan yang didalamnya memamparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut, metode penulisan dan terakhir diuraikan dalam sistematika penulisan skripsi
BAB II. Pengaturan Hukum Terkait Barang Bukti. Dalam bab ini Penulis akan memberikan uraian secara garis besar serta menginventarisasi kumpulan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan barang bukti baik yang terdapat di dalam KUHAP maupun yang terdapat di luar KUHAP
BAB III. Wewenang Apa Yang Dimiliki Oleh Kejaksaan Terkait Barang Bukti.
Dalam bab ini penulis akan menguraikan apa-apa saja wewenang yang dimiliki oleh Kejaksaan secara mendasar serta wewenang Kejaksaan
dalam pengelolaan dan eksekusi terhadap barang buki. Penulis akan menguraikan wewenang bagaimana wewenang Kejaksaan dalam melaksanakan eksekusi terhadap putusan hakim terkait barang bukti serta bagaimana Kejaksaan dalam pengelolaan barang rampasan.
BAB IV. Mekanisme Pengelolaan Barang Bukti Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan RI. Dalam bab ini penulis akan mencoba menguraikan secara sistematis macam-macam serta tahap-tahap proses pengelolaan barang rampasan tersebut yang dilakukan oleh Kejaksaan RI dimulai dari klasifikasi terhadap barang yang dapat dikelola hingga cara-cara pengelolaan yang akan dilakukan oleh Kejaksaan.
BAB V. Bab yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.
BAB II
PENGATURAN HUKUM TERKAIT BARANG BUKTI
A. Pengaturan Hukum Terkait Barang Bukti yang Terdapat di dalam KUHAP Dalam suatu negara, pemerintah harus menjamin adanya penegakan hukum dan tercapai tujuannya, yaitu tujuan hukum. Dalam penegakan hukum, terdapat tiga unsur penting yang perlu mendapat perhatian yaitu keadilan, kemanfaatan atau hasil guna dan kepastian hukum.27
Barang bukti merupakan suatu hal yang sangat penting perannya terutama di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengingat bahwa pengertian hukum acara pidana atau pidana formal adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang memuat ketentuan-ketentuan mengatur soal-soal sebagai berikut:28
a. Cara bagaimana harus diambil tindakan-tindakan jikalau ada sangkaan, bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana mencari kebenaran tentang tindak pidana apakah yang telah dilakukan
b. Setelah ternyata bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan, siapa dan cara bagaimana harus mencari, menyelidik dan menyidik orang-orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, cara menangkap, menahan dan memeriksa orang itu.
27 Soedikno Mertokusumo, A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1993) h. 102
28 R. Soesilo, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi Penegak Hukum) (Bogor: Politeia, 1982) h.3
c. Cara bagaimana mengumpulkan barang-barang bukti, memeriksam menggeledah badan dan tempat-tempat lain serta menyita barang-barang itu, untuk membuktikan kesalahan tersangka.
d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadap terdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.
e. Oleh siapa dan dengan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harus dilaksanakan dan sebagainya, atau dengan singkat dapat dikatakan: yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan atau menyelenggarakan hukum pidana materiil, sehingga memperoleh keputusan hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.
Serta menurut Soesilo Yuwono, bawa hukum acara pidana ialah ketentuan- ketentuan hukum yang memuat tentang:29
a. hak dan kewajiban dari mereka yang tersangkut dalam proses pidana;
b. tata cara dari suatu proses pidana:
1. tindakan apa yang dapat dan wajib dilakukan untuk menemukan tindak pidana
2. bagaimana tata caranya menghadapkn orang yang didakwa melakukan tindak pidana ke depan pengadilan;
3. bagaimana tata caranya melakukan pemeriksaan di depan pengadilan terhadap orang yang didakwa melakukan tindak pidana; serta
29 Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP (Sistem dan Prosedur) (Bandung: Alumni, 1982) h.5
4. bagaimana tata caranya untuk melaksanakan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
Selanjutnya, adapun fungsi hukum acara pidana ialah melaksanakan hukum pidana materill, artinya memberikan peraturan cara bagaimana negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan wewenang untuk memidana atau membebaskan pidana. Rd. Achmad S. Soema Dipradja mengemukakan bahwa pada pokoknya hukum acara pidana mengatur hal-hal:30
1. Diusutnya kebenaran dari adanya persangkaan dilarangnya undang-undang pidana, oleh alat-alat negara, yang khusus diadakan untuk keperluan tersebut.
