• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam Hukum Persaingan Usaha T2 322010007 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konsep Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam Hukum Persaingan Usaha T2 322010007 BAB I"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bagian pendahuluan ini, penulis

menguraikan mengenai latar belakang masalah

berkaitan dengan konsep penyalahgunaan posisi

dominan dalam hukum persaingan usaha. Selanjutnya

penulis memuat mengenai rumusan masalah, tujuan

penelitian dan metode penelitian yang akan

digunakan. Kemudian yang terakhir penulis

menguraikan mengenai sistematika penulisan tesis.

A.

Latar Belakang Masalah

Persaingan pelaku usaha erat kaitannya dengan

karakteristik sistem ekonomi pasar yang dianut oleh

suatu negara. Suatu sistem dapat diibaratkan seperti

lingkaran-lingkaran kecil yang saling berhubungan

satu dengan yang lainnya. Lingkaran-lingkaran kecil

tersebut merupakan suatu subsistem. Subsistem

tersebut saling berinteraksi dan akhirnya membentuk

suatu kesatuan sistem dalam lingkaran besar yang

bergerak sesuai aturan yang ada.1

1

(2)

2

Pada pasar bebas sekarang ini, memiliki

konsekuensi tersendiri bagi para pelaku usaha untuk

berlomba-lomba dalam memasarkan produknya,

dalam hal ini produk barang dan/atau jasa agar lebih

menarik perhatian konsumen, berinovasi sehingga

pada akhirnya penghasilan atau pemasukan para

pelaku usaha tersebut semakin meningkat.2

Persaingan usaha ini bermanfaat dalam rangka

mendorong para pelaku usaha untuk bisa berbuat

yang terbaik, baik dari segi mutu atau kualitas,

pelayanan, harga, dan lain sebagainya. Tentu saja

tujuannya untuk dapat memicu atau mendorong

suatu perusahaan atau pelaku usaha untuk dapat

meningkatkan kinerja yang unggul sehingga tumbuh

secara cepat dengan menawarkan suatu kombinasi

antara kualitas dan harga barang atau jasa serta

pelayanan sebagaimana yang dikehendaki oleh

konsumen.3 Sebaliknya persaingan usaha yang

bersifat negatif dapat menyebabkan pelaku usaha lain

mengalami kerugian sehingga berdampak pada

turunnya penghasilan atau pendapatan para pelaku

2

Nurimansjah Hasibuan, Ekonomi Industri Persaingan, Monopoli dan Regulasi, PT.Pustaka, LP3ES Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 81

3

(3)

3

keuntungan yang sebesar-besarnya yang kadangkala

hal tersebut bisa merugikan pelaku usaha lain.5

Salah satu solusi untuk mengatasi persoalan ini

yaitu dengan dibentuknya Undang-Undang nomor 5

tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. UU ini dimaksudkan

untuk menata kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia

usaha dapat tumbuh serta berkembang sehat dan

benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang

sehat. Selain itu juga untuk mencegah terjadinya

pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau

kelompok tertentu yang pada akhirnya merugikan

masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita

keadilan sosial.

Substansi yang dibahas penulis dalam

pengaturan UU Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak yaitu penyalahgunaan posisi

4

Wihana Kirana Jaya, Pengantar Ekonomi Industri Pendekatan Struktur, Perilaku dan Kinerja Pasar, BPFE, Yogyakarta, 1993, hal. 256

(4)

4

dominan yang dalam tulisan ini disingkat PPD

menurut Pasal 25 UU No.5 tahun 1999 ayat:

(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk :

a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan/atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau

b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau

b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Berikut penjabaran unsur-unsur yang terdapat dalam

Pasal 25, yaitu:

 Unsur Pelaku Usaha

Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 5 UU No.5

tahun 1999, adalah Pelaku usaha adalah setiap orang

(5)

5

hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

 Unsur Posisi Dominan

Posisi dominan menurut Pasal 1 angka 4 UU

No.5 tahun 1999, adalah Keadaan di mana pelaku

usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

 Unsur Secara Langsung Maupun Tidak

Langsung

Pengertian secara langsung dalam Pasal 25 ini

yaitu

Pelaku usaha dominan melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan. Sementara pengertian tidak langsung adalah pelaku usaha dominan memanfaatkan pelaku usaha lain untuk melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan.

 Unsur Syarat-Syarat Perdagangan

Defenisi syarat-syarat perdagangan pada intinya

(6)

6

Peristiwa atau butir perjanjian yang oleh para pihak terkait dijadikan sebagai ukuran bahwa perjanjian dimaksud dapat dilaksanakan, atau tidak terpenuhinya peristiwa atau butir tersebut ditetapkan sebagai pembatalan perjanjian.

 Unsur Konsumen

Konsumen menurut Pasal 1 angka 15 UU No.5

tahun 1999, adalah Setiap pemakai dan/atau

pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain.

 Unsur Membatasi Pasar Dan Pengembangan

Teknologi

Pasar menurut Pasal 1 angka 9 UU No.5 tahun

1999, adalah

Lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa. Sementara membatasi pasar dan pengembangan teknologi berarti

suatu bentuk perilaku yang menghambat transaksi perdagangan, inovasi serta pengembangan barang dan/atau jasa.

 Unsur Pelaku Usaha Lain

Pelaku usaha lain menurut penjelasan Pasal 17

ayat (2) huruf b UU No.5 tahun 1999, adalah

(7)

7

 Unsur Pasar Bersangkutan

Pasar Bersangkutan menurut Pasal 1 angka 10

UU No.5 tahun 1999, adalah

Pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu atau daerah tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan/atau jasa tersebut

 Unsur Pangsa Pasar

Pangsa pasar menurut Pasal 1 angka 13 UU No.5

tahun 1999, adalah Persentase nilai jual atau beli

barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu.

