44
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab II dalam tesis ini menekankan pada tinjauan
pustaka yang dibagi atas 4 (empat) bagian, yaitu:
Bagian pertama, membahas mengenai posisi dominan
yang berisi pengaturan posisi dominan di Uni Eropa
dan Amerika serta pengaturan posisi dominan di
Indonesia.
Bagian kedua, membahas mengenai penyalahgunaan
posisi dominan yang berisi pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan di Uni Eropa dan
Amerika serta pengaturan penyalahgunaan posisi
dominan di Indonesia.
Bagian ketiga, membahas mengenai pasar
bersangkutan. Alasan penulis memuat sub-bab sendiri
karena pasar bersangkutan ini sama-sama digunakan
dalam pengaturan posisi dominan dan juga
pengaturan penyalahgunaan posisi dominan.
Bagian keempat, membahas mengenai teori tujuan
hukum menurut Roscoe Pound dan Gustav Radbruch.
Kedua teori ini dianggap relevan untuk membahas
mengenai konsep penyalahgunaan posisi dominan di
45
analisis putusan-putusan KPPU mengenai
penyalahgunaan posisi dominan yang menekankan
pada law is a tool of a social engineering. Hukum
sebagai alat „kontrol sosial‟ yang digunakan untuk menjaga kepentingan umum dan mencegah praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya hukum sebagai „alat rekayasa sosial‟ digunakan untuk meningkatkan ekonomi nasional,
dan lain sebagainya. Sementara teori Gustav Radbruch
menekankan pada 3 (tiga) tujuan hukum yaitu
kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga tujuan
hukum ini digunakan untuk menganalis
putusan-putusan KPPU tentang penyalahgunaan posisi
dominan dan dikaitkan atau berdasarkan Pasal 25 UU
No.5 tahun 1999.
A.
Posisi Dominan
1. Pengaturan Posisi Dominan di Uni Eropa dan
Amerika Serikat
a) Uni Eropa
UU Antimonopoli mengikuti EU Article 102 ( ex
Article 82) European Community Treaty yang
menggunakan istilah dominan position. Adapun bunyi
46
“one or more undertakings of a dominant position with
the common market or a substantial part of it shall be
prohibited… such abuse in particular, consist in: (a)
Directly or indirectly imposing unfair purchase or selling
prices or unfair trading conditions; (b) Limiting
production, market or technical development to the
prejudice of consumers; (c) Applying dissimilar conditions
to equivalent transactions with other trading parties,
thereby placing them at a competitive disadvantage; (d)
Making the conclusion of contracts subject to acceptance
by the other parties of supplementary obligations which,
by their nature or according to commercial usage, have
no connection with the subject of such contracts.
Di Uni eropa, dalam kasus continental Can1,
European Commission menyatakan bahwa pelaku usaha mempunyai posisi dominan apabila mempunyai
kekuatan untuk melakukan tindakan secara
independen, tanpa mempertimbangkan
pesaing-pesaingnya, pembeli-pembelinya atau
pemasok-pemasoknya. Posisi dominan terjadi apabila pelaku
usaha dapat menentukan harga, mengontrol produksi
atau distribusi untuk jumlah produk yang signifikan
karena pelaku usaha tersebut mempunyai pangsa
pasar tertentu atau karena mempunyai pangsa pasar
ditambah dengan adanya kemampuan ilmu teknologi
1
Continental Can Co Inc, Re (1972) JO L7/25, (1972) CMLR D … 9, , ,
47
bahan mentah atau modal tertentu.2 Jadi, menurut
European Commission dalam kasus ini, unsur terpenting dalam posisi dominan adalah independensi
dan kekuatan untuk menentukan harga. Pelaku usaha
hanya dikatakan mempunyai posisi dominan apabila
tindakan-tindakannya tidak terhambat oleh
pesaing-pesaingnya.3
Kasus lain yang dapat untuk menjelaskan posisi
dominan di eropa ini yaitu putusan ECJ (European
Court of Justice) yang melibatkan Hoffman La Roche v. Commission of the European Communities) yaitu
“according to the classical test, a dominant position under Article 102 ( ex Article 82) of the Treaty is „a
position of economic strength enjoyed by an undertaking which enables it to prevent effective competition being maintained on the relevant market by affording it the power to behave to an appreciable extent independently of its competitors, its customers and ultimately of the
consumers”.
ECJ (European Court of Justice) dalam Hoffmann-La Roche4 menegaskan bahwa penyalahgunaan (abuse)
2
Ibid
3
M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya,
CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 76
4
48
posisi dominan menurut Pasal 102 European
Community Treaty merupakan konsep yang objektif berkaitan dengan tingkah laku pemegang posisi
dominan yang mempengaruhi struktur pasar yang
menyebabkan persaingan dalam pasar tersebut
menjadi lemah.
b) Amerika Serikat
Posisi dominan di Amerika Serika tidak diatur
secara jelas dalam UU Persaingan Usaha Amerika
Serika, yang diatur hanya penyalahgunaan posisi
dominan. Namun meskipun demikian, dari berbagai
literatur yang dibaca penulis. Posisi dominan di
Amerika menekankan istilah market power5. Pelaku
usaha yang mempunyai substantial market power
secara unilateral dapat menaikkan harga produknya di
atas tingkat harga yang kompetitif dalam waktu yang
cukup lama dengan meraih keuntungan. Pelaku usaha
yang tidak mempunyai substantial market power harus
membutuhkan pelaku usaha lain dengan cara
5
49
membuat perjanjian kolusif (collusive dealing) untuk
melakukan hal yang sama.6
Berbeda dengan pendapat ECJ (European Court
of Justice) yang menekankan faktor independensi,
pengadilan-pengadilan di AS dan Australia
menekankan pada kekuatan untuk mengontrol harga.
Ada beberapa sarjana yang mengatakan bahwa kriteria
independensi yang dipakai oleh ECJ adalah „cacat‟ dan
tidak dapat secara memuaskan membedakan antara
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dan
yang tidak. Beberapa sarjana ini mengatakan bahwa
ukuran yang lebih baik adalah kemampuan untuk
membatasi output secara substansial dalam pasar.7
Kekuatan untuk membatasi output berarti kekuatan
untuk mengontrol harga. Jadi, beberapa sarjana ini
mengikuti ukuran yang dipakai di AS.
2. Pengaturan Posisi Dominan di Indonesia
Pengaturan posisi dominan di Indonesia
tercantum dalam pasal 1 angka (4) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yaitu:
6
M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya,
CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal.76
7
50
“Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa
pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang
atau jasa tertentu”.
Ketentuan ini menetapkan syarat atau parameter
posisi dominan. Syarat yang dimaksud adalah pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau
pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di
pasar yang bersangkutan dalam kaitan pangsa
pasarnya, kemampuan keuangan, kemampuan akses
pada pasokan atau penjualan, dan kemampuan
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau
jasa tertentu.
