• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Yuridis Hak Langgeh (Syuf’ah) Dalam Adat Masyarakat Aceh Di Kota Langsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kajian Yuridis Hak Langgeh (Syuf’ah) Dalam Adat Masyarakat Aceh Di Kota Langsa"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

AULIA RAHMAN

127011108/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AULIA RAHMAN

127011108/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Nomor Pokok : 127011108 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.H.M.Hasballah Thaib,MA,PhD) (Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 3. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

(5)

Nama : AULIA RAHMAN

Nim : 127011108

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : KAJIAN YURIDIS HAK LANGGEH (SYUF’AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri

bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena

kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi

Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas

perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan

sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

i

(syuf’ah) merupakan persyaratan yang harus di laksanakan sebelum seseorang/badan hukum melaksanakan proses transaksi jual beli tanah selain persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal tersebut dikarenakanhak langgeh (syuf’ah)tersebut telah hidup dan berkembang didalam hukum adat masyarakat Aceh. Namun pada prakteknya banyak masyarakat di Kota Langsa tidak memperdulikan adanya norma tentang hak langgeh (syuf’ah) tersebut sehingga seringnya terjadi sengketa dalam hal jual beli tanah dan menimbulkan kerugian bagi penjual, pembeli maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah sekalipun.

Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni Bagaimana keberadaan

hak langgeh (syuf’ah) dalam masyarakat Aceh di Kota Langsa, Bagaimana

menyelesaikan sengketa hak langgeh (syuf’ah) masyarakat Aceh di Kota Langsa, dan Bagaimana efektivitas penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) dengan cara adat pada masyarakat Aceh di Kota Langsa.

Untuk menemukan Jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini bersifatdeskriptif analitis,penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum tentang kajian yuridishak langgeh (syuf’ah)dalam adat masyarakat Aceh di Kota Langsa dengan jenis penelitianjuridis empiris.Analisis data kualitatif, data yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan pandangan dari responden maupun narasumber.

Kesimpulan dari penelitian ini Keberadaan hak langgeh (syuf’ah) dalam adat masyarakat Aceh di Kota Langsa tetap masih ada dalam masyarakatnya terbukti apabila masyarakat akan menjual tanahnya selalu terlebih dahulu menawarkan tanah tersebut pada tiga pihak yaitu pihak pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya, anggota sekerabat dan warga desa setempat. Jika dari ketiga unsur tersebut tidak ada yang membeli baru menjualnya kepada siapa saja, Meskipun norma hak langgeh (syuf’ah)dirasa hampir menghilang di tengah-tengah masyarakat Kota Langsa. Tata cara proses penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) pada masyarakat Aceh di Kota Langsa pada tingkat awal di selesaikan pada peradilan adat gampong yang selalu diselesaikan dengan putusan damai, jika proses penyelesaian sengketa pada peradilan adat gampong tidak mempunyai jalan keluar maka kasus tersebut dilimpahkan pada Mahkamah Syar’iah Kota Langsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketahak langgeh (syuf’ah)secara adat masih efektif di masyarakat Kota Langsa, hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya kasus yang masuk atau diselesaikan di Mahkamah Syar’iah Kota Langsa dan kegiatan aparatur desa yang masih banyak mengurus masalah sengketahak langgeh (syuf’ah)tersebut.

(7)

ii

about muamalah (social life), especially about hak langgeh (syuf’ah). It is a requirement which has to be fulfilled before a person/legal entity performs a transaction of buy and sell land besides the rewgulation stipulated in the Government Regulation No. 24/1997 on Land registration. It is because hak langgeh (syuf’ah) has existed and developed in Aceh adat law. In practice, however, many people in Langsa ignore the norm of hak langgeh (syuf’ah); in consequence, there are many disputes in the case of buy and sell land which causes the loss for the seller, the buyer, and PPAT (official empowered to draw up deeds).

The problems of the research were as follows: how about the existence of hak langgeh (syuf’ah) in Aceh community in Langsa, how about the settlement of dispute in hak langgeh (syuf’ah in Aceh community in Langsa, and how effective the settlement of the dispute in hak langgeh (syuf’ah) by adat law in Aceh community in Langsa.

The research was descriptive analytic which was aimed to describe, explain, and analyze law on judicial analysis of hak langgeh (syuf’ah)( in Aceh community in Langsa; the type of the research was judicial empirical.The data were analyzed qualitatively, based on legal provisions and opinions of the respondents as the source persons.

The conclusion of the research is that hak langgeh (syuf’ah) in the Aceh community in Langsa still exists since many people who want to sell their land, contact first three parties: their close neighbors, their relatives, and the people who live in the same village. If these three components do not want to buy the land, they will sell it to any one who wants to buy it. Even though the norm of hak langgeh (syuf’ah) begins to fade in the Aceh community in Langsa, the procedure of the process of the settlement for disputes in hak langgeh (syuf’ah) in Aceh community in Langsa is done first in adat gampong judicial administration with reconciliation. If the settlement cannot be solved, the case is then brought to Mahkamah Syar’ia (Sharia Court) in Langsa. The result of the research shows that the settlement for dispute in hak langgeh (syuf’ah) in Langsa is still effective since there is no case on land dispute which is settled in the Sharia Court, Langsa, and the activities of village officials that handle the case of hak langgeh (syuf’ah).

(8)

hanya dengan berkat rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis ini dengan judul “KAJIAN YURIDIS HAK LANGGEH (SYUF’AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA.” Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh

gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan

bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis

ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapkan terima

kasih yang mendalam Penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat

dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Dengan selesainya penulisan tesis ini penulis menyampaikan ucapan terima

kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan Fasilitas yang diberikan kepada

Penulis dalam meyelesaikan pendidikan ini.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan

(9)

ini.

5. Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, selaku penguji yang telah memberikan masukan dan kritik yang membangun kepada Penulis untuk

menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, yang telah memberikan masukan dan kritik yang membangun kepada Penulis untuk menyelesaikan

penulisan tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang

sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di

bangku kuliah.

8. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama

menjalani pendidikan.

9. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya kelas Reguler Khusus

angkatan 2012 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam

meyelesaikan penulisan tesis ini.

10. Pada Abu dan Ummi tercinta, yaitu Ir. Zahlul Pasha A. Majid dan Suci Handayani, penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan

membesarkan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

12. Kedua adik dari penulis yaituZahrina Pasha, SHdanMuhammad Albar, yang sedikit banyak telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi pada Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu

dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari yang

diharapkan, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat

bermanfaat bagi pembaca khususnya kepada penulis. Amiin.

