BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Peranan saksi dalam setiap perkara pidana sangat penting karena kerap
keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan
keputusan hakim.Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat
menentukan kemana arah keputusan hakim.Berdasarkan hal ini memberikan
efek kepada setiap keterangan saksi selalu mendapatkan perhatian yang
sangat besar baik oleh pelaku hukum yang terlibat didalam persidangan
maupun oleh masyarakat pemerhati hukum.Oleh karena itu, saksi sudah
sepatutnya diberikan perlindungan hukum karena dalam mengungkap suatu
tindak pidana saksi secara sadar mengambil resiko dalam mengungkap
kebenaran materil.4
Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian
besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses
selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci,
sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa
bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi
dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan
pidana.
4
keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam
memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai
kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.5
Masalah narkotika merupakan masalah nasional dan internasional, karena
penyalah gunaannya akan berdampak negatife terhadap kehidupan Indonesia sebagai negara berkembang terus berupaya untuk mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur baik spiritual maupun material
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk mencapai
tujuan tersebut, maka bangsa Indonesia perlu melaksanakan pembangunan di
segala bidang, khususnya bidang hukum, meliputi penertiban badan-badan
penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing-masing,
serta meningkatkan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum ke
arah tegaknya hukum, ketertiban, dan kepastian hukum.
Hukum di Indonesia saat ini sedang menjadi sorotan, baik di mata
masyarakat dalam negeri maupun masyarakat internasional.Masyarakat
melihat dan menilai sistem hukum di negeri kita sangat lemah.Salah satu
yang dianggap lemah adalah dalam permasalahan perlindungan saksi.Saksi di
Indonesia kurang mendapat perhatian dan perlindungan hukum, sehingga
seorang saksi dapat dengan mudah dipengaruhi, diteror, bahkan mungkin
dibunuh agar tidak dapat bersaksi guna mengungkap suatu tindak pidana.
Suatu tindak pidana apapun bentuknya akan menyebabkan kerugian bagi
individu, masyarakat, bangsa, maupun negara, tidak terkecuali permasalahan
narkotika.
5
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal yang sama dirasakan di
Indonesia dimana hampir setiap hari peredaran narkoba dan
penyalahgunaannya, mulai dari tertangkapnya pengedar ataupun
ditemukannya pabrik-pabrik narkotika hingga berita generasi muda yang
tewas karena mengkonsumsi narkotika, tiada henti-hentinya diberitakan di
media cetak maupun media elektronik.
Angka prevalensi penyalahgunaan narkoba dari tahun ke tahun
mengalami peningkatan bahkan prediksi pada 2015 diperkirakan jumlah
pengguna narkoba di Indonesia akan mencapai 5,8 juta jiwa. Hal ini karena
jumlah pengguna narkotika untuk saat ini telah mencapai 4 juta jiwa.
Angka penyalahgunaan narkoba setiap tahunnya terus meningkat di mana
pada 2015 jumlah korban penyalahgunaan narkoba akan mencapai angka 5,8
juta jiwa dan saat ini jumlah pengguna atau korban penyalahgunaan narkoba
sudah mencapai 4,2 juta orang. Kemudian di Indonesia saat ini sangat minim
tempat rehabilitasi yang hanya bisa menampung 18 ribu orang sedangkan
korban yang ada saat ini sebanyak 4,2 juta orang.6
Memperhatikan hal-hal di atas tampaknya besar kemungkinan, bahwa
para bandar narkotika yang beroperasi di negara kita merupakan kepanjangan
dan binaan dari jaringan organisasi-organisasi kejahatan Internasional.
Sebagaimana diakui oleh beberapa pejabat Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI), bahwa salah satu sebab kejahatan yang bertalian dengan peredaran
narkotika ini agak sulit diberantas, karena kejahatan ini memiliki jaringan
internasional yang bersifat tertutup dan ekslusif.7
Berbagai tindakan terus dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah
dan memberantas tindak pidana narkotika yang timbul dalam masyarakat,
yaitu dengan cara :
Dengan demikian, setiap
gangguan keamanan, utamanya yang merupakan suatu tindak pidana, harus
ditanggulangi dengan sekuat tenaga dan sedini mungkin.
