TESIS
Oleh
AULIA RAHMAN
127011108/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
AULIA RAHMAN
127011108/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 127011108 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof.H.M.Hasballah Thaib,MA,PhD) (Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD 2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 3. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA
Nama : AULIA RAHMAN
Nim : 127011108
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : KAJIAN YURIDIS HAK LANGGEH (SYUF’AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
i
(syuf’ah) merupakan persyaratan yang harus di laksanakan sebelum seseorang/badan hukum melaksanakan proses transaksi jual beli tanah selain persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal tersebut dikarenakanhak langgeh (syuf’ah)tersebut telah hidup dan berkembang didalam hukum adat masyarakat Aceh. Namun pada prakteknya banyak masyarakat di Kota Langsa tidak memperdulikan adanya norma tentang hak langgeh (syuf’ah) tersebut sehingga seringnya terjadi sengketa dalam hal jual beli tanah dan menimbulkan kerugian bagi penjual, pembeli maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah sekalipun.
Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni Bagaimana keberadaan
hak langgeh (syuf’ah) dalam masyarakat Aceh di Kota Langsa, Bagaimana
menyelesaikan sengketa hak langgeh (syuf’ah) masyarakat Aceh di Kota Langsa, dan Bagaimana efektivitas penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) dengan cara adat pada masyarakat Aceh di Kota Langsa.
Untuk menemukan Jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini bersifatdeskriptif analitis,penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum tentang kajian yuridishak langgeh (syuf’ah)dalam adat masyarakat Aceh di Kota Langsa dengan jenis penelitianjuridis empiris.Analisis data kualitatif, data yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan pandangan dari responden maupun narasumber.
Kesimpulan dari penelitian ini Keberadaan hak langgeh (syuf’ah) dalam adat masyarakat Aceh di Kota Langsa tetap masih ada dalam masyarakatnya terbukti apabila masyarakat akan menjual tanahnya selalu terlebih dahulu menawarkan tanah tersebut pada tiga pihak yaitu pihak pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya, anggota sekerabat dan warga desa setempat. Jika dari ketiga unsur tersebut tidak ada yang membeli baru menjualnya kepada siapa saja, Meskipun norma hak langgeh (syuf’ah)dirasa hampir menghilang di tengah-tengah masyarakat Kota Langsa. Tata cara proses penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) pada masyarakat Aceh di Kota Langsa pada tingkat awal di selesaikan pada peradilan adat gampong yang selalu diselesaikan dengan putusan damai, jika proses penyelesaian sengketa pada peradilan adat gampong tidak mempunyai jalan keluar maka kasus tersebut dilimpahkan pada Mahkamah Syar’iah Kota Langsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketahak langgeh (syuf’ah)secara adat masih efektif di masyarakat Kota Langsa, hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya kasus yang masuk atau diselesaikan di Mahkamah Syar’iah Kota Langsa dan kegiatan aparatur desa yang masih banyak mengurus masalah sengketahak langgeh (syuf’ah)tersebut.
ii
about muamalah (social life), especially about hak langgeh (syuf’ah). It is a requirement which has to be fulfilled before a person/legal entity performs a transaction of buy and sell land besides the rewgulation stipulated in the Government Regulation No. 24/1997 on Land registration. It is because hak langgeh (syuf’ah) has existed and developed in Aceh adat law. In practice, however, many people in Langsa ignore the norm of hak langgeh (syuf’ah); in consequence, there are many disputes in the case of buy and sell land which causes the loss for the seller, the buyer, and PPAT (official empowered to draw up deeds).
The problems of the research were as follows: how about the existence of hak langgeh (syuf’ah) in Aceh community in Langsa, how about the settlement of dispute in hak langgeh (syuf’ah in Aceh community in Langsa, and how effective the settlement of the dispute in hak langgeh (syuf’ah) by adat law in Aceh community in Langsa.
The research was descriptive analytic which was aimed to describe, explain, and analyze law on judicial analysis of hak langgeh (syuf’ah)( in Aceh community in Langsa; the type of the research was judicial empirical.The data were analyzed qualitatively, based on legal provisions and opinions of the respondents as the source persons.
The conclusion of the research is that hak langgeh (syuf’ah) in the Aceh community in Langsa still exists since many people who want to sell their land, contact first three parties: their close neighbors, their relatives, and the people who live in the same village. If these three components do not want to buy the land, they will sell it to any one who wants to buy it. Even though the norm of hak langgeh (syuf’ah) begins to fade in the Aceh community in Langsa, the procedure of the process of the settlement for disputes in hak langgeh (syuf’ah) in Aceh community in Langsa is done first in adat gampong judicial administration with reconciliation. If the settlement cannot be solved, the case is then brought to Mahkamah Syar’ia (Sharia Court) in Langsa. The result of the research shows that the settlement for dispute in hak langgeh (syuf’ah) in Langsa is still effective since there is no case on land dispute which is settled in the Sharia Court, Langsa, and the activities of village officials that handle the case of hak langgeh (syuf’ah).
hanya dengan berkat rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan
penulisan tesis ini dengan judul “KAJIAN YURIDIS HAK LANGGEH (SYUF’AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA.” Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh
gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapkan terima
kasih yang mendalam Penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat
dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, Bapak Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, Ph.D dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Dengan selesainya penulisan tesis ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan Fasilitas yang diberikan kepada
Penulis dalam meyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan
ini.
5. Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, selaku penguji yang telah memberikan masukan dan kritik yang membangun kepada Penulis untuk
menyelesaikan penulisan tesis ini.
6. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, yang telah memberikan masukan dan kritik yang membangun kepada Penulis untuk menyelesaikan
penulisan tesis ini.
7. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang
sangat bermanfaat selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di
bangku kuliah.
8. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama
menjalani pendidikan.
9. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya kelas Reguler Khusus
angkatan 2012 yang telah banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam
meyelesaikan penulisan tesis ini.
10. Pada Abu dan Ummi tercinta, yaitu Ir. Zahlul Pasha A. Majid dan Suci Handayani, penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan
membesarkan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
12. Kedua adik dari penulis yaituZahrina Pasha, SHdanMuhammad Albar, yang sedikit banyak telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi pada Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari yang
diharapkan, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat
bermanfaat bagi pembaca khususnya kepada penulis. Amiin.