Syarat yang ditetapkan oleh Pasal 1 angka (4) UU
No. 5/1999 yang penting adalah bahwa pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan mempunyai posisi
tertinggi diantara pesaingnya dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pasa
pasokan atau penjualan, dan kemampuan
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau
jasa tertentu. Namun ketentuan ini tidak menjelaskan
51
pelaku usaha secara kumulatif atau tidak. Artinya,
apakah jika salah satu syarat tersebut dimiliki oleh
pelaku usaha dapat dinyatakan bahwa pelaku usaha
tersebut sudah mempunyai posisi dominan? Dari
pengertian posisi dominan Pasal 1 angka (4) tersebut
dapat diketahui 3 (tiga) unsur penting tersebut
diuraikan dan juga ditafsirkan di bawah ini yaitu8
1. Kemampuan keuangan
Salah satu unsur yang menyatakan bahwa suatu
pelaku usaha mempunyai posisi dominan adalah
apabila pelaku usaha mempunyai keuangan yang lebih
besar (kuat) dibandingkan dengan keuangan pelaku
usaha pesaingnya. Pengertian kemampuan keuangan
suatu pelaku usaha dapat dipahami khususnya
kemampuan ekonomi pelaku usaha tersebut yang
pada pokoknya mempunyai kemungkinan keuangan
artinya kemampuan keuangan yang dimiliki sendiri,
untuk melakukan investasi sejumlah uang tertentu
dan mempunyai akses menjual kepada pasar modal.
Secara sederhana dilihat dari keberadaan pelaku
usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi
(besar) dibandingkan dengan pelaku usaha
8
52
pesaingnya, pelaku usaha yang mempunyai pangsa
pasar yang lebih tinggi akan mempunyai keuangan
yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha
pesaingnya. Karena presentase nilai jual atau beli yang
lebih tinggi atas suatu barang atau jasa tertentu
dibandingkan dengan nilai jual atau beli
pesaing-pesaingnya akan menunjukkan ke kemampuan
keuangan yang lebih kuat atau lebih besar.
Faktor-faktor menetapkan pelaku usaha mempunyai
keuangan yang kuat adalah dapat dilihat dari:
a. Modal dasar
b. Cash flow
Pengertian cash flow adalah aliran kas
perusahaan yang secara riil diterima dan
dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan
operasi, pendanaan, dan investasi.9
Aliran kas yang masuk ke perusahaan disebut
dengan cash in flow, sedangkan aliran kas yang
keluar dari perusahaan dinamai cash out flow.
Aliran kas dapat dibedakan menjadi 3 jenis :
Aliran kas awal (Initial Cash Flow)
merupakan aliran kas yang berkaitan
dengan pengeluaran untuk kegiatan
9
53
investasi misalnya; pembelian tanah,
gedung, biaya pendahuluan dan lain
sebagainya. Aliran kas awal dapat
dikatakan aliran kas keluar (cash out
flow).
Aliran kas operasional (Operational Cash
Flow) merupakan aliran kas yang
berkaitan dengan operasional proyek
seperti penjualan, biaya umum, dan
administrasi. Oleh sebab itu aliran kas
operasional merupakan aliran kas masuk
(cash in flow) dan aliran kas keluar (cash out flow).
Aliran kas akhir (Terminal Cash Flow)
merupakan aliran kas yang berkaitan
dengan nilai sisa proyek (nilai residu)
seperti sisa modal kerja, nilai sisa proyek
yaitu penjualan peralatan proyek.
c. Omzet
Omzet adalah nilai transaksi yang terjadi dalam
hitungan waktu tertentu, misalnya harian,
mingguan, bulanan, tahunan.10
d. Keuntungan
10
54
e. Batas kredit dan
f. Akses ke pasar keuangan nasional dan
internasional.
2. Kemampuan Pada Pasokan atau Penjualan
Unsur kemampuan mengatur pasokan atau
penjualan adalah salah satu ciri pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan. Kemampuan ini dapat
dilakukan oleh suatu pelaku usaha jika memiliki
pangsa pasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pangsa pasar pesaing-pesaingnya. Oleh karena itu
penilaian atau penetapan pangsa pasar pelaku usaha
pada pasar bersangkutan sangat penting. Untuk itu,
pengertian pangsa pasar harus dipahami terlebih
dahulu, yaitu persentase nilai jual atau beli barang
atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha
pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender
tertentu.
Jika pangsa pasar pelaku usaha sudah
ditetapkan, mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi
daripada pesaingnya, maka dapat ditentukan apakah
pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar dalam
persentase tertentu dapat melakukan praktik monopoli
55
yang bersangkutan yaitu melalui kemampuan
pengaturan jumlah pasokan atau penjualan barang
tertentu di pasar yang bersangkutan. Kemampuan
pengaturan pasokan atau penjualan barang atau jasa
tertentu menjadi salah satu bukti bentuk
penyalahgunaan posisi dominan yang dapat dilakukan
oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya tidak
dapat bersaing pada pasar yang bersangkutan.
3. Kemampuan Menyesuaikan Pasokan atau Permintaan
Kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu
pada pasar yang bersangkutan menjadi salah satu
unsur dalam pengertian posisi dominan yang
ditetapkan di dalam Pasal 1 angka (4). Pada prinsipnya
kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan
atas suatu barang atau jasa tertentu pada pasar yang
bersangkutan mempunyai kesamaan dengan
kemampuan mengatur pasokan atau penjualan barang
atau jasa tertentu. Pelaku usaha yang mempunyai
posisi dominan mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan atau permintaan pada pasar
56
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada
pasar yang bersangkutan penting untuk dilakukan.
Selanjutnya penulis menyinggung mengenai monopoli.
Secara harafiah, monopoli berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata „monos‟ yang artinya sendiri dan „polein‟ yang artinya penjual. Sehingga monopoli diartikan sebagai suatu kondisi di mana hanya ada
satu penjual yang menawarkan suatu barang atau
jasa tertentu. Sedangkan definisi monopoli menurut
UU larangan praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat adalah penguasaan atas produksi
dan/atau pemasaran barang dan/atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha.11
Istilah monopoli sering kali dipakai untuk
menunjuk 3 (tiga) titik berat yang berbeda yaitu12:
a. Menggambarkan suatu struktur pasar dalam hal
ini keadaan koleratif permintaan dan
penawaran.
b. Menggambarkan suatu posisi dalam hal ini
monopoli bisa dilakukan oleh lebih dari satu
penjual yang membuat keputusan bersama
tentang produksi dan harga.
11
Pasal 1 angka (1) UU No.5 tahun 1999.
12
57
c. Menggambarkan kekuatan yang dipegang oleh
penjual untuk menguasai penawaran,
menentukan harga serta memanipulasi harga.
Pada dasarnya monopoli sering kali
dikategorikan sebagai hal yang negatif, akan tetapi
monopoli juga ternyata memiliki manfaat salah
satunya ialah memaksimalkan efisiensi pengelolaan
sumber daya ekonomi tertentu. Hal ini terjadi apabila
sumber daya alam minyak bumi dikelola oleh satu
unit usaha tunggal yang besar, maka ada
kemungkinan terhadap biaya-biaya tertentu akan bisa
dihindari. Adapun jenis-jenis monopoli yaitu13:
1) Monopoli yang terjadi karena memang
dikehendaki oleh Undang-Undang
(monopoly by law).
Jenis monopoli seperti ini, ada dalam
Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki
adanya monopoli Negara untuk menguasai
bumi dan air berikut kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, serta
cabang-cabang produksi yang menguasai hajat
hidup orang banyak.
Selain itu, Undang-Undang juga
memberikan hak istimewa dan
13
58
perlindungan hukum dalam jangka waktu
tertentu terhadap pelaku usaha yang
memenuhi syarat tertentu atas hasil riset
dan inovasi yang dilakukan sebagai hasil
pengembangan terknologi yang
bermanfaat bagi umat manusia.
