PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR
DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi di Polsek Deli Tua)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
DAYANA YOKSI RAFIKA
110200508
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
(Studi di Polsek Deli Tua)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
DAYANA YOKSI RAFIKA
NIM : 110200508
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr.M.Hamdan,SH.M.H NIP.195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
NIP : 196110241989032002 NIP :197503072002122002 Liza Erwina S.H.,M., HUMDr.Marlina S.H M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAKSI
Dayana Yoksi Rafika1
Liza Erwina2
Marlina3
1
Penulis Skripsi
2
Dosen Pembimbing I
3
Dosen Pembimbing II
Keterangan saksi merupakan faktor penting dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan, hal ini tergambar jelas dengan menempatkan keterangan saksi di urutan pertama diatas alat bukti lainnya. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.Mengungkap dan menemukan kejelasan tentang perkara pidana narkotika, aparat tidak hanya memperoleh informasi dari pelaku sindikat yang tertangkap. Tetapi peran serta masyarakat dalam membantu aparat penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika diharapkan sangat besar kontribusinya, mengingat jumlah personel aparat sendiri sangat minim sekali jika harus mengawasi peredaran gelap narkotika di wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, akan tetapi banyak masyarakat yang tidak mau atau enggan menjadi saksi, dengan alasan tidak adanya perlindungan hukum yang jelas khususnya saksi pelapor tindak pidana narkotika sehingga sering kali tidak terungkapnya tindak pidana narkotika terjadi yang di masyarakat.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, timbul suatu ketertarikan yang sangat besar untuk meninjau lebih luas masalah perlindungan saksi pelapor dengan permasalahannya diantaranya adalah bagaimana pengaturan perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika, bagaimana pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam tindak pidananarkotika di polsek delitua dan bagaimana upaya yang dilakukan untuk melindungi saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika di polsek delitua. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris.Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan data kepustakaan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis Panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkatNya yang melimpah sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat
pada waktunyan tanpa kekurangan satu apapun.Skripsi ini disusun dalam
rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul skripsi
yang Penulis angkat adalah “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP
PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA
NARKOTIKA (Studi di Polsek Delitua)”
Dalam penyelesaian skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang
dihadapi, tetapi semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari
berbagai pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara
efektif dan efesien sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu Penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini baik secara moril maupun materiil.
Kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf-staf pembantu
Dekan.
2. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Ibu
Pembimbing I yang telah banyak memberikan masukan yang sangat
membangun demi terselesaikannya skripsi ini.
3. Ibu DR. Marlina, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing Penulis
dengan sabarnya selama penulisan skripsi ini.
Kepada yang teristimewa khususnya penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia baik
kesehatan dan rejeki sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
2. Untuk kedua orang tua tercinta, ayahanda Danurik S.H., dan Ibunda
Ngena Kenca Surbakti (Almh), yang telah memberikan motivasi, doa,
pengorbanan, dukungan semangat, kasih sayang serta kebutuhan
materil selama ini.
3. Untuk Ibunda Ani, Ibunda Herlina Ginting dan Ibunda Nurainun yang
telah banyak membantu dan memberi dorongan semangat , perhatian
dan kasih sayangnya.
4. Abangku tersayang Dicky Bandawasa atas perhatiannya dan
bimbingannya, serta adik-adikku tercinta Deyoksen, Yola, Debur,
Devit, Dcholish atas segala bantuan dan perhatiaannya dan buat dua
adik kecilku yang imut : Fristy dan Mici yang selalu menemani dan
membuat kelucuan dirumah. Semoga kita bisa akrab terus-terusan dan
jangan ribut-ribut, akrab sampai beranak cucu.
5. Untuk Apri sinulingga terkasih yang setiap harinya memberi
6. Untuk sahabatku yang teristimewa yaitu Happy, edak (marni), cristy,
icha, selly dan bang bang rasyid yang selama ini memberikan kasih
sayang , pertolongan dan kekompakan kita yang tidak ternilai oleh
apapun. Kalian penyumbang terbesar dalam canda tawa selama di
kampus. Penulis berdoa semoga ikatan kita ini utuh untuk
selama-lamanya.
7. Seluruh sahabat-sahabat baikku di stambuk 2011 yaitu ime,
rahmansyah, yani, nopi, chacha, ifa, mala, febri, susan,arius, kak rika,
esra, stella, maruli, ardi, hendro, melani, mutia, togar, dan yang lain
walau tanpa disebutkan, telah berbekas dihati penulis, atas
pertolongan dan kekompakannya, semoga di kemudian hari kita tetap
bersama dan saling membantu.
8. Untuk sahabat karibku yaitu tanti, bang angga, fitri, poniatik, dan desi
yang selama ini terus memberi semangat dan bersedia mendengar
keluh kesah serta tetap menjaga persahabatan kita.
9. Untuk seluruh teman-teman Alumni SMA Negeri 1 Pancur Batu,
khususnya kelas IPA 2 (Waspada) yang telah memberi semangat dan
motivasi.