Medan, Agustus 2014
Penulis,
1. Nama : Aulia Rahman
2. Tempat, Tanggal Lahir : Amlapura (Bali), 1 Februari 1988 3. Jenis Kelamin : Laki-laki
4. Agama : Islam
5. Alamat : Jl. TM. Bahrum No. 20 Keluarahan
Gampong Jawa, Kecamatan Langsa Kota, Kota
Langsa, Provinsi Aceh
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : Ir. Zahlul Pasha A. Majid
2. Nama Ibu : Suci Handayani
3. Nama Istri : Liviana Ariessa, ST
4. Nama Anak : Muhammad Al Fatih
5. Nama Saudara : Zahrina Pasha, SH & Muhammad Albar
III. PENDIDIKAN
1. SD : SD Negeri 1 Cunda, Lhokseumawe
Tahun 1994-1996 SD Negeri 1 Langsa Tahun 1996-2000
2. SMP : SMP Negeri 1 Langsa
Tahun 2000-2003
3. SMA : SMA Negeri 1 Langsa
Tahun 2003-2006 4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Samudra
Tahun 2006-2011
vii
ABSTRACT. ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR ISTILAH ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 14
1. Manfaat Teoritis ... 14
2. Manfaat Praktis ... ... 14
E. Keaslian Penelitian ... ... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... ... 15
1. Kerangka Teori ... 15
2. Konsepsi ... ... 21
G. Metode Penelitian ... ... 23
1. Spesifikasi Penelitian ... ... 23
a. Sifat Penelitian ... ... 24
b. Metode Pendekatan ... ... 24
2. Lokasi Penelitian ... ... 25
3. Populasi dan Sampel Penelitian ... ... 25
4. Teknik Pengumpulan Data ... ... 26
viii
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Langgeh ... 30
B. Fungsi Hak Langgeh ... 48
C. Keberadaan Hak Langgeh Dalam Masyarakat Aceh Di Kota Langsa ... 61
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA HAK LANGGEH (SYUF’AH) MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA ... 69
A. Pengaturan Tentang Hak Langgeh (Syuf’ah) Di Aceh ... 69
B. Penyelesaian Sengketa Secara Adat ... 74
C. Penyelesaian Sengketa Melalui Mahkamah Syar’iah ... 80
BAB IV KEEFEKTIFAN PENYELESAIAN SENGKETA HAK LANGGEH (SYUF’AH) SECARA ADAT PADA MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA ... 89
A. Sebab-Sebab Masyarakat Memilih Menyelesaikan Sengketa Hak Langgeh (Syuf’ah) Pada Peradilan Adat ... 89
B. Sengketa Yang Berkaitan Dengan Hak Langgeh (Syuf’ah) 98 C. Efektifitas Penyelesaian Sengketa Hak Langgeh (Syuf’ah) secara adat di Kota Langsa ... 106
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109
A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 110
menyangkut masalah keluarga dan peradilan Islam seperti hukum perkawinan, kewarisan, wasiat dan Peradilan Agama.
Akad : Kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
Dinas Syariat Islam : Lembaga struktural Pemerintah Daerah Aceh yang menangani bidang Syariat Islam.
Dorpsjustitie : Peradilan Desa.
Fatwa : Nasehat, petuah, jawaban atau pendapat, adapun yang dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasehat resmi yag diambil oleh sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnyayang disampaikan oleh seorang ulama.
Fukaha : Ahli Hukum Fikih.
Geuchik : Kepala Desa.
Hikayat : Salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang
kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya
mengisahkan tentang kehebatan maupun
kepahlawanan seseorang lengkap dengan
keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.
Hudud : Hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT dalam Al Qur’an dan Hadits.
Ijab : Pernyataan melakukan ikatan.
Ijtihad : Sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang
sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan ysng matang.
Imeum Mukim : Pemimpin / Kepala sebuah mukim.
Ius non scriptum : Hukum yang tidak tertulis.
Ius scriptum : Hukum yang tertulis.
Jinayah : Hukum Pidana Islam.
Lex specialis : Hukum yang bersifat khusus.
Mafhum : Pemahaman / memahami.
provinsi-observasi dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat. Di beberapa tempat,
Meunasah menjadi pusat sosio-budaya
pembangunan desa.
Mu'amalah : Hukum Islam yang mengatur tentang hubungan antara seseorang dengan orang lain (Hukum Perdata Islam).
Mudharat : Sesuatu hal yang tidak memberikat manfaat dan cenderung menyebabkan keburukan.
Mukim : Wilayah yang mengkoordinir beberapa desa (6 sampai 10 desa) dalam suatu kawasan yang
dipimpin oleh pemimpin mukim dan
bertanggung jawab kepada camat.
Narit / Hadih Maja : Tutur perkataan orang-orang bijak yang dapat dijadikan nasehat, petunjuk, ajaran dan larangan yang umumnya berkaitan dengan agama Islam, adat-istiadat, pendidikan dan kehidupan masyarakat.
Po Teu Meureuhôm : Gelar untuk Raja Aceh.
Privilese : Hak yang diistimewakan.
Qabul : Pernyataan menerima ikatan.
Qanun : Peraturan perundang-undangan khusus untuk
Aceh atau sejenis peraturan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten lain yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat.
Qishas-diat : Ganti kerugian yang setimpal terhadap hukuman dalam hukum pidana dalam syariat Allah SWT.
Rechtspraak : Peradilan.
Reusam : Aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan atau
petunjuk-petunjuk adat istiadat yang ditetapkan oleh kepala desa setelah mendapat persetujuan tuha peut desa.
Syafi’ : Orang yang akan mengambil atau menerima
Syuf’ah(Makelar).
Takzir : Salah satu hukum daripada hukum-hukum
Allah. Takzir adalah satu undang-undang yang
Allah SWT berikan keistimewaan kepada
kepala desa atau pemimpin mukim, juga bertanggung jawab membantu kepala desa atau pemimpin mukim dalam menyelesaikan segala sengketa.
Ulee Jurong : Pemimpin di tingkat lorong.
PP : Peraturan Pemerintah
Q.S. : Qur’an Surah
A.B. : Algemene Bepalingen van Wetgeving
R.R. : Regerings Reglement
I.S. : Indische Staatsregeling
UUPA : Undang Undang Pemerintahan Aceh
UNDP : United Nations Development Programme
H.R. : Hadits Riwayat
MAA : Majelis Adat Aceh
MPU : Majelis Permusyawaratan Ulama
i
(syuf’ah) merupakan persyaratan yang harus di laksanakan sebelum seseorang/badan hukum melaksanakan proses transaksi jual beli tanah selain persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal tersebut dikarenakanhak langgeh (syuf’ah)tersebut telah hidup dan berkembang didalam hukum adat masyarakat Aceh. Namun pada prakteknya banyak masyarakat di Kota Langsa tidak memperdulikan adanya norma tentang hak langgeh (syuf’ah) tersebut sehingga seringnya terjadi sengketa dalam hal jual beli tanah dan menimbulkan kerugian bagi penjual, pembeli maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah sekalipun.
Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni Bagaimana keberadaan
hak langgeh (syuf’ah) dalam masyarakat Aceh di Kota Langsa, Bagaimana
menyelesaikan sengketa hak langgeh (syuf’ah) masyarakat Aceh di Kota Langsa, dan Bagaimana efektivitas penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) dengan cara adat pada masyarakat Aceh di Kota Langsa.
Untuk menemukan Jawaban dari permasalahan tersebut, maka penelitian ini bersifatdeskriptif analitis,penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum tentang kajian yuridishak langgeh (syuf’ah)dalam adat masyarakat Aceh di Kota Langsa dengan jenis penelitianjuridis empiris.Analisis data kualitatif, data yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan pandangan dari responden maupun narasumber.
Kesimpulan dari penelitian ini Keberadaan hak langgeh (syuf’ah) dalam adat masyarakat Aceh di Kota Langsa tetap masih ada dalam masyarakatnya terbukti apabila masyarakat akan menjual tanahnya selalu terlebih dahulu menawarkan tanah tersebut pada tiga pihak yaitu pihak pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya, anggota sekerabat dan warga desa setempat. Jika dari ketiga unsur tersebut tidak ada yang membeli baru menjualnya kepada siapa saja, Meskipun norma hak langgeh (syuf’ah)dirasa hampir menghilang di tengah-tengah masyarakat Kota Langsa. Tata cara proses penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) pada masyarakat Aceh di Kota Langsa pada tingkat awal di selesaikan pada peradilan adat gampong yang selalu diselesaikan dengan putusan damai, jika proses penyelesaian sengketa pada peradilan adat gampong tidak mempunyai jalan keluar maka kasus tersebut dilimpahkan pada Mahkamah Syar’iah Kota Langsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketahak langgeh (syuf’ah)secara adat masih efektif di masyarakat Kota Langsa, hal ini dapat dibuktikan dengan tidak adanya kasus yang masuk atau diselesaikan di Mahkamah Syar’iah Kota Langsa dan kegiatan aparatur desa yang masih banyak mengurus masalah sengketahak langgeh (syuf’ah)tersebut.
ii
about muamalah (social life), especially about hak langgeh (syuf’ah). It is a requirement which has to be fulfilled before a person/legal entity performs a transaction of buy and sell land besides the rewgulation stipulated in the Government Regulation No. 24/1997 on Land registration. It is because hak langgeh (syuf’ah) has existed and developed in Aceh adat law. In practice, however, many people in Langsa ignore the norm of hak langgeh (syuf’ah); in consequence, there are many disputes in the case of buy and sell land which causes the loss for the seller, the buyer, and PPAT (official empowered to draw up deeds).
The problems of the research were as follows: how about the existence of hak langgeh (syuf’ah) in Aceh community in Langsa, how about the settlement of dispute in hak langgeh (syuf’ah in Aceh community in Langsa, and how effective the settlement of the dispute in hak langgeh (syuf’ah) by adat law in Aceh community in Langsa.
The research was descriptive analytic which was aimed to describe, explain, and analyze law on judicial analysis of hak langgeh (syuf’ah)( in Aceh community in Langsa; the type of the research was judicial empirical.The data were analyzed qualitatively, based on legal provisions and opinions of the respondents as the source persons.
The conclusion of the research is that hak langgeh (syuf’ah) in the Aceh community in Langsa still exists since many people who want to sell their land, contact first three parties: their close neighbors, their relatives, and the people who live in the same village. If these three components do not want to buy the land, they will sell it to any one who wants to buy it. Even though the norm of hak langgeh (syuf’ah) begins to fade in the Aceh community in Langsa, the procedure of the process of the settlement for disputes in hak langgeh (syuf’ah) in Aceh community in Langsa is done first in adat gampong judicial administration with reconciliation. If the settlement cannot be solved, the case is then brought to Mahkamah Syar’ia (Sharia Court) in Langsa. The result of the research shows that the settlement for dispute in hak langgeh (syuf’ah) in Langsa is still effective since there is no case on land dispute which is settled in the Sharia Court, Langsa, and the activities of village officials that handle the case of hak langgeh (syuf’ah).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dalam hubungan antar manusia pada setiap masyarakat, di mana pun dan
kapan pun, selalu ada peraturan. Ada naluri dalam setiap pemikiran anggota
masyarakat untuk menata hubungan antara sesama agar tidak terjadi kekacauan, ada
perlindungan terhadap kepentingannya, ada jaminan masa depan terhadap harapannya
untuk hidup. Pemikiran-pemikiran dan harapan-harapan tentang itu semua diikrarkan
menjadi pedoman perilaku bersama. Karena itu, setiap peraturan betapapun
bentuknya merupakan manifestasi dari suara hati masyarakat, suara hati kolektif.1
Kehidupan di zaman modern dan global sekarang telah jauh berbeda dengan
kehidupan di zaman Rasulullah SAW. Perubahan sosial dalam berbagai aspek selalu
melahirkan tuntutan agar perangkat hukum yang menata masyarakat haruslah ikut
berkembang bersamanya.2 Di Indonesia kita mengenal adanya hukum tertulis dan
hukum yang tidak tertulis, boleh dikatakan sebenarnya hukum yang tidak tertulis
lebih banyak dan lebih kompleks aturan-aturan didalamnya yang mengatur tentang
masyarakat dibandingkan dengan hukum yang telah terkodifikasi. Hukum tidak
tertulis tersebut termasuk pula hukum adat yang sebagian besar peraturan-peraturan
dikalangan masyarakat hukum adatnya tidak terkodifikasi. Karena sifatnya yang tidak
1Nico Ngani,Perkembangan Hukum Adat Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia,
2012), hal. 1
2M.Hasballah Thaib,Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam,Konsentrasi Hukum
terkodifikasi itu, maka hukum adat bersifat dinamis, artinya mudah berubah-ubah
menurut waktu (tijd), tempat (ruimte), dan keadaan (omstandigheid).3
Pada umumnya hukum adat bercorak tradisional, artinya bersifat turun
temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang ini yang
keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat yang
bersangkutan.4 Istilah hukum adat yang mengandung arti aturan kebiasaan ini sudah
lama dikenal di Indonesia seperti di Aceh Darussalam pada masa pemerintahan
Sultan Iskandar Muda (1607-1636) istilah hukum adat ini telah dipergunakan, ini
ditemukan dalam kitab hukum yang diberi nama“Makuta Alam”kemudian di dalam
kitab hukum“Safinatul Hukkam Fi Takhlisil Khassam” yang ditulis oleh Jalalauddin
bin Syeh Muhammad Kamaludin anak Kadhi Baginda Khatib Negeri Trussan atas
perintah Sultan Alaidin Johan Syah (1781-1895). Di dalam mukadimah kitab hukum
acara tersebut dikatakan bahwa dalam memeriksa perkara seorang Hakim haruslah
memperhatikan Hukum Syara, Hukum Adat, serta Adat dan Resam.5
Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih
menjunjung tinggi hukum adat dan kebudayaannya, hal ini tersirat dalam adagium
Adat bak Poe Teu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang,
Reusam bak Lakseumana. Hadih maja tersebut menyebutkan bahwa persoalan
adat-istiadat, sistem pemerintahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para raja dan
3Ibid, hal. 2
4Dewi Wulansari,Hukum Adat Indonesia – Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2012), hal. 15
5H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia(Bandung: Mandar Maju
diserahkan sepenuhnya pada raja, Po Teu Meureuhôm. Namun, Persoalan hukum
diatur oleh ulama Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau para raja (masa
lalu ataupun saat ini) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, menghidupkan
kembali, dan takut sekali melanggar hukum adat. Sikap ini merupakan
pengejawantahan pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat idealnya
dipertahankan, tidak diubah, sesuai dengan maksud hadih maja,“Boh malairi ie
paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt”yang berarti buah malairi air pasang
surut, adat nenek moyang hendaklah diikuti.
