1. Tentang Tindak Pidana Narkotika
Undang- undang Narkotika tidak membahas mengenai pengertian tindak pidana narkotika, namun atas dasar pengertian dan penjelasan tentang tindak pidana diatas, akan membantu dalam memberikan pengertian tentang tindak pidana narkotika yang tentu saja tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Narkotika. Untuk mempermudah pemahaman atas pengertian tindak pidana narkotika maka terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan istilah hukum dan pidana. Menurut system hukum, bahwa hukum atau pidana yang dijatuhkan adalah menyangkut tentang perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana, haruslah terlebih dahulu tercantum dalam Undang-Undang Hukum Pidana, jika tidak ada Undang- Undang mengatur, maka pidana tidak dapat dijatuhkan.
Bab I Pasal 1 ayat (1) KUHP ada asas yang disebut “ Nullum
Delictum Nula Poena Sine Praevia Lege Poenale “, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya. Artinya adalah bahwa pidana itu harus berdasarkan ketentuan undang-undang, sedangkan hukum lebih luas pengertiannya.
Guna memahami lebih jauh tentang pidana, hukum dan hukum pidana maka perlu dicermati defenisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum, diantaranya adalah:
1. Pendapat Sudarto, tentang pidana, beliau menyatakan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.12
2. Simorangkir, merumuskan definisi hukum, sebagai peraturan-peraturan
yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan, yaitu hukuman yang tertentu.13
3. Chaerudin, memberikan defenisi hukum pidana yaitu sebagai berikut :14
a. Hukum pidana adalah hukum sanksi, defenisi ini diberikan berdasarkan
ciri yang melekat pada hukum pidana yang membedakan dengan lapangan hukum lain.
b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum.
c. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan mengenai:
1) Perbuatan yang dilarang yang disertai ancaman berupa pidana bagi
pelanggannya.
2) Dalam keadaan apa terhadap pelanggar dapat dijatuhi hukuman
3) Bagaimana cara penerapan pidana terhadap pelakunya
Defenisi tersebut diatas, dapat dicermati bahwa hukum pidana dapat dilihat melalui pendekatan dua unsur, yaitu norma dan sanksi. Selain itu, antara hukum dan pidana juga mempunyai persamaan, keduanya berlatar
12
Sudarto, Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1975, hlm. 75.
13
Simorangkir, Pelajaran Hukum Indonesia, Jakarta : Gunung Agung, 1962, hlm. 6.
14
Chaerudin, Materi Pokok Asas-asas Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam As Syafiyah,1996, hlm. 1.
belakang tata nilai (value) seperti ketentuan yang membolehkan dan larangan berbuat sesuatu dan seterusnya. Dengan demikian norma dan sanksi sama-sama merujuk kepada tata nilai, seperti norma dalam kehidupan kelompok manusia ada ketentuan yang harus ditaati dalam pergaulan yang menjamin ketertiban hukum dalam masyarakat. Sedangkan sanksi mengandung arti suatu ancaman pidana agar norma yang dianggap suatu nilai dapat ditaati.
Perbuatan-perbuatan yang dianggap sebagai Tindak Pidana dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 adalah :15
1. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Narkotika Golongan I.
2. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Produksi
3. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan
4. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Ekspor dan Impor
5. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Penyaluran dan
Pengedaran
6. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Narkotika Label dan
Publikasi
7. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan Penggunaan Narkotika
dan Rehabilitasi.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang
dianggap sebagai tindak pidana adalah :16
1. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika dan precursor narkotika;
2. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan prekursor narkotika.
3. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika dan precursor narkotika;
15
Hari Sasangka, Op. Cit., hlm. 172.
16
H. Siswanto S, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (Uu Nomor 35 Tahun 35 Tahun 2009), Cetakan Pertama, Pt Rineka Cipta, Jakarta : 2012, hlm. 256.
4. Tindak Pidana Narkotika yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang membawa, mengangkut, dan mentransit narkotika dan prekursor narkotika;
5. Tindak Pidana Narkotika bagi orang tua/wali dari pecandu Narkotika yang
belum cukup umur dan yang telah cukup umur yang sengaja tidak melaporkannya;
6. Tindak Pidana Narkotika bagi setiap orang yang tidak melaporkan adanya
tindak pidana narkotika;
7. Tindak Pidana Narkotika terhadap percobaan atau permufakatan jahat
melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor;
8. Tindak Pidana Narkotika bagi menyuruh, member, membujuk, memaksa
dengan kekerasan, tipu muslihat dan membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika;
9. Tindak Pidana Narkotika bagi pecandu narkotika yang tidak melaporkan
dirinya;
10. Tindak Pidana Narkotika bagi hasil-hasil dari tindak pidana narkotika
dan/atau prekursor narkotika;
11. Tindak Pidana Narkotika bagi orang yang menghalangi atau mempersulit
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara;
12. Tindak Pidana Narkotika bagi nahkoda atau kapten penerbangan tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28;
13. Tindak Pidana Narkotika bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik, BNN yang
tidak melaksanakan ketentuan tentang barang bukti;
14. Tindak Pidana Narkotika bagi Kepala Kejaksaan Negeri tidak
melaksanakan ketentuan Pasal 91 ayat (1);
15. Tindak Pidana Narkotika bagi petugas laboraturium yang memalsukan
hasil pengujian;
16. Tindak Pidana Narkotika bagi saksi yang member keterangan yang tidak
benar;
17. Tindak Pidana Narkotika bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
di Luar Wilayah Negara RI;
18. Tindak Pidana Narkotika bagi pimpinan rumah sakit, pimpinan lembaga
ilmu pengetahuan, pimpinan industry farmasi, pimpinan pedagang farmasi yang melakukan tindak pidana narkotika.
Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.Pidana juga dapat dijatuhkan pada korporasi yakni berupa pencabutan izin usaha dan/ atau pencabutan status badan hukum.
2. Tentang Saksi dan Pelapor
Saksi adalah seseorang yang mempunyai informasi pertama mengenai sutu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indra mereka (mis. Penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong memastikan
pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian.17
Ketentuan Pasal 1 angka 25 RUU KUHAP menentukan:
Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian sebagai berikut : “Saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui berbagai-bagai arti seperti: orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya supaya bilamana perlu dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi atau orang yang mengetahui suatu kejadian atau orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa dan terdakwa.”
Defenisi saksi dalam perkara pidana tercantum dalam pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang menyatakan bahwa:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
18
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri, atau didengar sendiri.”
18
Ditjenpp.kemenkumham.go.id/rancangan/inc/buka.php, RUU KUHAP 2010, diakses pada tanggal 02 maret 2015.
Pengertian saksi dalam RUU KUHAP ini menegaskan bahwa aturan dalam RUU KUHAP hanya berlaku bagi saksi dalam ruang lingkup perkara pidana dan status saksi sudah dimulai dalam tahap penyelidikan, dibandingkan dengan KUHAP status saksi dimulai dari tahap penyelidikan.Pengertian saksi dalam undang-undang ini pun sedikit lebih maju, karena berupaya memasukkan atau memperluas perlindungan terhadap orang yang membantu dalam upaya penyelidikan pidana yang masih berstatus pelapor atau pengadu. Perlindungan terhadap status saksi dalam konteks penyelidikan ini pun masih terbatas dan kurang memadai karena terbentur pada doktrin yang diintrodusir KUHAP, dimana saksi tersebut harus memberikan keterangan mengenai perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan/atau ia alami sendiri. Doktrin ini sebenarnya berelasi kuat
dengan kekuatan nilai pembuktian.19
Proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyidikan sampaidengan pembuktian di persidangan, keberadaan saksi sangatlah diharapkan.Bahkan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan kasuspidana yang dimaksud. Tanpa kehadiran dan peran dari
saksi, dapat dipastikansuatu kasus akan menjadi ”dark number” mengingat
dalam system hukum yangberlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari
para penegak hukum adalahtestimony yang hanya diperoleh dari saksi atau
ahli.Berbeda dengan sistem hukumyang berlaku di Amerika yang lebih
mengedepankan ”silent evidence” (barangbukti).20
19
Supriyadi Widodo Eddyono, Makalah, UU Perlindungan Saksi, Belum Progresif (Catatan Kritis TerhadapUndang-undang No 13 TAHUN 2006), (Jakarta :Koalisi
Perlindungan Saksi & Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2006) hlm.3.
20
Salah satu alat bukti yang dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah keterangan saksi. Keterangansaksi sebagai alat bukti ialah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan, dimanaketerangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalahterhadap perbuatan yang didakwakan padanya (Unnus Testis Nullus) dan saksiharus memberikan keterangan mengenai apa yang ia lihat, dengar, ia alami sendiritidak boleh mendengar dari orang lain (Testimonium De Auditu). Pasal 185ayat 1-7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan :
a. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
b. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwaterdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
d. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabilaketerangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
e. Baik pendapat maupun rekàan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja,
bukan merupakan keterangan saksi.
f. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lai
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keteranganyang tertentu
d. cara hidup dan kesusilaán saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnyadapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
g. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain tidak merupakan alat bukti namun apabila keterangan itu sesuai denganketerangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahanalat bukti sah yang lain.
Syarat untuk dapat menjadi saksi adalah : 1. Syarat objektif saksi
a. Dewasa telah berumur 15 tahun/sudah kawin.
b. berakal sehat
c. Tidak ada hubungan keluarga baik hubungan pertalian darah /
perkawinandengan terdakwa 2. Syarat subjektif saksi
Mengetahui secara langsung terjadinya tindak pidana dengan melihat, mendengar, merasakan sendiri.
