TESIS
Oleh
RIFQAH SESARINA
117011010/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
RIFQAH SESARINA
117011010/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 117011010
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)(Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum
3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : RIFQAH SESARINA
Nim : 117011010
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Pemerintahan Aceh, disebutkan bahwa penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat termasuk dalam hal ini penyelesaian sengketa pembagian warisan yang dapat melibatkan lembaga adat Aceh di tingkat gampong. Penelitian menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan atau memaparkan sekaligus menganalisis tentang Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan di Kota Banda Aceh.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa alasan masyarakat Kota Banda Aceh memilih lembaga adat Aceh sebagai tempat menyelesaikan sengketa pembagian warisan adalah karena penyelesaian melalui musyawarah di tingkatgampongbersifat sukarela dalam prosesnya, prosedur yang tepat sasaran, keputusan bukan layaknya putusan lembaga peradilan (menang atau kalah) karena keputusan yang diambil merupakan kesepakatan bersama dan saling menguntungkan, prosedur rahasia (confidentiality), fleksibilitas dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah, hemat waktu, hemat biaya, pemeliharaan hubungan, tinggi kemungkinan untuk melaksanakan kesepakatan, kontrol dan lebih mudah memperkirakan hasil dan keputusan bertahan sepanjang waktu. Mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan oleh lembaga adat Aceh di Kota Banda Aceh dilakukan melalui suatu proses yang melibatkan lembaga adat Gampong dalam hal ini keuchik dan aparatur gampong lainnya guna memutuskan dengan adil perselisihan dan mengakhiri sengketa dengan suatu kesepakatan damai. Pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam penyelesaian sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh dalam praktik pelaksanaannya dalam masyarakat diakui sebagaimana layaknya sebuah putusan hakim sehingga berlaku serta mengikat para pihak yang bersengketa dalam hal ini para ahli waris yang semula bersengketa. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat adat mengakui eksistensi putusan suatu lembaga adat walaupun terkadang kesepakatan yang dibuat tersebut tidak dalam bentuk tertulis dan hanya berupa pernyataan sikap atau ijab kabul antara para pihak yang bersengketa.
Disarankan kepada masyarakat Kota Banda Aceh agar tetap mempertahankan menyelesaikan perselisihan pembagian warisan secara damai melalui lembaga adat karena sesuai dengan mekanisme yang dianjurkan dalam syara Islam. Kepada lembaga adat yang terlibat dalam penyelesaian perselisihan pembagian warisan, diharapkan untuk dapat membuka pola pikir para pihak mengenai upaya damai dan berbagai aspek hukumnya serta ruang lingkupnya khususnya dalam penyelesaian perselisihan dan sengketa di tingkat gampong, sehingga apabila timbul sengketa dapat memberikan sumbang pikiran dan mencari jalan terbaik dalam hal penyelesaiannya. Disarankan kepada keuchik agar terhadap penyelesaian yang melibatkannya juga diupayakan memberikan pengertian kepada masyarakat agar juga membuatkan dalam bentuk tertulis sehingga dapat menjadi alat bukti di kemudian hari di samping juga mengupayakan pencatatan sampai ke tingkat kecamatan mengenai penyelesaian sengketa yang dilakukan.
adat body. In this case, the resolution of the dispute in the distribution of inheritance can involve Aceh Adat Body in the level of gampong (village).
The research used descriptive analytic approach which explains or describes, as well as analyzes the Ruling of Aceh Adat Body in the Resolution of the Dispute in the Distribution of Inheritance in Banda Aceh.The result of the research showed that the reason of the Aceh community in Bandah to have Aceh Adat Body as the place where they can settle the dispute in the distribution of inheritance because the resolution through negotiation in the level of gampong voluntarily in its process, on target procedure, the decision is not like the ruling of the Court (win or lose) because it is made by mutual agreement and in win-win solution, confidentiality, flexibility in designing the requirements for the resolution, time saving, cost saving, relationship keeping, high possibility for implementing the agreement, control and easier to predict the outcome, and the decision lasts forever. The mechanism of the resolution of the dispute in the distribution of inheritance by Adat Body in Banda Aceh is done through a process which involves the Gampong Adat Body such as keucik and other Gampong apparatus in order to settle the dispute fairly and stop the dispute in a peaceful agreement. In practice, the implementation of the decision of Aceh Adat Body in settling the dispute in distributing inheritance in Banda Aceh is regarded as a judge’s verdict which is prevailing and binding the parties or the heirs who are in dispute. This indicates that the adat community recognizes the existence of the ruling which made orally and is only the statement of point of view or agreement between both parties.
It is recommended that the people in Banda Aceh should maintain the resolution of the dispute in the distribution of inheritance peacefully through adat body since it is in line with the mechanism suggested by the Islamic law. The adat body should which is involved in settling the dispute should open the thinking pattern the parties concerned about peaceful effort, various legal aspects, and its scope, particularly in settling the dispute in the level of gampong so that when the dispute occurs, they can give ideas and find the best solution. It is also recommended that keucik should give information to the community in the written form so that it can be written evidence in the future and the recording about the resolution of the dispute up to the level of sub-district.
Puji dan Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan
berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS
PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH”. Penulisan
tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat
terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Bapak Prof. H. M.
Hasballah Thaib, MA, Ph.D. dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H.,
M.Hum. selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan
bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan
dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar
hasil sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan
terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister
Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang
telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat
selama Penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis selama
menjalani pendidikan.