Penulis, juli 2015
DAFTAR ISI
Abstraksi
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...1
B. Perumusan Masalah ...6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...7
D. Keaslian Penulisan ...8
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tentang Tindak Pidana Narkotika ...9
2. Tentang Saksi dan Pelapor ...13
3. Tentang Kepolisian Republik Indonesia ...20
F. Metode Penelitian ...23
G. Sistematika Penulisan ...25
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA A. Sebelum Lahirnya Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ... 29
B. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban...45
BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANANARKOTIKA DI POLSEK DELITUA
A. Gambaran Umum Polsek Delitua ...57
B. Tindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua ...66
C. Pelaksanaan Perlindungan Saksi Pelapor dalam Tindak
Pidana Narkotika oleh Pihak Kepolisian...69
BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MELINDUNGI SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI POLSEK DELITUA
A. Upaya- Upaya Yang Dilakukan Untuk Melindungi Saksi
Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua ...77
B. Hambatan (Masalah)Perlindungan Saksi Pelapor dalam
Tindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua ...84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...89 B. Saran ...91
ABSTRAKSI
Dayana Yoksi Rafika1
Liza Erwina2
Marlina3
1
Penulis Skripsi
2
Dosen Pembimbing I
3
Dosen Pembimbing II
Keterangan saksi merupakan faktor penting dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan, hal ini tergambar jelas dengan menempatkan keterangan saksi di urutan pertama diatas alat bukti lainnya. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.Mengungkap dan menemukan kejelasan tentang perkara pidana narkotika, aparat tidak hanya memperoleh informasi dari pelaku sindikat yang tertangkap. Tetapi peran serta masyarakat dalam membantu aparat penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika diharapkan sangat besar kontribusinya, mengingat jumlah personel aparat sendiri sangat minim sekali jika harus mengawasi peredaran gelap narkotika di wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, akan tetapi banyak masyarakat yang tidak mau atau enggan menjadi saksi, dengan alasan tidak adanya perlindungan hukum yang jelas khususnya saksi pelapor tindak pidana narkotika sehingga sering kali tidak terungkapnya tindak pidana narkotika terjadi yang di masyarakat.
Berdasarkan paparan tersebut diatas, timbul suatu ketertarikan yang sangat besar untuk meninjau lebih luas masalah perlindungan saksi pelapor dengan permasalahannya diantaranya adalah bagaimana pengaturan perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika, bagaimana pelaksanaan perlindungan bagi saksi pelapor dalam tindak pidananarkotika di polsek delitua dan bagaimana upaya yang dilakukan untuk melindungi saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika di polsek delitua. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis menggunakan pendekatan yuridis normative dan yuridis empiris.Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data lapangan dan data kepustakaan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peranan saksi dalam setiap perkara pidana sangat penting karena kerap
keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan
keputusan hakim.Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat
menentukan kemana arah keputusan hakim.Berdasarkan hal ini memberikan
efek kepada setiap keterangan saksi selalu mendapatkan perhatian yang
sangat besar baik oleh pelaku hukum yang terlibat didalam persidangan
maupun oleh masyarakat pemerhati hukum.Oleh karena itu, saksi sudah
sepatutnya diberikan perlindungan hukum karena dalam mengungkap suatu
tindak pidana saksi secara sadar mengambil resiko dalam mengungkap
kebenaran materil.4
Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian
besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses
selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci,
sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa
bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi
dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan
pidana.
4
keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam
memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai
kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.5
Masalah narkotika merupakan masalah nasional dan internasional, karena
penyalah gunaannya akan berdampak negatife terhadap kehidupan Indonesia sebagai negara berkembang terus berupaya untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun material
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mencapai
tujuan tersebut, maka bangsa Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di
segala bidang, khususnya bidang hukum, meliputi penertiban badan-badan
penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing,
serta meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum ke
arah tegaknya hukum, ketertiban, dan kepastian hukum.
Hukum di Indonesia saat ini sedang menjadi sorotan, baik di mata
masyarakat dalam negeri maupun masyarakat internasional.Masyarakat
melihat dan menilai sistem hukum di negeri kita sangat lemah.Salah satu
yang dianggap lemah adalah dalam permasalahan perlindungan saksi.Saksi di
Indonesia kurang mendapat perhatian dan perlindungan hukum, sehingga
seorang saksi dapat dengan mudah dipengaruhi, diteror, bahkan mungkin
dibunuh agar tidak dapat bersaksi guna mengungkap suatu tindak pidana.
Suatu tindak pidana apapun bentuknya akan menyebabkan kerugian bagi
individu, masyarakat, bangsa, maupun negara, tidak terkecuali permasalahan
narkotika.
5
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal yang sama dirasakan di
Indonesia dimana hampir setiap hari peredaran narkoba dan
penyalahgunaannya, mulai dari tertangkapnya pengedar ataupun
ditemukannya pabrik-pabrik narkotika hingga berita generasi muda yang
tewas karena mengkonsumsi narkotika, tiada henti-hentinya diberitakan di
media cetak maupun media elektronik.
Angka prevalensi penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan bahkan prediksi pada 2015 diperkirakan jumlah
pengguna narkoba di Indonesia akan mencapai 5,8 juta jiwa. Hal ini karena
jumlah pengguna narkotika untuk saat ini telah mencapai 4 juta jiwa.
Angka penyalahgunaan narkoba setiap tahunnya terus meningkat di mana
pada 2015 jumlah korban penyalahgunaan narkoba akan mencapai angka 5,8
juta jiwa dan saat ini jumlah pengguna atau korban penyalahgunaan narkoba
sudah mencapai 4,2 juta orang. Kemudian di Indonesia saat ini sangat minim
tempat rehabilitasi yang hanya bisa menampung 18 ribu orang sedangkan
korban yang ada saat ini sebanyak 4,2 juta orang.6
Memperhatikan hal-hal di atas tampaknya besar kemungkinan, bahwa
para bandar narkotika yang beroperasi di negara kita merupakan kepanjangan
dan binaan dari jaringan organisasi-organisasi kejahatan Internasional.
Sebagaimana diakui oleh beberapa pejabat Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI), bahwa salah satu sebab kejahatan yang bertalian dengan peredaran
narkotika ini agak sulit diberantas, karena kejahatan ini memiliki jaringan
internasional yang bersifat tertutup dan ekslusif.7
Berbagai tindakan terus dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana narkotika yang timbul dalam masyarakat,
yaitu dengan cara :
Dengan demikian, setiap
gangguan keamanan, utamanya yang merupakan suatu tindak pidana, harus
ditanggulangi dengan sekuat tenaga dan sedini mungkin.
