• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelum menguraikan pengatuan

penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Terlebih dahulu, penulis menjelaskan mengenai pengertian

penyalahgunaan posisi dominan. Istilah

penyalahgunaan posisi dominan terdiri dari kata-kata penyalahgunaan, posisi, dan dominan. Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata

24

71

“penyalahgunaan” adalah suatu proses, cara,

perbuatan penyalahgunaan atau perbuatan

penyelewengan (penyimpangan atau pengkhianatan), sedangkan arti kata “posisi” adalah kedudukan (orang atau barang) sementara arti kata “dominan” adalah bersifat sangat menentukan karena kekuasaan,

pengaruh, tampak menonjol.25 Oleh karena itu,

penyalahgunaan posisi dominan berarti proses, cara, perbuatan menyelewengkan kedudukan yang bersifat sangat menentukan karena memiliki kekuasaan atau pengaruh (dalam hal kegiatan ekonomi).

Arie Siswanto (2004), menyatakan dalam

bukunya yang berjudul Hukum Persaingan Usaha bahwa penyalahgunaan posisi dominan ini merupakan praktik yang memiliki cakupan luas. Ketika seorang pelaku usaha yang memiliki posisi dominasi ekonomi melalui kontrak mensyaratkan agar konsumenya tidak berhubungan dengan pesaingnya, maka ia dianggap telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Demikian juga apabila pelaku usaha yang memegang

posisi dominan dengan basis “take it or leave it”

membuat penentuan harga di luar kewajaran.26

25

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

26

Arie Siswanto, Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Bogor Selatan, 2004, hal. 45

72

Istilah penyalahgunaan posisi dominan berasal

dan dialihbahasakan dari bahasa Inggris abuse of

dominant position. Istilah ini merupakan istilah hukum yang digunakan dan diatur substansinya dalam UU

No. 5 Tahun 1999. Akan tetapi defenisi

penyalahgunaan posisi dominan tidak ditemukan dalam UU tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan

bahwa pembentuk undang-undang menyerahkan

definisi penyalahgunaan posisi dominan kepada

doktrin, kebiasaan (praktik hukum), dan

yurisprudensi yang mencakup uraian definisi,

batasan, unsur-unsur, ciri-ciri dan kriteria yang

mengabstraksikan penyalahgunaan posisi dominan.27

Selanjutnya penulis menguraikan pengaturan penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tidak dilarang oleh UU No. 5/1999, asalkan pencapaian posisi dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha yang sehat atau fair. Yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah apabila pelaku usaha tersebut menyalahgunakan posisi dominannya.

Pertanyaannya adalah bagaimana pelaku usaha

melakukan penyalahgunaan posisi dominannya

27

http://budiyana.wordpress.com/2008/01/21/konsepsi-penyalahgunaan-posisi-dominan/

73

sehingga pasar dapat terdistorsi. Bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan atau hambatan-hambatan persaingan usaha yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat 1. Ketentuan Pasal tersebut menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :

a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan

tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing dari segi harga maupun kualitas; atau

b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi;

atau

c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi

menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.

Untuk memahami lebih dalam mengenai isi Pasal 25 ini, maka penulis melakukan penafsiran berdasarkan Buku Ajar Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan

Konteks28, yang menjelaskan mengenai isi Pasal 25

ayat 1 tersebut, yaitu:

28

Lubis, Andi Fahmi (dkk.), Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,

74

a. Mencegah atau menghalangi konsumen

Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat melakukan suatu tindakan untuk mencegah atau menghalangi konsumen untuk memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat perdagangan. Syarat utama yang harus dipenuhi oleh ketentuan Pasal 25 ayat 1 huruf a adalah syarat

perdagangan yang dapat mencegah konsumen

memperoleh barang yang bersaing baik dari segi harga maupun dari segi kualitas. Dapat disimpulkan bahwa konsumen telah mempunyai hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan.