Pemberian hak-hak ekslusif atas
penemuan baru, baik yang berasal dari
hak atas kekayaan intelektual seperti hak
cipta dan hak atas kekayaan industri
seperti paten, merek, desain produksi,
rahasia dagang, dan lain-lain. Semuanya
itu pada dasarnya merupakan bentuk lain
monopoli yang diakui dan dilindungi oleh
Undang-Undang.
2) Monopoli yang lahir dan tumbuh secara alamiah karena didukung oleh iklim dan lingkungan usaha yang sehat (monopoly by nature).
Seperti yang diuraikan di atas, monopoli
bukanlah merupakan suatu perbuatan
jahat atau terlarang apabila kedudukan
tersebut diperoleh dengan
59
kemampuan prediksi dan naluri bisnis
yang professional.
Kemampuan sumber daya manusia yang
professional, kerja keras, dan strategi
bisnis yang tepat dalam mempertahankan
posisinya akan membuat suatu
perusahaan memiliki kinerja yang unggul
(superior skill) sehingga tumbuh secara
cepat dengan menawarkan suatu
kombinasi antara kualitas dan harga
barang atau jasa serta pelayanan
sebagaimana dikehendaki konsumen.
Sehingga perusahaan tersebut dapat
menyediakan keluaran (output) yang lebih
efisien daripada apa yang dihasilkan oleh
perusahaan-perusahaan yang lainnya,
Pada akhirnya, perusahaan ini mampu
mengelola secara tepat 5 (lima) faktor
persaingan yang menentukan kemampuan
laba industri dalam hal ini daya tawar
menawar pemasok, ancaman pendatang
baru, daya tawar menawar pembeli,
ancaman produk atau jasa substitusi, dan
persaingan diantara perusahaan yang ada.
60
bila untuk suatu ukuran pasar akan lebih
efisien bila hanya ada satu pelaku usaha
atau perusahaan yang melayani pasar
tersebut. Perusahaan lain dalam hal ini
perusahaan kedua yang memasuki arena
persaingan akan menderita rugi dan
tersingkir secara alamiah, karena ukuran
pasar yang tidak memungkinkan adanya
pendatang bagi pelaku usaha baru.
3) Monopoli yang diperoleh melalui lisensi
dengan menggunakan mekanisme
kekuasaan (monopoly by license).
Jenis monopoli seperti ini dapat terjadi
oleh karena adanya kolusi antara para
pelaku usaha dengan birokrat pemerintah.
Kehadiran monopoli seperti ini
menimbulkan distorsi ekonomi karena
mengganggu bekerjanya mekanisme pasar
yang efisien.
Berbagai kelompok usaha yang dekat
dengan pusat kekuasaan dalam
pemerintahan pada umumnya memiliki
kecenderungan melakukan perbuatan
yang mencederai semangat persaingan
61
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kalau posisi dominan menekankan pada keadaan di
mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang
berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha
mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Sementara monopoli menekankan pada penguasaan
atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha.
Pelaku usaha posisi dominan dan pelaku usaha
monopoli memiliki kesamaan dalam hal ini
mempunyai dua pengaruh terhadap harga dan
sama-sama dapat menciptakan rintangan masuk pasar bagi
pelaku usaha lain yang mau memasuki pasar
bersangkutan. Pengaruh terhadap harga ini seringkali
atau tidak selalu meningkatkan tingkat harga untuk
memperoleh keuntungan lebih dan menggunakan
diskriminasi harga.
Sementara perbedaannya adalah pelaku usaha yang
62
konsumen sebab mungkin dengan menaikan tingkat
harga kemungkinan akan memicu konsumen pelaku
usaha posisi dominan tersebut untuk beralih ke
pesaingnya. Pelaku usaha yang memiliki posisi
dominan masih memberikan sedikit ruang bagi pelaku
usaha lain untuk berpartisipasi di pasar, sedangkan
pelaku usaha yang monopolis memiliki ruang gerak
yang cukup besar tanpa harus memperhatikan reaksi
konsumen ketika menaikan tingkat harga dan
hambatan yang diciptakan pelaku usaha monopoli
sangat kuat.
B.
Penyalahgunaan Posisi Dominan
1. Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan di
Uni Eropa dan Amerika Serikat.
a. Uni Eropa
Dasar pelarangan penyalahgunaan posisi
dominan di negara-negara Uni Eropa yaitu EU Article
102 ( ex Article 82) European Community Treaty yang berjudul Treaty Establishing The European Economic Community,14 yaitu:
Any abuse by one or more undertakings of a dominant
position within the common market or in a substantial part
14
63
of it shall be prohibited as incompatible with the common
market in so far as it may affect trade between Member
States. Such abuse may, in particular, consist in:
(a) directly or indirectly imposing unfair purchase or
selling prices or unfair trading conditions;
(b) limiting production, markets or technical
development to the prejudice of consumers;
(c) applying dissimilar conditions to equivalent
transactions with other trading parties, thereby
placing them at a competitive disadvantage;
(d) making the conclusion of contracts subject to
acceptance by the other parties of supplementary
obligations which, by their nature or according to
commercial usage, have no connection with the
subject of such contracts.
Intinya dari Article 102 ini menyatakan bahwa
pelarangan ini ditujukan pada perusahaan yang
memegang posisi dominan di pasar (market dominance)
dan dengan demikian memiliki kekuatan untuk
mengontrol pasar.15
Hal lain yang menarik dalam pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan di Eropa adalah
Pricing Abuses and non- Abuses Pricing.
Pricing Abuses (other than Excessive Pricing)
15
64
Pricing Abuses menekankan pada Predatory Pricing. Predatory Pricing adalah tindakan pelaku usaha memberikan harga produknya sangat murah
sehingga pesaing-pesaingnya tidak mampu
menyainginya kemudian terpaksa keluar dari pasar.
Setelah pesaing-pesaing tersebut keluar dari pasar,
pelaku usaha tersebut dapat menaikkan harga pada
tingkat monopoli dan dapat menutupi
kerugian-kerugian yang telah dialami.16
Di European Commission dalam kasus AKZO,
menegaskan bahwa harga di atas Average Variable
Cost, asalkan di bawah Average Total Cost yang
ditentukan dengan tujuan untuk menghilangkan
persaingan, tetap dapat dikatakan melanggar.17
Predatory Pricing jarang terjadi karena mungkin harus ada „pengorbanan‟ terlebih dahulu yang harus
dilakukan oleh pelakunya yakni pengorbanan
penghasilan bersih untuk sementara. Predatory Pricing
dalam arti yang sebenarnya tidak bisa terjadi kecuali
ada pengorbanan kehilangan keuntungan bersih
untuk sementara dengan harapan dapat memperoleh
pendapatan yang lebih besar di masa yang akan
datang. Tindakan ini bertujuan untuk menghalau
16
M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya, CICODS FH-UGM, Yogyakarta, 2009, hal. 90
17
65
pesaing dari pasar, kemudian pelakunya akan dapat
menutupi kerugiannya (recoupment) dengan
memperoleh laba yang tinggi karena tidak ada
pesaingnya. Bagi pelaku, pengorbanan kehilangan
keuntungan tersebut merupakan investasi untuk
mendapatkan kuntungan monopolistic di masa
mendatang. Pelaku harus dapat memprediksi bahwa
keuntungan yang akan datang harus melebihi
investasi yang telah dikeluarkan. Jadi, wajar apabila
Predatory Pricing jarang terjadi.
