BAB II
PENGATURAN PERLINDUNGAN SAKSI PELAPOR DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
A. Sebelum Lahirnya Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Perlindungan saksi erat kaitannya dengan suatu tindak pidana yang
terjadi terutama dalam perkara-perkara yang besar. Maksud adanya
keterkaitan yaitu karena sebagian besar tindak pidana dapat terpecahkan
dengan kesaksian yang diberikan saksi. Jadi walau bagaimanapun seorang
saksi harus mendapatkan perlindungan dengan tujuan agar saksi tersebut
dapat memberikan kesaksiannya baik ditingkat penyidikan maupun
persidangan.
Perlindungan bagi saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian
seperangkat hak yang dapat dimamfaatkan mereka dalam posisinya di proses
peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan
atas konstribusi mereka dalam proses ini. Berdasarkan kaitannya dengan
seorang mengetahui, mendengar serta mengalami suatu tindak pidana harus
mau menjadi saksi, bahkan disediakan pidana bila menolak menjadi saksi.
Seorang saksi ialah bagian dari sistem peradilan pidana, sehingga
justru saksi tersebut akan menjadi faktor dalam mengurangi kejahatan. saksi
berkewajiban untuk memberikan kesaksian demi memberantas kejahatan
dalam masyarakat, sebab setiap orang berkewajiban untuk ikut serta
memberantas kejahatan dalam masyarakat.24
1. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Terkait dengan perlindungan saksi dan korban, satu hal prinsipil yang
harus diperhatikan bahwa konstitusi kita telah menegaskan bahwa setiap
aturan yang akan diberlakukan harus sesuai dengan hukum yang berlaku
karena seperti disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa : Negara
Indonesia adalah Negara Hukum.Sejalan dengan itu dalam Pasal 28 huruf g
UUD 1945 konstitusi negara kita juga telah mengamanatkan pentingnya
perlindungan saksi dan korban ini seperti yang dijelaskan sebagai berikut:
2. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka dari
negara lain.
Perlindungan saksi pada prinsipnya harus merupakan pemberian
seperangkat hak yang dapat dimanfaatkan mereka dalam posisinya diproses
peradilan pidana. Perlindungan ini merupakan salah satu bentuk penghargaan
atas konstribusi mereka dalam proses ini. Berdasarkan amanat
undang-undang tersebut, dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK).25
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Masalah perlindungan saksi dan/atau korban di Indonesia telah diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pemberian perlindungan terhadap saksi, korban dan pelapor. Sebelum
Undang RI No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban lahir,
telah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hal
tersebut, namun masih belum lengkap dan kurang dalam mengatur
perlindungan saksi pelapor terhadap tindak pidana narkotika. Beberapa
peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut :
KUHAP memang tidak mempunyai ketentuan yang secara khusus,
rinci dan lengkap tentang hak-hak saksi korban dan atau pelapor dalam proses
pidana. Akan tetapi bukan berarti dalam hukum tersebut tidak ada ketentuan
semacam itu. Adapun beberapa Pasal dalam KUHAP yang dianggap
memberikan perlindungan pada saksi dan korban adalah :26
(1)Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa
tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun. Pasal 117:
maret 2015.
saksi dan korbansebagai sarana menuju peradilan (pidana) yang jujur dan adil, diakses 5
(2)Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak
boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal ini berkaitan erat dengan Pasal 52
KUHAP.Pasal ini memberikan jaminan terhadap seorang saksi untuk
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.Apabila
terjadi pemeriksaan terhadap diri saksi dengan tekanan maka berita acara
pemeriksaan penyidikan tersebut adalah batal demi hukum, sesuai dengan
Pasal 422 KUHP.27
(1)Keterangan tersangka dan atau saksi dicatat dalam berita acara yang
ditandatangani oleh penyidik dan oleh yang member keterangan itu setelah
mereka menyetujui isinya. Pasal 118:
(2)Dalam hal tersangka dan atau saksi tidak mau membubuhkan
tandatangannya, penyidik mencatat hal itu dalam berita acara dengan
menyebut alasannya.
