• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Dalam bab ini dibahas mengenai perlindungan saksi pelapor sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-undang yang mengatur tentang adanya perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika.

BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI

PELAPOR DALAM TINDAK PIDANANARKOTIKA DI POLSEK DELITUA

Dalam bab ini dibahas mengenai pelaksanan perlindungan bagi saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika berupa gambaran umum Polsek Delitua,tindak pidana narkotika, serta tindakan kepolisian didalam melakukan perlindungan terhadap saksi pelapor di Polsek Delitua.

BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MELINDUNGI

SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLSEK DELITUA

Dalam bab ini dibahas mengenai upaya-upaya serta hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam melindungi saksi pelapor di Polsek Delitua.

BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dalam bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi ini, dan bab ini merupakan bentuk kesimpulan dan saran. Tidak lupa penulis mencantumkan daftar pustaka .

Demikianlah sistematika penulisan dari skripsi ini, dimana rangkaian dari sub-sub bab tersebut merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Sebelum Lahirnya Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Perlindungan saksi erat kaitannya dengan suatu tindak pidana yang terjadi terutama dalam perkara-perkara yang besar. Maksud adanya keterkaitan yaitu karena sebagian besar tindak pidana dapat terpecahkan dengan kesaksian yang diberikan saksi. Jadi walau bagaimanapun seorang saksi harus mendapatkan perlindungan dengan tujuan agar saksi tersebut dapat memberikan kesaksiannya baik ditingkat penyidikan maupun persidangan.

Perlindungan bagi saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimamfaatkan mereka dalam posisinya di proses peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan atas konstribusi mereka dalam proses ini. Berdasarkan kaitannya dengan saksi, falsafah yang harus lebih dahulu diketahui adalah mengapa justru

seorang mengetahui, mendengar serta mengalami suatu tindak pidana harus mau menjadi saksi, bahkan disediakan pidana bila menolak menjadi saksi.

Seorang saksi ialah bagian dari sistem peradilan pidana, sehingga justru saksi tersebut akan menjadi faktor dalam mengurangi kejahatan. saksi berkewajiban untuk memberikan kesaksian demi memberantas kejahatan dalam masyarakat, sebab setiap orang berkewajiban untuk ikut serta

memberantas kejahatan dalam masyarakat.24

1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Terkait dengan perlindungan saksi dan korban, satu hal prinsipil yang harus diperhatikan bahwa konstitusi kita telah menegaskan bahwa setiap aturan yang akan diberlakukan harus sesuai dengan hukum yang berlaku karena seperti disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa : Negara Indonesia adalah Negara Hukum.Sejalan dengan itu dalam Pasal 28 huruf g UUD 1945 konstitusi negara kita juga telah mengamanatkan pentingnya perlindungan saksi dan korban ini seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang

merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka dari negara lain.

Perlindungan saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan mereka dalam posisinya diproses

tanggal 2 maret.

peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan atas konstribusi mereka dalam proses ini. Berdasarkan amanat undang-undang tersebut, dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK).25

1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Masalah perlindungan saksi dan/atau korban di Indonesia telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberian perlindungan terhadap saksi, korban dan pelapor. Sebelum Undang RI No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban lahir, telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut, namun masih belum lengkap dan kurang dalam mengatur perlindungan saksi pelapor terhadap tindak pidana narkotika. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut :

KUHAP memang tidak mempunyai ketentuan yang secara khusus, rinci dan lengkap tentang hak-hak saksi korban dan atau pelapor dalam proses pidana. Akan tetapi bukan berarti dalam hukum tersebut tidak ada ketentuan semacam itu. Adapun beberapa Pasal dalam KUHAP yang dianggap

memberikan perlindungan pada saksi dan korban adalah :26

(1)Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa

tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun. Pasal 117: maret 2015. , perlindungan

saksi dan korbansebagai sarana menuju peradilan (pidana) yang jujur dan adil, diakses 5 maret 2015.

(2)Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak

boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal ini berkaitan erat dengan Pasal 52 KUHAP.Pasal ini memberikan jaminan terhadap seorang saksi untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.Apabila terjadi pemeriksaan terhadap diri saksi dengan tekanan maka berita acara pemeriksaan penyidikan tersebut adalah batal demi hukum, sesuai dengan

Pasal 422 KUHP.27

(1)Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang

ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang member keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.

Pasal 118:

(2)Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan

tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.

Saksi dalam hal tidak mau menandatangani berita acara, ia harus memberikan alasan yang kuat dan mengenai berita acara, berkaitan dengan

Pasal 75 KUHAP.28

Menurut penjelasan Pasal 166 KUHAP disebutkan, jika dalam salah satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka pertanyaan yang demikian itu dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat. Ini sesuai dengan prinsip

27

Hari Sasangka & Rosita Lily, KUHAP dengan Komentar, Bandung : Cv. Mandar Maju, 2000, hlm. 139.