Posisi EU adalah cenderung tidak menggunakan
syarat the Recoupment Test18. dalam kasus AKZO
tersebut di atas, syarat ini tidak disinggung oleh
European Commission. Bahkan penetapan harga di
atas Average Variable Cost asalkan di bawah Average
Total Cost yang dilakukan untuk tujuan
menghilangkan persaingan dapat dikatakan Predatory.
Dalam kasus Tetra Pak II,19 European Court of Justice
juga mengatakan:
18
Recoupment Test dipergunakan untuk mengkaji apakah pelaku usaha yang melakukan praktik tersebut telah sukses mencapai tujuannya, yaitu menyingkirkan pesaingnya ke luar pasar dan menghalangi pesaing lainnya masuk ke dalam pasar. Tes ini kemudian juga melihat apakah pelaku usaha predator akan mampu mendapatkan keuntungan yang melebihi keuntungan kompetitif untuk menutupi kerugian yang dideritanya selama menjalankan praktik predatory. (Peraturan KPPU N.6 tahun 2011 Tentang Pedoman Pasal 20 UU NO.5 tahun 1999, hal. 20).
19
66
“[I] would not be appropriate, in the circumstances
of the present case, to require … proof that Tetra Pak had a realistic chance of recouping its losses. It must be possible to penalize predatory pricing whenever there is a risk that competitors will be
eliminated.”20
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa Pengadilan
dalam Tentra Pak II tidak mengharuskan the
Recoupment Test dalam Predatory Pricing. Pengadilan ini menekankan bahwa faktor yang penting dalam
menentukan Predatory Pricing adalah resiko bahwa
pesaing-pesaing akan tergeser.
Posisi hukum antimonopoly Indonesia lebih
cenderung mirip atau mengikuti posisi di EU yang
ketat karena ketentuan Pasal 25 aya (1), secara tidak
langsung melarang Predatory Pricing yang dilakukan
oleh pemegang posisi dominan secara per se dengan
syarat intent atau purpose. Namun KPPU dalam
menangani Predatory Pricing bisa saja bersikap lunak
dengan melihat Pasal 20 yang mensyaratkan adanya
intent untuk menyingkirkan atau mematikan usaha
pesaing dan/atau mensyaratkan bahwa tingkat harga
pelaku harus di bawah Average Cariable cost.
Non-Pricing Abuses
20
67
Non-Pricing Abuses ini menekankan pada Tying. Tying merupakan salah satu strategi penjualan yang juga berpeluang untuk mengganggu persaingan.
Secara sederhana tying bisa didefenisikan sebagai
penjualan suatu produk dengan syarat bahwa si
pembeli harus juga membeli produk lain yang
sebenarya bisa dibeli oleh pembeli dari penjual lain.
Persyaratan pembelian ini dianggap bersifat ilegal
apabila menggangu persaingan.
Mengenai tying umumnya hukum persaingan
negara-negara menentukan bahwa pada dasarnya
praktik ini tidak dengan sendirinya ilegal. Pengecer
menawarkan satu kantung terigu merek A setengah
harga apabila pembeli juga membeli satu kantung gula
pasir merek A, merupakan contoh dari tying yang
diperbolehkan jika perusahaan A, sebagai produsen
terigu merek A, tidak memegang monopoli, baik di
pasar produk terigu atau pun gula pasir.21
Praktik tying bisa dibenarkan adalah jika si
penjual bisa menunjukkan bahwa tying dilakukan atas
dasar sensitivitas teknologi yang mengharuskan
supaya produk tertentu digunakan untuk menghindari
kerusakan.
21
68
Alasan efisiensi terkadang juga merupakan alasan
yang sering kali bisa diterima di pengadilan. Di
Jerman, misalnya, dalam kasus Wirtschaft und
Wettbewerb, pengadilan membolehkan tindakan dua
surat kabar di Stuttgart yang melakukan praktik tying
dengan cara mengharuskan pemasang iklan di salah
satu surat kabar untuk juga beriklan di surat kabar
lainnya.
b.Amerika Serikat
Putusan-Putusan Mahkamah Agung Amerika
Serikat menyatakan bahwa Section 2 Sherman Act22
tidak menyalahkan pemilikan kekuatan monopoli yang
diperoleh secara sah (natural or legal monopoly power)
tetapi melarang tindakan yang menggunakan
kekuatan monopoli (monopolize) dengan melihat pada
purpose dan intent pelaku. Namun, beberapa putusan telah berbeda dalam menafsirkan kedua istilah
tersebut. Menurut Standart Oil dan American Tobacco,
69
harus mempunyai “positive drive to monopolize”.
Artinya, harus ada praktik-praktik “predatory” yang
menghalangi kemampuan pelaku usaha lain untuk
bersaing. Namun, putusan hakim Hand dalam Alcoa
menunjukkan bahwa bukti actual intent kurang
diperlukan, yang penting adalah bukti adanya
kesengajaan (deliberateness) oleh pemegang kekuatan
monopoli untuk mempertahankan posisi
monopolinya.23
Dalam Alcoa, hal ini ditunjukkan dengan tindakan
aktif Alcoa memperbesar kapasitas produksi
aluminium untuk mengantisipasi permintaan dan
mempertahankan kapasitas produksi yang eksesif
sehingga dapat menghambat pelaku usaha baru
masuk ke pasar. Alcoa dianggap mempunyai tujuan
atau intent terhadap akibat dari tindakan-tindakannya
tersebut. Pengadilan dalam United Shoe mengikuti
Alcoa. United Shoe memperkuat Alcoa dengan
menyatakan bahwa penyalahgunaan kekuatan
monopoli dalam Section 2 Sherman Act cukup dengan
menunjukkan praktik-praktik yang dilakukan dengan
sengaja yang menghambat pesaing masuk ke pasar
walaupun tindakan-tindakan itu sendiri tidak illegal.
23
70
Namun, pengadilan-pengadilan semenjak tahun
1870an tidak lagi mengikuti pendekatan Alcoa dan
United Shoe membatasi cakupan pelanggaran Section 2 Sherman Act. Jadi telah terjadi perkembangan di
Amerika Serikat. Standart Oil (1911) dan American
Tobacco (1911) mengunakan “teori penyalahgunaan” (the abuse theory), Alcoa (1945) dan United Shoe (1953) kemudian meninggalkannya. Selanjutnya mulai tahun
1979, pengadilan kembali menggunakan teori
penyalahgunaan. Artinya, sebagaimana dalam
Standard Oil dan American Tobacco, actual purpose or intent harus terbukti untuk penyalahgunaan posisi
dominan.24
2. Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan di
Indonesia
Sebelum menguraikan pengatuan
penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Terlebih
dahulu, penulis menjelaskan mengenai pengertian
penyalahgunaan posisi dominan. Istilah
penyalahgunaan posisi dominan terdiri dari kata-kata
penyalahgunaan, posisi, dan dominan. Secara harfiah
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata
24
71
“penyalahgunaan” adalah suatu proses, cara,
perbuatan penyalahgunaan atau perbuatan
penyelewengan (penyimpangan atau pengkhianatan),
sedangkan arti kata “posisi” adalah kedudukan (orang atau barang) sementara arti kata “dominan” adalah bersifat sangat menentukan karena kekuasaan,
pengaruh, tampak menonjol.25 Oleh karena itu,
penyalahgunaan posisi dominan berarti proses, cara,
perbuatan menyelewengkan kedudukan yang bersifat
sangat menentukan karena memiliki kekuasaan atau
pengaruh (dalam hal kegiatan ekonomi).
