• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas Dan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitas Dan Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia diidealkan dicita-citakan oleh The Founding Fathers sebagai suatu

negara hukum (rechts staat / the rule of law). Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1

ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa : “Negara Indonesia adalah Negara

Hukum”.Hal ini bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,

hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi

strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.1Untuk mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum, diperlukan baik norma-norma atau

peraturan perundang-undangan, juga aparatur pengemban dan penegak hukum yang

profesional, berintegritas, dan disiplin yang didukung oleh sarana dan prasarana

hukum serta perilaku hukum masyarakat. Oleh karena itu, idealnya setiap negara

hukum termasuk negara Indonesia harus memiliki lembaga/institusi/aparat penegak

hukum yang berkualifikasi demikian.2

1

Lihat : Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, mengatakan bahwa : “Negara Indonesia adalah negara hukum (rechts staat) bukan negara kekuasaan (machtstaat). Hal ini membawa konsekuensi bahwa negara termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dipertanggung-jawabkan secara hukum, karena itu, setiap tindakan harus berdasarkan hukum. Sehingga konsekuensi dari negara hukum adalah hukum sebagai panglima yang tidak memandang siapapun, baik dari kalangan pejabat, pengusaha, maupun rakyat biasa mempunyai hak dan kedudukan yang sama dihadapan hukum. Sumber : M. Ali Mansyur, “Pranata Hukum dan Penegakannya di Indonesia”,

Salah satu lembaga penegak hukum yang ada

pada 12 November 2012.

2

(2)

di Indonesia adalah Kejaksaan Republik Indonesia, disamping lembaga penegak

hukum lainnya.

Penegak hukum pada hakikatnya merupakan suatu proses untuk mewujudkan

tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan.3

Hukum dan penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto, merupakan

sebagian faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan sebagian faktor

penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan, karena jika diabaikan akan

menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.

Penegakan huukum

merupakan proses kegiatan atau aktivitas yang salah satunya dijalankan oleh penegak

hukum (Penyidik Kepolisian, Penyidik Pegawai Negeri Sipil – PPNS, Jaksa, dan

Hakim). Untuk menghasilkan penegakan hukum yang baik maka proses setiap

tahapan dalam penegakan hukum harus dilakukan dengan baik dan benar.

4

Penegakan hukum pidana (criminal law enforcement) merupakan upaya

untuk menegakkan norma hukum pidana beserta segala nilai yang ada di belakang

norma tersebut (total enforcement), yang dibatasi oleh “area of no enforcement”

melalui hukum acara pidana atau ketentuan khusus lainnya, untuk menjaga Oleh karena itu,

keberadaan Kejaksaan, sebagai institusi penegak hukum mempunyai kedudukan

yang sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu negara hukum karena institusi

Kejaksaan sebagai filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di

persidangan.

3

Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama, 2005), hal. 83.

4

(3)

keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan

individu (full enforcement).5

Proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana terdiri dari 4 (empat)

tahapan, yaitu :

1. Penyelidikan; Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk

mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana

guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.6 Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang

untuk melakukan penyelidikan.7

2. Penyidikan; Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak

pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.8 Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk

melakukan penyidikan.9

3. Penuntutan; Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut

5

Muladi, “Membangun “Grand Design” Kebijakan Penegakan Hukum yang Mengakomodasi Keadilan di Era Demokrasi”, Makalah disampaikan dalam FGD “Reformasi Penegakan Hukum di Indonesia” diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanandi Hotel Sari Pan Pacific, pada hari Rabu, 12 Oktober 2011, hal. 4-5.

6

Lihat : Pasal 1 angka 5, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

7

Lihat : Pasal 1 angka 4, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

8

Lihat : Pasal 1 angka 2, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

9

(4)

cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.10 Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim.11

4. Pemeriksaan di Pengadilan dan Putusan. Mengadili adalah serangkaian

tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana

berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam

hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.12 Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk

mengadili.13

Kejaksaan merupakan salah satu institusi penegak hukum yang

kedudukannya berada pada lingkungan kekuasaan eksekutif (pemerintah), sebagai

Pengacara Negara. Fungsi kejaksaan mencakup fungsi preventif dan fungsi represif

dalam bidang kepidanaan serta pengacara negara dalam keperdataan dan tata usaha

negara. Fungsi preventif berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat,

pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan peredaran barang cetakan,

pengawasan aliran kepercayaan, pencegahan dan penyalahgunaan dan/atau penodaan

agama, penelitian dan pengembangan hukum serta statistic kriminal. Dalam fungsi

represifnya, kejaksaan melakukan penuntutan dalam perkara pidana, melaksanakan

10

Lihat : Pasal 1 angka 7, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

11

Lihat : Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

12

Lihat : Pasal 1 angka 9, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

13

(5)

penetapan hakim dan putusan pengadilan, melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan lepas bersyarat, melengkapi berkas perkara tertentu yang berasal dari

penyidik Kepolisian atau Penyidik PNS (PPNS).14

Kejaksaan mengemban misi yang harus disukseskan untuk kelanjutan

pembangunan bangsa dan negara15

1. “Mengamankan dan mempertahankan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa terhadap usaha-usaha yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupanbermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

:

2. Mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum keadilan dan kebenaran bedasarkan hukum-hukum kesusilaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat;

3. Mampu terlibat sepeunhnya dalam proses pembangunan antara lain untuk menciptakan kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila dan UUD 1945;

4. Menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah negara; 5. Melindungi kepentingan rakyat melalui penegakan hukum”.

Dalam rangka supremasi hukum, fungsi kejaksaan sangat penting dalam

mewujudkan hukum inconcreto. Menurut Bagir Manan, mewujudkan hukum in

concreto bukan hanya fenomena pengadilan atau hakim, tetapi termasuk di dalam

pengertian itu adalah pejabat administrasi pemberi pelayanan hukum, dan penegak

hukum. Kejaksaan dan Kepolisian merupakan pranata publik penegak hukum, yang

dalam sistem peradilan pidana justru merupakan sumber awal dari suatu proses

peradilan.16

14

Lihat : Pasal 31 – 34, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

15

Mastra Liba, 14 Kendala Penegakan Hukum, Mahasiswa dan Pemuda Sebagai Pilar Reformasi Tegaknya Hukum dan HAM, (Jakarta: Yayasan Annisa, 2002), hal. 23.