Pertanyaannya adalah mengapa pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat mengontrol konsumen atau pembeli untuk tidak membeli barang dari pesaingnya? Biasanya konsumen tersebut ada

ketergantungan terhadap pelaku usaha yang

mempunyai posisi dominan. Posisi dominan pelaku usaha yang dapat mencegah konsumen untuk tidak memperoleh barang atau jasa dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah sangat kuat. Dikatakan sangat kuat, karena pelaku usaha

tersebut dapat mengontrol perilaku konsumen

75

dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut. Mengapa pelaku usaha yang

mempunyai posisi dominan dapat mengontrol

konsumen/pembeli tersebut? karena pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan menetapkan syarat-syarat perdagangan di depan, yaitu pada waktu konsumen/ pembeli mengadakan hubungan bisnis dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut. Hal ini memang agak jarang ditemukan di dalam aturan hukum persaingan usaha negara lain. Yang sering terjadi adalah bahwa pelaku usaha posisi dominan menolak pelaku usaha yang lain (pembeli) untuk mendapatkan barang dari pelaku usaha yang

mempunyai posisi dominan tersebut (refusal to deal).

b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat membatasi pasar. Pengertian membatasi pasar di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi pasar yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk dapat bersaing di

76

pasar yang bersangkutan. Bentuk-bentuk membatasi pasar dapat dilakukan berupa melakukan hambatan

masuk pasar (entry barrier), mengatur pasokan barang

di pasar atau membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa di pasar yang

bersangkutan29 dan melakukan jual rugi yang akan

menyingkirkan persaingnya dari pasar.30 Termasuk

melakukan perjanjian tertutup31 dan praktik

diskriminasi32 dapat dikategorikan suatu tindakan

membatasi pasar.

Misalnya definisi diskriminasi tidak ada ditetapkan di dalam UU No. 5/1999. Secara umum tindakan diskriminasi dapat diartikan bahwa seseorang atau pelaku usaha memperlakukan pelaku usaha lain secara istimewa, dan pihak lain pelaku usaha lain tidak boleh menikmati keistimewaan tersebut, atau ditolak. Atau pelaku usaha yang menguasai suatu

fasilitas jaringan teknologi tertentu (essential facilities

doctrine) yang seharusnya dapat dibagikan kepada pelaku usaha pesaingnya asalkan tidak mengganggu sistem jaringan teknologi tersebut jika dibagikan kepada pelaku usaha pesaingnya. Tentu pelaku usaha

29

Pasal 19 huruf c UU No. 5 tahun 1999.

30 Ibid., Pasal. 20 31 Ibid., Pasal. 15 32 Ibid., Pasal. 19

77

yang menikmati jaringan teknologi harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi penggunaan jaringan tersebut.

Penyalahgunaan yang lain yang diatur di dalam 25 ayat (1) huruf b adalah membatasi pengembangan teknologi. Sebenarnya pengembangan teknologi adalah merupakan hak monopoli pelaku usaha tertentu yang

menemukannya menjadi hak atas kekayaan

intelektual penemunya. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5/1999 yang mengecualikan hak atas kekayaan intelektual. Oleh karena itu, pengertian pembatasan pengembangan teknologi harus diinterpretasikan sebagai upaya pelaku usaha tertentu terhadap pengembangan

teknologi yang dilakukan oleh pelaku usaha

pesaingnya untuk meningkatkan produksi barang baik segi kualitas mapun kuantitas.

c. Menghambat pesaing potensial

Bentuk penyalagunaan posisi dominan yang dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah menghambat pelaku usaha yang lain yang berpotensi menjadi pesaing di pasar yang bersangkutan. Ketentuan ini ada kesamaan dengan

78

larangan Pasal 19 huruf a yang menetapan menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Di dalam hukum persaingan usaha dikenal apa yang disebut dengan pesaing faktual dan

pesaing potensial.33 Pesaing faktual adalah pelaku

usaha-pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha yang sama di pasar yang bersangkutan. Sedangkan

pesaing potensial adalah pelaku usaha yang

mempunyai potensi yang ingin masuk ke pasar yang bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri maupun pelaku usaha dari luar negeri. Hambatan masuk pasar bagi pesaing potensial yang dilakukan oleh perusahaan swasta dan hambatan masuk pasar

oleh karena kebijakan-kebijakan Negara atau

pemerintah.