8
Berdasarkan fakta yang ada, aparat penegak hukum hanya mampu
menjebloskan pelaku yang sifatnya hanya “pemain kecil”, yakni pengedar
pengedar yang sifatnya hanya menyalurkan narkotika tersebut, itupun dengan
barang bukti yang hanya sedikit, tetapi tidak mampu untuk menjerat tokoh di
balik jaringan besar ini. Hal ini di dasarkan dengan semakin meningkatnya
kejahatan ini.
1. pre-emptiveadalah pencegahan secara dini atau lebih awal, belum ada
tanda-tanda kriminogen (faktor pencetus tindak kriminal);
2. Tindakan preventif adalah tindakan sebelum terjadinya kejahatan atau
perbuatan yang melanggar hukum;
3. Tindakan represif adalah tindakan ini dimulai dari suatu adanya
pelanggaran sampai pada suatu proses pengusutan, penuntutan dan
penjatuhan pidana serta pelaksanaan pidana yakni menjerat pelaku dengan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
9
7
O.C Kaligis, 2002, Narkotika dan Peradilannya Di Indonesia, Bandung: Alumni Bandung,hlm. 273
8
Wresniworo, 2002, Masalah Narkotika dan Obat-obatan Berbahaya, Jakarta: Mitra Bintimar, hlm. 33.
9
Mengungkap dan menemukan kejelasan tentang perkara pidana
narkotika ini, aparat tidak hanya memperoleh informasi dari pelaku sindikat
yang tertangkap.Tetapi peran serta masyarakat dalam membantu aparat
penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkotika
diharapkan sangat besar kontribusinya, mengingat jumlah personel aparat
sendiri sangat minim sekali jika harus mengawasi peredaran gelap narkotika
di wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau.
Membantu aparat penegak hukum dalam hal mengungkap adanya
tindak pidana narkotika yang terjadi merupakan suatu kewajiban setiap warga
negara, namun di lain pihak apabila melaporkan peristiwanya tidak tertutup
kemungkinan orang-orang yang terlibat peristiwa itu merasa tidak senang
atau marah kepada orang yang bersaksi. Pada umumnya orang yang terlibat
dalam peredaran gelap narkotika tidak bertindak sendirian, mereka berkawan,
berkelompok atau diperkirakan tindak pidana ini juga terorganisasi, dimana
ada yang bertindak sebagai pemasok bahan bakunya, ada yang bertindak
sebagai produsen, bandar dan pengedar. Kalau sampai dilaporkan dan merasa
akan terbongkar seluruh kegiatannya, besar kemungkinan mereka yang
terlibat bukan hanya tidak senang dan marah saja, akan tetapi lebih dari itu,
mereka akan main hakim sendiri dengan mengambil tindakan yang berakibat
nasib buruk bagi saksi yang diketahuinya.10
Berdasarkan tindakan-tindakan yang akan mengancam keselamatan
saksi tersebut, maka perlu adanya suatu jaminan keamanan dan perlindungan
dari pihak yang berwenang. Untuk itu tanpa diminta saksi, pihak yang
10
berwenang harus memberikan jaminan keamanan dan perlindungan
sebaik-baiknya terhadap saksi jika nantinya mengalami ancaman maupun intimidasi
dari sindikat narkotika.Seperti dikatakan Leden Marpaung bahwa,
“Keterangan saksi diberikan tanpa adanya tekanan dari siapapun dan dalam
bentuk apapun’’.11
Berdasarkan paparan tersebut diatas betapa seriusnya masalah
perlindungan saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika tersebut, dan
hangat untuk menjadi isu penting yang menjadi perbincangan para praktisi
hukum, kalangan mahasiswa, dan terutama aparat penegak hukum. Karena
timbulnya ketertarikan yang sangat besar untuk meninjau lebih dalam
masalah perlindungan saksi pelapor dalam skripsi yang berjudul “ Pentingnya jaminan keamanan dan perlindungan itu agar orang tidak
merasa takut untuk melaporkan kejahatan yang berkaitan dengan tindak
pidana narkotika, dan dengan jaminan yang nyata dan dapat dirasakan oleh
seorang saksi, maka akan semakin banyak orang yang berani untuk menjadi
saksi. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi saksi dan pelapor
yang berintikan pada keadilan dan kebenaran serta mampu menjamin
kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan hukum bagi saksi serta
menghargai Hak Asasi Manusia yang menjadi hak bagi seorang saksi
sehingga membantu dalam membuka tabir kejahatan perkara pidana dan
mengungkap suatu kebenaran dari tindak pidana yang telah terjadi.
