• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian dan Kewenangan Notaris dan PPAT

BAB IV PERANAN NOTARIS DAN PPAT DALAM

A. Pengertian dan Kewenangan Notaris dan PPAT

1. Notaris

Notaris di Indonesia mulai dikenal pada zaman permulaan abad ke 17 yaitu dengan didirikannya “Oost Ind. Compagnie”. Pertama sekali Notaris yang diangkat di Indonesia adalah Melchior Kerchen (dia adalah Sekretaris College Schepenen). Setelah pengangkatannya jumlah notaris terus bertambah sesuai dengan kebutuhan pada waktu itu.139)

Perjalanan Notaris Indonesia mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan hukum negara dan bangsa Indonesia. Hal ini ditandai dengan berhasilnya pemerintahan orde Reformasi mengeluarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU Jabatan Notaris). Ketentuan yang diatur dalam UU Jabatan Notaris ini merupakan pengganti Peraturan Jabatan Notaris (Stb. 1660-3) dan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860: 3) yang dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan perkembangan masyarakat.140)

139

Herlin Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 5.

140

Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Sinar

Dengan demikian pada mulanya ketentuan tentang notaris didasarkan pada ketentuan Peraturan Jabatan Notaris (Stb. 1660-3) dan Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860: 3). Penerapan ketentuan tentang Notaris ini tergantung pada sistem hukum yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Namun secara tradisional terdapat dua kelompok tradisi hukum Anglo Saxon. Perbedaan keduanya terletak pada peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi.

Negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi kontinental biasanya menempatkan peraturan perundang-undangan sebagai akar utama sistem hukumnya. Sebaliknya negara-negara yang tergolong ke dalam faham tradisi Anglo Saxon menempatkan yurisprudensi sebagai akar utama dalam sistem hukumnya.

Bagi negara Indonesia sendiri, sistem hukum yang dianut sesuai dengan asas konkordansi adalah sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga Peraturan Hukum yang mengatur tentang jabatan notaris dipengaruhi oleh hukum negeri Belanda. Peraturan Notaris yang dipakai sebelumnya adalah Stb Nomor 3 yang mulai diberlakukan tanggal 1 Juli Tahun 1860, yang kemudian diundangkan sebagai “Notaris Reglement” (Peraturan-peraturan Jabatan Notaris) yang diletakkan sebagai fundamen landasan kelembagaan Notaris di Indonesia. Kemudian Stb Nomor 3 Tahun 1860 ini dicabut dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober Tahun 2004. Dalam diktum penjelasan UUJN dinyatakan bahwa UUD 1945 menentukan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum

menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.

Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 UU Jabatan Notaris didefiniskan sebagai “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaskud dalam undang-undang ini”. Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 UU Jabatan Notaris ini merupakan pengertian Notaris yang umum. Apabila dikaitkan Pasal 1 angka 1 dengan Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris, maka terciptalah definisi Notaris yaitu :

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang utuk membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.141

Pengertian pejabat umum yang diemban oleh notaris bukan berarti notaris adalah pegawai negeri dimana pegawai yang merupakan bagian dari suatu korps pegawai yang tersusun, dengan hubungan kerja yang hirarkis, yang digaji oleh pemerintah; seperti yang dimaksud dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Notaris adalah pejabat pemerintah tanpa diberi gaji oleh

141

pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah tanpa mendapat uang pensiun dari pemerintah.

Pejabat umum yang dimaksud disini adalah pejabat yang dimaksudkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dari bunyi Pasal 1 angka 1 UU Jabatan Notaris, maka sangat jelas dikatakan bahwa notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Di luar notaris sebagai pejabat umum masih dikenal lagi pejabat-pejabat lain yang juga tugasnya membuat alat bukti yang bersifat otentik, seperti Pejabat Kantor Catatan Sipil, Pejabat Kantor Lelang Negara, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kepala Kantor Urusan Agama, Panitera di Pengadilan yang bertugas membuat exploit atau pemberitahuan dari Juru Sita, dan lain sebagainya.

