• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Tentang Perikatan Jual Beli

BAB II PROSEDUR PERALIHAN HAK GUNA USAHA

A. Pengaturan Tentang Perikatan Jual Beli

Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) menyebutkan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”.55 Dari ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata tersebut diketahui bahwa timbulnya perikatan karena persetujuan dan karena Undang-Undang, dengan demikian dikatakan bahwa Undang-Undang dan perjanjian adalah sumber perikatan.56

Secara garis besar menurut KUH Perdata sumber perikatan dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang

Perikatan yang lahir dari Undang-Undang ini asas kebebasan mengadakan perjanjian tidak berlaku. Suatu perbuatan menjadi perikatan adalah karena kehendak Undang-Undang. Untuk perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian maka pembentuk Undang-Undang memberikan aturan-aturan yang umum. Tidak demikian halnya dengan perikatan yang lahir dari

55

Lihat Pasal 1233 KUHPerdata

56

Dalam Pasal 1233 KUHPerdata walaupun tidak ada disebutkan mengenai kata perjanjian akan tetapi J. Satrio memberikan maksud yang sama dengan kata persetujuan yaitu terjemahan dari kata Belanda “Overeenkomst”. J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal 2.

Undang dimana pembentuk Undang-Undang tidak memberikan aturan-aturan yang umum.

Untuk terjadinya perikatan di atas, Undang-Undang tidak mewajibkan dipenuhinya syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan untuk terjadinya perjanjian.57 Oleh karena perikatan ini bersumber dari Undang-Undang, sehingga terlepas dari kemauan para pihak. Perikatan yang bersumber dari Undang-Undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan hukum (perikatan) di antara para pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut.

Perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan orang yang menurut hukum misalnya mengurus kepentingan orang lain secara sukarela

(zaakwaarneming), dimana sebagai akibatnya, Undang-Undang menetapkan beberapa

hak dan kewajiban, yang harus mereka perhatikan seperti hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.

Perikatan yang lahir dari Undang-Undang sebagai akibat perbuatan orang yang melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata,58 Undang-Undang menetapkan kewajiban orang itu untuk memberi ganti rugi.

Perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) memang hampir serupa dengan wanprestasi sehingga dapat dikatakan, wanprestasi adalah juga merupakan “genus spesifik” dari “onrechmatige daad” seperti yang dirumuskan dalam Pasal

57

Lihat syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

58

1365 KUHPerdata. Oleh karena itu, sebagaimana juga halnya dalam onrechmatige daad/perbuatan melawan hukum, maka dalam wanprestasi pun demikian halnya. Yakni wanprestasi sebagai perbuatan melawan hak kreditur.59

2. Perikatan yang bersumber dari perjanjian

Dalam perikatan yang lahir melalui perjanjian, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yaitu tidak dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.60

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata disebutkan “semua perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.61 Dengan adanya kebebasan mengadakan perjanjian maka subjek-subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan perikatan-perikatan yang namanya ditentukan oleh Undang-Undang yaitu sebagaimana yang tercantum pada Bab V sampai dengan Bab XVIII dalam Buku ke III KUHPerdata, tetapi berhak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang namanya tidak ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut Suharnoko, akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak, karena memang perjanjian didasarkan atas kesepakatan yaitu persesuaian kehendak antara para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari

59

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung 1992, hal 61.

60

Lihat Pasal 1337 KUHPerdata.

61

Undang-Undang tidak dikehendaki oleh para pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh Undang-Undang. Apabila atas perjanjian yang disepakati terjadi pelanggaran, maka dapat diajukan gugatan wanprestasi karena ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak yang menderita kerugian. Apabila tidak ada hubungan kontraktual antara pihak yang menimbulkan kerugian dan pihak menderita kerugian, maka dapat diajukan gugatan

perbuatan melewan hukum.62

Selanjutnya mengenai perikatan ini dapat juga dilihat dari ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.63

Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas dapat dipahami, pengertian perjanjian hanya mengenai perjanjian sepihak termasuk juga pada perbuatan dan tindakan, seperti zaakwarneming, onregmatige daad. Abdulkadir Muhammad mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata kurang memuaskan karena ada kelemahannya yaitu :

1. Hanya menyangkut sepihak saja. Dari rumusan ini diketahui satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih. Kata kerja “mengikat” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak

62

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Prenada Media, Jakarta 2004, hal 115-116.