11
Perlindungan Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi di Polsek
Delitua)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas,
maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dibahas dalam masalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan Perlindungan Saksi Pelapor dalam Tindak Pidana
Narkotika?
2. Bagaimana Pelaksanaan Perlindungan Saksi dalamTindak Pidana
Narkotika di Polsek Delitua?
3. Bagaimana Upaya yang Dilakukan Untuk Melindungi Saksi Pelapor dalam
Tindak Pidana Narkotika di Polsek Delitua?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disimpulkan yang menjadi
tujuan dari tujuan penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi tujuan dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan saksi pelapor dalam Tindak
Pidana Narkotika.
2. Untuk mengetahui mengenai pelaksanaan perlindungan terhadap saksi
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk melindungi saksi
pelapor dalam Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum Polsek
Delitua.
Adapun manfaat penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi
manfaat yaitu secara teoritis dan praktis, yakni :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi manfaat bagi kalangan akademis pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya yang membutuhkan informasi mengenai
perlindungan yang diberikan oleh hukum positif di Indonesia terhadap
saksi dan pelapor.
b. Menambah khazanah ilmu pengetahuan ilmu hukum khususnya hukum
pidana yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan saksi dan
pelapor. Juga diharapkan akan bermanfaat menambah dan memperkaya
litelatur-litelatur yang telah ada sebelumnya, khususnya mengenai
perlindungan saksi dan pelapor serta dapat menjadi acuan untuk
mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan dapat membantu aparat penegak hukum memberikan
perlindungan saksi dan pelapor dalam menyelesaikan perkara pidana
khususnya tindak pidana narkotika.
b. Diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan di lingkungan institusi
penegak hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan sebagai lembaga
peyidik tindak pidana (umum / khusus) yang mempunyai wewenang
meningkatkan peran serta masyarakat untuk mengungkap fakta
kebenaran dalam suatu tindak pidana narkotika.
D. Keaslian Penulisan
Penulisan karya tulis ilmiah dengan judul “Perlindungan Hukum
Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di
Polsek Delitua)” ini adalah merupakan hasil pemikiran yang ide
penulisannya murni hasil karya penulis sepenuhnya ditambah
literature-literatur lain baik buku-buku milik penulis sendiri maupun buku-buku
perpustakaan serta melakukan riset ke Polsek Delitua guna memperoleh
data-data yang dapat mendukung skripsi ini. Setelah telah melakukan daftar
penelusuran skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukannya judul
ataupun permasalahan yang sama. Oleh karena itu, tulisan ini merupakan
karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur,
rasional dan ilmiah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa skripsi yang disusun ini
merupakan karya asli dari penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain.
Apabila ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini
dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum Pidana maka penulis
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Tentang Tindak Pidana Narkotika
Undang- undang Narkotika tidak membahas mengenai pengertian
tindak pidana narkotika, namun atas dasar pengertian dan penjelasan tentang
tindak pidana diatas, akan membantu dalam memberikan pengertian tentang
tindak pidana narkotika yang tentu saja tetap mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Narkotika. Untuk
mempermudah pemahaman atas pengertian tindak pidana narkotika maka
terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan istilah hukum dan pidana. Menurut
system hukum, bahwa hukum atau pidana yang dijatuhkan adalah
menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah
terlebih dahulu tercantum dalam Undang-Undang Hukum Pidana, jika tidak
ada Undang- Undang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan.
Bab I Pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “ Nullum
Delictum Nula Poena Sine Praevia Lege Poenale “, yang pada intinya
menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada
ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya. Artinya adalah bahwa
pidana itu harus berdasarkan ketentuan undang-undang, sedangkan hukum
lebih luas pengertiannya.
