1
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bagian pendahuluan ini, penulis
menguraikan mengenai latar belakang masalah
berkaitan dengan konsep penyalahgunaan posisi
dominan dalam hukum persaingan usaha. Selanjutnya
penulis memuat mengenai rumusan masalah, tujuan
penelitian dan metode penelitian yang akan
digunakan. Kemudian yang terakhir penulis
menguraikan mengenai sistematika penulisan tesis.
A.
Latar Belakang Masalah
Persaingan pelaku usaha erat kaitannya dengan
karakteristik sistem ekonomi pasar yang dianut oleh
suatu negara. Suatu sistem dapat diibaratkan seperti
lingkaran-lingkaran kecil yang saling berhubungan
satu dengan yang lainnya. Lingkaran-lingkaran kecil
tersebut merupakan suatu subsistem. Subsistem
tersebut saling berinteraksi dan akhirnya membentuk
suatu kesatuan sistem dalam lingkaran besar yang
bergerak sesuai aturan yang ada.1
1
2
Pada pasar bebas sekarang ini, memiliki
konsekuensi tersendiri bagi para pelaku usaha untuk
berlomba-lomba dalam memasarkan produknya,
dalam hal ini produk barang dan/atau jasa agar lebih
menarik perhatian konsumen, berinovasi sehingga
pada akhirnya penghasilan atau pemasukan para
pelaku usaha tersebut semakin meningkat.2
Persaingan usaha ini bermanfaat dalam rangka
mendorong para pelaku usaha untuk bisa berbuat
yang terbaik, baik dari segi mutu atau kualitas,
pelayanan, harga, dan lain sebagainya. Tentu saja
tujuannya untuk dapat memicu atau mendorong
suatu perusahaan atau pelaku usaha untuk dapat
meningkatkan kinerja yang unggul sehingga tumbuh
secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi
antara kualitas dan harga barang atau jasa serta
pelayanan sebagaimana yang dikehendaki oleh
konsumen.3 Sebaliknya persaingan usaha yang
bersifat negatif dapat menyebabkan pelaku usaha lain
mengalami kerugian sehingga berdampak pada
turunnya penghasilan atau pendapatan para pelaku
2
Nurimansjah Hasibuan, Ekonomi Industri Persaingan, Monopoli dan Regulasi, PT.Pustaka, LP3ES Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 81
3
3
keuntungan yang sebesar-besarnya yang kadangkala
hal tersebut bisa merugikan pelaku usaha lain.5
Salah satu solusi untuk mengatasi persoalan ini
yaitu dengan dibentuknya Undang-Undang nomor 5
tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU ini dimaksudkan
untuk menata kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia
usaha dapat tumbuh serta berkembang sehat dan
benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang
sehat. Selain itu juga untuk mencegah terjadinya
pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau
kelompok tertentu yang pada akhirnya merugikan
masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita
keadilan sosial.
Substansi yang dibahas penulis dalam
pengaturan UU Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak yaitu penyalahgunaan posisi
4
Wihana Kirana Jaya, Pengantar Ekonomi Industri Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar, BPFE, Yogyakarta, 1993, hal. 256
4
dominan yang dalam tulisan ini disingkat PPD
menurut Pasal 25 UU No.5 tahun 1999 ayat:
(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau
b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau
c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Berikut penjabaran unsur-unsur yang terdapat dalam
Pasal 25, yaitu:
Unsur Pelaku Usaha
Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 UU No.5
tahun 1999, adalah Pelaku usaha adalah setiap orang
5
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Unsur Posisi Dominan
Posisi dominan menurut Pasal 1 angka 4 UU
No.5 tahun 1999, adalah Keadaan di mana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Unsur Secara Langsung Maupun Tidak
Langsung
Pengertian secara langsung dalam Pasal 25 ini
yaitu
Pelaku usaha dominan melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan. Sementara pengertian tidak langsung adalah pelaku usaha dominan memanfaatkan pelaku usaha lain untuk melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan.
Unsur Syarat-Syarat Perdagangan
Defenisi syarat-syarat perdagangan pada intinya
6
Peristiwa atau butir perjanjian yang oleh para pihak terkait dijadikan sebagai ukuran bahwa perjanjian dimaksud dapat dilaksanakan, atau tidak terpenuhinya peristiwa atau butir tersebut ditetapkan sebagai pembatalan perjanjian.
Unsur Konsumen
Konsumen menurut Pasal 1 angka 15 UU No.5
tahun 1999, adalah Setiap pemakai dan/atau
pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.
Unsur Membatasi Pasar Dan Pengembangan
Teknologi
Pasar menurut Pasal 1 angka 9 UU No.5 tahun
1999, adalah
Lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa. Sementara membatasi pasar dan pengembangan teknologi berarti
suatu bentuk perilaku yang menghambat transaksi perdagangan, inovasi serta pengembangan barang dan/atau jasa.