7. Ketua Majelis Adat Aceh dan Kota Banda Aceh beserta staf dan seluruh
responden dan informan yang telah banyak membantu dalam hal pengambilan
data dan informasi-informasi penting lainnya yang berkenaan dengan penulisan
banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada
motivator terbesar dalam hidup Penulis yang selalu memberikan cinta, kasih sayang,
dukungan dan doa yang tak putus-putusnya Ayahanda dan Ibunda serta
Saudara-saudariku yang telah memberikan semangat dan doa kepada Penulis disamping telah
menjadi inspirasi dan memberikan semangat sehingga menjadi motivasi warna
tersendiri dalam kehidupan dan juga dalam penyelesaian tesis pada di Program Studi
Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun
besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariaan
pada khususnya. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada
kita semua.Amien Ya Rabbal ‘Alamin
Medan, Agustus 2013 Penulis,
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Rifqah Sesarina
Tempat/Tgl. Lahir : Banda Aceh/4 September 1989
Status : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Komp. Pola Permai No. 85 Lamhasan Aceh Besar
II. KELUARGA
Ayah : Makmur, SH., M.Hum
Ibu : Raudhah, S.Pd
Adik : Reza Juanda
Riva Desriana
III. PENDIDIKAN
SDN 1 Banda Aceh : 1995-2001
SMPN 1 Banda Aceh : 2001-2004
SMAN 4 Banda Aceh : 2004-2007
S-1 Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh : 2007-2011
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 13
G. Metode Penelitian ... 28
BAB II LEMBAGA ADAT ACEH SEBAGAI TEMPAT MENYELESAIKAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN ... 34
A. Pengertian Adat dan Masyarakat Adat ... 34
B. Warisan dan Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat ... 43
C. Sengketa Warisan dalam Masyarakat Hukum Adat... 58
D. Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Sengketa dalam Masyarakat Adat Aceh ... 67
E. Alasan Masyarakat Adat Aceh Memilih Lembaga Adat Aceh Sebagai Tempat Penyelesaian Sengketa Warisan ... 73
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN OLEH LEMBAGA ADAT ACEH DI KOTA BANDA ACEH . 83 A. Sengketa dan Penyelesaian Sengketa Warisan ... 83
DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN
WARISAN DI KOTA BANDA ACEH ... 107
A. Pengertian Putusan dan Putusan Lembaga Adat ... 107
B. Pengambilan Putusan oleh Lembaga Adat Dalam Penyelesaian Sengketa Warisan ... 114
C. Analisis Terhadap Pelaksanaan Putusan Lembaga Adat Aceh Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Warisan Di Kota Banda Aceh ... 124
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 132
A. Kesimpulan ... 132
B. Saran ... 133
DAFTAR PUSTAKA... 135
adat body. In this case, the resolution of the dispute in the distribution of inheritance can involve Aceh Adat Body in the level of gampong (village).
The research used descriptive analytic approach which explains or describes, as well as analyzes the Ruling of Aceh Adat Body in the Resolution of the Dispute in the Distribution of Inheritance in Banda Aceh.The result of the research showed that the reason of the Aceh community in Bandah to have Aceh Adat Body as the place where they can settle the dispute in the distribution of inheritance because the resolution through negotiation in the level of gampong voluntarily in its process, on target procedure, the decision is not like the ruling of the Court (win or lose) because it is made by mutual agreement and in win-win solution, confidentiality, flexibility in designing the requirements for the resolution, time saving, cost saving, relationship keeping, high possibility for implementing the agreement, control and easier to predict the outcome, and the decision lasts forever. The mechanism of the resolution of the dispute in the distribution of inheritance by Adat Body in Banda Aceh is done through a process which involves the Gampong Adat Body such as keucik and other Gampong apparatus in order to settle the dispute fairly and stop the dispute in a peaceful agreement. In practice, the implementation of the decision of Aceh Adat Body in settling the dispute in distributing inheritance in Banda Aceh is regarded as a judge’s verdict which is prevailing and binding the parties or the heirs who are in dispute. This indicates that the adat community recognizes the existence of the ruling which made orally and is only the statement of point of view or agreement between both parties.
It is recommended that the people in Banda Aceh should maintain the resolution of the dispute in the distribution of inheritance peacefully through adat body since it is in line with the mechanism suggested by the Islamic law. The adat body should which is involved in settling the dispute should open the thinking pattern the parties concerned about peaceful effort, various legal aspects, and its scope, particularly in settling the dispute in the level of gampong so that when the dispute occurs, they can give ideas and find the best solution. It is also recommended that keucik should give information to the community in the written form so that it can be written evidence in the future and the recording about the resolution of the dispute up to the level of sub-district.
Puji dan Syukur Alhamdulillah kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan
berkat dan karunia-Nya penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS YURIDIS
PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH”. Penulisan
tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis
dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat
terpelajar Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., Bapak Prof. H. M.
Hasballah Thaib, MA, Ph.D. dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H.,
M.Hum. selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan
bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.
Kemudian juga, semua pihak yang telah berkenan memberi masukan
dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak kolokium, seminar
hasil sampai ujian tertutup sehingga penulisan menjadi lebih sempurna dan
terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister
A. Latar Belakang
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap
manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat
hukum yang timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian seseorang
diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban seseorang yang menjadi ahli waris.
Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam Hukum Islam.
Ayat--ayat Al Qur’an mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci : hal ini dapat
dimengerti sebab masalah warisan pasti dialami oleh setiap orang. Sedemikian
pentingnya kedudukan hukum waris Islam dalam hukum Islam dapat disimpulkan
dari hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dan Darru Quthni sebagaimana dikutip Mukhlis
Lubis yang menyatakan bahwa ”Pelajarilah faraidh (hukum waris) dan ajarkanlah
kepada manusia (orang banyak), karena dia (faraidh) adalah setengah ilmu dan dia
(faraidh) mudah dilupakan serta merupakan ilmu yang pertama kali hilang dari
umatku”.1
Hukum waris menurut Pasal 171 (a) Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
“hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan
(tirkah) pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing”.2 Tata cara pembagian harta warisan dalam Islam telah
diatur dengan sebaik-baiknya. Al Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail
hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak
seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun
perempuan telah ada ketentuannya dalam Al Qur’an.
Setelah pewaris meninggal dunia, sebagaimana diatur dalam KHI
membebankan beberapa kewajiban dan tanggung jawab kepada ahli waris. Adapun
kewajiban dan tanggung jawab tersebut diatur dalam Pasal 175 KHI, yang
menentukan bahwa :
(1)Kewajiban sesama ahli waris terhadap ahli waris lainnya adalah : a. Mengurus dan menyelesaikan dampai pemakaman jenazah
b. Menyelesaikan hutang piutang baik pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih hutang
c. Menyelesaikan wasiat pewaris
d. Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak
(2)Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalan.3
Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa selain menyelesaikan ketiga
hal pokok yang berkaitan dengan pewaris, yaitu penyelenggaraan jenazah,
hutang piutang dan wasiat pewaris, pada ayat (1) sub d dinyatakan bahwa ahli waris
juga harus melaksanakan pembagian warisan yang ditinggalkan pewaris kepada para
ahli waris lainnya. Pembagian warisan ini dilakukan kepada seluruh ahli waris yang
berhak dengan mendahulukan kewajiban lain terhadap pewaris. Selanjutnya
mengenai kewajiban pembagian warisan ini Pasal 188 KHI juga menentukan bahwa :
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.
Kewajiban pembagian warisan yang diatur dalam Pasal 188 KHI ini
dilakukan apabila harta warisan pewaris berada dalam kekuasaan salah satu
ahli waris. Dalam Hukum Islam pembagian harta warisan ini dilakukan
dengan didasarkan ketentuan Al Qur’an dan Sunnah Rasul (Hadits). M. Hasballah
Thaib memberikan definisi Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur
segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan kewajiban atas harta,
kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hukum
kewarisan ini juga disebut hukum faraidh yang sumbernya Al Qur’an, Sunnah dan
Ijtihad.4
Al Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang
berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian
masing-masing ahli waris baik itu laki-laki maupun perempuan telah ada
ketentuannya dalam Al Qur’an. Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa,
bahwa ”Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak
dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
(An-Nisa: 7).