Posisi dominan adalah salah satu kunci pusat/pokok

dalam hukum persaingan usaha.6 Oleh karena setiap

ada kasus persaingan usaha, yang selalu

dipertanyakan pertama adalah apakah ada (siapa)

pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan pada

pasar yang bersangkutan, atau bisa juga ditanyakan

apakah pelaku usaha (terlapor) mempunyai posisi

dominan?. Kalau memang ada yang memiliki posisi

dominan maka selanjutnya ditanyakan bagaimana

pelaku usaha mencapai posisi dominannya tersebut?,

apakah pelaku usaha tersebut menyalahgunakan

6

(8)

8

posisi dominannya?, Apakah pasar yang bersangkutan

terdistorsi?, apakah pelaku usaha lain sulit masuk ke

pasar yang bersangkutan?.

Pada dasarnya sebuah perusahaan tidak

dilarang menguasai pangsa pasar 50 persen atau

lebih. Beberapa perusahaan juga tidak dilarang

menguasai pangsa pasar 75 persen atau lebih, yang

berarti memegang posisi dominan. Yang dilarang ialah

jika posisi dominan itu disalahgunakan untuk

mengeksploitasi konsumen atau pelaku usaha lain

atau berusaha untuk menyingkirkan dan menghalangi

pelaku usaha lain untuk masuk ke dalam pasar.7

Penulis menfokuskan pembahasan dalam

bentuk konsep penyalahgunaan posisi dominan.

Konsep menurut bahasa Inggris concept dan dalam

bahasa Latin conceptus, berasal dari kata concipere,

con (bersama) dan capere (menangkap, menjinakkan)

berarti memahami, menerima, menangkap. Selain itu

konsep menurut Abdulkadir Muhammad (Guru Besar

Hukum Dagang Fakultas Hukum Unila), yakni

diabstraksikan dari peristiwa konkret atau gambaran

tentang objek, proses, atau sesuatu melalui bahasa.

Lebih lanjut beliau menjelaskan konsep itu dapat

berupa definisi, batasan, unsur-unsur, ciri-ciri dan

7

(9)

9

kriteria. Jadi konsep penyalahgunaan posisi dominan

dalam tinjauan ini mencakup uraian definisi, batasan,

unsur-unsur, ciri-ciri dan kriteria yang

mengabstraksikan penyalahgunaan posisi dominan.8

Kemudian dalam rangka untuk mencari arti

sekaligus memperjelas konsep penyalahgunaan posisi

dominan dalam persaingan usaha ini, maka penulis

membahas semua putusan-putusan KPPU mulai dari

tahun 2000 sampai pada tahun 2010.

Putusan-putusan KPPU yang akan dibahas dalam penulisan ini

yaitu yang berkaitan dengan penyalahgunaan posisi

dominan yang diatur dalam Pasal 25 UU No.5 tahun

1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Putusan-putusan

KPPU ini pada akhirnya diharapkan bisa membuat

atau disimpulkan suatu konsep. Dalam membahas

kasus ini, penulis menyajikan putusan tersebut

(10)

10

Pasal 25 ayat (1) dan Tidak memenuhi Pasal 25 ayat

(2).

Adapun putusan-putusan KPPU yang berkaitan

dengan penyalahgunaan posisi dominan yang dibagi

atas 3 (tiga) varian tersebut, yaitu:

1. Terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan

Memenuhi Pasal 25 ayat (2)

a. Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003

Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli

dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dilakukan

oleh PT. JAKARTA INTERNATIONAL CONTAINER

TERMINAL (PT. JICT) yang beralamat kantor di

Jalan Sulawesi Ujung Nomor 1 Tanjung Priok,

Jakarta Utara 14310.9

PT. JICT telah melakukan kegiatan yang dapat

menghambat konsumen untuk melakukan

kerjasama usaha dengan pelaku usaha

pesaingnya, dalam bentuk pengiriman surat

penegasan yang ditandatangani oleh PT. JICT

kepada salah satu pengguna jasanya pada tanggal

5 April 2001, yang pada pokoknya menyatakan

bahwa untuk mendapatkan pelayanan bongkar

9

(11)

11

muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok

harus mengikatkan diri pada kontrak yang

bersifat ekslusif. Tanpa adanya kontrak yang

mengikat tersebut, maka tidak akan dilayani PT.

JICT.

Bentuk hambatan itu semakin nyata, ketika PT.

JICT menggunakan klausul 32.4 di dalam

authorization agreement tersebut untuk meminta

klarifikasi dan memprotes kebijakan Pelabuhan

Tanjung Priok Jakarta Utara yang memberikan

ijin operasi kepada PT. Segoro Fajar Satryo, untuk

menggunakan Dermaga 300 yang kemudian

melayani jasa bongkar muat petikemas.10

Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara adalah

pemegang hak pengelolaan pelabuhan umum

sebagaimana diatur di dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, telah

memberikan konsesi pengelolaan terminal

petikemas kepada PT. JICT dengan jaminan

bahwa tidak akan ada pembangunan terminal

petikemas sebagai tambahan dari Unit Terminal

Petikemas I, Unit Terminal Petikemas II, dan Unit

Terminal Petikemas III sebelum tercapainya

throughput sebesar 75% (tujuh puluh lima persen)

10

(12)

