• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Polsek Deli Tua)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Pelapor Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Polsek Deli Tua)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. Sebelum Lahirnya Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Perlindungan saksi erat kaitannya dengan suatu tindak pidana yang

terjadi terutama dalam perkara-perkara yang besar. Maksud adanya

keterkaitan yaitu karena sebagian besar tindak pidana dapat terpecahkan

dengan kesaksian yang diberikan saksi. Jadi walau bagaimanapun seorang

saksi harus mendapatkan perlindungan dengan tujuan agar saksi tersebut

dapat memberikan kesaksiannya baik ditingkat penyidikan maupun

persidangan.

Perlindungan bagi saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian

seperangkat hak yang dapat dimamfaatkan mereka dalam posisinya di proses

peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan

atas konstribusi mereka dalam proses ini. Berdasarkan kaitannya dengan

(2)

seorang mengetahui, mendengar serta mengalami suatu tindak pidana harus

mau menjadi saksi, bahkan disediakan pidana bila menolak menjadi saksi.

Seorang saksi ialah bagian dari sistem peradilan pidana, sehingga

justru saksi tersebut akan menjadi faktor dalam mengurangi kejahatan. saksi

berkewajiban untuk memberikan kesaksian demi memberantas kejahatan

dalam masyarakat, sebab setiap orang berkewajiban untuk ikut serta

memberantas kejahatan dalam masyarakat.24

1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,

martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas

rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau

tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Terkait dengan perlindungan saksi dan korban, satu hal prinsipil yang

harus diperhatikan bahwa konstitusi kita telah menegaskan bahwa setiap

aturan yang akan diberlakukan harus sesuai dengan hukum yang berlaku

karena seperti disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa : Negara

Indonesia adalah Negara Hukum.Sejalan dengan itu dalam Pasal 28 huruf g

UUD 1945 konstitusi negara kita juga telah mengamanatkan pentingnya

perlindungan saksi dan korban ini seperti yang dijelaskan sebagai berikut:

2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang

merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka dari

negara lain.

Perlindungan saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian

seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan mereka dalam posisinya diproses

(3)

peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan

atas konstribusi mereka dalam proses ini. Berdasarkan amanat

undang-undang tersebut, dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban

(LPSK).25

1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Masalah perlindungan saksi dan/atau korban di Indonesia telah diatur

dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang

pemberian perlindungan terhadap saksi, korban dan pelapor. Sebelum

Undang RI No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban lahir,

telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hal

tersebut, namun masih belum lengkap dan kurang dalam mengatur

perlindungan saksi pelapor terhadap tindak pidana narkotika. Beberapa

peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut :

KUHAP memang tidak mempunyai ketentuan yang secara khusus,

rinci dan lengkap tentang hak-hak saksi korban dan atau pelapor dalam proses

pidana. Akan tetapi bukan berarti dalam hukum tersebut tidak ada ketentuan

semacam itu. Adapun beberapa Pasal dalam KUHAP yang dianggap

memberikan perlindungan pada saksi dan korban adalah :26

(1)Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa

tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun. Pasal 117:

maret 2015.

saksi dan korbansebagai sarana menuju peradilan (pidana) yang jujur dan adil, diakses 5

(4)

(2)Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak

boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal ini berkaitan erat dengan Pasal 52

KUHAP.Pasal ini memberikan jaminan terhadap seorang saksi untuk

memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.Apabila

terjadi pemeriksaan terhadap diri saksi dengan tekanan maka berita acara

pemeriksaan penyidikan tersebut adalah batal demi hukum, sesuai dengan

Pasal 422 KUHP.27

(1)Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang

ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang member keterangan itu setelah

mereka menyetujui isinya. Pasal 118:

(2)Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan

tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan

menyebut alasannya.

Saksi dalam hal tidak mau menandatangani berita acara, ia harus

memberikan alasan yang kuat dan mengenai berita acara, berkaitan dengan

Pasal 75 KUHAP.28

Menurut penjelasan Pasal 166 KUHAP disebutkan, jika dalam salah

satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah

dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap

seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka pertanyaan yang demikian itu

dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat. Ini sesuai dengan prinsip

27

Hari Sasangka & Rosita Lily, KUHAP dengan Komentar, Bandung : Cv. Mandar Maju, 2000, hlm. 139.

