• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ADAT MANDAR DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "ANALISIS PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ADAT MANDAR DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ADAT MANDAR

DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR

SKRIPSI

Di Susun Oleh

MOCH. EFAN PRATAMA 45 12 060 141

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR 2018

▸ Baca selengkapnya: cara pembagian doorprize unik

(2)
(3)
(4)
(5)

KATA PENGANTAR Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam yang telah memberikan kesehatan serta kesempatan untuk menuslis skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Universitas Bosowa Makassar. Dalam penulisan ini, saya sebagai penulis sangat menyadari betapa pentingnya eksistensi seorang dosen pembimbing untuk mengarahkan saya pada metode atau cara penulisan skripsi yang baik dan benar. Untuk itu, saya awali dengan ungkapan Terimakasih dan Apresiasi besar saya khususnya kepada pembimbing I yaitu bapak H.

Hamzah Taba, SH,.MH. Dan pembimbing II bapak Drs. H. Waspada, M,Sos.I,MH.I yang telah bersedia untuk menjadi pembimbing saya dalam penulisan ini. Juga tidak lupa pula penulis ungkapkan Terimakasih kepada dosen penguji saya Ibu Dr.Yulia A Hasan, SH,.MH. dan bapak Almusawir, SH,MH yang memberikan masukan serta saran dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna dikarenakan pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Oleh karena itu, saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan yang membangun dari berbagai pihak. Sengaja penulis angkat judul tersebut untuk lebih memahami sistem pembagian harta warisan yang di gunakan adat mandar secara praktis yang sangat penting untuk penulis pahami.

Dan juga ucapan terimakasih sebesar-besarnya serata apresiasi sebesar- besarnya penulis kepada kedua orang tua terkasih yang selalu berusaha sekuat tenaga membantu baik berupa materi maupun doa secara lansung atau pun tidak langsung serta membantu memberi semangat kepada saya dalam kondisi sesulit apapun.

Penulis tidak lupa pula melalui lembaran ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan kepada pihak yang telah banyak berperan dalam penyelesaian skripsi ini.

Yaitu Bapak Dekan Fakultas Hukum Dr. Ruslan Renggong, SH,MH.

Beserta jajarannya. Seluruh Dosen Fakultas Hukum yang telah membagi ilmu dan mengarahkan penulis selama beberapa tahun ini beserta seluruh mitra kerja Univesitas Bosowa Makassar khususnya bapak Patta haji, SH dan kakanda Sumarlin Wahid, SH, MH yang selalu bijak dalam melayani seluruh mahasiswa fakultas Hukum dalam ruang kesibukannya serta seluruh sahabat-sahabat saya yang sudah dianggap seperti keluarga

(6)

maupun doa dan memberi semangat yang kuat baik secara tidak langsung maupun secara langsung.

Akhir kata penulis pribadi berdoa kepada sang pencipta semoga semuanya dan seluruh aktifitas kesehariannya bernilai ibadah disisi Allah SWT serta dalam rangka penyusunan skripsi ini penulis jalani dengan mudah, Amin.

Makassar 19 Januari 2018

Moch. Efan Pratama

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

1.4. Metode Penelitian ... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Adat ... 11

2.1.1 Istilah Hukum Adat secara Umum ... 11

2.1.2 Sistem Hukum Adat ... 18

2.1.3 Hubungan Hukum Waris Adat dan Hukum Islam ... 23

2.2 Keberadaan Kedudukan hak waris menurut Hukum adat dan hukum Islam ... 52

2.2.1 Keberadaan Kedudukan Hak Waris Menurut Hukum Adat ... 52

2.2.2 Keberadaan Kedudukan Hak Waris Menurut Hukum Islam ... 53

BAB 3 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 3.1 Profil Umum Suku Madar ... 55

3.2 Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Adat Mandar ... 62

(8)

BAB 4 KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan ... 79 4.2 Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA ... 82

(9)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 18 B ayat (2) “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Undang-undang itu sendiri merupakan sebagian dari hukum dasar yang tertulis. Selain Undang-undang, terdapat aturan- aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara seperti hukum adat atau kebiasaan adat meskipun tidak tertulis.