63

dari kedua belah pihak. Seharusnya rumusan itu saling “mengikat diri” terlihat dari adanya consensus dari kedua belah pihak.

2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus maksudnya dalam

pengertian “perbuatan” termasuk tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) dan tindakan melawan hukum yang tidak mengandung adanya consensus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan” saja.

3. Pengertian perjanjian terlalu luas. Dikatakan terlalu luas karena terdapat juga dalam lapangan hukum keluarga yang terdapat dalam buku I seperti janji kawin, pelangsungan perkawinan. Sedangkan perjanjian yang dikehendaki oleh buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan bersifat personal.

4. Dalam rumusan pasal tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak mengikat dirinya tidak untuk apa.64

Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas menurut Abdulkadir Muhammad, perjanjian adalah “Suatu persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri untuk melakukan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”.65 Menurut R. Subekti perjanjian adalah “Suatu peristiwa dimana seseorang mengikatkan diri kepada orang lain atau lebih dimana orang tersebut saling berjanji untuk melakukan suatu hal”.66

Berdasarkan rumusan perjanjian di atas dijumpai beberapa unsur dalam suatu perjanjian, yaitu sebagai berikut.

(1) Perikatan (hubungan hukum).

(2) Subyek hukum.

(3) Isi (hak dan kewajiban).

64

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1992, hal. 78.

65 Ibid, hal. 78.

66

(4) Ruang lingkup (lingkup hukum harta kekayaan).

Menurut J. Satrio, bahwa “Pembuat Undang-Undang dalam Pasal 1313 KUH Perdata mencoba memberikan perumusan tentang apa itu yang disebut perjanjian, tetapi ia sama sekali tidak menjelaskan apa itu perikatan”.67 Mariam Darus Badrulzaman, mengartikan bahwa “Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi di antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu”.68

Menurut M. Yahya Harahap, bahwa “Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian : suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.69

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut terlihat masih belum ada kesepakatan dalam penggunaan kata perjanjian dan perikatan, karena walaupun menggunakan kata yang berbeda namun pada umumnya tetap mengacu kepada pengertian mengenai perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, namun penulis dalam penulisan ini menggunakan istilah “Perikatan” untuk “Verbintenis” sedangkan “Perjanjian” untuk istilah “overeenkomst”.

67

J. Satrio, Op.Cit., hal 1.

68

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal 1.

69

Pasal 1313 KUH Perdata dan pendapat tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa dalam suatu perjanjian terdapat hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang menimbulkan perikatan. Dengan demikian untuk adanya suatu perjanjian paling sedikit harus ada dua pihak yaitu kreditur dan debitur. Sesuai dengan uraian tersebut dapatlah dimengerti bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan sesuatu.70

Pengertian di atas juga menunjukkan bahwa perjanjian terjadi pada saat persetujuan itu disepakati. Dalam hal ini jelaslah persetujuan merupakan hal yang utama karena setiap pihak yang membuat perjanjian telah memikirkan tentang hak yang akan diperoleh sebagai keuntungam baginya dan kewajiban sebagai beban prestasi yang harus dilaksanakan.