Guna memahami lebih jauh tentang pidana, hukum dan hukum pidana
maka perlu dicermati defenisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum,
1. Pendapat Sudarto, tentang pidana, beliau menyatakan pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.12
2. Simorangkir, merumuskan definisi hukum, sebagai peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang
berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan, yaitu hukuman yang tertentu.13
3. Chaerudin, memberikan defenisi hukum pidana yaitu sebagai berikut :14 a. Hukum pidana adalah hukum sanksi, defenisi ini diberikan berdasarkan
ciri yang melekat pada hukum pidana yang membedakan dengan
lapangan hukum lain.
b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.
c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai:
1) Perbuatan yang dilarang yang disertai ancaman berupa pidana bagi
pelanggannya.
2) Dalam keadaan apa terhadap pelanggar dapat dijatuhi hukuman
3) Bagaimana cara penerapan pidana terhadap pelakunya
Defenisi tersebut diatas, dapat dicermati bahwa hukum pidana dapat
dilihat melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi. Selain itu,
antara hukum dan pidana juga mempunyai persamaan, keduanya berlatar
12
Sudarto, Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1975, hlm. 75. 13
Simorangkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Jakarta : Gunung Agung, 1962, hlm. 6.
14
belakang tata nilai (value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan
berbuat sesuatu dan seterusnya. Dengan demikian norma dan sanksi
sama-sama merujuk kepada tata nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok
manusia ada ketentuan yang harus ditaati dalam pergaulan yang menjamin
ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung arti
suatu ancaman pidana agar norma yang dianggap suatu nilai dapat ditaati.
Perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai Tindak Pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah :15
1. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Narkotika Golongan I. 2. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Produksi
3. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan 4. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Ekspor dan Impor
5. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Penyaluran dan Pengedaran
6. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Narkotika Label dan Publikasi
7. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Penggunaan Narkotika dan Rehabilitasi.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang
dianggap sebagai tindak pidana adalah :16
1. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika;
2. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika.
3. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan precursor narkotika;
15
Hari Sasangka, Op. Cit., hlm. 172. 16
4. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang membawa, mengangkut, dan mentransit narkotika dan prekursor narkotika; 5. Tindak Pidana Narkotika bagi orang tua/wali dari pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan yang telah cukup umur yang sengaja tidak melaporkannya;
6. Tindak Pidana Narkotika bagi setiap orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika;
7. Tindak Pidana Narkotika terhadap percobaan atau permufakatan jahat melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor;
8. Tindak Pidana Narkotika bagi menyuruh, member, membujuk, memaksa dengan kekerasan, tipu muslihat dan membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika;
9. Tindak Pidana Narkotika bagi pecandu narkotika yang tidak melaporkan dirinya;
10. Tindak Pidana Narkotika bagi hasil-hasil dari tindak pidana narkotika dan/atau prekursor narkotika;
11. Tindak Pidana Narkotika bagi orang yang menghalangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara;
12. Tindak Pidana Narkotika bagi nahkoda atau kapten penerbangan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28;
13. Tindak Pidana Narkotika bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik, BNN yang tidak melaksanakan ketentuan tentang barang bukti;
14. Tindak Pidana Narkotika bagi Kepala Kejaksaan Negeri tidak melaksanakan ketentuan Pasal 91 ayat (1);
15. Tindak Pidana Narkotika bagi petugas laboraturium yang memalsukan hasil pengujian;
16. Tindak Pidana Narkotika bagi saksi yang member keterangan yang tidak benar;
17. Tindak Pidana Narkotika bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di Luar Wilayah Negara RI;
18. Tindak Pidana Narkotika bagi pimpinan rumah sakit, pimpinan lembaga ilmu pengetahuan, pimpinan industry farmasi, pimpinan pedagang farmasi yang melakukan tindak pidana narkotika.
Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan
bahwa pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara,
pidana kurungan dan pidana denda.Pidana juga dapat dijatuhkan pada
korporasi yakni berupa pencabutan izin usaha dan/ atau pencabutan status
2. Tentang Saksi dan Pelapor
Saksi adalah seseorang yang mempunyai informasi pertama mengenai
sutu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indra mereka (mis. Penglihatan,
pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong memastikan
pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian.17
Ketentuan Pasal 1 angka 25 RUU KUHAP menentukan:
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian sebagai berikut :
“Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui berbagai-bagai arti seperti:
orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya supaya
bilamana perlu dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa
peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi atau orang yang mengetahui suatu
kejadian atau orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk
kepentingan pendakwa dan terdakwa.”