16

(6)

Proses penegakan hukum dalam penanggulangan kejahatan atau tindak

pidana yang terjadi dalam masyarakat adalah merupakan salah satu mata rantai dari

fungsi jaksa, dimana fungsi tersebut tidak dapat terlepas dan dipisahkan dari proses

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, dan eksekusi. Pelaksanaan

penyidikan yang baik akan dapat menentukan keberhasilan penuntutan oleh jaksa

penuntut umum di depan persidangan.17 Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) peranan jaksa sangat sentral karena Kejaksaan merupakan lembaga yang menentukan

apakah seseorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang

menentukan apakah seorang tersangka akan dituntut untuk dijatuhi hukuman atau

tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan-tuntutan yang dibuat.18

Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih

berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum,

penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi dan nepositme,

dalam melaksanakan fungsi, tugas, wewenangnya. Kejaksaan sebagai lembaga

pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus

mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran

berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan dan

kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang Dengan

demikian terlihat keterkaitan antara penyidikan dengan tugas penuntutan perkara

yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum.

17

Djoko Prakoso, Eksistensi Jaksa (di Tengah-tengah Masyarakat), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 19.

18

(7)

hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, peran kejaksaan sebagai salah satu ujung

tombak dalam penegakan hukum diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai

keadilan yang hidup dalam masyarakat.19

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

sebagailandasan struktural dan piranti pengikat bagi eksistensi kejaksaan saat ini,

memberikan rumusan secara global perihal tugas dan wewenangnya.

Termaktubdalam Pasal 30 setidaknya-tidaknya ada 7 (tujuh) aspek tugas dan

wewenang. Dalambukunya “Proses Penanganan Perkara Pidana”, Leden

Marpaungmengemukakan perihal esensi kejaksaan :

“Kejaksaan itu adalah suatu alat Pemerintah yang bertindak sebagai penuntutumum dalam suatu perkara pidana terhadap si pelanggar hukum pidana. Sebagaidemikian itu ia mempertaruhkan kepentingan masyarakat. Ialah yangmempertimbangkan apakah kepentingan umum mengharuskan supaya perbuatanyang dapat dihukum itu harus dituntut atau tidak. Kepadanya pulalah semata-matadiserahkan penuntutan perbuatan yang dapat dihukum”.20

Demikian pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), pada Pasal 14 berikut Pasal 137 Jo. Pasal 84 ayat (1) KUHAP

memberikan kejelasan mengenai kewenangan penuntut umum, diantaranya yang

utama, pertama membuat surat dakwaan (letter of accusation), kedua, melakukan

penuntutan (to carry out accusation), ketiga menutup perkara demi kepentingan

19

http://www.komisihukum.go.id.article., diakses pada 25 Februari 2012.

20

(8)

hukum, keempat mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.21

Jaksa penuntut dalam melakukan tugas penegakan hukum, pada umumnya

bertindak untuk dan atas nama negara. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 8

ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia.Selain itu, sebagai alat penegak hukum, bukan hanya semata mata bertolak

pada kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya sesuai dengan ketentuan yang

berlaku, tapi juga wajib melayani kebutuhan hukum individu dan kepentingan

masyarakat/negara sebagai satu kesatuan secara serasi dan seimbang. Kejaksaan

harus berani mengambil langkah-langkah secara tegas kepada setiap pelanggar

hukum dan melindungi setiap orang dari tindakan pelanggar hukum.

Pasal 35 huruf c Undang-UndangNo. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

RepublikIndonesia, yang menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyaitugas dan

wewenang mengesampingkan perkara demikepentingan umum”.Menurut

penjelasannya,“Mengesampingkan perkara merupakan pelaksanaan asasoportunitas

yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agungsetelah memperhatikan saran dan

pendapat dari badan-badankekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan

masalahtersebut”. Hal ini berarti kewenangan mengesampingkan perkarahanya ada

pada Jaksa Agung dan bukan pada Jaksa di bawahJaksa Agung (vide Penjelasan

Pasal 77 KUHAP).

21

(9)

Penjelasan Pasal 35 huruf c Undang-undang No. 16 Tahun 2004

tentangKejaksaan Republik Indonesia, menyebutkan bahwa : “Yangdimaksud

dengan "kepentingan umum" adalah kepentinganbangsa dan negara dan/atau

kepentingan masyarakat luas”.Dalam mendasarkan pertimbangan dan

penilaiannya,Jaksa Agung akan melihatnya pula dari segi kepentinganmasyarakat

luas, terutama dari segi falsafah hidup bangsaIndonesia yaitu Pancasila. Pancasila

sebagai dasar negara yangmengutamakan sikap dasar untuk mewujudkan

keselarasan,keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan sosial antaramanusia

pribadi dengan manusia lainnya untuk mencapai ataumemperoleh kepentingannya.

Jelas bahwa kebijakan penuntutanuntuk kepentingan umum dipercayakan dan

dipertanggung-jawabkanpada Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi,dan

adanya asas oportunitas merupakan yangdibutuhkan dalam penegakan hukum demi

menjamin stabilitasdalam suatu negara hukum.

Salah satu kewenangan penting yang dimiliki oleh kejaksaan adalah

penerbitan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2). Surat yang seharusnya

merupakan surat ketetapan untuk menghentikan penuntutan yang diterbitkan ketika

penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara setelah dilakukan penelitian

ternyata tidak cukup alat bukti untuk membuktikan terdakwa telah melakukan tindak

pidana seolah tidak hanya demi kepentingan hukum dan kepentingan umum, akan

tetapi telah merembet menjadi semacam kartu sakti demi kepentingan tertentu agar

(10)

Contoh kasus dalam SKP2 ini dapat dilihat pada kasus terakhir yang

melibatkan institusi penegak hukum Kejaksaan adalah perseteruan antara oknum

Kepolisian Republik Indonesia dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).22 Perseteruan ini melibatkan oknum Kejaksaan yang dikenal dengan istilah Cicak vs.