Unsur Pelaku Usaha Lain
Pelaku usaha lain menurut penjelasan Pasal 17
ayat (2) huruf b UU No.5 tahun 1999, adalah
7
Unsur Pasar Bersangkutan
Pasar Bersangkutan menurut Pasal 1 angka 10
UU No.5 tahun 1999, adalah
Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu atau daerah tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut
Unsur Pangsa Pasar
Pangsa pasar menurut Pasal 1 angka 13 UU No.5
tahun 1999, adalah Persentase nilai jual atau beli
barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.
Posisi dominan adalah salah satu kunci pusat/pokok
dalam hukum persaingan usaha.6 Oleh karena setiap
ada kasus persaingan usaha, yang selalu
dipertanyakan pertama adalah apakah ada (siapa)
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada
pasar yang bersangkutan, atau bisa juga ditanyakan
apakah pelaku usaha (terlapor) mempunyai posisi
dominan?. Kalau memang ada yang memiliki posisi
dominan maka selanjutnya ditanyakan bagaimana
pelaku usaha mencapai posisi dominannya tersebut?,
apakah pelaku usaha tersebut menyalahgunakan
6
8
posisi dominannya?, Apakah pasar yang bersangkutan
terdistorsi?, apakah pelaku usaha lain sulit masuk ke
pasar yang bersangkutan?.
Pada dasarnya sebuah perusahaan tidak
dilarang menguasai pangsa pasar 50 persen atau
lebih. Beberapa perusahaan juga tidak dilarang
menguasai pangsa pasar 75 persen atau lebih, yang
berarti memegang posisi dominan. Yang dilarang ialah
jika posisi dominan itu disalahgunakan untuk
mengeksploitasi konsumen atau pelaku usaha lain
atau berusaha untuk menyingkirkan dan menghalangi
pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam pasar.7
Penulis menfokuskan pembahasan dalam
bentuk konsep penyalahgunaan posisi dominan.
Konsep menurut bahasa Inggris concept dan dalam
bahasa Latin conceptus, berasal dari kata concipere,
con (bersama) dan capere (menangkap, menjinakkan)
berarti memahami, menerima, menangkap. Selain itu
konsep menurut Abdulkadir Muhammad (Guru Besar
Hukum Dagang Fakultas Hukum Unila), yakni
diabstraksikan dari peristiwa konkret atau gambaran
tentang objek, proses, atau sesuatu melalui bahasa.
Lebih lanjut beliau menjelaskan konsep itu dapat
berupa definisi, batasan, unsur-unsur, ciri-ciri dan
7
9
kriteria. Jadi konsep penyalahgunaan posisi dominan
dalam tinjauan ini mencakup uraian definisi, batasan,
unsur-unsur, ciri-ciri dan kriteria yang
mengabstraksikan penyalahgunaan posisi dominan.8
Kemudian dalam rangka untuk mencari arti
sekaligus memperjelas konsep penyalahgunaan posisi
dominan dalam persaingan usaha ini, maka penulis
membahas semua putusan-putusan KPPU mulai dari
tahun 2000 sampai pada tahun 2010.
Putusan-putusan KPPU yang akan dibahas dalam penulisan ini
yaitu yang berkaitan dengan penyalahgunaan posisi
dominan yang diatur dalam Pasal 25 UU No.5 tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Putusan-putusan
KPPU ini pada akhirnya diharapkan bisa membuat
atau disimpulkan suatu konsep. Dalam membahas
kasus ini, penulis menyajikan putusan tersebut
10
Pasal 25 ayat (1) dan Tidak memenuhi Pasal 25 ayat
(2).
Adapun putusan-putusan KPPU yang berkaitan
dengan penyalahgunaan posisi dominan yang dibagi
atas 3 (tiga) varian tersebut, yaitu:
1. Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan
Memenuhi Pasal 25 ayat (2)
a. Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003
Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dilakukan
oleh PT. JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER
TERMINAL (PT. JICT) yang beralamat kantor di
Jalan Sulawesi Ujung Nomor 1 Tanjung Priok,
Jakarta Utara 14310.9
PT. JICT telah melakukan kegiatan yang dapat
menghambat konsumen untuk melakukan
kerjasama usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya, dalam bentuk pengiriman surat
penegasan yang ditandatangani oleh PT. JICT
kepada salah satu pengguna jasanya pada tanggal
5 April 2001, yang pada pokoknya menyatakan
bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar
9
11
muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok
harus mengikatkan diri pada kontrak yang
bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang
mengikat tersebut, maka tidak akan dilayani PT.
JICT.
Bentuk hambatan itu semakin nyata, ketika PT.
JICT menggunakan klausul 32.4 di dalam
authorization agreement tersebut untuk meminta
klarifikasi dan memprotes kebijakan Pelabuhan
Tanjung Priok Jakarta Utara yang memberikan
ijin operasi kepada PT. Segoro Fajar Satryo, untuk
menggunakan Dermaga 300 yang kemudian
melayani jasa bongkar muat petikemas.10
Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara adalah
pemegang hak pengelolaan pelabuhan umum
sebagaimana diatur di dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, telah
memberikan konsesi pengelolaan terminal
petikemas kepada PT. JICT dengan jaminan
bahwa tidak akan ada pembangunan terminal
petikemas sebagai tambahan dari Unit Terminal
Petikemas I, Unit Terminal Petikemas II, dan Unit
Terminal Petikemas III sebelum tercapainya
throughput sebesar 75% (tujuh puluh lima persen)
10
12
dari kapasitas rancang bangunnya sebesar 3,8
juta Teus sebagaimana dinyatakan klausul 32.4 di
dalam authorization agreement. Klausul 32.4 di
dalam authorization agreement tersebut
merupakan bentuk hambatan strategis yang
nyata bagi para pelaku usaha baru yang akan
memasuki pasar bersangkutan pelayanan
bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung
Priok.
Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa
PT. JICT secara sah dan meyakinkan telah
melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.11
b. Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004
Pelanggaran ini dilakukan oleh PT.Arta Boga
Cemerlang, beralamat kantor di Jalan Palmerah
Barat No. 82, Jakarta Barat 11480. Kasus ini
berawal pada pertengahan bulan Februari 2004,
PT Panasonic Gobel Indonesia (selanjutnya
disebut PT PGI) telah melaksanakan program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap
toko yang mendisplay baterai single pack (baterai
manganese tipe AA) dengan menggunakan
11
13
standing display akan diberikan 1 (satu) buah
senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko
yang selama 3 (tiga) bulan mendisplay produk
tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah
senter yang sama, sedangkan untuk material
promosi (standing display) diberikan gratis oleh PT
PGI.
Selanjutnya pada bulan Maret 2004 diperoleh
informasi bahwa PT.Arta Boga Cemerlang sedang
melaksanakan Program Geser Kompetitor
(selanjutnya disebut PGK). Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat
Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang
berisi:
1) Program Pajang dengan mendapatkan
potongan tambahan 2%, dengan ketentuan
Toko mempunyai space/ruang pajang baterai
ABC dengan ukuran minimal 0,5 x 1 meter;
Toko bersedia memajang baterai ABC, Toko
bersedia memasang POS (material promosi)
ABC.
2) Komitmen toko untuk tidak menjual baterai
Panasonic dengan mendapatkan potongan
tambahan 2%, dengan ketentuan Toko yang
14
mulai bulan Maret sudah tidak menjualnya
lagi, sehingga Toko hanya menjual baterai
ABC.
3) Mengikuti Program Pajang dan Komitmen
untuk tidak jual baterai Panasonic sehingga
patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh
PT.Arta Boga Cemerlang; PT.Arta Boga
Cemerlang diduga melaksanakan PGK dengan
cara membuat perjanjian dengan toko untuk
tidak menjual baterai Panasonic. Bahwa
berdasarkan informasi yang diperoleh Pelapor
dari toko-toko, PT.Arta Boga Cemerlang
diduga melaksanakan PGK tersebut dengan
tujuan untuk menghambat penjualan produk
baterai merek Panasonic. Sejak PT PGI
mengeluarkan produk single pack untuk jenis
baterai AA dan melaksanakan program
promosi Single pack Display telah menambah
peningkatan penjualan baterai Panasonic.
Dengan adanya PGK banyak diantara
toko-toko yang berusaha untuk mendapatkan
potongan tambahan sebagaimana yang
dijanjikan oleh PT.Arta Boga Cemerlang.
Bahkan terdapat toko-toko yang jelas-jelas
15
dan/atau menjual baterai Panasonic, padahal
sebelumnya yang bersangkutan adalah
peserta program single pack display dari PT
PGI. Perilaku PT.Arta Boga Cemerlang sebagai
pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan
usahanya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan maupun etika bisnis
yang ada, yaitu dengan membuat perjanjian
mengenai harga atau potongan harga tertentu
atas produk baterainya dengan memuat
persyaratan bahwa pemilik toko yang
menerima barang-barang dari PT.Arta Boga
Cemerlang tidak akan membeli barang-barang
yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain
yang menjadi pesaing dari pelaku usaha
pemasok. PT.Arta Boga Cemerlang telah
menyalahgunakan posisi dominannya untuk
menghambat pelaku usaha lain yang
berpotensi menjadi pesaingnya untuk
memasuki pasar yang bersangkutan dan
menetapkan syarat-syarat perdagangan yang
menghambat atau menghalangi konsumen
memperoleh barang dan/atau jasa yang
16
Pada akhirnya Majelis Komisi berpendapat bahwa
PT.Arta Boga Cemerlang menguasai 88,73%
pangsa pasar baterai manganese AA secara
nasional, sehingga unsur posisi dominan telah
terpenuhi. Dengan posisi dominan tersebut
PT.Arta Boga Cemerlang menyalahgunakannya
yaitu dengan menetapkan syarat-syarat
perdagangan dengan tujuan untuk mencegah
dan/atau menghalangi konsumen memperoleh
barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari
segi harga maupun kualitas. Dimana PT.Arta
Boga Cemerlang telah menetapkan syarat-syarat
perdagangan yang terkandung di dalam surat
perjanjian PGK dimana salah satu syarat
pemberian potongan tambahan sebesar 2% adalah
jika toko grosir dan semi grosir tidak menjual
baterai Panasonic, dengan tujuan untuk
mencegah atau menghalangi konsumen
memperoleh baterai Panasonic yang bersaing
dengan baterai ABC baik segi harga maupun
kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti
PGK PT.Arta Boga Cemerlang.
Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa
PT.Arta Boga Cemerlang terbukti secara sah dan
17
jo. ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5
tahun 1999.
c. Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009
Pelanggaran UU larangan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat ini berawal dari PT.
Carrefour Indonesia mengakuisisi PT.Alfa
Retailindo,Tbk. dimana PT.Carrefour menguasai
pangsa pasar yang sebelumnya hanya sebesar
46,30 persen setelah itu meningkat menjadi
sebesar 57,99 persen di tahun 2008. Peningkatan
pangsa pasar12 ini disalahgunakan oleh
PT.Carrefour Indonesia dengan cara menetapkan
berbagai syarat perdagangan (trading terms)
kepada pemasok sehingga menimbulkan
persaingan tidak sehat dan menghambat
konsumen memperoleh barang dan jasa yang
bersaing. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan
ketua Gabungan Elektronik (GABEL) yang
mengatakan bahwa PT.Carrefour Indonesia
merupakan suatu kekuatan yang cukup besar di
Indonesai, sehingga apabila produk Gabel tidak
ada di PT.Carrefour Indonesia maka nilai brand
12
18
GABEL tersebut berkurang. Sehingga sekalipun
GABEL mengalami kerugian akibat persyaratan
yang ditetapkan oleh PT.Carrefour Indonesia salah
satunya harus memasok juga pada PT.Alfa
Retailindo yang diakuisisi oleh PT.Carrefour
Indonesia, yang mana dalam persyaratan yang
diberlakukan PT.Alfa Retailindo harus sama pada
PT.Carrefour Indonesia.13
Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa
PT. Carrefour Indonesia terbukti sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a
Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang
larangan praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat.
d. Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010
Pelanggaran ini dilakukan oleh PT Pfizer
Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Overseas LLC, Pfizer
Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama.
Kasus ini berawal dari Kelompok Usaha Pfizer
diduga melakukan pelanggaran Pasal 25 ayat (1)
Undang-undang nomor 5 tahun 1999 yaitu
menyalahgunakan posisi dominannya untuk
13
19
mempengaruhi dokter dan/atau apotek agar
hanya meresepkan obat dengan merek Norvask.
Dimana pangsa pasar Norvask sepanjang periode
2000-2007 mencapai di atas 50%. Kondisi
tersebut memenuhi kriteria posisi dominan
sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (2).
Posisi dominan Pfizer untuk produk Norvask
menjadi lebih kuat karena adanya hak paten yang
baru habis pertengahan 2007. Hak paten tersebut
mengakibatkan tidak ada pelaku usaha pesaing
yang dapat menawarkan produk sejenis (selain PT
Dexa Medica) dalam periode yang bersangkutan.
Pasca paten Norvask habis pertengahan 2007,
pangsa pasar Norvask mengalami penurunan
seperti tercatat di tahun 2008 menjadi 45.52%
dan 2009 mencapai tingkat 39.50. Pfizer
Indonesia mencanangkan program HCCP pada
tahun 2005 yang melibatkan rekanan dokter dan
apotik. Berdasarkan BAP dari apotik serta
kesaksian para ahli farmakolog, peran dokter
dalam peresepan obat sangat penting.
Pihak apotik tidak dapat merubah resep yang
sudah dituliskan dokter. Selain itu, pihak dokter
lah yang memberikan kartu anggota HCCP kepada
20
fungsi input data pasien melalui mesin EDC yang
disediakan Pfizer Indonesia;
Kesaksian dari para farmakolog menyebutkan
bahwa terdapat interaksi antar dokter dengan
perusahaan farmasi yang diduga berakibat
kepada keputusan dokter dalam peresepan obat.
Berdasarkan dokumen, diperoleh data rekanan
dokter dan apotik yang masuk dalam program
HCCP Pfizer Indonesia.
Tim pemeriksa menilai bahwa program HCCP
yang menjalin kemitraan dengan para dokter akan
mempengaruhi preferensi para dokter untuk
meresepkan obat kepada pasien nya, terutama
untuk produk-produk Pfizer, termasuk Norvask.
Tim berpendapat bahwa keputusan peresepan
tersebut mempengaruhi obyektifitas dokter
sehingga akan tetap meresepkan produk produk
Pfizer Indonesia khususnya Norvask untuk pasien
penderita hipertensi. Kondisi ini diperkuat dengan
fakta bahwa sejak tahun 2007-awal 2010,
indicator most sold generic tetap dipegang oleh
produk Norvask, sementara walau sudah tersedia
branded generic (termasuk generic) lain dengan
21
tersebut belum banyak terjual atau diresepkan
oleh dokter.
Putusan Majelis Komisi KPPU berpendapat bahwa
PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Overseas
LLC, Pfizer Global Trading dan PT Pfizer
Corporation Panama terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal
16, Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun
1999.
2. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi
Terbukti Memenuhi Pasal 25 ayat (2).
a.Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005
Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf c ini
dilakukan oleh PT BURSA EFEK JAKARTA atau
disingkat PT BEJ (Terlapor I) dan PT LIMAS
STOKHOMINDO, TBK, atau disingkat PT LS
(Terlapor II). Kasus ini berkaitan dengan
pengembangan sistem pelaporan elektronik
perusahaan tercatat di Bursa Efek Jakarta.
Dimana pelanggaran ini disebabkan oleh karena
adanya perjanjian antara Terlapor I dengan
Terlapor II yang tertuang dalam Perjanjian
22
Pelaporan Elektronik Perusahaan Tercatat Nomor
SP-036/BEJ-HKM/06-2003 yang diduga dapat
menimbulkan penguasaan produksi dan/atau
pemasaran barang dan/atau jasa oleh Terlapor I
dan Terlapor II. Penunjukan Terlapor II oleh
Terlapor I untuk mengembangkan sistem
pelaporan elektronik perusahaan tercatat diduga
dilakukan dengan cara diskriminasi terhadap
pesaing Terlapor II.
PT BEJ memiliki posisi dominan terhadap pasar
jasa e-reporting & monitoring di Bursa Efek
Jakarta yang diduga dapat menghambat pelaku
usaha lain untuk memasuki pasar bersangkutan.
Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi
menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II
tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, oleh
karena PT BEJ (Terlapor I) tidak menghambat
pelaku usaha lain memasuki pasar bersangkutan
sehingga unsur menghambat pelaku usaha lain
yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan.
23
Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini
dilakukan oleh PT. Pertamina (Terlapor I), PT.
Banten Inti Gasindo, yang selanjutnya disebut PT
BIG (Terlapor II) dan PT. Isma Asia Indotama,
yang selanjutnya disebut sebagai PT IAI (Terlapor
III).
Kasus ini berkaitan dengan diskriminasi
distribusi gas yang dilakukan oleh PT Pertamina,
yaitu dengan menetapkan syarat-syarat
perdagangan kepada para trader (JPMT, SBLC,
gas make up, harga gas, sistem pembayaran dan
sebagainya ) yang akan melakukan hubungan
dagang dengan PT. Pertamina.
Berdasarkan laporan PT. Igas Utama menyatakan
PT. Pertamina telah melakukan diskriminasi
terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti
Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo
mendapatkan lebih besar pasokan gas dan
dipermudah persyaratan PJBGnya.
Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa
PT. Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar
ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan
24
terbukti memiliki posisi dominan dan juga
terbukti menetapkan syarat-syarat perdagangan
akan tetapi tidak terbukti mencegah dan/atau
menghalangi konsumen memperoleh barang
dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga
maupun kualitas.
c.Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006
Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini
dilakukan oleh Terlapor dalam hal ini PT
Pertamina (Persero). Kasus ini berkaitan dengan
pendistribusian Elpiji di Sumatera Selatan.
Penerbitan surat No. 057/E22000/2006-S3 yang
pada pokoknya melarang agen Elpiji di Pulau
Bangka untuk membeli dan mengisi Elpiji di DSP
Pulau Layang dan harus mengisi di APPEL
Muntok terhitung mulai tanggal 3 Maret 2006.
Setelah terbitnya Surat No. 057/E22000/2006-S3
harga ex agen yang ditetapkan oleh Terlapor
turun menjadi Rp 63.747,- (enam puluh tiga ribu
tujuh ratus empat puluh tujuh rupiah) per
tabung 12 Kg. Hal ini disebabkan karena agen
25
Rp 17.500,- (tujuh belas ribu lima ratus rupiah)
namun turun menjadi Rp 11.639,40,- (sebelas
ribu enam ratus tiga puluh sembilan koma empat
puluh rupiah).
Bahwa berdasarkan surat GM No.
058/E22000/2006-S3 agen di Pulau Bangka
akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp
5.560,44,- (lima ribu lima ratus enam puluh
koma empat puluh empat rupiah) per tabung 12
Kg tetapi kenyataan di lapangan, keuntungan
yang diperoleh agen lebih rendah dari yang
ditetapkan oleh Terlapor. Hal ini terjadi karena
pertama APPEL melakukan penjualan langsung
melalui toko-toko dengan harga berkisar antara
Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai
dengan Rp. 61.000,- (enam puluh satu ribu
rupiah). Kedua Salah satu pemegang saham PT.
Niaga Utama Pura Prima membeli elpiji secara
langsung dari agen di Palembang dan
memasarkannya ke Pulau Bangka dengan harga
antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah)
sampai dengan Rp 63.000,- (enam puluh tiga ribu
rupiah) per tabung 12 kg.
Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa
26
25 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999, dengan pertimbangan karena
Terlapor telah mencabut surat larangan pengisian
Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan
kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk
memilih tempat pengisian Elpiji, sehingga unsur
menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak
terpenuhi.
d. Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007
Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini
dilakukan oleh
Terlapor I (Temasek Holdings Pte. Ltd)
Terlapor II (Singapore Technologies
Telemedia Pte. Ltd)
Terlapor III (STT Communications Ltd)
Terlapor IV (Asia Mobile Holding Company
Pte. Ltd)
Terlapor V (Asia Mobile Holdings Pte. Ltd)
Terlapor VI (Indonesia Communications
Limited
Terlapor VII (Indonesia Communications
27
Terlapor VIII: Singapore
Telecommunications Ltd)
Terlapor IX (Singapore Telecom Mobile Pte.