(5)

bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas disemua

tingkat pemeriksaa.Sebenarnya larangan dalam mengajukan pertanyaan, tidak

hanya terhadap pertanyaan menjerat saja, tetapi juga terhadap pertanyaan

yang mengarahkan, memberikan alternative, atau menyebut kualifikasi.29

(1)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim

ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul

dengan terdakwa atau saksi itu. Pasal 178:

(2)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menuli, hakim

ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya

secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan

untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta

jawaban harus dibacakan.

Pasal ini berhubungan dengan Pasal 53 KUHAP mengenai hak untuk

mendapat juru bahasa (penjelasan).Pembacaan pertanyaan hakim dan

jawaban terdakwa yang diatur dalam Pasal 178 ayat (2) KUHAP adalah

memenuhi asas keterbukaan dalam pemeriksaan persidangan (fair trial).30

(1)Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka

memberikan keterangan disemua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat

penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 229:

(2)Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi

atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

29Ibid, hlm. 193.

(6)

Selain dalam KUHAP, ditemukan pula di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengaturan implicit mengenai perlindungan

saksi itu, yakni ketentuan Pasal 334 KUHAP. Ketentuan itu mengancam

dengan pidana perbuatan yang memaksa orang lain untuk melakukan, tidak

melakukan atau membiarkan sesuatu dengan kekerasan atau perbuatan lain

atau perbuatan tidak menyenangkan atau ancaman untuk melakukan

perbuatan-perbuatan tersebut.

Akan tetapi KUHAP ternyata lebih menitikberatkan pengaturan

mengenai kewajiban saksi, yang tentunya membebankan saksi dengan

berbagai ancaman apabila tidak memberikan kesaksian, misalnya:

Pasal 224:

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut

undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan

undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :

1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;

2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

Pasal 522:

Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau

jurubahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana

denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada

(7)

terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap

akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Saksi

dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan

pidana. Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama

ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus

yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi

dan korban yang takut memberikan kesaksian kepada aparat penegak hukum

karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.

Menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak

pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan

perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui

dan menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana

yang terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.

Pelapor yang demikian itu harus diberikan perlindungan hukum dan

keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam

atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Jaminan perlindungan hukum

dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang

memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu

tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir

atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.

Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di

Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Kitab

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya

(8)

perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.

Berdasarkan hal itu, sudah saatnya perlindungan saksi dan korban diatur

dengan undang-undang tersendiri.

Berdasarkan asas kesamaan dihadapan hukum (equality before the

law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam

proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun

pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi

dan Korban meliputi:

1. Perlindungan dan hak saksi dan korban;

2. Lembaga perlindungan saksi dan korban;

3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan

4. Ketentuan pidana.31

Disahkannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini

bukan hanya melegakan para anggota DPR yang mengusulkan pada bulan

juni 2002 silam. Namun Undang-undang perlindungan saksi dan korban ini

diharapkan mampu membuka kebuntuan yang selama ini menjadi kendala

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap tindak pidana

korupsi karena selama ini, kesaksian dalam proses peradilan tindak pidana

korupsi sangat minim.

Selain itu keberadaan Undang-undang perlindungan saksi dan korban

ini diharapkan dapat menjadi terobosan di dunia peradilan pidana Indonesia.

Salah satu alasan diajukannya Undang-undang ini karena ketentuan hukum

acara pidana atau peraturan perundang-undangan lainnya belum memberikan

31Penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

(9)

perlindungan hukum bagi saksi dan korban untuk dapat menyampaikan

sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

Seharusnya pembahasan Undang-undang ini kelar pada april 2006,

tetapi molor hingga 13 juli 2006. Pembahasan pertama RUU ini di Panja

dimulai pada januari 2006. Setelah melakukan pembahasan dan sinkronisasi

pasal-pasal, pada 13 juni 2006, Komisi III melakukan Raker dengan Menkum

dan HAM rapat tingkat I untuk mengambil keputusan RUU Perlindungan

Saksi dan Korban.32

Berdasarkan proses pengungkapan suatu tindak pidana mulai dari

tahap penyelidikan sampai dengan pembuktian di persidangan, keberadaan

dan peran saksi sangatlah diharapkan. Bahkan menjadi faktor penentu dan

keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana dimaksud.