12

dari kapasitas rancang bangunnya sebesar 3,8

juta Teus sebagaimana dinyatakan klausul 32.4 di

dalam authorization agreement. Klausul 32.4 di

dalam authorization agreement tersebut

merupakan bentuk hambatan strategis yang

nyata bagi para pelaku usaha baru yang akan

memasuki pasar bersangkutan pelayanan

bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung

Priok.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa

PT. JICT secara sah dan meyakinkan telah

melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.11

b. Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004

Pelanggaran ini dilakukan oleh PT.Arta Boga

Cemerlang, beralamat kantor di Jalan Palmerah

Barat No. 82, Jakarta Barat 11480. Kasus ini

berawal pada pertengahan bulan Februari 2004,

PT Panasonic Gobel Indonesia (selanjutnya

disebut PT PGI) telah melaksanakan program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap

toko yang mendisplay baterai single pack (baterai

manganese tipe AA) dengan menggunakan

11

(13)

13

standing display akan diberikan 1 (satu) buah

senter yang sudah diisi dengan 4 baterai dan toko

yang selama 3 (tiga) bulan mendisplay produk

tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah

senter yang sama, sedangkan untuk material

promosi (standing display) diberikan gratis oleh PT

PGI.

Selanjutnya pada bulan Maret 2004 diperoleh

informasi bahwa PT.Arta Boga Cemerlang sedang

melaksanakan Program Geser Kompetitor

(selanjutnya disebut PGK). Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat

Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang

berisi:

1) Program Pajang dengan mendapatkan

potongan tambahan 2%, dengan ketentuan

Toko mempunyai space/ruang pajang baterai

ABC dengan ukuran minimal 0,5 x 1 meter;

Toko bersedia memajang baterai ABC, Toko

bersedia memasang POS (material promosi)

ABC.

2) Komitmen toko untuk tidak menjual baterai

Panasonic dengan mendapatkan potongan

tambahan 2%, dengan ketentuan Toko yang

(14)

14

mulai bulan Maret sudah tidak menjualnya

lagi, sehingga Toko hanya menjual baterai

ABC.

3) Mengikuti Program Pajang dan Komitmen

untuk tidak jual baterai Panasonic sehingga

patut diduga PGK tersebut dilakukan oleh

PT.Arta Boga Cemerlang; PT.Arta Boga

Cemerlang diduga melaksanakan PGK dengan

cara membuat perjanjian dengan toko untuk

tidak menjual baterai Panasonic. Bahwa

berdasarkan informasi yang diperoleh Pelapor

dari toko-toko, PT.Arta Boga Cemerlang

diduga melaksanakan PGK tersebut dengan

tujuan untuk menghambat penjualan produk

baterai merek Panasonic. Sejak PT PGI

mengeluarkan produk single pack untuk jenis

baterai AA dan melaksanakan program

promosi Single pack Display telah menambah

peningkatan penjualan baterai Panasonic.

Dengan adanya PGK banyak diantara

toko-toko yang berusaha untuk mendapatkan

potongan tambahan sebagaimana yang

dijanjikan oleh PT.Arta Boga Cemerlang.

Bahkan terdapat toko-toko yang jelas-jelas

(15)

15

dan/atau menjual baterai Panasonic, padahal

sebelumnya yang bersangkutan adalah

peserta program single pack display dari PT

PGI. Perilaku PT.Arta Boga Cemerlang sebagai

pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan

usahanya bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan maupun etika bisnis

yang ada, yaitu dengan membuat perjanjian

mengenai harga atau potongan harga tertentu

atas produk baterainya dengan memuat

persyaratan bahwa pemilik toko yang

menerima barang-barang dari PT.Arta Boga

Cemerlang tidak akan membeli barang-barang

yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain

yang menjadi pesaing dari pelaku usaha

pemasok. PT.Arta Boga Cemerlang telah

menyalahgunakan posisi dominannya untuk

menghambat pelaku usaha lain yang

berpotensi menjadi pesaingnya untuk

memasuki pasar yang bersangkutan dan

menetapkan syarat-syarat perdagangan yang

menghambat atau menghalangi konsumen

memperoleh barang dan/atau jasa yang

(16)

16

Pada akhirnya Majelis Komisi berpendapat bahwa

PT.Arta Boga Cemerlang menguasai 88,73%

pangsa pasar baterai manganese AA secara

nasional, sehingga unsur posisi dominan telah

terpenuhi. Dengan posisi dominan tersebut

PT.Arta Boga Cemerlang menyalahgunakannya

yaitu dengan menetapkan syarat-syarat

perdagangan dengan tujuan untuk mencegah

dan/atau menghalangi konsumen memperoleh

barang dan/atau jasa yang bersaing, baik dari

segi harga maupun kualitas. Dimana PT.Arta

Boga Cemerlang telah menetapkan syarat-syarat

perdagangan yang terkandung di dalam surat

perjanjian PGK dimana salah satu syarat

pemberian potongan tambahan sebesar 2% adalah

jika toko grosir dan semi grosir tidak menjual

baterai Panasonic, dengan tujuan untuk

mencegah atau menghalangi konsumen

memperoleh baterai Panasonic yang bersaing

dengan baterai ABC baik segi harga maupun

kualitas di grosir atau semi grosir yang mengikuti

PGK PT.Arta Boga Cemerlang.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa

PT.Arta Boga Cemerlang terbukti secara sah dan

(17)

17

jo. ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 5

tahun 1999.

c. Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009

Pelanggaran UU larangan praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat ini berawal dari PT.