Defenisi saksi dalam perkara pidana tercantum dalam pasal 1 angka
26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang menyatakan
bahwa:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
18
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu
tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri, atau didengar sendiri.”
18
Pengertian saksi dalam RUU KUHAP ini menegaskan bahwa aturan
dalam RUU KUHAP hanya berlaku bagi saksi dalam ruang lingkup perkara
pidana dan status saksi sudah dimulai dalam tahap penyelidikan,
dibandingkan dengan KUHAP status saksi dimulai dari tahap
penyelidikan.Pengertian saksi dalam undang-undang ini pun sedikit lebih
maju, karena berupaya memasukkan atau memperluas perlindungan terhadap
orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang masih berstatus
pelapor atau pengadu. Perlindungan terhadap status saksi dalam konteks
penyelidikan ini pun masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur
pada doktrin yang diintrodusir KUHAP, dimana saksi tersebut harus
memberikan keterangan mengenai perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri. Doktrin ini sebenarnya berelasi kuat
dengan kekuatan nilai pembuktian.19
Proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyidikan
sampaidengan pembuktian di persidangan, keberadaan saksi sangatlah
diharapkan.Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam
pengungkapan kasuspidana yang dimaksud. Tanpa kehadiran dan peran dari
saksi, dapat dipastikansuatu kasus akan menjadi ”dark number” mengingat
dalam system hukum yangberlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari
para penegak hukum adalahtestimony yang hanya diperoleh dari saksi atau
ahli.Berbeda dengan sistem hukumyang berlaku di Amerika yang lebih
mengedepankan ”silent evidence” (barangbukti).20
19
Supriyadi Widodo Eddyono, Makalah, UU Perlindungan Saksi, Belum Progresif (Catatan Kritis TerhadapUndang-undang No 13 TAHUN 2006), (Jakarta :Koalisi
Perlindungan Saksi & Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2006) hlm.3. 20
Salah satu alat bukti yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah keterangan saksi.
Keterangansaksi sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang
pengadilan, dimanaketerangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan
bahwa terdakwa bersalahterhadap perbuatan yang didakwakan padanya
(Unnus Testis Nullus) dan saksiharus memberikan keterangan mengenai apa
yang ia lihat, dengar, ia alami sendiritidak boleh mendengar dari orang lain
(Testimonium De Auditu). Pasal 185ayat 1-7 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan :
a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwaterdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah
apabilaketerangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa,sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu.
e. Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi.
f. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lai
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keteranganyang tertentu
d. cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnyadapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
g. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai
denganketerangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai
tambahanalat bukti sah yang lain.
Syarat untuk dapat menjadi saksi adalah :
1. Syarat objektif saksi
a. Dewasa telah berumur 15 tahun/sudah kawin.
b. berakal sehat
c. Tidak ada hubungan keluarga baik hubungan pertalian darah /
perkawinandengan terdakwa
2. Syarat subjektif saksi
Mengetahui secara langsung terjadinya tindak pidana dengan melihat,
mendengar, merasakan sendiri.
1. Syarat formil
Saksi harus disumpah menurut agamanya.21
21
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, kekecualian
menjadi saksitercantum dalam Pasal 186 KUHAP yaitu :
1. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
2. saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibuatau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karenaperkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga.
3. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-samasebagai terdakwa.
Hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh
Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat
ataujabatannya diwajibkan manyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan
darikewajiban member keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal
tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk
menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud,
maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menetukan sah atau
tidaknya alas an yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.
Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang
harusmerahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya.yang dimaksud
agamaKatolik Roma. Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang
melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut.Pasal 170 KUHAP yang
mengatur tentang hal tersebut diatas mengatakan “dapat minta dibebaskan
dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi….” berarti jika
orang-orang itu bersedia menjadi saksi , dapat diperiksa oleh hakim.
Berdasarkan hal itulah kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan
rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif.
Pasal 171 KUHAP yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa
sumpahialah :
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali
Penjelasan Pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur
lima belastahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila
meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut
psychopath, mereka ini tidak dapat ditanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana makamereka tidak dapat diambil sumpah atau janji
dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dapat
dipakai sebagai petunjuk saja.