Saksi dalam hal tidak mau menandatangani berita acara, ia harus
memberikan alasan yang kuat dan mengenai berita acara, berkaitan dengan
Pasal 75 KUHAP.28
Menurut penjelasan Pasal 166 KUHAP disebutkan, jika dalam salah
satu pertanyaan disebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah
dilakukan oleh terdakwa atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap
seolah-olah diakui atau dinyatakan, maka pertanyaan yang demikian itu
dianggap sebagai pertanyaan yang bersifat menjerat. Ini sesuai dengan prinsip
27
Hari Sasangka & Rosita Lily, KUHAP dengan Komentar, Bandung : Cv. Mandar Maju, 2000, hlm. 139.
bahwa keterangan terdakwa atau saksi harus diberikan secara bebas disemua
tingkat pemeriksaa.Sebenarnya larangan dalam mengajukan pertanyaan, tidak
hanya terhadap pertanyaan menjerat saja, tetapi juga terhadap pertanyaan
yang mengarahkan, memberikan alternative, atau menyebut kualifikasi.29
(1)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim
ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul
dengan terdakwa atau saksi itu. Pasal 178:
(2)Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menuli, hakim
ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya
secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan
untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta
jawaban harus dibacakan.
Pasal ini berhubungan dengan Pasal 53 KUHAP mengenai hak untuk
mendapat juru bahasa (penjelasan).Pembacaan pertanyaan hakim dan
jawaban terdakwa yang diatur dalam Pasal 178 ayat (2) KUHAP adalah
memenuhi asas keterbukaan dalam pemeriksaan persidangan (fair trial).30
(1)Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka
memberikan keterangan disemua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat
penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 229:
(2)Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi
atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
29Ibid, hlm. 193.
Selain dalam KUHAP, ditemukan pula di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengaturan implicit mengenai perlindungan
saksi itu, yakni ketentuan Pasal 334 KUHAP. Ketentuan itu mengancam
dengan pidana perbuatan yang memaksa orang lain untuk melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan sesuatu dengan kekerasan atau perbuatan lain
atau perbuatan tidak menyenangkan atau ancaman untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tersebut.
Akan tetapi KUHAP ternyata lebih menitikberatkan pengaturan
mengenai kewajiban saksi, yang tentunya membebankan saksi dengan
berbagai ancaman apabila tidak memberikan kesaksian, misalnya:
Pasal 224:
Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut
undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan
undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam :
1. Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
2. Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
Pasal 522:
Barang siapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau
jurubahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan pidana
denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada
terutama yang berkenaan dengan saksi, banyak kasus yang tidak terungkap
akibat tidak adanya saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Saksi
dan korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan
pidana. Keberadaan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana selama
ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus
yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh saksi
dan korban yang takut memberikan kesaksian kepada aparat penegak hukum
karena mendapat ancaman dari pihak tertentu.
Menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak
pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui
dan menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana
yang terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
Pelapor yang demikian itu harus diberikan perlindungan hukum dan
keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam
atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Jaminan perlindungan hukum
dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang
memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu
tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir
atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Perlindungan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana di
Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Kitab
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya
perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia.
Berdasarkan hal itu, sudah saatnya perlindungan saksi dan korban diatur
dengan undang-undang tersendiri.
Berdasarkan asas kesamaan dihadapan hukum (equality before the
law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dan korban dalam
proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun
pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi
dan Korban meliputi:
1. Perlindungan dan hak saksi dan korban;
2. Lembaga perlindungan saksi dan korban;
3. Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan
4. Ketentuan pidana.31
Disahkannya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini
bukan hanya melegakan para anggota DPR yang mengusulkan pada bulan
juni 2002 silam. Namun Undang-undang perlindungan saksi dan korban ini
diharapkan mampu membuka kebuntuan yang selama ini menjadi kendala
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengungkap tindak pidana
korupsi karena selama ini, kesaksian dalam proses peradilan tindak pidana
korupsi sangat minim.
Selain itu keberadaan Undang-undang perlindungan saksi dan korban
ini diharapkan dapat menjadi terobosan di dunia peradilan pidana Indonesia.