Medan, Agustus 2014

Penulis,

(11)

1. Nama : Aulia Rahman

2. Tempat, Tanggal Lahir : Amlapura (Bali), 1 Februari 1988 3. Jenis Kelamin : Laki-laki

4. Agama : Islam

5. Alamat : Jl. TM. Bahrum No. 20 Keluarahan

Gampong Jawa, Kecamatan Langsa Kota, Kota

Langsa, Provinsi Aceh

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Ir. Zahlul Pasha A. Majid

2. Nama Ibu : Suci Handayani

3. Nama Istri : Liviana Ariessa, ST

4. Nama Anak : Muhammad Al Fatih

5. Nama Saudara : Zahrina Pasha, SH & Muhammad Albar

III. PENDIDIKAN

1. SD : SD Negeri 1 Cunda, Lhokseumawe

Tahun 1994-1996 SD Negeri 1 Langsa Tahun 1996-2000

2. SMP : SMP Negeri 1 Langsa

Tahun 2000-2003

3. SMA : SMA Negeri 1 Langsa

Tahun 2003-2006 4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Samudra

Tahun 2006-2011

(12)

vii

ABSTRACT. ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

1. Manfaat Teoritis ... 14

2. Manfaat Praktis ... ... 14

E. Keaslian Penelitian ... ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi ... ... 21

G. Metode Penelitian ... ... 23

1. Spesifikasi Penelitian ... ... 23

a. Sifat Penelitian ... ... 24

b. Metode Pendekatan ... ... 24

2. Lokasi Penelitian ... ... 25

3. Populasi dan Sampel Penelitian ... ... 25

4. Teknik Pengumpulan Data ... ... 26

(13)

viii

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Langgeh ... 30

B. Fungsi Hak Langgeh ... 48

C. Keberadaan Hak Langgeh Dalam Masyarakat Aceh Di Kota Langsa ... 61

BAB III PENYELESAIAN SENGKETA HAK LANGGEH (SYUF’AH) MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA ... 69

A. Pengaturan Tentang Hak Langgeh (Syuf’ah) Di Aceh ... 69

B. Penyelesaian Sengketa Secara Adat ... 74

C. Penyelesaian Sengketa Melalui Mahkamah Syar’iah ... 80

BAB IV KEEFEKTIFAN PENYELESAIAN SENGKETA HAK LANGGEH (SYUF’AH) SECARA ADAT PADA MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA ... 89

A. Sebab-Sebab Masyarakat Memilih Menyelesaikan Sengketa Hak Langgeh (Syuf’ah) Pada Peradilan Adat ... 89

B. Sengketa Yang Berkaitan Dengan Hak Langgeh (Syuf’ah) 98 C. Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hak Langgeh (Syuf’ah) secara adat di Kota Langsa ... 106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 110

(14)

menyangkut masalah keluarga dan peradilan Islam seperti hukum perkawinan, kewarisan, wasiat dan Peradilan Agama.

Akad : Kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua

pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

Dinas Syariat Islam : Lembaga struktural Pemerintah Daerah Aceh yang menangani bidang Syariat Islam.

Dorpsjustitie : Peradilan Desa.

Fatwa : Nasehat, petuah, jawaban atau pendapat, adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasehat resmi yag diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnyayang disampaikan oleh seorang ulama.

Fukaha : Ahli Hukum Fikih.

Geuchik : Kepala Desa.

Hikayat : Salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang

kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya

mengisahkan tentang kehebatan maupun

kepahlawanan seseorang lengkap dengan

keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.

Hudud : Hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah

SWT dalam Al Qur’an dan Hadits.

Ijab : Pernyataan melakukan ikatan.

Ijtihad : Sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang

sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan ysng matang.

Imeum Mukim : Pemimpin / Kepala sebuah mukim.

Ius non scriptum : Hukum yang tidak tertulis.

Ius scriptum : Hukum yang tertulis.

Jinayah : Hukum Pidana Islam.

Lex specialis : Hukum yang bersifat khusus.

Mafhum : Pemahaman / memahami.

(15)

provinsi-observasi dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat. Di beberapa tempat,

Meunasah menjadi pusat sosio-budaya

pembangunan desa.

Mu'amalah : Hukum Islam yang mengatur tentang hubungan antara seseorang dengan orang lain (Hukum Perdata Islam).

Mudharat : Sesuatu hal yang tidak memberikat manfaat dan cenderung menyebabkan keburukan.

Mukim : Wilayah yang mengkoordinir beberapa desa (6 sampai 10 desa) dalam suatu kawasan yang

dipimpin oleh pemimpin mukim dan

bertanggung jawab kepada camat.

Narit / Hadih Maja : Tutur perkataan orang-orang bijak yang dapat dijadikan nasehat, petunjuk, ajaran dan larangan yang umumnya berkaitan dengan agama Islam, adat-istiadat, pendidikan dan kehidupan masyarakat.

Po Teu Meureuhôm : Gelar untuk Raja Aceh.

Privilese : Hak yang diistimewakan.

Qabul : Pernyataan menerima ikatan.

Qanun : Peraturan perundang-undangan khusus untuk

Aceh atau sejenis peraturan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten lain yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

Qishas-diat : Ganti kerugian yang setimpal terhadap hukuman dalam hukum pidana dalam syariat Allah SWT.

Rechtspraak : Peradilan.

Reusam : Aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan atau

petunjuk-petunjuk adat istiadat yang ditetapkan oleh kepala desa setelah mendapat persetujuan tuha peut desa.

Syafi’ : Orang yang akan mengambil atau menerima

Syuf’ah(Makelar).

Takzir : Salah satu hukum daripada hukum-hukum

Allah. Takzir adalah satu undang-undang yang

Allah SWT berikan keistimewaan kepada

(16)

kepala desa atau pemimpin mukim, juga bertanggung jawab membantu kepala desa atau pemimpin mukim dalam menyelesaikan segala sengketa.

Ulee Jurong : Pemimpin di tingkat lorong.

(17)

PP : Peraturan Pemerintah

Q.S. : Qur’an Surah

A.B. : Algemene Bepalingen van Wetgeving

R.R. : Regerings Reglement

I.S. : Indische Staatsregeling

UUPA : Undang Undang Pemerintahan Aceh

UNDP : United Nations Development Programme

H.R. : Hadits Riwayat

MAA : Majelis Adat Aceh

MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama

(18)

i

(syuf’ah) merupakan persyaratan yang harus di laksanakan sebelum seseorang/badan hukum melaksanakan proses transaksi jual beli tanah selain persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal tersebut dikarenakanhak langgeh (syuf’ah)tersebut telah hidup dan berkembang didalam hukum adat masyarakat Aceh. Namun pada prakteknya banyak masyarakat di Kota Langsa tidak memperdulikan adanya norma tentang hak langgeh (syuf’ah) tersebut sehingga seringnya terjadi sengketa dalam hal jual beli tanah dan menimbulkan kerugian bagi penjual, pembeli maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah sekalipun.

Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni Bagaimana keberadaan

hak langgeh (syuf’ah) dalam masyarakat Aceh di Kota Langsa, Bagaimana

menyelesaikan sengketa hak langgeh (syuf’ah) masyarakat Aceh di Kota Langsa, dan Bagaimana efektivitas penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) dengan cara adat pada masyarakat Aceh di Kota Langsa.