Ltd)
Terlapor X (PT. Telekomunikasi Selular)
Kasus ini berkaitan dengan Telkomsel yang
menyalahgunakan posisi dominannya untuk
membatasi pasar dan pengembangan teknologi
sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU
No 5 Tahun 1999.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan
Lanjutan (LHPL) Tim Pemeriksa pada pokoknya
menyatakan telah terjadi hambatan interkoneksi
yang dilakukan oleh Telkomsel sesuai dengan
bukti:
Pertama kesaksian Mastel (vide Bukti B52), yang
menyatakan bahwa degree of competition
industri seluler selama ini kurang
diakibatkan oleh operator incumbent
pada kondisi yang dapat mengancam
hubungan interkoneksi pada operator
yang menurunkan tingkat tarif. Selain
itu, meskipun sejak tahun 2007, rezim
interkoneksi sudah berbasis pada biaya
28
adanya PKS antar operator yang
memuat perjanjian tersebut.
Pada praktiknya, operator pencari
interkoneksi tidak memiliki posisi tawar
yang seimbang dengan operator
incumbent, sehingga masih mengikuti
kehendak incumbent dengan ancaman
hubungan interkoneksi diputus (BAP
Saksi Mastel tanggal 25 September
2007.
Kedua kesaksian Hutchinson (vide Bukti B14)
yang menyatakan bahwa Sempat
terdapat hambatan interkoneksi yang
dialami oleh operator baru yang
dilakukan Telkomsel dengan
mempersyarakatkan terpenuhinya
traffic sebesar 48 erl, yang sulit
dipenuhi oleh operator-operatror baru.
Dalam salah satu perjanjian
interkoneksi Telkomsel dengan salah
satu operator, diatur mengenai
Pembebanan Biaya, Penagihan dan
Pembayaran. Lebih lanjut, dalam
29
layanan SMS merupakan kewenangan
masing-masing pihak, sehingga para
pihak berhak untuk menetapkan sendiri
tarif yang dikenakan kepada
Penggunanya masing-masing dengan
batasan bahwa tarif yang dikenakan
oleh operator X kepada Penggunanya
tidak boleh lebih rendah dari tarif yang
dikenakan oleh Telkomsel kepada
Penggunanya. Operator X akan
melakukan penyesuai tarif yang
dikenakan kepada Penggunanya
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan, sejak
pemberitahuan perubahan tarif yang
disampaikan oleh Telkomsel kepada
Operator X sebagai waktu sosialisasi
bila Telkomsel melakukan perubahan
tarif yang dikenakan kepada
Pengguannya.” Namun, ketentuan
dalam Perjanjian tersebut kemudian
dicabut berdasarkan amandemen
Perjanjian.
Bentuk hambatan lain, adalah
persyaratan untuk pembangunan link
30
pihak ketiga yang ditunjuk oleh
Telkomsel. Hal tersebut menaikan biaya
secara signifikan bagi pencari
interkoneksi. Kepemilikan dan
pengoperasian link tersebut pun
menjadi milik pihak ketiga dan
telkomsel bukan menjadi milik pencari
interkoneksi.(BAP Saksi Hutchinson
tanggal 21 Juni 2007).
Ketiga Dokumen perjanjian kerja sama antara
Telkomsel dengan salah satu operator.
Selanjutnya dalam pendapat atau pembelaan
Telkomsel pada pokoknya menyatakan tidak
pernah menghambat pengembangan teknologi,
Telkomsel merupakan operator telekomunikasi
seluler pertama yang mengenalkan:
Bisnis pre-paid di Indonesia yang
menggunakan teknologi IN;
Layanan berbasis teknologi GPRS dan
EDGE;
Layanan value added services tertentu
seperti ring back tone;
31
Layanan-layanan 3G yang menyediakan
layanan video call, video streaming.
Pengembangan-pengembangan teknologi yang
digunakan oleh Telkomsel yang kemudian juga
diaplikasikan oleh kompetitor- kompetitor
Telkomsel lainnya dan yang dapat memberikan
kontribusi positif bagi perkembangan pasar
telekomunikasi selular.
Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa PT.
Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar
ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan
pertimbangan bahwa meskipun telah terjadi
pembatasan pasar melalui hambatan interkoneksi
namun tidak terjadi pembatasan pengembangan
teknologi, sehingga dengan tidak terpenuhinya
unsur pembatasan pengembangan teknologi
maka Majelis Komisi tidak perlu menilai dampak
yang terjadi akibat terjadinya pembatasan pasar
dan pengembangan teknologi tersebut.
3. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) dan
Tidak Memenuhi Pasal 25 ayat (2)
32
Dugaan pelanggaran UU persaingan usaha ini
dilakukan oleh PT. Indomarco Prismatama, yang
beralamat di Jl. Ancol I No.9 10, Ancol Barat
Jakarta 14430, sebagai pemilik dan pemegang
hak merek dagang "Indomaret" untuk usaha
ecerannya dalam bentuk baik toko swalayan milik
sendiri maupun toko swalayan dengan sistem
waralaba. Kasus ini berawal dari laporan tertulis
pada tanggal 12 April 2000 yang diterima oleh
Komisi pada tanggal 9 Agustus 2000 oleh sebuah
lembaga swadaya masyarakat yang selanjutnya
disebut sebagai Saksi Pelapor. Berdasarkan
wawancara langsung kepada 429 orang
pengusaha kecil/pemilik warung yang dianggap
mewakili seluruh pemilik warung di wilayah
Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi
(Jabotabek). Sebanyak 129 pengusaha kecil yang
diwawancarai tersebut menyatakan bahwa sejak
berdirinya Swalayan Indomaret mempunyai
dampak negatif terhadap usaha usahanya, karena
keberadaan Indomaret tersebut mempunyai
dampak merugikan pengusaha kecil yang ada
disekitarnya, di setiap satu Toko Swalayan
Indomaret. Padahal di sekitarnya diperkirakan
33
Swalayan Indomaret akibatnya 2900 usaha kecil
terancam mati, karena kalah bersaing dengan
harga dan kenyamanan yang disediakan oleh
Indomaret. Apabila dibiarkan rencana berdirinya
sampai 2000 Toko Swalayan Indomaret, maka
diperkirakan 20.000 usaha kecil yang berada di
Jabotabek akan mati atau minimal 80.000 orang
masyarakat miskin tambah melarat, resah
kehilangan mata pencaharian.
Selain itu juga sistem yang diterapkan oleh PT.
Indomarco adalah pemegang hak merek Swalayan
Indomaret dan jaminan pemasokan barang
dagangan dengan harga distributor. Sedangkan
pewaralaba berkewajiban menyiapkan gedung
dan investasi + 300 juta (termasuk untuk
Franchise Fee Rp.82,5 juta yang diberikan kepada
PT. Indomarco).
Majelis Komisi KPPU dalam pertimbangan
menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti-bukti
Terlapor mempunyai posisi dominan karena tidak
menguasai pangsa pasar 50% (lima puluh persen)
atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau
jasa tertentu. Selain itu juga tidak ditemukan
bukti-bukti Terlapor melakukan secara
34
yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar
satu jenis barang atau jasa tertentu. Atas dasar
fakta ini Terlapor tidak dapat dinyatakan dan
dikategorikan mempunyai posisi dominan secara
mutlak. Karena itu tuduhan pelanggaran yang
dilakukan Terlapor terhadap Pasal 1 adalah tidak
relevan, sehingga dalam putusan KPPU, Majelis
Komisi tidak secara tegas menyatakan bahwa
Terlapor tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 25 UU No.5 tahun
1999.
b. Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004
Dugaan pelanggaran Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh PT.
Telekomunikasi Indonesia Tbk (Terlapor). Kasus
ini berkaitan dengan tindakan pemblokiran
terhadap SLI kode akses 001 dan 008 milik PT.
Indosat oleh Terlapor, dengan cara menutup
layanan SLI kode akses 001 dan 008 di beberapa
warung telekomunikasi (wartel), dan menyediakan
layanan internasional dengan kode akses 017.
Serta mengubah perjanjian kerjasama dengan
pemilik wartel, bahwa wartel hanya diperbolehkan
35
melakukan blocking/menutup akses layanan
milik operator lain dari wartel.
Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa PT.
Telekomunikasi Indonesia tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan
pertimbangan bahwa pasar bersangkutan dalam
perkara ini adalah jasa telepon internasional
melalui akses jaringan tetap lokal nasional
sehingga posisi dominan pelaku usaha ditentukan
dari pangsa pasar jasa telepon internasional yang
dijual atau disediakannya. Posisi Terlapor
meskipun menguasai 90-95% jaringan tetap tidak
dapat disimpulkan sebagai pemegang posisi
dominan karena pelaku usaha dalam jasa telepon
internasional melalui akses jaringan tetap lokal
nasional dalam perkara ini adalah PT Indosat.
Sehingga unsur pelaku usaha memiliki posisi
dominan dalam pasar bersangkutan sebagaimana
dimaksud pasal 25 ayat (2) tidak terpenuhi. Dari
pertimbangan tersebut menegaskan bahwa unsur
ayat (2) pasal 25 sebagai persyaratan untuk
mempertimbangkan ayat (1) pasal 25 tidak
36
mempertimbangkan unsur-unsur
penyalahgunaan posisi dominan ayat (1) pasal 25.
Mengingat karakteristik, dampak dan beberapa
putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi
dominan ini, maka analisis yang mendalam terhadap
maksud dan tujuan serta akibat yang ditimbulkan
oleh penyalahgunaan posisi dominan ini mutlak
diperlukan dengan menggunakan teori yang relevan
dan juga mengaitkannya dengan beberapa pasal lain
yang terdapat dalam UU Persaingan Usaha, sehingga
penulis topik tesis ini menarik untuk diteliti.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah
diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang
menjadi topik pembahasan dalam penulisan tesis ini
adalah:
Bagaimana konsep penyalahgunaan posisi
dominan dalam hukum persaingan usaha di
Indonesia?