2. Diusahakan diusutnya para pelaku dari perbuatan itu.
3. Diikhtiarkan segala daya upaya agar pelaku dari perbuatan tadi dapat ditangkap, jika perlu untuk ditahan.
4. Alat-alat bukti yang telah diperoleh dan terkumpul hasil pengusutan dari kebenaran/persangkaan tadi diserahkan kepada hakim, demikian juga usaha agar tersangka dapat dihadapkan kepada hakim.
5. menyerahkan kepada hakim untuk diambil putusan tentang terbukti tidaknya daripada perbuatan yang diisangka dilakukan oleh tersangka dan tindakan atau hukuman apakah yang lalu akan diambil atau dijatuhkan
30 Rd. Achmat S. Soema Dipradja, Pokok-pokok Hukum Acara Pidana (Bandung: Alumni, 1977) h.16
6. Menentukan daya upaya hukum yang dapat digunakan terhadap putusan yang diambil hakim
7. Putusan yang pada akhirnya diambil berupa pidana atau tindakan untuk dilaksanakan.
Maka berdasarkan hal-hal diatas, dapatlah diambil kesimpulan bahwa tiga fungsi pokok hukum acara pidana yaitu:
1. Mencari dan menemukan kebenaran.
2. Pengambilan putusan oleh hakim.
3. Pelaksanaan putusan yang telah diambil.
Selain itu adapun tugas dan fungsi hukum acara pidana menurut alat perlengkapannya yaitu:31
1. Untuk mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran.
2. Menerapkan hukum dengan keputusan berdasarkan keadilan 3. Melaksanakan keputusa yang adil.
Mengingat tentang tujuan hukum acara pidana ada pendapat bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Bahwa setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala
31 Bambang Poernomo, Pola dasar Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana (Yogyakarta:
Liberty, 1988) h.29
upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah mempunyai kekuatan huum yang tetap, maka hukum acara pidana mengatur pula pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan tersebut. Jadi, apa yang diatur dalam hukum acara pidana adalah cara-cara yang harus ditempuh dalam menegakkan melindungi hak-hak asasi tiap-tiap individu baik yang menjadi korban maupun pelanggar hukum.32
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menyebutkan secara jelas mengenai apa definisi atau pengertian dari barang bukti. Namun dalam pasal 39 KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:33
a. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
d. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Barang Bukti dilakukan oleh penyidik dan dapat diperoleh dengan serangkaian cara yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Adapun cara-cara dalam memperoleh barang bukti ialah:
32 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, (Bandung: CV Mandar Maju, 2001) h.1
33 Lihat pasal 39 ayat 1 KUHAP
1. Penyitaan.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.34 Guna melakukan penyitaan, maka penyidik:35
a. Terlebih dahulu mendapat surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, tetapi dalam keadaan yang sangat perlu mendesak, harus segera bertindak, dapat tanpa surat izin tersebut dengan kewajiban segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan negeri guna memperoleh persetujuannya. Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat langsung melakukan penyitaan terhadap benda atau alat yang ternyata atau patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti, terhadap paket atau surat atau, benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi dan lain-lain perusahaan pengangkutan apabila barang-barang tersebut bagi tersangka atau berasal daripadanya
b. Berwenang memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang dapat disita untuk diserahkan kepadanya, sedangkan terhadap surat atau tulisan
34 Lihat pasal 1 ayat 16 KUHAP
35 Djisman Samosir, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Nuansa Aulia, 2018) h.93
hanya terbatas pada surat atau tulisan yang berasal bagi tersangka. Dan penyitaan terhadap surat atau tulisan dari mereka yang berkewajiban merahasiakan sepanjang tidak menyangkut rahasia negara hanyalah atas persetujuan atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri
c. Sebelum melakukan penyitaan menunjukkan tanda pengenal kepada orang dari mana benda itu disita
d. Memperhatikan benda yang akan disita kepada orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan dapat minta keterangan tentang barang itu dengan disaksikan oleh Kepala Desa/Ketua Lingkungan dengan dua orang saksi.