Masyarakat Aceh sangat kental dengan Islam, dengan berlatar belakang
sejarah sehingga kini disebut serambi Mekah, Aceh yang merupakan sebagian besar
penduduknya beragama Islam banyak menggunakan hukum Islam untuk diadopsi
sebagai hukum adatnya. Dasar hukum Syariat Islam di Aceh tertuang dalam
Peraturan Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat
Islam, yang merupakan cita-cita masyarakat Aceh untuk melaksanakan Syariat Islam
secara kaffah di Aceh.
Hubungan yang harmonis antara seluruh umat Islam adalah idaman setiap
muslim. Dengan hubungan yang harmonis, persatuan dan kesatuan umat dapat
dibangun. Guna mewujudkan hal ini, Islam mensyari’atkan berbagai hal agar
diindahkan oleh setiap muslim. Berbagai syari’at ini bila diterapkan dengan benar,
niscaya idaman ini menjadi kenyataan dan keretakan dapat dihindarkan.6
Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan,
menyingkirkan keburukan dan kemudharatan, Syariat Islam mempunyai aturan yang
lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud
yang mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai
dengan hikmah dan kebenaran.
Sebelum diperkenalkan istilah “Adat-Recht” yang kemudian diterjemahkan
menjadi “hukum adat” oleh Christian Snouck Hurgroje dan Cornelis van
Vollenhoven, berbagai istilah yang mencoba menjelaskan tentang hukum adat telah
dipergunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dapat ditemukan dalam
Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda di bawah ini:7
1. Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving/Ketentuan-ketentuan
Umum Perundang-undangan) Pasal 11 digunakan istilah “Godsdienstige
Wetten, Volks Instellingen En Gebruiken” (Peraturan-peraturan keagamaan,
Lembaga-lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).
2. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R.
1854, digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Instelingen en Gebruiken”
(Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga dan
kebiasaan-kebiasaan).
3. Dalam I.S. (Indische Staatsregeling = Peraturan Hukum Negara Belanda
semacam Undang-Undang Dasar bagi Pemerintah Hindia Belanda) Pasal
7Iman Sudiyat,Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty 1982), hal.
128 ayat (4) – sebelumnya, Pasal 71 ayat (2) sub b redaksi baru R.R 1854
yang mengganti Pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R 1854 dipergunakan istilah
“Instellingen des Volks” (Lembaga-lembaga dari rakyat).
4. Dalam I.S. Pasal 131 ayat (2), sub b digunakan istilah “Met Hunne
Godsdiensten en Gewoonten Samenhangen de Rechts Regelen”
(Aturan-aturan Hukum yang berhubungan dengan Agama-agama dan
Kebiasaan-kebiasaan mereka).
5. Dalam R.R. 1854 Pasal 78 ayat (2), digunakan istilah “Godsdienstige Wetten
en Oude Herkomsten” (Peraturan-peraturan Keagamaan dan
Kebiasaan-kebiasaan Lama/Kuno). Godsdienstige Wetten en Oude Herkomsten ini oleh
Ind. Stbl. 1929 nr jo nr 487 diganti dengan istilah “Adat-Rect”.
Dari beberapa litelatur di atas dapat dianalisis bahwa hukum Adat yang
berkembang di Indonesia khususnya di Aceh dengan mayoritas penduduknya yang
memeluk agama Islam banyak memasukkan hukum Islam ke dalam sumber hukum
adatnya. Hal ini sepadan dengan apa yang ditengahkan oleh Mr. L.W.C Van Den
Berg seorang sarjana hukum yang pernah menjabat pelbagai jabatan penting seperti
Penasehat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintahan kolonial
Belanda, sebagai Guru Besar di Delft, sebagai pensaehat Departemen Jajahan di
negeri Belanda, dengan “teori receptio in complexu”. Inti dari pada isi teori ini adalah
hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti
hukum-hukum agama itu dengan setia.8
Adat ngon hukom (agama), lagei zat ngon sifeut. Secara harfiah, peribahasa
Aceh ini mengungkapkan, adat dengan hukum seperti sesuatu zat yang tidak dapat
dipisahkan. Karenanya, keseluruhan hukum adat yang berlaku di Aceh bersumber
dari agama Islam. Aturan adat dan lembaga pelaksanaan aturan adat yang ada di Aceh
diatur dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat
dan Adat Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2009 Tentang Lembaga Adat.
Peraturan tersebut yang menjadi wadah sebagai tempat untuk menjalankan hukum
adat yang berlaku di Aceh.
Hukum adat di Aceh banyak mengatur tentang berbagai macam hal pola hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu yang diatur dalam hukum adat
Aceh adalah tentang muamalah yang telah menjadi hukum positif dengan di
undangkannya Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam. Dalam
qanun tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Syar’iyah mempunyai kewenangan dan
kekuasaan mengadili salah satunya dalam hal muamalah. Seperti apa yang tertera
didalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam
yaitu “Mahkamah Syar'iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang9:
a. Ahwal al – syakhshiyah;
8Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: CV. Haji
Masagung 1988), hal. 29
b. Mu'amalah;
c. Jinayah
Pada penjelasan Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan
Syariat Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang
muamalah meliputi hukum kebendaan dan perikatan seperti: Jual beli, hutang
piutang, Qiradh (Permodalan), Musaqah, muzaraah, mukhabarah (bagi hasil
pertanian), Wakilah (kuasa), Syirkah (perkongsian), Ariyah (pinjam meminjam),
hajru (penyitaan harta), syuf’ah (Hak Langgeh), rahnun (Gadai), Ihyaul mawat
(pembukaan lahan), ma'din(tambang), luqathah (barang temuan), Perbankan,ijarah
(sewa menyewa),takaful, Perburuhan, Harta rampasan, Waqaf, hibah, shadaqah, dan
hadiah.
