• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

(STUDI KASUS : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 11/PUU-V/2007 MENGENAI PENGUJIAN

UNDANG NO: 56 Prp TAHUN 1960 TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR 1945)

TESIS

Oleh

NOVI MERI SUSANTI

077011050/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN

(STUDI KASUS : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 11/PUU-V/2007 MENGENAI PENGUJIAN

UNDANG NO: 56 Prp TAHUN 1960 TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR 1945)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Kenotariatan Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NOVI MERI SUSANTI

077011050/M.Kn

 

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN (STUDI KASUS : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11/PUU-V/2007 MENGENAIPENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO: 56 Prp TAHUN 1960 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Nama Mahasiswa : Novi Meri Susanti Nomor Pokok : 077011050

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH.M.Hum) (Notaris Syahril Sofyan, SH.M.Kn)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.MS.CN) (Prof.Dr.Runtung,SH.M.Hum)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 09 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr. Syafruddin Kalo, SH.M.Hum Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH.M.Hum

(5)

ABSTRAK

Tanah Pertanian yang dimiliki setiap masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisah dari Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan luas tanah Pertanian. Undang–undang ini telah dilakukan pengujiannya oleh Yusri Adrisoma sebagai pemohon penguji undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Pasal 10 Ayat (3) dan (4) terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (4), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945, dimana kewenangan MK untuk menguji undang-undang diatur di dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 24 Tahun 2003. Pengujian diakibatkan oleh peristiwa hukum yang dialami orang tua Pemohon yang memiliki tanah seluas 277.645 Ha dan tanah tersebut telah diambil oleh negara tanpa ganti kerugian apapun yang disebabkan karena orang tua Pemohon melanggar Pasal 3 dan Pasal 4 Undang–undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang wajib lapor 3 bulan dan larangan memindahkan hak milik.

Atas permohonan Yusri Adrisoma terhadap Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Pasal 10 Ayat (3) dan (4) MK menolak permohonan tersebut, serta atas kasus tersebut Pemerintah akan menganalisisnya terhadap Putusan MK atas permohonan pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Penelitihan ini bersifat deskriptif analitis yaitu bertujuan untuk mengumpulkan serta menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat sehigga ditemukan gambaran yang jelas mengenai Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi kasus: Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 mengenai pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960). Metode pendekatannya adalah yuridis normatif. Sumber bahan hukum yaitu data sekunder dengan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

(6)

undang-undang tersebut dinilai tidak relevan dan tidak efektif karena itu sudah saatnya Pemerintah mengubah undang-undang ini.

(7)

ABSTRACT

Agricultural land owned by the community is an inseparable part of law No 56 1960 on agricultural land area regulation. Yusri Adrisoma has applied to the Court of Constitution (CC) to test article 10 (3) and (4) of lawNo 56 Prp 1960 toward Article 28D (1), Article 28H (4), Article 28I (2) of the 1945 Constitution because the authority of the Court of Constitution to test the law is regulated in Article 24C (1) of the 1945 Constitution in connection with Article 10 (1) and (2) of law No 24/2003. This test was initiated by a legal event experienced by the applican’t parents who owned a plot of 277,645 hectares and the land was occupied by the state government without any compensation because the applicant’s parents broke Article 3 and Article 4 of Law No 56 Prp 1960 on the obligation to report for 3 months and the prohibition of proprietary right transfer.Yet, the Court of Constitution refused Yusri Adrisoma application to test the Article 10 (3) and (4) of law No 56Prp 1960 and the government will analyze the decision of the Court of Constitution to refuse the application.

The purpose of this analytical descriptive study with normative juridical approach is collect and analyze the factual ad accurate data systematically obtained to get the clear description about the agricultural land area regulation (case study: Decision of MK No 11/PUU-V/2007 on testing law No 56 Prp 1960). The data for this study were secondary data in the farm of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through library research. The data obtained were then qualitatively analyzed.

The result of this study reveals that the Court of Constitution (MK) refused the applicant’s application because the existing status of the land belonged to the applicant’s parent has changed into state-owned land so it was the issuance of Law No 56 Prp 1960, the constitusional right of the applicant was not violatd except if the status of land was transfered back ton the applicant before the status of the land became state-owned that the legal consequence is the ownership of the land was cancelled because the land belonged to the state and the applicant had no right to demand for compentation and the land would be distributed to the farmers without land. Based on this consideration, MK declared that the applicant did not have any legal position to apply for the judicial review. MK refused the applicant’s application, received the government’s explanation as a whole, declared that Law No 56 Prp 1960 still has its legal power and be effective in all Republic of Indonesia the government stated that the Law is still relevant and effective but considering the current community’s condition this Law is regarded ed being irrelevant and ineffective so it is the time for the government to amend this law.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Besar dan Pengasih,

karena berkatNya dan kasihNya, Penulis diberi kesehatan, kekuatan, dan kesabaran

serta hikmat dalam menyelesaikan penelitian tesis ini, dengan judul “PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN (STUDI KASUS : PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 11/PUU-V/2007 MENGENAI PENGUJIAN UNDANG NO: 56 Prp TAHUN 1960 TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan

ucapan terimakasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis

untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara;

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, S.H, M.S, CN selaku Ketua Program

Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus

penguji yang telah menjadi teman diskusi dan bertanya, ketika kesulitan dalam

(9)

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program

Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus

penguji yang telah memberi masukan kepada penulis;

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku komisi pembimbing utama

yang selalu memberi perhatian, dorongan dan arahan kepada penulis;

6. Bapak Prof. Dr.Alvi Syahrin, SH, MS, selaku komisi pembimbing yang selalu

memberi perhatian, dorongan dan arahan kepada penulis sehingga Penulis lebih

giat lagi belajar;

7. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan, perhatian, dorongan serta masukan serta kritik yang membangun

kepada penulis;

8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di Program Studi

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Kepada yang terhormat dan terkasih Bapak D. Pasaribu dan Mamak R.M.

Sibagariang sebagai orang tua terbaik yang selalu tulus, sabar dan tabah dalam

segala hal dari dulu, sekarang, esok dan seterusnya menjadi bagian dalam hidup

penulis;

10.Kepada kakakku Oka wati Pasaribu, S.Kep, Ners, abangku Dariaman S.S.Pasaribu terimakasih yang tulus buat doa, semangat serta motivasi yang tiada

(10)

11.Buat Ompung boru ku H. Simatupang, thanks atas perhatihan serta motivasi yang

diberikan kepada Penulis, dan buat keluarga besar Sibagariang serta

sepupu-sepupuku yang telah menjadi penyemangat dan selalu perhatian pada Penulis.

12.Buat orang yang ku sayang Ronald. D. F. Tambunan, SSi yang selalu

mengingatkan Penulis untuk mengerjakan tesis dan selalu memberikan perhatian

yang tulus kepada Penulis.