Penyelenggaraan negara sebagian besar aturannya dituangkan dalam bentuk hukum tertulis, mulai dari Undang-undang Dasar, Undang-undang, Peraturan Daerah, sampai pada peraturan-peraturan adat yang hanya tersirat dalam konstitusi bahwa hukum adat akan diakui selama eksistensinya masih ada. Sementara itu, keberadaan hukum tidak tertulis dalam praktik ruang tata negara lahir untuk melengkapi hal-hal yang tidak diatur dalam hukum tertulis. Fungsi hukum dalam tata kelola masyarakat sosial tidak sekedar dilihat sebagai alat pengendalian sosial (social control), malainkan lebih kepada upaya untuk menggerakkan masyarakat agar berperilaku sesuai dengan mandat konstitusi untuk

(10)

sampai pada suatu keadaan sebagaimana yang dikehendaki oleh pancasila sebagai dasar Negara kita. Dengan kata lain, fungsi hukum di sini sebagai sarana perubahan masyarakat, berarti hukum digunakan untuk mengarahkan pada pola kelola tertentu sesuai dengan yang dikehendaki oleh tujuan dasar-dasar tersebut.

Dengan menciptakan pola kelola masyarakat sosial tersebut diharapkan dapat mengubah ataupun menghapus kebisaan-kebisaan lama yang dengan memperhatikan perubahan struktur sosial dari zaman ke zaman. Dari fungsi hukum tersebut dapat dikatakan bahwa penyesuaian terhadap struktur sosial bertujuan untuk menciptakan hukum yang sesuai dengan masyarakat yang sedang membangun seperti Indonesia sekarang ini karena dalam pembangunan itu sendiri terdapat hal-hal yang harus dilindungi, dilain pihak hukum diperlukan untuk menciptakan pola yang sesuai dengan pembangunan agar perubahan yang diakibatkan oleh pembangunan tersebut berjalan dengan tertib dan teratur. Sedangkan formasi hukum nasional haruslah berakar dari masyarakat sosial yang memiliki budaya berbeda, sehingga hukum nasional Indonesia haruslah memprhatikan kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia dengan memperhatikan adat istiadat yang berlaku dan tumbuh berkembang di tengah masyarakat.

Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum yang penting dalam rangka pembangunan hukum nasional menuju ke arah peraturan perundang-undangan yang efesian dan efektif. Sebab unsur hukum dibuat

(11)

dan diberlakukan semata-mata untuk kepentingan masyarakat soasial dengan norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat adat yang merupakan hakikat kepribadian bangsa Indonesia yang perlu dilindungi keberadaannya dengan cara meligitimasi hukum adat kedalam peraturan hukum baru agar hukum yang baru itu sesuai dengan dasar keadilan dan perasaan hukum masyarakat adat di Indonesia.

Salah satu inti dari unsur-unsur hukum adat guna pembinaan hukum waris nasional adalah hukum waris adat. Untuk menemukan unsur-unsur dari hukum waris adat tersebut salah satunya adalah dengan cara melakukan penelitian, baik penelitian ke pustakaan maupun penelitian lapangan, Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui persamaan dari berbagai sistem dan asas hukum waris adat yang terdapat di seluruh Nusantara. Inilah yang dapat dijadikan titik temu perbedaan dan kesamaannya dengan kesadaran hukum nasional, sehingga apa yang dimaksud dalam pancasila sebagai ideology dasar negara kita untuk seluruh wilayah republik Indonesia yang hanya memuat satu sistem hukum nasional yang mengarah pada kepentingan nasional yang mampu melahirkan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakatnya.

Banyak sengketa waris terjadi di antara para ahli waris, baik yang terjadi sebelum maupun setelah harta warisan tersebut dibagikan. Tidak jarang pula, sengketa harta warisan membawa kerugian pada pihak di luar ahli waris. Ada kalanya para ahli waris meminta supaya harta warisan dibagikan, tetapi ahli waris lainnya berniat membiarkan harta warisan tetap

(12)

utuh sebagai pengingat para ahli waris. Terkadang, ada ahli waris yang meminta supaya harta warisan dijual lalu hasil penjualan dibagi-bagikan kepada semua ahli waris, tetapi ada yang menolak hal tersebut.

Hukum Adat waris menunjukkan corak-corak yang khas dari aliran pikiran tradisionil Indonesia. Hukum Adat Waris bersendi atas prinsip yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal serta konkrit bangsa Indonesia.