28

bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas disemua tingkat pemeriksaa.Sebenarnya larangan dalam mengajukan pertanyaan, tidak hanya terhadap pertanyaan menjerat saja, tetapi juga terhadap pertanyaan

yang mengarahkan, memberikan alternative, atau menyebut kualifikasi.29

(1)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim

ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.

Pasal 178:

(2)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menuli, hakim

ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.

Pasal ini berhubungan dengan Pasal 53 KUHAP mengenai hak untuk mendapat juru bahasa (penjelasan).Pembacaan pertanyaan hakim dan jawaban terdakwa yang diatur dalam Pasal 178 ayat (2) KUHAP adalah

memenuhi asas keterbukaan dalam pemeriksaan persidangan (fair trial).30

(1)Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka

memberikan keterangan disemua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 229:

(2)Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi

atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

29

Ibid, hlm. 193.

30

Selain dalam KUHAP, ditemukan pula di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengaturan implicit mengenai perlindungan saksi itu, yakni ketentuan Pasal 334 KUHAP. Ketentuan itu mengancam dengan pidana perbuatan yang memaksa orang lain untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan kekerasan atau perbuatan lain atau perbuatan tidak menyenangkan atau ancaman untuk melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.

Akan tetapi KUHAP ternyata lebih menitikberatkan pengaturan mengenai kewajiban saksi, yang tentunya membebankan saksi dengan berbagai ancaman apabila tidak memberikan kesaksian, misalnya:

Pasal 224:

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :

1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

Pasal 522:

Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau jurubahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan,

terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Saksi dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi dan korban yang takut memberikan kesaksian kepada aparat penegak hukum karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.

Menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui dan menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.

Pelapor yang demikian itu harus diberikan perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.

Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Kitab Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat

perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Berdasarkan hal itu, sudah saatnya perlindungan saksi dan korban diatur dengan undang-undang tersendiri.

Berdasarkan asas kesamaan dihadapan hukum (equality before the

law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi:

1. Perlindungan dan hak saksi dan korban;

2. Lembaga perlindungan saksi dan korban;

3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan

4. Ketentuan pidana.31

Disahkannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini bukan hanya melegakan para anggota DPR yang mengusulkan pada bulan juni 2002 silam. Namun Undang-undang perlindungan saksi dan korban ini diharapkan mampu membuka kebuntuan yang selama ini menjadi kendala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap tindak pidana korupsi karena selama ini, kesaksian dalam proses peradilan tindak pidana korupsi sangat minim.

Selain itu keberadaan Undang-undang perlindungan saksi dan korban ini diharapkan dapat menjadi terobosan di dunia peradilan pidana Indonesia. Salah satu alasan diajukannya Undang-undang ini karena ketentuan hukum acara pidana atau peraturan perundang-undangan lainnya belum memberikan

31

Penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

perlindungan hukum bagi saksi dan korban untuk dapat menyampaikan sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Seharusnya pembahasan Undang-undang ini kelar pada april 2006, tetapi molor hingga 13 juli 2006. Pembahasan pertama RUU ini di Panja dimulai pada januari 2006. Setelah melakukan pembahasan dan sinkronisasi pasal-pasal, pada 13 juni 2006, Komisi III melakukan Raker dengan Menkum dan HAM rapat tingkat I untuk mengambil keputusan RUU Perlindungan

Saksi dan Korban.32

Berdasarkan proses pengungkapan suatu tindak pidana mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan pembuktian di persidangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah diharapkan. Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana dimaksud.

Masalah krusial yang muncul selama pembahasan diantaranya mengenai substansi pelapor telah dirumuskan bahwa terhadap kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan oleh saksi korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku bila yang bersangkutan dalam memberikan keterangan tidak dengan etikad baik.Artinya, “Saat memberikan kesaksian, yang bersangkutan memberikan keterangan palsu, sumpah palsu atau permufakatan jahat,”jelasnya.

33

Perlindungan Saksi dan Korban, diakses pada tanggal 15 maret 2015.

Muhammad Yusuf, diakses pada tanggal 15 maret 2015.

Adapun asas dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat dalam Pasal 3 yaitu perlindungan saksi dan korban berasaskan pada :

a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;

b. Rasa aman;

c. Keadilan;

d. Tidak diskriminatif; dan

e. Kepastian hukum;

Penghargaan atas harkat dan martabat manusia berarti bahwa peran saksi dan korban selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang memadai dari penegak hukum, walaupun saksi dan korban yang bersangkutan berperan besar mengungkap suatu tindak pidana.