Salah satu yang dijelaskan dalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002
Tentang Peradilan Syariat Islam tersebut adalah hak langgeh (syuf’ah) yang masuk
dalam bahagian muamalah. Apa yang disebut denganhak langgeh (syuf’ah) tersebut
sangat erat kaitannya dengan transaksi tanah. Transaksi tanah adalah suatu
persetujuan jual beli (dalam perdagangan antara dua pihak yang dalam bidang hukum
adat sering berlaku berkaitan dengan tanah. Jadi transaksi tanah yaitu sejenis
perjanjian timbal balik yang bersifat nyata di lapangan hukum kekayaan sebagai salah
satu bentuk perbuatan tunai yang berobjek tanah.10
10 Badruzzaman Ismail, Asas-asas Hukum Adat Sebagai Pengantar, (Banda Aceh: Majelis
Hak langgeh (syuf’ah) merupakan persyaratan yang harus di laksanakan
sebelum seseorang/badan hukum melaksanakan proses transaksi jual beli tanah selain
persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah. Hal tersebut dikarenakan hak langgeh (syuf’ah) tersebut telah
hidup dan berkembang didalam hukum adat masyarakat Aceh. Namun pada
prakteknya banyak masyarakat di Kota Langsa tidak memperdulikan adanya norma
tentanghak langgeh (syuf’ah) tersebut sehingga seringnya terjadi sengketa dalam hal
jual beli tanah dan menimbulkan kerugian bagi penjual, pembeli maupun Pejabat
Pembuat Akta Tanah sekalipun.11
Dalam kehidupan manusia selaku makhluk sosial, keberadaan tanah tidak
akan terlepas dari segala perilaku manusia itu sendiri, sebab tanah dapat dijadikan
lahan bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan proses kehidupannya. Oleh
karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat bukan hanya
sebagai lahan untuk kehidupan tetapi lebih dari pada itu manfaatnya yaitu sebagai
tempat mempertahankan hidup dan melambangkan marwah (martabat) bagi
masyarakat Aceh, sehingga sering terjadi sengketa di antara sesama masyarakat,
terutama yang menyangkut tanah. Terlebih dalam kaitannya dengan muamalah
terutama dalam hal transaksi jual beli, untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang
mengatur hubungan antara satu pribadi dengan yang lainnya.12
11Wawancara dengan T. Khairul Azhar (Geuchik Gampong Blang, Kecamatan Langsa Kota)
pada tanggal 17 Januari 2014.
12Wawancara dengan Drs. H. Ibrahim Daud (Ketua Majelis Adat Aceh, Kota Langsa), pada
Sengketa tentang transaksi tanah yang berkaitan tentanghak langgeh (syuf’ah)
rawan menyebabkan terjadinya konflik antara pemilik tanah tetangga, keluarga dan
teman sekongsi, karena biasanya dari ketiga unsur pembeli tersebut mereka juga ingin
memiliki tanah yang akan dijual guna untuk menggabungkan tanah yang berbatasan
maupun dengan alasan lain. Maka untuk menyelesaikan kasus yang akan terjadi
masyarakat bisa memilih untuk beracara pada peradilan adat gampong, maupun
Mahkamah Syar’iah Kota Langsa.
Apabila berbicara tentang jual beli maka didalamnya juga pasti menyinggung
tentang apa yang disebut dengan akad. Akad yaitu perikatan, perjanjian dan
pemufakatan. Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan
menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek
perikatan.13
Berdasarkan uraian tersebut dapat di ketahui bahwa akad merupakan sesuatu
yang wajib dan harus dilaksanakan pada saat seseorang atau suatu badan hukum akan
melaksanakan transaksi jual beli tanah dan bangunan mereka, tetapi masyarakat di
Kota Langsa belum sepenuhnya melaksanakan hak langgeh (syuf’ah) sebelum
mereka melakukan transaksi jual beli tanah dan bangunannya tersebut padahal hak
langgeh (syuf’ah) ini bertujuan untuk mencegah kemudharatan diantara pihak yang
akan bertransaksi.
13 M. Ali Hasan,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT.
Kehidupan masyarakat di Aceh sangat kaya akan adat dan kebudayaan yang
hingga kini masih dan terus dijunjung tinggi dalam interaksi hubungan kehidupan
masyarakatnya. Hal tersebut tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh, yang
menyebutkan tentang sumber atau unsur penghidupan, yaitu :ie, apui, angen, tanoh
(air, api, angin, tanah). Demikian, pentingnya tanah bagi kehidupan manusia maka
timbullah berbagai hak dan kewajiban atas tanah.
Hak Langgeh menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Maret 1977
nomor 298 K/Sip./1973 adalah hak dalam hukum adat yang memberikan prioritas /
hak didahulukan dari orang lain untuk membeli tanah, hak mana diberikan kepada
tiga unsur masyarakat yaitu sanak saudara, sesama anggota masyarakat dan pemilik
tanah tetangga. Dalam lingkungan hukum adat Aceh, apabila peralihan hak tidak
dilakukan menurut tata urutan penawaran berdasarkan hak terdahulu maka pihak
yang dirugikan dapat menggugat pembatalan keabsahan jual beli tersebut kepada
Peradilan Gampong dan Mukim dan atau Pengadilan. Hak menuntut keabsahan jual
beli karena melanggar hak terdahulu disebut “hak langgeh” (hak menyanggah).14
Hukum Islam juga mengenal apa yang di atur seperti hak langgeh tersebut, yaitu hak syuf’ah. Asy-Syuf’ah berasal dari kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu (menggabungkan), hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman jahiliyah, seseorang yang akan menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, partner (mitra usaha) dan sahabat untuk meminta Syuf’ah (penggabungan) dari apa yang dijual. Kemudian ia menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagaiSyafi’.15
14Ilyas Ismail, Konsepsi Hak Garap Atas Tanah, (Bandung: Citapustaka Media Perintis,
2011), hal. 107
Sedangkan menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh
Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada
pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.16 Berbeda
dengan para ulama menafsirkanal-syuf’ah adalah sebagai berikut :
1. Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri17bahwa yang dimaksud dengan al-syuf’ah
ialah : “Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu
atassyarikyang baru disebabkan adanyasyirkahdengan penggantian (i’wadh)
yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan.”
2. Menurut Sayyid sabiq, al-syuf’ah ialah pemilikan benda-benda syuf’ah oleh
syafi’isebagai pengganti dan pembeli dengan membayar harga barang kepada
pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.18
3. Menurut Idris ahmad,19Al-syuf’ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi
syarikat lama atas syarikat baru dengan jalan ganti kerugian pada benda yang
menjadi milik bersama.
