• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUASAAN TANAH

B. Pengaturan Pemilikan dan Penguasaan

Peranan tanah dalam kehidupan manusia sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, di mana menurut Sukarna bahwa fungsi dan peranan tanah dalam berbagai sektor kehidupan memiliki 3 (tiga) aspek yang sangat strategis yaitu aspek ekonomi, politik dan hukum.102

Ketiga aspek ini harus terintegrasi dalam pengambilan kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah mengamanatkan bahwa : “Bumi, Air dan

101

Menteri Agraria, pada pidato yang mengantarkan Rencana Undang-Undang Pokok Agraria di hadapan sidang Pleno-DPR-GR tanggal 12 September, 1960 lihat bandingkan dengan A.P. Parlindungan, Land Consolidation di Indonesia, Makalah pada diskusi dalam rangka Peringatan Hari Lahirnya UUPA XXVI di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tanggal 23 September 1986, halaman 10 menyatakan Konsolidasi merupakan salah satu objektif Land refrom.

102

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.103

Oleh sebab itu bumi dalam arti tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Kuasa perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola serta dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsungan hidup yang berkualitas.104

Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional. Dalam rangka membangun masyarakat yang adil makmur berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menetapkan dalam Pasal 7, bahwa agar supaya tidak merugikan kepentingan umum maka pemilihan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.105

Dalam kenyataannya pada masa itu yaitu tahun 1960 terdapat petani yang memiliki dan mengusahakan tanah dengan luas yang sangat jauh melebihi rata-rata pemilikan dan penguasaan tanah para petani pada umumnya. Para petani yang mempunyai tanah sawah dan atau tanah kering, sebagian terbesar masing-masing kurang dari 1 hektar atau rata-rata 0,6 hektar sawah atau 0,5 hektar tanah kering.

103

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. 104

Lihat Penjelasan Umum butir 1 Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

105

Disamping petani-petani yang tidak bertanah dan yang tidak cukup tanah itu, dijumpai petani-petani yang menguasai tanah pertanian yang luasnya berpuluh-puluh, beratus-ratus bahkan beribu-ribu hektar. Tanah itu tidak semua dipunyai mereka dengan hak milik, tetapi kebanyakan dengan gadai atau hak sewa.

Ketimpangan luas yang dimiliki dan diusahakan, sebagian orang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan, sedang yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya ini jelas bertentangan dengan asas sosialisme indonesia yang menghendaki pembagian yang merata atas sumber daya penghidupan rakyat tani yang berupa tanah itu, agar ada pula pembagian yang adil dan merata pula dari hasil tanah-tanah tersebut.

Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melebihi batas tidak diperkenankan. Pemerintah menetapkan luas maksimum dan/atau minimum tanah yang merupakan kelebihan batas maksimum tersebut diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkannya.106

106

Lihat Penjelasan Umum angka 2 Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960.lihat bandingkan Arif Gasita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, 1993, hal 101 denganmasalah ganti rugi menjadi korban tidak selalu orang perorang, tetapi dapat juga terjadi pada suatu kelompok, badan hukum ( pengusaha ), instasi pemerintah dan BUMN Bahwa korban itu timbul sebagai interaksi akibat adanya interelasi antara fenomena-fenomena yang ada dan saling mempengaruhi dan dapat dimengerti pihak korban merupakan salah satu yang menderita akibat dalam pembebasan tanah baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta yang dilakukan tanpa adanya musyawarah atau kesepakatan antara pihak yang memerlukan tanah dengan pihak pemilik tanah.

Berdasarkan hal tersebut diatas ada 2 (dua) pihak yang menjadi korban dalam kasus ganti rugi tanah antara lain :

(a). Pemilik tanah

Penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanah yang luas oleh segelintir petani membuka peluang terjadinya pemerasan oleh petani bertanah luas terhadap petani bertanah sempit bahkan sempit atau bahkan tidak memiliki tanah. Pemerasan dapat dikemas dalam bentuk gadai dan bagi hasil pertanian.

Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya untuk memberi tanah pertanian yang cukup luas dengan jalan membuka tanah secara besar-besaran. Upaya ini juga dibarengi dengan adanya batas maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai satu keluarga, baik dengan hak milik maupun dengan hak yang lain.

Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. secara substansial materi hukum konsolidasi tanah perkotaan sangat sulit diatur di dalamnya, dan sejalan dengan dinamika Litbang Departemen Dalam Negeri, tentang konsolidasi tanah perkotaan Tahun perkembangan pembangunan di Indonesia khususnya untuk daerah perkotaan, maka melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah di Indonesia lahirlah pengaturan hukum tentang konsolidasi tanah perkotaan di Indonesia. Perwujutan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional ini, dimulai dari kegiatan penelitian yang dilakukan oleh pusat penelitian dan pengembangan pertanahan, Badan 1984.

Sejak diberlakukannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah di Indonesia tersebut, ternyata juga belum memberikan jawaban untuk mencapai suatu keberhasilan dalam penyelenggaraan

konsolidasi tanah perkotaan, khususnya di Sumatera Utara.107 Meskipun secara teoritis konseptual bahwa maksud, tujuan dan sasaran terhadap pelaksanaan konsolidasi tanah itu telah ditegaskan sedemikian rupa, yaitu maksud dilaksanakannya konsolidasi tanah perkotaan adalah dalam upaya meningkatkan terciptanya kualitas lingkungan dan pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan serta upaya untuk mewujudkan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat yang berada di wilayah perkotaan, dengan suatu tujuan konsolidasi tanah perkotaan tersebut diarahkan untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal.

107

Dalam konteks pelaksanaan konsolidasi tanah di Sumatera Utara terutama dalam era otonomi daerah, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dimana dilangsungkannya penelitian disertasi ini, yaitu untuk kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Pematang Siantar dan Kabupaten Dairi, belum juga terlihat dari dilaksanakannya konsolidasi tanah tersebut dapat menciptakan suatu pembangunan lingkungan perumahan dan permukiman yang layak sesuai dengan keinginan masyarakat di daerah tersebut. Perwujudan keadaan ini adalah ketidakmampuan masing- masing Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tersebut untuk melakukan koordinasi konkrit dengan Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan, terutama untuk membangun sarana fisik lingkungan perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud. Lebih jauh dari itu ternyata pemberlakuan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang pada hakekatnya bahwa masyarakat daerah diberikan kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi dan keadaan di daerahnya, ternyata di dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya dapat diaplikasikan. Disisi lain hal ini menunjukkan bahwa peraturan dasar pelaksanaan konsolidasi tanah yang termaksud di dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah tersebut, ternyata dalam pelaksanaannya di lapangan belum sepenuhnya dapat menjadi sumber/dasar pelaksanaan yang secara yuridis formal dapat di dukung dan di terima oleh masyarakat di daerah. Dari keadaan ini justru terlihat di lapangan bahwa dengan dilaksanakannya konsolidasi tanah perkotaan tersebut sekaligus memunculkan keadaan suatu keadaan yang dilemetis dan pada akhirnya akan membebankan kepada masyarakat peserta konsolidasi tanah itu sendiri. Salah satu faktor penyebab tidak optimalnya kepada pencapaian maksud, tujuan dan sasaran pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan tersebut adalah lemahnya proses perencanaan yang perlu dilakukan dalam memulai pelaksanaan konsolidasi tanah itu. Djoko Sudantoko, telah mengingatkan tentang arti penting perencanaan yang matang dari suatu kegiatan yang akan dilaksanakan. Dikatakannya, dari sisi perencanaan, hal ini akan memacu efisiensi dan efektivitas fungsi perencanaan pembangunan daerah, karena proses awal perencanaan diletakkan dalam kebutuhan suatu wilayah, yang nantinya akan diterjemahkan ke dalam spesifikasi masing-masing sektor. Djoko Sudantoko, “Dilema Otonomi Daerah”, Andi, Yogyakarta 2003, halaman 22.