13.Teman-teman mahasiswa Program Studi Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara angkatan 2007. To my best friends K’Lisbet, Lisa, K’Artha, Juliana, K’ Lenny, Afni, B’Juni, Debora, Maria dan B’Hotma thanks for your kindness. Juga untuk teman-teman ku di kelas A, kelas B, dan kelas C angkatan 2007 thanks atas kekompakannya selama ini, dan yang selalu memotivasi serta memberikan semangat dalam menyelesaikan tesis ini.

14.Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga

Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini.

Penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan

semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Oktober 2009

Penulis,

(11)

RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Novi Meri Susanti Pasaribu

Tempat / Tgl. Lahir : Medan / 08 November 1985

Alamat : Perumahan Bekala Asri Blok G Nomor 15

Agama : Kristen Protestan

Telepon / HP : (061) 4146050 / (0812) 63 31 551

II. ORANG TUA

Nama Ayah : D.O.Pasaribu

Nama Ibu : R.M.Sibagariang

III. RIWAYAT PENDIDIKAN

o 1990 – 1991 : Pra Taman Kanak–Kanak Ananda, PT.Padasa Enam Utama

Kalianta,Riau;

o 1991 - 1997 : Sekolah Dasar Negeri 030, PT.Padasa Enam Utama Kalianta,

Riau;

o 1997 - 2000 : Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri 2 Bangkinang,

Riau;

o 2000 - 2003 : Sekolah Menengah Umum Khatolik Cahaya , Medan;

o 2003 - 2007 : Fakultas Hukum Jurusan BW Universitas Sumatera Utara ,

(12)

DAFTAR ISI

B. Wewenang Mahkamah Konstitusi... 10

C. Alasan Mahkamah Konstitusi Menolak Permohonan Yang Diajukan Oleh Pemohon... 11

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PENGUASAAN TANAH YANG DIMILIKI OLEH PEMOHON... 13

A. Ketentuan Tentang Landreform ... 13

B. Pengaturan Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian ... 16

C. Akibat Hukum Terhadap Penguasaan Tanah Yang Dimiliki oleh Pemohon... 21

BAB IV ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAHKONSTITUS ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 56 PRP TAHUN 1960 TENTANG PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN... 23

(13)

B. Analisis Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Tentang Penetapan LuasTanah Pertanian... 24

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 27

A. Kesimpulan ... 27

B. Saran ... 28

(14)

DAFTAR SINGKATAN

1. BPN : Badan Pertanahan Nasional

2. HTN : Hukum Tanah Nasional

3. Kejari : Kejaksaan Negeri

4. Keppres : Keputusan Presiden

5. KPU : Komisi Pemilihan Umum

6. KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana

7. MA : Mahkamah Agung

8. MK : Mahkamah Konstitusi

9. PN : Pengadilan Negeri

10. PP : Peraturan Pemerintah

11. Prp : Peraturan Pengganti Undang-undang

12. PUU : Pengujian Undang-Undang

13. RI : Republik Indonesia

14. STP : Surat Tanda Penerimaan Penyerahan Hak dan Pemberian Ganti

Rugi

15. UUD : Undang-Undang Dasar

16. UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria

(15)

ABSTRAK

Tanah Pertanian yang dimiliki setiap masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisah dari Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan luas tanah Pertanian. Undang–undang ini telah dilakukan pengujiannya oleh Yusri Adrisoma sebagai pemohon penguji undang-undang ke Mahkamah Konstitusi (MK) yaitu Pasal 10 Ayat (3) dan (4) terhadap Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (4), Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945, dimana kewenangan MK untuk menguji undang-undang diatur di dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 Jo Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang–undang Nomor 24 Tahun 2003. Pengujian diakibatkan oleh peristiwa hukum yang dialami orang tua Pemohon yang memiliki tanah seluas 277.645 Ha dan tanah tersebut telah diambil oleh negara tanpa ganti kerugian apapun yang disebabkan karena orang tua Pemohon melanggar Pasal 3 dan Pasal 4 Undang–undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang wajib lapor 3 bulan dan larangan memindahkan hak milik.

Atas permohonan Yusri Adrisoma terhadap Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Pasal 10 Ayat (3) dan (4) MK menolak permohonan tersebut, serta atas kasus tersebut Pemerintah akan menganalisisnya terhadap Putusan MK atas permohonan pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960. Penelitihan ini bersifat deskriptif analitis yaitu bertujuan untuk mengumpulkan serta menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat sehigga ditemukan gambaran yang jelas mengenai Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi kasus: Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 mengenai pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960). Metode pendekatannya adalah yuridis normatif. Sumber bahan hukum yaitu data sekunder dengan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.

(16)

undang-undang tersebut dinilai tidak relevan dan tidak efektif karena itu sudah saatnya Pemerintah mengubah undang-undang ini.

(17)

ABSTRACT

Agricultural land owned by the community is an inseparable part of law No 56 1960 on agricultural land area regulation. Yusri Adrisoma has applied to the Court of Constitution (CC) to test article 10 (3) and (4) of lawNo 56 Prp 1960 toward Article 28D (1), Article 28H (4), Article 28I (2) of the 1945 Constitution because the authority of the Court of Constitution to test the law is regulated in Article 24C (1) of the 1945 Constitution in connection with Article 10 (1) and (2) of law No 24/2003. This test was initiated by a legal event experienced by the applican’t parents who owned a plot of 277,645 hectares and the land was occupied by the state government without any compensation because the applicant’s parents broke Article 3 and Article 4 of Law No 56 Prp 1960 on the obligation to report for 3 months and the prohibition of proprietary right transfer.Yet, the Court of Constitution refused Yusri Adrisoma application to test the Article 10 (3) and (4) of law No 56Prp 1960 and the government will analyze the decision of the Court of Constitution to refuse the application.

The purpose of this analytical descriptive study with normative juridical approach is collect and analyze the factual ad accurate data systematically obtained to get the clear description about the agricultural land area regulation (case study: Decision of MK No 11/PUU-V/2007 on testing law No 56 Prp 1960). The data for this study were secondary data in the farm of primary, secondary, and tertiary legal materials obtained through library research. The data obtained were then qualitatively analyzed.

The result of this study reveals that the Court of Constitution (MK) refused the applicant’s application because the existing status of the land belonged to the applicant’s parent has changed into state-owned land so it was the issuance of Law No 56 Prp 1960, the constitusional right of the applicant was not violatd except if the status of land was transfered back ton the applicant before the status of the land became state-owned that the legal consequence is the ownership of the land was cancelled because the land belonged to the state and the applicant had no right to demand for compentation and the land would be distributed to the farmers without land. Based on this consideration, MK declared that the applicant did not have any legal position to apply for the judicial review. MK refused the applicant’s application, received the government’s explanation as a whole, declared that Law No 56 Prp 1960 still has its legal power and be effective in all Republic of Indonesia the government stated that the Law is still relevant and effective but considering the current community’s condition this Law is regarded ed being irrelevant and ineffective so it is the time for the government to amend this law.