8
Berdasarkan fakta yang ada, aparat penegak hukum hanya mampu
menjebloskan pelaku yang sifatnya hanya “pemain kecil”, yakni pengedar
pengedar yang sifatnya hanya menyalurkan narkotika tersebut, itupun dengan
barang bukti yang hanya sedikit, tetapi tidak mampu untuk menjerat tokoh di
balik jaringan besar ini. Hal ini di dasarkan dengan semakin meningkatnya
kejahatan ini.
1. pre-emptiveadalah pencegahan secara dini atau lebih awal, belum ada
tanda-tanda kriminogen (faktor pencetus tindak kriminal);
2. Tindakan preventif adalah tindakan sebelum terjadinya kejahatan atau
perbuatan yang melanggar hukum;
3. Tindakan represif adalah tindakan ini dimulai dari suatu adanya
pelanggaran sampai pada suatu proses pengusutan, penuntutan dan
penjatuhan pidana serta pelaksanaan pidana yakni menjerat pelaku dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
9
7
O.C Kaligis, 2002, Narkotika dan Peradilannya Di Indonesia, Bandung: Alumni Bandung,hlm. 273
8
Wresniworo, 2002, Masalah Narkotika dan Obat-obatan Berbahaya, Jakarta: Mitra Bintimar, hlm. 33.
9
Mengungkap dan menemukan kejelasan tentang perkara pidana
narkotika ini, aparat tidak hanya memperoleh informasi dari pelaku sindikat
yang tertangkap.Tetapi peran serta masyarakat dalam membantu aparat
penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika
diharapkan sangat besar kontribusinya, mengingat jumlah personel aparat
sendiri sangat minim sekali jika harus mengawasi peredaran gelap narkotika
di wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau.
Membantu aparat penegak hukum dalam hal mengungkap adanya
tindak pidana narkotika yang terjadi merupakan suatu kewajiban setiap warga
negara, namun di lain pihak apabila melaporkan peristiwanya tidak tertutup
kemungkinan orang-orang yang terlibat peristiwa itu merasa tidak senang
atau marah kepada orang yang bersaksi. Pada umumnya orang yang terlibat
dalam peredaran gelap narkotika tidak bertindak sendirian, mereka berkawan,
berkelompok atau diperkirakan tindak pidana ini juga terorganisasi, dimana
ada yang bertindak sebagai pemasok bahan bakunya, ada yang bertindak
sebagai produsen, bandar dan pengedar. Kalau sampai dilaporkan dan merasa
akan terbongkar seluruh kegiatannya, besar kemungkinan mereka yang
terlibat bukan hanya tidak senang dan marah saja, akan tetapi lebih dari itu,
mereka akan main hakim sendiri dengan mengambil tindakan yang berakibat
nasib buruk bagi saksi yang diketahuinya.10
Berdasarkan tindakan-tindakan yang akan mengancam keselamatan
saksi tersebut, maka perlu adanya suatu jaminan keamanan dan perlindungan
dari pihak yang berwenang. Untuk itu tanpa diminta saksi, pihak yang
10
berwenang harus memberikan jaminan keamanan dan perlindungan
sebaik-baiknya terhadap saksi jika nantinya mengalami ancaman maupun intimidasi
dari sindikat narkotika.Seperti dikatakan Leden Marpaung bahwa,
“Keterangan saksi diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam
bentuk apapun’’.11
Berdasarkan paparan tersebut diatas betapa seriusnya masalah
perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika tersebut, dan
hangat untuk menjadi isu penting yang menjadi perbincangan para praktisi
hukum, kalangan mahasiswa, dan terutama aparat penegak hukum. Karena
timbulnya ketertarikan yang sangat besar untuk meninjau lebih dalam
masalah perlindungan saksi pelapor dalam skripsi yang berjudul “ Pentingnya jaminan keamanan dan perlindungan itu agar orang tidak
merasa takut untuk melaporkan kejahatan yang berkaitan dengan tindak
pidana narkotika, dan dengan jaminan yang nyata dan dapat dirasakan oleh
seorang saksi, maka akan semakin banyak orang yang berani untuk menjadi
saksi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi saksi dan pelapor
yang berintikan pada keadilan dan kebenaran serta mampu menjamin
kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum bagi saksi serta
menghargai Hak Asasi Manusia yang menjadi hak bagi seorang saksi
sehingga membantu dalam membuka tabir kejahatan perkara pidana dan
mengungkap suatu kebenaran dari tindak pidana yang telah terjadi.
11
Perlindungan Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polsek
Delitua)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam masalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan Perlindungan Saksi Pelapor dalam Tindak Pidana
Narkotika?
2. Bagaimana Pelaksanaan Perlindungan Saksi dalamTindak Pidana
Narkotika di Polsek Delitua?
3. Bagaimana Upaya yang Dilakukan Untuk Melindungi Saksi Pelapor dalam
Tindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disimpulkan yang menjadi
tujuan dari tujuan penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan saksi pelapor dalam Tindak
Pidana Narkotika.
2. Untuk mengetahui mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap saksi
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi saksi
pelapor dalam Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Polsek
Delitua.
Adapun manfaat penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi
manfaat yaitu secara teoritis dan praktis, yakni :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya yang membutuhkan informasi mengenai
perlindungan yang diberikan oleh hukum positif di Indonesia terhadap
saksi dan pelapor.
b. Menambah khazanah ilmu pengetahuan ilmu hukum khususnya hukum
pidana yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan saksi dan
pelapor. Juga diharapkan akan bermanfaat menambah dan memperkaya
litelatur-litelatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai
perlindungan saksi dan pelapor serta dapat menjadi acuan untuk
mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum memberikan
perlindungan saksi dan pelapor dalam menyelesaikan perkara pidana
khususnya tindak pidana narkotika.
b. Diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan di lingkungan institusi
penegak hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan sebagai lembaga
peyidik tindak pidana (umum / khusus) yang mempunyai wewenang
meningkatkan peran serta masyarakat untuk mengungkap fakta
kebenaran dalam suatu tindak pidana narkotika.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “Perlindungan Hukum
Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di
Polsek Delitua)” ini adalah merupakan hasil pemikiran yang ide
penulisannya murni hasil karya penulis sepenuhnya ditambah
literature-literatur lain baik buku-buku milik penulis sendiri maupun buku-buku
perpustakaan serta melakukan riset ke Polsek Delitua guna memperoleh
data-data yang dapat mendukung skripsi ini. Setelah telah melakukan daftar
penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukannya judul
ataupun permasalahan yang sama. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan
karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur,
rasional dan ilmiah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa skripsi yang disusun ini
merupakan karya asli dari penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain.
