BAB III PENYELESAIAN SENGKETA HAK LANGGEH
A. Pengaturan Tentang Hak Langgeh (Syuf’ah) Di Aceh
Masyarakat Aceh telah dikenal sebagai masyarakat yang religius sejak jaman penjajahan, mereka menjunjung tinggi dan menempatkan ulama pada tempat yang terhormat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, setelah melalui proses yang panjang tahun 1999 telah disahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, yang pada intinya undang-undang tersebut mengatur tentang urusan yang menjadi keistimewaannya melalui kebijakan daerah, sehingga kebijakan daerah lebih akomodatif terhadap kepentingan pusat.97
Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh tidak hanya menyangkut dimensi tauhid saja, tapi juga dimensi sosial lainnya. Dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 telah merincinya dalam dimensi ‘aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan, dakwah Islamiyah, bait al-mal, kemasyarakatan, syi’ar Islam, Pembelaan Islam, qadha, jinayah, munakahat dan mawaris.98 Dalam pelaksanaan bidang mu’amalah, Pemerintah daerah mengatur, menertibkan dan mengawasi pelaksanaan segala sesuatu yang berkaitan dengan mu’amalah didalam kehidupan masyarakat menurut ketentuan syari’at Islam.99
97Fuadi, Syari’at Islam Dalam Bingkai Otonomi Khusus di Aceh, (Medan: USU Press, 2011), hal. 87 98Ibid. hal 88.
99
Pasal 10 Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam.
Dari uraian di atas dapat dianalisis bahwa wadah untuk proses pelaksanaan hak langgeh (syuf’ah) telah di atur melalui adanya lembaga adat yang berlaku di Aceh, juga hak langgeh (syuf’ah) merupakan hukum Islam (syari’at) yang harus di jalankan di Aceh yang hingga kini telah melaksanakan dan akan melaksanakan secara kaffah syari’at Islamnya. Karena hak langgeh (syuf’ah) merupakan bahagian mu’amalah dan hak langgeh (syuf’ah) sebagai hukum adat yang bersumber dari hukum Islam yang berdasarkan syari’at.
Di Propinsi Aceh yang merupakan “propinsi lex specialis” apabila timbul permasalahan baik yang menyangkut dengan masalah sosial maupun hukum dalam kehidupan masyarakat Aceh tidak selamanya diselesaikan sampai ke pengadilan/mahkamah, umumnya diselesaikan ditingkat gampong secara adat, sampai ketingkat mukim apabila hal ini tidak berhasil baru dilanjutkan ketingkat peradilan formal. Hal ini sudah menjadi tradisi yang terus dipertahankan oleh masyarakat Aceh sampai sekarang.100
Ajaran Islam dan Adat merupakan landasan berpijak dari kehidupan masyarakat Aceh (lebih dikenal dengan ureung Aceh). Eksistensi adat dan syara’ ditengah kehidupan masyarakat Aceh menumbuhkan harkat martabat dan jati diri ureung Aceh. Hal ini membuktikan bahwa antara ajaran Islam dan adat Aceh tetap sejalan dan tidak akan pernah terjadi perbenturan satu sama lain. Bisa dikatakan, ajaran Islam memperkuat ajaran-ajaran adat ditengah-tengah masyarakat.101
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, juga membicarakan adat yang bukan katagori hukum. Peradilan Gampong dan Mukim dibentuk bukan atas dasar undang- 100 Fuadi, Syari’at Islam Dalam Bingkai Otonomi Khusus di Aceh, (Medan: USU Press,
2011), hal. 91
undang tersebut, akan tetapi atas dasar Pasal 101 huruf e Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merubah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyerahkan kepada pemerintah daerah untuk mengatur hal tersebut. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada kepala desa/geuchik untuk menyelesaikan perkara secara damai. Peradilan Gampong dan mukim di Aceh juga oleh Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2000 dan Qanun Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Gampong, memberi kewenangan menyelesaikan perselisihan di gampongnya dengan putusan damai dan bukan putusan hukum.102
Pengaturan tentang hak langgeh (syuf’ah) sebagai hukum adat tentu hampir keseluruhannya mengadopsi dari hukum Islam dan hanya sedikit yang diubah untuk dapat disesuaikan dengan kehidupan masyarakat Aceh. Aturan tentang hak langgeh bersumber dari ajaran Islam yang berasal dari Al-qur’an dan Hadis, aturan tersebut berlangsung sejak zaman nenek moyang dan tidak dapat diketahui kapan pastinya pertama penerapanhak langgeh (syuf’ah)tersebut. Peraturan tersebut terus dan terus dipatuhi hingga sekarang dan telah berakar, tumbuh dan berkembang dalam adat masyarakat Aceh.103
Hal tersebut dikarenakan hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang sampai ke anak cucu
102Ibid.hal. 91
103 Wawancara dengan Budiman, S.Sos.i (Tuha Peut) Gampong Paya Bujok Beuramo,
sekarang keberadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat bersangkutan.104
Dari uraian di atas dapat diketahuiHak langgeh (syuf’ah) yang di terapkan di Aceh hampir keseluruhan menganut dengan hukum Islam yaitusyuf’ahyang di sabda kan Rasulullah SAW melalui hadits-hadits yang telah diriwayatkan nya. Hanya perlu adanya sedikit perubahan-perubahan untuk dapat cocok diterapkan pada masyarakat Aceh.