(18)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Tanah dalam wilayah negara Republik Indonesia merupakan salah satu

sumber daya alam utama, selain mempunyai nilai batiniah yang mendalam bagi

rakyat Indonesia, juga berfungsi sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan negara

dan rakyat yang makin beragam dan meningkat, baik pada tingkat nasional maupun

dalam hubungannya dengan dunia Internasional.1

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia,

merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan

bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

terbagi secara adil dan merata. Maka tanah adalah untuk diusahakan atau digunakan

bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata.2

Tanah mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya harus dapat

meningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu perlu terus dikembangkan rencana tata

ruang dan tata guna tanah secara nasional sehingga pemanfaatan tanah dapat

terkoordinasi antara berbagai jenis penggunaan dengan tetap memelihara kelestarian

1 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta:Universitas Trisakti, 2003), halaman 3.

2

(19)

alam dan lingkungan serta mencegah penggunaan tanah yang merugikan kepentingan

masyarakat dan kepentingan pembangunan.3

Pada dasarnya setiap orang maupun badan hukum membutuhkan tanah.

karena tidak ada aktivitas orang ataupun badan hukum apalagi yang disebut kegiatan

pembangunan yang tidak membutuhkan tanah.4 Pentingnya arti tanah bagi kehidupan

manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari

tanah. Mereka hidup dari tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara

mendayagunakan tanah.5

Sekitar lima juta petani di Indonesia yang belum memiliki lahan pertanian

atau mengandalkan dirinya menjadi buruh tani. Besarnya jumlah buruh tani tersebut

sangat memprihatinkan karena bagaimana bisa sejahtera seorang petani tidak

memiliki lahan. Banyaknya petani yang belum memiliki lahan tersebut terjadi karena

masih rendahnya pendidikan formal, minimnya regenerasi petani, biasanya petani

adalah seoarang pekerja keras namun sangat rendah pengetahuannya. Sementara itu

petani pemilik lahan juga masih sulit untuk hidup sejahtera, karena tidak sedikit dari

mereka terjerat rentenir untuk membiayai pengelolahan tanahnya.

Menyangkut mengenai hal pemilikan dan penguasahan tanah, dalam hal

penguasahan tanah pertanian ada batasan maksimum dan minimumnya hal tersebut

3

A.P.Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Land reform (Bagian III), (Bandung: CV.Mandar Maju, 1994), halaman 11.

4

Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan: Multi Grafik, 2005), halaman 2.

5

(20)

diatur di dalam Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas

Tanah Pertanian.

Tanah Pertanian yang dimiliki setiap masyarakat merupakan bagian yang

tidak terpisah dari Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang ketentuan land reform mengatur tentang batas maksimun dan minimun penguasaan tanah khusus ditujukan kepada tanah pertanian saja sedangkan untuk tanah bangunan tidak ada

disebutkan. Namun mengingat semakin banyaknya tanah-tanah yang dikuasai oleh

badan-badan hukum atau sekelompok badan hukum terutama berdasarkan lokasi yang

tidak dimanfaatkan dengan baik maka dirasa perlu membatasi penguasaan tersebut.6

Menyangkut mengenai tanah diatur di dalam UUPA dimana disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional berdasarkan atas Hukum Adat, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum tanah. Asas-asas Hukum Adat yang digunakan dalam Hukum Tanah Nasional yaitu asas religiusitas, asas kebangsaan, asas demokrasi, asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial, asas pemeliharaan tanahn secara berencana, serta asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.7

Kedudukan asas-asas tersebut dalam pembangunan hukum yaitu sebagai landasan dan alasan lahirnya peraturan hukum selanjutnya. Namun demikian, penerapan asas-asas tersebut dalam kasus-kasus konkrit selalu memperhatikan faktor-faktor yang meliputi kasus yang dihadapi, dimungkinkan menyimpang dari asas tersebut.guna penyelesaian kasus, akan tetapi harus dapat memenuhi rasa keadilan dan kebenaran. Sistem atau tata susunan hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional, dimulai dengan:

1. Hak bangsa indonesia sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, yang beraspek hukum keperdataan dan hukm publik. Semua hak-hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa yang bersifat abadi artinya hubungannya akan terus menerus tiada terputus untuk selama-lamanya.

6

Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006), halaman 100.

7

(21)

2. Hak menguasai dari negara, yang bersumber dari hak bangsa yang hanya beraspek hukum publik semata. Pelaksanaan dari hak menguasai negara ini kewenangannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain atau pihak ketiga dalam bentuk Hak Pengelolaan. Kewenangan Hak Menguasai dari negara, diatur secara terperinci dalam Pasal 2 Ayat 2 UUPA. Hak menguasai dari negara tidak akan hapus selama negara Republik Indonesia masih ada sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.

3. Hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada.

4. Hak-hak penguasaan individual terdiri atas: a. Hak-hak atas tanah meliputi:

Primer: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai yang diberikan oleh negara.

Sekunder: Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak sewa dan lain-lain.

b. Hak Wakaf, hak individual yan g berasal dari hak milik yang sudah diwakafkan dan mempunyai kedudukan khusus dalam Hukum Tanah Nasional.

c. Hak jaminan atas tanah, yang disebut dengan hak tanggungan.8

Dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

dirumuskan suatu asas yang dewasa ini sedang menjadi dasar dari pada

perusahaan-perusahaan dalam struktur pertanahan hampir di seluruh dunia, yaitu di negara-negara

yang telah/ sedang menyelenggarakan apa yang disebut ”land reform” atau ”agraria reform” yaitu bahwa ”Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemilik sendiri”. Artinya keberadaan hukum agraria tersebut tidak akan

menjamin keterbukaan, sehingga tidak tercapai keadilan yang substansif. Pada

akhirnya fungsi hukum agraria itu tidak dapat digunakan sebagai alat penyelesaian

sengketa pertanahan.9

8

Ibid, halaman 42. 9

(22)

Akibat adanya tanah dikuasai oleh pihak tertentu untuk kepentingan sendiri

maka menimbulkan sengketa dalam pertanahan. Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sengketa adalah pertengkaran,

perbantahan, pertikaian atau perkara di pengadilan yang disebabkan oleh uang dan

perebutan wilayah/ daerah, sedangkan yang dimaksudkan dengan tanah adalah

permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali.10

Undang–undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 telah dilakukan pengujiannya

yaitu Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4) terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Hukum

acara untuk perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945

di Mahkamah Konstitusi ini agak berbeda jika dibandingkan dengan peradilan biasa

karena hal yang banyak dipertimbangkan dan diperiksa adalah opini dan tafsiran, dan

bukan pada fakta, sehingga analisis terhadap data menjadi hal yang penting dan

utama untuk disajikan.11

Permohonan pengujian tersebut secara administrasi diajukan kepada bagian

kepaniteraan Mahkamah Konstitusi yang akan memeriksa kelengkapan administrasi,

misalnya keterangan lengkap diri pemohon, ditulis dalam bahasa Indonesia,

ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap, menguraikan secara

jelas perihal yang menjadi dasar permohonannya dan hal-hal lain yang dimintanya

untuk diputus.