Apabila ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini
dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum Pidana maka penulis
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Tentang Tindak Pidana Narkotika
Undang- undang Narkotika tidak membahas mengenai pengertian
tindak pidana narkotika, namun atas dasar pengertian dan penjelasan tentang
tindak pidana diatas, akan membantu dalam memberikan pengertian tentang
tindak pidana narkotika yang tentu saja tetap mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Narkotika. Untuk
mempermudah pemahaman atas pengertian tindak pidana narkotika maka
terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan istilah hukum dan pidana. Menurut
system hukum, bahwa hukum atau pidana yang dijatuhkan adalah
menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah
terlebih dahulu tercantum dalam Undang-Undang Hukum Pidana, jika tidak
ada Undang- Undang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan.
Bab I Pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “ Nullum
Delictum Nula Poena Sine Praevia Lege Poenale “, yang pada intinya
menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada
ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya. Artinya adalah bahwa
pidana itu harus berdasarkan ketentuan undang-undang, sedangkan hukum
lebih luas pengertiannya.
Guna memahami lebih jauh tentang pidana, hukum dan hukum pidana
maka perlu dicermati defenisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum,
1. Pendapat Sudarto, tentang pidana, beliau menyatakan pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.12
2. Simorangkir, merumuskan definisi hukum, sebagai peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan, yaitu hukuman yang tertentu.13
3. Chaerudin, memberikan defenisi hukum pidana yaitu sebagai berikut :14
a. Hukum pidana adalah hukum sanksi, defenisi ini diberikan berdasarkan
ciri yang melekat pada hukum pidana yang membedakan dengan
lapangan hukum lain.
b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.
c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai:
1) Perbuatan yang dilarang yang disertai ancaman berupa pidana bagi
pelanggannya.
2) Dalam keadaan apa terhadap pelanggar dapat dijatuhi hukuman
3) Bagaimana cara penerapan pidana terhadap pelakunya
Defenisi tersebut diatas, dapat dicermati bahwa hukum pidana dapat
dilihat melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi. Selain itu,
antara hukum dan pidana juga mempunyai persamaan, keduanya berlatar
12
Sudarto, Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1975, hlm. 75.
13
Simorangkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Jakarta : Gunung Agung, 1962, hlm. 6.
14
belakang tata nilai (value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan
berbuat sesuatu dan seterusnya. Dengan demikian norma dan sanksi
sama-sama merujuk kepada tata nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok
manusia ada ketentuan yang harus ditaati dalam pergaulan yang menjamin
ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung arti
suatu ancaman pidana agar norma yang dianggap suatu nilai dapat ditaati.
Perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai Tindak Pidana dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah :15
1. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Narkotika Golongan I.
2. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Produksi
3. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan
4. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Ekspor dan Impor
5. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Penyaluran dan
Pengedaran
6. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Narkotika Label dan
Publikasi
7. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Penggunaan Narkotika
dan Rehabilitasi.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang
dianggap sebagai tindak pidana adalah :16
1. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika;
2. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika.
3. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan precursor narkotika;
15
Hari Sasangka, Op. Cit., hlm. 172.
16
4. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang membawa, mengangkut, dan mentransit narkotika dan prekursor narkotika;
5. Tindak Pidana Narkotika bagi orang tua/wali dari pecandu Narkotika yang
belum cukup umur dan yang telah cukup umur yang sengaja tidak melaporkannya;
6. Tindak Pidana Narkotika bagi setiap orang yang tidak melaporkan adanya
tindak pidana narkotika;
7. Tindak Pidana Narkotika terhadap percobaan atau permufakatan jahat
melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor;
8. Tindak Pidana Narkotika bagi menyuruh, member, membujuk, memaksa
dengan kekerasan, tipu muslihat dan membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika;
9. Tindak Pidana Narkotika bagi pecandu narkotika yang tidak melaporkan
dirinya;
10. Tindak Pidana Narkotika bagi hasil-hasil dari tindak pidana narkotika
dan/atau prekursor narkotika;
11. Tindak Pidana Narkotika bagi orang yang menghalangi atau mempersulit
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara;
12. Tindak Pidana Narkotika bagi nahkoda atau kapten penerbangan tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28;
13. Tindak Pidana Narkotika bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik, BNN yang
tidak melaksanakan ketentuan tentang barang bukti;
14. Tindak Pidana Narkotika bagi Kepala Kejaksaan Negeri tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 91 ayat (1);
15. Tindak Pidana Narkotika bagi petugas laboraturium yang memalsukan
hasil pengujian;
16. Tindak Pidana Narkotika bagi saksi yang member keterangan yang tidak
benar;
17. Tindak Pidana Narkotika bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
di Luar Wilayah Negara RI;
18. Tindak Pidana Narkotika bagi pimpinan rumah sakit, pimpinan lembaga
ilmu pengetahuan, pimpinan industry farmasi, pimpinan pedagang farmasi yang melakukan tindak pidana narkotika.
Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan
bahwa pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan dan pidana denda.Pidana juga dapat dijatuhkan pada
korporasi yakni berupa pencabutan izin usaha dan/ atau pencabutan status
2. Tentang Saksi dan Pelapor
Saksi adalah seseorang yang mempunyai informasi pertama mengenai
sutu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indra mereka (mis. Penglihatan,
pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong memastikan
pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian.17
Ketentuan Pasal 1 angka 25 RUU KUHAP menentukan:
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian sebagai berikut :
“Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui berbagai-bagai arti seperti:
orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya supaya
bilamana perlu dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa
peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi atau orang yang mengetahui suatu
kejadian atau orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk
kepentingan pendakwa dan terdakwa.”
Defenisi saksi dalam perkara pidana tercantum dalam pasal 1 angka
26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang menyatakan
bahwa:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
18
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu
tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri, atau didengar sendiri.”
18
Pengertian saksi dalam RUU KUHAP ini menegaskan bahwa aturan
dalam RUU KUHAP hanya berlaku bagi saksi dalam ruang lingkup perkara
pidana dan status saksi sudah dimulai dalam tahap penyelidikan,
dibandingkan dengan KUHAP status saksi dimulai dari tahap
penyelidikan.Pengertian saksi dalam undang-undang ini pun sedikit lebih
maju, karena berupaya memasukkan atau memperluas perlindungan terhadap
orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang masih berstatus
pelapor atau pengadu. Perlindungan terhadap status saksi dalam konteks
penyelidikan ini pun masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur
pada doktrin yang diintrodusir KUHAP, dimana saksi tersebut harus
memberikan keterangan mengenai perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri. Doktrin ini sebenarnya berelasi kuat
dengan kekuatan nilai pembuktian.19
Proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyidikan
sampaidengan pembuktian di persidangan, keberadaan saksi sangatlah
diharapkan.Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam
pengungkapan kasuspidana yang dimaksud. Tanpa kehadiran dan peran dari
saksi, dapat dipastikansuatu kasus akan menjadi ”dark number” mengingat
dalam system hukum yangberlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari
para penegak hukum adalahtestimony yang hanya diperoleh dari saksi atau
ahli.Berbeda dengan sistem hukumyang berlaku di Amerika yang lebih
mengedepankan ”silent evidence” (barangbukti).20
19
Supriyadi Widodo Eddyono, Makalah, UU Perlindungan Saksi, Belum Progresif (Catatan Kritis TerhadapUndang-undang No 13 TAHUN 2006), (Jakarta :Koalisi
Perlindungan Saksi & Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2006) hlm.3.
20
Salah satu alat bukti yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah keterangan saksi.
Keterangansaksi sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang
pengadilan, dimanaketerangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan
bahwa terdakwa bersalahterhadap perbuatan yang didakwakan padanya
(Unnus Testis Nullus) dan saksiharus memberikan keterangan mengenai apa
yang ia lihat, dengar, ia alami sendiritidak boleh mendengar dari orang lain
(Testimonium De Auditu). Pasal 185ayat 1-7 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan :
a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwaterdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah
apabilaketerangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa,sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu.
e. Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi.
f. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lai
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keteranganyang tertentu
d. cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnyadapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
g. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai
denganketerangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai
tambahanalat bukti sah yang lain.
Syarat untuk dapat menjadi saksi adalah :
1. Syarat objektif saksi
a. Dewasa telah berumur 15 tahun/sudah kawin.
b. berakal sehat
c. Tidak ada hubungan keluarga baik hubungan pertalian darah /
perkawinandengan terdakwa
2. Syarat subjektif saksi
Mengetahui secara langsung terjadinya tindak pidana dengan melihat,
mendengar, merasakan sendiri.
1. Syarat formil
Saksi harus disumpah menurut agamanya.21
21
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, kekecualian
menjadi saksitercantum dalam Pasal 186 KUHAP yaitu :
1. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
2. saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibuatau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karenaperkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga.
3. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-samasebagai terdakwa.
Hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh
Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat
ataujabatannya diwajibkan manyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan
darikewajiban member keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal
tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk
menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud,
maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menetukan sah atau
tidaknya alas an yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.
Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang
harusmerahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya.yang dimaksud
agamaKatolik Roma. Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang
melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut.Pasal 170 KUHAP yang
mengatur tentang hal tersebut diatas mengatakan “dapat minta dibebaskan
dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi….” berarti jika
orang-orang itu bersedia menjadi saksi , dapat diperiksa oleh hakim.
Berdasarkan hal itulah kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan
rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif.
Pasal 171 KUHAP yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa
sumpahialah :
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali
Penjelasan Pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur
lima belastahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila
meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut
psychopath, mereka ini tidak dapat ditanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana makamereka tidak dapat diambil sumpah atau janji
dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dapat
dipakai sebagai petunjuk saja.
Kekuatan alat bukti saksi atau juga dapat disebut sebagai efektivitas
alat buktiterhadap suatu kasus sangat bergantung dari beberapa faktor.Salah
satu fungsihukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak suatu
terhadap hukumsecara ilmiah.Kekuatan pembuktian keterangan saksi
tergantung pada dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari
banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Berdasarkan Pasal 185 ayat
(6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dikatakan dalam
menilai keterangan saksi, hakim harus
Sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain.
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi dalam memberikan
keterangan tertentu.
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat memepengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.
Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak
memberikankesaksian dipersidangan. Pelapor dapat juga sebagai korban dari
tindak pidana itusendiri, seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 point 1
”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidanayang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau
ia alami sendiri.” dan poit 4 “Pelapor adalah orang yang memberikan laporan,
informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan
keamanan yangmemadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam
atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Berdasarkan jaminan
perlindungan hukum dan keamanantersebut, diharapkan tercipta suatu
keadaan yang memungkinkan masyarakat tidaklagi merasa takut untuk
melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepadapenegak hukum,
karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
c. Kepolisian Republik Indonesia
Tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi, sejak itu Polri telah
dihadapkan pada tugas-tugas unik dan kompleks. Selain menata keamanan
dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat dalam
pertempuran melawan penjajahan dari berbagai operasi militer bersama-sama
kesatuan bersenjata yang lain. Keadaan seperti ini dilakukan oleh Polri karena
lahir sebagai satu-satunya kesatuan bersenjata yang relative lebih lengkap
pada saat ini.