e. Membuat berita acara penyitaan, setelah dibacakan diberi tanggal, kemudian ditandatangani oleh penyidik, orang yang bersangkutan atau keluarganya dan atau kepala desa/kepala lingkungan dengan dua orang saksi dan dalam hal orang dari mana benda itu disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangannya hal itu dicatat dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya kemudian penyidik harus menyampaikan turunan dari berita acara itu kepada atasannya, orang dari mana benda itu disita atau keluarganya dan kepala desa.36
f. Membungkus benda sitaan, dan sebelumnya dicatat terlebih dahulu berat dan jumlah menurut jenis masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas dari mana benda itu disita dan hal-hal lain
36 Lihat Pasal 129 ayat 2, 3, 4 KUHAP
yang dianggap perlu dan kemudian diberi lak dan cap jabatan yang ditandatangani penyidik, dan apabila benda yang disita itu dibungkus, maka penyidik memberi catatan sebagaimana maksud dalam Pasal 130 ayat 1 KUHAP yang menyatakan bahwa benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut masing-masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari, dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi hak dan cap jabatan dan ditandatangani penyidik, yang ditulis daam label yang ditempelkan atau yang dikaitkan pada benda tersebut.37
Selain dengan Pasal 1 ayat 16 KUHAP tersebut secara tegas disebut bahwa barang-barang yang disita itu adalah untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan, tanpa menjelaskan apakah barang yang disita itu diperoleh dari kejahatan atau dipakai melakukan kejahatan. Akan tetapi kalau kita perhatikan Pasal 39 KUHP kita dapat mengetahui barang- barang yang disita itu ada penjelasannya, yaitu:38
a. Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan dapat dirampas
b. Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
37 Djisman Samosir, Op.Cit h. 95
38 Lihat Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
c. Perampasan dapat dilakukan kepada orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.
Adapun mengenai macam sifat barang-barang yang dapat disita ialah sebagai berikut:
a. Barang-barang yang menjadi sasaran perbuatan yang melanggar hukum pidana seperti barang-barang yang dicuri atau yang digelapkan atau yang dapat secara penipuan.
b. Barang-barang yang tercipta sebagai buah dari perbuatan yang melanggar hukum pidana, seperti yang logam atau uang kertas yang dibikin oleh terdakwa dengan maksud untuk mengedarkannya sebagai uang tulen atau suatu tulisan palsu.
c. Barang-barang yang dipakai sebagai alat untuk melakukan perbuatan yang melanggar hukum pidana, seperti suatu pisau atau senjata api atau tongkat yang dipakai untuk membunuh atau menganiaya orang, suatu batang besi yang dibakai untuk membuat lubang di dinding suatu rumah dalam mana kemudian dilakukan pencurian perkakas-perkakas yang dipakai untuk membikin uang palsu.
d. Barang-barang yang pada umumnya dapat menjadi tanda bukti ke arah memberatkan atau meringankan kesalahan terdakwa, seperti suatu pakaian yang dipakai oleh penjahat pada waktu melakukan perbuatan yang
melanggar hukum pidana, atau suatu barang yang terlihat ada tanda pernah dipegang oleh penjahat dengan jarinya.39
Jika benda sitaan itu lekas rusak atau membahayakan sehingga tidak mungkin untuk disimpan di pengadilan memberikan putusan yang tetap atau apabila biaya penyimpanan benda sitaan itu terlalu tinggi maka dengan persetujuan dari tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan berupa:
a. Bila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dilelang atau diamankan oleh penyidik atau penuntut umum dengan disaksikan tersangka atau kuasanya
b. Apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, makan benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.40 Adapun mengenai uang hasil dari pelelangan tersebut dipakai sebagai barang bukti.41 Dan mengenai benda-benda yang disita, apakah akan dikembalikan atau dimusnahkan, diatur dalam Pasal 46 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang pada pokoknya menyebutkan bahwa benda yang disita dikembalikan kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali
39 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung, 1970) h. 40
40 Djusman Samosir, Op.Cit. h. 97
41 Lihat Pasal 45 KUHAP
hakim memutuskan benda tersebut dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.42
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bahwa yang berhak melakukan penyitaan itu adalah penyidik (polisi), sedangkan dalam HIR (Herzien Inlandsch Reglement) hak untuk melakukan penyitaan tidak hanya terbatas pada kewenangan polisi, melainkan juga merupakan kewenangan dari penuntut umum sebagaimana dapat kita abca pada Pasal 64 ayat 1 HIR yang pada pokoknya menyatakan bahwa jika melihat keadaan perbuatan yang dapat dihukum itu, keterangannya boleh jadi akan dapat diperoleh dari berbagai surat dan barang-barang yang ada pada si tertuduh, maka pegawai penuntut umum hendaklah dengan segera pergi ke rumah si tertuduh untuk mencari sekalian yang dapat dipakai uuntuk mencari kebenaran. Selanjutnya di dalam Pasal 64 ayat 2 HIR yang pada pokoknya menyatakan bahwa, tentang itu hendaklah membuat proses verbal dan merampas barang-barang yang dapat dicarinya itu yang mana-mana yang dapat dipakai untuk jadi bukti.43
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berwenang melakukan penyitaan itu hanyalah penyidik (polisi) sedangkan yang berwenang melakukan penyitaan menurut HIR adalah Polisi dan Penuntut Umum.