Carrefour Indonesia mengakuisisi PT.Alfa

Retailindo,Tbk. dimana PT.Carrefour menguasai

pangsa pasar yang sebelumnya hanya sebesar

46,30 persen setelah itu meningkat menjadi

sebesar 57,99 persen di tahun 2008. Peningkatan

pangsa pasar12 ini disalahgunakan oleh

PT.Carrefour Indonesia dengan cara menetapkan

berbagai syarat perdagangan (trading terms)

kepada pemasok sehingga menimbulkan

persaingan tidak sehat dan menghambat

konsumen memperoleh barang dan jasa yang

bersaing. Hal ini dapat dilihat dari pengakuan

ketua Gabungan Elektronik (GABEL) yang

mengatakan bahwa PT.Carrefour Indonesia

merupakan suatu kekuatan yang cukup besar di

Indonesai, sehingga apabila produk Gabel tidak

ada di PT.Carrefour Indonesia maka nilai brand

12

(18)

18

GABEL tersebut berkurang. Sehingga sekalipun

GABEL mengalami kerugian akibat persyaratan

yang ditetapkan oleh PT.Carrefour Indonesia salah

satunya harus memasok juga pada PT.Alfa

Retailindo yang diakuisisi oleh PT.Carrefour

Indonesia, yang mana dalam persyaratan yang

diberlakukan PT.Alfa Retailindo harus sama pada

PT.Carrefour Indonesia.13

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa

PT. Carrefour Indonesia terbukti sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf a

Undang-Undang No.5 tahun 1999 tentang

larangan praktik monopoli dan persaingan usaha

tidak sehat.

d. Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010

Pelanggaran ini dilakukan oleh PT Pfizer

Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Overseas LLC, Pfizer

Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama.

Kasus ini berawal dari Kelompok Usaha Pfizer

diduga melakukan pelanggaran Pasal 25 ayat (1)

Undang-undang nomor 5 tahun 1999 yaitu

menyalahgunakan posisi dominannya untuk

13

(19)

19

mempengaruhi dokter dan/atau apotek agar

hanya meresepkan obat dengan merek Norvask.

Dimana pangsa pasar Norvask sepanjang periode

2000-2007 mencapai di atas 50%. Kondisi

tersebut memenuhi kriteria posisi dominan

sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (2).

Posisi dominan Pfizer untuk produk Norvask

menjadi lebih kuat karena adanya hak paten yang

baru habis pertengahan 2007. Hak paten tersebut

mengakibatkan tidak ada pelaku usaha pesaing

yang dapat menawarkan produk sejenis (selain PT

Dexa Medica) dalam periode yang bersangkutan.

Pasca paten Norvask habis pertengahan 2007,

pangsa pasar Norvask mengalami penurunan

seperti tercatat di tahun 2008 menjadi 45.52%

dan 2009 mencapai tingkat 39.50. Pfizer

Indonesia mencanangkan program HCCP pada

tahun 2005 yang melibatkan rekanan dokter dan

apotik. Berdasarkan BAP dari apotik serta

kesaksian para ahli farmakolog, peran dokter

dalam peresepan obat sangat penting.

Pihak apotik tidak dapat merubah resep yang

sudah dituliskan dokter. Selain itu, pihak dokter

lah yang memberikan kartu anggota HCCP kepada

(20)

20

fungsi input data pasien melalui mesin EDC yang

disediakan Pfizer Indonesia;

Kesaksian dari para farmakolog menyebutkan

bahwa terdapat interaksi antar dokter dengan

perusahaan farmasi yang diduga berakibat

kepada keputusan dokter dalam peresepan obat.

Berdasarkan dokumen, diperoleh data rekanan

dokter dan apotik yang masuk dalam program

HCCP Pfizer Indonesia.

Tim pemeriksa menilai bahwa program HCCP

yang menjalin kemitraan dengan para dokter akan

mempengaruhi preferensi para dokter untuk

meresepkan obat kepada pasien nya, terutama

untuk produk-produk Pfizer, termasuk Norvask.

Tim berpendapat bahwa keputusan peresepan

tersebut mempengaruhi obyektifitas dokter

sehingga akan tetap meresepkan produk produk

Pfizer Indonesia khususnya Norvask untuk pasien

penderita hipertensi. Kondisi ini diperkuat dengan

fakta bahwa sejak tahun 2007-awal 2010,

indicator most sold generic tetap dipegang oleh

produk Norvask, sementara walau sudah tersedia

branded generic (termasuk generic) lain dengan

(21)

21

tersebut belum banyak terjual atau diresepkan

oleh dokter.

Putusan Majelis Komisi KPPU berpendapat bahwa

PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc, Pfizer Overseas

LLC, Pfizer Global Trading dan PT Pfizer

Corporation Panama terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 5, Pasal 11, Pasal

16, Pasal 25 ayat (1) huruf a UU No 5 Tahun

1999.

2. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) Tapi

Terbukti Memenuhi Pasal 25 ayat (2).

a.Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf c ini

dilakukan oleh PT BURSA EFEK JAKARTA atau

disingkat PT BEJ (Terlapor I) dan PT LIMAS

STOKHOMINDO, TBK, atau disingkat PT LS

(Terlapor II). Kasus ini berkaitan dengan

pengembangan sistem pelaporan elektronik

perusahaan tercatat di Bursa Efek Jakarta.

Dimana pelanggaran ini disebabkan oleh karena

adanya perjanjian antara Terlapor I dengan

Terlapor II yang tertuang dalam Perjanjian

(22)

22

Pelaporan Elektronik Perusahaan Tercatat Nomor

SP-036/BEJ-HKM/06-2003 yang diduga dapat

menimbulkan penguasaan produksi dan/atau

pemasaran barang dan/atau jasa oleh Terlapor I

dan Terlapor II. Penunjukan Terlapor II oleh

Terlapor I untuk mengembangkan sistem

pelaporan elektronik perusahaan tercatat diduga

dilakukan dengan cara diskriminasi terhadap

pesaing Terlapor II.