Salah satu alasan diajukannya Undang-undang ini karena ketentuan hukum
acara pidana atau peraturan perundang-undangan lainnya belum memberikan
31Penjelasan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
perlindungan hukum bagi saksi dan korban untuk dapat menyampaikan
sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
Seharusnya pembahasan Undang-undang ini kelar pada april 2006,
tetapi molor hingga 13 juli 2006. Pembahasan pertama RUU ini di Panja
dimulai pada januari 2006. Setelah melakukan pembahasan dan sinkronisasi
pasal-pasal, pada 13 juni 2006, Komisi III melakukan Raker dengan Menkum
dan HAM rapat tingkat I untuk mengambil keputusan RUU Perlindungan
Saksi dan Korban.32
Berdasarkan proses pengungkapan suatu tindak pidana mulai dari
tahap penyelidikan sampai dengan pembuktian di persidangan, keberadaan
dan peran saksi sangatlah diharapkan. Bahkan menjadi faktor penentu dan
keberhasilan dalam pengungkapan kasus pidana dimaksud.
Masalah krusial yang muncul selama pembahasan diantaranya
mengenai substansi pelapor telah dirumuskan bahwa terhadap kesaksian yang
akan, sedang atau telah diberikan oleh saksi korban dan pelapor tidak dapat
dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata. Namun ketentuan
tersebut tidak berlaku bila yang bersangkutan dalam memberikan keterangan
tidak dengan etikad baik.Artinya, “Saat memberikan kesaksian, yang
bersangkutan memberikan keterangan palsu, sumpah palsu atau permufakatan
jahat,”jelasnya.
33
Perlindungan Saksi dan Korban, diakses pada tanggal 15 maret 2015.
Adapun asas dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban terdapat dalam Pasal 3 yaitu perlindungan
saksi dan korban berasaskan pada :
a. Penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b. Rasa aman;
c. Keadilan;
d. Tidak diskriminatif; dan e. Kepastian hukum;
Penghargaan atas harkat dan martabat manusia berarti bahwa peran
saksi dan korban selama ini tidak pernah mendapat perhatian yang memadai
dari penegak hukum, walaupun saksi dan korban yang bersangkutan berperan
besar mengungkap suatu tindak pidana.
Rasa aman adalah suatu hak dalam hal ini termaksud pula hak untuk
tidak disiksa atau diperlakukan secara kejam dan tidak manusiawi, sesuai
dengan konvensi menentang penyiksaan yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Indonesia.
Tersangka atau terdakwa yang telah diberikan seperangkat hak dalam
KUHAP dan seharusnya saksi dan korban mendapat keadilan pula.
Yang dimaksud dengan tidak diskriminatif” adalah asas yang
membuka diri terhadap hak rakyat untuk memperoleh informasi yang benar,
jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Yang dimaksud dengan kepastian hukum adalah asas dalam negara
hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan
Tujuan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 terdapat pada Pasal 4
yaitu perlindungan terhadap saksi dan korban bertujuan memberikan rasa
aman kepada saksi dan/korban dalam memberikan keterangan pada setiap
proses peradilan pidana.34
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Berdasarkan Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika menyebutkan bahwa di sidang pengadilan saksi dan orang
lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika dan Prekursor
Narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebutkan nama dan
alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.
Ketentuan dari Pasal tersebut adalah dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan
mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar nama dan alamat pelapor tidak
diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau jaringannya pada tingkat
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Berdasarkan Pasal 100 Undang-Undang Narkotika menyebutkan bahwa :
(1)Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta
keluarganya wajib diberi perlindungan oleh Negara dari ancaman yang
membehayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama
maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perlindungan oleh Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pelaku tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dilakukan tidak
hanya secara perorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara
bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan
jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat
nasional maupun internasional. Kecenderungan yang semakin meningkat baik
secara kuantitatif maupun kualitatif dengan penggunaan modus operandi
semakin berkembang sehingga perlu penanganan khusus agar pencegahan
meluasnya korban penyalahgunaan terutama dikalangan anak-anak, remaja,
dan generasi muda pada umumnya memerlukan upaya tindakan yang efektif
serta efesien dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika. Kewajiban penyediaan
kebutuhan masyarakat serta perlindungan keamanan terhadap warga Negara
Republik Indonesia sebagai cita-cita bangsa menjadi tanggungjawab Negara.