Buaya dimana perseteruan tersebut dianggap seolah-olah upaya dari instansi

Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk mengkriminalisasi Pimpinan KPK, yakni

Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto, dimana kasus ini bermula dari

penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian terhadap Antasari Azhar (Mantan Ketua

KPK) dalam dugaan kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen. Dalam proses

penyidikan kasus tersebut Antasari Azhar mengeluarkan testimoni pada tanggal 16

Mei 2009 yang isinya tentang dugaan adanya penerimaan uang sebesar Rp.

6.700.000.000,- (enam miliar tujuh ratus juta rupiah) oleh sejumlah Pimpinan KPK

(Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto).23

Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri yang waktu itu dijabat

oleh Susno Duaji, merasa telepon genggamnya disadap oleh KPK terkait dengan

kasus penggelapan dana Bank Century yang ditangani Mabes Polri. Saat itulah

meluncur istilah Cicak vs. Buaya, dalam jumpa persnya yang bersangkutan

mengatakan : “Masak cicak kok berani lawan buaya”. Selanjutnya Bibit Samad

Rianto memastikan KPK hanya menyadap pihak yang terindikasi korupsi dan pada Hal inilah yang menjadi dasar

Kepolisian untuk melakukan penyidikan terhadap Pimpinan KPK.

22

Harian Kompas, “Muhammad Abduh: Penghentian Penyidikan Tindak Pidana dan Penyelesaian di Luar Pengadilan Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Wewenang”, diterbitkan Selasa, 15 Mei 2012.

23

(11)

saat itu, Susno Duaji masuk ke telepon yang sedang disadap.24 KPK juga menemukan surat pencabutan pencekalan palsu terhadap Anggoro Widjojo, selain itu

3 (tiga) Pimpinan KPK dengan tegas menolak testimoni Antasari Azhar.25

Walaupun demikian, Polisi juga memperoleh fakta adanya tindak pidana

penyalahgunaan wewenang oleh Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto

terkait pencekalan dan pencabutan cekal yang tidak dilakukan secara kolektif.26

24

Harian Koran Demokrasi Indonesia, “Susno Duaji: Sang Jenderal Kontroversial Ditangkap di Bandara”, diterbitkan Selasa, 13 April 2010.

Chandra M. Hamzah mencekal AnggoroWidjojo, Bibit Samad Rianto mencekal Joko

Tjandra. Lalu, Chandra M. Hamzah mencabut pencekalannya terhadap Joko Tjandra

sehingga ada kejanggalan di dalamnya. Oleh karena itu, Polisi mulai memeriksa

keempat Pimpinan KPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam

pencekalan Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra. Sampai pada akhirnya tanggal 15

September 2009, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah ditingkatkan

statusnya dari saksi menjadi tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang akan

tetapi kuasa hukum KPK tidak menerima salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP)

Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah dan dicurigai adanya indikasi rekayasa

dalam kasus tersebut. Hal ini langsung dibantah Inspektorat Pengawasan Umum

25

Mahendra Sucipto, Transkrip Rahasia Hasil Sadapan KPK (Membongkar Modus Operandi Para Makelar Kasus), (Yogyakarta: Narasi, 2009), hal. 16. Lihat juga : Harian Kompas, “Kronologi Lengkap: Dari Anggoro, Bibit-Chandra Lalu ke Susno”, diterbitkan Kamis, 05 November 2009.

26

(12)

(Itwasum) Mabes Polri, yang mengatakan bahwa : “Tidak ada penyalahgunaan

wewenang terkait penanganan kasus Bibit Samad Rianto – Chandra M. Hamzah”.27 Setelah itu, Presiden merespon perubahan status tersangka tersebut dengan

mengeluarkan Keputusan Presiden pemberhentian sementara Chandra M. Hamzah

dan Bibit Samad Rianto. Presiden juga menandatangani Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang

KPK yang memungkinkan Penunjukan Langsung Pelaksana Tugas Sementara (Plt.)

Pimpinan KPK yang direspon oleh Pengacara Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad

Rianto dengan mendaftarkan permohonan uji materil Pasal 32 ayat (1),

Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa :

“Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena

menjadi Terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan”.28

Selanjutnya, berkas Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto

dilimpahkan ke Kejaksaan, namun, dikembalikan oleh Kejaksaan kepada Mabes

Polri sebanyak 2 (dua) kali karena alasan belum lengkap. Pada akhirnya transkrip

rekaman rekayasa kriminalisasi KPK beredar di media massa. Isi dari rekaman

tersebut di antaranya percakapan antara Anggodo Widjojo (adik Anggoro Widjojo)

dengan mantan Jamintel Wisnu Subroto dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim

Ritonga. Percapakan pada Juli – Agustus 2009 itu merupakan praktek mafia

27

Harian Kompas, “Muhammad Abduh: Penghentian Penyidikan Tindak Pidana dan Penyelesaian di Luar Pengadilan Dugaan Pemerasan dan Penyalahgunaan Wewenang”, Op.cit.

28

(13)

peradilan yang merancang kriminalisasi KPK. Nama petinggi Kepolisian dan

Presiden juga disebut sehingga pada tanggal 29 Oktober 2009, Bibit Samad Rianto

dan Chandra M. Hamzah ditahan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok

karena Polisi menilai kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya

pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataan-pernyataan di

media serta forum diskusi.29

Pada tanggal 03 November 2009, Mahkamah Konstitusi memperdengarkan

rekaman yang berdurasi 4,5 jam dalam persidangan uji materil terhadap Judicial

Review Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dengan pemutaran alat bukti rekaman yang berisi percakapan antara

Anggodo Widjojo dengan sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.