PT BEJ memiliki posisi dominan terhadap pasar

jasa e-reporting & monitoring di Bursa Efek

Jakarta yang diduga dapat menghambat pelaku

usaha lain untuk memasuki pasar bersangkutan.

Kemudian dalam putusannya, Majelis Komisi

menyatakan bahwa Terlapor I dan Terlapor II

tidak terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) huruf c

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, oleh

karena PT BEJ (Terlapor I) tidak menghambat

pelaku usaha lain memasuki pasar bersangkutan

sehingga unsur menghambat pelaku usaha lain

yang berpotensi menjadi pesaing untuk

memasuki pasar bersangkutan.

(23)

23

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini

dilakukan oleh PT. Pertamina (Terlapor I), PT.

Banten Inti Gasindo, yang selanjutnya disebut PT

BIG (Terlapor II) dan PT. Isma Asia Indotama,

yang selanjutnya disebut sebagai PT IAI (Terlapor

III).

Kasus ini berkaitan dengan diskriminasi

distribusi gas yang dilakukan oleh PT Pertamina,

yaitu dengan menetapkan syarat-syarat

perdagangan kepada para trader (JPMT, SBLC,

gas make up, harga gas, sistem pembayaran dan

sebagainya ) yang akan melakukan hubungan

dagang dengan PT. Pertamina.

Berdasarkan laporan PT. Igas Utama menyatakan

PT. Pertamina telah melakukan diskriminasi

terhadap PT. Igas Utama dan PT. Banten Inti

Gasindo dalam hal PT. Banten Inti Gasindo

mendapatkan lebih besar pasokan gas dan

dipermudah persyaratan PJBGnya.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa

PT. Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar

ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf a

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan

(24)

24

terbukti memiliki posisi dominan dan juga

terbukti menetapkan syarat-syarat perdagangan

akan tetapi tidak terbukti mencegah dan/atau

menghalangi konsumen memperoleh barang

dan/atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga

maupun kualitas.

c.Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini

dilakukan oleh Terlapor dalam hal ini PT

Pertamina (Persero). Kasus ini berkaitan dengan

pendistribusian Elpiji di Sumatera Selatan.

Penerbitan surat No. 057/E22000/2006-S3 yang

pada pokoknya melarang agen Elpiji di Pulau

Bangka untuk membeli dan mengisi Elpiji di DSP

Pulau Layang dan harus mengisi di APPEL

Muntok terhitung mulai tanggal 3 Maret 2006.

Setelah terbitnya Surat No. 057/E22000/2006-S3

harga ex agen yang ditetapkan oleh Terlapor

turun menjadi Rp 63.747,- (enam puluh tiga ribu

tujuh ratus empat puluh tujuh rupiah) per

tabung 12 Kg. Hal ini disebabkan karena agen

(25)

25

Rp 17.500,- (tujuh belas ribu lima ratus rupiah)

namun turun menjadi Rp 11.639,40,- (sebelas

ribu enam ratus tiga puluh sembilan koma empat

puluh rupiah).

Bahwa berdasarkan surat GM No.

058/E22000/2006-S3 agen di Pulau Bangka

akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp

5.560,44,- (lima ribu lima ratus enam puluh

koma empat puluh empat rupiah) per tabung 12

Kg tetapi kenyataan di lapangan, keuntungan

yang diperoleh agen lebih rendah dari yang

ditetapkan oleh Terlapor. Hal ini terjadi karena

pertama APPEL melakukan penjualan langsung

melalui toko-toko dengan harga berkisar antara

Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) sampai

dengan Rp. 61.000,- (enam puluh satu ribu

rupiah). Kedua Salah satu pemegang saham PT.

Niaga Utama Pura Prima membeli elpiji secara

langsung dari agen di Palembang dan

memasarkannya ke Pulau Bangka dengan harga

antara Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah)

sampai dengan Rp 63.000,- (enam puluh tiga ribu

rupiah) per tabung 12 kg.

Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa

(26)

26

25 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 5

Tahun 1999, dengan pertimbangan karena

Terlapor telah mencabut surat larangan pengisian

Elpiji di DSP Pulau Layang dan memberikan

kebebasan kepada agen di Pulau Bangka untuk

memilih tempat pengisian Elpiji, sehingga unsur

menetapkan syarat-syarat perdagangan tidak

terpenuhi.

d. Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007

Dugaan pelanggaran Pasal 25 ayat (1) huruf b

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini

dilakukan oleh

 Terlapor I (Temasek Holdings Pte. Ltd)

 Terlapor II (Singapore Technologies

Telemedia Pte. Ltd)

 Terlapor III (STT Communications Ltd)

 Terlapor IV (Asia Mobile Holding Company

Pte. Ltd)

 Terlapor V (Asia Mobile Holdings Pte. Ltd)

 Terlapor VI (Indonesia Communications

Limited

 Terlapor VII (Indonesia Communications

(27)

27

 Terlapor VIII: Singapore

Telecommunications Ltd)

 Terlapor IX (Singapore Telecom Mobile Pte.