10

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, halaman 946.

11

(23)

Dalam mengajukan permohonan tersebut, Pemohon wajib menguraikan

dengan jelas hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dirugikan karena adanya

pembentukan undang-undang yang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD

1945 dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, dan

undang-undang yang dimohonkan untuk diuji haruslah memenihi syarat-syarat yang

bersifat kumulatif.

Pemohon yang dianggap memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing) untuk mengajukan hak atau kewenangan konstitusionalnya terhadap Mahkamah Konstitusi

oleh berlakunya undang-undang, yaitu:

(a) Perorangan warga negara Indonesia.

(b) Kesatuan masyarakat adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

(c) Badan hukum publik dan privat. (d) Lembaga negara.12

Hal ini secara rinci diatur dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam ketentuan tersebut bahwa undang-undang yang

dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah

perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Khususnya setelah amandemen Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang tertanggal 19 Oktober 1999.13

Undang-undang Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa pengujian

konstitusionalitas suatu undang-undang dimungkinkan bisa dilakukan secara formal

12

Hadi Setia Tunggal, Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Harvindo, 2007), halaman 1. 13

(24)

dan materiil. Dalam praktek dikenal adanya tiga macam norma hukum yang dapat diuji atau norm control mechanism yaitu :

1. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan ( Regeling )

2. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penetapan ( Beschikking )

3. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman ( Judgement ) yang biasa disebut vonis.14

Pada hakekatnya evaluasi pelaksanaan suatu undang-undang tergantung

kepada beberapa hal antara lain substansi undang-undang, perkembangan masyarakat

dimana undang-undang tersebut diterapkan, strategi dan kebijakan pembangunan,

keberadaan undang-undang tersebut dalam konteks peraturan perundangan lainnya,

motivasi, dedikasi dan kemampuan aparat pelaksanaan undang-undang tersebut.15

Di dalam kehidupan masyarakat sering terjadi ketidak setujuan terhadap isi

dan pembuatan undang-undang maka Pemerintah dalam hal ini memberikan

kewenangan kepada masyarakat untuk mengajukan permohonan kepada lembaga

yang berwenang dalam hal ini Mahkamah Konstitusi.

Salah satu contoh ketidakpuasan atas undang-undang tersebut yakni adanya

Perkara yang diajukan oleh Yusri Adrisoma, tempat/tanggal lahir Subang 15 Oktober

1950, agama Islam, pekerjaan seorang tani, kewargenegaraan Indonesia, alamat

Dusun Parapatan RT 05 RW 03 Desa Tegalurung Kecamatan Legonkulon, Kabupaten

Subang Provinsi Jawa Barat, yang selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

14

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), halaman 1.

15

(25)

Menurut Yusri Adrisoma Pasal 10 Ayat (3) yang menyatakan bahwa “Jika

terjadi tindak pidana yang dimaksud Ayat (1) huruf a pasal ini maka pemindahan hak

itu batal karena hukum sedangkan tanah yang bersangkutan jatuh pada negara, tanpa

hak untuk menuntut ganti kerugian apapun” dan Ayat (4) menyatakan bahwa “Jika

terjadi tindak pidana sebagai yang dimaksud dalam Ayat (1) huruf b pasal ini maka

kecuali didalam hal termaksud dalam Pasal 7 Ayat (1), tanah yang selebihnya dari

luas maksimum jatuh pada negara yaitu jika tanah tersebut semuanya milik terhukum

dan atau anggota keluarganya dengan ketentuan bahwa ia diberi kesempatan untuk

mengemukakan keinginannya mengenai tanah yang jatuh kepada negara itu ia tidak

berhak atas ganti kerugian berupa apapun” bertentangan terhadap Pasal 28D Ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan

yang sama dihadapan hukum”, Pasal 28H Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang

menyatakan bahwa “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik

tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun berarti

negarapun tidak boleh mengambil alih secara sewenang-wenang jaditidak ada tanah

yang jatuh kepada negara terkecuali ada kesepakatan antara pemilik dengan negara

dengan bentuk ada penggantian sesuai dengan Pasal 17 Ayat (3) dan Pasal 18

Undang-Undang Pokok Agraria, dan Pasal 28IAyat (2) Undang-Undang Dasar 1945

yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat

(26)

Pemohon mengajukan Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian kepada Mahkamah Konstitusi karena Pemohon

merasa dirugikan dengan adanya penyitaan tanah waris dari orang tuanya yang

bernama Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta yang dilakukan oleh Kejaksaan

Negeri Subang seluas 277.645 Ha pada tanggal 13 September 1979.

Pada tahun 1979 Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta telah terbukti dan

meyakinkan terang bersalah telah melakukan memiliki tanah pertanian seluas

277.645 Ha melebihi batas maksimal sebagaimana diatur dalam Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1960. Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon ternyata telah

melanggar ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang

menyatakan bahwa: "orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggota-anggota

keluarganya mempunyai tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas

maksimum wajib melaporkan hal itu kepada Kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota

yang bersangkutan di dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak mulai berlakunya peraturan

ini, Kalau dipandang perlu maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh

Menteri Agraria"dan juga melanggar Pasal 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun

1960 yang meyatakan bahwa, ”Orang atau orang-orang sekeluarga yang memiliki

tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum dilarang untuk

memindahkan hak-miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut, kecuali dengan

izin Kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Izin tersebut hanya

(27)

maksimum dan dengan memperhatikan pula ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat

(2)”.

Akibat dari pelanggaran hukum tersebut diatas, oleh karena itu Bapak

Dukrim bin Suta alias Pak Kebon dijatuhi sanksi pidana yang putusannya telah

mempunyai kekuatan hukum tetap dimana menurut ketentuan Pasal 10 Ayat (3) dan

Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, karena telah terjadi

pelanggaran atas ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun

1960 maka mengakibatkan pemilikan tanah Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon

seluas 277.645 Ha menjadi hilang hak kepemilikan atas tanah yang selebihnya dari

Iuas maksimum dan sekaligus hilang hak untuk menuntut ganti kerugian dari negara,

sedangkan status tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan

untuk diredistribusikan kepada petani yang tidak punya tanah atau tuna kisma atau

petani gurem. Oleh karena itu setelah menjalani persidangan maka Pengadilan

Negeri Subang memutuskannya dengan perkara Pidana Nomor

38/1979/Pidana/PN.Sbg pada tanggal 24 Maret 1981.