Arie Siswanto (2004), menyatakan dalam
bukunya yang berjudul Hukum Persaingan Usaha
bahwa penyalahgunaan posisi dominan ini merupakan
praktik yang memiliki cakupan luas. Ketika seorang
pelaku usaha yang memiliki posisi dominasi ekonomi
melalui kontrak mensyaratkan agar konsumenya tidak
berhubungan dengan pesaingnya, maka ia dianggap
telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan.
Demikian juga apabila pelaku usaha yang memegang
posisi dominan dengan basis “take it or leave it”
membuat penentuan harga di luar kewajaran.26
25
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
26
72
Istilah penyalahgunaan posisi dominan berasal
dan dialihbahasakan dari bahasa Inggris abuse of
dominant position. Istilah ini merupakan istilah hukum yang digunakan dan diatur substansinya dalam UU
No. 5 Tahun 1999. Akan tetapi defenisi
penyalahgunaan posisi dominan tidak ditemukan
dalam UU tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa pembentuk undang-undang menyerahkan
definisi penyalahgunaan posisi dominan kepada
doktrin, kebiasaan (praktik hukum), dan
yurisprudensi yang mencakup uraian definisi,
batasan, unsur-unsur, ciri-ciri dan kriteria yang
mengabstraksikan penyalahgunaan posisi dominan.27
Selanjutnya penulis menguraikan pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia. Pelaku
usaha yang memiliki posisi dominan tidak dilarang
oleh UU No. 5/1999, asalkan pencapaian posisi
dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha
yang sehat atau fair. Yang dilarang oleh UU No.
5/1999 adalah apabila pelaku usaha tersebut
menyalahgunakan posisi dominannya.
Pertanyaannya adalah bagaimana pelaku usaha
melakukan penyalahgunaan posisi dominannya
27
73
sehingga pasar dapat terdistorsi. Bentuk-bentuk
penyalahgunaan posisi dominan atau
hambatan-hambatan persaingan usaha yang dapat dilakukan
oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
adalah ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat 1. Ketentuan
Pasal tersebut menetapkan bahwa pelaku usaha
dilarang menggunakan posisi dominan baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk :
a. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan
tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi
konsumen memperoleh barang dan/atau jasa
yang bersaing dari segi harga maupun kualitas;
atau
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi;
atau
c. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi
menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang
bersangkutan.
Untuk memahami lebih dalam mengenai isi Pasal 25
ini, maka penulis melakukan penafsiran berdasarkan
Buku Ajar Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan
Konteks28, yang menjelaskan mengenai isi Pasal 25
ayat 1 tersebut, yaitu:
28
Lubis, Andi Fahmi (dkk.), Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,
74
a. Mencegah atau menghalangi konsumen
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
dapat melakukan suatu tindakan untuk mencegah
atau menghalangi konsumen untuk memperoleh
barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi
harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat
perdagangan. Syarat utama yang harus dipenuhi oleh
ketentuan Pasal 25 ayat 1 huruf a adalah syarat
perdagangan yang dapat mencegah konsumen
memperoleh barang yang bersaing baik dari segi harga
maupun dari segi kualitas. Dapat disimpulkan bahwa
konsumen telah mempunyai hubungan bisnis dengan
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan.
Pertanyaannya adalah mengapa pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan dapat mengontrol
konsumen atau pembeli untuk tidak membeli barang
dari pesaingnya? Biasanya konsumen tersebut ada
ketergantungan terhadap pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan. Posisi dominan pelaku
usaha yang dapat mencegah konsumen untuk tidak
memperoleh barang atau jasa dari pesaing pelaku
usaha yang mempunyai posisi dominan adalah sangat
kuat. Dikatakan sangat kuat, karena pelaku usaha
tersebut dapat mengontrol perilaku konsumen
75
dari pesaing pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan tersebut. Mengapa pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan dapat mengontrol
konsumen/pembeli tersebut? karena pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan menetapkan
syarat-syarat perdagangan di depan, yaitu pada waktu
konsumen/ pembeli mengadakan hubungan bisnis
dengan pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
tersebut. Hal ini memang agak jarang ditemukan di
dalam aturan hukum persaingan usaha negara lain.
Yang sering terjadi adalah bahwa pelaku usaha posisi
dominan menolak pelaku usaha yang lain (pembeli)
untuk mendapatkan barang dari pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan tersebut (refusal to deal).
b. Membatasi pasar dan pengembangan teknologi
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan
dapat membatasi pasar. Pengertian membatasi pasar
di dalam ketentuan ini tidak dibatasi. Pengertian
membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau
pembeli dapat diartikan dimana pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan mempunyai kemungkinan
besar untuk mendistorsi pasar yang mengakibatkan
76
pasar yang bersangkutan. Bentuk-bentuk membatasi
pasar dapat dilakukan berupa melakukan hambatan
masuk pasar (entry barrier), mengatur pasokan barang
di pasar atau membatasi peredaran dan/atau
penjualan barang dan/atau jasa di pasar yang
bersangkutan29 dan melakukan jual rugi yang akan
menyingkirkan persaingnya dari pasar.30 Termasuk
melakukan perjanjian tertutup31 dan praktik
diskriminasi32 dapat dikategorikan suatu tindakan
membatasi pasar.
Misalnya definisi diskriminasi tidak ada ditetapkan di
dalam UU No. 5/1999. Secara umum tindakan
diskriminasi dapat diartikan bahwa seseorang atau
pelaku usaha memperlakukan pelaku usaha lain
secara istimewa, dan pihak lain pelaku usaha lain
tidak boleh menikmati keistimewaan tersebut, atau
ditolak. Atau pelaku usaha yang menguasai suatu
fasilitas jaringan teknologi tertentu (essential facilities
doctrine) yang seharusnya dapat dibagikan kepada pelaku usaha pesaingnya asalkan tidak mengganggu
sistem jaringan teknologi tersebut jika dibagikan
kepada pelaku usaha pesaingnya. Tentu pelaku usaha
29
Pasal 19 huruf c UU No. 5 tahun 1999.
77
yang menikmati jaringan teknologi harus membayar
sejumlah uang sebagai ganti rugi penggunaan jaringan
tersebut.
Penyalahgunaan yang lain yang diatur di dalam
25 ayat (1) huruf b adalah membatasi pengembangan
teknologi. Sebenarnya pengembangan teknologi adalah
merupakan hak monopoli pelaku usaha tertentu yang
menemukannya menjadi hak atas kekayaan
intelektual penemunya. Hal ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 50 huruf b UU No. 5/1999 yang
mengecualikan hak atas kekayaan intelektual. Oleh
karena itu, pengertian pembatasan pengembangan
teknologi harus diinterpretasikan sebagai upaya
pelaku usaha tertentu terhadap pengembangan
teknologi yang dilakukan oleh pelaku usaha
pesaingnya untuk meningkatkan produksi barang baik
segi kualitas mapun kuantitas.
c. Menghambat pesaing potensial
Bentuk penyalagunaan posisi dominan yang
dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan adalah menghambat pelaku usaha yang lain
yang berpotensi menjadi pesaing di pasar yang
78
larangan Pasal 19 huruf a yang menetapan menolak
dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan. Di dalam hukum persaingan usaha
dikenal apa yang disebut dengan pesaing faktual dan
pesaing potensial.33 Pesaing faktual adalah pelaku
usaha-pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha
yang sama di pasar yang bersangkutan. Sedangkan
pesaing potensial adalah pelaku usaha yang
mempunyai potensi yang ingin masuk ke pasar yang
bersangkutan, baik oleh pelaku usaha dalam negeri
maupun pelaku usaha dari luar negeri. Hambatan
masuk pasar bagi pesaing potensial yang dilakukan
oleh perusahaan swasta dan hambatan masuk pasar
oleh karena kebijakan-kebijakan Negara atau
pemerintah.