Ltd)

 Terlapor X (PT. Telekomunikasi Selular)

Kasus ini berkaitan dengan Telkomsel yang

menyalahgunakan posisi dominannya untuk

membatasi pasar dan pengembangan teknologi

sehingga melanggar pasal 25 ayat (1) huruf b UU

No 5 Tahun 1999.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan

Lanjutan (LHPL) Tim Pemeriksa pada pokoknya

menyatakan telah terjadi hambatan interkoneksi

yang dilakukan oleh Telkomsel sesuai dengan

bukti:

Pertama kesaksian Mastel (vide Bukti B52), yang

menyatakan bahwa degree of competition

industri seluler selama ini kurang

diakibatkan oleh operator incumbent

pada kondisi yang dapat mengancam

hubungan interkoneksi pada operator

yang menurunkan tingkat tarif. Selain

itu, meskipun sejak tahun 2007, rezim

interkoneksi sudah berbasis pada biaya

(28)

28

adanya PKS antar operator yang

memuat perjanjian tersebut.

Pada praktiknya, operator pencari

interkoneksi tidak memiliki posisi tawar

yang seimbang dengan operator

incumbent, sehingga masih mengikuti

kehendak incumbent dengan ancaman

hubungan interkoneksi diputus (BAP

Saksi Mastel tanggal 25 September

2007.

Kedua kesaksian Hutchinson (vide Bukti B14)

yang menyatakan bahwa Sempat

terdapat hambatan interkoneksi yang

dialami oleh operator baru yang

dilakukan Telkomsel dengan

mempersyarakatkan terpenuhinya

traffic sebesar 48 erl, yang sulit

dipenuhi oleh operator-operatror baru.

Dalam salah satu perjanjian

interkoneksi Telkomsel dengan salah

satu operator, diatur mengenai

Pembebanan Biaya, Penagihan dan

Pembayaran. Lebih lanjut, dalam

(29)

29

layanan SMS merupakan kewenangan

masing-masing pihak, sehingga para

pihak berhak untuk menetapkan sendiri

tarif yang dikenakan kepada

Penggunanya masing-masing dengan

batasan bahwa tarif yang dikenakan

oleh operator X kepada Penggunanya

tidak boleh lebih rendah dari tarif yang

dikenakan oleh Telkomsel kepada

Penggunanya. Operator X akan

melakukan penyesuai tarif yang

dikenakan kepada Penggunanya

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan, sejak

pemberitahuan perubahan tarif yang

disampaikan oleh Telkomsel kepada

Operator X sebagai waktu sosialisasi

bila Telkomsel melakukan perubahan

tarif yang dikenakan kepada

Pengguannya.” Namun, ketentuan

dalam Perjanjian tersebut kemudian

dicabut berdasarkan amandemen

Perjanjian.

Bentuk hambatan lain, adalah

persyaratan untuk pembangunan link

(30)

30

pihak ketiga yang ditunjuk oleh

Telkomsel. Hal tersebut menaikan biaya

secara signifikan bagi pencari

interkoneksi. Kepemilikan dan

pengoperasian link tersebut pun

menjadi milik pihak ketiga dan

telkomsel bukan menjadi milik pencari

interkoneksi.(BAP Saksi Hutchinson

tanggal 21 Juni 2007).

Ketiga Dokumen perjanjian kerja sama antara

Telkomsel dengan salah satu operator.

Selanjutnya dalam pendapat atau pembelaan

Telkomsel pada pokoknya menyatakan tidak

pernah menghambat pengembangan teknologi,

Telkomsel merupakan operator telekomunikasi

seluler pertama yang mengenalkan:

Bisnis pre-paid di Indonesia yang

menggunakan teknologi IN;

Layanan berbasis teknologi GPRS dan

EDGE;

Layanan value added services tertentu

seperti ring back tone;

(31)

31

Layanan-layanan 3G yang menyediakan

layanan video call, video streaming.

Pengembangan-pengembangan teknologi yang

digunakan oleh Telkomsel yang kemudian juga

diaplikasikan oleh kompetitor- kompetitor

Telkomsel lainnya dan yang dapat memberikan

kontribusi positif bagi perkembangan pasar

telekomunikasi selular.

Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa PT.

Pertamina (persero) tidak terbukti melanggar

ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf b

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan

pertimbangan bahwa meskipun telah terjadi

pembatasan pasar melalui hambatan interkoneksi

namun tidak terjadi pembatasan pengembangan

teknologi, sehingga dengan tidak terpenuhinya

unsur pembatasan pengembangan teknologi

maka Majelis Komisi tidak perlu menilai dampak

yang terjadi akibat terjadinya pembatasan pasar

dan pengembangan teknologi tersebut.

3. Tidak Terbukti Melanggar Pasal 25 ayat (1) dan

Tidak Memenuhi Pasal 25 ayat (2)

(32)

32

Dugaan pelanggaran UU persaingan usaha ini

dilakukan oleh PT. Indomarco Prismatama, yang

beralamat di Jl. Ancol I No.9 10, Ancol Barat

Jakarta 14430, sebagai pemilik dan pemegang

hak merek dagang "Indomaret" untuk usaha

ecerannya dalam bentuk baik toko swalayan milik

sendiri maupun toko swalayan dengan sistem

waralaba. Kasus ini berawal dari laporan tertulis

pada tanggal 12 April 2000 yang diterima oleh

Komisi pada tanggal 9 Agustus 2000 oleh sebuah

lembaga swadaya masyarakat yang selanjutnya

disebut sebagai Saksi Pelapor. Berdasarkan

wawancara langsung kepada 429 orang

pengusaha kecil/pemilik warung yang dianggap

mewakili seluruh pemilik warung di wilayah

Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi

(Jabotabek). Sebanyak 129 pengusaha kecil yang

diwawancarai tersebut menyatakan bahwa sejak

berdirinya Swalayan Indomaret mempunyai

dampak negatif terhadap usaha usahanya, karena

keberadaan Indomaret tersebut mempunyai

dampak merugikan pengusaha kecil yang ada

disekitarnya, di setiap satu Toko Swalayan

Indomaret. Padahal di sekitarnya diperkirakan

(33)

33

Swalayan Indomaret akibatnya 2900 usaha kecil

terancam mati, karena kalah bersaing dengan

harga dan kenyamanan yang disediakan oleh

Indomaret. Apabila dibiarkan rencana berdirinya

sampai 2000 Toko Swalayan Indomaret, maka

diperkirakan 20.000 usaha kecil yang berada di

Jabotabek akan mati atau minimal 80.000 orang

masyarakat miskin tambah melarat, resah

kehilangan mata pencaharian.