Setelah diketahui ta’rif-ta’rif (definisi-definisi) yang dikemukakan oleh para
ulama beserta contohnya, kiranya dapat dipahami bahwa al-syuf’ah ialah pemilikan
oleh seorang syar’iq dan dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan
terhadap bendasyirkah.
16Ibid. hal. 45
17Syaikh Ibrahim al-Bajuri,al-Bajuri, (Usaha Keluarga: Semarang), hal.15 18Ibid. hal. 15
Dari doktrin para ulama-ulama tersebut dapat di analisis bahwa as-syuf’ah
adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain
supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan
(syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang
diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik
secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang
sudah dilakukan.20
Selaras dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ashab al-Sunnah dari Jabir ra
bahwa Nabi SAW bersabda, yang artrinya: “Tetangga adalah yang paling berhak
mendapatkanSyuf’ahmilik tetangganya, ia boleh menunggu tetangganya jika ia tidak
ada di tempat, apabila memang jalannya (di mana milik mereka berada) satu”.21
Menurut penelitian khususnya di daerah penelitian tesis ini, berdasarkan
sampel hampir seluruh masyarakat di Kota Langsa paham akan adanya norma tentang
hak langgeh (syuf’ah)tersebut, namun mereka kurang atau hampir tidak menerapkan
hak langgeh (syuf’ah) tersebut karena menurut mereka hak langgeh (syuf’ah)
merupakan sekedar sesuatu hal yang tidak mempunyai kekuatan hukum padahalhak
langgeh (syuf’ah)diatur dan telah menjadi kebiasaan dalam hukum adat Aceh, yang
aturannya menganut seperti azas yang terdapat dalam hukum adat pada umumnya.
Aturan tersebut tidak tertulis dan di wariskan secara turun temurun dari nenek
moyang hingga sekarang. Penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) juga telah
diatur dan merupakan wewenang mengadili Mahkamah Syar’iah.
20Helmi Karim,Fiqh Muamalah, Rajawali Press, 1993, hal. 96
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut
mengenai bagaimana eksistensi hak langgeh (syuf’ah)dalam adat masyarakat Aceh,
yang akan dituangkan dalam judul tesis “KAJIAN YURIDIS HAK LANGGEH
(SYUF’AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimana keberadaanhak langgeh (syuf’ah)dalam masyarakat Aceh di Kota
Langsa?
2. Bagaimana menyelesaikan sengketa hak langgeh (syuf’ah) masyarakat Aceh
di Kota Langsa?
3. Bagaimana efektivitas penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) dengan
cara adat pada masyarakat Aceh di Kota Langsa?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, adapun tujuan yang
ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui keberadaanhak langgeh (syuf’ah) dalam masyarakat Aceh
di Kota Langsa.
2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf’ah) masyarakat
Aceh di Kota Langsa.
3. Untuk mengetahui keefektifan penyelesaian terhadap sengketa hak langgeh
D. Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang
hendak dicapai bersama, Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik
secara teoritis dan praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi akademisi dan untuk pengembangan wawasan
dan kajian tentang hak langgeh untuk dapat menjadi bahan perbandingan bagi
penelitian lanjutan.
b. Memperkaya khasanah perpustakaan hukum khususnya di bidang Hukum
Adat berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat memberikan masukan bagi para
praktisi maupun memberikan pengetahuan hukum kepada masyarakat mengenai
pemahaman dan penerapan hak langgeh (syuf’ah) dalam adat masyarakat Aceh
khususnya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang ada di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di Program Magister Kenotariatan
dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian
sebelumnya yang berjudul tentang “Kajian Yuridis Hak Langgeh (Syuf’ah) Dalam
Adat Masyarakat Aceh Di Kota Langsa”, dan tidak ada satu pun penelitian yang
Oleh karenanya maka penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis
lakukan ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa
memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi
baik peneliti atau akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposisi-proposisi yang
telah diuji kebenarannya, berpedoman pada teori maka akan dapat menjelaskan,
aneka macam gejala sosial yang dihadapi, walau hal ini tidak selalu berarti adanya
pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, suatu teori juga mungkin memberikan
pengarahan pada aktivitas penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf
pemahaman tertentu.22
Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena
memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah
yang kita bicarakan secara lebih baik.23
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik
atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya
pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.24
22Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), hal. 6 23Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006 ,hal. 259 24J.J.J.M.Wuisman, penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,
Menurut J.J.H Bruggink, Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang
saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka
teori hukum dapat ditentukan dengan lebih lanjut sebagai suatu keseluruhan
pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum, dengan
itu harus cukup mengurai tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus
mengarahkan diri kepada unsur hukum.25
Tolak ukur menganalisis permasalahan yang akan diteliti karena suatu teori
atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal
sebagai berikut:26
a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan
fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.
b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan konsep-konsep.
c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah
diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang telah diteliti.
d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena
telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin
faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.
e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada
pengetahuan penelitian.
25J.J.H Bruggink,Refleksi tentang hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999), hal. 2
Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir,
pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan
perbandingan pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya.27
Sedangkan tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana
mengorganisasikan dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu.28
Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis
yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah merujuk pada 2 (dua) teori
yaitu : Teori Uruf dan Teori Maqashid Al-Syari’ah yang akan digunakan sebagai
pisau analisis dalam pembahasan penelitian ini.
1) TeoriUruf
Katauruf, yang sering diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti adat,
diambil dari akar kata yang sama dengan makruf lawan mungkar, karena itu uruf
berarti sesuatu yang baik.29 Secara terminologi, kata uruf ini didefinisikan dengan
kebiasaan mayoritas ummat dalam penilaian suatu perkataan atau perbuatan.Urufini
merupakan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syarak.30
27M.Solly Lubis,Filsafat Imu Dan Penelitian, (Medan: PT.Sofmedia, 2012), hal. 129 28Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hal.19
29Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 117.
Dengan demikian, adat dalam pengertian umum ialah segala sesuatu yang
dibiasakan oleh rakyat umum atau golongan. Adat kebiasaan memainkan peran
penting dalam sejarah perkembangan dan kebangkitan manusia, baik dalam kehiduan
sosial maupun dalam aspek-aspek kebudayaan lainnya. Peranannya di dalam hal
tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor sebab yang pokok, yaitu faktor iklim dan
semangat kebangsaan.31 Kebiasaan semakin tambah kuat kedudukannya dengan
perantaraan tradisionil32 yang mengopernya sampai menjadi kepastian di dalam
kehidupan bangsa.
