207
BAB IV
PENUTUP
Pada bagian Bab IV ini, penulis menguraikan dua
hal yakni, pertama mengenai kesimpulan dari analisis
mengenai bagaimana konsep penyalahgunaan posisi
dominan dalam hukum persaingan usaha di
Indonesia. Kedua penulis memberikan saran bagi
pihak-pihak yang terkait dengan hukum persaingan
usaha di Indonesia. Saran-saran ini muncul dari
permasalahan penyalahgunaan posisi dominan.
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas,
maka penulis mengambil kesimpulan bahwa dari
analisa 10 (sepuluh) putusan KPPU tersebut, maka
dapat digolongkan dalam 3 (tiga) varian yakni: pertama
yang terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan
memenuhi Pasal 25 ayat (2) yaitu Perkara Nomor :
04/KPPU-I/2003, Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004,
Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009 dan Perkara Nomor:
17/KPPU-I/2010. Kedua yang tidak terbukti
melanggar Pasal 25 ayat (1) tapi terbukti memenuhi
05/KPPU-208
07/KPPU-L/2007. Ketiga yang tidak terbukti
melanggar Pasal 25 ayat (1) dan tidak memenuhi Pasal
25 ayat (2) yaitu Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000
dan Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004.
Putusan-putusan Majelis Komisi KPPU tentang
penyalahgunaan posisi dominan yang telah dibahas
dibagian analisis di atas, menunjukkan bahwa UU
persaingan usaha Indonesia ini berusaha menjaga
kepentingan umum dan mencegah praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini sesuai
dengan teori Pound yang salah satunya menekankan
pada aspek hukum sebagai alat kontrol sosial. Selain
itu, UU persaingan usaha Indonesia ini juga berusaha
untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional,
mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan
berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha, yang mana hal ini menurut Pound
hukum disebut sebagai alat rekayasa sosial.
Pendekatan yang digunakan oleh Majelis Komisi
KPPU dalam menyelesaikan kasus penyalahgunaan
posisi dominan yakni menggunakan pendekatan rule
209
dimana dalam perkara tersebut Majelis Komisi KPPU
secara tegas menyatakan bahwa pembuktian perkara
ini menggunakan rule of reason. Sementara
kesembilan perkaran yang lain, menurut penulis
Majelis Komisi juga tetap menggunakan pendekatan
rule of reason meskipun tidak dinyatakan secara tegas.
Putusan berkaitan dengan pendekatan yang
digunakan tersebut berbeda dengan ketentuan
pembuktian tentang pendekatan yang dgunakan
dalam Pasal 25 ayat (1) yang seharusnya
menggunakan pendekatatan per se. Hal ini disatu sisi
menimbulkan ketidakpastian menurut Gustav
Radbruch. Akan tetapi, jika seandainya tetap
bersikukuh menggunakan pendekatan ini maka dirasa
tidak memiliki manfaat bagi pengembangan suatu
pelaku usaha. Kemudian dari sisi keadilan juga
menjadi polemik karena tidak adil bagi pelaku usaha
yang memiliki posisi dominan. Apalagi kalau misalnya
dalam memperoleh pangsa pasar yang dominan
tersebut diperoleh secara fair atau persaingan secara
sehat. Setelah itu pelaku usaha langsung dinyatakan
melakukan penyalahgunaan posisi dominan, padahal
belum melakukan pembuktian terhadap semua unsur
dalam Pasal 25. Sisi ketidakpastian jika tidak
Perundang-210
selama ini. Pandangan ini bukan hendak mengatakan
bahwa rule of reason tidak memiliki kepastian hukum
malahan pendekatan ini menurut penulis sangat layak
untuk digunakan dalam pembuktian penyalahgunaan
posisi dominan, akan tetapi ini masalah konsistensi
dimana dalam beberapa literatur dikatakan bahwa
pembuktian Pasal 25 ayat 1 UU No.5 tahun 1999
menggunakan pendekatan Per Se. Jadi sekali lagi
penulis tegaskan bahwa ketidakpastian yang
dimaksud adalah masalah substansi ketidakpastian
mengikuti pendekatan sesuai dengan
Perundang-Undangan.