Masalah krusial yang muncul selama pembahasan diantaranya

mengenai substansi pelapor telah dirumuskan bahwa terhadap kesaksian yang

akan, sedang atau telah diberikan oleh saksi korban dan pelapor tidak dapat

dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata. Namun ketentuan

tersebut tidak berlaku bila yang bersangkutan dalam memberikan keterangan

tidak dengan etikad baik.Artinya, “Saat memberikan kesaksian, yang

bersangkutan memberikan keterangan palsu, sumpah palsu atau permufakatan

jahat,”jelasnya.

33

Perlindungan Saksi dan Korban, diakses pada tanggal 15 maret 2015.

(10)

Adapun asas dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban terdapat dalam Pasal 3 yaitu perlindungan

saksi dan korban berasaskan pada :

a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b. Rasa aman;

c. Keadilan;

d. Tidak diskriminatif; dan e. Kepastian hukum;

Penghargaan atas harkat dan martabat manusia berarti bahwa peran

saksi dan korban selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang memadai

dari penegak hukum, walaupun saksi dan korban yang bersangkutan berperan

besar mengungkap suatu tindak pidana.

Rasa aman adalah suatu hak dalam hal ini termaksud pula hak untuk

tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi, sesuai

dengan konvensi menentang penyiksaan yang telah diratifikasi oleh

Pemerintah Indonesia.

Tersangka atau terdakwa yang telah diberikan seperangkat hak dalam

KUHAP dan seharusnya saksi dan korban mendapat keadilan pula.

Yang dimaksud dengan tidak diskriminatif” adalah asas yang

membuka diri terhadap hak rakyat untuk memperoleh informasi yang benar,

jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Lembaga Perlindungan Saksi

dan Korban dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah asas dalam negara

hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,

kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan

(11)

Tujuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 terdapat pada Pasal 4

yaitu perlindungan terhadap saksi dan korban bertujuan memberikan rasa

aman kepada saksi dan/korban dalam memberikan keterangan pada setiap

proses peradilan pidana.34

3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Berdasarkan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika menyebutkan bahwa di sidang pengadilan saksi dan orang

lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika dan Prekursor

Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan

alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya

identitas pelapor.

Ketentuan dari Pasal tersebut adalah dimaksudkan untuk memberikan

perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan

mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat pelapor tidak

diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau jaringannya pada tingkat

pemeriksaan di sidang pengadilan.

Berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang Narkotika menyebutkan bahwa :

(1)Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa

perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta

keluarganya wajib diberi perlindungan oleh Negara dari ancaman yang

membehayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama

maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

(12)

(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh Negara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dilakukan tidak

hanya secara perorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara

bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan

jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat

nasional maupun internasional. Kecenderungan yang semakin meningkat baik

secara kuantitatif maupun kualitatif dengan penggunaan modus operandi

semakin berkembang sehingga perlu penanganan khusus agar pencegahan

meluasnya korban penyalahgunaan terutama dikalangan anak-anak, remaja,

dan generasi muda pada umumnya memerlukan upaya tindakan yang efektif

serta efesien dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika. Kewajiban penyediaan

kebutuhan masyarakat serta perlindungan keamanan terhadap warga Negara

Republik Indonesia sebagai cita-cita bangsa menjadi tanggungjawab Negara.

Berdasarkan Pasal 104 Undang-Undang Narkotika menyebutkan

adanya peran masyarakat dalam memberantas tindak pidana

narkotika.Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk

berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Pasal 106:

Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika

(13)

1. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah

terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

2. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan

informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan

Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani

perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

3. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada

penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana

Narkotika dan Prekursor Narkotika.

4. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan

kepada penegak hukum atau BNN;

5. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan

melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.

Pasal 107:

Mayarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika

mengetahui adanya penyahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika.

Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk

mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika.Kewajiban masyarakat ialah melaporkan tentang terjadinya tindak

pidana narkotika kepada aparat penegak hukum.Disamping kewajiban itu,

masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan keamanan dan

perlindungan dari aparat penegak hukum.

Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas

(14)

usaha, upaya dan kegiatan penegak hukum akan mengalami kegagalan. Hal

ini membuat pentingnya mengubah sikap tingkah laku dan kepedulian

masyarakat terhadap pencegahan dan penanggulangan narkotika.35

4. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika

dilakukan pencegahan serta pemberantasan peredaran gelap narkotika yang

merupakan zat bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan

narkotika ataupun penyalahgunaan narkotika tersebut sesungguhnya dapat

bermanfaat serta menjadi keperluan pengobatan penyakit tertentu, perlu

diatur antara transaksi yang tidak syah secara ketat, agar tidak terjadi

penyalahgunaan yang dapat mengganggu kesehatan perseorangan atau

masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini dapat mengakibatkan bahaya

yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada

akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Upaya mencegahan dan memberantasan penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan

kehidupan masyarakat, bangsa, Negara, telah diatur pada Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang kemudian mendelegasikan

lebih lanjut kepada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 sebagai

peraturan pelaksana yang terdapat pada ketentuan Pasal 32, Pasal 62, Pasal 89

ayat (2), Pasal 90 ayat (2), Pasal 100 ayat (2), dan Pasal 101 ayat (3).

(15)

Kondisi peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika dilakukan

secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas

Negara. Sehingga diperlukan suatu hubungan bersifat bilateral, regional,

maupun internasional, untuk memerangi modus operandinya yang semakin

canggih dengan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik

pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang

diawasi (controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak

dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan

Prekursor narkotika dibutuhkan suatu instansi kementrian/lembaga agar

berperan aktif untuk hal tersebut.

Berdasarkan hal guna tersebut guna peningkatan upaya pencegahan

dan pemberantasan tindak pidana narkotika perlu dilakukan Peraturan

Pelaksana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, untuk

mengatur lebih lanjut mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013

mengatur penanganan khusus tindak pidana narkotika dalam hal transito

narkotika, pengelolaan narkotika sitaan (dalam hal barang bukti),

perlindungan hukum (dalam hal perlindungan terhadap saksi, pelapor,

peyidik, penuntut umum dan hakim), penggunaan hasil rampasan aset tindak

pidana narkotika.36

36

http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/pembahasan-ruu/63-rancangan-peraturan-pemerintah/2295-rancangan -peraturan-pemerintah-tentang-pelaksanaan-undang-undang-nomor-35-tahun-2009-tentang-narkotika, diakses pada tanggal 20 maret 2015.

Bentuk dan tata cara perlindungan hukum yang terdapat dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan :

(16)

(1)Perlindungan wajib diberikan oleh negara kepada Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

(2)Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya.

Pasal 36:

Dalam hal Saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) didatangkan

dari luar wilayah negara Republik Indonesia, perlindungan Saksi tersebut

dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja sama

dengan pejabat kepolisian yang berwenang di negara tersebut.

Pasal 37:

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diberikan dalam bentuk:

1. pengamanan terhadap diri pribadi, keluarganya, dan hartanya;

2. kerahasiaan identitas Saksi dan Pelapor; dan/atau

3. pemberian keterangan Saksi dan Pelapor dalam proses pemeriksaan

perkara tanpa bertatap muka dengan tersangka atau

terdakwa.hukumonline.com

Pasal 38:

(1)Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 wajib dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal/tempat kerja Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya.

(2)Dalam hal persidangan dilaksanakan di luar tempat terjadinya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlindungan diberikan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat sidang pengadilan dilaksanakan.

(17)

Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 wajib diberitahukan

kepada Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik

Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta

keluarganya dalam waktu paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)

jam sebelum perlindungan diberikan.

Pasal 40:

(1)Dalam hal perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 belum , Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya dapat mengajukan permohonan perlindungan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(2)Permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Saksi, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya.

(3)Dalam hal permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Saksi, tembusan permohonan tersebut disampaikan kepada penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, dan hakim yang menangani proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

(4)Dalam jangka waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak permohonan perlindungan diterima, Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan klarifikasi atas kebenaran permohonan dan identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan.

B. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Perlindungan saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

tentang perlindungan saksi dan korban sebagaimana diubah dengan

(18)

Dalam undang-undang ini memberikan pengaturan lebih luas tentang saksi,

saksi pelaku, korban dan pelapor dalam tindak pidana.

Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2014 didalamnya terdapat 3 (tiga)

hal pokok yang patut diberikan perhatian khusus, Yakni :

1. Pendalaman mengenai cakupan atas hak-hak serta bentuk-bentuk

perlindungan yang diberikan kepada saksi/saksi pelapor, termaksud

didalamnya adalah prinsip-prinsip pelaksanaan pemberian perlindungan

kepada saksi.

2. Aspek-aspek kelembagaan LPSK. Aspek ini menyangkut kewenangan dan

cakupan tugas dari LPSK dengan lembaga penegak hukum lainnya.

3. Ketentuan mengenai pemberian perlindungan dan bantuan. Ketentuan ini

menyangkut aspek mekanisme procedural bekerjanya Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Pemberian bantuan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan

Korban merupakan bagian dari salah satu bentuk perlindungan yang akan

diberikan oleh LPSK. Pemahaman yang demikian itulah oleh Undang-undang

Perlindungan Saksi dan Korban, konsep pemberian bantuan dibatasi

sedemikian rupa misalnya dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 31

Tahun 2014, yang dimaksudkan dengan bantuan oleh undang-undang ini

hanya mencakup bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 memberikan penjelasan

mengenai tata caranya mengajukan permohonan pemberian bantuan dan

bagaimana LPSK menentukan diterimanya atau tidaknya permohonan dan

(19)

Syarat pemberian perlindungan bantuan diatur dalam Pasal 28

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 :

1. Perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau korban diberikan dengan syarat sebagai berikut:

a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau korban;

b. Tingkat Ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;

c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; dan

d. Rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.

2. Perlindungan LPSK terhadap Saksi Pelaku diberikan dengan syarat sebagai berikut:

a. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);

b. Sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkapkan suatu tindak pidana;

c. Bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya;

d. Kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis;dan

e. Adanya Ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya Ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

3. Perlindungan LPSK terhadap Pelapor dan ahli diberikan dengan syarat sebagai berikut:

a. Sifat pentingnya keterangan Pelapor dan ahli; dan b. Tingkat ancaman yang membahayakan Pelapor dan ahli.

Tata cara pemberian perlindungan diatur dalam Pasal 29 sampai

dengan Pasal 32 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 yang

menyebutkan:

Pasal 29:

(20)

a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;

b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan

c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan Perlindungan diajukan.

(2)Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan Perlindungan tanpa diajukan permohonan.

Pasal 29A:

(1)Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban dapat diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali.

(2)Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam hal: a. Orang tua atau wali diduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap anak

yang bersangkutan.

b. Orang tua atau wali patut diduga menghalang-halangi anak yang bersangkutan dalam memberikan kesaksian;

c. Orang tua atau wali tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua atau wali;

d. Anak tidak memiliki orang tua atau wali;

e. Orang tua atau wali anak yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya.

4. Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban yang tidak memerlukan izin orang tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan LPSK.

Pasal 30:

(1)Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban.

(2)Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

a. Kesedian Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;

b. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;

(21)

d. Kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.

Pasal 31:

LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban, termaksud keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.

Pasal 32:

(1)Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan:

a. Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;

b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;

c. Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau

d. LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. (2)Penghentian perlindungan keamanan saeorang Saksi dan/atau Korban

harus dilakukan secara tertulis.

Tata cara pemberian bantuan diatur dalam Pasal 33 sampai Pasal 36

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 yang menyebutkan :

Pasal 33:

Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang

Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan

ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK.

Pasal 34:

(1)LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban.

(22)

(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta jangka waktu dan besarannya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35:

Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau

Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersngkutan dalam

waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan

tersebut.

Pasal 36:

(1)Dalam hal melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang.

(2)Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Penjelasan ayat (1) pasal ini, bahwa yang dimaksud dengan instansi

terkait yang berwenang adalah “ lembaga pemerintah dan non pemerintah

atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk

memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat

mendukung kerja LPSK, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh

saksi dan/atau korban.