Untuk menemukan Jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini bersifatdeskriptif analitis,penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum tentang kajian yuridishak langgeh (syuf’ah)dalam adat masyarakat Aceh di Kota Langsa dengan jenis penelitianjuridis empiris.Analisis data kualitatif, data yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan pandangan dari responden maupun narasumber.

Kesimpulan dari penelitian ini Keberadaan hak langgeh (syuf’ah) dalam adat masyarakat Aceh di Kota Langsa tetap masih ada dalam masyarakatnya terbukti apabila masyarakat akan menjual tanahnya selalu terlebih dahulu menawarkan tanah tersebut pada tiga pihak yaitu pihak pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya, anggota sekerabat dan warga desa setempat. Jika dari ketiga unsur tersebut tidak ada yang membeli baru menjualnya kepada siapa saja, Meskipun norma hak langgeh (syuf’ah)dirasa hampir menghilang di tengah-tengah masyarakat Kota Langsa. Tata cara proses penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) pada masyarakat Aceh di Kota Langsa pada tingkat awal di selesaikan pada peradilan adat gampong yang selalu diselesaikan dengan putusan damai, jika proses penyelesaian sengketa pada peradilan adat gampong tidak mempunyai jalan keluar maka kasus tersebut dilimpahkan pada Mahkamah Syar’iah Kota Langsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketahak langgeh (syuf’ah)secara adat masih efektif di masyarakat Kota Langsa, hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya kasus yang masuk atau diselesaikan di Mahkamah Syar’iah Kota Langsa dan kegiatan aparatur desa yang masih banyak mengurus masalah sengketahak langgeh (syuf’ah)tersebut.

(19)

ii

about muamalah (social life), especially about hak langgeh (syuf’ah). It is a requirement which has to be fulfilled before a person/legal entity performs a transaction of buy and sell land besides the rewgulation stipulated in the Government Regulation No. 24/1997 on Land registration. It is because hak langgeh (syuf’ah) has existed and developed in Aceh adat law. In practice, however, many people in Langsa ignore the norm of hak langgeh (syuf’ah); in consequence, there are many disputes in the case of buy and sell land which causes the loss for the seller, the buyer, and PPAT (official empowered to draw up deeds).

The problems of the research were as follows: how about the existence of hak langgeh (syuf’ah) in Aceh community in Langsa, how about the settlement of dispute in hak langgeh (syuf’ah in Aceh community in Langsa, and how effective the settlement of the dispute in hak langgeh (syuf’ah) by adat law in Aceh community in Langsa.

The research was descriptive analytic which was aimed to describe, explain, and analyze law on judicial analysis of hak langgeh (syuf’ah)( in Aceh community in Langsa; the type of the research was judicial empirical.The data were analyzed qualitatively, based on legal provisions and opinions of the respondents as the source persons.

The conclusion of the research is that hak langgeh (syuf’ah) in the Aceh community in Langsa still exists since many people who want to sell their land, contact first three parties: their close neighbors, their relatives, and the people who live in the same village. If these three components do not want to buy the land, they will sell it to any one who wants to buy it. Even though the norm of hak langgeh (syuf’ah) begins to fade in the Aceh community in Langsa, the procedure of the process of the settlement for disputes in hak langgeh (syuf’ah) in Aceh community in Langsa is done first in adat gampong judicial administration with reconciliation. If the settlement cannot be solved, the case is then brought to Mahkamah Syar’ia (Sharia Court) in Langsa. The result of the research shows that the settlement for dispute in hak langgeh (syuf’ah) in Langsa is still effective since there is no case on land dispute which is settled in the Sharia Court, Langsa, and the activities of village officials that handle the case of hak langgeh (syuf’ah).

(20)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Dalam hubungan antar manusia pada setiap masyarakat, di mana pun dan

kapan pun, selalu ada peraturan. Ada naluri dalam setiap pemikiran anggota

masyarakat untuk menata hubungan antara sesama agar tidak terjadi kekacauan, ada

perlindungan terhadap kepentingannya, ada jaminan masa depan terhadap harapannya

untuk hidup. Pemikiran-pemikiran dan harapan-harapan tentang itu semua diikrarkan

menjadi pedoman perilaku bersama. Karena itu, setiap peraturan betapapun

bentuknya merupakan manifestasi dari suara hati masyarakat, suara hati kolektif.1

Kehidupan di zaman modern dan global sekarang telah jauh berbeda dengan

kehidupan di zaman Rasulullah SAW. Perubahan sosial dalam berbagai aspek selalu

melahirkan tuntutan agar perangkat hukum yang menata masyarakat haruslah ikut

berkembang bersamanya.2 Di Indonesia kita mengenal adanya hukum tertulis dan

hukum yang tidak tertulis, boleh dikatakan sebenarnya hukum yang tidak tertulis

lebih banyak dan lebih kompleks aturan-aturan didalamnya yang mengatur tentang

masyarakat dibandingkan dengan hukum yang telah terkodifikasi. Hukum tidak

tertulis tersebut termasuk pula hukum adat yang sebagian besar peraturan-peraturan

dikalangan masyarakat hukum adatnya tidak terkodifikasi. Karena sifatnya yang tidak

1Nico Ngani,Perkembangan Hukum Adat Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia,

2012), hal. 1

2M.Hasballah Thaib,Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam,Konsentrasi Hukum

(21)

terkodifikasi itu, maka hukum adat bersifat dinamis, artinya mudah berubah-ubah

menurut waktu (tijd), tempat (ruimte), dan keadaan (omstandigheid).3

Pada umumnya hukum adat bercorak tradisional, artinya bersifat turun

temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang ini yang

keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat yang

bersangkutan.4 Istilah hukum adat yang mengandung arti aturan kebiasaan ini sudah

lama dikenal di Indonesia seperti di Aceh Darussalam pada masa pemerintahan

Sultan Iskandar Muda (1607-1636) istilah hukum adat ini telah dipergunakan, ini

ditemukan dalam kitab hukum yang diberi nama“Makuta Alam”kemudian di dalam

kitab hukum“Safinatul Hukkam Fi Takhlisil Khassam” yang ditulis oleh Jalalauddin

bin Syeh Muhammad Kamaludin anak Kadhi Baginda Khatib Negeri Trussan atas

perintah Sultan Alaidin Johan Syah (1781-1895). Di dalam mukadimah kitab hukum

acara tersebut dikatakan bahwa dalam memeriksa perkara seorang Hakim haruslah

memperhatikan Hukum Syara, Hukum Adat, serta Adat dan Resam.5

Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih

menjunjung tinggi hukum adat dan kebudayaannya, hal ini tersirat dalam adagium

Adat bak Poe Teu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang,

Reusam bak Lakseumana. Hadih maja tersebut menyebutkan bahwa persoalan

adat-istiadat, sistem pemerintahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para raja dan

3Ibid, hal. 2

4Dewi Wulansari,Hukum Adat Indonesia – Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Refika Aditama,

2012), hal. 15

5H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia(Bandung: Mandar Maju

(22)

diserahkan sepenuhnya pada raja, Po Teu Meureuhôm. Namun, Persoalan hukum

diatur oleh ulama Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau para raja (masa

lalu ataupun saat ini) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, menghidupkan

kembali, dan takut sekali melanggar hukum adat. Sikap ini merupakan

pengejawantahan pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat idealnya

dipertahankan, tidak diubah, sesuai dengan maksud hadih maja,“Boh malairi ie

paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt”yang berarti buah malairi air pasang

surut, adat nenek moyang hendaklah diikuti.