Hambatan masuk pasar oleh pelaku usaha posisi
dominan swasta adalah penguasaan produk suatu
barang mulai proses produki dari hulu ke hilir hingga
pendistribusian – sehingga perusahaan tersebut
demikian kokoh pada sektor tertentu mengakibatkan
pelaku usaha potensial tidak mampu masu ke pasar
yang bersangkautan. Sedangkan hambatan masuk
33
79
pasar akibat kebijakan negara atau pemerintah ada
dua, yaitu hambatan masuk pasar secara struktur dan
strategis. Hambatan masuk pasar secara struktur
adalah dalam kaitan sistem paten dan lisensi.
Sementara hambatan masuk pasar secara strategis
adalah kebijakan-kebijakan yang memberikan
perlindungan atau perlakuan khusus bagi pelaku
usaha tertentu, akibatnya pesaing potensial tidak
dapat masuk ke dalam pasar. Jadi, di dalam hukum
persaingan usaha ukuran yang sangat penting adalah
bahwa pesaing potensial bebas keluar masuk ke pasar
yang bersangkutan.
Selain pelaku usaha yang dominan dapat
melakukan penyalahgunaan posisi dominannya
sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 25 ayat 1
tersebut, pelaku usaha tersebut dapat juga melakukan
perilaku yang diskriminatif, baik diskriminasi harga
dan non harga dan jual rugi (predatory pricing).
Peraturan KPPU No.6 tahun 2010 tentang
pedoman pelaksanaan Pasal 25 tentang
penyalahgunaan posisi dominan berdasarkan UU No.5
tahun 1999, menguraikan konsep dasar
penyalahgunaan posisi dominan yaitu pertama,
penentuan posisi dominan, dan kedua, melakukan
80
ini berawal dari pemikiran bahwa penyalahgunaan
posisi dominan (abuse of dominant position) muncul
ketika pelaku usaha memiliki kekuatan secara
ekonomi yang memungkinkan pelaku usaha yang
bersangkutan untuk beroperasi di pasar tanpa
terpengaruh oleh persaingan dan melakukan tindakan
yang dapat mengurangi persaingan (lessen
competition).
a. Perilaku Eksklusif
PPD biasanya dapat dilihat dari perilaku strategis
perusahaan atau strategic behavior. Strategic behavior
adalah sebuah konsep bagaimana sebuah perusahaan
dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal
dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing
potensial yang baru akan bermain di pasar yang pada
dasarnya ditujukan untuk menigkatkan profit
perusahaan. Perilaku ini tidak hanya dipusatkan pada
penetapan harga maupun kualitas secara sederhana.
Namun lebih kompleks lagi mengejar pangsa pasar,
memperlebar kapasitas, hingga mempersempit ruang
gerak pesaing.
Strategic behavior terdiri dari dua tipe yaitu, dalam bentuk kooperatif maupun non kooperatif.
81
semua perusahaan untuk berkoordinasi dan
membatasi respon pesaingnya. Bentuk Strategic
behavior kooperatif ini mampu meningkatkan profit semua perusahaan yang bermain di pasar dengan
meminimalisir persaingan. Konsep kedua ini mengacu
pada perilaku kolusif yang dimotori oleh perusahaan
dominan. Perilaku Price Leadership termasuk ke dalam
tipe kedua ini. Sementara Strategic behavior yang
bersifat non kooperatif mengacu pada tindakan pelaku
usaha yang mencoba meningkatkan profit dengan
meningkatkan posisi relatifnya terhadap pesaing.
Pelaku usaha tidak melakukan kerjasama satu sama
lain. Strategic behavior jenis ini biasanya
meningkatkan profit satu perusahaan dan
menurunkan profit perusahaan pesaing.
Perilaku strategis yang termasuk dalam kategori
bersifat non kooperatif ini dapat diistilahkan sebagai
perilaku eksklusif (exclusionary strategic behavior).
Perilaku ekslusif ini merupakan perilaku perusahaan
dominan untuk membatasi atau menyingkirkan
perusahaan pesaingnya, yang terdiri dari dua kategori
yaitu perilaku harga dan perilaku non-harga.
Khusus mengenai perilaku yang menggunakan
instrumen harga, terbagi atas dua jenis yaitu
82
melibatkan kebijakan perusahaan yang dirancang
untuk membuat pesaing tidak tertarik untuk
berkompetisi di pasar. Perusahaan dominan biasanya
memanfaatkan keunggulan posisinya (baik dalam hal
kemampuan produksi, distribusi, akses kepada
pasokan, maupun keuangan) ketika melakukan
strategi perusahaan dalam mengejar pasar.
1. Predatory Pricing
Predatory Pricing merupakan tindakan dari sebuah perusahaan dominan yang mengeluarkan
pesaingnya dengan cara menetapkan harga di bawah
biaya produksi. Akan tetapi dalam praktiknya juga
digunakan untuk mencegah pesaing masuk ke pasar.
Begitu semua pesaing telah keluar, maka pelaku
usaha dominan langsung menaikkan harga. Selama
periode praktik predatori ini, pelaku usaha dominan
kehilangan keuntungan dan mengalami kerugian
melebihi kerugian pesaingnya. Pelaku usaha dominan
harus mendapatkan semua permintaan pada tingkat
harga yang rendah. Sehingga dapat memelihara harga
yang rendah. Akan tetapi, pesaing masih bebas
menentukan output guna mengurangi kerugiannya.
Tentu saja, selama periode Predatory Pricing ini,
83
pesaingnya. Dalam periode ini, konsumenlah yang
memperoleh manfaat, konsumen dapat membeli
produk yang murah. Namun setelah periode ini
selesai, ketika harga harga meningkat pada level yang
lebih tinggi (pada harga monopoli), maka konsumen
akan mengalami kerugian.
Andaikata praktik ini berhasil hingga memaksa
pesaing bangkrut, maka dapat dipastikan aset pesaing
secara permanen dapat ditarik keluar dari industri
atau paling tidak dapat dikuasai oleh predator. Jika
tidak, perusahaa lainnya akan masuk dan membeli
aset tersebut dan persaingan kembali tidak dapat
dihindari. Oleh karena itu, strategi yang paling jitu
supaya praktik ini berhasil adalah membuat pesaing
bangkrut dan membeli semua aset pesaing dengan
harga penawaran.
2. Limit Pricing
Strategic behavoir lainnya yang juga termasuk
perilaku penyalahgunaan posisi dominan adalah Limit
Pricing. Konsep sederhana Limit Pricing, potential entrant percaya bahwa pelaku usaha dominan tidak
mengubah level outputnya setelah ada pemain baru.