Oleh karena itu, maka hukum adat waris memperlihatkan perbedaan yang prinsipil dengan Hukum Waris Barat. Hukum adat waris sangat erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dari pada masyarakat hukum yang bersangkutan, beserta pengaruhnya pada harta kekayaan yang ditinggalkan dan berada dalam masyarakat itu; hukum adat waris juga mendapat pengaruh tidak hanya dari perubahan-perubahan sosial;

dengan makin kuatnya hubungan kekeluargaan; dan pengaruh eksternal, namun tidak menjadi surut penerapannya dalam masyarakat (masih dihormati) keberadaannya; bahkan dalam masyarakat tertentu berkenaan dengan waris mewaris harta peninggalan orang yang telah meninggal masih diberlakukan hukum adat waris sebagai acuan dalam pembagian harta warisan yang ditinggalkan.

Hukum kewarisan adat adalah hukum adat yang memuat ketentuan-ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum tentang harta warisan, pewaris, dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum kewarisan adat sesungguhnya adalah hukum penerusan

(13)

harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya yang berkelanjutan.

Dalam masyarakat adat Mandar khususnya di Kabupaten Polewali Mandar juga mempunyai tradisi atau cara tersendiri dalam menyelesaikan hubungan hukum yang ditimbulkan berkaitan dengan harta seseorang yang meninggal dunia dengan anggota keluarga yang ditinggalkannya, bahkan mereka biasa membagi harta tersebut sebelum/pewaris meninggal. Dalam masyarakat adat Mandar dikenal dengan istilah

"Boyang anunna” (rumah adalah milik mutlak) anak terakhir. Selain itu, di Kecamatan Balanipa dan Kecamatan Allu Kabupaten Polewali Mandar ini yang dulunya merupakan pusat kerajaan menganut sistem mayorat laki- laki, yaitu pada saat pewaris meninggal maka anak laki-laki sulunglah atau keturunan laki-laki yang menjadi ahli waris sebagai pengganti orang tua. Namun anak laki-laki tertua bukanlah sepenuhnya menjadi ahli waris, ia hanya berkedudukan memegang mandat dari orang tua atau pewaris untuk mengurus dan membagi warisan tersebut kepada saudara- saudaranya. Tidak hanya warisan yang dibebankan kepada anak laki-laki tertua, dia juga berkewajiban mengurus anggota keluarganya. Kelemahan dan kebaikan sistem kewarisan mayorat terletak pada kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang telah wafat dalam mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna kepentingan semua anggota keluarga yang ditinggalkan. Anak tertuan yang penuh tanggung jawab akan dapat mempertahankan keutuhan dan

(14)

kerukunan keluarga sampai semua ahli waris menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri mengatur rumah tangga sendiri. Sistem mayorat seringkali disalah tafsirkan tidak saja oleh sebagian masyarakat, bahkan seringkali juga pihak ahli waris anak tertua itu sendiri salah menafsirkan haknya sebagai pemegang warisan pertama. Anak tertua sebagai pengganti orang tua yang telah meninggal bukanlah pemilik harta peninggalan secara perseorangan, anak tertua hanyalah berkedudukan sebagai penguasa atau sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi oleh musyawarah keluarga, dibatasi oleh kewajiban mengurus anggota keluarga lain yang ditinggalkan, tidak semata-mata berdasarkan harta peninggalan tetapi juga berdasarkan prinsip saling melindungi antar keluarga termaksud harta warisan yang dimandatkan padanya.

Sejarah perkembangan Islam di Tanah Mandar Sulawesi Barat.

Menurut beberapa sumber masuknya Islam di Tanah Mandar pada abad ke- 16 dan abad ke-17. Pada masa itu, terdapat dua kerajaan besar yaitu kerajaan Balanipa dan Kerajaan Binuang, Kerajaan ini, terletak di Kabupaten Polman, Sulawesi Barat. Kerajaan ini adalah kerajaan yang terbesar yang ada di Tanah Mandar, yang mempunyai pengaruh yang sangat besar di Tanah Mandar. Dan sistem pemerintahan di Balanipa pada saat itu dilakukan secara turun temurun atau dari genersi ke generasi.