Ketidakpastian hukum ini juga berkaitan dengan
perkara No.15/KPPU-L/2006 yakni jangka waktu
pencabutan syarat-syarat perdagangan. Pencabutan
syarat-syarat perdagangan yang menjadikan terlapor
tidak dinyatakan melakukan penyalahgunaan posisi
dominan terkesan tidak adil menurut Gustav
Radbruch karena yang dirugikan adalah korban atas
surat GM No. 058/E22000/2006-S3. Yang mana PT
Pertamina (persero) sudah menetapkan syarat-syarat
perdagangan akan tetapi karena telah mencabut surat
211
dinyatakan tidak terbukti melanggar. Putusan ini bisa
menjadi bumerang bagi kelangsungan persaingan
usaha sehat di Indonesia, bisa saja pelaku usaha lain
meniru tindakan PT Pertamina (persero) yang
membuat syarat-syarat perdagangan dengan
pertimbangan kalaupun nanti ketahuan dan diperiksa
oleh KPPU maka langkah selanjutnya Pelaku usaha
yang bersangkutan segera mencabutnya sebelum
dibacakan putusan. Perubahan perilaku pelaku usaha
(pencabutan syarat-syarat perdagangan) ini sudah
melampaui 60 (enam puluh) hari menurut Pasal 37
Peraturan KPPU No.1 tahun 2006 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara di KPPU. Putusan ini juga
terkesan tidak adil karena yang dirugikan adalah
korban atas surat GM No. 058/E22000/2006-S3.
Dari uraian analisis putusan KPPU tersebut
melahirkan 3 (tiga) pendekatan dalam proses
pembuktian penyalahgunaan posisi dominan yakni
pendefenisian pasar bersangkutan, pembuktian
adanya posisi dominan di pasar bersangkutan
(bagaimana pelaku usaha mencapai posisi
dominannya tersebut) dan pembuktian apakah pelaku
usaha yang yang memiliki posisi dominan tersebut
telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan.
212
terhadap tindakan yang bersifat anti persaingan.
Pembuktian posisi dominan ini, tetap memfokuskan
syarat kuantitatif sebagai acauan apakah suatu kasus
dilanjutkan pembuktian penyalahgunaannya atau
tidak, sehingga pemenuhan Pasal 25 ayat (2) ini
sebagai syarat awal untuk dapat membuktian
penyalahgunaan posisi dominan. Sementara
pembuktian penyalahgunaan posisi dominan masih
tetap mengacu pada pemenuhan semua unsur dalam
Pasal 25 ayat (1).
Jadi, konsep penyalahgunaan posisi dominan
dalam hukum persaingan usaha adalah bentuk
tindakan yang bersifat anti persaingan dari pelaku
usaha yang memiliki posisi dominan yang bertujuan
untuk menyingkirkan/mengeluarkan pesaing yang
telah ada, membatasi/menghambat/mencegah pesaing
untuk memasuki pasar bersangkutan, mengeksploitasi
pemasok barang dan/atau jasa dan mencegah/
menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau
213
B.
Saran
Adapun yang menjadi saran penulis berkaitan
dengan konsep penyalahgunaan posisi dominan di
Indonesia, yaitu:
1. Bagi pembentuk atau pembuat UU (eksekutif dan
legislatif), harus segera melakukan perubahan
terhadap pendekatan yang digunakan dalam
Pasal 25 UU No.5 tahun 1999. Agar pendekatan
rule of reason bisa diakomodasi dalam
pembuktian penyalahgunaan posisi dominan pada bagian ‘tujuan’ dengan mencatumkan kata ‘mengakibatkan’.
2. Saran untuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), agar dalam mengawasi secara ketat
pelaku usaha yang memiliki posisi dominan dan
memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan
penyalahgunaan posisi dominan tidak saja
melindungi pelaku usaha yang dirugikan oleh
tindakan pelaku usaha dominan akan tetapi juga
untuk melindugi konsumen.
3. Saran untuk pelaku usaha yang memegang posisi
dominan, agar mematuhi ketentuan Pasal 25 UU
214
4. Saran untuk masyarakat, hendaknya perlu ada
kesadaran dan kepekaan terhadap masalah
persaingan usaha di Indonesia khususnya
penyalahgunaan posisi dominan dalam Pasal 25
ayat 1 huruf a, karena ketentuan ini bertujuan
untuk melindungi konsumen dari tindakan
pelaku usaha yang memiliki posisi dominan
untuk membuat syarat-syarat perdagangan. Agar
konsumen dapat memperoleh barang dan/atau
jasa yang bersaing baik dari segi harga mapun
kualitas, salah satu caranya adalah dengan
melaporkan kepada KPPU jika mengetahui atau
mengalami tindakan atau perilaku pelaku usaha
khususnya yang menetapkan syarat-syarat
perdagangan yang pada akhirnya berimplikasi