Berdasarkan Pasal 104 Undang-Undang Narkotika menyebutkan
adanya peran masyarakat dalam memberantas tindak pidana
narkotika.Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk
berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 106:
Hak masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
1. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
2. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan
informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan
Prekursor Narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani
perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;
3. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
4. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan
kepada penegak hukum atau BNN;
5. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan
melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.
Pasal 107:
Mayarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika
mengetahui adanya penyahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika.
Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk
mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika.Kewajiban masyarakat ialah melaporkan tentang terjadinya tindak
pidana narkotika kepada aparat penegak hukum.Disamping kewajiban itu,
masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan keamanan dan
perlindungan dari aparat penegak hukum.
Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas
usaha, upaya dan kegiatan penegak hukum akan mengalami kegagalan. Hal
ini membuat pentingnya mengubah sikap tingkah laku dan kepedulian
masyarakat terhadap pencegahan dan penanggulangan narkotika.35
4. Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika
dilakukan pencegahan serta pemberantasan peredaran gelap narkotika yang
merupakan zat bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan
narkotika ataupun penyalahgunaan narkotika tersebut sesungguhnya dapat
bermanfaat serta menjadi keperluan pengobatan penyakit tertentu, perlu
diatur antara transaksi yang tidak syah secara ketat, agar tidak terjadi
penyalahgunaan yang dapat mengganggu kesehatan perseorangan atau
masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini dapat mengakibatkan bahaya
yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada
akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Upaya mencegahan dan memberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan
kehidupan masyarakat, bangsa, Negara, telah diatur pada Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang kemudian mendelegasikan
lebih lanjut kepada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 sebagai
peraturan pelaksana yang terdapat pada ketentuan Pasal 32, Pasal 62, Pasal 89
ayat (2), Pasal 90 ayat (2), Pasal 100 ayat (2), dan Pasal 101 ayat (3).
Kondisi peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika dilakukan
secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas
Negara. Sehingga diperlukan suatu hubungan bersifat bilateral, regional,
maupun internasional, untuk memerangi modus operandinya yang semakin
canggih dengan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik
pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang
diawasi (controlled delivery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak
dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan
Prekursor narkotika dibutuhkan suatu instansi kementrian/lembaga agar
berperan aktif untuk hal tersebut.
Berdasarkan hal guna tersebut guna peningkatan upaya pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana narkotika perlu dilakukan Peraturan
Pelaksana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, untuk
mengatur lebih lanjut mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013
mengatur penanganan khusus tindak pidana narkotika dalam hal transito
narkotika, pengelolaan narkotika sitaan (dalam hal barang bukti),
perlindungan hukum (dalam hal perlindungan terhadap saksi, pelapor,
peyidik, penuntut umum dan hakim), penggunaan hasil rampasan aset tindak
pidana narkotika.36
36
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/pembahasan-ruu/63-rancangan-peraturan-pemerintah/2295-rancangan -peraturan-pemerintah-tentang-pelaksanaan-undang-undang-nomor-35-tahun-2009-tentang-narkotika, diakses pada tanggal 20 maret 2015.
Bentuk dan tata cara perlindungan hukum yang terdapat dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan :
(1)Perlindungan wajib diberikan oleh negara kepada Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penyidik pegawai negeri sipil tertentu, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika beserta keluarganya dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.
(2)Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya.
Pasal 36:
Dalam hal Saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) didatangkan
dari luar wilayah negara Republik Indonesia, perlindungan Saksi tersebut
dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja sama
dengan pejabat kepolisian yang berwenang di negara tersebut.
Pasal 37:
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diberikan dalam bentuk:
1. pengamanan terhadap diri pribadi, keluarganya, dan hartanya;
2. kerahasiaan identitas Saksi dan Pelapor; dan/atau
3. pemberian keterangan Saksi dan Pelapor dalam proses pemeriksaan
perkara tanpa bertatap muka dengan tersangka atau
terdakwa.hukumonline.com
Pasal 38:
(1)Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 wajib dilakukan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal/tempat kerja Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya.