Masyarakat Aceh sangat kental dengan Islam, dengan berlatar belakang

sejarah sehingga kini disebut serambi Mekah, Aceh yang merupakan sebagian besar

penduduknya beragama Islam banyak menggunakan hukum Islam untuk diadopsi

sebagai hukum adatnya. Dasar hukum Syariat Islam di Aceh tertuang dalam

Peraturan Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat

Islam, yang merupakan cita-cita masyarakat Aceh untuk melaksanakan Syariat Islam

secara kaffah di Aceh.

Hubungan yang harmonis antara seluruh umat Islam adalah idaman setiap

muslim. Dengan hubungan yang harmonis, persatuan dan kesatuan umat dapat

dibangun. Guna mewujudkan hal ini, Islam mensyari’atkan berbagai hal agar

diindahkan oleh setiap muslim. Berbagai syari’at ini bila diterapkan dengan benar,

niscaya idaman ini menjadi kenyataan dan keretakan dapat dihindarkan.6

(23)

Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan,

menyingkirkan keburukan dan kemudharatan, Syariat Islam mempunyai aturan yang

lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud

yang mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai

dengan hikmah dan kebenaran.

Sebelum diperkenalkan istilah “Adat-Recht” yang kemudian diterjemahkan

menjadi “hukum adat” oleh Christian Snouck Hurgroje dan Cornelis van

Vollenhoven, berbagai istilah yang mencoba menjelaskan tentang hukum adat telah

dipergunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dapat ditemukan dalam

Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda di bawah ini:7

1. Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving/Ketentuan-ketentuan

Umum Perundang-undangan) Pasal 11 digunakan istilah “Godsdienstige

Wetten, Volks Instellingen En Gebruiken” (Peraturan-peraturan keagamaan,

Lembaga-lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).

2. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R.

1854, digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Instelingen en Gebruiken”

(Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga dan

kebiasaan-kebiasaan).

3. Dalam I.S. (Indische Staatsregeling = Peraturan Hukum Negara Belanda

semacam Undang-Undang Dasar bagi Pemerintah Hindia Belanda) Pasal

7Iman Sudiyat,Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty 1982), hal.

(24)

128 ayat (4) – sebelumnya, Pasal 71 ayat (2) sub b redaksi baru R.R 1854

yang mengganti Pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R 1854 dipergunakan istilah

“Instellingen des Volks” (Lembaga-lembaga dari rakyat).

4. Dalam I.S. Pasal 131 ayat (2), sub b digunakan istilah “Met Hunne

Godsdiensten en Gewoonten Samenhangen de Rechts Regelen”

(Aturan-aturan Hukum yang berhubungan dengan Agama-agama dan

Kebiasaan-kebiasaan mereka).

5. Dalam R.R. 1854 Pasal 78 ayat (2), digunakan istilah “Godsdienstige Wetten

en Oude Herkomsten” (Peraturan-peraturan Keagamaan dan

Kebiasaan-kebiasaan Lama/Kuno). Godsdienstige Wetten en Oude Herkomsten ini oleh

Ind. Stbl. 1929 nr jo nr 487 diganti dengan istilah “Adat-Rect”.

Dari beberapa litelatur di atas dapat dianalisis bahwa hukum Adat yang

berkembang di Indonesia khususnya di Aceh dengan mayoritas penduduknya yang

memeluk agama Islam banyak memasukkan hukum Islam ke dalam sumber hukum

adatnya. Hal ini sepadan dengan apa yang ditengahkan oleh Mr. L.W.C Van Den

Berg seorang sarjana hukum yang pernah menjabat pelbagai jabatan penting seperti

Penasehat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintahan kolonial

Belanda, sebagai Guru Besar di Delft, sebagai pensaehat Departemen Jajahan di

negeri Belanda, dengan “teori receptio in complexu”. Inti dari pada isi teori ini adalah

(25)

hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti

hukum-hukum agama itu dengan setia.8

Adat ngon hukom (agama), lagei zat ngon sifeut. Secara harfiah, peribahasa

Aceh ini mengungkapkan, adat dengan hukum seperti sesuatu zat yang tidak dapat

dipisahkan. Karenanya, keseluruhan hukum adat yang berlaku di Aceh bersumber

dari agama Islam. Aturan adat dan lembaga pelaksanaan aturan adat yang ada di Aceh

diatur dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat

dan Adat Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2009 Tentang Lembaga Adat.

Peraturan tersebut yang menjadi wadah sebagai tempat untuk menjalankan hukum

adat yang berlaku di Aceh.

Hukum adat di Aceh banyak mengatur tentang berbagai macam hal pola hidup

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu yang diatur dalam hukum adat

Aceh adalah tentang muamalah yang telah menjadi hukum positif dengan di

undangkannya Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam. Dalam

qanun tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah mempunyai kewenangan dan

kekuasaan mengadili salah satunya dalam hal muamalah. Seperti apa yang tertera

didalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam

yaitu “Mahkamah Syar'iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang9:

a. Ahwal al – syakhshiyah;

8Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: CV. Haji

Masagung 1988), hal. 29

(26)

b. Mu'amalah;

c. Jinayah

Pada penjelasan Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan

Syariat Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang

muamalah meliputi hukum kebendaan dan perikatan seperti: Jual beli, hutang

piutang, Qiradh (Permodalan), Musaqah, muzaraah, mukhabarah (bagi hasil

pertanian), Wakilah (kuasa), Syirkah (perkongsian), Ariyah (pinjam meminjam),

hajru (penyitaan harta), syuf’ah (Hak Langgeh), rahnun (Gadai), Ihyaul mawat

(pembukaan lahan), ma'din(tambang), luqathah (barang temuan), Perbankan,ijarah

(sewa menyewa),takaful, Perburuhan, Harta rampasan, Waqaf, hibah, shadaqah, dan

hadiah.