Berdasarkan pengertian di atas, Mustafa Ahmad al-Zarqa, Ahli Fiqih di
Universitas Amman Jordania, mengatakan bahwa uruf merupakan bagian dari adat,
karena adat lebih umum dari uruf. Suatu uruf menurutnya harus berlaku pada
kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan
uruf muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas
masyarakat pada daerah tertentu dalam menetapkan keperluan rumah tangga yang
diambilkan dari mahar yang diberikan suami, atau penentuan ukuran tertentu dalam
penjualan makanan.33
Adat dan kebiasaan dapat dikatakan memiliki arti yang sama, Menurut
definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Naja di dalam syarh al-Mughni adalah suatu
31Kitab Montesqoieu De L Esprit des lois, v. 1, kitab 14; Kitab Curs usder Instionen, 1893,
Leipzig (dalam bagian muqaddimah) karangan puchta, dan Kitab savign system des heutegen Romischen Rechts. Dinukil dari; Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam islam, (Bandung: PT Ma’arif, 1981), hal. 191
32 Lihat: kitab Les Lois de L’imitation, karangan Tarde. Dinukil dari; Subhi Mahmassani,
Filsafat Hukum Dalam islam, (Bandung: PT Ma’arif, 1981), hal. 191
pengertian dari yang ada dalam jiwa orang-orang berupa perkara yang berulang-ulang
kali terjadi yang dapat diterima oleh tabiat yang waras.34
Dalil untuk berlakunya hukum adat ini didalam perkara-perkara Syari’ah
adalah Ijmak ahli-ahli Fiqih yang diambil dari yurisprudensi Peradilan Islam. Tentang
masalah ini ada ungkapan yaitu :
“apa yang menurut pendapat umat islam baik, maka baik pula sisi Allah
SWT” & Syuraih Al-Qadhi pada zaman Umar Bin Khattab pernah berkata
kepada tukang-tukang pintal yaitu : “kebiasaanmu sekalian diantara kamu”.35
2) TeoriMaqashid Al-Syari’ah
Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua suku kata, maqashid yang merupakan
bentuk jamak dari kata maqshad yang berarti tujuan36, dan kata al-syari’ah yang
sering dipahami dalam arti hukum Islam. Jadi istilah Maqashid al-Syari’ah berarti
tujuan-tujuan syari’at.37
Teori ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi, yaitu
tujuan utama hukum adalah Maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia, tidak
satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan hukum, yang tidak mempunyai
tujuan sama dengan membebankan suatu yang tidak dapat dilaksanakan,
Hukum-hukum Allah dalam Al Qur’an mengandung kemaslahatan.38 Hukum bergantung
34Jalaluddin As-Suyuthi,Al-Asybah wa An-Nazha’ir,(Beirut: Daar al-Turats al-Islami, 2001),
hal. 37
35Ibid. hal. 124
36Al-Fayyumi,Al-Mishbah al-Muniir, (Kairo: Muassasah al-Mukhtar, 2008), hal. 374. 37Al-Ghazali,Al-Mushtashfa, (Beirut: Daar Ihya Turats al-Arabi, 1997), jilid 2 hal. 481. 38Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah, (Jakarta: Disertasi Pascasarjana IAIN
kepada kemaslahatan, dimana ada kemaslahatan disitu ada hukum, dan kemaslahatan
umum lebih utama dari kemaslahatan kelompok atau individu.
Dalam ilmu ushul fiqih, bahasan maqashid al-Syari’ah bertujuan untuk
mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam
mensyari’atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam
menatap hukum Islam yang ditetapkan melalui ijtihad.39
Ulama ushul Fiqih sepakat menyatakan bahwa pada setiap hukum itu
terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah s.w.t., baik kemaslahatan itu bersifat
duniawi maupun ukhrawi.40 Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama ushul
Fiqh dalam menetapkan bahwa di setiap hukum Islam itu terdapat tujuan yang hendak
dicapai oleh syarak, yaitu kemaslahatan umat manusia. Firman Allah yang artinya:
“Mereka rasul-rasul Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah
diutusnya rasul-rasul” (QS. An-Nisa’: 165).
Kandungan ayat ini menurut ulama ushul Fiqh, menunjukkan bahwa Allah
SWT. dalam menentukan hukum-hukum Nya senantiasa menghendaki sesuatu yang
bermanfaat bagi manusia, sehingga apabila hal tersebut tidak diusahakan manusia,
maka ia akan merugi. Inilah makna yang terkandung di balik diutusnya para Rasul
bagi manusia.
39Al-Youbi, Maqashid al-syari’ah w alaqatuha bi al-adillah al-Syar’iyyah, (Riyadh: Daar Ibn
al-Jauzi, 2008), hal. 44
40Al-Syatibi, Al-Muwafaqaat Fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2007,
2. Konsepsi
Konsepsi adalah pemahaman yang terbangun dalam akal dan pikiran peneliti
untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep
diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal
yang khusus yang disebut definisi operasional.41 Oleh karena itu, untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian ini haruslah didefinisikan beberapa konsep dasar, agar
secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan
yang telah ditentukan. Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping
yang lainnya, seperti asas dan standar. Oleh sebab itu kebutuhan untuk membentuk
konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum.
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal yang berbentuk khusus.42
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi
dengan realitas.43
“Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakn terutama dalam judul
penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan
pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun
peneliti sendiri didalam menangani proses penelitian dimaksud.”44
41
Samadi Suryabrata,Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 3
42
Ibid.Hal. 4
43
Masri Singaribun dkk,Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34
44Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT.RajaGrafindo
Konsepsi ini bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran
terhadap istilah-istilah yag digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu dalam
penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau istilah, agar di dalam
pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, yaitu :
1. Kajian Yuridis adalah penyelidikan, penjabaran sekaligus pemecahan secara
hukum terhadap suatu peristiwa atau permasalahan yang timbul untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya.
2. Hak Langgehadalah hak dalam hukum adat yang memberikan prioritas / hak
didahulukan dari orang lain untuk membeli tanah, hak mana diberikan kepada
tiga unsur masyarakat yaitu sanak saudara, sesama anggota masyarakat dan
pemilik tanah tetangga.45
3. Syuf’ah adalah penggabungan, yakni penggabungan secara paksa atas suatu
hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang
lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah,
syuf’ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak
yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang
membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan.46
4. Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa,
merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan
dari abad ke abad.47
5. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang anggotanya berasal dari suku Aceh
di Kota Langsa.
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam
pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang
dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian
dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud
berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu
sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu
kerangka tertentu.48
Dalam setiap penelitian pada hakikatnya mempunyai metode penelitian
masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan
penelitian.49 Kata metode berasal dari bahasa Yunani “Methodos” yang berarti cara
47Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: CV. Haji
Masagung 1988), hal. 13
48Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji,Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Radja Grafindo
Persada, 2001), hal. 42.