42 Ibid. Pasal 46 ayat 2 KUHAP
43 Lihat Pasal 64 Herzien Inlandsch Reglement (HIR)
Menurut Djisman Samosir perbedaan tersebut merupakan konsekuensi logis dari kewenangan untuk melakukan tugas penyidikan yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Tugas penyidikan itu hanyalah dilakukan oleh penyidik (polisi) sedangkan penuntut umum tidak mempunyai kewenangan melakukan penyidikan, kecuali danlam tindak pidana korupsi.
Selain itu tugas penyidikan itu sangat erat hubungannya dengan masalah penyitaan. Hanya penyidik yang berwenang melakukan penyidikan, sehingga tugas penyitaan otomatis menjadi tugas dari penyidik (polisi).44
2. Penggeledahan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana membedakan 2 (dua) jenis penggeledahan, yakni:45
a. Penggeledahan Badan
Yang dimaksud dengan penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita
b. Penggeledahan Rumah
Yang dimaksud dengan penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat terututp lainnya untuk
44 Djisman Samosir, Op.Cit. h.98
45 Lihat Pasal 32 KUHAP
melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Dari kedua definisi tersebut sangat jelas bahwa tujuan penggeledahan itu adalah untuk kepentingan penyidikan, sehingga sesuatu perkara itu semakin jelas dengan ditemukannya sesuatu barang bukti melalui suatu penggeledahan karena pentingnya penggeledahan itu dalam usaha menemukan bukti-bukti, maka dapat dimengerti kalau para penyidik perkara pidana dalam usahanya mencari bukti-bukti sering memasuki kediaman atau tempat tinggal sesorang tanpa izin terlebih dahulu, dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak.
Penggeledahan yang dilakukan penyidik itu terhadap rumah di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disyaratkan harus ada izin ketua pengadilan negeri setempat.46 Dan diperbolehkan tanpa izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat jika dalam keadaan yang sangat mendesak dengan syarat harus segera melaporkannya kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat.47 Yang dimaksud dengan kata „segera‟ adalah waktu yang wajar pada kesempatan yang pertama apabila situasi dan kondisi sudah memungkinkan, dan terhadap permohonan persetujuan tersebut Ketua Pengadilan Negeri tidak boleh menolak.48 Hal ini dimaksudkan agar para penyidik tidak
46 Ibid. Pasal 31 ayat 1 KUHAP.
47 Ibid. Pasal 34 KUHAP
48 Mahkamah Agung RI, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Umum dan Pidana Khusus, Buku II Edisi 2007 (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2008) h.53
menyalahgunakan kekuasaannya dan juga guna menjamin hak asasi seseorang atas rumah kediamannya.
Lebih lanjut mengenai dalam hal keadaan terdesak, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana melalui Pasal 34 ayat 1 mengatur bahwa dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat 5 yang pada pokoknya menyebutkan bahwa dalam waktu dua hari harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada yang berkepentingan, penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a. Pada halaman rumah tersangkah bertempat tinggal, berdiam atau yang ada diatasnya.
b. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada.
c. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya.
d. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.49
Selanjutnya di dalam penjelasan pasal terebut dicantumkan tentang pengertian dari kata “dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak” yaitu bilamana ditempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau
49 Lihat Pasal 34 ayat 1 KUHAP
dipindahkan sedangkan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri tidak mungkin diperoleh dengan cara yang layak dan dalam waktu yang singkat.