Salah satu yang dijelaskan dalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002

Tentang Peradilan Syariat Islam tersebut adalah hak langgeh (syuf’ah) yang masuk

dalam bahagian muamalah. Apa yang disebut denganhak langgeh (syuf’ah) tersebut

sangat erat kaitannya dengan transaksi tanah. Transaksi tanah adalah suatu

persetujuan jual beli (dalam perdagangan antara dua pihak yang dalam bidang hukum

adat sering berlaku berkaitan dengan tanah. Jadi transaksi tanah yaitu sejenis

perjanjian timbal balik yang bersifat nyata di lapangan hukum kekayaan sebagai salah

satu bentuk perbuatan tunai yang berobjek tanah.10

10 Badruzzaman Ismail, Asas-asas Hukum Adat Sebagai Pengantar, (Banda Aceh: Majelis

(27)

Hak langgeh (syuf’ah) merupakan persyaratan yang harus di laksanakan

sebelum seseorang/badan hukum melaksanakan proses transaksi jual beli tanah selain

persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Hal tersebut dikarenakan hak langgeh (syuf’ah) tersebut telah

hidup dan berkembang didalam hukum adat masyarakat Aceh. Namun pada

prakteknya banyak masyarakat di Kota Langsa tidak memperdulikan adanya norma

tentanghak langgeh (syuf’ah) tersebut sehingga seringnya terjadi sengketa dalam hal

jual beli tanah dan menimbulkan kerugian bagi penjual, pembeli maupun Pejabat

Pembuat Akta Tanah sekalipun.11

Dalam kehidupan manusia selaku makhluk sosial, keberadaan tanah tidak

akan terlepas dari segala perilaku manusia itu sendiri, sebab tanah dapat dijadikan

lahan bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan proses kehidupannya. Oleh

karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat bukan hanya

sebagai lahan untuk kehidupan tetapi lebih dari pada itu manfaatnya yaitu sebagai

tempat mempertahankan hidup dan melambangkan marwah (martabat) bagi

masyarakat Aceh, sehingga sering terjadi sengketa di antara sesama masyarakat,

terutama yang menyangkut tanah. Terlebih dalam kaitannya dengan muamalah

terutama dalam hal transaksi jual beli, untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang

mengatur hubungan antara satu pribadi dengan yang lainnya.12

11Wawancara dengan T. Khairul Azhar (Geuchik Gampong Blang, Kecamatan Langsa Kota)

pada tanggal 17 Januari 2014.

12Wawancara dengan Drs. H. Ibrahim Daud (Ketua Majelis Adat Aceh, Kota Langsa), pada

(28)

Sengketa tentang transaksi tanah yang berkaitan tentanghak langgeh (syuf’ah)

rawan menyebabkan terjadinya konflik antara pemilik tanah tetangga, keluarga dan

teman sekongsi, karena biasanya dari ketiga unsur pembeli tersebut mereka juga ingin

memiliki tanah yang akan dijual guna untuk menggabungkan tanah yang berbatasan

maupun dengan alasan lain. Maka untuk menyelesaikan kasus yang akan terjadi

masyarakat bisa memilih untuk beracara pada peradilan adat gampong, maupun

Mahkamah Syar’iah Kota Langsa.

Apabila berbicara tentang jual beli maka didalamnya juga pasti menyinggung

tentang apa yang disebut dengan akad. Akad yaitu perikatan, perjanjian dan

pemufakatan. Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan

menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek

perikatan.13

Berdasarkan uraian tersebut dapat di ketahui bahwa akad merupakan sesuatu

yang wajib dan harus dilaksanakan pada saat seseorang atau suatu badan hukum akan

melaksanakan transaksi jual beli tanah dan bangunan mereka, tetapi masyarakat di

Kota Langsa belum sepenuhnya melaksanakan hak langgeh (syuf’ah) sebelum

mereka melakukan transaksi jual beli tanah dan bangunannya tersebut padahal hak

langgeh (syuf’ah) ini bertujuan untuk mencegah kemudharatan diantara pihak yang

akan bertransaksi.

13 M. Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT.

(29)

Kehidupan masyarakat di Aceh sangat kaya akan adat dan kebudayaan yang

hingga kini masih dan terus dijunjung tinggi dalam interaksi hubungan kehidupan

masyarakatnya. Hal tersebut tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh, yang

menyebutkan tentang sumber atau unsur penghidupan, yaitu :ie, apui, angen, tanoh

(air, api, angin, tanah). Demikian, pentingnya tanah bagi kehidupan manusia maka

timbullah berbagai hak dan kewajiban atas tanah.

Hak Langgeh menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Maret 1977

nomor 298 K/Sip./1973 adalah hak dalam hukum adat yang memberikan prioritas /

hak didahulukan dari orang lain untuk membeli tanah, hak mana diberikan kepada

tiga unsur masyarakat yaitu sanak saudara, sesama anggota masyarakat dan pemilik

tanah tetangga. Dalam lingkungan hukum adat Aceh, apabila peralihan hak tidak

dilakukan menurut tata urutan penawaran berdasarkan hak terdahulu maka pihak

yang dirugikan dapat menggugat pembatalan keabsahan jual beli tersebut kepada

Peradilan Gampong dan Mukim dan atau Pengadilan. Hak menuntut keabsahan jual

beli karena melanggar hak terdahulu disebut “hak langgeh” (hak menyanggah).14

Hukum Islam juga mengenal apa yang di atur seperti hak langgeh tersebut, yaitu hak syuf’ah. Asy-Syuf’ah berasal dari kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu (menggabungkan), hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman jahiliyah, seseorang yang akan menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, partner (mitra usaha) dan sahabat untuk meminta Syuf’ah (penggabungan) dari apa yang dijual. Kemudian ia menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagaiSyafi’.15

14Ilyas Ismail, Konsepsi Hak Garap Atas Tanah, (Bandung: Citapustaka Media Perintis,

2011), hal. 107

(30)

Sedangkan menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh

Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada

pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.16 Berbeda

dengan para ulama menafsirkanal-syuf’ah adalah sebagai berikut :

1. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri17bahwa yang dimaksud dengan al-syuf’ah

ialah : “Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu

atassyarikyang baru disebabkan adanyasyirkahdengan penggantian (i’wadh)

yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.”

2. Menurut Sayyid sabiq, al-syuf’ah ialah pemilikan benda-benda syuf’ah oleh

syafi’isebagai pengganti dan pembeli dengan membayar harga barang kepada

pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.18

3. Menurut Idris ahmad,19Al-syuf’ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi

syarikat lama atas syarikat baru dengan jalan ganti kerugian pada benda yang

menjadi milik bersama.

Setelah diketahui ta’rif-ta’rif (definisi-definisi) yang dikemukakan oleh para

ulama beserta contohnya, kiranya dapat dipahami bahwa al-syuf’ah ialah pemilikan

oleh seorang syar’iq dan dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan

terhadap bendasyirkah.

16Ibid. hal. 45

17Syaikh Ibrahim al-Bajuri,al-Bajuri, (Usaha Keluarga: Semarang), hal.15 18Ibid. hal. 15

(31)

Dari doktrin para ulama-ulama tersebut dapat di analisis bahwa as-syuf’ah

adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain

supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan

(syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang

diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik

secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang

sudah dilakukan.20

Selaras dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ashab al-Sunnah dari Jabir ra

bahwa Nabi SAW bersabda, yang artrinya: “Tetangga adalah yang paling berhak

mendapatkanSyuf’ahmilik tetangganya, ia boleh menunggu tetangganya jika ia tidak

ada di tempat, apabila memang jalannya (di mana milik mereka berada) satu”.21

Menurut penelitian khususnya di daerah penelitian tesis ini, berdasarkan

sampel hampir seluruh masyarakat di Kota Langsa paham akan adanya norma tentang

hak langgeh (syuf’ah)tersebut, namun mereka kurang atau hampir tidak menerapkan

hak langgeh (syuf’ah) tersebut karena menurut mereka hak langgeh (syuf’ah)

merupakan sekedar sesuatu hal yang tidak mempunyai kekuatan hukum padahalhak

langgeh (syuf’ah)diatur dan telah menjadi kebiasaan dalam hukum adat Aceh, yang

aturannya menganut seperti azas yang terdapat dalam hukum adat pada umumnya.