Setelah selesai persidangan, sejumlah pihak meminta Kapolri dan Jaksa Agung

mengundurkan diri sebagai bentuk dari pertanggung-jawaban, dan menuntut agar

Susno Duaji segera dicopot dari jabatannya, desakan tersebut datang dari sejumlah

aktivis di antaranya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang melakukan

demonstrasi terhadap Kepolisian agar Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto

dibebaskan sehingga karena banyaknya desakan agar Chandra M. Hamzah dan Bibit

Samad Rianto maka pada waktu itu juga penahanan ditangguhkan. Keduanya

dikeluarkan dari tahanan pada dini hari waktu itu juga. Melihat hal seperti ini,

Presiden meminta agar kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto

diselesaikan di luar pengadilan (out of court settlement) walaupun pada saat itu,

29

(14)

Kejaksaan telah menyatakan bahwa Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad

Rianto telah P-21 (sudah lengkap dan siap untuk disidangkan), karena permintaan

Presiden tersebut maka Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian

Penuntutan (SKPP).30

Penghentian penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan bukanlah hal yang

pertama kali dilakukan karena sebelum adanya kasus ini, pernah dilakukan

Penghentian Penuntutan dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuidasi Bank

Indonesia (BLBI) yang waktu itu diketuai oleh Jaksa Urip. Walaupun kemudian

ditemukan bukti-bukti oleh KPK bahwa yang bersangkutan menghentikan perkara

karena menerima suap sehingga dikeluarkannya Surat Penghentian Penyidikan

Perkara (SP3). Walaupun sebenarnya penghentian penyidikan ini bermasalah karena

tidak sesuai dengan KUHAP.31

Penghentian penyidikan itu sendiri di dalam KUHAP dan berbagai peraturan

perundang-undangan diatur sebagai berikut :

1. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) diatur dalam Pasal 109 ayat (2)

KUHAP. SP3 dikeluarkan jika tidak terdapat cukup bukti, peristiwa itu bukan

merupakan tindak pidana, atau dihentikan demi hukum. Merujuk KUHP dan

doktrin yang dimaksudkan, jika perkara itu terkait seseorang yang tidak dapat

dituntut lebih dari satu kali di depan pengadilan dengan perkara yang sama,

kadaluwarsa, atau terdakwa meninggal dunia. Dalam kasus Chandra M.

30

Majalah Konstitusi, “Editorial: Jangan Melawan Kekuatan Rakyat”, Edisi 34 – November 2009, hal. 5.

31

(15)

Hamzah dan Bibit Samad Rianto, instrumen ini tidak mungkin lagi ditempuh

karena proses perkara telah sampai ke Kejaksaan yang berarti sudah masuk

ke proses penuntutan;

2. Penghentian Perkara dengan instrumen Surat Ketetapan Penghentian

Penuntutan (SKP2) berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP. Alasan

penghentian penuntutan sama persis dengan alasan penghentian penyidikan

seperti uraian Poin 1 di atas;

3. Penghentian Perkara oleh Jaksa Agung melalui mekanisme Pasal 35 huruf c.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

yang menyatakan bahwa : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang

mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Hal ini merupakan

asas oportunitas Jaksa Agung untuk tidak melakukan penuntutan suatu

perkara pidana demi kepentingan umum. Asas ini adalah pengecualian dari

asas legalitas dalam hukum acara pidana yang berarti setiap tindak pidana

harus dituntut.

4. Penghentian Perkara dengan instrumen abolisi sebagaimana yang terdapat di

dalam Pasal 1 Undang-Undang Drt. No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan

Abolisi, menyatakan bahwa : “Presiden atas kepentingan negara, dapat

memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan

suatu tindak pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah

mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat

(16)

11 Tahun 1954, menyatakan bahwa : “Dengan pemberian abolisi, maka

penuntutan terhadap orang-orang yang termasuk dalam Pasal 1 dan 2

ditiadakan”.

Penghentian penyidikan di dalam perkara Chandra M. Hamzah dan Bibit

Samad Rianto, dilakukan oleh Kejaksaan dengan mengeluarkan Surat Ketetapan

Penghentian Penuntutan (SKP2) atas permintaan Presiden yang meminta

penyelesaian kasus ini dilakukan di luar pengadilan (out of court settlement). Padahal

apabila dilihat dari kasusnya itu sendiri, maka sebenarnya kasus Chandra M. Hamzah

dan Bibit Samad Rianto merupakan kasus biasa. Namun, penanganannya sangatlah

luar biasa karena melibatkan semua elemen yang ada baik itu organisasi mahasiswa,

organisasi masyarakat, LSM, media massa baik cetak maupun elektronik yang

membentuk opini masyarakat. Bahkan dengan menggunakan institusi Negara,

sehingga Presiden (lembaga Eksekutif) mengeluarkan fatwa seperti telah dijelaskan

sebelumnya. Selain itu, Presiden juga sampai membentuk Tim Pencari Fakta (Tim

Delapan) dengan melibatkan 2 (dua) akademisi non-hukum (Anis Baswedan dan

Komarudin), yang lainnya adalah (Letjend. Koesparmono Irsan), satu politikus dari

advokat (Amir Syamsudin) dan satu akademisi hukum yang menjadi penasihat

hukum Presiden (Denny Indrayana), satu orang Wantimpres (Adnan Buyung

Nasution), serta advokat senior (Todung Mulya Lubis).32

Harus diakui bahwa selama ini seakan-akan institusi penegak hukum, baik itu

Kepolisian, Kejaksaan, dan Lembaga Peradilan maupun Advokat, semuanya

32

(17)

mengungkap kejahatan dalam jeratan formalisme dogmatika hukum. Padahal saat ini

kejahatan tidak hanya terjadi di tempat-tempat lazimnya terjadi kejahatan, begitupun

dengan kejahatan tindak pidana korupsi.Bahkan sekarang ini, korupsi seakan-akan

menjadi trendsetter yang biasa dilakukan terlebih bagi mereka yang memiliki

kekuasaan baik swasta maupun pegawai negeri. Dari ruang lingkup yang terkecil

hingga ruang lingkup yang terbesar, korupsi tampil dengan model dan gaya yang

beranekaragam. Tindak pidana korupsi selalu berusaha menemukan tempat melalui

pencitraan yang disengaja oleh kekuatan tertentu sehingga korupsi yang dilakukan

tidak terlihat bahkan bila perlu dianggap sebagai bukan kejahatan atau disebut

simulasi kejahatan.33

Kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto tersebut tentunya

merupakan preseden yang buruk dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Hal

ini dikarenakan selain tidak adanya kepastian hukum kasus tersebut juga

menunjukkan kepada dunia bagaimana tidak profesionalismenya aparat penegak

hukum di Indonesia untuk menjalankan tugas dan wewenangnya. Perkara pidana

didekati dengan political interest (kepentingan publik). Ranah hukum masih bisa

diintervensi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat

(ORMAS), Media Massa yang justru bertentangan dengan prinsip-prinsip penegakan

hukum yang harus mandiri dan independen, tapi justru dalam kasus ini proses hukum