Bentuk atau corak notaris dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok utama, yaitu:

a) Notariat Functionnel, dalam mana wewenang-wewenang pemerintah

didelegasikan (gedelegeerd), dan demikian diduga mempunyai kebenaran isinya, mempunyai kekuatan bukti formal dan mempunyai daya/kekuatan eksekusi. Di negara-negara yang menganut macam/bentuk notariat seperti ini terdapat pemisahan yang keras antara ”wettelijke” dan ”niet

wettelijke”, ”werkzaamheden” yaitu pekerjaan yang berdasarkan

Undang-undang/hukum dan yang tidak/bukan dalam notariat.

b) Notariat Profesional, dalam kelompok ini walaupun pemerintah mengatur tentang organisasinya, tetapi akta-akta notaris itu tidak mempunyai akibat-akibat khusus tentang kebenarannya, kekuatan bukti, demikian pula kekuatan eksekutorialnya.28

28

Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris umum wajib mengucapkan sumpah/atau janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, demikian juga halnya pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Jabatan Notaris.

Syarat-syarat untuk diangkat menjadi Notaris telah diatur dalam Pasal 3 UU Jabatan Notaris sebagai berikut :

a. Warga negara Indonesia;

b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun ; d. Sehat jasmani dan rohani;

e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan

Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;

g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.142

2. Pejabat Pembuat Akta Tanah/PPAT

Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut dengan PPAT) sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan pendaftaran tanah sebagai pelaksana Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, maka setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, menggadaikan

142

tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria.

Sejak diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 19 Juli 1988, maka PPAT diangkat dan/atau ditunjuk oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah maka berdasarkan Pasal 65 dinyatakan bahwa Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tidak berlaku sejak berlakunya peraturan pemerintah ini.

Selanjutnya mengenai PPAT diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 37 Tahun 1998 tanggal 5 Maret 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sebelum keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuatan Akta Tanah, yang menentukan bahwa tugas pokok PPAT adalah membuat akta pemindahan, pembebanan hak atas tanah dan Surat Kuasa Membebani Hak Tanggungan, pengaturan PPAT dijumpai dalam berbagai peraturan yang berhubungan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah, perpajakan dan lain-lain. Menurut Rustam Effendi Rasyid “Hal ini dikarenakan fungsi PPAT berkaitan dengan pelaksanaan pendaftaran tanah dan pendaftaran tanah itu sendiri berkaitan dengan perpajakan”.143

143

Rustam Effendi Rasyid, Pendaftaran Tanah dan PPAT, Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun, hal. 90

Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, adalah Peraturan Pelaksanaan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1998 tentang Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, yang dalam Pasal 1 ayat (1) ditentukan bahwa : “Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”.

Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah :

a) Jual beli;

b) Tukar-menukar;

c) Hibah;

d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

e) Pembagian hak bersama;

f) Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;

g) Pemberian hak tanggungan;

h) Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.144

Menurut Ali Achmad Chomzah bahwa :

Seorang PPAT berfungsi untuk membuat akte pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah dan akta-akta lain yang diatur dalam peraturan

144

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

perundangan yang berlaku dan membantu Kepala Kantor Pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta yang akan

dijadikan dasar pendaftaran perubahan dalam pendaftaran tanah.145

Pada ke-PPAT-an, dikenal 3 (tiga) jenis Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah, Camat selaku PPAT dan Pejabat Pembuat Akta Tanah

dengan wewenang khusus.146

Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dimaksud adalah seseorang yang setelah menempuh ujian negara, lulus ujian PPAT, yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 6 PP No. 37 Tahun 1998 yang menentukan syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT adalah :

a. Berkewarganegaraan Indonesia;

b. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;

c. Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan Surat Keterangan yang

dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat;

d. Belum pernah dihukum penjara, karena melakukan kejahatan

berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

e. Sehat jasmani dan rohani;

f. Lulusan Program Pendidikan Spesialist Notarist atau Program Khusus PPAT yang diselenggarakan Lembaga Pendidikan Tinggi;

g. Lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/

Badan Pertanahan Nasional.

Camat, yang menjabat selaku PPAT, karena jabatannya memerlukan surat keputusan pengangkatannya oleh Kepala Kantor Wilayah, atas nama Menteri.147 Tugasnya sama dengan PPAT karena Camat tersebut juga menempuh ujian PPAT.

145

Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia, Jilid 2, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, hal. 67

146Ibid, hal. 75

147

Pasal 7 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999, tertanggal 30 Maret 1999.