Aturan tersebut tidak tertulis dan di wariskan secara turun temurun dari nenek

moyang hingga sekarang. Penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) juga telah

diatur dan merupakan wewenang mengadili Mahkamah Syar’iah.

20Helmi Karim,Fiqh Muamalah, Rajawali Press, 1993, hal. 96

(32)

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut

mengenai bagaimana eksistensi hak langgeh (syuf’ah)dalam adat masyarakat Aceh,

yang akan dituangkan dalam judul tesis “KAJIAN YURIDIS HAK LANGGEH

(SYUF’AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimana keberadaanhak langgeh (syuf’ah)dalam masyarakat Aceh di Kota

Langsa?

2. Bagaimana menyelesaikan sengketa hak langgeh (syuf’ah) masyarakat Aceh

di Kota Langsa?

3. Bagaimana efektivitas penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) dengan

cara adat pada masyarakat Aceh di Kota Langsa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, adapun tujuan yang

ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui keberadaanhak langgeh (syuf’ah) dalam masyarakat Aceh

di Kota Langsa.

2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) masyarakat

Aceh di Kota Langsa.

3. Untuk mengetahui keefektifan penyelesaian terhadap sengketa hak langgeh

(33)

D. Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang

hendak dicapai bersama, Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik

secara teoritis dan praktis, yaitu :

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi akademisi dan untuk pengembangan wawasan

dan kajian tentang hak langgeh untuk dapat menjadi bahan perbandingan bagi

penelitian lanjutan.

b. Memperkaya khasanah perpustakaan hukum khususnya di bidang Hukum

Adat berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang

Pemerintahan Aceh.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat memberikan masukan bagi para

praktisi maupun memberikan pengetahuan hukum kepada masyarakat mengenai

pemahaman dan penerapan hak langgeh (syuf’ah) dalam adat masyarakat Aceh

khususnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang ada di

lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di Program Magister Kenotariatan

dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian

sebelumnya yang berjudul tentang “Kajian Yuridis Hak Langgeh (Syuf’ah) Dalam

Adat Masyarakat Aceh Di Kota Langsa”, dan tidak ada satu pun penelitian yang

(34)

Oleh karenanya maka penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis

lakukan ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa

memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi

baik peneliti atau akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposisi-proposisi yang

telah diuji kebenarannya, berpedoman pada teori maka akan dapat menjelaskan,

aneka macam gejala sosial yang dihadapi, walau hal ini tidak selalu berarti adanya

pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, suatu teori juga mungkin memberikan

pengarahan pada aktivitas penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf

pemahaman tertentu.22

Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena

memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah

yang kita bicarakan secara lebih baik.23

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.24

22Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), hal. 6 23Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006 ,hal. 259 24J.J.J.M.Wuisman, penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,

(35)

Menurut J.J.H Bruggink, Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang

saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka

teori hukum dapat ditentukan dengan lebih lanjut sebagai suatu keseluruhan

pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum, dengan

itu harus cukup mengurai tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus

mengarahkan diri kepada unsur hukum.25

Tolak ukur menganalisis permasalahan yang akan diteliti karena suatu teori

atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal

sebagai berikut:26

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan

fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan konsep-konsep.

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah

diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang telah diteliti.

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena

telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin

faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada

pengetahuan penelitian.

25J.J.H Bruggink,Refleksi tentang hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya

Bakti, 1999), hal. 2

(36)

Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir,

pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan

perbandingan pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya.27

Sedangkan tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana

mengorganisasikan dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan

menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.28

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya

mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis

yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah merujuk pada 2 (dua) teori

yaitu : Teori Uruf dan Teori Maqashid Al-Syari’ah yang akan digunakan sebagai

pisau analisis dalam pembahasan penelitian ini.

1) TeoriUruf

Katauruf, yang sering diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti adat,

diambil dari akar kata yang sama dengan makruf lawan mungkar, karena itu uruf

berarti sesuatu yang baik.29 Secara terminologi, kata uruf ini didefinisikan dengan

kebiasaan mayoritas ummat dalam penilaian suatu perkataan atau perbuatan.Urufini

merupakan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syarak.30

27M.Solly Lubis,Filsafat Imu Dan Penelitian, (Medan: PT.Sofmedia, 2012), hal. 129 28Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hal.19

29Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung:

Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 117.

(37)

Dengan demikian, adat dalam pengertian umum ialah segala sesuatu yang

dibiasakan oleh rakyat umum atau golongan. Adat kebiasaan memainkan peran

penting dalam sejarah perkembangan dan kebangkitan manusia, baik dalam kehiduan

sosial maupun dalam aspek-aspek kebudayaan lainnya. Peranannya di dalam hal

tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor sebab yang pokok, yaitu faktor iklim dan

semangat kebangsaan.31 Kebiasaan semakin tambah kuat kedudukannya dengan

perantaraan tradisionil32 yang mengopernya sampai menjadi kepastian di dalam

kehidupan bangsa.

Berdasarkan pengertian di atas, Mustafa Ahmad al-Zarqa, Ahli Fiqih di

Universitas Amman Jordania, mengatakan bahwa uruf merupakan bagian dari adat,

karena adat lebih umum dari uruf. Suatu uruf menurutnya harus berlaku pada

kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan

uruf muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas

masyarakat pada daerah tertentu dalam menetapkan keperluan rumah tangga yang

diambilkan dari mahar yang diberikan suami, atau penentuan ukuran tertentu dalam

penjualan makanan.33

Adat dan kebiasaan dapat dikatakan memiliki arti yang sama, Menurut

definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Naja di dalam syarh al-Mughni adalah suatu

31Kitab Montesqoieu De L Esprit des lois, v. 1, kitab 14; Kitab Curs usder Instionen, 1893,

Leipzig (dalam bagian muqaddimah) karangan puchta, dan Kitab savign system des heutegen Romischen Rechts. Dinukil dari; Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam islam, (Bandung: PT Ma’arif, 1981), hal. 191

32 Lihat: kitab Les Lois de L’imitation, karangan Tarde. Dinukil dari; Subhi Mahmassani,

Filsafat Hukum Dalam islam, (Bandung: PT Ma’arif, 1981), hal. 191

(38)

pengertian dari yang ada dalam jiwa orang-orang berupa perkara yang berulang-ulang

kali terjadi yang dapat diterima oleh tabiat yang waras.34

Dalil untuk berlakunya hukum adat ini didalam perkara-perkara Syari’ah

adalah Ijmak ahli-ahli Fiqih yang diambil dari yurisprudensi Peradilan Islam. Tentang

masalah ini ada ungkapan yaitu :