Perkembangan agama Islam pada masa kepemimpinan Raja ke-4 (empat), memanfaatkan pemerintahannya untuk mengembangkan agama

(15)

Islam, ditandai dengan berdirinya sebuah mesjid yang pada awal mulahnya dikenal Langgar, di Sumatra dengan kata surau dimana digunakan sebagai tempat mengajar ajaran agama Islam. Mesjid yang pertama di Tanah Mandar terletak di Pallis atau yang dikenal saat ini sebagai Desa Lembang dan mesjid yang kedua didirikan di Desa Tangga- tangga Kecamatan Tinambung, yang sekarang lebih dikenal sebagai mesjid Raja. sistem pemerintahan di Balanipa pada saat itu dilakukan secara turun temurun atau dari generasi ke generasi menganut agama Islam. Kadar kekuatan kesadaran nilai-nilai hukum adat terhadap penerimaan nilai-nilai hukum Islam, ternyata berdampak terjadinya ragam pendapat yang berlanjut dengan berbagai corak teori, lahirlah teori-teori titik singgung hukum adat dan Islam.

(kota islam.blogspot.co.id/2013/11/sejarah perkembangan-islam-di- mandar.html).

Untuk itu dalam usaha penulis untuk mengetahui sistem hukum adat masyarakat Mandar di Kabupaten Polewali Sulawesi Barat perlu diadakan penelitian dengan cermat agar diketahui secara benar tentang hukum waris adat masyarakat Mandar, baik sistem ahli waris, objek waris, serta waktu harta waris itu akan dibagi-bagikan, serta proses pembagian harta waris itu dilakukan.

(16)

Berdasarkan deskripsi latar belakang masalah di atas, penulis inggin menganalisis lebih dalam dengan judul sebagai berikut: ANALISIS PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT HUKUM ADAT MANDAR DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pembagian warisan menurut hukum adat Mandar?

2. Hambatan apa yang dialami menurut hukum adat Mandar?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bentuk pelaksanaan pembagian harta warisan berdasarkan adat Mandar.

b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pembagian harta warisan adat Mandar.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

a. Untuk menganalisis sistem pembagian harta warisan berdasarkan hukum adat Mandar.

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi implikasi berupa pemahaman khususnya pada penulis terhadap sistem pembagian harta warisan adat Mandar.

(17)

1.4. Metode Penelitian

Dalam rangka perangkuman data, maka penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1.4.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di wilayah Kabupaten Polewali Mandar, di Kota Polewali , Kec. Balanipa dan Kec. Binuang.

1.4.2 Jenis dan Sumber Data

Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan dalam penelitian ini, adapun jenis dan sumber data yang diperlukan yaitu:

1. Data primer adalah data hasil penelitian lapangan yang didapatkan dengan melakukan wawancara.

2. Data sekunder yakni merupakan data dasar yang diperoleh dari bahan pustaka antara lain: dengan menelaah literatur hukum, jurnal, surat kabar, penelitian, survey dan sebagainya.

1.4.3 Teknik Pengumpulan Data 1. Penelitian kepustakaan

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder yang merupakan kerangka dasar yang bersifat teoritis formal.

2. Penelitian Lapangan

Penelitian dilakukan dengan melakukan observasi ke Kabupaten Polewali Mandar kota Polewali, Kec. Balanipa dan Kec.

Binuang.

(18)

1.4.4 Analisis Data

Setelah pengumpulan data empiris yang diperlukan dari hasil penelitian lapangan, maka selanjutnya dilakukan pengolahan dan analisis data secara kualitatif dengan maksud penyajian secara deduktif.

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Hukum Adat

2.1. 1. Istilah hukum adat secara Umum

Secara Umum Hukum adat adalah hukum yang mengatur tentang hukum perkawinan adat, hukum waris adat, dan hukum perjanjian adat.

Istilah hukum waris adat adalah istilah yang merupakan bagian hukum adat yang mengatur tentang pembagian harta warisan secara adat sekaligus untuk membedakannya dengan istilah hukum waris Barat, hukum waris Islam, dan semua sistem hukum waris adat yang berlaku di Indonesia. Pada masing-masing suku bangsa di Indonesia terdapat cara pengaturan yang khas atau ciri khusus berdasarkan adat istiadat masing- masing. Hukum waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya. Di dalam hukum waris adat memuat pembahasan tentang garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris, serta cara harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris. Adapun yang dimaksud dengan harta warisan adalah harta kekayaan dari pewaris yang telah wafat, baik harta itu telah dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi- bagi. Termasuk di dalam harta warisan adalah harta pusaka, harta perkawinan, harta bawaan dan harta depetan. Pewaris adalah orang yang

(20)

meneruskan harta peninggalan atau orang yang mempunyai harta warisan. Waris adalah istilah untuk menunjukkan orang yang mendapatkan harta warisan atau orang yang berhak atas harta warisan.