Tugasnya sama seperti mereka yang termasuk PPAT, karena menempuh ujian

PPAT.148 Untuk Camat yang wilayah kerjanya berada didalam daerah

Kabupaten/Kotamadya yang formasi PPAT-ya belum terpenuhi, maka dapat ditunjuk PPAT Sementara.149

Selain Camat, Menteri juga dapat menunjuk Kepala Desa untuk melaksanakan tugas PPAT dengan dasar pertimbangan untuk memenuhi pelayanan masyarakat di daerah-daerah terpencil, yang masyarakat akan merasa kesulitan jika harus pergi ke Kantor Camat untuk melaksanakan tranksasi tanahnya.150

PPAT dengan wewenang khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu, khusus dalam pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.151 Penunjukan Kepala Kantor Pertanahan sebagai PPAT Khusus dilakukan oleh Menteri secara kasus per kasus, yang dapat dilakukan di dalam Keputusan mengenai penetapan Program Khusus Pelayanan Masyarakat yang memerlukan ditunjuknya Kepala Kantor Pertanahan sebagai PPAT Khusus.152

148

Peraturan Edaran Menteri Pertanian dan Agraria, tertanggal 21 April 1962, Nomor Und i/2/6/3, Juncto Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998

149

Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria, Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999

150

Ali Achmad Chomzah, Op cit, hal. 76

151

Pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

152

Pasal 8 Peraturan Menteri Negara Agraria, Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1999

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Notaris dan PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Akte yang dibuat di hadapan notaris merupakan bukti otentik bukti sempurna, dengan segala akibatnya.153

Jabatan dan profesi notaris sebagai produk hukum, sumbangsih dan peran sertanya semakin dibutuhkan untuk mengayomi masyarakat dan mendukung tegaknya supremasi hukum. Notaris tidak hanya bertugas membuat akte otentik semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan atau yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, tetapi juga harus dapat berfungsi membentuk hukum karena perjanjian antara pihak berlaku sebagai produk hukum yang mengikat para pihak.154

Akta yang dibuat notaris dan PPAT memuat atau menguraikan secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi, atau dapat juga dikatakan bahwa akta notaris merupakan rangkaian suatu cerita mengenai peristiwa yang terjadi, hal ini disebabkan karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak yang membuat perjanjian atau disebabkan oleh orang lain dihadapan notaris. Akta notaris dapat dibedakan atas 2 bentuk yaitu :

(a) akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan ”akta relaas”

atau akta pejabat (ambtelijke akten). Akta jenis ini diantaranya akta berita acara rapat para pemegang saham perseroan terbatas, akta

153

A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hal 64

154

Annonimous, Notaris Harus Dapat Menjamin Kepastian Hukum, http://www.d-infokom-jatim.go.id/, Diakses Mei 2010.

pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan, akta berita acara penarikan undian.

(b) akta yang diperbuat dihadapan (ten overstaan van een) notaris atau yang dinamakan akta partij (partij akten). Akta jenis ini diantaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian pinjam pakai, akta persetujuan kredit dan sebagainya.155

R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan bahwa :

Untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang Advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu.156

Menurut A. Kohar akta adalah tulisan yang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti.157 Apabila sebuah akta dibuat di hadapan Notaris maka akta tersebut dikatakan sebagai akta notarial, atau otentik, atau akta Notaris. Suatu akta dikatakan otentik apabila dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akta yang dibuat di hadapan Notaris merupakan akta otentik, sedang akta yang dibuat hanya di antara pihak-pihak yang berkepentingan itu namanya surat di bawah tangan. Akta-akta yang tidak disebutkan dalam undang-undang harus dengan akta otentik boleh saja dibuat di bawah tangan, hanya saja apabila menginginkan kekuatan pembuktiannya menjadi kuat maka harus dibuat dengan akta otentik.

155

Gloria Gita Putri Ginting, Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Mengandung Sengketa, Tesis, Sekolah Pascasarjana USU, Medan, 2005, hal. 22

156

R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia (Suatu Penjelasan), Cetakan Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993,hal. 43

157

Grosse akta notaris selalu diidentikkan dengan akta otentik, yang diatur

dalam Pasal 1868 KUH Perdata158 jo UU Jabatan Notaris. Pasal 1868 KUH Perdata

memberikan batasan mengenai akta otentik, dimana dikatakan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang (welke in de wettelijke vorm is verleden) dan dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu (daartoe bevoegd) ditempat di mana akta dibuatnya.”