Seimbang dan lestari melalui peningkatan efisiensi penggunaan tanah di wilayah perkotaan, dengan mewujudkan suatu sasaran konsolidasi tanah perkotaan yaitu untuk menciptakan suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur di wilayah perkotaan.108

Secara teoritis konseptual perwujudan rumusan tentang maksud, tujuan dan sasaran dari terselenggaranya konsolidasi tanah perkotaan tersebut, dalam konteks filsafati telah dinilai selaras dengan paradigma politik hukum di bidang pertanahan dan keagrariaan yang dikembangkan oleh pemerintah. Aktualisasi prinsip-prinsip penyelenggaraan konsolidasi tanah perkotaan itu, ternyata dalam konteks implementasinya masih sangat sulit untuk dijalankan.

Keadaan ini menunjukkan walaupun pada tataran teoritis konseptual dari sesuatu produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah melalui kebijakan publiknya telah memenuhi dan sesuai dengan standar paradigma.109 yang ditetapkan, namun

108

Implikasi lain yang dapat meemberikan manfaat kepada masyarakat peserta konsolidasi tanah perkotaan tersebut, tanah hasil konsolidasi secara ekonomis nilai jualnya akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan, karena telah terbangunnya sarana fisik perumahan dan permukiman yang layak dan fasilitas lainnya. Keuntungan lainnya bagi masyarakat tanah hasil konsolidasi tersebut sekaligus akan diperoleh sertifikat (tanda bukti), sehingga memberikan jaminan dan perlindungan hukum yang pasti tentang kemilikan tanah tersebut bagi peserta konsolidasi tanah, dan hal ini dalam waktu-waktu tertentu akan dapat digunakan oleh masyarakat para peserta konsolidasi tanah tersebut sebagai agunan dalam upaya untuk mendapatkan fasilitas kredit demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dengan demikian hasil konsolidasi tanah perkotaan tersebut pada aspek lain akan membawa perubahan di dalam masyarakat terutama dari aspek fungsi sosialnya. Dalam hubungan ini Jafar Suryomenggolo, telah memberikan komentar dan pendapatnya dengan mengutip pendapat dari Karl Renner, diutarakannya : bahwa aturan hukum tidak berubah tetapi fungsi sosialnya yang berubah. Artinya, aturan hukum pelaksanaan konsolidasi tanah tersebut pada prinsipnya tetap berada di dalam bingkai sistem hukum nasional di bidang keagrariaan yang berparadigma kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Lihat, Jafar Suryomenggolo, “Hukum Sebagai Alat Kekuasaan (Politik Asimilasi Orde Baru)”, Cabang Press dan Elsaka , Yogyakarta 2003, halaman 37.

109

Pada tataran paradigma terlihat secara jelas bahwa semua produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah tersebut melalui kebijakan publiknya, memang telah berpedoman kepada paradigma nasional, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Namun ketika produk hukum tersebut

lebih jauh dari itu tingkat keberhasilan produk hukum tersebut harus dilihat dalam tataran praktis operasional, apakah telah mampu memberikan suatu hasil yang positif bagi kepentingan masyarakat secara menyeluruh terutama untuk menciptakan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.

Dalam pelaksanaan Konsolidasi tanah harus memperhatikan luas maksimum tersebut harus ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan di dalam waktu yang singkat. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum diambil oleh pemerintah dengan memberi ganti kerugian kepada pemilik sebelumnya. Selanjutnya tanah-tanah tersebut dibagikan kepada rakyat petani yang membutuhkan, menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah. Dengan demikian maka pemilikan tanah akan menjadi lebih efektif, adil dan merata, yang kemudian akan mendorong bertambahnya produksi. Kesemuanya itu terjadi karena penggarap tanah-tanah itu akan lebih giat dalam menggarap tanah yang telah menjadi miliknya sendiri.