Selain itu juga sistem yang diterapkan oleh PT.

Indomarco adalah pemegang hak merek Swalayan

Indomaret dan jaminan pemasokan barang

dagangan dengan harga distributor. Sedangkan

pewaralaba berkewajiban menyiapkan gedung

dan investasi + 300 juta (termasuk untuk

Franchise Fee Rp.82,5 juta yang diberikan kepada

PT. Indomarco).

Majelis Komisi KPPU dalam pertimbangan

menyatakan bahwa tidak ditemukan bukti-bukti

Terlapor mempunyai posisi dominan karena tidak

menguasai pangsa pasar 50% (lima puluh persen)

atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau

jasa tertentu. Selain itu juga tidak ditemukan

bukti-bukti Terlapor melakukan secara

(34)

34

yang menguasai 75% atau lebih pangsa pasar

satu jenis barang atau jasa tertentu. Atas dasar

fakta ini Terlapor tidak dapat dinyatakan dan

dikategorikan mempunyai posisi dominan secara

mutlak. Karena itu tuduhan pelanggaran yang

dilakukan Terlapor terhadap Pasal 1 adalah tidak

relevan, sehingga dalam putusan KPPU, Majelis

Komisi tidak secara tegas menyatakan bahwa

Terlapor tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar Pasal 25 UU No.5 tahun

1999.

b. Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004

Dugaan pelanggaran Pasal 25 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 ini dilakukan oleh PT.

Telekomunikasi Indonesia Tbk (Terlapor). Kasus

ini berkaitan dengan tindakan pemblokiran

terhadap SLI kode akses 001 dan 008 milik PT.

Indosat oleh Terlapor, dengan cara menutup

layanan SLI kode akses 001 dan 008 di beberapa

warung telekomunikasi (wartel), dan menyediakan

layanan internasional dengan kode akses 017.

Serta mengubah perjanjian kerjasama dengan

pemilik wartel, bahwa wartel hanya diperbolehkan

(35)

35

melakukan blocking/menutup akses layanan

milik operator lain dari wartel.

Putusan Majelis Komisi menyatakan bahwa PT.

Telekomunikasi Indonesia tidak terbukti secara

sah dan meyakinkan melanggar Pasal 25

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dengan

pertimbangan bahwa pasar bersangkutan dalam

perkara ini adalah jasa telepon internasional

melalui akses jaringan tetap lokal nasional

sehingga posisi dominan pelaku usaha ditentukan

dari pangsa pasar jasa telepon internasional yang

dijual atau disediakannya. Posisi Terlapor

meskipun menguasai 90-95% jaringan tetap tidak

dapat disimpulkan sebagai pemegang posisi

dominan karena pelaku usaha dalam jasa telepon

internasional melalui akses jaringan tetap lokal

nasional dalam perkara ini adalah PT Indosat.

Sehingga unsur pelaku usaha memiliki posisi

dominan dalam pasar bersangkutan sebagaimana

dimaksud pasal 25 ayat (2) tidak terpenuhi. Dari

pertimbangan tersebut menegaskan bahwa unsur

ayat (2) pasal 25 sebagai persyaratan untuk

mempertimbangkan ayat (1) pasal 25 tidak

(36)

36

mempertimbangkan unsur-unsur

penyalahgunaan posisi dominan ayat (1) pasal 25.

Mengingat karakteristik, dampak dan beberapa

putusan KPPU mengenai penyalahgunaan posisi

dominan ini, maka analisis yang mendalam terhadap

maksud dan tujuan serta akibat yang ditimbulkan

oleh penyalahgunaan posisi dominan ini mutlak

diperlukan dengan menggunakan teori yang relevan

dan juga mengaitkannya dengan beberapa pasal lain

yang terdapat dalam UU Persaingan Usaha, sehingga

penulis topik tesis ini menarik untuk diteliti.

B.

Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah

diuraikan di atas, maka rumusan masalah yang

menjadi topik pembahasan dalam penulisan tesis ini

adalah:

Bagaimana konsep penyalahgunaan posisi

dominan dalam hukum persaingan usaha di

Indonesia?

C.

Tujuan Penelitian

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas,

(37)

37

untuk mengetahui seperti apa konsep penyalahgunaan

posisi dominan dalam hukum persaingan usaha di

Indonesia.

Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya penelitian

ini maka peneliti sekaligus penulis dapat memberikan

setidaknya sumbangan pemikiran terhadap

penegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia

dan juga bahan refensi bagi yang mau mempelajari

atau mendalami mengenai hukum persaingan usaha.

D.

Metode Penelitian

1. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan oleh

penulis dalam tesis ini, yaitu:

a. Pendekatan Konseptual (Conceptual

Approach)

Pendekatan konspeptual beranjak dari

pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang dalam ilmu hukum untuk

menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang

(38)

38

b. Pendekatan Perundang-undangan (Statute

Approach).