Menurut Pasal 1868 KUH Perdata agar suatu akta mempunyai kekuatan otentisitas, maka harus dipenuhi syarat-syarat yaitu:

a. Aktanya itu harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;

b. Aktanya harus dibuat didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

c. Pejabat umum itu harus mempunyai kewenangan.159

Ketentuan Pasal 1868 KUH Perdata menurut Sudikno Mertokusumo dapat dilihat adanya 2 (dua) macam akta otentik, yaitu :

Akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu, yang dikenal sebagai ambtelijke acte atau procesverbaal acte. Di sini pejabat menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya, inisiatif tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta otentik itu. Jenis akta otentik yang kedua adalah akta yang dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, yang dikenal sebagai partijacte. Partijacte dibuat oleh pejabat atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan.160

158

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Ktab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan ke-25, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, hal. 397

159

Slamet Uliandi, Grose Akta Notaris Menurut UU Jabatan Notaris, http://tp94.com/articles/, diakses Maret 2010.

160

Sudikno Mertokusumo, Akta Otentik Sebagai Alat Bukti, http://sudikno.blogspot.com/, diakses Maret 2010

Pasal ini tidak menyebutkan siapa pejabat umum itu dan dimana batas wewenangnya serta bagaimana bentuk aktanya. Namun hal ini dapat diketahui dalam UU Jabatan Notaris yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Pasal 1868 KUH.Perdata,161 yaitu dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Jabatan Notaris yang menentukan bahwa Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.

Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris menentukan bahwa :

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Jika diperhatikan Ketentuan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1) UU Jabatan Notaris, maka jelas bahwa notaris yang ditunjuk sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan juga mengenai grosse aktanya, sehingga keberadaan akta otentik identik dengan akta Notaris. Mengenai bentuk akta otentik harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU jabatan Notaris, khusus untuk grosse akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan dalam Pasal 55 UU Jabatan Notaris, yang selengkapnya berbunyi:

(1) Notaris yang mengeluarkan Grosse akta membuat catatan pada minuta akta mengenai penerima Grosse Akta Dan tanggal pengeluaran Dan catatan tersebut ditandatangani oleh Notaris.

(2) Grosse akta pengakuan utang yang dibuat dihadapan notaris adalah Salinan Akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial.

(3) Grosse Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada bagian kepala

akta memuat frasa “DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dan pada bagian akhir atau penutup akta memuat frasa “diberikan sebagai grosse pertama”, dengan menyebutkan nama orang yang memintanya Dan untuk siapa grosse dikeluarkan serta tanggal pengeluarannya.

(4) Grosse akta kedua dan selanjutnya hanya dapat diberikan kepada orang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 berdasarkan penetapan Pengadilan.

Jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi artinya terdapat kekurangan pada bagian atas atau bagian bawah dari grosse akta itu, maka akta itu tidak dapat dieksekusi dengan title eksekutorial.

Penugasan yang diberikan UU Jabatan Notaris kepada Notaris tidak saja untuk memberikan perantaraan dalam membuat akta-akta otentik, atas permintaan pihak-pihak yang bersangkutan atau karena Undang-Undang menentukan untuk perbuatan hukum tertentu mutlak harus dengan akta otentik, tetapi juga sebagai pejabat umum yang merupakan organ Negara, notaris diperlengkapi dengan kekuasaan umum, untuk menjalankan sebagian kekuasaan penguasa (Negara) antara lain dengan kewenangan memberikan grossee akta yang memakai judul “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MASA ESA” dan mempunyai kekuatan eksekutorial.

Kemudian pasca disahkannya UU Jabatan Notaris, notaris memasuki era baru. Lahirnya UU Jabatan Notaris mengakhiri hampir 2 abad berlakunya Peraturan Jabatan Notaris. Lahirnya UU Jabatan Notaris merupakan terobosan baru untuk

memastikan bahwa fungsi notaris sebagai pejabat umum dapat terlaksana dengan baik. Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Jabatan Notaris. ”Tugas Notaris, selain membuat akta-akta otentik, juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensyahkan (waarmerken dan legaliseren) surat-surat atau akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Selain itu, Notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan”.162

Dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pejabat umum, tidak jarang notaris berurusan dengan proses hukum, baik di tahap penyelidikan, penyidikan maupun persidangan. Pada proses hukum ini notaris harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta yang dibuatnya. Hal ini tentunya akan bertentangan dengan sumpah jabatan notaris, dimana notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi akta yang dibuatnya.

Dalam persidangan, hakim sangat memerlukan adanya alat-alat bukti untuk dapat mencapai suatu putusan dan penyelesaian perkara secara pasti menurut hukum

Dokumen terkait