Dengan adanya putusan tersebut, maka tanah hak milik Bapak Dukrim alias

Pak Kebon bin Suta telah dilakukan penyitaan oleh Kejaksaan Negeri Subang pada

tanggal 13 September 1979 dari Desa Pamanukan Hilir, Bobos, Tegalurung dan

Pangarengan seluas 277.645 Ha dikurangi tanah milik Bapak Dukrim alias Pak

Kebon bin Suta asal dari warisan orang tuanya sesuai dengan batas maksimal

menurut ketentuan yang berlaku, kemudian menghukum Bapak Dukrim alias Pak

(28)

Bapak Dukrim alias Pak Kebon bin Suta harus membayar biaya perkara sebesar Rp

7.500,-.

Akibat dari pada putusan Pengadilan Negeri tersebut maka Bapak Dukrim

alias Pak Kebon bin Suta langsung stressdan terserang stroke sehingga pada tanggal

6 Mei 1981 meninggal dunia. Pemohon sebagai ahli waris tidak menerima begitu

saja. Pada tahun 1981 keluarlah peraturan Perundang-undangan yaitu Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pemohon sebagai ahli waris dari

mendiang Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon mengajukan Peninjauan Kembali

ke Mahkamah Agung RI atas Putusan Pengadilan Negeri Subang Nomor

38/Pidana/1979/PN.Sbg dan diputus dengan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor

16/PK/Pid/1983, tetapi Putusan Permohonan Peninjauan Kembali ditolak oleh

Mahkamah Agung RI. Setelah itu maka tanah yang telah di eksekusi oleh kejaksaan

Negeri Subang dalam Putusan Pengadilan Negeri Subang Nomor

38/Pidana/1979/PN.Sbg diserahkan kepada Kantor Agraria Subang pada tanggal 8

Mei 1981.

Pemohon sebagai ahli waris dari mendiang Bapak Dukrim bin Suta alias Pak

Kebon telah menandatangani Surat Tanda Penerimaan Penyerahan Hak dan

Pemberian Ganti Rugi (STP3) atas tanah kelebihan dari batas maksimal pada tanggal

1 Juli 1986 Nomor A/VIII/53A/574/1986, sampai sekarang belum mendapatkan ganti

rugi sekalipun sudah diusulkan oleh Kepala Kantor Agraria Subang pada tanggal 16

Oktober 1986 Nomor 592/Kad.1125/1986, perihal permohonan ganti rugi atas tanah

(29)

Dalam pengajuan permohonan ini, Pemohon tidak menyampaikan dalil-dalil

hukum yang rumit atau teori-teori hukum sulit dan canggih, karena menurut hemat

Pemohon, apapun yang menjadi alasan Pemohon ini sudah sangat jelas dan kuat serta

sulit dibantah.

Adapun alasan-alasan pemohonan melakukan permohonan pengujian Pasal 10

Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 bertentangan

dengan Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (4), serta Pasal 28I Ayat (2)

Undang-Undang Dasar yang diajukan Pemohon adalah bahwa Pasal 10 Ayat (3) dan Ayat (4)

Undang-undang 56 Prp Tahun 1960 menyatakan bahwa pengertian anak kalimat,

”jika terjadi tindak pidana" adalah mengandung pengertian tidak adanya kepastian

hukum dan tidak adanya keadilan serta diskriminatif karena bagi orang-orang yang

memiliki tanah melebihi batas maksimal saja lah yang terkena tindak pidana dan ini

hanya berlaku bagi orang yang terkena tindak pidana meskipun memiliki tanah

melebihi batas maksimum dibiarkan sekalipun sudah melanggar Undang-undang

Nomor 56 Prp Tahun 1960.16

Selain itu juga pengertian anak kalimat yang menyatakan bahwa ”tanah yang

bersangkutan jatuh pada Negara tanpa hak untuk menuntut ganti kerugian berupa

apapun" ini jelas merupakan sanksi yang sangat berat padahal ini hanya bersifat

pelanggaran dan bukan kejahatan, yang seharusnya kita setujui bersama dengan

penetapan luas tanah pertanian maka batas maksimal diambil olehPemerintah dengan

ganti kerugian sesuai Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria.

16

(30)

Pemohon juga mendalilkan mengenai hak milik. Dimana hak milik adalah hak

turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan

mengingat ketentuan Pasal 6 UUP pasal ini disebutkan sifat-sifat dari hak milik, dan

yang membedakannya dengan hak-hak lainnya.

Dalam hal ini menurut Pemohon bahwa hak milik itu harus dijamin dan

dilindungi oleh UUD 1945 shingga tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang

oleh siapapunberarti negarapun tidak boleh mengambil alih secara sewenang-wenang

jadi tidak ada tanah yang jatuh kepada negara terkecuali ada kesepakatan antara

pemilik dengan negara dengan bentuk ada penggantian sesuai dengan Pasal 17 Ayat

(3) dan Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria.

Setelah Pemohon menguraikan alasan-alasannya mengajukan pengujian Pasal

10 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 terhadap Pasal

28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (4), maka berdasarkan putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 menolak permohonan dari pada

Pemohon dengan alasan Tidak terdapat hubungan hukum antara Pemohon dengan

tanah, karena status tanahnya adalah tanah Negara, dan Sanksi di dalam Pasal 10

Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 dikenakan

terhadap Bapak Dukrim bin Suta alias Pak Kebon secara pribadi bukan kepada

(31)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang uraian singkat tersebut di atas maka ada terdapat

beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

1. Mengapa Mahkamah Konstitusi menolak Permohonan yang diajukan oleh

Pemohon?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap penguasaan tanah yang dimiliki oleh

Pemohon?

3. Bagaimana Analisis hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi atas

permohonan pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian secara umum adalah melaksanakan penelitian mengenai

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor : 11/PUU-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun

1960 Terhadap UUD 1945), maka penelitian ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui alasan Mahkamah Konstitusi menolak Permohonan yang

diajukan oleh Pemohon.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap penguasaan tanah yang dimiliki oleh

(32)

3. Untuk mengetahui analisis hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi atas

permohonan pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian.

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan ada 2 (dua) manfaat yang dapat dihasilkan

yaitu : yang bersifat teoritis dan bersifat praktis.

1. Secara teoritis

Yakni hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut

untuk melahirkan berbagai konsep kajian yang dapat memberikan andil bagi

peningkatan pengetahuan.