“apa yang menurut pendapat umat islam baik, maka baik pula sisi Allah

SWT” & Syuraih Al-Qadhi pada zaman Umar Bin Khattab pernah berkata

kepada tukang-tukang pintal yaitu : “kebiasaanmu sekalian diantara kamu”.35

2) TeoriMaqashid Al-Syari’ah

Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua suku kata, maqashid yang merupakan

bentuk jamak dari kata maqshad yang berarti tujuan36, dan kata al-syari’ah yang

sering dipahami dalam arti hukum Islam. Jadi istilah Maqashid al-Syari’ah berarti

tujuan-tujuan syari’at.37

Teori ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi, yaitu

tujuan utama hukum adalah Maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia, tidak

satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan hukum, yang tidak mempunyai

tujuan sama dengan membebankan suatu yang tidak dapat dilaksanakan,

Hukum-hukum Allah dalam Al Qur’an mengandung kemaslahatan.38 Hukum bergantung

34Jalaluddin As-Suyuthi,Al-Asybah wa An-Nazha’ir,(Beirut: Daar al-Turats al-Islami, 2001),

hal. 37

35Ibid. hal. 124

36Al-Fayyumi,Al-Mishbah al-Muniir, (Kairo: Muassasah al-Mukhtar, 2008), hal. 374. 37Al-Ghazali,Al-Mushtashfa, (Beirut: Daar Ihya Turats al-Arabi, 1997), jilid 2 hal. 481. 38Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah, (Jakarta: Disertasi Pascasarjana IAIN

(39)

kepada kemaslahatan, dimana ada kemaslahatan disitu ada hukum, dan kemaslahatan

umum lebih utama dari kemaslahatan kelompok atau individu.

Dalam ilmu ushul fiqih, bahasan maqashid al-Syari’ah bertujuan untuk

mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam

mensyari’atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam

menatap hukum Islam yang ditetapkan melalui ijtihad.39

Ulama ushul Fiqih sepakat menyatakan bahwa pada setiap hukum itu

terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah s.w.t., baik kemaslahatan itu bersifat

duniawi maupun ukhrawi.40 Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama ushul

Fiqh dalam menetapkan bahwa di setiap hukum Islam itu terdapat tujuan yang hendak

dicapai oleh syarak, yaitu kemaslahatan umat manusia. Firman Allah yang artinya:

“Mereka rasul-rasul Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan

pemberi peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah

diutusnya rasul-rasul” (QS. An-Nisa’: 165).

Kandungan ayat ini menurut ulama ushul Fiqh, menunjukkan bahwa Allah

SWT. dalam menentukan hukum-hukum Nya senantiasa menghendaki sesuatu yang

bermanfaat bagi manusia, sehingga apabila hal tersebut tidak diusahakan manusia,

maka ia akan merugi. Inilah makna yang terkandung di balik diutusnya para Rasul

bagi manusia.

39Al-Youbi, Maqashid al-syari’ah w alaqatuha bi al-adillah al-Syar’iyyah, (Riyadh: Daar Ibn

al-Jauzi, 2008), hal. 44

40Al-Syatibi, Al-Muwafaqaat Fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2007,

(40)

2. Konsepsi

Konsepsi adalah pemahaman yang terbangun dalam akal dan pikiran peneliti

untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep

diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal

yang khusus yang disebut definisi operasional.41 Oleh karena itu, untuk menjawab

permasalahan dalam penelitian ini haruslah didefinisikan beberapa konsep dasar, agar

secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan

yang telah ditentukan. Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping

yang lainnya, seperti asas dan standar. Oleh sebab itu kebutuhan untuk membentuk

konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum.

Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal yang berbentuk khusus.42

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam

penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi

dengan realitas.43

“Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakn terutama dalam judul

penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan

pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun

peneliti sendiri didalam menangani proses penelitian dimaksud.”44

41

Samadi Suryabrata,Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 3

42

Ibid.Hal. 4

43

Masri Singaribun dkk,Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34

44Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT.RajaGrafindo

(41)

Konsepsi ini bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran

terhadap istilah-istilah yag digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu dalam

penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau istilah, agar di dalam

pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah

ditentukan, yaitu :

1. Kajian Yuridis adalah penyelidikan, penjabaran sekaligus pemecahan secara

hukum terhadap suatu peristiwa atau permasalahan yang timbul untuk

mengetahui keadaan yang sebenarnya.

2. Hak Langgehadalah hak dalam hukum adat yang memberikan prioritas / hak

didahulukan dari orang lain untuk membeli tanah, hak mana diberikan kepada

tiga unsur masyarakat yaitu sanak saudara, sesama anggota masyarakat dan

pemilik tanah tetangga.45

3. Syuf’ah adalah penggabungan, yakni penggabungan secara paksa atas suatu

hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang

lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah,

syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak

yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang

membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan.46

(42)

4. Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa,

merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan

dari abad ke abad.47

5. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang anggotanya berasal dari suku Aceh

di Kota Langsa.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam

pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang

dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian

dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud

berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu

sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu

kerangka tertentu.48

Dalam setiap penelitian pada hakikatnya mempunyai metode penelitian

masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan

penelitian.49 Kata metode berasal dari bahasa Yunani “Methodos” yang berarti cara

47Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: CV. Haji

Masagung 1988), hal. 13

48Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji,Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Radja Grafindo

Persada, 2001), hal. 42.

49Jujun Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar

(43)

atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara

kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.50

a. Sifat Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah bersifat

deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh

gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis. Penelitian ini berusaha

memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan

atau gejala yang diteliti. Suatu penelitian deskriptif menekankan pada

penemuan fakta-fakta yang digambarkan sebagaimana keadaan yang

sebenarnya, dan selanjutnya data maupun fakta diolah dan ditafsirkan.

Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti

mungkin tentang objek yang diteliti, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.

Penelitian ini bersifat deskriptif karena dengan penelitian ini diharapkan akan

diperoleh suatu gambaran yang bersifat menyeluruh dan sistematis, kemudian

dilakukan suatu analisis terhadap data yang diperoleh dan pada akhirnya

didapat pemecahan masalah.

b. Metode Pendekatan

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu suatu

penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian

dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup dan berkembang di

tengah-50Koentjaningrat,Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

(44)

tengah masyarakat. Data atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh

langsung dari para responden melalui penelitian lapangan (field research)

yaitu masyarakat Aceh di Kota Langsa.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Langsa, Provinsi Aceh. Dikarenakan luasnya

wilayah di Kota Langsa tersebut maka dipilihlah 3 (tiga) kecamatan sebagai sampel

yaitu:

a. Kecamatan Langsa Kota

b. Kecamatan Langsa Barat

c. Kecamatan Langsa Lama

Adapun alasan dipilihnya 3 (tiga) kecamatan ini menurut pengamatan

sementara di ketiga kecamatan tersebut masyarakatnya ada yang menggunakan hak

langgeh (hak syuf’ah)dalam praktek jual beli tanahnya.