Perjanjian ini merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Apabila seseorang berjanji kepada orang lain, maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang biasa diistilahkan dengan perjanjian sepihak, di mana hanya seorang saja yang wajib menyerahkan sesuatu kepada orang lain, sedangkan orang yang menerima penyerahan itu tidak memberikan sesuatu sebagai balasan (kontra prestasi) atas sesuatu yang diterimanya. Sementara itu, apabila dua orang saling berjanji, ini berarti masing-masing pihak berhak untuk menerima apa

yang diperjanjikan oleh pihak lain. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak dibebani kewajiban dan diberi hak sebagaimana yang dijanjikan.71

Kontrak pada umumnya janji-janji mengandung atau memuat para pihak itu saling “berlawanan”, misalnya dalam perjanjian jual beli, tentu saja satu pihak menginginkan barang, sedangkan pihak lain menginginkan uang karena tidak

mungkin terjadi jual beli kalau kedua belah pihak menginginkan hal yang sama.72 Perjanjian merupakan suatu peristiwa yang kongkret dan dapat dinikmati, baik yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini berbeda dari kegiatan yang tidak kongkrit, tetapi abstrak atau tidak dapat dinikmati karena perikatan itu hanya merupakan akibat dari adanya perjanjian tersebut yang menyebabkan orang atau para pihak terikat untuk memenuhi apa yang dijanjikan.

KUH Perdata mengenal berbagai jenis perjanjian, salah satunya adalah jual beli. Jual beli merupakan salah satu dasar pemindahan atau pengalihan hak milik dari satu orang kepada orang lain. Pasal 1457 KUH Perdata menyebutkan

“Jual beli adalah suatu persetujuan dimana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Perjanjian jual beli dianggap telah terjadi pada saat pihak penjual dan pembeli telah tercapai kata sepakat tentang benda dan harganya, meskipun pembayaran harga itu penyerahan bendanya belum dilakukan.

71 Ibid

72

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak (Perancangan Kontrak), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3

Selain itu, pengertian jual beli juga dikemukakan oleh S.B.Marsh dan J. Soulbsby yang dialih bahasakan oleh Abdul Kadir Muhammad bahwa perjanjian

jual beli adalah perjanjian di mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak miliknya atas suatu barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga.73

Pengertian di atas menjelaskan bahwa dalam perjanjian jual beli tercakup dua unsur yang pokok yaitu barang dan harga. Sehingga perjanjian jual beli dianggap sudah berlangsung antar pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang “keadaan barang dan harga barang” tersebut.

Perkataan jual beli menunjukkan bahwa satu pihak dinamakan penjual, sedang pihak lainnya dinamakan pembeli. Istilah yang mencakup dua perbuatan yang timbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda “Koopt en Verkoopt” yaitu (Verkoopt) menjual dan (Koopt) membeli.74)

Pasal 1145 KUH Perdata menyebutkan :

Jika penjualan telah dilakukan tunai, maka si penjual bahkan mempunyai kekuasaan menuntut kembali barang-barangnya, selama barang-barang ini masih berada di tangan si pembeli, sedangkan ia dapat menghalang-halangi dijualnya terus barang-barang itu, asal saja penuntutan kembali itu dilakukan di dalam jangka waktu tiga puluh hari setelah penyerahannya.

Kemudian dalam Pasal 1457 KUH Perdata ditentukan bahwa jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

73

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian (Business Law), Alumni Bandung, 2006, hal. 243.

menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.

Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar KUH Perdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus melaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.

Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas Hukum Kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut :

1. Asas Konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

2. Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatannya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap

beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak.

4. Asas Persamaan Hak

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan.

5. Asas Keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.

6. Asas Moral

Asas ini terlihat di dalam Zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata.

7. Asas Kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

8. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.75

Perjanjian baik dilakukan secara tertulis maupun lisan sama-sama mengikat para pihak yang membuatnya, asalkan memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun demikian, perjanjian secara lisan di dalam dunia perdagangan dan bisnis kurang disukai karena apabila terjadi sengketa sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti. Pembuktian perjanjian yang dibuat secara lisan dapat

75

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (standar) Perkembangannya di Indonesia, Alumni Bandung, 1990, hal. 42-44.

dilakukan dengan saksi. Para saksi adalah manusia yang tidak luput dari lupa, sifat yang tidak jujur, atau meninggal dunia.

Dokumen terkait