2. Secara Praktis

Yakni hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan pengetahuan bagi

pemerintah yang berwenang untuk membuat undang-undang agar sudah saatnya

untuk segera memperbaharui atau merevisi Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan Sebagai informasi kepada masyarakat

tentang upaya hukum yang berlaku jika terjadi Permohonan kepada Mahkamah

(33)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dilingkungan Universitas Sumatera

Utara, khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Sumatera

Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul Penetapan Luas Tanah Pertanian

(Studi Kasus : Putusan MK No : 11/PUU-V/2007 Mengenai Pengujian

Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Terhadap UUD 1945), belum pernah dilakukan peneliti lain sebelumnya “ sehingga tesis ini dijamin keasliannya dan dapat

dipertanggungjawabkan. Kalaupun ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini

adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan ini,karena hal

tersebut memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan yang bersifat

ilmiah ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori berasal dari kata ”theori” dalam bahasa latin berarti perenungan, yang

pada gilirannya berasal dari kata ”thea”dalam bahasa yunani yang secara hakiki

menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas .17

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi,18 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkan pada

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

17

(34)

Selain itu teori dapat juga didefenisikan adalah suatu konstruksi dialam cita

atau ide manusia, dibangun dengan maksud untuk menggambarkan secara reflektif

fenomena yang dijumpai di alam pengalaman .19

Teori berguna untuk mempertajam atau mengkhususkan fakta, berguna dalam

mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina sturktur konsep dan

memperkembangkan defenisi, suatu ikhtisar hal yang diketahui, kemungkinan

prediksi fakta mendatang, memberi petunjuk terhadap kekurangan.20

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan,

pegangan teoritis,yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan

masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.21

Dalam melakukan suatu penelitian diperlukan adanya kerangka teoritis

sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk memberikan

landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian harus selalu disertai dengan

pemikiran teoritis.22

18

J.J.J M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), halaman 203.

19

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum:Paradigma,Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: ELSAM-HUMA, 2002), halaman 184.

20

http://staf . ui.edu/intenal.

21 M. Solly Lubis, Filsafat ilmu dan penelitihan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), halaman 80. 22

(35)

Menurut Kaelan M.S. Landasan teori pada suatu penelitian adalah merupakan

dasar-dasar operasional penelitian. Landasan teori dalam suatu penelitian adalah

bersifat strategis artinya memberikan realisasi pelaksanaan penelitian.23

Oleh sebab itu kerangka teoritis bagi suatu penelitian mempunyai kegunaan

sebagai berikut :

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta

yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

2. Teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina,

struktur konsep-konsep serta memperkembangkan definisi-definisi.

3. Teori biasanya merupakan suatu ikhstisar dari pada hal-hal yang diteliti.

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah

diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor

tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.24

Sejalan dengan hal tersebut, maka terdapat beberapa teori yang dipergunakan

sebagai pisau analisis dalam tesis ini. Secara konseptual, teori yang dapat dijadikan

acuan dalam ”Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan MK No.

11/PUU/-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960

terhadap UUD 1945 adalah dengan menggunakan pendekatan teori pemerataan,

pembatasan dan keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah yang tersedia.

23

Kaelan M.S, Metode Penelitian Kualitatif bidang Filsafat (Paradigma bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiotika, Sastra, Hukum dan Seni), (Yogyakarta: Paradigma, 2005), halaman 239.

24

(36)

Aturan yang menetapkan sebagai tindak pidana pemilikan tanah yang

melampaui batas maksimum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 juncto Pasal 10 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960, dengan kualifikasi

pelanggaran dan bukan kejahatan, maka karena sifat hakikatnya dalam sejarah

kemanusiaan, perbuatan itu menjadi tindak pidana bukan karena kualitas perbuatannya, melainkan hanya akibat dibentuk dan diterapkannya peraturan

perundangundangan oleh penguasa. Perbuatan itu sendiri bukan sesuatu perbuatan

yang dalam kesadaran hukum masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang jahat.

Oleh karenanya, penataan kembali struktur penguasaan dan pemilikan tanah

melalui hukum dan perundang-undangan demikian, yang harus konsisten berpedoman

pada asas dalam UUD 1945 dan UUPA, yang menggariskan kelebihan tanah dari

maksimum luas yang diperkenankan dimiliki, tidak boleh dilakukan

sewenang-wenang dan harus dengan ganti rugi.

Aturan perampasan kelebihan tanah tanpa ganti rugi sebagai akibat kelalaian

melaporkan kelebihan, yang oleh Pemerintah dipandang adil menjadi alat pemaksa

sebagai konsekuensi pelanggaran yang dilakukan untuk mengefektifkan pelaksanaan

land reform dan agrarian reform, dianggap tidak rasional dan proporsional.

Teori proporsionalitas merupakan wujud dari keadilan yang telah menjadi

salah satu asas-asas hukum umum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik,

dengan mana pengambil kebijakan dapat mengukur sebelum mengambil keputusan,

apakah perampasan tanpa ganti rugi akan diperlakukan (i) jika tujuan land reform

(37)

dicapai lebih baik atau lebih efektif melalui tindakan itu atas dasar kriteria efisiensi

yang lebih baik, dan (iii) jika persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan

lebih efektif melalui kewenangan demikian.

Sebagai salah satu unsur esensial pembentuk negara, tanah memegang peran

vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang

bersangkutan, lebih -lebih yang corak agrarisnya mendominasi. Di negara yang

rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan

tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatu syarat yang

mutlak atau syarat yang absolut.25

Untuk cita-cita bangsa dan negara dalam bidang agraria, perlu adanya suatu

rencana mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air, dan ruang

angkasa untuk berbagai kepentingan hidup rakyat dan negara. Rencana umum yang

meliputi seluruh wilayah indonesia, yang kemudian diperinci menjadi

rencana-rencana khusus dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya perencana-rencanaan tersebut,

penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat

membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan rakyat.26

Selain dari pada teori yang telah disebutkan diatas dalam kasus ini juga dapat

menggunakan teori yang dikemukakan oleh Lawrence Friedman yaitu teori sistem

hukum yaitu bahwa dalam sistem hukum terdapat tiga elemen yang perlu

diperhatikan yaitu : Structure ; Substance; dan Culture. Struktur dalam suatu sistem

25

Arie Sukanti Hutagalang, Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Di Bidang Pertanahan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2008), halaman 2.

26

(38)

hukum, misalnya mengenai kedudukan dari peradilan, eksekutif, yudikatif.

Sedangkan substansi dari sistem hukum adalah, mengenai norma, peraturan maupun

undang-undang, tetapi lebih menarik dari ketiga elemen itu adalah mengenai budaya

hukum yang berarti pandangan, kebiasaan, maupun prilaku dari masyarakat mengenai

pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan

perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang

bagaimana hukum itu diaplikasikan dilanggar atau dilaksanakan oleh masyarakat. 27

Struktur dari peradilan yakni Mahkamah Konstitusi merupakan konsep

kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi

dan Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau setara sebagai

lembaga negara yang independen dan hanya dibedakan dari segi fungsi dan

wewenang, sedangkan dalam pengujian undang-undang maka Mahkamah Konstitusi menguji undang terhadap UUD 1945 termasuk dalam kasus ini

Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian.