49Jujun Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara
kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.50
a. Sifat Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah bersifat
deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh
gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis. Penelitian ini berusaha
memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan
atau gejala yang diteliti. Suatu penelitian deskriptif menekankan pada
penemuan fakta-fakta yang digambarkan sebagaimana keadaan yang
sebenarnya, dan selanjutnya data maupun fakta diolah dan ditafsirkan.
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang objek yang diteliti, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.
Penelitian ini bersifat deskriptif karena dengan penelitian ini diharapkan akan
diperoleh suatu gambaran yang bersifat menyeluruh dan sistematis, kemudian
dilakukan suatu analisis terhadap data yang diperoleh dan pada akhirnya
didapat pemecahan masalah.
b. Metode Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu suatu
penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian
dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup dan berkembang di
tengah-50Koentjaningrat,Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
tengah masyarakat. Data atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh
langsung dari para responden melalui penelitian lapangan (field research)
yaitu masyarakat Aceh di Kota Langsa.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Langsa, Provinsi Aceh. Dikarenakan luasnya
wilayah di Kota Langsa tersebut maka dipilihlah 3 (tiga) kecamatan sebagai sampel
yaitu:
a. Kecamatan Langsa Kota
b. Kecamatan Langsa Barat
c. Kecamatan Langsa Lama
Adapun alasan dipilihnya 3 (tiga) kecamatan ini menurut pengamatan
sementara di ketiga kecamatan tersebut masyarakatnya ada yang menggunakan hak
langgeh (hak syuf’ah)dalam praktek jual beli tanahnya.
3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam melakukan penelitian ini yaitu kepala keluarga di Kota Langsa
yang pernah melakukan praktek jual beli tanah, baik sebagai penjual maupun sebagai
pembeli. Maka dalam penelitian ini diambil 3 (tiga) kecamatan yang masing-masing
kecamatan diambil 10 (sepuluh) orang, jadi jumlah semua adalah 30 (tiga puluh)
orang sebagai sampel, dengan syarat orang-orang yang dipilih sebagai sampel adalah
Untuk Kelengkapan data dalam penelitian ini, maka dilakukan juga
wawancara dengan narasumber/informan lainnya sebagai tambahan data yaitu:
a. Majelis Adat Aceh (MAA)
b. Satu orang Hakim Mahkamah Syar’iah Kota Langsa
c. Dinas Syariat Islam Kota Langsa
d. Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Langsa
e. Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Langsa
f. Tiga orang Geuchik
g. Satu orang Tuha Peuet
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan untuk
memperoleh data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut :
a. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian
lapangan (field research). Penelitian lapangan ini dilakukan dengan cara
mengajukan pertanyaan langsung kepada responden. Sifat interview adalah
bebas terpimpin. Dalam melakukan penelitian dimungkinkan tidak hanya
menggunakan pertanyaan yang disediakan secara tertulis dalam bentuk daftar
pertayaan, tetapi dapat dilakukan pengembangan pertanyaan sepanjang tidak
menyimpang dari permasalahan.
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan
dilapangan. Melalui studi kepustakaan ini diusahakan pengumpulan data
melalui mempelajari buku-buku, majalah, surat kabar, artikel dan internet
serta referensi lain yang berkaitan dan berhubungan dengan penelitian ini.
Data sekunder dalam penelitian ini mencakup :
1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai
kekuatan hukum mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang
antara lain dari :
a. Hadist;
b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;
c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah;
d. Qanun yang terkait;
e. Ijma’ Para Ulama;
f. Yurisprudensi;
g. Fatwa Ulama dan Pengetua Adat;
2) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian, hasil karya
ilmiah para sarjana, artikel-artikel, internet, buku-buku yang berhubungan
erat dengan pokok permasalahan yang akan diteliti.
3) Bahan Hukum Tersier yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Kamus Bahasa Belanda, Kamus
Bahasa Arab dan Ensiklopedi Hukum Islam.
5. Alat Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya
serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini
diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara
sebagai berikut:
Studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan
membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder
yang berkaitan dengan materi penelitian. Sehingga untuk mengumpulkan data
sekunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan yang diajukan. Data ini
diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen
perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hak langgeh (syuf’ah) menurut
hukum adat.
Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan dan
responden yang telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap
muka), yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya
agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya kebenaran yang
konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan.
6. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
merupakan penelaahan dan penguraian data, sehingga data tersebut dapat diberi arti
dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Data
sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara urut dan sistematis, untuk
selanjutnya dianalisis menggunakan metode kualitatif yaitu dengan penguraian
deskriptis analitis dan preskriptif51, yang dilakukan untuk memperoleh gambaran
tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yakni
cara berfikir yang dimulai dari hal umum, untuk selanjutnya menarik hal-hal yang
khusus sebagai kesimpulan dan disajikan dalam bentuk preskriptif.
Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang
terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, informasi
media cetak, dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya yang berkaitan dengan judul
penelitian untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian data sekunder dianalisis
dengan penelitian secara kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat
menjawab segala permasalahan hukum dalam penelitian tesis ini. Hal ini tentu saja
bertujuan agar lebih memahami secara lebih mendalam mengenai masalah yang akan
dibahas pada penulisan ini.
BAB II
KEBERADAAN HAK LANGGEH (SYUF’AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Hak Langgeh (Syuf’ah)
Agama Islam lahir untuk menjadi “penyelamat” dunia sebagai Rahmat dari
Allah SWT, oleh karenanya setiap ajaran Islam memiliki nilai kebenaran yang tidak
diragukan lagi. Ajaran Islam yang di bawa Rasulullah SAW untuk menciptakan
perdamaian di bumi sehingga umat manusia dan seluruh makhluk Allah dapat hidup
sejahtera. Islam dengan pengertian epistimologi memiliki makna penyerahan diri,
pasrah, patuh dan tunduk kepada kehendak Allah, ia adalah agama yang membawa
kemaslahatan bagi pemeluknya baik di dunia maupun di akhirat.
Propinsi Aceh merupakan Propinsi di Indonesia yang diberikan kekhususan
oleh Pemerintah pusat untuk dapat melaksanakan syariat Islam, hal ini terwujud,
yakni melalui penetapan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Oleh karenanya
peraturan yang bersifat khusus banyak diadopsi dari hukum Islam, seperti hukum adat
di Aceh misalnya. Pada prinsipnya hukum adat Aceh bersumber pada syariat-syariat
yang berasal dari Kitabullah dan adat Aceh sesuai dengan syariat islam, hanya
beberapa aspek kecil saja yang diperlukan pengubahan. Adat Aceh merupakan
hukum, aturan tata tertib yang telah atau sudah diketahui oleh masyarakat secara
turun-menurun. Hal ini terpatri dalam adagium “Hukom ngon Adat lagee Zat ngon