• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Teori Roscoe Pound

Roscoe Pound adalah ahli hukum pertama menganalisis yurisprudensi serta metodologi ilmu-ilmu sosial. Hingga saat itu, filsafat yang telah dianut selama berabad-abad dituding telah gagal dalam menawarkan teori semacam itu, fungsi logika sebagai sarana berpikir semakin terabaikan dengan

46

108

usaha yang dilakukan oleh Langdell serta para koleganya dari Jerman. Pound menyatakan bahwa

hukum adalah lembaga terpenting dalam

melaksanakan kontrol sosial. Hukum secara bertahap telah menggantikan fungsi agama dan moralitas sebagai instrumen penting untuk mencapai ketertiban sosial. Menurutnya, kontrol sosial diperlukan untuk melestarikan peradaban karena fungsi utamanya adalah mengendalikan "aspek internal atau sifat manusia", yang dianggapnya sangat diperlukan untuk

menaklukkan aspek eksternal atau lingkungan

fisikal.47

Pound menyatakan bahwa kontrol sosial

diperlukan untuk menguatkan peradaban masyarakat manusia karena mengendalikan perilaku antisosial yang bertentangan dengan kaidah-kaidah ketertiban sosial. Hukum, sebagai mekanisme kontrol sosial, merupakan fungsi utama dari Negara dan bekerja melalui penerapan kekuatan yang dilaksanakan secara sistematis dan teratur oleh agen yang ditunjuk untuk

melakukan fungsi itu. Akan tetapi, Pound

menambahkan bahwa hukum saja tidak cukup, ia membutuhkan dukungan dari institusi keluarga,

47

http://deffs.blogspot.com/2009/10/teori-hukum-roscoe-pond.html, diakses tanggal 31 Januari 2012

109

pendidikan, moral, dan agama. Hukum adalah sistem ajaran dengan unsur ideal dan empiris, yang menggabungkan teori hukum kodrat dan positivistik.

Salah satu pendapat atau uraian Pound

mengatakan bahwa pentingnya melakukan

penyelesaian individual secara ketemu nalar selama ini lebih sering dikorbankan demi mencapai suatu tingkat kepastian yang sebetulnya tidak mungkin. Aliran ini menerima kehadiran peraturan-peraturan hukum sebagai pedoman yang umum bagi para hakim yang akan menuntunnya ke arah hasil yang adil, tetapi mendesak agar dalam batas-batas yang cukup luas hakim harus bebas untuk mempersoalkan kasus yang dihadapinya, sehingga bisa memenuhi tuntutan keadilan di antara pihak-pihak yang bersengketa dan bertindak sesuai dengan nalar yang umum dari orang

kebiasaan.48

Pound juga mengatakan bahwa hukum kodrati dari setiap masa pada dasarnya berupa sebuah hukum kodrati yang "positif", versi ideal dari hukum positif pada masa dan tempat tertentu, "naturalisasi" untuk kepentingan kontrol sosial manakala kekuatan yang ditetapkan oleh masyarakat yang terorganisasi

48

Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, Hal. 135

110

tidak lagi dianggap sebagai alat pembenar yang memadai.

Pound mengakui kekaburan dari ketiga pengertian dari istilah hukum: hukum sebagai kaidah sosial, badan hukum sebagai badan yang otoritatif, serta hukum sebagai proses peradilan. Sehubungan dengan itu, Pound berusaha menyatukan ketiga pengertian tersebut ke dalam sebuah definisi. Ia mendefinisikan hukum dengan fungsi utama dalam melakukan kontrol sosial. Hukum adalah suatu bentuk khusus dari kontrol sosial, dilaksanakan melalui badan khusus berdasarkan ajaran yang otoritatif, serta diterapkan dalam konteks dan proses hukum serta administrasi.

Pound pun mengakui bahwa fungsi lain dari hukum adalah sebagai sarana untuk melakukan

rekayasa sosial (social engineering). Keadilan bukanlah

hubungan sosial yang ideal atau beberapa bentuk kebajikan. Ia merupakan suatu hal dari "penyesuaian-penyesuaian hubungan sosial dan penataan perilaku sehingga tercipta kebaikan, alat yang memuaskan keinginan manusia untuk memiliki dan mengerjakan sesuatu, melampaui berbagai kemungkinan terjadinya ketegangan, inti teorinya terletak pada konsep "kepentingan". Ia mengatakan bahwa sistem hukum

111

mencapai tujuan ketertiban hukum dengan mengakui

kepentingan-kepentingan tersebut, dengan

menentukan batasan-batasan pengakuan atas

kepentingan-kepentingan tersebut dan aturan hukum yang dikembangkan serta diterapkan oleh proses peradilan memiliki dampak positif serta dilaksanakan melalui prosedur yang berwibawa, juga berusaha menghormati berbagai kepentingan sesuai dengan batas-batas yang diakui dan ditetapkan.