(2)Dalam hal persidangan dilaksanakan di luar tempat terjadinya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlindungan diberikan oleh pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat sidang pengadilan dilaksanakan.
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 wajib diberitahukan
kepada Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta
keluarganya dalam waktu paling lambat 1 x 24 (satu kali dua puluh empat)
jam sebelum perlindungan diberikan.
Pasal 40:
(1)Dalam hal perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 belum , Saksi, Pelapor, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya dapat mengajukan permohonan perlindungan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2)Permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Saksi, penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, hakim, ahli dan petugas laboratorium beserta keluarganya.
(3)Dalam hal permohonan perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan oleh Saksi, tembusan permohonan tersebut disampaikan kepada penyidik BNN, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, penuntut umum, dan hakim yang menangani proses pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
(4)Dalam jangka waktu paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak permohonan perlindungan diterima, Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan klarifikasi atas kebenaran permohonan dan identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan.
B. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Perlindungan saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban sebagaimana diubah dengan
Dalam undang-undang ini memberikan pengaturan lebih luas tentang saksi,
saksi pelaku, korban dan pelapor dalam tindak pidana.
Undang-Undang RI No. 31 Tahun 2014 didalamnya terdapat 3 (tiga)
hal pokok yang patut diberikan perhatian khusus, Yakni :
1. Pendalaman mengenai cakupan atas hak-hak serta bentuk-bentuk
perlindungan yang diberikan kepada saksi/saksi pelapor, termaksud
didalamnya adalah prinsip-prinsip pelaksanaan pemberian perlindungan
kepada saksi.
2. Aspek-aspek kelembagaan LPSK. Aspek ini menyangkut kewenangan dan
cakupan tugas dari LPSK dengan lembaga penegak hukum lainnya.
3. Ketentuan mengenai pemberian perlindungan dan bantuan. Ketentuan ini
menyangkut aspek mekanisme procedural bekerjanya Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Pemberian bantuan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan
Korban merupakan bagian dari salah satu bentuk perlindungan yang akan
diberikan oleh LPSK. Pemahaman yang demikian itulah oleh Undang-undang
Perlindungan Saksi dan Korban, konsep pemberian bantuan dibatasi
sedemikian rupa misalnya dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 31
Tahun 2014, yang dimaksudkan dengan bantuan oleh undang-undang ini
hanya mencakup bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 memberikan penjelasan
mengenai tata caranya mengajukan permohonan pemberian bantuan dan
bagaimana LPSK menentukan diterimanya atau tidaknya permohonan dan
Syarat pemberian perlindungan bantuan diatur dalam Pasal 28
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 :
1. Perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau korban diberikan dengan syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau korban;
b. Tingkat Ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c. Hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; dan
d. Rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
2. Perlindungan LPSK terhadap Saksi Pelaku diberikan dengan syarat sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2);
b. Sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkapkan suatu tindak pidana;
c. Bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya;
d. Kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis;dan
e. Adanya Ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya Ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.
3. Perlindungan LPSK terhadap Pelapor dan ahli diberikan dengan syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan Pelapor dan ahli; dan b. Tingkat ancaman yang membahayakan Pelapor dan ahli.
Tata cara pemberian perlindungan diatur dalam Pasal 29 sampai
dengan Pasal 32 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 yang
menyebutkan:
Pasal 29:
a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan Perlindungan diajukan.
(2)Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan Perlindungan tanpa diajukan permohonan.
Pasal 29A:
(1)Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban dapat diberikan setelah mendapat izin dari orang tua atau wali.
(2)Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan dalam hal: a. Orang tua atau wali diduga sebagai pelaku tindak pidana terhadap anak
yang bersangkutan.
b. Orang tua atau wali patut diduga menghalang-halangi anak yang bersangkutan dalam memberikan kesaksian;
c. Orang tua atau wali tidak cakap menjalankan kewajiban sebagai orang tua atau wali;
d. Anak tidak memiliki orang tua atau wali;
e. Orang tua atau wali anak yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya.
4. Perlindungan LPSK terhadap anak yang menjadi Saksi dan/atau Korban yang tidak memerlukan izin orang tua atau wali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permintaan LPSK.
Pasal 30:
(1)Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan saksi dan korban.