Sebelum terjadinya gerakan reformasi, kelembagaan kepolisian masih
berada satu atap dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), akan tetapi mulai
tanggal 18 agustus 2002, polisi secara kelembagaan terpisah dari TNI setelah
sidang tahunan MPR melalui Tap MPR No.VI/MPR/2000 dan Tap MPR
No.VII/MPR/2000, kedudukan polisi saat ini langsung dibawah Presiden.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan
1) Pasal 1 ayat (1); Kepolisian Negara adalah alat negara penegak hukum
yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri.
2) Pasal 3; Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata
Pengertian keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.22
a) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
Adapun tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 2
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 adalah sebagai berikut:
b) Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit
masyarakat ;
c) Mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara;
d) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan Negara;
e) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh
suatu peraturan Negara;
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok kepolisian adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. Menegakkan hukum;
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat;
Melaksankan tugas pokoknya tersebut diatas, maka Kepolisian Negara
Republik Indonesia mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab
kepolisian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Melaksanakan tugas
22
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan lain (Pasal
16 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian RI jo Pasal 5 ayat (1) huruf (a) butir (4), yaitu tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilaksanakan.
c. Harus patut, masuk akal, dan termaksud dalam lingkungan
jabatannya.
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.
e. Menghormati hak asasi manusia
Kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri (diskresi kepolisian) (Pasal 18 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia).
Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia telah menuju pada pembaharuan dari masa Orde Baru baik pada
organisasi kepolisian, namun hal ini masih belum mencapai tingkat polisi
ideal yang diharapkan masyarakat.
Adapun kreteria polisi ideal menurut RE. Baringbing adalah sebagai
berikut:
1) Mengetahui batas-batas wewenangnya;
2) Memahami dan terampil dalam melaksanakan hukum;
3) Tidak mengharapkan imbalan uang dalam tugasnya;
Perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern
dan global, Polri bukan hanya menguasai keamanan dan ketertiban di dalam
negeri, akan tetapi terlihat dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban
regional maupun antar bangsa, sebagaimana ditempuh oleh kebijakan PBB
yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termaksud Indonesia untuk ikut
dalam berbagai operansi kepolisian.
F. Metode Penelitian
Penelitian adalah sebagai usaha untuk mengemukakan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan
secara metodologis berarti dengan menggunakan metode-metode yang
bersifat ilmiah, sedangkan sistematis berarti sesuai dengan pedoman atau
aturan penelitian yang berlaku untuk suatu karya ilmiah.Ilmu yang
mempelajari metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan
disebut metodologi penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:23
1. Jenis Penelitian
Skripsi ini merupakan penelitian hukum deskriptif yakni jenis
penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menggambarkan tentang
suatu peristiwa yang lebih luas dan umum.Sehinggga peneltian ini mencoba
untuk menggambarkan dan menjelaskan perlindungan hukum terhadap saksi
pelapor dalam tindak pidana narkotika di Polsek Delitua.
2. Sumber Data
23
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
data primer dan data sekunder.Data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari lapangan yang meliputi wawancara.Data sekunder adalah data
yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan namun diperoleh dari
studi pustaka yang meliputi bahan dokumentasi, tulisan ilmiah dan berbagai
sumber lainnya. Data sekunder dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Adalah semua data-data berupa dokumen peraturan yang bersifat
mengikat, asli dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Data hukum
primer penulisan skripsi ini diantaranya adalah Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Undang-Undang No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang
No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan lain
sebagainya.
b. Bahan Hukum Sekunder
Adalah Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian
mengenai masalah perlindungan saksi pelapor seperti makalah, jurnal,
karya ilmiah, Koran, karya tulis dan sumber dari internet yang berkaitan
dengan persoalan diatas.
c. Bahan Hukum Tersier
Adalah semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan
keterangan-keterangan otentik yang bersifat mendukung data primer dan data
sekunder, seperti kamus dan lain-lain.
Pengumpulan data ini, metode pengumpulan yang digunakan adalah
Studi Lapangan (field research) dan Penelitian Kepustakaan (library
research). Studi Lapangan (field research) yaitu suatu cara memperoleh data
dengan langsung ke lapangan yang menjadi objek penelitian, yaitu Polsekta
Delitua. Studi lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat
primer, dimana data tersebut diperoleh dengan cara wawancara. Penelitian
Kepustakaan (library research) adalah dengan melakukan penelitian terhadap
berbagai sumber bacaan, yakni buku, pendapat sarjana, artikel, internet dan
media massa yang berhubungan dengan masalah diatas.
4. Analisis Data
Berdasarkan hal untuk menarik kesimpulan dari data yang
dikumpulkan, maka penulis menggunakan teknik analisis data adalah
kualitatif, yaitu dengan cara menggambarkan keadaan-keadaan dari objek
yang diteliti dilapangan. Kemudian terhadap permasalahan yang timbul akan
ditinjau dan dianalisis secara mendalam dengan didasarkan pada teori-teori
kepustakaan dan peraturan perundang-undangan sehingga diperoleh suatu
kesimpulan akhir yang ditarik secara komprehensif.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan
kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula
memperoleh manfaatnya.Keseluruhan sistematika ini merupakan satu
kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya dapat
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdapat latar belakang penulisan, perumusan
masalah, tujuan daan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR
DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Dalam bab ini dibahas mengenai perlindungan saksi pelapor
sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-undang yang
mengatur tentang adanya perlindungan saksi pelapor dalam
tindak pidana narkotika.
BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI
PELAPOR DALAM TINDAK PIDANANARKOTIKA DI
POLSEK DELITUA
Dalam bab ini dibahas mengenai pelaksanan perlindungan
bagi saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika berupa
gambaran umum Polsek Delitua,tindak pidana narkotika, serta
tindakan kepolisian didalam melakukan perlindungan terhadap
saksi pelapor di Polsek Delitua.
BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MELINDUNGI
SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA
Dalam bab ini dibahas mengenai upaya-upaya serta
hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam melindungi saksi
pelapor di Polsek Delitua.
BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dalam bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi
ini, dan bab ini merupakan bentuk kesimpulan dan saran.
Tidak lupa penulis mencantumkan daftar pustaka .
Demikianlah sistematika penulisan dari skripsi ini, dimana rangkaian
dari sub-sub bab tersebut merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan dan
BAB II
PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DALAM
TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. Sebelum Lahirnya Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Perlindungan saksi erat kaitannya dengan suatu tindak pidana yang
terjadi terutama dalam perkara-perkara yang besar. Maksud adanya
keterkaitan yaitu karena sebagian besar tindak pidana dapat terpecahkan
dengan kesaksian yang diberikan saksi. Jadi walau bagaimanapun seorang
saksi harus mendapatkan perlindungan dengan tujuan agar saksi tersebut
dapat memberikan kesaksiannya baik ditingkat penyidikan maupun
persidangan.
Perlindungan bagi saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian
seperangkat hak yang dapat dimamfaatkan mereka dalam posisinya di proses
peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan
atas konstribusi mereka dalam proses ini. Berdasarkan kaitannya dengan
seorang mengetahui, mendengar serta mengalami suatu tindak pidana harus
mau menjadi saksi, bahkan disediakan pidana bila menolak menjadi saksi.
Seorang saksi ialah bagian dari sistem peradilan pidana, sehingga
justru saksi tersebut akan menjadi faktor dalam mengurangi kejahatan. saksi
berkewajiban untuk memberikan kesaksian demi memberantas kejahatan
dalam masyarakat, sebab setiap orang berkewajiban untuk ikut serta
memberantas kejahatan dalam masyarakat.24
1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Terkait dengan perlindungan saksi dan korban, satu hal prinsipil yang
harus diperhatikan bahwa konstitusi kita telah menegaskan bahwa setiap
aturan yang akan diberlakukan harus sesuai dengan hukum yang berlaku
karena seperti disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa : Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.Sejalan dengan itu dalam Pasal 28 huruf g
UUD 1945 konstitusi negara kita juga telah mengamanatkan pentingnya
perlindungan saksi dan korban ini seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka dari
negara lain.
Perlindungan saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian
seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan mereka dalam posisinya diproses
peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan
atas konstribusi mereka dalam proses ini. Berdasarkan amanat
undang-undang tersebut, dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK).25
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Masalah perlindungan saksi dan/atau korban di Indonesia telah diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemberian perlindungan terhadap saksi, korban dan pelapor. Sebelum
Undang RI No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban lahir,
telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hal
tersebut, namun masih belum lengkap dan kurang dalam mengatur
perlindungan saksi pelapor terhadap tindak pidana narkotika. Beberapa
peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut :
KUHAP memang tidak mempunyai ketentuan yang secara khusus,
rinci dan lengkap tentang hak-hak saksi korban dan atau pelapor dalam proses
pidana. Akan tetapi bukan berarti dalam hukum tersebut tidak ada ketentuan
semacam itu. Adapun beberapa Pasal dalam KUHAP yang dianggap
memberikan perlindungan pada saksi dan korban adalah :26
(1)Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa
tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun. Pasal 117:
maret 2015.
, perlindungan
(2)Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak
boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal ini berkaitan erat dengan Pasal 52
KUHAP.Pasal ini memberikan jaminan terhadap seorang saksi untuk
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.Apabila
terjadi pemeriksaan terhadap diri saksi dengan tekanan maka berita acara
pemeriksaan penyidikan tersebut adalah batal demi hukum, sesuai dengan
Pasal 422 KUHP.27
(1)Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang
ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang member keterangan itu setelah
mereka menyetujui isinya. Pasal 118:
(2)Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan
tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan
menyebut alasannya.
Saksi dalam hal tidak mau menandatangani berita acara, ia harus
memberikan alasan yang kuat dan mengenai berita acara, berkaitan dengan
Pasal 75 KUHAP.28
Menurut penjelasan Pasal 166 KUHAP disebutkan, jika dalam salah
satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah
dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap
seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka pertanyaan yang demikian itu
dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat. Ini sesuai dengan prinsip
27
Hari Sasangka & Rosita Lily, KUHAP dengan Komentar, Bandung : Cv. Mandar Maju, 2000, hlm. 139.
28
bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas disemua
tingkat pemeriksaa.Sebenarnya larangan dalam mengajukan pertanyaan, tidak
hanya terhadap pertanyaan menjerat saja, tetapi juga terhadap pertanyaan
yang mengarahkan, memberikan alternative, atau menyebut kualifikasi.29
(1)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim
ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul
dengan terdakwa atau saksi itu. Pasal 178:
(2)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menuli, hakim
ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya
secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan
untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta
jawaban harus dibacakan.
Pasal ini berhubungan dengan Pasal 53 KUHAP mengenai hak untuk
mendapat juru bahasa (penjelasan).Pembacaan pertanyaan hakim dan
jawaban terdakwa yang diatur dalam Pasal 178 ayat (2) KUHAP adalah
memenuhi asas keterbukaan dalam pemeriksaan persidangan (fair trial).30
(1)Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan disemua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat
penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 229:
(2)Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi
atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
29
Ibid, hlm. 193.
30
Selain dalam KUHAP, ditemukan pula di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengaturan implicit mengenai perlindungan
saksi itu, yakni ketentuan Pasal 334 KUHAP. Ketentuan itu mengancam
dengan pidana perbuatan yang memaksa orang lain untuk melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan sesuatu dengan kekerasan atau perbuatan lain
atau perbuatan tidak menyenangkan atau ancaman untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tersebut.