Cara pengalihan adalah proses penerusan harta warisan dari pewaris kepada waris, baik sebelum maupun sesudah wafat. Hukum waris adat sebenarnya adalah hukum penerus harta kekayaan dari suatu generasi kepada keturunannya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi Undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan Undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu. Menurut penulis hal ini menunjukkan bahwa kompilasi hukum Islam atau kodifikasi hukum Islam merupakan kumpulan peraturan dalam Agama Islam yang memuat aturan Islam dan penyesesuaiannya praktik bagi pemeluknya. Untuk itu, hukum adat belum tentu merupakan Hukum Islam. Sebab istilah adat merupakan istilah yang memiliki makna berupa kebiasaan-kebiasaan masyarakat tertentu yang hidup berkelompok. Sedangkan hukum Islam merupakan tuntunan yang diberikan langsung atau melalui perantaraan Malaikat kepada Baginda Nabi Muhammad Saw untuk dipatuhi sebagai jalan lurus hidup. Dalam penerapan atau pelaksanaan hukum Islam tersebut, pemeluknya (Muslim) mengikuti sunah atau cara hidup Nabi Muhammad Saw semasa hidupnya (hadits). Untuk itu, hukum Islam bukanlah hukum adat secara keseluruhan.

(21)

Menurut Van Vollenhoven menyatakan bahwa:

Hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis yang di dalamnya memuat aturan-aturan hidup, hukum adat tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi tetap ditaati dan masih digunakan oleh masyarakat berdasarkan atas keyakinan bahwa aturan-aturan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (Aim Abdulkarim 2016 hal:43)

Hal ini identik dengan yang dinyatakan oleh Prof. Djojodigoeno:

“Hukum adat itu tidak meliputi peraturan desa dan peraturan raja-raja, sehingga peraturan Raja Jawa yang dimuat dalam rijksblad termaksud juga sumber hukum adat”. (Hilman Hadi Kusuma1980 hal: 40)

Sedangkan Ter Haar menyatakan bahwa:

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke masa proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi kegenerasi (Ter Haar, 1950: 197; Hilman Hadi Kusuma 1980; 17 )

Dalam Undang-undang Dasar (UUD tahun 1945, yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959) tiada satu Pasal pun yang memuat dasar (perundang-undangan) berlakunya hukum adat itu. Menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD maka “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.Sebelum berlakunya kembali UUD ini, maka berlaku Undang-undang Dasar Sementara tahun 1950. Dalam Undang-undang Dasar sementara itu Pasal 104 ayat 1 mengatakan bahwa, “Segala keputusan pengadilan harus berisi alasan- alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturan-aturan Undang-

(22)

undang dam aturan-aturan hukum adat yang dijadikan dasar hukuman itu.

“Tetapi ketentuan ini, yang jikalau kita mengartikan “hukum adat” itu seluas-Iuasnya, memuat suatu grondwettelijke grondslag (dasar konstitusional) berlakunya hukum adat, sampai sekarang belum diberikan dasar hukum penyelenggaraannya (Undang-undang organik). Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat, yang berasal dari zaman kolonial dan yang pada zaman sekarang masih tetap berlaku, adalah Pasal 131 ayat 2 sub b IS. Menurut ketentuan tersebut, maka bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum timur asing berlaku hukum adat mereka. Tetapi bilamana keperluan sosial mereka memerlukanya, maka pembuat ordonansi dapat menentukan bagi mereka:

a. Hukum Eropa

b. Hukum Eropa yang telah diubah (gewijzigd Europees recht) c. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama

(gemeenschappelijkrecht), dan apabila kepentingan umum memerlukannya.

d. Hukum baru (nieuw recht), yaitu hukum yang merupakan

“syntese” antara hukum adat dan hukum Eropa (“fantasierecht”

van Vollen hoven atau “ambtenarenrecht” van Idsinga)

Konstitusi kita sebelum amandemen tidak secara tegas menunjukkan kepada kita pengakuan dan pemakaian istilah hukum adat. Namun bila ditelaah, maka dapat disimpulkan ada. Sesungguhnya rumusan-rumusan yang ada di dalamnya mengandung nilai luhur dan jiwa hukum adat.