Kekuatan alat bukti saksi atau juga dapat disebut sebagai efektivitas
alat buktiterhadap suatu kasus sangat bergantung dari beberapa faktor.Salah
satu fungsihukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak suatu
terhadap hukumsecara ilmiah.Kekuatan pembuktian keterangan saksi
tergantung pada dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari
banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Berdasarkan Pasal 185 ayat
(6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dikatakan dalam
menilai keterangan saksi, hakim harus
Sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain.
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi dalam memberikan
keterangan tertentu.
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat memepengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.
Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak
memberikankesaksian dipersidangan. Pelapor dapat juga sebagai korban dari
tindak pidana itusendiri, seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 point 1
”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidanayang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau
ia alami sendiri.” dan poit 4 “Pelapor adalah orang yang memberikan laporan,
informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan
keamanan yangmemadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam
atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Berdasarkan jaminan
perlindungan hukum dan keamanantersebut, diharapkan tercipta suatu
keadaan yang memungkinkan masyarakat tidaklagi merasa takut untuk
melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepadapenegak hukum,
karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
c. Kepolisian Republik Indonesia
Tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi, sejak itu Polri telah
dihadapkan pada tugas-tugas unik dan kompleks. Selain menata keamanan
dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat dalam
pertempuran melawan penjajahan dari berbagai operasi militer bersama-sama
kesatuan bersenjata yang lain. Keadaan seperti ini dilakukan oleh Polri karena
lahir sebagai satu-satunya kesatuan bersenjata yang relative lebih lengkap
pada saat ini.
Sebelum terjadinya gerakan reformasi, kelembagaan kepolisian masih
berada satu atap dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), akan tetapi mulai
tanggal 18 agustus 2002, polisi secara kelembagaan terpisah dari TNI setelah
sidang tahunan MPR melalui Tap MPR No.VI/MPR/2000 dan Tap MPR
No.VII/MPR/2000, kedudukan polisi saat ini langsung dibawah Presiden.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan
1) Pasal 1 ayat (1); Kepolisian Negara adalah alat negara penegak hukum
yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri.
2) Pasal 3; Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata
Pengertian keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.22
a) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
Adapun tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 2
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 adalah sebagai berikut:
b) Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat ;
c) Mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara; d) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan Negara;
e) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan Negara;
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok kepolisian adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. Menegakkan hukum;
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat;
Melaksankan tugas pokoknya tersebut diatas, maka Kepolisian Negara
Republik Indonesia mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab
kepolisian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Melaksanakan tugas
22
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan lain (Pasal
16 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian RI jo Pasal 5 ayat (1) huruf (a) butir (4), yaitu tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilaksanakan.
c. Harus patut, masuk akal, dan termaksud dalam lingkungan jabatannya.
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa. e. Menghormati hak asasi manusia
Kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri (diskresi kepolisian) (Pasal 18 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia).
Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia telah menuju pada pembaharuan dari masa Orde Baru baik pada
organisasi kepolisian, namun hal ini masih belum mencapai tingkat polisi
ideal yang diharapkan masyarakat.
Adapun kreteria polisi ideal menurut RE. Baringbing adalah sebagai
berikut:
1) Mengetahui batas-batas wewenangnya;
2) Memahami dan terampil dalam melaksanakan hukum;
3) Tidak mengharapkan imbalan uang dalam tugasnya;
Perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern
dan global, Polri bukan hanya menguasai keamanan dan ketertiban di dalam
negeri, akan tetapi terlihat dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban
regional maupun antar bangsa, sebagaimana ditempuh oleh kebijakan PBB
yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termaksud Indonesia untuk ikut
dalam berbagai operansi kepolisian.
F. Metode Penelitian
Penelitian adalah sebagai usaha untuk mengemukakan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan
secara metodologis berarti dengan menggunakan metode-metode yang
bersifat ilmiah, sedangkan sistematis berarti sesuai dengan pedoman atau
aturan penelitian yang berlaku untuk suatu karya ilmiah.Ilmu yang
mempelajari metode-metode ilmiah dalam menggali kebenaran pengetahuan
disebut metodologi penelitian. Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:23 1. Jenis Penelitian
Skripsi ini merupakan penelitian hukum deskriptif yakni jenis
penelitian yang bertujuan mendeskripsikan atau menggambarkan tentang
suatu peristiwa yang lebih luas dan umum.Sehinggga peneltian ini mencoba
untuk menggambarkan dan menjelaskan perlindungan hukum terhadap saksi
pelapor dalam tindak pidana narkotika di Polsek Delitua.