C.
Tujuan Penelitian
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas,
37
untuk mengetahui seperti apa konsep penyalahgunaan
posisi dominan dalam hukum persaingan usaha di
Indonesia.
Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya penelitian
ini maka peneliti sekaligus penulis dapat memberikan
setidaknya sumbangan pemikiran terhadap
penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia
dan juga bahan refensi bagi yang mau mempelajari
atau mendalami mengenai hukum persaingan usaha.
D.
Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh
penulis dalam tesis ini, yaitu:
a. Pendekatan Konseptual (Conceptual
Approach)
Pendekatan konspeptual beranjak dari
pandangan dan doktrin-doktrin yang
berkembang dalam ilmu hukum untuk
menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum,
konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang
38
b. Pendekatan Perundang-undangan (Statute
Approach).
Oleh karena tipe penelitian yang bersifat
normatif, maka pendekatan
Perundang-Undangan seperti ini merupakan suatu
pendekatan yang penting dalam meneliti
aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus
tema sentral suatu penelitian.14 Pendekatan
ini dilakukan dengan menelaah
Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutpaut
dengan isu hukum yang ditangani.
Peraturan hukum yang dimaksud dalam hal
ini adalah yang berkaitan dengan larangan
praktik monopoli dan persaingan tidak
sehat.
c. Pendekatan Analitis (Analytical Appoach).
Pendekatan analisis terhadap bahan hukum
seperti ini, dimaksudkan untuk mengetahui
makna yang terkandung dalam istilah-istilah
yang digunakan dalam
Perundang-Undangan secara konsepsional, sekaligus
mengetahui penerapannya dalam praktik
14
39
dan putusan-putusan KPPU.15 Hal ini dapat
dilakukan melalui dua pemeriksaan yaitu (a)
Sang peneliti berusaha memperoleh makna
baru yang terkandung dalam aturan hukum
yang bersangkutan (b) Menguji istilah-istilah
hukum tersebut dalam praktik melalui
analisis terhadap putusan-putusan hukum.
2. Bahan Hukum
Yang menjadi bahan dasar penelitian hukum
normatif ini yaitu bahan hukum primer, sekunder dan
tersier.16
a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum
yang terdiri atas peraturan
Perundang-Undangan yang diurutkan berdasarkan
hierarki Peraturan Perundang-Undangan
yang relevan dengan penelitian yaitu Undang
Undang nomor 5 tahun 1999.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan
hukum yang terdiri atas buku-buku teks
(text books) yang ditulis para ahli hukum
yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,
15
Ibid., hal. 310 16
40
putusan-putusan KPPU dan lain sebagainya.
Putusan-putusan KPPU yang menjadi bahan
penelitian tesis ini yaitu:
(1) Perkara Nomor: 04/KPPU-I/2003
tentang Jakarta International
Container Terminal (JICT)
(2) Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004
tentang Arta Boga Cemerlang (ABC)
(3) Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009
tentang Akuisisi Alfa Supermarket oleh
Carrefour
(4) Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010
tentang Farmasi
(5) Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005
tentang Bursa Efek Jakarta (BEJ)
(6) Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005
tentang Igas
(7) Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006
tentang Liquified Petroleum Gas (LPG)
(8) Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007
tentang Temasek
(9) Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000
41
(10)Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004
tentang Telkom - Sambungan
Langsung Internasional (SLI).
Bahan hukum sekunder ini berkaitan
dengan konsep-konsep hukum persaingan
usaha sehingga menjadi salah satu panduan
berpikir, berisikan informasi tentang bahan
primer yang digunakan penulis dalam
menganalisis konsep penyalahgunaan posisi
dominan dalam hukum persaingan usaha di
indonesia.17
c. Bahan hukum tersier sering juga disebut
sebgai bahan hukum penunjang,18 bahan
hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder seperti
ensiklopedia hukum, majalah hukum,
kamus hukum, dan lain lain.19
17
Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal.155
18
Op.Cit., hal. 32 19
42
E.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini dibagi atas 3
(tiga) bagian yaitu:
1. Bagian Pendahuluan Tesis
Bagian pendahuluan tesis ini terdiri terdiri
dari Lembar Judul, Lembar Persetujuan,
Lembar Pengujian, Motto, Abstrak (Abstact),
Kata Pengantar, Daftar Isi danDaftar Tabel.
2. Bagian Isi Tesis
a) Bab I (satu) pendahuluan terdiri dari
beberapa hal yang terkait, yaitu dimulai
dengan alasan pemilihan judul, latar
belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
b) Bab II (dua) membahas tentang tinjauan
pustaka.
c) Bab III (tiga) memuat mengenai hasil
penelitian dan analisis.
d) Bab IV (empat) penutup ini berisikan
tentang kesimpulan dari keseluruhan
bab dan saran dalam pemecahan
43
3. Bagian Akhir Tesis