1. Jenis Perlindungan Saksi

Penjelasan Undang –Undang RI No. 31 Tahun 2014 menyebutkan

dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat yang mengungkap tindak

pidana, perlu diciptakan iklim kondusif dengan cara memberikan

perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui

atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana

(23)

Saksi khususnya saksi pengungkap fakta (whistleblower) yang

demikian itu harus diberi perlindungan dan keamanan yang memadai atas

laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak

maupun jiwanya. Jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut

diharapakan suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi

merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya

kepada penegak hukum karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh

pihak tertentu.

Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 memberikan

defenisi dari pelapor yaitu : “ orang yang memberikan laporan, informasi,

atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan,

sedang, atau telah terjadi. Pelapor inilah sebagai pengungkap fakta

(whistleblower) karena terlibat langsung maupun tidak langsung tentang

terjadinya suatu tindak pidana, artinya : merek inilah yang melihat sendiri,

mendengar sendiri dan mengalami sendiri terjadinya suatu perbuatan pidana

yang dilakukan oleh si pelaku.

Pengungkap fakta (whistleblower) dapat juga sebagai pihak tidak

langsung berhubungan, tidak langsung menerima akibat dari suatu peristiwa

pidana misalnya seseorang yang mengetahui dan menemukan keberadaan

dokumen atau data dari perbuatan pidana.Ahli juga dapat digolongkan

sebagai pengungkap fakta apabila keterangannya sangat krusial dalam

pengungkapan fakta untuk pembuktian suatu tindak pidana dipersidangan

(24)

Yunus Husein37

a. Perlindungan Hukum

(Kepala Pusat Pelaporaan dan Analisa Transaksi Keuangan)

berpendapat dapat dibedakan 2 (dua) jenis perlindungan bagi saksi pelapor

(pengungkap fakta) yakni :

Perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi yang terdapat dalam

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan

Korban berupa kekebalan yang diberikan kepada saksi dan atau korban

sebagai pelapor untuk tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana

maupun perdata atas kesaksian atau laporan yang akan, sedang atau telah

diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan

etikad baik (Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014).

Kekebalan yang diberikan kepadar saksi atau korban sebagai pelapor

untuk tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata

atas kesaksian atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya

seorang saksi adalah suatu terobosan hukum yang dilakukan untuk

mengungkap tindak pidana yang sulit pembuktian dan dilakukan dengan

modus operandi sistemtis dan terorganisir (extra ordinary crime). Tindak

pidana yang digolongkan extra ordinary crime yakni kasus-kasus tertentu

antara lain : tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak

pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak

pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana

psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain

yang mengakibatkan posisi saksi dan atau korban dihadapkan pada situasi

37 Harian Seputar Indonesia, Artikel :Pentingnya Perlindungan Saksi, Pelapor, dan

(25)

yang sangat membahayakan jiwanya (Penjelasan Pasal 5 ayat (2)

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014).

Pemerintah atas nama undang-undang wajib memberikan

perlindungan berupa perlindungan hukum maupun perlindungan khusus

kepada saksi atau pelapor yang menjadi pengungkap fakta. LPSK sebagai roh

jiwa dari Undang-Undang RI No.31 Tahun 2014 yang memberikan penilaian

yang patut atau tidak patut diberika kepada saksi atau pelapor sebuah

perlindungan.

Saksi atau pelapor berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun

2014 harus menjalankan sebuah syarat berupa kesedian memberikan

kesaksian dalam proses peradilan, menaati aturan yang berkenaan dengan

keselamatannya, tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain

selain atas persetujuan LPSK, tidak memberitahukan kepada siapapun

mengenai keberadaannya yang dilindungi LPSK dan hal lain yang dianggap

perlu oleh LPSK.

Pasal 9 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 dapat merupakan

teknis beracara dalam pemeriksaan saksi yang identitasnya dirahasiakan di

pengadilan. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan :

(1)Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang

sangat besar atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian berupa

hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.

(2)Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) daapat

(26)

pejaabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita

acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.

(3)Saksi dan/atau korban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat

pula didengar kesaksiannya dengan langsung melalui media elektronik

dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.