Pada prakteknya objek syuf’ah adalah tanah yang belum dibagi-bagi, diikuti pula dengan apa yang ada di dalamnya berupa pepohonan dan bangunan. Jika tanahnya sudah dibagi-bagi, tetapi masih ada perlengkapan yang diserikati antara beberapa tetangga, seperti jalan, air, dan sebagainya, maka menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama bahwa syuf’ah tetap berlaku. Hal ini berdasarkan mafhum sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah.” Sehingga jika jalan belum diatur, makasyuf’ahmasih berlaku.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah: “Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menetapkansyuf’ah pada harta yang belum dibagi-bagi, ketika batasannya telah ditentukan dan jalan telah diatur, maka tidak ada lagi syuf’ah”.105
104 Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju,
2003), hal. 33
105 http://ekonomrabbani29.blogspot.com/2013/04/fiqh-muamalah-syufah.html, di akses pada
Syaikh Taqiyyuddin berkata:
“Syuf’ahtetangga tetap berlaku ketika terjadi persekutuan dalam sebuah hak di antara hak-hak kepemilikan, seperti jalan, air, dan sebagainya. Hal ini disebutkan oleh Ahmad, dan dipilih oleh Ibnu ‘Aqil, Abu Muhammad dan lain- lain. Al Haritsi berkata, “Inilah yang harus dipegang dan di dalamnya terdapat sikap menggabung hadits-hadits yang ada. Hal itu, karena tetangga tidaklah menghendaki adanya syuf’ah kecuali jika jalannya satu dan semisalnya. Di samping itu, syariatsyuf’ah adalah untuk menolak mudharat, dan mudharat itu biasanya terjadi ketika ada percampuran pada sesuatu yang dimiliki, atau dalam hal jalan dan semisalnya.”106
Hak langgeh (syuf’ah) yang diterapkan di Aceh yang sebagian besar masyarakatnya beragama Islam dibedakan dengan dua golongan pemahaman, ada sebagian ulama berpendapat bahwa hak langgeh (syuf’ah) dapat diterapkan kepada non muslim sebagaimanasyuf’ahberlaku bagi setiap muslim, maka berlaku juga bagi kafir dzimmiy menurut jumhur fuqaha’. Namun menurut Imam Ahmad, Al Hasan dan Asy Sya’biy, bahwasyuf’ah tidak berlaku bagi dzimmiy berdasarkan hadits riwayat Daruquthni dari Anas secara marfu’: “Tidak ada syuf’ah bagi orang nasrani.” (Al Haitsamiy dalam Al Majma’ berkata, “Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Ash Shaghiir, dan dalam sanadnya terdapat Na’il bin Najih, ia ditsiqahkan oleh Abu Hatim dan didha’ifan oleh yang lain.” Di antara yang mendha’ifkannya adalah Al Hafizh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi).107
Pada penerapannya di Acehhak langgeh (syuf’ah) berpedoman kepada Imam Ahmad, Al Hasan dan Asy Sya’biy yang tidak memberlakukanhak langgeh (syuf’ah) kepada masyarakat non muslim. Karena masyarakat non muslim sendiri dianggap
106Ibid. 107Ibid.
tidak cakap untuk mempertanggung jawabkan azas tersebut (tidak mengerti tentang hak langgeh (syuf’ah)dan syari’at).108