(2)Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. Kesedian Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
b. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;
d. Kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan e. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Pasal 31:
LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban, termaksud keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
Pasal 32:
(1)Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan:
a. Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
b. Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;
c. Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau
d. LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan. (2)Penghentian perlindungan keamanan saeorang Saksi dan/atau Korban
harus dilakukan secara tertulis.
Tata cara pemberian bantuan diatur dalam Pasal 33 sampai Pasal 36
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 yang menyebutkan :
Pasal 33:
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang
Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan
ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK.
Pasal 34:
(1)LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta jangka waktu dan besarannya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35:
Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau
Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersngkutan dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan
tersebut.
Pasal 36:
(1)Dalam hal melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja lama dengan instansi terkait yang berwenang.
(2)Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Penjelasan ayat (1) pasal ini, bahwa yang dimaksud dengan instansi
terkait yang berwenang adalah “ lembaga pemerintah dan non pemerintah
atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk
memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat
mendukung kerja LPSK, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh
saksi dan/atau korban.
1. Jenis Perlindungan Saksi
Penjelasan Undang –Undang RI No. 31 Tahun 2014 menyebutkan
dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat yang mengungkap tindak
pidana, perlu diciptakan iklim kondusif dengan cara memberikan
perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui
atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana
Saksi khususnya saksi pengungkap fakta (whistleblower) yang
demikian itu harus diberi perlindungan dan keamanan yang memadai atas
laporannya sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak
maupun jiwanya. Jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut
diharapakan suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi
merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya
kepada penegak hukum karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh
pihak tertentu.
Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 memberikan
defenisi dari pelapor yaitu : “ orang yang memberikan laporan, informasi,
atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan,
sedang, atau telah terjadi. Pelapor inilah sebagai pengungkap fakta
(whistleblower) karena terlibat langsung maupun tidak langsung tentang
terjadinya suatu tindak pidana, artinya : merek inilah yang melihat sendiri,
mendengar sendiri dan mengalami sendiri terjadinya suatu perbuatan pidana
yang dilakukan oleh si pelaku.
Pengungkap fakta (whistleblower) dapat juga sebagai pihak tidak
langsung berhubungan, tidak langsung menerima akibat dari suatu peristiwa
pidana misalnya seseorang yang mengetahui dan menemukan keberadaan
dokumen atau data dari perbuatan pidana.Ahli juga dapat digolongkan
sebagai pengungkap fakta apabila keterangannya sangat krusial dalam
pengungkapan fakta untuk pembuktian suatu tindak pidana dipersidangan
Yunus Husein37
a. Perlindungan Hukum
(Kepala Pusat Pelaporaan dan Analisa Transaksi Keuangan)
berpendapat dapat dibedakan 2 (dua) jenis perlindungan bagi saksi pelapor
(pengungkap fakta) yakni :
Perlindungan hukum yang diberikan kepada saksi yang terdapat dalam
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban berupa kekebalan yang diberikan kepada saksi dan atau korban
sebagai pelapor untuk tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana
maupun perdata atas kesaksian atau laporan yang akan, sedang atau telah
diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan
etikad baik (Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014).
Kekebalan yang diberikan kepadar saksi atau korban sebagai pelapor
untuk tidak dapat dituntut secara hukum baik secara pidana maupun perdata
atas kesaksian atau laporan yang akan, sedang atau telah diberikannya
seorang saksi adalah suatu terobosan hukum yang dilakukan untuk
mengungkap tindak pidana yang sulit pembuktian dan dilakukan dengan
modus operandi sistemtis dan terorganisir (extra ordinary crime). Tindak
pidana yang digolongkan extra ordinary crime yakni kasus-kasus tertentu
antara lain : tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak
pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak
pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana
psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain
yang mengakibatkan posisi saksi dan atau korban dihadapkan pada situasi
37 Harian Seputar Indonesia, Artikel :Pentingnya Perlindungan Saksi, Pelapor, dan
yang sangat membahayakan jiwanya (Penjelasan Pasal 5 ayat (2)
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014).