3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam melakukan penelitian ini yaitu kepala keluarga di Kota Langsa

yang pernah melakukan praktek jual beli tanah, baik sebagai penjual maupun sebagai

pembeli. Maka dalam penelitian ini diambil 3 (tiga) kecamatan yang masing-masing

kecamatan diambil 10 (sepuluh) orang, jadi jumlah semua adalah 30 (tiga puluh)

orang sebagai sampel, dengan syarat orang-orang yang dipilih sebagai sampel adalah

(45)

Untuk Kelengkapan data dalam penelitian ini, maka dilakukan juga

wawancara dengan narasumber/informan lainnya sebagai tambahan data yaitu:

a. Majelis Adat Aceh (MAA)

b. Satu orang Hakim Mahkamah Syar’iah Kota Langsa

c. Dinas Syariat Islam Kota Langsa

d. Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Langsa

e. Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Langsa

f. Tiga orang Geuchik

g. Satu orang Tuha Peuet

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan untuk

memperoleh data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut :

a. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian

lapangan (field research). Penelitian lapangan ini dilakukan dengan cara

mengajukan pertanyaan langsung kepada responden. Sifat interview adalah

bebas terpimpin. Dalam melakukan penelitian dimungkinkan tidak hanya

menggunakan pertanyaan yang disediakan secara tertulis dalam bentuk daftar

pertayaan, tetapi dapat dilakukan pengembangan pertanyaan sepanjang tidak

menyimpang dari permasalahan.

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan

(46)

dilapangan. Melalui studi kepustakaan ini diusahakan pengumpulan data

melalui mempelajari buku-buku, majalah, surat kabar, artikel dan internet

serta referensi lain yang berkaitan dan berhubungan dengan penelitian ini.

Data sekunder dalam penelitian ini mencakup :

1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai

kekuatan hukum mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang

antara lain dari :

a. Hadist;

b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah;

d. Qanun yang terkait;

e. Ijma’ Para Ulama;

f. Yurisprudensi;

g. Fatwa Ulama dan Pengetua Adat;

2) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian, hasil karya

ilmiah para sarjana, artikel-artikel, internet, buku-buku yang berhubungan

erat dengan pokok permasalahan yang akan diteliti.

3) Bahan Hukum Tersier yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

(47)

Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Kamus Bahasa Belanda, Kamus

Bahasa Arab dan Ensiklopedi Hukum Islam.

5. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya

serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini

diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara

sebagai berikut:

Studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan

membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder

yang berkaitan dengan materi penelitian. Sehingga untuk mengumpulkan data

sekunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan yang diajukan. Data ini

diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen

perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hak langgeh (syuf’ah) menurut

hukum adat.

Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan dan

responden yang telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap

muka), yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya

agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya kebenaran yang

konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan.

6. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

(48)

merupakan penelaahan dan penguraian data, sehingga data tersebut dapat diberi arti

dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Data

sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara urut dan sistematis, untuk

selanjutnya dianalisis menggunakan metode kualitatif yaitu dengan penguraian

deskriptis analitis dan preskriptif51, yang dilakukan untuk memperoleh gambaran

tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yakni

cara berfikir yang dimulai dari hal umum, untuk selanjutnya menarik hal-hal yang

khusus sebagai kesimpulan dan disajikan dalam bentuk preskriptif.

Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang

terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, informasi

media cetak, dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya yang berkaitan dengan judul

penelitian untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian data sekunder dianalisis

dengan penelitian secara kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat

menjawab segala permasalahan hukum dalam penelitian tesis ini. Hal ini tentu saja

bertujuan agar lebih memahami secara lebih mendalam mengenai masalah yang akan

dibahas pada penulisan ini.

(49)

BAB II

KEBERADAAN HAK LANGGEH (SYUF’AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Langgeh (Syuf’ah)

Agama Islam lahir untuk menjadi “penyelamat” dunia sebagai Rahmat dari

Allah SWT, oleh karenanya setiap ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang tidak

diragukan lagi. Ajaran Islam yang di bawa Rasulullah SAW untuk menciptakan

perdamaian di bumi sehingga umat manusia dan seluruh makhluk Allah dapat hidup

sejahtera. Islam dengan pengertian epistimologi memiliki makna penyerahan diri,

pasrah, patuh dan tunduk kepada kehendak Allah, ia adalah agama yang membawa

kemaslahatan bagi pemeluknya baik di dunia maupun di akhirat.

Propinsi Aceh merupakan Propinsi di Indonesia yang diberikan kekhususan

oleh Pemerintah pusat untuk dapat melaksanakan syariat Islam, hal ini terwujud,

yakni melalui penetapan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang

penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Oleh karenanya

peraturan yang bersifat khusus banyak diadopsi dari hukum Islam, seperti hukum adat

di Aceh misalnya. Pada prinsipnya hukum adat Aceh bersumber pada syariat-syariat

yang berasal dari Kitabullah dan adat Aceh sesuai dengan syariat islam, hanya

beberapa aspek kecil saja yang diperlukan pengubahan. Adat Aceh merupakan

hukum, aturan tata tertib yang telah atau sudah diketahui oleh masyarakat secara

turun-menurun. Hal ini terpatri dalam adagium “Hukom ngon Adat lagee Zat ngon

Gambar

Tabel IIDaftar Responden di Kecamatan Langsa Lama
Tabel IIIDaftar Responden di Kecamatan Langsa Barat
Tabel VDaftar Responden di Kecamatan Langsa Lama
Tabel VIDaftar Responden di Kecamatan Langsa Barat

Referensi

Dokumen terkait

Kasus diatas merupakan kasus tentang sengketa harta warisan secara adat, didalam sengketa tersebut pada dasarnya adalah merupakan hak dari anak angkat yakni harta warisan

Hasil kajian menunjukan bahwa hak-hak adat yang berhubungan dengan pengeloaan hutan yaitu Petak bahu, Danau, Pahewan, Tajahan, Sepan, Kaleka.. dan

Terdapat benturan kewenangan mengenai penyelesaian kasus mesum di Banda Aceh dimana selain Peradilan Adat Gampong yang boleh menyelesaikan kasus-kasus

Bagaimana Kekuatan hukum dari hasil penyelesaian sengketa waris menurut lembaga penyelesaian sengketa waris adat pada masyarakat Angkola di Kabupaten

Dalam rangka penyelesaian konflik rekognisi hak masyarakat adat maka pemeritah Daerah perlu melakukan verifikasi keberdaan masyarakat adat di kabupaten Sumbawa

Standar dan sasaran kebijakan hak-hak masyarakat adat yang mengacu pada Peraturan Daerah tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, masyarakat

Dengan adanya TAP MPR Nomor XVII tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia, maka hak pemajuan dan perlindungan keberadaan masyarakat hukum adat termasuk di dalamnya tanah ulayat

5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, mengandung arti bahwa secara langsung dan jelas negara telah mengakui hak