33

(18)

dapat berubah hanya karena permintaan Presiden (lembaga eksekutif) dan atau

desakan pihak tertentu.34

Pada tingkat seperti ini, benturan kepentingan antara profesionalisme dan

ketaatan pada sistem dan atau atasan tidak dapat dihindarkan karena keduanya

seakan-akan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Secara teoritis

komitmen memang berbeda dengan loyalitas, dimana loyalitas cenderung mengarah

ke loyalitas mutlak dan berujung pada kecenderungan penguasa pimpinan untuk

menyalahgunakan loyalitas tersebut (abuse of power).35 Oleh karena itu, pelaksanaan disiplin itu harus didasarkan pada persetujuan, kesadaran sebagai bagian dari

integritas atau dedikasi dari rasa takut, dan didasarkan kepada komitmen dari

loyalitas.36 Dewasa ini tidak ada batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan pekerja sehingga seringkali jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan

pekerja sehingga seringkali menimbulkan penyimpangan dengan melakukan

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).37

34

Tidak dapat dipungkiri bahwa kekuasaan para penegak hukum untuk menjalankan kepercayaan masyarakat, pasti akan sering berbenturan dengan kepentingan pribadi para penegak hukum. Justru dalam kondisi seperti itulah keluhuran penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenang mendapatkan tantangannya. Melacurkan profesi demi memenuhi desakan kebutuhan atau karena alasan keserakahan belaka, sama-sama merupakan kejahatan dan pelanggaran atas janji setia untuk melayani masyarakat. Para penegak hukum dalam menjalankan profesi luhurnya harus memiliki keberanian moral untuk senantiasa setia terhadap hati nuraninya dan menyatakan kesediaan untuk menanggung risiko konflik pribadi. Lihat : Febiana Rima dalam Ade Saptomo, et.al., Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta : Komisi Yudisial RI, 2012), hal. 104.

35

Agus Wijayanto, “Strategi Penegakan Hukum Disiplin Anggota Polri Guna Mewujudkan Good Governance dan Clean Government di Internal Polri Dalam Rangka Memantapkan Citra Polri”, (Semarang : Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2010), hal. 45.

36

Lihat : Pasal 1 angka 2, Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara.

37

(19)

Kesan yang muncul kemudian terhadap kasus Chandra M. Hamzah dan Bibit

Samad Rianto adalah bentuk penyelesaiannya berdasarkan pendekatan politis bukan

berdasarkan pendekatan hukum, karena secara kasat mata dapat dilihat bagaimana

proses penegakan hukum dalam kasus tersebut telah diintervensi oleh kepentingan

tertentu.38

KUHAP mengatur tentang aturan main (rule of the game). Penegakan hukum

dan terhadap KUHAP sangat sedikit celah yang diberikan untuk melakukan

penafsiran hukum (hanya diperbolehkan penafsiran gramatikal dan penafsiran

sejarah) hal ini bertujuan agar tidak terjadi anarkisme hukum dan menjamin

terciptanya kepastian hukum karena hanya dengan cara inilah sebenarnya hukum

akan menjadi panglima dalam menciptakan keamanan dan ketertiban serta

kesejahteraan masyarakat, bukan sebagai alat penguasa untuk mencapai suatu hal Padahal terhadap posisi tersangka, ada asas nullum crimen sine poena

legali yang artinya tiada kejahatan dapat dihukum sebelum diatur dalam

undang-undang. Selain asas ini, seorang tersangka perkara pidana juga dapat memakai asas

fair trial yaitu minta diberlakukan pemeriksaan (Peradilan) yang berimbang. Sebagai

seorang tersangka, Chandra M. Hamzah dan Bibit Samad Rianto bersama para Kuasa

Hukumnya dapat menuntut adanya asas kesamaan orang di depan hukum atau

equality before the law.

38

(20)

tertentu dan atau tujuan tertentu, sehingga tidak diperbolehkan memberikan hukuman

atau punishment terhadap seseorang tanpa melalui suatu persidangan.39

Dari uraian diatas, berupa akumulasi keprihatinan menyaksikan

carut-marutnya penegakan hukum di Indonesia, penulis mencoba untuk menganalisis

tentang kewenangan kejaksaan dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian

Penuntutan (SP3) ini dalam sebuah penelitian yang berjudul: “Analisis Yuridis

Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh Kejaksaan Dikaitkan

Dengan Asas Oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, selanjutnya dapat dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kewenangan jaksa dalam penghentian penuntutan perkara

pidana jika dikaitkan dengan asas oportunitas danUndang-Undang No. 16

Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia?

2. Bagaimanakah pengaturan asas oportunitas pada KUHAP dan

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia?

3. Bagaimanakah hambatan-hambatan yang dialami oleh jaksa dalam penerbitan

Surat Perintah Penghentian Penuntutan?

39

(21)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui kepastian hukum

terkait penerbitan SP3 oleh Jaksa. Bertolak dari rumusan masalah maka tujuan dari

penelitian ini, antara lain :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan jaksa dalam penghentian

penuntutan perkara pidana jika dikaitkan dengan asas oportunitas dan

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan asas oportunitas pada

KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia;

3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan-hambatan yang dialami oleh

jaksa dalam penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan

praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

Kegunaan Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi dan

mendiskripsikan permasalahan yang timbul serta memberikan sumbangan pemikiran

tentang formulasi hukum terkait dengan penghentian penuntutan, pelaksanaan

kebijakan penghentian penuntutan perkara pidana, serta mengembangkan khasanah

(22)

2. Secara Praktis

Berkaitan dengan judul di atas, maka penelitian ini diharapkan mempunyai

manfaat sebagai berikut:

a. Bagi pembaca, diharap dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan

mengenai kewenangan kejaksaan yang salah satunya adalah menerbitkan

Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SP3).

b. Bagi lembaga pendidikan, dapat menjadi tambahan perbendaharaan

kepustakaan.

c. Bagi peneliti berikutnya, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan

dan masukan dalam melakukan penelitian berikutnya.