Dalam syariat Islam telah ditetapkan bahwa bagian ahli waris laki-laki lebih
banyak dari pada bagian perempuan, yakni ahli waris laki-laki dua kali bagian ahli
waris perempuan. Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT, yang artinya “Allah
mensyari’atkan bagi mu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu
bahagian seorang anak lelaki sama dengan dua orang anak perempuan…(An- Nisa:
11) Allah SWT menjanjikan surga bagi orang-orang yang beriman yang mentaati
ketentuan-Nya dalam pembagian harta warisan dan ancaman siksa bagi mereka yang
mengingkari-Nya.
Ketentuan pembagian warisan tersebut bertujuan positif untuk
menyelamatkan ummat dari perbuatan tercela, yakni mengambil dan memakai harta
benda milik orang lain secara tidak sah atau tidak sesuai dengan ketentuan. Padahal
hukum Islam menghendaki pembagian harta warisan kepada ahli waris sesuai dengan
porsi masing-masing.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya
seseorang, diatur oleh hukum waris. Istilah hukum “waris” sampai saat ini baik para
ahli hukum Indonesia maupun di dalam kepustakaan ilmu hukum Indonesia, belum
terdapat keseragaman pengertian, ada yang menggunakan istilah hukum warisan,
hukum kewarisan dan hukum waris. Dengan kata lain dalam hal pembagian warisan
Adat yang dimaksud disini diartikan sebagai kebiasaan yang menurut asumsi
masyarakat telah terbentuk baik sebelum maupun sesudah adanya masyarakat.5
Istilah hukum adat di kalangan masyarakat umum (awam) sangat jarang dijumpai.
Masyarakat cenderung mempergunakan istilah “adat” saja. Penyebutan ini mengarah
kepada suatu kebiasaan yaitu serangkaian perbuatan yang pada umumnya harus
berlaku pada struktur masyarakat bersangkutan dan merupakan pencerminan dari
kepribadian suatu bangsa.6
Kondisi ini juga terjadi pada masyarakat adat Aceh di Provinsi Aceh, dimana
banyak ditemukan berbagai permasalahan dalam masyarakat diselesaikan melalui
lembaga adat setempat, baik berupa persoalan kecil seperti perkelahian anak,
perselisihan dalam perjanjian termasuk pula perselisihan dalam pembagian warisan.
Dalam hal pembagian warisan ini di Provinsi Aceh salah satu kebiasaan dalam
kehidupan bermasyarakat di Aceh adalah selalu menyelesaikan berbagai persoalan
dan sengketa melalui musyawarah yang melibatkan lembaga-lembaga adat, di mana
pembagian warisan melalui lembaga adat yang bersendikan syariat Islam.
Hal ini terjadi karena masyarakat Aceh yang umumnya menganut agama
Islam memegang teguh prinsip syariah. Agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW merupakan sebuah aturan yang lengkap dan sempurna, yang
mengatur segala aspek kehidupan untuk keselamatan dunia dan akhirat. Salah satu
syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni
pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Harta waris
yaitu segala jenis harta benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik
berupa uang, tanah dan sebagainya.
Pada masyarakat adat Aceh di Provinsi Aceh yang menganut syariat Islam
persoalan pembagian warisan sering dilakukan dengan melibatkan lembaga adat. Hal
ini dilakukan karena kehidupan masyarakat tidak terlepas dari kehidupan adat. Adat
merupakan sumber hukum yang terlebih dahulu diterapkan di Aceh. Meskipun
jarang terdapat hasil peraturan yang tertulis, pelaksanaan adat di Aceh selalu
beriringan dengan prinsip syariat Islam. Dalam masyarakat Aceh berkembang istilah
adat bersendisyara’,syara’bersendi kitabullah. Hal ini menurut Zainuddin diartikan
bahwa :
Pengertiannya yaitu bahwa agama bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits serta adat dirumuskan melalui undang-undang dan reusam negeri yang disusun oleh Sultan dengan bermusyawarah bersama orang-orang besarnya. Apabila agamanya kuat,maka kuat pula adatnya. Begitu juga sebaliknya, apabila adatnya kuat maka kuat pula agamanya.7
Kemudian kesuksesan Sultan Iskandar Muda dalam penerapan sistem politik
pemerintahan, kemasyarakatan, ekonomi, maupun sosial budaya yang kuat, tangguh
serta perannya dalam segala hal termasuk dunia internasional, telah menjadi acuan
sebagai standar rujukan. Ketangguhan pemerintahan Sultan Iskandar Muda saat itu,
karena dilatarbelakangi kemampuannya membangun suatu kultur dan
struktur tatanan masyarakat Aceh menjadi salah satu segmen peradaban manusia
yang terkumpul dalam nilai-nilai filosofi “adat ngon hukom lagei zat ngon
7
sifeut”(adat dan hukum seperti zat dengan sifatnya) yang struktur implementasinya
disimpulkan dalam “Adat bak Po Teumeuruhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun
bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”.8 Kalimat tersebut dapat diartikan
bahwa dalam masyarakat Aceh, adat berasal dari kebiasaan nenek moyang (orang
tua-tua terdahulu), hukum berasal dari syiah kuala/cendekiawan/para ahli hukum,
peraturan bersumber dari penguasa dan perintah bersumber dari para
pemimpin/panglima perang.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa di Provinsi Aceh hukum
agama dan hukum adat memegang peranan penting dalam masyarakat, walaupun
pernah mengalami kevakuman di Aceh pada masa orde baru, maka masyarakat Aceh
menuntut pemerintah agar memberlakukan kembali syari’at Islam di Aceh. Tuntutan
ini disikapi oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan mencetuskan
Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi
Daerah Istimewa Aceh.
Pasal 6 UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan
Provinsi Daerah Istimewa Aceh menentukan bahwa “Daerah dapat menetapkan
berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat
serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam.
Kemudian dalam Pasal 7 UU No. 44 Tahun 1999 juga diatur bahwa “Daerah dapat
membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan
kedudukannya masing-masing di Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan,
Pemukiman, dan Kelurahan/Desa atauGampong.9
Salah satu inti dari undang-undang tersebut adalah penyelenggaraan
kehidupan beragama yang diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi
pemeluknya dalam bermasyarakat. Kemudian dipertegas pula dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, harapan untuk
terlaksananya syari’at Islam lebih besar karena memungkinkan pembentukan
Peradilan Syari’at Islam di Aceh.10
Kemudian dalam Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh ditentukan bahwa :
1) Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota dibidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat.
2) Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat.
Perkembangan pemerintahan Aceh dewasa ini dengan dikeluarkan Peraturan
Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Kehidupan Adat, maka telah ditetapkan sepuluh lembaga adat,
yaitu Imeum Mukim (kepala/pemimpin pemerintahan mukim), Geuchik
(kepala/pemimpin pemerintahan Gampong), Tuha Peuet (empat orang tetua
9Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Nomor 44 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
10Muchlis, Membangun Peradilan Syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam,
Gampong), Tuha Lapan (delapan orang perwakilan gampong), Imeum Meunasah
(Imam Mesjid/Meunasah), Keujruen Blang (pemimpin atau yang dituakan di
kalangan petani), Panglima Laot (pemimpin atau yang dituakan di kalangan
nelayan), Peutua Seneubok (pemimpin atau yang dituakan di kalangan petani
ladang), Haria Peukan (pemimpin atau yang dituakan pedagang pasar, dan
Syahbanda(pemimpin atau yang dituakan di pelabuhan/Bandar).
Kemudian dalam Pasal 98 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terdapat satu lembaga adat lagi
yaitu Majelis Adat Aceh (MAA). Di antara lembaga-lembaga adat yang disebutkan
di atas, geuchik atau keuchik yang setingkat dengan lurah berperan besar sebagai
pengendali sosial masyarakat dalam mengatur setiap kebijakan yang berada dalam
wilayah hukumnya, termasuk di dalamnya kebijakan-kebijakan tentang hukum
syari’at Islam.Geuchik/keuchikdalam menjalankan tugas dan fungsinya dibantu oleh
lembaga-lembaga adat lain yang berkompeten dengan cara musyawarah termasuk
dalam hal ini dalam menyelesaikan sengketa pembagian warisan.
Hasil pengamatan sementara diketahui bahwa pada tingkat gampong (desa),
pelaksanaan penyelesaian sengketa pembagian warisan secara adat biasanya
merupakan tanggung jawabkeuchik(kepalagampong),imuem meunasah(pemimpin
keagamaan di gampong), ulama lokal dan tuha peut (tetua gampong). Kalau terjadi
suatu sengketa, para pemimpin gampong tersebut akan berusaha untuk
menyelesaikan persoalan itu melalui musyawarah atau konsultasi. Dalam proses
mencapai kesepakatan bersama, dimana kedua belah pihak akan mencari jalan keluar
yang dihasilkan lewat perdamaian (mediasi).
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut tertarik untuk menelaah lebih
lanjut mengenai peran dan fungsi lembaga adat dalam pelaksanaan penyelesaian
sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh. Penelaahan ini nantinya akan
dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul “ANALISIS YURIDIS
PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA ACEH.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan beberapa
permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut:
1. Mengapa masyarakat Aceh di Kota Banda Aceh memilih lembaga adat Aceh
sebagai tempat menyelesaikan sengketa pembagian warisan ?
2. Bagaimanakah mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan oleh
lembaga adat Aceh di Kota Banda Aceh ?
3. Bagaimanakah pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam penyelesaian
sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan
1. Untuk mengetahui alasan masyarakat Kota Banda Aceh memilih lembaga
adat Aceh sebagai tempat menyelesaikan sengketa pembagian warisan.
2. Untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan
oleh lembaga adat Aceh di Kota Banda Aceh.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan putusan lembaga adat Aceh dalam
penyelesaian sengketa pembagian warisan di Kota Banda Aceh.
D. Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
pengetahuan hukum pada umumnya, serta perkembangan hukum di bidang
kewarisan dalam hal ini hukum waris adat, yang berhubungan dengan
masalah penyelesaian sengketa dalam pembagian warisan melalui lembaga
adat Aceh.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat,
khususnya kepada masyarakat adat Aceh di Kota Banda Aceh yang
mengalami sengketa pembagian warisan agar dapat lebih mengetahui tentang
mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui lembaga adat
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis
lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di
Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, ditemukan
beberapa beberapa penelitian yang menyangkut lembaga adat dan penyelesaian
sengketa waris diantaranya :
1. Penelitian dengan judul “Efektifitas Putusan Lembaga Adat Aceh dalam
Penyelesaian Sengketa (Studi di LAA tingkat Gampong di Kabupaten Aceh
Besar) oleh Gelora Dee Sarah Nim. 087011047. Penelitian ini walaupun
objek nya juga menyangkut Lembaga Adat Aceh tetapi tidak ditujukan
terhadap penyelesaian sengketa pembangian warisan tetapi hanya
penyelesaian sengketa secara umum.
2. Penelitian dengan judul Pelaksanaan Pembagian Warisan Pada Masyarakat
Adat Minangkabau (Studi Kasus di Kabupaten Agam) oleh Cahaya Masita
Nasution, Nim 047011077. Pada penelitian ini walaupun mengacu pada
pelaksanaan pembagian warisan tetapi objeknya bukan pada Masyarakat Adat
Aceh tetapi ditujukan Pada Masyarakat Adat Minangkabau.
Kedua penelitian sebelumnya tersebut tidak membahas objek yang
sama dengan penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini yang berjudul
“ANALISIS YURIDIS PUTUSAN LEMBAGA ADAT ACEH DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PEMBAGIAN WARISAN DI KOTA BANDA
dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan
penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam sebuah penulisan ilmiah termasuk dalam penulisan karya tulis di
bidang hukum tentunya tidak terlepas dari adanya teori yang dijadi kerangka pikir di
dalam penulisan. Teori yang dimaksud adalah untuk menerangkan atau menjelaskan
mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,11 dan satu teori harus diuji
dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak
benarannya.12 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis.13
Apabila dikaitkan dengan penelitian ini, maka kerangka teori yang digunakan
juga yang berkaitkan dengan masalah hukum waris juga telah ada aturan yang dapat
dipedomani oleh masyarakat sebagai hukum positif, baik menurut hukum perdata,
hukum adat maupun hukum Islam. Salah satunya adalah teori aliran hukum positif
dari Jhon Austin yang mengartikan:
Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap
11M. Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, FE UI, Jakarta, 1996, hlm. 203. 12Ibid.,hlm. 203
sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.14
Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga
digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan
bahwa:
Sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum.15 Hal yang sama juga dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.16
Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi
dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.
Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas
hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.17
Mengenai kewarisan hukum Islam telah menetapkan peraturan-peraturan
mawaris di atas sebaik-baik aturan, terjelas dan paling adil sebab Islam mengakui
pemilikan seseorang atas harta, baik ia laki-laki atau perempuan melalui jalan yang
dibenarkan syari’at, sebagaimana Islam mengakui berpindahnya sesuatu yang
14Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung
2002, hlm 55.
15Mariam Darus Badrulzaman,Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung,
1983, hlm 15.
16C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
1991, Bandung, hlm. 56.
17Lihat, Satjipto Raharjo,Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 15, menyatakan bahwa
dimiliki oleh seseorang ketika hidupnya kepada ahli warisnya sesudah matinya, baik
ahli waris itu laki-laki atau perempuan, tanpa membedakan antara anak kecil atau
dewasa. Dimana hal ini sama sekali berbeda dengan hukum kewarisan sebelum Islam
yang sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada.18
Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar karena
pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan
bagi keluarga yang ditinggal mati. Warisan adalah soal apa dan bagaimana berbagai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meniggal akan beralih kepada keluarga yang masih hidup.19 Harta benda yang
diberikan oleh Allah kepada umat manusia, di samping berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan pemiliknya dalam upaya mengabdi kepada yang maha pemberi, juga
antara lain untuk mempererat hubungan persaudaraan. Namun kematian seseorang
sering berakibat timbulnya silang sengketa dikalangan ahli waris mengenai harta
peninggalannya. Hal seperi ini sangat mungkin terjadi, bilamana pihak-pihak terkait
tidak konsisten dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Pembagian harta warisan menurut hukum Islam sesuai dengan petunjuk
Al-Qur’an dan hadis, bertujuan positif dan konstruktif untuk menyelamatkan umat Islam
dari perbuatan tercela. Jadi sistem kewarisan menurut hukum Islam secara jelas dan
rinci telah diatur baik mengenai tata cara pembagian dan peralihan harta si pewaris
kepada para ahli waris, harta waris, serta hal-hal yang menghalangi ahli waris untuk
mendapatkan harta warisan dari si pewaris. Tata cara pembagian dan peralihan harta
waris dari si pewaris kepada ahli waris antara lain dengan cara menyerahkan harta
waris tersebut pada ahli waris yang berhak dan ada kalanya dengan jalan wasiat.
Apabila dikaitkan dengan proses pewarisan dapat pula dijelaskan bahwa para
ahli waris yang mempunyai hak waris dari seseorang yang meninggal dunia, baik
yang ditimbulkan melalui hubungan turunan (zunnasbi), hubungan periparan
(asshar), maupun hubungan perwalian (mawali). Hal ini dapat dikelompokkan
menjadi dua golongan, yaitu:
1. Golongan yang hak warisnya mengandung kepastian, berdasarkan ittifaq oleh
para ulama dan sarjana hukum Islam.
2. Golongan yang hak warisnya masih diperselisihkan (ikhtilaf) oleh para
sarjana hukum Islam.20
Berdasarkan dua golongan tersebut diatas, maka golongan ahli waris yang
telah disepakati hak warisnya terdiri atas 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan.
Kelompok Ahli Waris laki-laki adalah sebagai berikut :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya ke bawah 3. Bapak
4. Kakek shaih dan seterusnya keatas 5. Saudara laki-laki sekandung 6. Saudara laki-laki sebapak 7. Saudara laki-laki seibu
8. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung 9. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak. 10. Paman sekandung.
20Suparman Usman, Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, Gaya Media Pratama, Jakarta,
11. Paman sebapak
12. Anak laki-laki paman sekandung 13. Anak laki-laki paman sebapak 14. Suami
15. Orang laki-laki yang memerdekakan budak
Kelompok Ahli waris Perempuan adalah sebagai berikut :
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan pancar laki-laki 3. Ibu
4. Nenek dari pihak bapak dan seterusnya keatas 5. Nenek dari pihak ibu dan seterusnya keatas 6. Saudara perempuan sekandung
7. Saudara perempuan sebapak 8. Saudara perempuan seibu 9. Isteri
10. Orang perempuan yang memerdekakan budak.
Kedua puluh lima ahli waris tersebut sebagian mempunyai bagian (fardh)
tertentu, yakni bagian yang sudah ditentukan kadarnya, mereka disebut ahli waris
ashhabul furudh; sebagian lainnya tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka
menerima sisa pembagian setelah diambil oleh ahli waris ashhabul furudh, mereka
disebut ahli warisashabah.
Golongan ahli waris yang masih diperselisihkan hak warisnya adalah
keluarga terdekat sebelah ibu (dzul arham), yang tidak disebutkan dalam Kitab Allah
(Al-Quran) tentang bagiannya (fardh), ataupun tentang ‘ushbat. Mereka dikenal
dengan sebutan ahli warisdzawil al-arham.
Anak laki-laki berhak menerima warisan dari orang tuanya sebagaimana anak
perempuan juga berhak menerimanya. Misalnya, kandungan Pasal 174 ayat (1) KHI
ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (golongan perempuan) adalah
kelompok ahli waris karena hubungan darah yang sama-sama mewarisi. Dengan
demikian, tidak ada diskriminasi jenis kelamin dalam hukum kewarisan Islam yang
ada dalam KHI. Hal tersebut disebabkan asas-asas yang terkandung dalam Hukum
Kewarisan Islam dalam KHI.21
Ahli waris yang telah disepakati hak warisnya, dapat memperoleh warisan
jika memenuhi syarat warisan, sebagai berikut :
a. Pewaris benar-benar telah meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal; misalnya, orang yang tertawan dalam peperangan dan orang hilang yang telah lama meninggalkan tempat tanpa diketahui hal ihwalnya.
b. Ahli Waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup pada saa pewaris meninggal.
c. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli waris, atau dengan kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan berhak waris.
d. Tidak terdapat penghalang warisan. Penghalang warisan yang dimaksud adalah berbeda agama, membunuh, serta menjadi budak orang lain.22
Lajnah ulama Mesir mengemukakan, seperti halnya waladin dan aqrabin
yang kafir, atau mereka mukmin tetapi terhijab untuk mendapatkan warisan,
misalnyaibnu akhi(anak laki-laki dari saudara laki-laki) karena ada akhun(saudara
laki-laki), atau kalau mereka termasukdzawil arham. Menurut Al-Qurthubi, artinya
: ………… ayat tersebut adalah mahkamah, lahir ayat adalah umum, dan artinya
khusus bagi waladain dan aqrabain yang tidak menerima warisan, seperti keduanya
kafir atau hamba sahaya, dan bagi kerabat yang tidak mendapatkan warisan.23
21M. Hasballah Thaib,Op.Cit., hlm 14 22Ibid.