Rasa aman adalah suatu hak dalam hal ini termaksud pula hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi, sesuai dengan konvensi menentang penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

Tersangka atau terdakwa yang telah diberikan seperangkat hak dalam KUHAP dan seharusnya saksi dan korban mendapat keadilan pula.

Yang dimaksud dengan tidak diskriminatif” adalah asas yang membuka diri terhadap hak rakyat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Lembaga Perlindungan Saksi.

Tujuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 terdapat pada Pasal 4 yaitu perlindungan terhadap saksi dan korban bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/korban dalam memberikan keterangan pada setiap

proses peradilan pidana.34

3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Berdasarkan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa di sidang pengadilan saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.

Ketentuan dari Pasal tersebut adalah dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau jaringannya pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.

Berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang Narkotika menyebutkan bahwa :

(1)Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa

perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh Negara dari ancaman yang membehayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

pada tanggal 17 maret 2015.

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dilakukan tidak hanya secara perorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan penggunaan modus operandi semakin berkembang sehingga perlu penanganan khusus agar pencegahan meluasnya korban penyalahgunaan terutama dikalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya memerlukan upaya tindakan yang efektif serta efesien dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika. Kewajiban penyediaan kebutuhan masyarakat serta perlindungan keamanan terhadap warga Negara Republik Indonesia sebagai cita-cita bangsa menjadi tanggungjawab Negara.

Berdasarkan Pasal 104 Undang-Undang Narkotika menyebutkan adanya peran masyarakat dalam memberantas tindak pidana narkotika.Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 106:

Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika diwujudkan dalam bentuk:

1. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

2. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan

informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

3. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada

penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

4. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan

kepada penegak hukum atau BNN;

5. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan

melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan. Pasal 107:

Mayarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.Kewajiban masyarakat ialah melaporkan tentang terjadinya tindak pidana narkotika kepada aparat penegak hukum.Disamping kewajiban itu, masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan dari aparat penegak hukum.

Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas peredaran gelap narkotika, karena tanpa dukungan masyarakat maka segala

usaha, upaya dan kegiatan penegak hukum akan mengalami kegagalan. Hal ini membuat pentingnya mengubah sikap tingkah laku dan kepedulian

masyarakat terhadap pencegahan dan penanggulangan narkotika.35

4. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dilakukan pencegahan serta pemberantasan peredaran gelap narkotika yang merupakan zat bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika ataupun penyalahgunaan narkotika tersebut sesungguhnya dapat bermanfaat serta menjadi keperluan pengobatan penyakit tertentu, perlu diatur antara transaksi yang tidak syah secara ketat, agar tidak terjadi penyalahgunaan yang dapat mengganggu kesehatan perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Upaya mencegahan dan memberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, Negara, telah diatur pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang kemudian mendelegasikan lebih lanjut kepada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 sebagai peraturan pelaksana yang terdapat pada ketentuan Pasal 32, Pasal 62, Pasal 89 ayat (2), Pasal 90 ayat (2), Pasal 100 ayat (2), dan Pasal 101 ayat (3).

Kondisi peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas Negara. Sehingga diperlukan suatu hubungan bersifat bilateral, regional, maupun internasional, untuk memerangi modus operandinya yang semakin canggih dengan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika dibutuhkan suatu instansi kementrian/lembaga agar berperan aktif untuk hal tersebut.

Berdasarkan hal guna tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika perlu dilakukan Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, untuk mengatur lebih lanjut mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 mengatur penanganan khusus tindak pidana narkotika dalam hal transito narkotika, pengelolaan narkotika sitaan (dalam hal barang bukti), perlindungan hukum (dalam hal perlindungan terhadap saksi, pelapor, peyidik, penuntut umum dan hakim), penggunaan hasil rampasan aset tindak

pidana narkotika.36

36

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/pembahasan-ruu/63-rancangan-peraturan-pemerintah/2295-rancangan -peraturan-pemerintah-tentang-pelaksanaan-undang-undang-nomor-35-tahun-2009-tentang-narkotika, diakses pada tanggal 20 maret 2015.

Bentuk dan tata cara perlindungan hukum yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan :

(1)Perlindungan wajib diberikan oleh negara kepada Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

(2)Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi ahli

dan petugas laboratorium beserta keluarganya. Pasal 36:

Dalam hal Saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) didatangkan dari luar wilayah negara Republik Indonesia, perlindungan Saksi tersebut dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja sama dengan pejabat kepolisian yang berwenang di negara tersebut.

Pasal 37:

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diberikan dalam bentuk:

Dokumen terkait