Mahkamah Konstitusi merupakan norma hukum pada badan peradilan tingkat

pertama dan terakhir, atau dapat dikatakan merupakan badan peradilan satu-satunya

yang putusannya bersifat final dan mengikat untuk mengadili perkara pengujian

undang-undang termasuk dalam hal ini Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960

tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Budaya hukum yang diharapkan dari Mahkamah Konstitusi terhadap

Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian yakni

27

(39)

Persamaan kedudukan dan kesempatan dalam pemerintahan yang diartikan juga tanpa

diskriminasi.

Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan negara dengan cara

melakukan pengujian undang-undang serta kewenangan lainnya, tidak terlepas dari

pola hubungan hak-hak dasar manusia sebagai individu, masyarakat dan negara,

dalam upaya mencapai kesejahteraan yang berkeadilan sosial dan menjaga

terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil sesuai dengan kehendak rakyat dan

cita hukum negara yang demokrasi. Pencapaian kesejahteraan yang berkeadilan

menurut cita hukum dikenal sebagai tujuan negara.28

2. Kerangka Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang

diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang

konkrit, yang disebut dengan operational definition.29 Pentingnya definisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dua bius) dari suatu istilah yang dipakai untuk ditemukan suatu kebenaran dengan substansi yang diperlukan“30. Konsep (concept) adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan gejala-gejala tertentu. Kerangka konsepsional

28

Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2003), halaman 27.

29

Soerjono soekanto, Pengantar Penelitihan Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia -Press, 1986), halaman 133.

30

(40)

merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan

diteliti.31

Dalam penulisan tesis ini diperlukan konsepsi yang merupakan definisi operasional

dari istilah-istilah yang dipergunakan untuk menghindari perbedaan penafsiran. Istilah–

istilah tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penetapan Luas Tanah Pertanian dilakukan dengan peraturan

perundang-undangan sedangkan tanah yang kelebihan dari batas maksimun dibagikan kepada

rakyat yang membutuhkannya menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah;

2. Pengujian undang-undang adalah suatu kewenangan untuk menyelidiki dan

kemudian menilai, apakah peraturan perundangan-undangan isinya sesuai atau

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu

kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu;

3. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara yang termasuk salah satu pelaku

kekuasaan kehakiman yang melakukan fungsi peradilan dalam menangani

permasalahan ketatanegaraan berdasarkan otoritas Undang-Undang Dasar 1945;

4. Konstitusi adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa dan merupakan

dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa.32 Didalamnya terdapat berbagai aturan

pokok yang berkaitan dengan kedaulatan, pembagian kekuasaan,

lembaga-lembaga negara, cita-cita dan ideologi negara, masalah ekonomi, dan sebagainya.

31

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), halaman 20.

32

(41)

Namun mengenai unsur ketetapannya tidak ada kesepakatan di kalangan para

ahli;33

5. Hak menguji material adalah suatu kewenangan untuk menyelidiki dan kemudian

menilai, apakah peraturan perundangan-undangan isinya sesuai atau bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan

tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu, Jadi hak menguji material ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam

hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya;34

6. Hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang

Dasar1945;

7. Land reform adalah perombakan mengenai pemilikan dan menguasaan tanah serta hubungan-hubungan yang bersangkutan dengan pengusahaan tanah;35

8. Tanah Absentee adalah tanah yang dimiliki seseorang (pemilik), dimana orang tersebut bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letaknya tanah tersebut;36

33

H. Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), halaman 49.

34

Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), halaman 11. lihat bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, H.M. Laica Marzuki, dkk, Menjaga Denyut Konstitusi Reflkesi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2004), halaman 4. menyatakan bahwa ide pembentukan Mahkamah Konstitusi berkaitan erat dengan ide untuk mengembangkan fungsi pengujian Undang-undang yang dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam sejarah awal pembentukan negara kita.

35

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid I, Edisi Revisi, (Jakarta: Djambatan, 2005), halaman 364.

36

(42)

9. Latifundia adalah larangan penguasaan tanah yang luas kali sehingga ada batas maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian ( ceiling ) atas kepemilikan tanah;37

10. Ceiling adalah maksimunisasi pemilikan tanah pertanian yang boleh dimiliki sehingga setiap kelebihan harus diserahkan kepada Pemerintah untuk dibagikan

kepada petani tanpa tanah atau petani gurem;

11. Petani adalah orang baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai sawah

sendiri, yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk

pertanian;

12. Redistribusi adalah pembagian tanah yang melebihi batas maksimum, tanah yang

dikuasai secara absentee, tanah swapraja atau bekas swapraja dan tanah negara lainnya kepada para petani yang belum mempunyai tanah pertanian yang diambl

oleh Pemerintah.

G. Metodologi Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan

untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.38

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,

37

A.P Parlindungan. Op.Cit, halaman 72. 38

(43)

sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.39

Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami

obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.40 Dengan

demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan

suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu.

Sehubungan dengan itu dalam kegiatan penelitian yang akan dilakukan

sehubungan dengan permasalahan tersebut sebelumnya dapat dikemukakan beberapa

hal diantaranya:

1. Spesifikasi Penelitian

Istilah metode berasal dari bahasa yunani dengan asal kata methods yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan penelitian yang menyangkut tentang cara

kerja yang berfungsi untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan.41

Dari judul dan masalah yang akan dibahas di dalam penelitian ini, maka

penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Disebut demikian karena penelitian ini

merupakan penelitian yang memaparkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta

atau individu, kelompok atau keadaan, dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang

39

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), halaman 6.

40

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia-Hill Co, 1990), halaman 106.

(44)

terjadi.42 Sehingga penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskriptif atau

gambaran yang seteliti mungkin tentang kajian hukum mengenai masalah Penetapan

Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan MK No; 11/PUU–V/2007 yakni :

Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Terhadap UUD 1945) yang

dikaitkan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, kemudian

melakukan pengumpulan dan pengolahan data-data tersebut sehingga diperoleh

gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus :

Putusan MK No; 11/PUU–V/2007 yakni : Pengujian Undang-undang Nomor 56 Prp

Tahun 1960 Terhadap UUD 1945) merupakan suatu penelitian yuridis normatif.

Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis

terhadap norma hukum, baik hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan,

maupun hukum dalam bentuk putusan-putusan pengadilan. Selain itu dipergunakan

juga dokumen-dokumen dan teori-teori berkaitan dengan permasalahan yang dibahas

dalam tesis ini.

3. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan studi dokumen maka data sekunder atau bahan

pustaka lebih diutamakan dari pada data primer.

Data skunder yang diteliti terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari :

42

(45)

1) Undang-Undang Dasar 1945.

2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria.

3) Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah

pertanian.

4) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

5) Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan masalah pertanahan.

6) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007.