Pemerintah atas nama undang-undang wajib memberikan
perlindungan berupa perlindungan hukum maupun perlindungan khusus
kepada saksi atau pelapor yang menjadi pengungkap fakta. LPSK sebagai roh
jiwa dari Undang-Undang RI No.31 Tahun 2014 yang memberikan penilaian
yang patut atau tidak patut diberika kepada saksi atau pelapor sebuah
perlindungan.
Saksi atau pelapor berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun
2014 harus menjalankan sebuah syarat berupa kesedian memberikan
kesaksian dalam proses peradilan, menaati aturan yang berkenaan dengan
keselamatannya, tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain
selain atas persetujuan LPSK, tidak memberitahukan kepada siapapun
mengenai keberadaannya yang dilindungi LPSK dan hal lain yang dianggap
perlu oleh LPSK.
Pasal 9 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 dapat merupakan
teknis beracara dalam pemeriksaan saksi yang identitasnya dirahasiakan di
pengadilan. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan :
(1)Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang
sangat besar atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian berupa
hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
(2)Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) daapat
pejaabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita
acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
(3)Saksi dan/atau korban sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat
pula didengar kesaksiannya dengan langsung melalui media elektronik
dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.
Penjelasan Pasal 9 ayat (1) bahwa yang dimaksud dengan ancaman
yang sangat besar adalah ancaman yang memberikan saksi dan/atau Korban
tidak dapat memberikan kesaksiannya.Penjelasan ayat (2) bahwa yang
dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah penyidik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.Penjelasan ayat (3) bahwa
kehadiran pejabat ini untuk memastikan bahwa saksi dan/ atau korban
memberikan keterangan.
Pemeriksaan saksi di sidang pengadilan dapat diberikan secara jarak
jauh melalui alat komunikasi audio visualartinya : pemberian keterangan
pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan
terdakwa. Faktor-faktor psikis (kejiwaan) sangat mempengaruhi saksi dalam
memberikan keterangannya di depan persidangan dan bertatap muka.
b. Perlindungan Khusus bagi Saksi atau Pelapor
Perlindungan khusus bagi saksi atau pelapor diberikan Negara untuk
mengatasi kemungkinan ancaman yang sangat besar.Saksi pelapor tindak
pidana memerlukan perlindungan khusus karena tidak semuanya menghadapi
ancaman.Perlindungan khusus menurut Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun
5.Perlindungan khusus ini meliputi juga perlindungan terhadap harta
kekayaan si pelapor bahkan keluarganya.
Perlindungan saksi sebagaimana diatur dalam Bab II Pasal 5
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan :
(1)Saksi dan korban berhak :
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan.
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan. d. Mendapat penerjemah.
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat.
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus. g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan. h. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan. i. Dirahasiakan identitasnya.
j. Mendapat identitas baru
k. Mendapat tempat kediaman sementara. l. Mendapat tempat kediaman baru.
m.Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. n. Mendapat nasihat hukum.
o. Memperoleh bantuan hidup sementara sampai balas waktu perlindungan berakhir.
p. Mendapat pendampingan.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.
(3)Selain kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu sebabgaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku, pelapor, dan ahli, termaksud pula orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan tindak pidana.
Efektifitas pemberian perlindungan saksi dan korban dalam
kasus-kasus tindak pidana tidak terlepas dari peranan lembaga yang berwenang
untuk menangani pemberian perlindungan tersebut.Lembaga yang memiliki
beberapa tugas berkaitan dengan perlindungan terhadap saksi dari tindak
pidana. Tugas utama Lembaga Perlindungan Saksi adalah menerima
permohonan dan memberikan perlindungan terhadap saksi atau pihak lain
atau orang lain yang berkaitan dengan saksi sebagaimana dirujuk oleh Pasal
12 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 : “ LPSK bertanggung jawab
untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban
berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini,”
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 dalam ketentuan
umumnya telah menyatakan bahwa Lembaga Pelindungan Saksi dan Korban,
yang selanjutnya disebut dengan LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan
berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada saksi
dan/atau korban. Sebagaimana Pasal 12A Undang-Undang RI Nomor31
Tahun 2014 menyebutkan:
(1)Dalam menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, LPSK berwenang :
a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan;
b. Menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan;
c. Menerima salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. Meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;