Hambatan masuk pasar oleh pelaku usaha posisi dominan swasta adalah penguasaan produk suatu barang mulai proses produki dari hulu ke hilir hingga

pendistribusian – sehingga perusahaan tersebut

demikian kokoh pada sektor tertentu mengakibatkan pelaku usaha potensial tidak mampu masu ke pasar yang bersangkautan. Sedangkan hambatan masuk

33

Silalahi, Udin, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol: Bagaimana Cara Memenangkan?, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007.

79

pasar akibat kebijakan negara atau pemerintah ada dua, yaitu hambatan masuk pasar secara struktur dan strategis. Hambatan masuk pasar secara struktur adalah dalam kaitan sistem paten dan lisensi. Sementara hambatan masuk pasar secara strategis

adalah kebijakan-kebijakan yang memberikan

perlindungan atau perlakuan khusus bagi pelaku usaha tertentu, akibatnya pesaing potensial tidak dapat masuk ke dalam pasar. Jadi, di dalam hukum persaingan usaha ukuran yang sangat penting adalah bahwa pesaing potensial bebas keluar masuk ke pasar yang bersangkutan.

Selain pelaku usaha yang dominan dapat

melakukan penyalahgunaan posisi dominannya

sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 25 ayat 1 tersebut, pelaku usaha tersebut dapat juga melakukan perilaku yang diskriminatif, baik diskriminasi harga

dan non harga dan jual rugi (predatory pricing).

Peraturan KPPU No.6 tahun 2010 tentang

pedoman pelaksanaan Pasal 25 tentang

penyalahgunaan posisi dominan berdasarkan UU No.5

tahun 1999, menguraikan konsep dasar

penyalahgunaan posisi dominan yaitu pertama, penentuan posisi dominan, dan kedua, melakukan tindakan yang bersifat antipersaingan. Konsep dasar

80

ini berawal dari pemikiran bahwa penyalahgunaan

posisi dominan (abuse of dominant position) muncul

ketika pelaku usaha memiliki kekuatan secara ekonomi yang memungkinkan pelaku usaha yang bersangkutan untuk beroperasi di pasar tanpa terpengaruh oleh persaingan dan melakukan tindakan

yang dapat mengurangi persaingan (lessen

competition).

a. Perilaku Eksklusif

PPD biasanya dapat dilihat dari perilaku strategis

perusahaan atau strategic behavior. Strategic behavior

adalah sebuah konsep bagaimana sebuah perusahaan dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing potensial yang baru akan bermain di pasar yang pada

dasarnya ditujukan untuk menigkatkan profit

perusahaan. Perilaku ini tidak hanya dipusatkan pada penetapan harga maupun kualitas secara sederhana. Namun lebih kompleks lagi mengejar pangsa pasar, memperlebar kapasitas, hingga mempersempit ruang gerak pesaing.

Strategic behavior terdiri dari dua tipe yaitu, dalam bentuk kooperatif maupun non kooperatif. Strategic behavior kooperatif diciptakan untuk mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan

81

semua perusahaan untuk berkoordinasi dan

membatasi respon pesaingnya. Bentuk Strategic

behavior kooperatif ini mampu meningkatkan profit semua perusahaan yang bermain di pasar dengan meminimalisir persaingan. Konsep kedua ini mengacu pada perilaku kolusif yang dimotori oleh perusahaan

dominan. Perilaku Price Leadership termasuk ke dalam

tipe kedua ini. Sementara Strategic behavior yang

bersifat non kooperatif mengacu pada tindakan pelaku usaha yang mencoba meningkatkan profit dengan meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing. Pelaku usaha tidak melakukan kerjasama satu sama

lain. Strategic behavior jenis ini biasanya

meningkatkan profit satu perusahaan dan

menurunkan profit perusahaan pesaing.