Luas maksimum tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh keluarga petani diterapkan untuk tiap-tiap kabupaten atau kota dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan faktor-fakto seperti : ketersediaan tanah, kepadatan

diimplementasikan, paradigma tersebut sering terjadi penyimpangan bahkan dibenturkan dengan aspirasi yang berasal dari masyarakat di daerah. Terjadinya pergeseran dan perbedaan aktualisasi paradigma yang demikian di lapangan, salah satu faktor penyebabnya pemerintah mengedepankan pandangannya bahwa tanah tersebut dinilai sebagai komoditi semata, sedangkan pandangan dari masyarakat bahwa keberadaan tanah tersebut bukan hanya sekedar komoditi, tetapi merupakan hubungan yang sangat magis-religius. Dalam hubungan ini Gunawan Wiradi telah memberikan ulasan pendapatnya : secara objektif teoritis, memperlakukan tanah sebagai komoditi memang tampak rasional dan wajar-wajar saja. Akan tetapi, perlu diingat bahwa hal itu hanya dipakai sebagai suatu konsep analitis, terutama di Barat, dalam rangka mengembangkan teori ekonomi ketika terjadi perubahan masyarakat akibat revolusi industri. Gunawan Wiradi, “Jangan Perlakukan Tanah Sebagai Komoditi”, dalam Jurnal Analisis Sosial, Tanah : Komoditas Strategis”, penyunting : A. Diana Handayani, Akatiga, Bandung 1996, hal. 34.

penduduk, jenis dan kesuburan tanah, besarnya usaha tani yang baik (the best fannsize), serta kemajuan teknologi pertanian.

Untuk itu diadakan perbedaan antar daerah yang padat (sangat padat, cukup padat dan kurang padat) dengan daerah yang kurang padat, serta dibedakan pada antar tanah sawah dengan tanah kering. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :110

Kriteria Kepadatan Penduduk dan Golongan Daerah Kepadatan Penduduk tiap Kilometer

persegi

Golongan Darah

a. Sampai 50 Tidak Padat

b. 51 Sampai 250 Kurang Padat c. 251 Sampai 400 Cukup Padat

d. 401 Keatas Sangat Padat

Satu hal penting yang juga harus diperhatikan yaitu ketentuan luas maksimum dikenakan pula pada tanah-tanah kepunyaan orang lain yang dikuasai dengan hak gadai, sewa dan lain-lainnya. Tetapi tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna usaha, atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas (seperti hak pakai) yang didapat dari Pemerintah tidak terkena ketentuan tersebut.

Undang-Undang Pokok Agraria tentang perlunya ditetapkan batas minimum selain batas-batas maksimum, agar tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf penghidupan yang layak. Luas minimum tanah pertanian yang dimiliki keluarga petani oleh Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960

110

ditetapkan seluas 2 (dua) hektar, baik untuk tanah sawah maupun tanah kering. Konsepsi luas minimum ini akan diupayakan pencapaiannya secara bertahap, yaitu juga dilengkapi dengan upaya-upaya lain, seperti pembukaan tanah pertanian baru (ekstensifikasi), transmigrasi, industrialisasi, meningkatkan produktivitas tanah pertanian yang ada (intensifikasi) dan pemberian kredit pertanian.

Dengan memperhatikan kepadatan penduduk, luas daerah dan faktor lainnya, maka luas maksimum yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 ditetapkan sebagai berikut :111

Kepadatan Penduduk dan Luas Maksimum Pemilikan atau penguasaan Tanah Pertanian

Nomor Di daerah-daerah yang : Sawah (ha) atau Tanah Kering (ha)

1 Tidak Padat 15 20

Kurang Padat 10 12

Cukup Padat 7.5 9

2.