Oleh karena itu, pemain baru akan percaya bahwa
84
ditambah output incumbent. Pada model ini, dominan
memilih level output dan harga untuk menghilangkan
insentif perusahaan untuk masuk ke pasar. Sehingga
dengan memilih pembatasan produksi, pelaku usaha
dominan mampu mengenakan Limit Pricing pada harga
tinggi, meskipun sebetulnya pelaku usaha dominan
tidak harus berproduksi sebanyak pembatasan
produksi, hal itu dilakukan dalam rangka menghalangi
pesaing masuk, dan memberi ancaman saja dengan
sinyal jika pesaing benar-benar masuk.
b. Dampak PPD terhadap persaingan dan
konsumen.
Adanya PPD di pasar, maka hampir dipastikan
terjadi peningkatan tingkat kosentrasi di suatu
industri yang menjadi indikasi peningkatan market
power pelaku usaha dalam industri tersebut.
Peningkatan market power memberikan keleluasaan
bagi pelaku usaha untuk menetapkan harga (price
maker). Ada tidaknya market power yang dimiliki oleh pelaku usaha, dapat diindikasikan dengan tingginya
harga jual produk, relatif dengan produk substitusi,
relatif dengan biaya produksi dan tingginya margin
keuntungan pelaku usaha di pasar bersangkutan. Ada
85
terhadap persaingan dan dampak terhadap
konsumen.
1. Dampak terhadap persaingan
Pada indsutri dimana terdapat pelaku usaha
dominan, tingginya market power perusahaan
dominan relatif terhadap para pesaingnya,
memudahkan pelaku usaha tersebut untuk
menentukan output dan harga tanpa terpengaruh
keputusan pesaing. Terdapat dua bentuk dampak
yang diakibatkan oleh penyalahgunaan posisi
dominan.
Dampak yang pertama muncul sebagai akibat dari
penerapan perilaku strategis yang bersifat kooperatif.
Keputusan pelaku usaha dominan untuk menetapkan
harga tinggi sebagai bentuk penggunaan market power
secara optimum akan menjadi pelindung dan insentif
bagi pesaing-pesaingnya untuk turut menikmati harga
yang tinggi tersebut. Fenomena ini adalah bentuk dari
munculnya price leadership. Price leadership yang
menjelaskan bahwa pelaku usaha dominan
mempunyai kekuatan sebagai price setter (penentu
harga). Harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha
dominan kemudian akan diikuti oleh pelaku-pelaku
86
leadership dalam suatu industri menyebabkan pilihan konsumen untuk menikmati harga yang lebih murah
menjadi terhambat. Indikasi terjadinya Price leadership
adalah tingginya harga produk, serta tingginya margin
keuntungan antar pelaku usaha.
Dampak yang kedua adalah hasil dari perilaku
strategis yang bersifat non kooperatif. Berdasarkan
uraian sebelumnya terlihat bahwa penerapan strategi
ini akan mampu membatasi atau mempersempit ruang
gerak bagi para pemain baru yang akan masuk ke
dalam industri, dan bahkan mampu mengeluarkan
atau membangkrutkan pelaku usaha pesaingnya.
2. Dampak terhadap konsumen
Pada periode Predatory Pricing dimana pelaku
usaha dominan menetapkan harga yang
serendah-rendahnya, tentu saja konsumen mendapatkan
dampak positif yakni terjadi peningkatan consumer
surplus. Akan tetapi setelah periode Predatory Pricing tersebut berakhir, dan perusahaan dominan telah berhasil „mengusir‟ pesaingnya keluar dan bersiap untuk melakukan manuver sebagai monopolis, dapat
dipastikan peningkatan harga oleh perusahaan
dominan akan terjadi karena pesaing menjadi lebih
87
consumer loss yang muncul sebagai akibat dari tingginya harga jual produk dibandingkan dari yang
seharusnya dapat dijangkau lebih murah atau
kuantitas output di pasaran yang jumlahnya lebih
rendah atau sedikit dari yang seharusnya konsumen
dapatkan menjadi naik. Kerugian konsumen lainnya
dengan adanya tindakan PPD ini adalah hilangnya
kesempatan konsumen untuk memperoleh harga yang
lebih rendah, hilagnya kesempatan konsumen untuk
menggunakan layanan yang lebih banyak pada harga
yang sama, kerugian intangible konsumen, serta
terbatasnya alternatif pilihan konsumen.
c. Pembuktian PPD
Pembuktian dugaan PPD, KPPU menggunakan
pendekatan yang dibagi atas 3 (tiga) tahap, yakni:
1. Pendefenisian pasar bersangkutan
2. Pembuktian adanya posisi dominan di pasar
bersangkutan
3. Pembuktian apakah pelaku usaha yang yang
memiliki posisi dominan tersebut telah
88
Adapun bagan proses pembuktian PPD ini yaitu
Bagan
Proses Pembuktian Pasal 2534
34
89
Dari bagan di atas, maka penafsiran Pasal 25 ayat (2)
semakin jelas. Karena dari baga tersebut, diketahui
bahwa ketentuan penguasaan pangsa pasar 50%
untuk satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha sebagaimana diatur
di dalam Pasal 25 ayat 2 tersebut tidak bersifat
absolut. Secara normatif ketentuan Pasal 25 ayat 2
bersifat per se. Artinya, apabila suatu pelaku usaha
sudah menguasai pangsa pasar 50% untuk satu
pelaku usaha dan 75% untuk dua atau tiga pelaku
usaha, maka penguasaan pangsa pasar tersebut
langsung dilarang. Andaikata pendekatan per se
diterapkan kepada Pasal 25, maka sama dengan
menghambat tujuan UU No. 5/1999, yaitu mendorong
pelaku usaha berkembang berdasarkan persaingan
usaha yang sehat. Akan tetapi di dalam praktiknya
KPPU telah menerapkan ketentuan Pasal 25 ayat
tersebut dengan pendekatan rule of reason. Hal ini
untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4, Pasal
13, Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999 yang
menggunakan pendekatan rule of reason dalam
penerapannya. Alasan Pasal 25 harus diterapkan
dengan menggunakan pendekatan rule of reason yaitu
90
maka akan membatasi pertumbuhan (perkembangan)
pelaku usaha yang efisien dan inovatif serta kompetitif
di pasar yang bersangkutan.35
Penafsiran serta penerapan seperti ini memang
akan memicu perdebatan diantara KPPU dengan
praktisi hukum yang menginginkan ketentuan Pasal
25 diterapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 25
tersebut tanpa perlu menginterpretasikan lebih lanjut.
Akan tetapi harus dilihat prinsip dan tujuan hukum
persaingan usaha, yaitu bukan untuk menghambat
persaingan tetapi untuk mendorong persaingan usaha.
Jadi, pelaku usaha yang dapat bersaing dengan
sehat dan melakukan efisiensi dan inovasi serta dapat
menjadi lebih unggul atau mempunyai posisi dominan
lebih dari pada yang ditetapkan di dalam Pasal 25 ayat
(2) tidak seharusnya dilarang. Sekali lagi pelaku usaha
yang menguasai pangsa pasar lebih dari 50% dan
apabila dua atau tiga pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75%
pangsa pasar, tidak dilarang asalkan pencapaian
tersebut dicapai dengan persaingan usaha yang sehat
atau fair. Sehingga karena ketentuan Pasal 4, 13, 17
35
Lubis , Andi Fahmi, Buku Ajar Hk Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks,
91
dan Pasal 18 menggunakan pendekatan rule of reason,
maka ketentuan Pasal 25 harus diterapkan dengan
pendekatan rule of reason. Kalau tidak demikian,
maka prinsip ketentuan Pasal 25 bertentangan dengan
ketentuan Pasal 4, 13, 17, dan Pasal 18 UU No.