Perilaku strategis yang termasuk dalam kategori bersifat non kooperatif ini dapat diistilahkan sebagai

perilaku eksklusif (exclusionary strategic behavior).

Perilaku ekslusif ini merupakan perilaku perusahaan dominan untuk membatasi atau menyingkirkan perusahaan pesaingnya, yang terdiri dari dua kategori yaitu perilaku harga dan perilaku non-harga.

Khusus mengenai perilaku yang menggunakan

instrumen harga, terbagi atas dua jenis yaitu Predatory pricing dan limit pricing. Dua jenis model ini

82

melibatkan kebijakan perusahaan yang dirancang

untuk membuat pesaing tidak tertarik untuk

berkompetisi di pasar. Perusahaan dominan biasanya memanfaatkan keunggulan posisinya (baik dalam hal kemampuan produksi, distribusi, akses kepada pasokan, maupun keuangan) ketika melakukan strategi perusahaan dalam mengejar pasar.

1. Predatory Pricing

Predatory Pricing merupakan tindakan dari sebuah perusahaan dominan yang mengeluarkan pesaingnya dengan cara menetapkan harga di bawah biaya produksi. Akan tetapi dalam praktiknya juga digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar. Begitu semua pesaing telah keluar, maka pelaku usaha dominan langsung menaikkan harga. Selama periode praktik predatori ini, pelaku usaha dominan kehilangan keuntungan dan mengalami kerugian melebihi kerugian pesaingnya. Pelaku usaha dominan harus mendapatkan semua permintaan pada tingkat harga yang rendah. Sehingga dapat memelihara harga yang rendah. Akan tetapi, pesaing masih bebas

menentukan output guna mengurangi kerugiannya.

Tentu saja, selama periode Predatory Pricing ini,

83

pesaingnya. Dalam periode ini, konsumenlah yang memperoleh manfaat, konsumen dapat membeli produk yang murah. Namun setelah periode ini selesai, ketika harga harga meningkat pada level yang lebih tinggi (pada harga monopoli), maka konsumen akan mengalami kerugian.

Andaikata praktik ini berhasil hingga memaksa pesaing bangkrut, maka dapat dipastikan aset pesaing secara permanen dapat ditarik keluar dari industri atau paling tidak dapat dikuasai oleh predator. Jika tidak, perusahaa lainnya akan masuk dan membeli aset tersebut dan persaingan kembali tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, strategi yang paling jitu supaya praktik ini berhasil adalah membuat pesaing bangkrut dan membeli semua aset pesaing dengan harga penawaran.

2. Limit Pricing

Strategic behavoir lainnya yang juga termasuk

perilaku penyalahgunaan posisi dominan adalah Limit

Pricing. Konsep sederhana Limit Pricing, potential entrant percaya bahwa pelaku usaha dominan tidak

mengubah level outputnya setelah ada pemain baru.

Oleh karena itu, pemain baru akan percaya bahwa

84

ditambah output incumbent. Pada model ini, dominan

memilih level output dan harga untuk menghilangkan

insentif perusahaan untuk masuk ke pasar. Sehingga dengan memilih pembatasan produksi, pelaku usaha

dominan mampu mengenakan Limit Pricing pada harga

tinggi, meskipun sebetulnya pelaku usaha dominan

tidak harus berproduksi sebanyak pembatasan

produksi, hal itu dilakukan dalam rangka menghalangi pesaing masuk, dan memberi ancaman saja dengan sinyal jika pesaing benar-benar masuk.

b. Dampak PPD terhadap persaingan dan

konsumen.

Adanya PPD di pasar, maka hampir dipastikan terjadi peningkatan tingkat kosentrasi di suatu

industri yang menjadi indikasi peningkatan market

power pelaku usaha dalam industri tersebut.