Penjelasan Pasal 9 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan ancaman

yang sangat besar adalah ancaman yang memberikan saksi dan/atau Korban

tidak dapat memberikan kesaksiannya.Penjelasan ayat (2) bahwa yang

dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah penyidik sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.Penjelasan ayat (3) bahwa

kehadiran pejabat ini untuk memastikan bahwa saksi dan/ atau korban

memberikan keterangan.

Pemeriksaan saksi di sidang pengadilan dapat diberikan secara jarak

jauh melalui alat komunikasi audio visualartinya : pemberian keterangan

pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan

terdakwa. Faktor-faktor psikis (kejiwaan) sangat mempengaruhi saksi dalam

memberikan keterangannya di depan persidangan dan bertatap muka.

b. Perlindungan Khusus bagi Saksi atau Pelapor

Perlindungan khusus bagi saksi atau pelapor diberikan Negara untuk

mengatasi kemungkinan ancaman yang sangat besar.Saksi pelapor tindak

pidana memerlukan perlindungan khusus karena tidak semuanya menghadapi

ancaman.Perlindungan khusus menurut Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun

(27)

5.Perlindungan khusus ini meliputi juga perlindungan terhadap harta

kekayaan si pelapor bahkan keluarganya.

Perlindungan saksi sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 5

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan :

(1)Saksi dan korban berhak :

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan. d. Mendapat penerjemah.

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.

f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus. g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan. h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan. i. Dirahasiakan identitasnya.

j. Mendapat identitas baru

k. Mendapat tempat kediaman sementara. l. Mendapat tempat kediaman baru.

m.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. n. Mendapat nasihat hukum.

o. Memperoleh bantuan hidup sementara sampai balas waktu perlindungan berakhir.

p. Mendapat pendampingan.

(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.

(3)Selain kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebabgaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termaksud pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.

(28)

Efektifitas pemberian perlindungan saksi dan korban dalam

kasus-kasus tindak pidana tidak terlepas dari peranan lembaga yang berwenang

untuk menangani pemberian perlindungan tersebut.Lembaga yang memiliki

beberapa tugas berkaitan dengan perlindungan terhadap saksi dari tindak

pidana. Tugas utama Lembaga Perlindungan Saksi adalah menerima

permohonan dan memberikan perlindungan terhadap saksi atau pihak lain

atau orang lain yang berkaitan dengan saksi sebagaimana dirujuk oleh Pasal

12 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 : “ LPSK bertanggung jawab

untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban

berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam

undang-undang ini,”

Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 dalam ketentuan

umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Pelindungan Saksi dan Korban,

yang selanjutnya disebut dengan LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan

berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi

dan/atau korban. Sebagaimana Pasal 12A Undang-Undang RI Nomor31

Tahun 2014 menyebutkan:

(1)Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, LPSK berwenang :

a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan;

b. Menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan;

c. Menerima salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

d. Meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;

Referensi

Dokumen terkait

Oleh sebab itu jika pekerja atau salah satu dari operatror mesin sakit, maka barang yang seharusnya selesai pada hari yang ditentukan dan dapat dikirim, tertunda hanya karena

No Nomor Peserta Nama Asal Sekolah

Pencetakan plastik adalah proses pembentukan suatu benda atau produk dari material plastik dengan bentuk dan ukuran tertentu yang mendapat perlakuan panas dan

During the first growth stage which covered the period from transplanting to the end of the 3rd week after transplanting (WAT), crop coefficients increased from 0.99 to 1.27 and 1.01

PENDAPATAN DAN BEBAN NON OPERASIONAL Keuntungan (kerugian) penjualan aset tetap dan inventaris Keuntungan (kerugian) penjabaran transaksi valuta asing Pendapatan (beban)

A 90-100 Merupakan perolehan mahasiswa superior, yaitu mereka yang mengikuti perkuliahan dengan sangat baik, memahami materi dengan sangat baik bahkan tertantang untuk memahami

beberapa manfaat media dalam pembelajaran sebagai berikut. a) Penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan. b) Proses pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik. c)

The better estimation accuracy shown in the lower plots confirms the fact that reconstruction accuracy of tomographic SAR inversion can be improved significantly by using