Pound mengatakan bahwa kebutuhan akan adanya kontrol sosial bersumber dari fakta mengenai kelangkaan. Kelangkaan mendorong kebutuhan untuk menciptakan sebuah sistem hukum yang mampu

mengklasifikasikan berbagai kepentingan. Ia

menyatakan bahwa hukum tidak melahirkan

kepentingan, melainkan menemukannya dan

menjamin keamanannya. Hukum memilih untuk

berbagai kepentingan yang dibutuhkan untuk

mempertahankan dan mengembangan peradaban. Pound mengakui adanya tumpang tindih dari berbagai kelompok kepentingan, yaitu antara kepentingan individual atau personal dengan kepentingan publik atau sosial. Semua itu diamankan melalui dan ditetapkan dengan status “hak hukum”.

112

Pound mengemukakan bahwa ahli hukum

hendaknya lebih mengarahkan penglihatannya kepada bekerjanya hukum daripada kepada isinya yang abstrak. Ini juga dimaksudkan dalam rangka untuk

keperluan usaha-usaha perombakan atau

pembaharuan hukum selain itu juga digunakan untuk

pemahaman ilmu hukum.49

Dengan pendekatannya terhadap hukum yang disebut

pendekatan social engineering, Pound ingin

menekankan pentingnya membedakan hukum

sebagaimana tertulis dari paktik hukum. Menurutnya hukum harus memuat ajaran dan sekaligus ideal yang mendorong masyarakat ke masa depan yang lebih

baik.50

Jadi Roscoe Pound menekankan pada Law is a

tool of a social engineering.51 Sebagai "alat kontrol sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha menjaga kepentingan umum dan mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya sebagai "alat rekayasa sosial", Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 berusaha untuk

49

Ibid., Hal. 23.

50

Ata Ujan, Andre, Membangun Hukum, Membela Keadilan, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009, Hal. 48

51

http://teorihukum.wordpress.com/2010/07/27/teori-roscoe-pound/, diakses tanggal 31 Januari 2012

113

meningkatkan efisiensi ekonomi nasional,

mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, dan berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam

kegiatan usaha.52

Apabila cita-cita ideal tersebut dapat

dioperasionalkan dalam kehidupan nyata, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 khususnya pengaturan mengenai larangan penyalahgunaan posisi dominan ini akan membawa nilai positif bagi perkembangan iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat

dikatakan jauh dari kondisi ideal.53

2. Teori Gustav Radbruch

Pada dasarnya hukum memiliki 3 (tiga) aspek

yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian.54 Gustav

meletakkan nilai keadilan sebagai mahkota dari setiap

tata hukum. Sehingga Radbruch memandang „materi‟

dan „bentuk‟ seperti dua sisi mata dari satu mata uang. „materi‟ mengisi „bentuk‟, sebaliknya „bentuk‟ melindungi „materi‟. Itulah kira-kira frase yang tepat

52

Usman, Rachmadi, Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 8

53

Ibid

54

Dwiyatmi, Sri Harini, Bahan kuliah Sosiologi Hukum Magister Ilmu Hukum UKSW, Salatiga, 2010, hal.15 kolom 58-59

114

untuk menggambarkan teori Radbruch tentang hukum

dan keadilan. Nilai keadilan merupakan „materi‟ yang

harus menjadi isi aturan hukum, sedangkan aturan hukum sebagai „bentuk‟ yang harus melindungi nilai

keadilan.55

Aspek kemanfaatan menunjuk pada tujuan keadilan yakni memajukan kebaikan dalam diri manusia. Nilai kebaikan bagi manusia biasanya berhubungan dengan tiga subjek (yang hendak dimajukan kebaikannya) yaitu individu, kolektivitas dan kebudayaan. Jika subjeknya adalah individu, maka hukum yang disusun untuk tujuan yang bersifat individualistis ini, tidak hanya mengagungkan individu

dan martabatnya akan tetapi juga memberi

perlindungan khusus seperti dalam konstitusi

Amerika.56 Sementara jika subjeknya adalah Negara,

maka tujuan hukumnya adalah kemajuan Negara yang menghasilkan sistem hukum kolektif. Sedangkan jika subjek yang dituju adalah kebudayaan maka sistem hukum yang diciptakan adalah sistem hukum

55

Tanya, Bernard L., Yoan & Markus, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Semarang, 2006.hal. 129

56

115

transpersonal. Disini aspek kebudayaan atau hasil

peradaban mendapat perhatian khusus.57

Aspek kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan) benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati.

Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia

dibuat dalam rangka untuk mewujudkan

kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini berkaitan dengan demokrasi ekonomi yang menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Ini merupakan salah satu tujuan hukum dari sisi keadilan yang dikehendaki oleh Gustav Radbruch sehingga setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan

57

Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1982, hal. 163

116

oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional.

Tujuan hukum yang dimaksudkan oleh Gustav Radbruch jika dikaitkan dengan UU Persaingan Usaha maka bisa dilihat dari Pasal 3 UU No.5 tahun 1999 yang mengatur mengenai tujuan pembentukan UU Persaingan Usaha Indonesia yaitu:

a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan

efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu

upaya untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat;

b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui

pengaturan persaingan usaha yang sehat

sehingga menjamin adanya kepastian

kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil;

c. mencegah praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan

d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam

kegiatan usaha.

Dari rumusan Pasal 3 di atas, jika dilihat dari sisi kepastian sangat diakomodir karena UU Persaingan

117

usaha ini memberi kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil. Sementara dari sisi kemanfaatan, jelas bahwa UU Persaingan usaha ini menghendaki adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sehingga dengan UU Persaingan usaha ini dapat dinikmati oleh semua kalangan baik pelaku usaha begitu pula dengan masyarakat. Disinilah letak keadilan yang dimaksudkan oleh Gustav Radbruch.

Undang-Undang Persaingan Usaha Indonesia tidak bertujuan melindungi persaingan usaha demi kepentingan persaingan itu sendiri. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 3 tidak hanya terbatas pada tujuan utama undang-undang antimonopoli, yaitu sistem persaingan usaha yang bebas dan adil, di mana terdapat kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi semua pelaku usaha.. Tujuan ini telah ditegaskan dalam Pasal 3 huruf (b) dan (c) UU No.5 tahun 1999. Selain itu. Pasal 3 menyebutkan tujuan sekunder UU Persaingan Usaha yang ingin dicapai melalui sistem persaingan usaha yang bebas dan adil: kesejahteraan rakyat dan suatu sistem ekonomi yang efisien (Pasal 3 huruf a dan d UU No.5 tahun 1999). Sehingga konsekuensi terakhir tujuan kebijakan ekonomi, yaitu

118

penyediaan barang dan jasa yang optimal bagi para konsumen.

Proses persaingan usaha dapat mencapai tujuan tersebut dengan cara memaksakan alokasi faktor

dengan cara ekonomis sehingga terwujudlah

penggunaan paling efisien sumber daya yang terbatas, penyesuaian kapasitas produksi dengan metode produksi dan struktur permintaan serta penyesuaian penyediaan barang dan jasa dengan kepentingan konsumen (fungsi pengatur persaingan usaha), dengan menjamin pertumbuhan ekonomi yang optimal, kemajuan teknologi dan tingkat harga yang stabil (fungsi pendorong persaingan usaha) serta dengan menyalurkan pendapatan menurut kinerja pasar berdasarkan produktivitas marginal (fungsi distribusi). Dengan memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dalam berusaha maka pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dapar bersaing secara wajar dan sehat, serta tidak merugikan masyarakat banyak dalam berusaha, sehingga pada gilirannya penguasaan pasar yang terjadi timbul secara kompetitif. Di samping itu dalam rangka menyosong era perdagangan bebas, mesti menyiapkan dan mengharmonisasikan rambu-rambu

119

hukum yang mengatur hubungan ekonomi dan bisnis antarbangsa seperti yang sudah disepakati dalam Final Act Uruguay Round sebagai bagian dari

pembentukan World Trade Organization (WTO). Dengan

demikian dunia internasional juga mempunyai andil dalam mewujudkan lahirnya Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999.58

Dengan demikian UU Persaingan Usaha ini

dimaksudkan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah

timbulnya praktik-praktik monopoli dan/atau

persaingan usaha yang tidak sehat lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat bersaingan secara wajar dan sehat. Dengan berbagai uraian di atas, maka sepertinya aspek kepastian yang paling ditonjolkan dalam UU Persaingan Usaha ini. Sehingga tujuan hukum yang dicita-citakan oleh

Gustav Radbruch dalam hal ini kepastian,

kemanfaatan dan keadilan tidak pernah dipenuhi secara bersamaan karena ketiga tujuan hukum itu

58

Usman, Rachmadi, Hukum persaingan usaha di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. X (10)

120

satu sama lain seringkali tidak bersesuaian atau saling „bertabrakan‟ satu sama lain.

Meskipun demikian, hendaknya implementasi UU persaingan usaha ini berikut peraturan di bawahnya

dapat selalu berorientasi59 pada ketiga tujuan hukum

yang majemuk itu.60

59

Notohamidjojo, O, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, 2011, hal. 33-34

60

Notohamidjojo, O, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1967, hal. 79

Dokumen terkait