d. Bagi lembaga penegak hukum, penelitian ini diharapkan dapat menjadi

pedoman dalam pelaksanaan kewenangan kejaksaan terkait dengan

penghentian penuntutan perkara pidana.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian

mengenai “Analisis Yuridis Penerbitan Surat Perintah Penghentian Penuntutan Oleh

Kejaksaan Dikaitkan Dengan Asas Oportunitasdan Undang-Undang No. 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia” belum pernah dibahas oleh mahasiswa

lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun perguruan tinggi lainnya dan

penelitian ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari

(23)

kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan

kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada penelitian yang sama, maka

penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

Namun untuk kajian mengenai Surat Perintah Penghentian Penuntutan dan

Asas Oportunitas pernah dilakukan, yaitu :

1. “Pelaksanaan Kegiatan Lembaga Penuntutan Dalam Penanganan Perkara

Tindak Pidana Psikotropika di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara”, tesis

ditulis oleh Sedia Ginting, pada 28 April 2008; dan

2. “Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, tesis

ditulis oleh Hendar Rasyid Nasution, pada 08 Desember 2010.

Oleh karena itu, penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan apabila

dikemudian hari ternyata terdapat bukti bahwasanya penelitian ini merupakan plagiat

atau duplikasi dengan penelitian yang sudah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi.40

40

J.J.M. Wuisman, M. Hisyam (Editor), Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hal. 203.

Sedangkan kerangka teori merupakan landasan

dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari

(24)

atau butir-butir pendapat teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak

disetujui.41

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan

arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.42

Suatu Negara akan mencapai keberhasilan pembangunan nasionalnya secara

menyeluruh jika konsep penegakan hukum (law enforcement) dapat ditegakkan

secara tepat dan benar. Menurut Bagir Manan, penegakan atau menegakkan hukum

bukan hanya sebagai fungsi dan proses peradilan, apalagi sekedar fungsi dan proses

di pengadilan. Secara keseluruhan, semestinya wajah penegakan hukum tidak hanya

diukur dari wajah pengadilan, tetapi pada seluruh fungsi dan lembaga penegakan

hukum. Selain pengadilan yang dianggap paling penting dan menentukan, sangatlah

perlu untuk juga mengamati lembaga-lembaga penegak hukum di dalam dan luar

proses peradilan di samping pengadilan. Pada proses di luar peradilan seperti

keimigrasian, bea cukai, perpajakan, lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain.

Hal ini dikarenakan

penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara

ilmu hukum dan mengarahkepada unsur hukum.

43

Menurut Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (criminal justice

system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

41

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung: Mandar Madju, 1994), hal. 80.

42

Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hal 35.

43

(25)

kejahatan. Menanggulangi disini berarti untuk mengendalikan kejahatan agar berada

dalam batas-batas toleransi masyarakat. 44

Sistem Peradilan Pidana (SPP) pada hakikatnya identik dengan sistem

penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan

sistem kekuasaaan/kewenangan menegakkan hukum.45 Sistem peradilan pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang teridiri dari lembaga-lembaga

Kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Dalam penelitian ini yang

menjadi perhatian adalah sub-sistem Kejaksaan yang salah satunya mempunyai

kewenangan mencegah dan menangkal orang-orang tertentu untuk masukkedalam

atau meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Repubilk Indonesia karena

keterlibatannya dalam perkara pidana.46

Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai penegak hukum,

Kejaksaan tidak akan terlepas dari masalah yang mungkin terjadi. Soerjono Soekanto

mengatakan :

“Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi, yaitu47

1. Faktor hukum sendiri

:

2. Faktor penegak hukum

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkanfaktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup”.

44

Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan) dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, 1997), hal. 84.

45

Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dalam Kaitannya Dengan Pembaruan Kejaksaan, (Jakarta: Media Hukum, 2002), hal. 27.

46

Lihat : Pasal 35 huruf f. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

47

(26)

Mengingat pencegahan dan penangkalan bersangkut paut dengan hak

seseorang untuk bepergian, maka keputusan pencegahan dan penangkalan harus

mencerminkan dan mengingat prinsip-prinsip Negara yang berdasarkan atas hukum

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945.48

Menurut Mardjono Reksodiputro,pada dasarnya setiap manusia memiliki

hak-hak yang telah melekat pada dirinya sejak lahir, yang tidak dapat dicabut dan

tidak boleh dilanggar. Tanpa hak-hak tersebut, seorang manusia tidak mempunyai

martabat sebagai manusia. Hak-hak tersebut adalah Hak Asasi Manusia (HAM).49 Larangan adanya diskriminasi dalam pemberian jaminan atau perlindungan

HAM ini dibatasi untuk keadaan-keadaan tertentu seperti yang diuraikan di dalam

Pasal 29 ayat (2) Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia50

“Didalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasan setiap orang harus tunduk hanya kepada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penanaman nilai yang layak bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain dan untuk memnuhi syarat-syarat benar dari kesusilaan, tata tertib umum dalam suatu masyarakat demokrasi”.

:

Negara berperan memberikan jaminan dan perlindungan HAM secara pasti

terhadap warga negaranya. Salah satu bentuk hak asasi manusia yang harus

48

Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.

49

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), (Jakarta: UI Press, 1999), hal. 7.

50

(27)

dilindungi adalah hak kemerdekaan seorang warga negara. Penghargaan terhadap

hak kemerdekaan seorang warga negara adalah penting, seperi pada saat seorang

warga Negara menjadi tersangka atau terdakwa. Adanya pembatasan kemerdekaan

membuat seseorang warga Negara mengalami penurunan status baik secara hukum

maupun moral. Oleh karena itu untuk memberikan jaminan dan perlindungan hak

asasi manusia, hak-hak seseorang warga negara yang menjadi tersangka atau

terdakwa harus diatur dalam suatu konstitusi.51

Berdasarkan uraian-uraian penjabaran diatas,maka adapun teori yang penulis

gunakan didalam penelitian ini adalah Teori Penegakan Hukum dan Teori

Keadilan.Menurut Lawrence M. Friedman, dalam sebuah sistem hukum terdapat tiga

komponen yang saling mempengaruhi, yaitu struktur (structure), substansi

(substance) dan budaya hukum (culture).