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa selain pembagian dengan
cara menyerahkan harta waris tersebut pada ahli waris yang berhak pewarisan dapat
juga dilakukan dengan cara perdamaian antara para ahli waris. Hal ini dilakukan
guna menghindari terjadinya sengketa dalam pembagian warisan sebagaimana dalam
masyarakat adat Aceh penyelesaian sengketa dalam pembagian warisan dilakukan
dengan melibatkan lembaga adat Aceh. Kondisi inilah yang menunjukkan
keunggulan hidup masyarakat di gampong (kampung) adalah kebersamaan
menyelesaikan masalah secara musyawarah.
Musyawarah dan mufakat itu sendiri merupakan bagian dari budaya manusia,
sementara kesepakatan yang dilakukan antara anggota masyarakat mengandung
komponen budaya yang disebut budaya hukum. Nilai-nilai budaya mempunyai
kaitan erat dengan hukum karena hukum yang baik adalah hukum yang
mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.24Nilai tidak bersifat kongkrit
melainkan sangat abstrak dan dalam prakteknya bersifat subjektif, agar dapat
berguna maka nilai abstrak dan subjektif itu harus lebih dikongkritkan. Wujud
kongkrit dari nilai adalah dalam bentuk norma. Norma hukum bersifat umum yaitu
berlaku bagi siapa saja.25
Nilai dan norma berkaitan dengan moral dan etika, moral akan tercermin dari
sikap dan tingkah laku seseorang. Pada situasi seperti ini maka sudah memasuki
24Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi,Op.Cit., hlm 80.
25R. Rosjidi Rangga Widjaja,Ilmu Perundang-undangan IndonesiaMandar Maju, Bandung,
wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.26 Sikap
masyarakat yang patuh dan taat pada hukum akan memperlancar penegakan hukum
(law enforcement).27Sikap moral masyarakat yang ada akan melembaga dalam suatu
budaya hukum (legal culture). Sikap kepatuhan terhadap nilai-nilai hukum sangat
mempengaruhi bagi berhasil atau tidaknya penegakan hukum itu sendiri dalam
kehidupan masyarakat.
Lawrence M. Friedmen menyatakan bahwa yang dimaksud dengan budaya
hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, nilai, pemikiran,
serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu
jalannya proses hukum.28 Beliau juga menyatakan bahwa budaya hukum adalah
suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum
digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum tidak
akan berdaya29jika diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
Selain itu, menurut Soerjono Soekanto bahwa faktor sarana atau fasilitas
merupakan faktor yang cukup penting dalam upaya penegakan hukum.
Tanpa adanya sarana dan prasarana yang mendukung, maka tidak mungkin
penegakan hukum dapat berjalan lancar. Hal ini meliputi sumber daya
26Darji Darmodiharjo dan Sidharta,Pokok-Pokok Filsafat Hukum,Cetakan kedua, Gramedia
Pustaka, Jakarta, 1996, hlm. 250.
27Law Enforcementadalah pelaksanaan hukum atau penegakan hukum. Lihat John M. Echols
& Hassan Shadily,Kamus Inggris – Indonesia,Gramedia, Jakarta 1989, hlm. 140.
28Lawrence M. Friedman, American Law an Introduction (Hukum Amerika Sebuah Pengantar), Penerjemah Wishnu Basuki,Second Edition, PT. Tatanusa, Jakarta, 2001, hlm. 8.
manusia yang terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai serta
keuangan yang cukup.30
Penyelesaian sengketa di Indonesia biasanya memiliki pola tersendiri, Ade
Maman Suherman mengutip pendapat Daniel S.Lev. mengatakan bahwa budaya
hukum di Indonesia dalam penyelesaian sengketa mempunyai karakteristik tersendiri
yang disebabkan oleh nilai-nilai tertentu.31 Istilah budaya hukum digunakan untuk
menunjukkan tradisi hukum dalam mengatur kehidupan suatu masyarakat.32 Faktor
penting dalam menyelesaikan sengketa yaitu konsensus antara para pihak yang
bersengketa. Kenyataannya bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian
kewenangan atau otoritas (authority)33secara tidak merata.
Pemikiran di atas dibedakan dengan apa yang dikenal dengan sosiologi
hukum yang tumbuh dan berkembang di Eropa Kontinental dan hukum sebagai
gejala sosial. Perbedaan antara sosiologi hukum dan hukum sebagai gejala sosial di
antara keduanya ialah bahwa kalau “sosiological jurisprudence itu merupakan suatu
mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum
dan masyarakat dan sebaliknya”.34
30Soerjono Soekanto,Op.Cit., hlm. 27
31Ade Maman Suherman,Perbandingan Sistem HukumRajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004,
hlm. 16
32Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra,Op.Cit., hlm. 108.
33Authority menurut Mark Weber yang ia bedakan dari pengertian Power, ia mengartikan authoritysebagai kemungkinan perintah-perintah seseorang di dalam posisi ataukedudukan tertentu diikuti oleh sekelompok orang tertentu. Power bersumber dari dalam kepribadian seseorang, maka
authority bersumber atau melekat di dalam kedudukan orang yang memilikinya. Lihat Ralph Dahrendorf,Case and Class Conflict in Industrial Society,Stanford University Press, Jakarta, 1959, hlm. 162.
Sedangkan sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari
pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauhmana gejala dalam masyarakat itu
dapat mempengaruhi hukum tersebut di samping juga diselidiki, sebaliknya pengaruh
hukum terhadap masyarakat. Dengan demikian, yang terpenting adalah bahwa
“sociological jurisprudence” merupakan cara pendekatan yang bermula dari hukum
ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum”.35
Mashabsociological jurisprudenceini mengetengahkan tentang:
Pentinganya living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, dimana kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari thesenya, yaitu positivisme hukum dan antithesenya mashab sejarah. Dengan demikian, “sociological `jurisprudenceberpegang pada pendapat pentingnya baik akal maupun pengelaman dimanna pandangan ini berasal dari Rescoe Pound yang inti sarinya adalah konsepsi masing-masing aliran yaitu positivisme hukum dan mashab sejarah.36
Berdasarkan uraian di atas, kemudian lahir konsep law as a tool of social
engineering yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara
sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Oleh karena itu,
dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan
pengoptimalan efektifitas hukum pun menjadi salah satu topik bahasan
sosiologi hukum.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pengembangan Ilmu Hukum yang
bercirikan Indonesia tidak saja dilakukan dengan mengoper bagitu saja Ilmu-ilmu
35Soerjono Soekanto,Pokok-pokok Sosiologi, LP3S, Jakarta, 1986, hlm 1-25.