5/1999.
Sebaliknya, jika suatu pelaku usaha tidak menguasai
pangsa pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha
(monopoli), tetapi dalam praktiknya dapat melakukan
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak
sehat. Hal ini dapat terjadi tergantung korelasi
penguasaan pangsa pasar suatu pelaku usaha yang
mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sisa pangsa pasar yang dimiliki
oleh pesaing-pesaingnya.
Misalnya, kalau pelaku usaha A mempunyai pangsa
pasar 40% sementara pangsa pasar pesaingnya
tersebar kecil-kecil dikuasai oleh 6 pelaku usaha
dengan penguasaan pangsa pasar masing-masing
10%, yaitu pelaku usaha B menguasai 10%, C10%, D
10%, E 10%, F 10% dan Pelaku usaha G menguasai
10%. Jadi, jika struktur pasar yang demikian, maka
Pelaku usaha A yang mempunyai pangsa pasar 40%
dapat dikatakan sebagai pelaku usaha yang
92
penguasaan pangsa pasar pesaingnya masing-masing
menguasai 10%.36 Dalam hal ini jika pelaku usaha
yang mempunyai pangsa pasar 40% tersebut mau, dia
dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat di
pasar yang bersangkutan.
Dengan demikian ketentuan penetapan penguasaan
pasar lebih dari 50% untuk satu pelaku usaha atau
satu kelompok pelaku usaha dan penguasaan pangsa
pasar lebih dari 75% untuk dua atau tiga pelaku
usaha tidak berlaku mutlak, karena penguasaan
pangsa pasar di bawah 50% untuk pasar monopoli
dan di bawah 75% untuk pasar oligopoli yang
ditetapkan oleh Pasal 25 ayat 2 UU No. 5 dapat
melakukan persaingan usaha tidak sehat, tergantung
berapa sisa pangsa pasar yang dimiliki oleh
pesaing-pesaingnya. Oleh karena itu Heermann mengatakan
bahwa posisi dominan tidak harus berarti pangsa
pasar paling sedikit 50% atau 75%.
Ketentuan Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi
Dominan ini dapat dielaborasi dengan beberapa pasal
lain dalam UU Persaingan Usaha37, yakni:
1. Pasal 6
36
Silalahi, Udin, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol: Bagaimana Cara Memenangkan?, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2007, hal. 196
37
93
Perusahaan yang memiliki posisi dominan
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi
harga di pasar, diantaranya melalui penetapan
kebijakan harga (melalui perjanjian) yang
berbeda untuk barang dan/atau jasa yang sama
atau sejenis (diskriminasi harga).
2. Pasal 15
Perusahaan yang memiliki posisi dominan
memiliki kemampuan untuk melakukan
perjanjian tertutup, dalam hal ini mitra dagang
perusahaan yang bersangkutan tidak memiliki
posisi tawar yang kuat untuk memperoleh
persyaratan perjanjian yang lebih adil dan
proporsional secara ekonomis.
3. Pasal 17
Perusahaan dengan posisi dominan pada
hakekatnya identik dengan memiliki kekuatan
monopoli. Dalam kondisi tersebut potensi
terjadinya praktik monopoli yang menghambat
persaingan usaha sehat sangat mungkin terjadi.
4. Pasal 18
Perusahaan dengan posisi dominan, khususnya
di tingkat hilir memiliki kemampuan untuk
94
pembeli tunggal melalui penetapan syarat-syarat
pembelian tidak wajar kepada supliernya.
5. Pasal 19
Perusahaan dengan posisi dominan pada
hakekatnya memiliki kemampuan untuk
menguasai pasar sehingga dapat melakukan
perilaku seperti diskriminasi, membatasi
peredaran barang atau jasa dan berbagai
perilaku anti persaingan lainnya.
6. Pasal 20
Perusahaan dengan posisi dominan memiliki
kemampuan untuk menetapkan jual rugi atau
harga yang sangat rendah dengan tujuan untuk
menyingkirkan pesaing secara tidak sehat.
7. Pasal 26
Perusahaan dapat melakukan penyalahgunaan
posisi dominan secara tidak langsung, yang
diakibatkan dari rangkap jabatan antar
perusahaan yang bersangkutan.
8. Pasal 27
Perusahaan dapat melakukan penyalahgunaan
95
diakibatkan kepemilikan silang antar
perusahaan yang bersangkutan.
9. Pasal 28
Perusahaan yang memiliki posisi dominan dapat
merupakan perusahaan hasil dari
penggabungan beberapa perusahaan, peleburan
dalam satu kelompok perusahaan dan/atau
pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan
lain.
Elaborasi Pasal 25 tentang penyalahgunaan posisi
dominan ini dengan beberapa Pasal lain yang telah
diuraikan di atas tidak berimplikasi pada penerapan
Pasal oleh KPPU. Artinya, KPPU dapat menerapkan
Pasal 25 sebagai dakwaan tunggal apabila terkait
struktur pasar, ataupun menggunakan pasal lain
(dakwaan berlapis) yang terkait dengan pembuktian
struktur pasar dan perilaku dari terlapor dalam
menyelidiki dugaan penyalahgunaan posisi dominan.38
C.
Pasar Bersangkutan
Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan
dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu
atau daerah tertentu oleh pelaku usaha atas barang
38
96
dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
dari barang dan/atau jasa tersebut.39 Pengertian pasar
bersangkutan ini lebih menekankan pada konteks
horizontal yang menjelaskan posisi pelaku usaha
beserta pesaingnya. Hal ini dapat dikategorikan dalam
dua perspektif yaitu pasar berdasarkan produk.terkait
dengan kesamaan atau kesejenisan dan/atau tingkat
substitusinya dan pasar berdasarkan geografis yang
terkait dengan jangkauan dan/atau daerah pemasaran.
Dari definisi pasar bersangkutan di atas, maka
terdapat unsur-unsur penting yang terkandung
didalamnya yaitu:
1. Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para
pembeli dan penjual baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat melakukan
transaksi perdagangan barang dan/atau jasa.40
2. Jangkauan atau daerah pemasaran
Mengacu pada penetapan pasar bersangkutan
berdasarkan aspek geografis atau daerah
(teritori) yang merupakan lokasi pelaku usaha
melakukan kegiatan usahanya, dan/atau lokasi
ketersediaan atau peredaran produk dan jasa
dan/atau dimana beberapa daerah memiliki
39
Pasal 1 angka (10) UU No.5 tahun 1999.
40
97
kondisi persaingan relatif seragam dan berbeda
dibanding kondisi persaingan dengan daerah
lainnya.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai
kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
4. Sama atau sejenis atau substitusi.41
Mengacu pada definisi pasar bersangkutan
berdasarkan produk, maka produk bisa
dikategorikan dalam pasar bersangkutan atau
dapat digantikan satu sama lain apabila
menurut konsumen terdapat kesamaan dalam
hal fungsi atau penggunaan, karakter spesifik,
serta perbandingan tingkat harga produk
tersebut dengan harga barang lainnya. Jika
dilihat dari sisi penawaran, barang substitusi
merupakan produk yang potensial dihasilkan
41