1. Syarat formil
Saksi harus disumpah menurut agamanya.21
21
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, kekecualian menjadi saksitercantum dalam Pasal 186 KUHAP yaitu :
1. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
2. saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibuatau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karenaperkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.
3. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-samasebagai terdakwa.
Hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat ataujabatannya diwajibkan manyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan darikewajiban member keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menetukan sah atau tidaknya alas an yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.
Orang yang harus menyimpan rahasia jabatan misalnya dokter yang harusmerahasiakan penyakit yang diderita oleh pasiennya.yang dimaksud karena martabatnya dapat mengundurkan diri misalnya adalah pastor
agamaKatolik Roma. Ini berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut.Pasal 170 KUHAP yang mengatur tentang hal tersebut diatas mengatakan “dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi….” berarti jika orang-orang itu bersedia menjadi saksi , dapat diperiksa oleh hakim. Berdasarkan hal itulah kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan kekecualian relatif.
Pasal 171 KUHAP yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpahialah :
a. anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin
b. orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang
ingatannya baik kembali
Penjelasan Pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belastahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopath, mereka ini tidak dapat ditanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana makamereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dapat dipakai sebagai petunjuk saja.
Kekuatan alat bukti saksi atau juga dapat disebut sebagai efektivitas alat buktiterhadap suatu kasus sangat bergantung dari beberapa faktor.Salah satu fungsihukum, baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak suatu perilaku manusia,sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi
terhadap hukumsecara ilmiah.Kekuatan pembuktian keterangan saksi tergantung pada dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Berdasarkan Pasal 185 ayat (6) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dikatakan dalam menilai keterangan saksi, hakim harus
Sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain.
2. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.
3. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi dalam memberikan
keterangan tertentu.
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat memepengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya. Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak memberikankesaksian dipersidangan. Pelapor dapat juga sebagai korban dari tindak pidana itusendiri, seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 point 1 ”Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidanayang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.” dan poit 4 “Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi.”
Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yangmemadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Berdasarkan jaminan perlindungan hukum dan keamanantersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidaklagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepadapenegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
c. Kepolisian Republik Indonesia
Tumbuh dan berkembangnya Polri tidak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia sejak Proklamasi, sejak itu Polri telah dihadapkan pada tugas-tugas unik dan kompleks. Selain menata keamanan dan ketertiban masyarakat di masa perang, Polri juga terlibat dalam pertempuran melawan penjajahan dari berbagai operasi militer bersama-sama kesatuan bersenjata yang lain. Keadaan seperti ini dilakukan oleh Polri karena lahir sebagai satu-satunya kesatuan bersenjata yang relative lebih lengkap pada saat ini.
Sebelum terjadinya gerakan reformasi, kelembagaan kepolisian masih berada satu atap dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), akan tetapi mulai tanggal 18 agustus 2002, polisi secara kelembagaan terpisah dari TNI setelah sidang tahunan MPR melalui Tap MPR No.VI/MPR/2000 dan Tap MPR No.VII/MPR/2000, kedudukan polisi saat ini langsung dibawah Presiden.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan sebagai berikut:
1) Pasal 1 ayat (1); Kepolisian Negara adalah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara keamanan di dalam negeri.
2) Pasal 3; Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata
Pengertian keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat.22
a) Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
Adapun tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 adalah sebagai berikut:
b) Mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-penyakit
masyarakat ;
c) Mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran menurut
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara;
d) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan
masyarakat dan Negara;
e) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh
suatu peraturan Negara;
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok kepolisian adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. Menegakkan hukum;
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat;
Melaksankan tugas pokoknya tersebut diatas, maka Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepolisian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Melaksanakan tugas
22
H. Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Cetakan I, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 113.
Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian RI jo Pasal 5 ayat (1) huruf (a) butir (4), yaitu tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat:
a. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilaksanakan.
c. Harus patut, masuk akal, dan termaksud dalam lingkungan
jabatannya.
d. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.
e. Menghormati hak asasi manusia
Kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri (diskresi kepolisian) (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian RI jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia).
Berdasarkan uraian diatas, tampak bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia telah menuju pada pembaharuan dari masa Orde Baru baik pada organisasi kepolisian, namun hal ini masih belum mencapai tingkat polisi ideal yang diharapkan masyarakat.
Adapun kreteria polisi ideal menurut RE. Baringbing adalah sebagai berikut:
1) Mengetahui batas-batas wewenangnya;
2) Memahami dan terampil dalam melaksanakan hukum;
3) Tidak mengharapkan imbalan uang dalam tugasnya;
Perkembangan paling akhir dalam kepolisian yang semakin modern dan global, Polri bukan hanya menguasai keamanan dan ketertiban di dalam negeri, akan tetapi terlihat dalam masalah-masalah keamanan dan ketertiban regional maupun antar bangsa, sebagaimana ditempuh oleh kebijakan PBB yang telah meminta pasukan-pasukan polisi, termaksud Indonesia untuk ikut dalam berbagai operansi kepolisian.