Hukum yang bersal dari luar dan yang dianggap modern, tetapi juga tidak secara
membabi buta mempertahankan yang asli. Keduanya harus berjalan secara selaras.37
Salah satu tuntutan aspirasi yang berkembang dalam era reformasi sekarang
ini adalah reformasi di bidang hukum menuju terwujudnya supremasi sistem hukum
di Indonesia. Sistem hukum yang hendak diwujudkan sistem konstitusi yang
berfungsi sebagai acuan dasar yang efektif dalam proses penyelenggaraan kehidupan
nasional. Jimly Assiddqqie mengatakan bahwa :
Dalam upaya mewujudkan sistem hukum yang efektif itu, penataan kembali kelembagaan hukum, didukung oleh kualitas sumber daya manusia, kultur dan kesadaran hukum masyarakat yang terus meningkat, seiring dengan pembaruan materi hukum yang terstruktur secara harmonis, dan terus menerus diperbarui sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan.38
Peran hukum dalam masyarakat memang sering menimbulkan banyak
persoalan, hukum bahkan dianggap sebagai instrumen pengatur yang sah dalam
negara hukum. Dengan kedudukan yang demikian, hukum mempunyai kekuatan
untuk memaksa. Berkaitan dengan keberadaan hukum itu sendiri di tengah
masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa tujuan utama adanya
hukum adalah jaminan ketertiban, keadilan, dan kepastian.39
Dengan demikian, hukum adalah sebuah sistem yang mempunyai ciri dan
karakteristik yang menjadi penggerak dan pengatur kehidupan masyarakat. Terkait
dengan ciri dan karakteristik hukum dan masyarakat tersebut, Roscoe Pound,
37Ibid.
38Jimly Asshiddiqie, Tata Urut Peraturan Perundang-undangan dan Problematika Peraturan Daerah, makalah, 2005.
39Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Pembangunan Hukum dalam Pembangunan,
mengenalkan lebih lanjut apa yang disebut sebagai law as a tool of social
engineering.40Selanjutnya dengan mengilhami dari teorilaw as a tool of engineering
dari ajaran Roscoe Pound yang beraliran sociological yurisprudence Mochtar
Kususmaatmadja menghasilkan teori hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat. Beberapa karakteristik dari teori beliau yang membedakan dengan teori
dari Roscoe Pound adalah:
a. Lebih menekankan peranan peraturan perundang-undangan dalam proses pembaharuan di Indonesia, sedangkan teori dari Roscoe Pound terutama ditujukan pada peranan pembaharuan terhadap putusan pengadilan, khususnya putusanSupreme Courtsebagai mahkamah tertinggi;
b. Sikap yang menunjukkan kepekaan terhadap kenyataan masyarakat yang menolak penerapan mekanistis dari konsepsi law as a tool of social engineering. Penerapan secara mekanistis demikian, yang digambarkan dengan kata tool akan mengakibatkan hasil yang tidak banyak berbeda dengan penerapan legisme yang dalam sejarah hukum di Indonesia telah dikritik banyak pihak.
c. Apabila ada pengertian hukum termasuk pula hukum internasional, maka Indonesia sebenarnya sudah menjalankan asas hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat jauh sebelum konsepsi ini dirumuskan secara resmi sebagai landasan kebijaksanaan luhur.41
Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagaia tool
of social control, sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagaia tool of social
engineering. Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial
didominasi oleh kekuasaan negara. Dengan demikian, sesuai dengan pendapat
Satjipto Raharjo bahwa Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial.42
40Ibid. 41Ibid.
Lebih lanjut mengenai metode penelitian hukum Satjipto Raharjo mengatakan
bahwa Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat
jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya
yang tertinggi.43 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari
mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita
merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.44
Berdasarkan hal tersebut, maka kerangka teori dapat diartikan sebagai
kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis ini mengenai sesuatu kasus
ataupun permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan, pegangan yang
mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal dalam
penelitian ini.45
2. Konsepsi
Konsepsi merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian yang
akan dilaksanakan. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu
dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konspsi atau
definisi operasional sebagai berikut :
1. Lembaga adat adalah gabungan dari kata “lembaga” dan “adat”, di mana
lembaga diartikan sebagai pola perilaku manusia yang mapan yang terdiri
43Ibid. 44Ibid.
dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai dan
relevan sehingga lembaga adat diartikan sebagai pola perilaku masyarakat
adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur
dalam suatu kerangka nilai dan relevan.
2. Lembaga adat Aceh adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang
dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah
tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk
mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan
adat Aceh.46
3. Masyarakat Adat adalah masyarakat kelompok manusia yang mendiami
wilayah tertentu, mempunyai pemimpin, dan mempunyai norma-norma
hukum sendiri yang mereka taati bersama atau kesatuan-kesatuan masyarakat
yang mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua
anggotanya.47
4. Putusan lembaga Adat adalah putusan yang diambil oleh lembaga adat
guna penyelesaian suatu permasalahan dalam masyarakat adat termasuk
dalam hal ini putusan terhadap penyelesaian sengketa dalam pembagian
warisan.
46Pasal 1 ayat (5) Perda No. 7 tahun 2000 tentangPenyelenggaraan Kehidupan Adat
47Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
5. Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli
waris termasuk dalam hal ini pusaka dan surat wasiat. Pewaris, adalah orang
yang memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan
sejumlah harta kekayaan, pusaka, maupun surat wasiat. Ahli waris, yaitu
sekalian orang yang menjadi waris, berarti orang-orang yang berhak
menerima harta peninggalan pewaris.Mewarisi, yaitu mendapat harta pusaka,
biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
Proses pewarisan merupakan Istilah proses pewarisan mempunyai dua
pengertian atau dua makna, yaitu (1) berarti penerusan atau penunjukan para
waris ketika pewaris masih hidup; dan berarti pembagian harta warisan
setelah pewaris meninggal.48
6. Pembagian Warisan adalah upaya yang dilakukan untuk melaksanakan
pembagian harta warisan peninggalan dari pewaris kepada ahli waris yang
berhak.
7. Sengketa waris adalah sengketa atau perselisihan yang timbul dalam
pembagian warisan.
8. Banda Aceh adalah salah satu kota di Provinsi Aceh yang juga merupakan
ibukota Provinsi Aceh dan wilayahnya juga terdiri dari kecamatan dan
gampong(desa) yang dipimpin olehkeuchik.
48Eman Suparman,Hukum Waris Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW), Rafika
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, karena menggambarkan
gejala-gejala, fakta, aspek-aspek serta upaya hukum yang berkaitan dengan mekanisme
penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Penelitian
ini menggunakan pendekatan pembentukan hukum untuk dalam menyelesaikan
permasalahan pembagian warisan dalam masyarakat adat Aceh.