“(Legal culture) the structure of legal system consists of elements of this kinds: the number and size of courts, their jurisdiction (that is what kind of cases they and how and why), and modes of appeal from one court to another .... another aspect of the legal system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavior patterns of people inside the system ... legal culture is meant people’s attitude toward law and the legal system-their beliefs, values, it is that part of the general culture which concerns the legal system”.

Struktur hukum terdiri dari unsur-unsur jumlah dan ukuran pengadilan, yuridiksinya (yaitu jenis perkara dan mereka periksa dan bagaimana serta mengapa), serta cara banding dari suatu pengadilan ke pengadilan lain. Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem tersebut, atau substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum tersebut, keputusan yang mereka keluarkan dan aturan baru yang mereka susun.

51

(28)

Sedangkan budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum tersebut, kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya. Atau dengan kata lain, budaya social adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum dipergunakan, dihindari atau disalahgunakan.52

Dari ketiga unsur di atas, menurut Friedman, unsur yang terpenting adalah

unsur budaya hukum yang menjadi penggerak bagi bekerjanya sistem hukum

tersebut. Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP)Indonesia terdapat sistem –

sub-sistem yang dipengaruhi oleh budaya hukum yang ada dalam sub-sistem tersebut.

Sub-sistem yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga

Pemasyarakatan secara keseluruhan bekerjasama membentuk Suatu Sistem Peradilan

Pidana Terpadu atau integrated criminal justice administration.53

Teori Keadilan menurut John Stuart Mill dalam bukunya Utilitarianism,

mengatakan bahwa : “Keadilan bukan hanya berisi apa yang benar untuk dilakukan

atau tidak benar untuk dilakukan, namun juga sesuatu yang memperbolehkan orang

lain mengklaim dari kita sesuatu sebagai hak moralnya”.

sistem ini berusaha

mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) yang menjadi tujuan

Sistem Peradilan Pidana.

54

52

Lawrence M. Friedman, American Law and Introduction, Edisi Kedua, (New York: W.W Norton & Company, 1998), diterjemahkan oleh Wisnu Basuki, Hukum Amerika, Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 7-9.

Apa yang membedakan

keadilan adalah konsep mengenai hak atau klaim itu sendiri.Darimana datangnya

perasaan khusus yang melekat pada keadilan atau yang dimunculkan oleh

kasus-kasus ketidakadilan. Menurut Mill, “sentimen keadilan” adalah “hasrat hewani untuk

53

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Op.cit., hal. 85.

54

(29)

menolak atau membalas sebuah rasa sakit atau kerusakan” yang menimpa dirinya

atau orang lain.55

Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan

hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk

direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukan bahwa

kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius.56

Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan Pidana tersebut dapat dibedakan

menjadi 3(tiga), yaitu :

1. “Tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana;

2. Tujuan jangka menengah berupa pengendalian kejahatan; dan

3. Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial”.57

Jadi dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu, peranan kejaksaan dalam

Sistem Peradilan Pidana khususnya dalam penghentian penuntutan, tidak dapat

dipisahkan dengan sub-sistem lainnya.

Pelaksanaan kekuasaan negara pada bidang penuntutan diselenggarakan oleh

Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri, dan Cabang Kejaksaan

Negeri. Dengan demikian, kedudukan kejaksaan dalam peradilan pidana bersifat

menentukan karena merupakan jembatan yang menghubungkan tahap penyidikan

dengan tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Berdasarkan peraturan yang berlaku

55Ibid. 56

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 24.

57

(30)

di Indonesia, setiap orang baru bisa diadili jika ada tuntutan pidana dari Penuntut

Umum.

Dalam melakukan penuntutan, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara,

sehingga jaksa harus bisa menampung seluruh kepentingan masyarakat, negara, dan

korban kejahatan agar bisa dicapai rasa keadilan masyarakat. Hampir di setiap

yurisdiksi, jaksa itu merupakan tokoh utama dalam penyelenggaraan peradilan

pidana karena jaksa memainkan peranan penting dalam proses pembuatan keputusan

pengadilan. Bahkan, di negara-negara yang memberi wewenang kepada jaksa untuk

melakukan penyidikan sendiri, jaksa tetap memiliki kebijakan (diskresi) penuntutan

yang luas. Jaksa memiliki kekuasaan yang luas, apakah suatu perkara akan dilakukan

penuntutan ke pengadilan atau tidak. Kedudukan jaksa yang demikian penting itu,

oleh Harmuth Horstkotte, seorang Hakim Tinggi Federasi Jerman, memberikan

julukan kepada jaksa sebagai bosnya proses perkara (master of the procedure),

sepanjang perkaranya itu tidak diajukan ke muka pengadilan.58

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa jaksa dengan berbagai sistem

penuntutan tidak tertutup kemungkinan untuk mengambil kebijakan (diskresi) dalam

menyelesaikan perkara. Kedudukan jaksa di berbagai yurisdiksi sebenarnya jaksa itu

“setengah hakim” (semi-judge) atau seorang “hakim semu” (quasijudicial officer).

Itulah sebabnya jaksa boleh mencabut dakwaan atau menghentikan proses perkara,

bahkan diskresi putusan berupa tindakan penghentian penuntutan, penyampingan

perkara, dan transaksi.Fungsi yuridis semu jaksa itu berasal dari peran dan fungsi

58

(31)

jaksa yang bersifat ganda karena sebagai jaksa: “Mempunyai kekuasaan dan

wewenang yang berfungsi sebagai administrator dalam penegakan hukum yang

merupakan fungsi eksekutif, sementara itu ia harus membuat putusan-putusan agak

bersifat yustisial yang menentukan hasil suatu perkara pidana, bahkan hasilnya

final”.59

Menurut Stanley Z. Fisher, sebagai penegak hukum, jaksa bertugas menuntut

yang bersalah; menghindarkan keterlambatan dan tunggakan-tunggakan perkara

yang tidak perlu terjadi; karena jaksa mempunyai kedudukan sebagai pengacara

masyarakat yang penuh antusias. Berdasarkan kedudukan jaksa sebagai pengacara

masyarakat tersebut, ia akan senantiasa mengusahakan jumlah penghukuman oleh

hakim yang sebanyak-banyaknya sementara sebagai ”setengah hakim” atau sebagai

”hakim semu”, jaksa juga harus melindungi yang tidak bersalah dan

mempertimbangkan hak-hak tersangka. Untuk melakukan tugas-tugas tersebut, jaksa

diberi wewenang menghentikan proses perkara sehingga jaksa harus berperilaku

sebagai seorang pejabat yang berorientasi pada hukum acara pidana dan memiliki

moral pribadi yang tinggi sekali.60

2. Kerangka Konsep

Selanjutnya, untuk menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang

dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari

istilah-istilah sebagai berikut:

59

Ibid., hal. 11.