7) Keputusan-keputusan Menteri Agraria serta peraturan pelaksanaannya yang

berkaitan dengan topik.

8) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

b. Bahan Hukum Skunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan

hukum primer yang terdiri dari :

1) Tulisan atau pendapat pakar hukum dan pakar hukum tentang hak atas tanah.

2) Hasil penelitian yang merupakan data dari studi dokumen.

3) Karya-karya ilmiah

4) Makalah dan simposium di bidang pertanahan.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu penjelasan sebagai informasi lebih lanjut mengenai

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari :

1) Kamus Umum Bahasa Indonesia.

2) Kamus Sosiologi dan tulisan serta pendapat pakar yang berkaitan dengan

sosiologi hukum.

(46)

4) Berbagai majalah Hukum pertanahan, notaris dan kliping dari media massa

dan internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti tersebut.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang mendukung penelitian, dikaitkan dengan jenis

penelitian hukum normatif, maka metode pengumpulan data adalah menggunakan

penelitian kepustakaan (Library research) yang dilakukan dibeberapa perpustakaan di Perguruan Tinggi dan Instansi Pemerintah. Penelitian kepustakaan ini dilakukan

untuk memperoleh data sekunder baik bahan hukum primer maupun bahan sekunder

yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

5. Alat Pengumpulan Data

Agar dapat memperoleh data yang objektif dan dapat dibuktikan

kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka alat pengumpulan

data yang digunakan didalam penelitian ini adalah studi dokumen dan bahan pustaka.

Bahan pustaka yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer yaitu peraturan

perundang-undangan, dokumen-dokumen dan teori yang berkaitan dengan penelitian

ini.

6. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam

rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti. Sebelum analisis

dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data

(47)

Untuk selanjutnya diadakan pengelompokan terhadap data yang sejenis untuk

kepentingan analisis dan penulisan. Sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data

dengan pendekatan kualitatif Artinya data kepustakaan dianalisis secara mendalam, holistik, dan komprehensif.

Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan diolah, kemudian

dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode

induktif43 dan deduktif.44 Dengan metode ini kemudian diperoleh kesesuaian antara

pelaksanaan kajian hukum terhadap Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus :

Putusan MK No. 11/PUU–V/2007 yakni : Pengujian Undang-undang No : 56 Prp

Tahun 1960 Terhadap UUD 1945.

43

Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), halaman 10. Prosedur Induktif yaitu Proses berasal dari proporsi-proporsi khusus (sebagai hasil pengamatan dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum. Dalam Prosedur induktif setiap proposisi itu hanya boleh dianggap benar untuk proposisi ini yang diperoleh dari hasil penarikan kesimpulan dari proposisi-proposisi yang kebenaran empiris.

44

(48)

BAB II

MAHKAMAH KONSTITUSI MENOLAK PERMOHONAN YANG DIAJUKAN OLEH PEMOHON

A. Penyelenggaraan Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Secara etimologis antara kata “konstitusi”, konstitusional”, dan “konstitusionalisme” ini segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang, Peraturan Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah), atau Undang-Undang Dasar suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi maknanya sama, namun penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah situasi, berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional. Berbeda halnya dengan konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.45

Konstitusi memiliki dua pengertian yaitu Konstitusi tertulis (Undang-Undang

Dasar) dan Konstitusi tidak tertulis (Konvensi). Negara Inggris merupakan contoh negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis.46 Dalam berbagai literatur hukum tata

negara maupun ilmu politik kajian tentang ruang lingkup paham konstitusi

(Konstitusionalisme) terdiri dari :

1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum. 2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

3. Peradilan yang bebas dan mandiri.

4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (Akuntabilitas Publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.47

45

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pustaka, 1991), halaman 521.

46

M.Solly Lubis, Asas- Asas Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1978), halaman 45. 47

(49)

Keempat prinsip atau ajaran di atas merupakan ”maskot” bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara)

meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, namun tidak

diimplementasikan. Dalam praktik penyelenggaraan bernegara, maka belumlah dapat

dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.48

Sedangkan istilah Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang dalam

bahasa Belandanya Groundwet. Perkataan wet diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang-undang, dan ground berarti tanah atau dasar.49

Mencermati dikotomi antara istilah Constitution dengan Grondwet (Undang Undang Dasar) di atas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan secara jelas di antara keduanya, kalau Grondwet (Undang Undang Dasar) adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan Constitution (Konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sementara Sri Soemantri M., dalam disertasinya

mengartikan konstitusi sama dengan Undang Undang Dasar.50 Penyamanan arti dari

keduanya ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara

dunia termasuk di Indonesia .

Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan

menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka Undang Undang Dasar dapat

dipandang sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana

48

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 1995), halaman 16.

49

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Op.Cit, halaman 8. 50

(50)

kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara badan

legislatif, eksekutif dan yudikatif. Undang Undang Dasar menentukan cara-cara

bagaimana pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama

lain, Undang Undang Dasar merekam hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu

negara.

Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasional,

dipakai istilah Constitution yang dalam bahasa Indonesia disebut Konstitusi.51 Pengertian Konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas dari pada pengertian

Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian

Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Constitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis

maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu

pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.52

Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dari dua kata, yaitu

cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti ”bersama dengan ....” sedangkan statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti ”membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan atau menetapkan”. Dengan demikian bentuk tunggal

51

Sri Soemantri, Susunan Ketatanegaraan Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 1993), halaman 29.

52

Referensi

Dokumen terkait

Analisis sperma yang dimaksud meliputi pemeriksaan jumlah milt yang dapat distriping dari seekor ikan jantan masak kelamin, kekentalan sperma, warna, bau,  jumlah

Berdasarkan dari definisi di atas dapat dimaknai bahwa kebijakan publik itu berisi sejumlah keputusan yang terangkai (tidak tunggal tetapi banyak keputusan dan

Sebagai kegiatan-dalam, kecakapan hidup berkaitan dengan apa yang sedang berlangsung dalam diri seseorang, yaitu bagaimana seseorang berpikir atau keterampilan berpikir,

Berkaitan dengan sestodosis pada peternakan ayam, maka dinamika populasi sestoda dewasa pada ayam dan metasestoda pada serangga yang berpotensi sebagai inang antaranya serta

Sebaiknya Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Toba Samosir dalam hal jumlah dan pengadaan fasilitas baik sarana dan prasarana penunjang lainnya yang ada perlu

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara workplace bullying dan komunikasi interpersonal dengan

Maka implikasinya, penerapan latihan manipulatif dapat dilakukan oleh guru dalam meningkatkan kemampuan gross motor (motorik kasar) pada peserta didik dengan autisme yang

Dengan demikian faktor yang mempengaruhi pembinaan akhlak pada anak ada dua, yaitu dari dalam merupakan potensi fisik, imtelektual dan hati (rohaniah) yang dibawa