Oleh karena tipe penelitian yang bersifat

normatif, maka pendekatan

Perundang-Undangan seperti ini merupakan suatu

pendekatan yang penting dalam meneliti

aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus

tema sentral suatu penelitian.14 Pendekatan

ini dilakukan dengan menelaah

Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutpaut

dengan isu hukum yang ditangani.

Peraturan hukum yang dimaksud dalam hal

ini adalah yang berkaitan dengan larangan

praktik monopoli dan persaingan tidak

sehat.

c. Pendekatan Analitis (Analytical Appoach).

Pendekatan analisis terhadap bahan hukum

seperti ini, dimaksudkan untuk mengetahui

makna yang terkandung dalam istilah-istilah

yang digunakan dalam

Perundang-Undangan secara konsepsional, sekaligus

mengetahui penerapannya dalam praktik

14

(39)

39

dan putusan-putusan KPPU.15 Hal ini dapat

dilakukan melalui dua pemeriksaan yaitu (a)

Sang peneliti berusaha memperoleh makna

baru yang terkandung dalam aturan hukum

yang bersangkutan (b) Menguji istilah-istilah

hukum tersebut dalam praktik melalui

analisis terhadap putusan-putusan hukum.

2. Bahan Hukum

Yang menjadi bahan dasar penelitian hukum

normatif ini yaitu bahan hukum primer, sekunder dan

tersier.16

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum

yang terdiri atas peraturan

Perundang-Undangan yang diurutkan berdasarkan

hierarki Peraturan Perundang-Undangan

yang relevan dengan penelitian yaitu Undang

Undang nomor 5 tahun 1999.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan

hukum yang terdiri atas buku-buku teks

(text books) yang ditulis para ahli hukum

yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum,

15

Ibid., hal. 310 16

(40)

40

putusan-putusan KPPU dan lain sebagainya.

Putusan-putusan KPPU yang menjadi bahan

penelitian tesis ini yaitu:

(1) Perkara Nomor: 04/KPPU-I/2003

tentang Jakarta International

Container Terminal (JICT)

(2) Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004

tentang Arta Boga Cemerlang (ABC)

(3) Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009

tentang Akuisisi Alfa Supermarket oleh

Carrefour

(4) Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010

tentang Farmasi

(5) Perkara Nomor: 05/KPPU-I/2005

tentang Bursa Efek Jakarta (BEJ)

(6) Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005

tentang Igas

(7) Perkara Nomor: 15/KPPU-L/2006

tentang Liquified Petroleum Gas (LPG)

(8) Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007

tentang Temasek

(9) Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000

(41)

41

(10)Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004

tentang Telkom - Sambungan

Langsung Internasional (SLI).

Bahan hukum sekunder ini berkaitan

dengan konsep-konsep hukum persaingan

usaha sehingga menjadi salah satu panduan

berpikir, berisikan informasi tentang bahan

primer yang digunakan penulis dalam

menganalisis konsep penyalahgunaan posisi

dominan dalam hukum persaingan usaha di

indonesia.17

c. Bahan hukum tersier sering juga disebut

sebgai bahan hukum penunjang,18 bahan

hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder seperti

ensiklopedia hukum, majalah hukum,

kamus hukum, dan lain lain.19

17

Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hal.155

18

Op.Cit., hal. 32 19

(42)

42

E.

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan tesis ini dibagi atas 3

(tiga) bagian yaitu:

1. Bagian Pendahuluan Tesis

Bagian pendahuluan tesis ini terdiri terdiri

dari Lembar Judul, Lembar Persetujuan,

Lembar Pengujian, Motto, Abstrak (Abstact),

Kata Pengantar, Daftar Isi danDaftar Tabel.

2. Bagian Isi Tesis

a) Bab I (satu) pendahuluan terdiri dari

beberapa hal yang terkait, yaitu dimulai

dengan alasan pemilihan judul, latar

belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, metode penelitian dan

sistematika penulisan.

b) Bab II (dua) membahas tentang tinjauan

pustaka.

c) Bab III (tiga) memuat mengenai hasil

penelitian dan analisis.

d) Bab IV (empat) penutup ini berisikan

tentang kesimpulan dari keseluruhan

bab dan saran dalam pemecahan

(43)

43

3. Bagian Akhir Tesis

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian berdasarkan permasalahan diatas maka perlu diadakan pelatihan peningkatan kemampuan aritmatika bagi masyarakat umum terutama anak-anak usia sekolah,

Subjek dalam penelitian ini adalah guru dan peserta didik kelas XII Ilmu-Ilmu Sosial di Madrasah Aliyah Negeri 1 Pekanbaru, sedangkan objek dalam penelitian ini adalah

Hasil penelitian tentang studi keanekaragaman makrofungi di Resor Way Kanan Balai Taman Nasional Way Kambas disusun sebagai sumber belajar LKPD (Lembar Kerja

Disk işlemleri menüsüne geçmek için, PCTOOLS’un açılış menüsünde iken F3 tuşuna basarak geçebileceğimiz gibi, dosya işlemleri menüsünde iken de F3 tuşuna

Pada tahap in ianggot a- anggot a t ubuh m asih ber ukur an

Lampiran 1 Laporan Hasil Produksi Bagian Tayloring Bulan Januari L.1 Lampiran 2 Laporan Hasil Produksi Bagian Tayloring Bulan Februari L.2 Lampiran 3 Laporan Hasil Produksi

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, selanjutnya disingkat APBDesa adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan desa yang dibahas dan disetujui bersama

Perubahan penggunaan lahan bercadangan C tinggi ke penggunaan lahan dengan cadangan C lebih rendah, bukan hanya menyebabkan hilangnya cadangan karbon di atas permukaan