Metode Pendekatan penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan
yuridis normatif dan yuridis empiris untuk mengkaji mekanisme penyelesaian
sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Pendekatan yuridis
normatif dilakukan dengan meng inventarisasi hukum positif yang mengatur dan
berkaitan dengan efektifitas putusan Lembaga Adat Aceh dalam penyelesaian
sengketa pembagian warisan. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan
melalui penelitian lapangan yang diharapkan akan diperoleh gambaran yang
menyeluruh dan sistematis mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pembagian
warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Dengan demikian, walaupun penelitian ini
merupakan penelitian normatif namun juga tidak terlepas dari pendekatan yuridis
empiris dengan mengambil objek penelitian di salah satu wilayah masyarakat adat
Aceh yaitu di Kota Banda Aceh. Untuk memperoleh data yang diharapkan dalam
penelitian maka penelitian ini juga akan mengikuti pendekatan-pendekatan yang
berlaku di dalam penelitian ilmu hukum khususnya yang terkait dengan penelitian
2. Sumber Data
Sumber data utama dari penelitian ini adalah sumber data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum sekunder, bahan hukum primer dan bahan hukum tersier.
Data-data hukum sekunder tersebut meliputi berbagai macam sumber baik sumber
data tertulis seperti Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku ilmiah, dan berbagai
macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal seorang
peneliti diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan pustaka yang
terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah dalam
menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.
a. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari literatur
yang berkaitan dengan objek yang diteliti dan berbagai macam peraturan
perundang-undangan yang ada kaitannya mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan
melalui Lembaga Adat Aceh. Data sekunder tersebut meliputi beberapa hal yaitu:
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan salah satu sumber hukum yang penting
bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan
hukum primer meliputi bahan-bahan hukum yang isinya mengikat secara
hukum karena dikeluarkan oleh instansi yang sah. Bahan hukum primer
dapat ditemukan melalui studi kepustakaan (library research) baik di
Bahan hukum primer yang dijadikan pedoman bagi penelitian terkait
hukum waris, penyelesaian sengketa waris maupun hukum adat
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang isinya memperkuat
atau menjelaskan bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder biasanya
berupa bahan-bahan hukum seperti bacaan hukum, jurnal-jurnal yang
memberikan penjelasan mengenai bahan primer, berupa buku teks,
konsideran, artikel dan jurnal, sumber data elektronik berupa internet,
majalah dan surat kabar serta berbagai kajian yang menyangkut hukum waris
dan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga
Adat Aceh.
3) Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dijadikan pegangan atau
acuan bagi kelancaran proses penelitian. Bahan hukum tersier biasanya
memberikan informasi, petunjuk dan keterangan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder. Di perpustakaan biasanya bahan hukum tersier berada
pada ruangan khusus dan dalam penelitian ini bahan hukum tersier yang
digunakan hanyalah kamus.
Penelitian mengenai mekanisme penyelesaian sengketa pembagian
warisan melalui Lembaga Adat Aceh berusaha untuk menemukan jawaban
yang konkrit, jelas dan pasti terkait dengan objek masalah yang diteliti.
mencari kebenaran sejati dari istilah-istilah hukum yang asing. Bahan hukum
primer ini bukan hanya sekedar sebagai pelengkap informasi saja melainkan
juga dapat memberikan petunjuk awal terkait dengan masalah yang sedang
diteliti.
Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kamus
hukum yang memuat informasi tentang arti beberapa istilah hukum yang
bersifat khusus.
b. Data Primer
Data primer digunakan untuk melakukan konfrontirterhadap berbagai macam
data sekunder yang telah diperoleh dalam rangka melakukan penegasan. Data-data
primer dalam bentuk data lapangan yang diperoleh melalui wawancara dikhususkan
untuk pemecahan masalah yang masih memerlukan informasi lebih lanjut dalam
memastikan validitas data-data sekunder yang telah diperoleh.
3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini baik data sekunder maupun data primer diperoleh
dengan melakukan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan
dilakukan untuk memperoleh data yang dilakukan dengan mempelajari
dokumen-dokumen, buku-buku teks, teori-teori, peraturan perundang-undangan, artikel, tulisan
ilmiah yang ada hubungannya dengan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian
warisan melalui Lembaga Adat Aceh. Selain itu, guna mendukung data primer yang
diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut dilakukan pula penelitian lapangan
(field research) melalui wawancara dengan beberapa responden dan informan
Responden :
1. Ketua Majelis Adat Kota Banda Aceh
2. Keuchik di wilayah Kota Banda Aceh 2 orang
3. Sekretaris Gampong di wilayah Kota Banda Aceh 2 orang
Informan :
1. Warga Masyarakat di Kota Banda Aceh
2. Tokoh Masyarakat di Kota Banda Aceh 3 orang 1 oang
3. Notaris di Banda Aceh 1 orang
4. Hakim dan Panitera Mahkamah Syariyah Banda Aceh 2 orang
Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data
yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Studi Dokumen, yaitu dengan meneliti dokumen-dokumen yaitu tentang
mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga Adat
Aceh. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang
merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari ketentuan norma dan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Wawancara43dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide).44
Wawancara dilakukan terhadap narasumber dengan menggunakan pedoman
wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya baik secara terarah maupun
wawancara bebas dan mendalam (depth interview).
43Herman Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hlm. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara.
44Ibid, hlm. 73. Menyatakan pedoman wawancara yang digunakan pewawancara,
4. Analisis Data
Metode analisis data digunakan untuk menarik kesimpulan dari hasil
penelitian yang sudah terkumpul digunakan metode normatif kualitatif. Normatif,
karena penelitian ini bertolak dari peraturan yang ada sebagai normatif hukum positif
sedangkan kualitatif, dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha
penemuan asas-asas dan informasi-informasi.
Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan selanjutnya
akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal yang berisi
kaedah-kaedah hukum maupun berbagai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku dan yang mengatur masalah mekanisme penyelesaian sengketa pembagian
warisan melalui Lembaga Adat Aceh kemudian disistematisasikan sehingga
menghasilkan suatu klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang ditelaah
dalam penelitian ini akan dijawab.49
Walaupun dalam penelitian ini nantinya akan bersinggungan dengan
perspektif disiplin ilmu lainnya, namun penelitian ini tetap merupakan penelitian
hukum, karena perspektif disiplin lain hanya sekedar alat bantu.50Dengan demikian,
jelaslah bahwa data yang telah terkumpul akan dianalisis secara kualitatif yaitu
menafsirkan mekanisme penyelesaian sengketa pembagian warisan melalui Lembaga
Adat Aceh. Penarikan kesimpulan dilakukan melalui induktif.
49 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002.
hlm. 24.