60Ibid

(32)

a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta

wewenang lain berdasarkan undang-undang;61

b. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang

untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim;62

c. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau Pejabat

Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan;63

d. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara

ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang

diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan;64

e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta

61

Lihat : Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

62

Lihat : Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

63

Lihat : Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

64

(33)

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang

tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya;65

f. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang

diatur dalam undang-undang;66

g. Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) adalah surat perintah

yang dikeluarkan oleh Kejaksaan apabila hasil penyidikan yang

dilimpahkan ke Penuntut Umum, ternyata dapat dibuktikan perbuatan

tersangka dalam peristiwa hukumnya bukan merupakan tindak pidana;67

h. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah merupakan surat

pemberitahuan dari Penyidik kepada Penuntut Umum bahwa perkara

dihentikan penyidikannya. Penghentian penyidikan merupakan salah satu

dari kewenangan Penyidik;68

65

Lihat : Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

66

Lihat : Pasal 1 angka 5, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

67

Osman Simanjuntak, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1995), hal. 86. Lihat juga : M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Bagian Penyidikan dan Penuntutan), (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 426.

68

(34)

i. Asas oportunitas adalah suatu asas yang menyatakan agar tidak menuntut

terhadap satu tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan

kepentingan umum.69

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Sesuai dengan tujuannya, penelitian ini bersifat deskriptif-analitis,yaitu untuk

menggambarkan, menganalisa, menelaah, dan menjelaskan secaraanalisis berkaitan

dengan permasalahan yang dikemukakan.70

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatanyuridis

normatif yang mengutamakan tinjauan dari segi peraturan hukumyang berlaku serta

data-data maupun dokumen-dokumen yang mempunyaikaitan dengan permasalahan

dalam penelitian ini.

Penelitian ini menggambarkan sejauh

mana peraturan perundang-undanganmengatur penghentian penuntutan, berguna

sebagai rambubagi para jaksa dalam menjalankan jabatannya.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan

menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam

melakukan pengkajian penerbitan SP3 oleh Kejaksaan dikaitkan dengan asas

oportunitas dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

69

M.Marwan dan Jimmy P, Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 65

70

(35)

Indonesia. Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan

menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada

bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri

pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini

menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi

(sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan

batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasanya.71

3. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data

sekunder72yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.73

a. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah pengaturan tentang

penghentian penuntutan beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, antara

lain :

Adapun sumber bahan hukum tersebut, yaitu :

1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana;

2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia;

71

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, Cet. III, 2007).

72

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 13-14.

73

(36)

3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia;

4) Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

5) Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Perkara

No. 76/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang No. 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana Terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

6) Keputusan Jaksa Agung No. KEP-518/A/J.A/11/2001 tentang

Perubahan Keputusan Jaksa Agung No. KEP-132/JA/11/1994 tentang

Administrasi Perkara Tindak Pidana;

b. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil

karya dari ahli hukum di bidang penuntutan.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.Contohnya : kamus

hukum.

Selain sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, dalam

penelitian ini juga digunakan bahan-bahan non-hukum yang mempunyai relevansi

dengan topik penelitian. Misalnya : berupa buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal

(37)

pidana. Penggunaan bahan-bahan non-hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya

dan memperluas wawasan.74

4. Alat Pengumpulan Data

Alat yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini hanya

melakukan, studi dokumen, yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang

berkaitan dengan objek penelitian. Studi pustaka ini tersedia, baik diperpustakaan,

perkumpulan, organisasi, instansi, dan juga yang ada di masyarakat namun sifatnya

tertulis.

5. Analisis Data

Penelitian ini dimulai dengan dilakukannya pemeriksaan terhadap data yang

terkumpul. Data primer (undang-undang) dan sekunder (buku-buku dan tulisan), juga

yang berasal dari narasumber, diperoleh akan dianalisis dengan metode kualitatif

sehingga dapat ditarik kesimpulan dengan cara deduktif induktif dan diharapkan

dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari

berbagai sumber, setelah dibaca, dipelajari, ditelaah, maka langkah berikutnya adalah

mengadakan reduksi data yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi.75

74

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta: Kencana, 2005), hal. 143, 163dan 164.

Langkah

selanjutnya adalah menyusun rangkuman dalam abstraksi tersebut dalam

satuan-satuan, yang mana satuan-satuan ini kemudian dikategorisasikan. Data yang telah

75

(38)

dikategorisasikan, kemudian ditafsirkan dengan cara mengolah hasil sementara

menjadi teori, substantif. Tahap terakhir, penarikan kesimpulan dilakukan dengan

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilihat dari penyusunan RPJMD di Provinsi Riau dimana terdapat tahapan-tahapan dalam hal ini penyusunan dilaksanakan oleh badan atau instansi yang

Penelitian ini bertujuan untuk membuat suatu sistem yang dapat mengendalikan sistem kendali perangkat listrik dan monitoring daya pada MCB berbasis TCP/IP dan

a) Peningkatan melalui pendidikan dan pelatihan ( off the job training). Guru dilatih secara individual maupun dalam kelompok untuk meningkatkan pengetahuan dan

Hasil penelitian ini dimana peran orang tua (ibu) yang mayoritas ibu dari anak dengan perkembangan sosial baik sudah mampu memberikan perhatian dan kasih sayang

Menghitung poin total dari subindikator masing-masing desa dan kelurahan kemudian rujuk pada nilai ideal yang ditentukan pada kolom 3 kategori di bawah.

The Influence of Servicescape, Quality of Service and Facility on the Customer Satisfaction at Grand Puncak Lestari Hotel Pangkalpinang..

Abstrak; Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil lulusan alumni program studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara pemberian heparin