Peningkatan market power memberikan keleluasaan

bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga (price

maker). Ada tidaknya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha, dapat diindikasikan dengan tingginya harga jual produk, relatif dengan produk substitusi, relatif dengan biaya produksi dan tingginya margin keuntungan pelaku usaha di pasar bersangkutan. Ada dua jenis dampak dari PPD ini yakni dampak

85

terhadap persaingan dan dampak terhadap

konsumen.

1. Dampak terhadap persaingan

Pada indsutri dimana terdapat pelaku usaha

dominan, tingginya market power perusahaan

dominan relatif terhadap para pesaingnya,

memudahkan pelaku usaha tersebut untuk

menentukan output dan harga tanpa terpengaruh

keputusan pesaing. Terdapat dua bentuk dampak

yang diakibatkan oleh penyalahgunaan posisi

dominan.

Dampak yang pertama muncul sebagai akibat dari

penerapan perilaku strategis yang bersifat kooperatif. Keputusan pelaku usaha dominan untuk menetapkan

harga tinggi sebagai bentuk penggunaan market power

secara optimum akan menjadi pelindung dan insentif bagi pesaing-pesaingnya untuk turut menikmati harga yang tinggi tersebut. Fenomena ini adalah bentuk dari

munculnya price leadership. Price leadership yang

menjelaskan bahwa pelaku usaha dominan

mempunyai kekuatan sebagai price setter (penentu

harga). Harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha dominan kemudian akan diikuti oleh pelaku-pelaku

86

leadership dalam suatu industri menyebabkan pilihan konsumen untuk menikmati harga yang lebih murah

menjadi terhambat. Indikasi terjadinya Price leadership

adalah tingginya harga produk, serta tingginya margin keuntungan antar pelaku usaha.

Dampak yang kedua adalah hasil dari perilaku

strategis yang bersifat non kooperatif. Berdasarkan uraian sebelumnya terlihat bahwa penerapan strategi

ini akan mampu membatasi atau mempersempit ruang

gerak bagi para pemain baru yang akan masuk ke

dalam industri, dan bahkan mampu mengeluarkan

atau membangkrutkan pelaku usaha pesaingnya.

2. Dampak terhadap konsumen

Pada periode Predatory Pricing dimana pelaku

usaha dominan menetapkan harga yang

serendah-rendahnya, tentu saja konsumen mendapatkan

dampak positif yakni terjadi peningkatan consumer

surplus. Akan tetapi setelah periode Predatory Pricing tersebut berakhir, dan perusahaan dominan telah berhasil „mengusir‟ pesaingnya keluar dan bersiap untuk melakukan manuver sebagai monopolis, dapat

dipastikan peningkatan harga oleh perusahaan

dominan akan terjadi karena pesaing menjadi lebih sedikit dan nyaris tidak memiliki kekuatan. Sehingga

87

consumer loss yang muncul sebagai akibat dari tingginya harga jual produk dibandingkan dari yang seharusnya dapat dijangkau lebih murah atau

kuantitas output di pasaran yang jumlahnya lebih

rendah atau sedikit dari yang seharusnya konsumen dapatkan menjadi naik. Kerugian konsumen lainnya dengan adanya tindakan PPD ini adalah hilangnya kesempatan konsumen untuk memperoleh harga yang lebih rendah, hilagnya kesempatan konsumen untuk menggunakan layanan yang lebih banyak pada harga

yang sama, kerugian intangible konsumen, serta

terbatasnya alternatif pilihan konsumen.

c. Pembuktian PPD

Pembuktian dugaan PPD, KPPU menggunakan pendekatan yang dibagi atas 3 (tiga) tahap, yakni:

1. Pendefenisian pasar bersangkutan

2. Pembuktian adanya posisi dominan di pasar

bersangkutan

3. Pembuktian apakah pelaku usaha yang yang

memiliki posisi dominan tersebut telah

88

Adapun bagan proses pembuktian PPD ini yaitu Bagan

Proses Pembuktian Pasal 2534

34

Peraturan KPPU Nomor 6 Tahun 2010, tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 25 Tentang Penyalahunaan Posisi Dominan Berdasarkan UU No.5 tahun 1999, Hal. 20 Acuan: Psl 25 ayat 2 -Pangsa pasar >50% -Pangsa pasar >75% Produk dan Geografis Stop Dugaan Pelanggaran Pasal 25 Tahap I: Defenisi Pasar Bersangkutan Tahap II: Pembuktian Posisi Dominan Tahap III: Pembuktian Penyalahgunaan Posisi Dominan Psl 25 ayat 1 poin: A dan/atau B dan/atau C Dugaan Pelanggar an Psl 25 tidak terpenuhi Dugaan Pelanggaran Psl 25 terpenuhi Tidak Memenuhi Memenuhi Memenuhi Stop Tidak Memenuhi

89

Dari bagan di atas, maka penafsiran Pasal 25 ayat (2) semakin jelas. Karena dari baga tersebut, diketahui bahwa ketentuan penguasaan pangsa pasar 50% untuk satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha sebagaimana diatur di dalam Pasal 25 ayat 2 tersebut tidak bersifat absolut. Secara normatif ketentuan Pasal 25 ayat 2

bersifat per se. Artinya, apabila suatu pelaku usaha

sudah menguasai pangsa pasar 50% untuk satu pelaku usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha, maka penguasaan pangsa pasar tersebut

langsung dilarang. Andaikata pendekatan per se

diterapkan kepada Pasal 25, maka sama dengan menghambat tujuan UU No. 5/1999, yaitu mendorong pelaku usaha berkembang berdasarkan persaingan usaha yang sehat. Akan tetapi di dalam praktiknya KPPU telah menerapkan ketentuan Pasal 25 ayat

tersebut dengan pendekatan rule of reason. Hal ini

untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999 yang

menggunakan pendekatan rule of reason dalam

penerapannya. Alasan Pasal 25 harus diterapkan

dengan menggunakan pendekatan rule of reason yaitu

90

maka akan membatasi pertumbuhan (perkembangan) pelaku usaha yang efisien dan inovatif serta kompetitif

di pasar yang bersangkutan.35

Penafsiran serta penerapan seperti ini memang akan memicu perdebatan diantara KPPU dengan praktisi hukum yang menginginkan ketentuan Pasal 25 diterapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 tersebut tanpa perlu menginterpretasikan lebih lanjut. Akan tetapi harus dilihat prinsip dan tujuan hukum persaingan usaha, yaitu bukan untuk menghambat persaingan tetapi untuk mendorong persaingan usaha. Jadi, pelaku usaha yang dapat bersaing dengan sehat dan melakukan efisiensi dan inovasi serta dapat menjadi lebih unggul atau mempunyai posisi dominan lebih dari pada yang ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat (2) tidak seharusnya dilarang. Sekali lagi pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar lebih dari 50% dan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar, tidak dilarang asalkan pencapaian tersebut dicapai dengan persaingan usaha yang sehat atau fair. Sehingga karena ketentuan Pasal 4, 13, 17

35

Lubis , Andi Fahmi, Buku Ajar Hk Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks,

91

dan Pasal 18 menggunakan pendekatan rule of reason,

maka ketentuan Pasal 25 harus diterapkan dengan

pendekatan rule of reason. Kalau tidak demikian,

maka prinsip ketentuan Pasal 25 bertentangan dengan ketentuan Pasal 4, 13, 17, dan Pasal 18 UU No. 5/1999.

Sebaliknya, jika suatu pelaku usaha tidak menguasai pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha (monopoli), tetapi dalam praktiknya dapat melakukan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dapat terjadi tergantung korelasi penguasaan pangsa pasar suatu pelaku usaha yang

mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi

dibandingkan dengan sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh pesaing-pesaingnya.

Misalnya, kalau pelaku usaha A mempunyai pangsa pasar 40% sementara pangsa pasar pesaingnya tersebar kecil-kecil dikuasai oleh 6 pelaku usaha dengan penguasaan pangsa pasar masing-masing 10%, yaitu pelaku usaha B menguasai 10%, C10%, D

Dokumen terkait