Misalnya saja seorang tukang copet yang sedang melakukan tindakannya di dalam sebuah bus yang sedang berjalan apabila penyidik terlebih dahulu harus meminta izin dari Ketua Pengadilan negeri, untuk melakukan penggeledahan terhadap tukang copet tersebut kita dapat membayangkan, usaha apa kiranya yang dapat dilakukan tukang copet tersebut untuk menutupi kesalahannya dengan jalan menghilangkan benda yang dicopetnya itu.
Oleh karena kejadian-kejadian semacam itu tidak jarang terjadi dewasa ini, maka tindakan penyidik untuk melakukan penggeledahan tanpa surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri merupakan upaya yang sungguh-sungguh baik dan dapat membantu kelancaran dari tugas penyidik.
Penyidik di dalam melaksanakan tugas penggeledahan itu kecuali dalam hal tertangkap tangan tidak diperkenankan memasuki:50
a. Ruang dimana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, atau Dewan Perwakilan Daerah.
b. Tempat di mana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan.
c. Ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.
Setelah penyidik melakukan penyitaan ataupun penggeledahan terhadap rumah maupun badan, jika terdapat suatu barang yang menurut penyidik perlu untuk disita
50 Djisman Samosir, Op.Cit. h.92
maka barang tersebut akan diambil oleh penyidik dan menjadi sepenuhnya tanggungjawab Polisi sebagai penyidik.
Berdasarkan Pasal 44 KUHAP benda sitaan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara atau disingkat Rupbasan. Rupbasan adalah satu- satunya tempat penyimpanan segala macam benda sitaan yang diperlukan sebagai barang bukti dalam proses-proses peradilan termasuk barang yang dinyatakan dirampas berdasarkan putusan hakim dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga. Penyimpanan benda sitaan tersebut dilaksanakan dengan sebaik- baiknya dan tanggung jawab ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang dipergunakan oleh siapapun.
Gagasan dasar tentang amanah undang-undang untuk membentuk lembaga baru seperti Rupbasan adalah untuk tetap terpeliharanya benda yang disita dalam satu kesatuan unit. Kebijakan ini akan memudahkan dalam pemeliharaan danada pejabat tertentu yang bertanggung jawab secara fisik terhadap benda sitaan tersebut. Sehingga dengan pengelolaan dan pemeliharaan oleh Rupbasan kondisi atau keadaan benda sitaan tetap utuh dan sama seperti pada saat benda itu disita. Keutuhan benda sitaan sangat diperlukan bukan hanya untuk keperluan pembuktian saat pada proses peradilan, sehingga para saksi tetap dengan mudah mengenali benda sitaan tersebut sama seperti pada saat dlakukan tindak pidana atau ketika benda itu disita untuk dijadikan sebagai barang bukti, melainkan juga dimaksudkan untuk melindungi hak
milik tersangka dan terutama sekali hak milik pihak yang menjadi korban tindak pidana maupun pihak lain yang terkait dengan tindak pidana.51
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) adalah satu-satunya tempat penyimpanan segala macam jenis benda sitaan. Secara struktural dan fungsional, berada dibawah lingkungan Departemen Kehakiman yang akan menjadi pusat penyimpanan segala barang sitaan dari seluruh instansi.
Tugas Kepala Rupbasan yaitu memimpin, membimbing, membina, mengendalikan dan mengarahkan seluruh kegiatan dan sumbersumber Rupbasan dalam mencapai tujuan tugas dan tanggung jawab. Menyimpan benda sitaan negara, mengkoordinasikan, memimpin dan mengawasi proses penerimaan, penyimpanan.
Keamanan dan tata tertib pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara serta bidang fasilitas Rupbasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Adapun tugasnya ialah sebagai berikut:52
a. Menyusun rencana kerja yang bersifat menyeluruh dan sterategis kegiatankegiatan Rubasan baik jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang agar pelaksanaan tugas berjalan dengan baik dan lancar sesuai tugas dan tanggung jawabnya dan tujuan-tujuan organisasi.
51 Joelman Subadi, Tesis: Pengelolaan Barang Sitaan Negara Oleh RUBASAN, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 2011) h. 40.
52 Sandy Wuwungan, Pertanggungjawaban Polisi Terhadap Barang Bukti Hasil Sitaan, Lex Crimen Vol. IV No.5 Juli 2015 h. 160