Kurang Padat 5 6

Beberapa ide utama yang dapat disimpulkan dari Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dalam penetapan luas tanah pertanian, yaitu :

1. Untuk kepentingan umum pemilikna/penguasaan tanah pertanian yang melampaui batas tidak diperkenankan.

111

Surpriadi, Op.Cit, halaman 209.

2. Perlu dilakukan pembagian yang merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, agar ada pembagian yang adil da merata pula dari hasil tanah tersebut.

3. Perlu adanya batas maksimum tanah pertanian yang boleh dikuasai satu keluarga baik dengan hak milik maupun dengan hak yang lain.

4. Perlu ditetapkan batas minimum selain batas maksimum, agar tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf hidup yang layak.

Dalam tahap pertama tujuan ini dilaksanakan melalui pencegahan terjadinya fragmentasi tanah-tanah pertanian. Dalam perkembangannya apabila penentuan jumlah minimum itu tetap dikehendaki maka dijadikan dasar adalah penguasaan tanah optimal bagi usaha tani tanaman pangan yakni batas luas satuan usaha tani yang ”layak” bagi satu keluarga tani. Beberapa peraturan-peraturan yang berkaitan izin penguasaan dan pemilikan tanah dkaitkan dengan Penatagunaan Tanah dan Penguasaan Tanah Pertanian adalah sebagai berikut :

(a) Pengaturan Penatagunaan Tanah :

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria Undang- undang No. 41 Tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup. PP No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan penggunaan tanah untuk keperluan tempat pemakaman. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1982 tentang irigasi. Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan

lindung. Keppress No. 57 Tahun 1989 tentang Tim kordinasi pengelolaan tata ruang nasional. Peraturan MNA/Ka. BPN No. 21 Tahun 1999 tentang Izin lokasi Keputusan Presiden RI No. 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal (PAKTO 93).

Keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 22 Tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Izin dalam rangka Pelaksanaan Keputusan Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1991 tentang Tata Cara Memperoleh Lokasi dan Hak Atas Tanah dalam rangka Penanaman Modal. Intruksi Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1994 tentang Inventarisasi Penguasaan Tanah oleh Badan Hukum/Perorangan Surat Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 410-1850 kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas selaku Ketua Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional perihal perubahan penggunaan tanah beririgasi teknis untuk pengggunaan tanah non pertanian.

Surat Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional 410-1851 kepada (Gubernur KDH Tk. I dan Bupati/Walikota KDH Tk. II di seluruh Indonesia tentang Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Irigasi teknis untuk Penggunaan Tanah Non Pertanian melalui Penyusunan Rencana Tata Ruang. Surat Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 460-1594 kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya si seluruh Indonesia, perihal pencegahan konversi tanah sawah irigasi teknis menjadi tanah kering.

Surat Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 462-2942 kepada Kepala Kantor Pertanahan Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya si seluruh Indonesia, perihal penelitian riwayat penggunaan tanah dalam pemberian izin lokasi.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1998 tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar 5 Maret 1998. Surat Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 462-2033 kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya si seluruh Indonesia, perihal tentang penegasan tidak berlakunya SK izin lokasi yang telah habis masa berlakunya.

Surat Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 460-2083 kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya si seluruh Indonesia, perihal tentang perlindungan terhadap hak keperdataan dan kepentingan pemilik tanah dal;am areal izin lokasi.

Instruksi Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1998 tentang pemberian izin lokasi dalam rangka penataan penguasaan tanah skala besar. Instruksi Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No tentang pendataan dan monitoring pemanfaatan tanah kosong untuk penanaman tanaman pangan.

Peraturan Menteri Negara/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tanggal 14 Oktober 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

(b) Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Tanah

Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian. PP No. 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. PP No. 4 Tahun 1997 tentang pemilikan tanah secara guntai (absentee) bagi para pensiunan pegawai negeri. Keppres No. 55 Tahun 1980 tentang organisasi dan tata kerja penyelenggaraan land reform. PMDN No. 15 Tahun 1974 tentang pedoman tindak lanjut pelaksanaan land reform.

Dokumen terkait