Akan tetapi KUHAP ternyata lebih menitikberatkan pengaturan
mengenai kewajiban saksi, yang tentunya membebankan saksi dengan
berbagai ancaman apabila tidak memberikan kesaksian, misalnya:
Pasal 224:
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut
undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan
undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Pasal 522:
Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau
jurubahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana
denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
Dan Korban
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada
terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap
akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Saksi
dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan
pidana. Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama
ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus
yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi
dan korban yang takut memberikan kesaksian kepada aparat penegak hukum
karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.
Menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak
pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui
dan menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana
yang terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Pelapor yang demikian itu harus diberikan perlindungan hukum dan
keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam
atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Jaminan perlindungan hukum
dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang
memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu
tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir
atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di
Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Kitab
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan hal itu, sudah saatnya perlindungan saksi dan korban diatur
dengan undang-undang tersendiri.
Berdasarkan asas kesamaan dihadapan hukum (equality before the
law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam
proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun
pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi
dan Korban meliputi:
1. Perlindungan dan hak saksi dan korban;
2. Lembaga perlindungan saksi dan korban;
3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan
4. Ketentuan pidana.31
Disahkannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini
bukan hanya melegakan para anggota DPR yang mengusulkan pada bulan
juni 2002 silam. Namun Undang-undang perlindungan saksi dan korban ini
diharapkan mampu membuka kebuntuan yang selama ini menjadi kendala
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap tindak pidana
korupsi karena selama ini, kesaksian dalam proses peradilan tindak pidana
korupsi sangat minim.
Selain itu keberadaan Undang-undang perlindungan saksi dan korban
ini diharapkan dapat menjadi terobosan di dunia peradilan pidana Indonesia.
Salah satu alasan diajukannya Undang-undang ini karena ketentuan hukum
acara pidana atau peraturan perundang-undangan lainnya belum memberikan
31
perlindungan hukum bagi saksi dan korban untuk dapat menyampaikan
sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Seharusnya pembahasan Undang-undang ini kelar pada april 2006,
tetapi molor hingga 13 juli 2006. Pembahasan pertama RUU ini di Panja
dimulai pada januari 2006. Setelah melakukan pembahasan dan sinkronisasi
pasal-pasal, pada 13 juni 2006, Komisi III melakukan Raker dengan Menkum
dan HAM rapat tingkat I untuk mengambil keputusan RUU Perlindungan
Saksi dan Korban.32
Berdasarkan proses pengungkapan suatu tindak pidana mulai dari
tahap penyelidikan sampai dengan pembuktian di persidangan, keberadaan
dan peran saksi sangatlah diharapkan. Bahkan menjadi faktor penentu dan
keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana dimaksud.
Masalah krusial yang muncul selama pembahasan diantaranya
mengenai substansi pelapor telah dirumuskan bahwa terhadap kesaksian yang
akan, sedang atau telah diberikan oleh saksi korban dan pelapor tidak dapat
dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata. Namun ketentuan
tersebut tidak berlaku bila yang bersangkutan dalam memberikan keterangan
tidak dengan etikad baik.Artinya, “Saat memberikan kesaksian, yang
bersangkutan memberikan keterangan palsu, sumpah palsu atau permufakatan
jahat,”jelasnya.
33
Perlindungan Saksi dan Korban, diakses pada tanggal 15 maret 2015.
Adapun asas dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban terdapat dalam Pasal 3 yaitu perlindungan
saksi dan korban berasaskan pada :
a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
b. Rasa aman;
c. Keadilan;
d. Tidak diskriminatif; dan
e. Kepastian hukum;
Penghargaan atas harkat dan martabat manusia berarti bahwa peran
saksi dan korban selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang memadai
dari penegak hukum, walaupun saksi dan korban yang bersangkutan berperan
besar mengungkap suatu tindak pidana.
Rasa aman adalah suatu hak dalam hal ini termaksud pula hak untuk
tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi, sesuai
dengan konvensi menentang penyiksaan yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia.
Tersangka atau terdakwa yang telah diberikan seperangkat hak dalam
KUHAP dan seharusnya saksi dan korban mendapat keadilan pula.
Yang dimaksud dengan tidak diskriminatif” adalah asas yang
membuka diri terhadap hak rakyat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah asas dalam negara
hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan
Tujuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 terdapat pada Pasal 4
yaitu perlindungan terhadap saksi dan korban bertujuan memberikan rasa
aman kepada saksi dan/korban dalam memberikan keterangan pada setiap
proses peradilan pidana.34
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Berdasarkan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika menyebutkan bahwa di sidang pengadilan saksi dan orang
lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika dan Prekursor
Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan
alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.
Ketentuan dari Pasal tersebut adalah dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan
mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat pelapor tidak
diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau jaringannya pada tingkat
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang Narkotika menyebutkan bahwa :
(1)Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta
keluarganya wajib diberi perlindungan oleh Negara dari ancaman yang
membehayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama
maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dilakukan tidak
hanya secara perorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara
bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan
jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat
nasional maupun internasional. Kecenderungan yang semakin meningkat baik
secara kuantitatif maupun kualitatif dengan penggunaan modus operandi
semakin berkembang sehingga perlu penanganan khusus agar pencegahan
meluasnya korban penyalahgunaan terutama dikalangan anak-anak, remaja,
dan generasi muda pada umumnya memerlukan upaya tindakan yang efektif
serta efesien dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika. Kewajiban penyediaan
kebutuhan masyarakat serta perlindungan keamanan terhadap warga Negara
Republik Indonesia sebagai cita-cita bangsa menjadi tanggungjawab Negara.
Berdasarkan Pasal 104 Undang-Undang Narkotika menyebutkan
adanya peran masyarakat dalam memberantas tindak pidana
narkotika.Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 106:
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
1. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
2. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narko