2. Sumber Data
23
Sumber data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
data primer dan data sekunder.Data primer adalah data yang diperoleh
langsung dari lapangan yang meliputi wawancara.Data sekunder adalah data
yang tidak diperoleh secara langsung dari lapangan namun diperoleh dari
studi pustaka yang meliputi bahan dokumentasi, tulisan ilmiah dan berbagai
sumber lainnya. Data sekunder dibagi menjadi tiga, yaitu :
a. Bahan Hukum Primer
Adalah semua data-data berupa dokumen peraturan yang bersifat
mengikat, asli dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Data hukum
primer penulisan skripsi ini diantaranya adalah Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Undang-Undang No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang
No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan lain
sebagainya.
b. Bahan Hukum Sekunder
Adalah Semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian
mengenai masalah perlindungan saksi pelapor seperti makalah, jurnal,
karya ilmiah, Koran, karya tulis dan sumber dari internet yang berkaitan
dengan persoalan diatas.
c. Bahan Hukum Tersier
Adalah semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan
keterangan-keterangan otentik yang bersifat mendukung data primer dan data
sekunder, seperti kamus dan lain-lain.
Pengumpulan data ini, metode pengumpulan yang digunakan adalah
Studi Lapangan (field research) dan Penelitian Kepustakaan (library
research). Studi Lapangan (field research) yaitu suatu cara memperoleh data
dengan langsung ke lapangan yang menjadi objek penelitian, yaitu Polsekta
Delitua. Studi lapangan ini dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat
primer, dimana data tersebut diperoleh dengan cara wawancara. Penelitian
Kepustakaan (library research) adalah dengan melakukan penelitian terhadap
berbagai sumber bacaan, yakni buku, pendapat sarjana, artikel, internet dan
media massa yang berhubungan dengan masalah diatas.
4. Analisis Data
Berdasarkan hal untuk menarik kesimpulan dari data yang
dikumpulkan, maka penulis menggunakan teknik analisis data adalah
kualitatif, yaitu dengan cara menggambarkan keadaan-keadaan dari objek
yang diteliti dilapangan. Kemudian terhadap permasalahan yang timbul akan
ditinjau dan dianalisis secara mendalam dengan didasarkan pada teori-teori
kepustakaan dan peraturan perundang-undangan sehingga diperoleh suatu
kesimpulan akhir yang ditarik secara komprehensif.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan
kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan dapat pula
memperoleh manfaatnya.Keseluruhan sistematika ini merupakan satu
kesatuan yang sangat berhubungan antara satu dengan yang lainnya dapat
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdapat latar belakang penulisan, perumusan
masalah, tujuan daan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR
DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
Dalam bab ini dibahas mengenai perlindungan saksi pelapor
sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-undang yang
mengatur tentang adanya perlindungan saksi pelapor dalam
tindak pidana narkotika.
BAB III PELAKSANAAN PERLINDUNGAN BAGI SAKSI
PELAPOR DALAM TINDAK PIDANANARKOTIKA DI
POLSEK DELITUA
Dalam bab ini dibahas mengenai pelaksanan perlindungan
bagi saksi pelapor dalam tindak pidana narkotika berupa
gambaran umum Polsek Delitua,tindak pidana narkotika, serta
tindakan kepolisian didalam melakukan perlindungan terhadap
saksi pelapor di Polsek Delitua.
BAB IV UPAYA YANG DILAKUKAN UNTUK MELINDUNGI
SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA
Dalam bab ini dibahas mengenai upaya-upaya serta
hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi dalam melindungi saksi
pelapor di Polsek Delitua.
BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dalam bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi
ini, dan bab ini merupakan bentuk kesimpulan dan saran.
Tidak lupa penulis mencantumkan daftar pustaka .
Demikianlah sistematika penulisan dari skripsi ini, dimana rangkaian
dari sub-sub bab tersebut merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan dan