(23)

Pembukaan UUD 1945, yang memuat pandangan hidup Pancasila, hal ini mencerminkan kepribadian bangsa, yang hidup dalam nilai-nilai, pola pikir dan hukum adat. Pasal 29 ayat (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Pasal 33 ayat (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas ke keluargaan. Pada tataran praktis bersumberkan pada UUD 1945 negara mengintroduser hak yang disebut Hak Menguasai Negara (HMN), hal ini diangkat dari Hak Ulayat, Hak Pertuanan, yang secara tradisional diakui dalam hukum adat. Ada 4 pokok pikiran dalam pembukaan UUD 1945, yaitu persatuan meliputi segenap bangsa Indonesia, hal ini mencakup juga dalam bidang hukum, yang disebut hukum nasional. Pokok pikiran kedua adalah negara hendak mewujudkan keadilan sosial. Hal ini berbeda dengan keadilan hukum.

karena azas-azas fungsi sosial manusia dan hak milik dalam mewujudkan hal itu menjadi penting dan disesusaikan dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat, dengan tetap bersumberkan nilai primernya.

Pokok Pikiran ketiga adalah : negara mewujudukan kedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan dan perwakilan. Pokok pikiran ini sangat fondamental dan penting, adanya persatuan perasaan antara rakyat dan pemimpinnya, artinya pemimpin harus senantiasa memahami nilai-nilai dan perasahaan hukum, perasaaan politik dan menjadikannya sebagai spirit dalam menyelenggarakan kepentingan umum melalui pengambilan kebijakan publik. Dalam hubungan itu maka ini mutlak diperlukan karakter manusia pemimpin publik yang memiliki

(24)

watak berani, bijaksana, adil, menjunjung kebenaran, berperasaan halus dan berperikemanusiaan. Pokok pikiran keempat adalah: negara adalah berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa, hal ini mengharuskan cita hukum dan kemasyarakatan harus senantiasa dikaitkan fungsi manusia, masyarakat memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan yang maha Esa, dan negara mengakui Tuhan sebagai penentu segala hal dan arah negara hanya semata-mata sebagai sarana membawa manusia dan masyarakatnya sebagai fungsinya harus senantiasa dengan visi dan niat memperoleh ridho Tuhan yang maha Esa. Namun setelah amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam Undang- undang Dasar 1945 yang, menyatakan:

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang (Pasal: 18B ayat 2).

Dalam memberikan tafsiran terhadap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara:

1. Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisional yang dimilikinya;

2. Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat tertentu;

3. Masyarakat hukum adat itu memang hidup (Masih hidup);

4. Dalam lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula;

5. Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaan bangsa.

Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi

(25)

dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil;

6. Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Asshiddiqie, 2003 : 32-33)

Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala- kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.

Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut.

Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga di luar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.

(26)

2.1.2 Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang sudah tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum Barat. Dan untuk dapat memahami serta sadar akan hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Hukum adat memiliki sistem sebagai berikut:

e. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat.

f. Mempunyai corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.

g. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang- ulangnya perhubungan hidup yang konkrit.

h. Hukum adat mempunyai sifat yang visual, artinya perhubungan hukum dianggap hanya terjadi, oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.

Antara sistem hukum adat dan sistem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan yang fundamental, seperti:

Hukum Barat mengenal “zakelijke rechten” dan “persoonlijke rechten”. “Zakelijke rechten” adalah hak atas benda yang bersifat

(27)

“zakelijk”, artinya berlaku terhadap tiap orang, jadi merupakan hak mutlak/absolut. “Persoonlijke rechten” dapat kita pahami sebagai hak atas sesuatu objek yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain tertentu, jadi merupakan hak relatif. Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan seperti di atas. Hak-hak menurut sistem hukum adat perlindungannya ada ditangan hakim.

Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum publik dan hukum privat. Hukum adat tidak mengenal perbedaan ini. Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya disebabkan karena corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum Barat dan pandangan hidup yang mendukung kedua macam hukum itu juga jauh berlainan. Aliran dunia Barat bersifat liberalistis dan bercorak rasionalistis intelektualistis. Aliran Timur, khususnya Indonesia bersifat kosmis, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib; dunia manusia berhubungan erat dengan segala hidup di dalam alam ini.

Sedangkan menurut istilah bahasa hukum antara lain hukum barat telah memiliki istilah-istilah hukum teknis yang dibina berabad-abad oleh para ahli hukum, para hakim dan oleh pembentuk Undang-undang.

Hukum adat, pembinaan bahasa hukum ini justru masih merupakan suatu masalah yang sangat meminta perhatian khusus pada para ahli hukum Indonesia. Van Vollenhoven dan Ter Haar, mengemukakan dengan jelas betapa pentingnya soal bahasa hukum adat bagi pelajaran serta pengertian sistem hukum adat dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan

(28)

hukum adat selanjutnya. Bahasa hukum adalah bukan sesuatu yang dapat diciptakan dalam satu dua hari saja, tetapi harus melalui suatu proses yang cukup lama. Bahasa rakyat yang bersangkutanlah merupakan bahasa yang pertama-tama yang sanggup melukiskan perasaan rakyat dimaksud secara tepat. Dan oleh karena itulah pada zaman kolonial Belanda dahulu terjemahan istilah-istilah hukum adat dalam bahasa Belanda yang pada zaman itu orang menganggap seolah- olah isi serta artinya sudah lama, sesungguhnya merupakan suatu kesalahan, sebab istilah-istilah dalam bahasa asing dimaksud ternyata tidak dapat melukiskan makna yang terkandung dalam istilah-istilah bahasa aslinya. Contoh: istilah jual dalam hukum adat disalin dengan verkopen dalam hukum Belanda. Bahwa penterjemahan istilah hukum adat jual dengan verkopen dalam hukum Belanda itu tidak benar, tidak tepat sama sekali.

Dalam sistem hukum adat, segala perbuatan dan keadaan yang bersifat sama disebut dengan istilah yang sama pula. Misalnya istilah gantungan dipakai untuk menyebut segala keadaan yang belum bersifat tetap. Bahasa hukum lahir dan tumbuh setapak demi setapak. Kata-kata yang terus-menerus dipakai dengan konsekuen untuk menyebut suatu perbuatan atau keadaan, lambat laun menjadi istilah yang memiliki isi dan makna tertentu. Berlakunya sesuatu peraturan hukum adat adalah tampak dalam penetapan-penetapan(putusan petugas hukum) yang artinya dengan putusan di sini adalah perbuatan atau penolakan perbuatan dari

(29)

pihak petugas hukum dengan tujuan untuk memelihara atau untuk menegakkan hukum. Apabila berkehendak melakukan penyelidikan setempat, maka agar memperoleh bahan-bahan yang tepat serta berharga tentang hukum adat perhatian harus diarahkan kepada berikut ini:

i. Research tentang putusan-putusan petugas hukum ditempat yang bersangkutan.

j. Sikap penduduk dalam hidupnya sehari-hari terhadap hal-hal yang sedang disoroti dan diinginkan mendapat keterangan dengan melakukan field research itu.

Hukum adat Indonesia tidak hanya bersemayam dalam hati nurani orang Indonesia disegala penjuru Nusantara, tetapi tersebar meluas sampai ke gugusan kepulauan Philipina dan Taiwan disebelah Utara, di pulau Malagasi dan berbatas disebelah Timur sampai di Kepulauan Paska, di anut dan dipertahankan oleh orang Indonesia yang termasuk golongan orang Indonesia dalam arti ethnis. Ketertiban yang dipertahankan oleh Hukum Adat itu baik bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan tak kelihatan, tetapi diyakini dan dipercaya sejak kecil sampai berkubur berkalang tanah. Dimana ada masyarakat, disitu ada hukum (adat). Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti

“Volksgeist” (jiwa/semangat rakyat) dari masyarakat tempat hukum itu berlaku.

(30)

Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia.

Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Secara terminology ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Disatu pihak ada yang menyatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof. Amura, istilah ini berasal dari Bahasa Sanskerta karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan.

(31)

2.1.3 Hubungan hukum Waris adat dan hukum Islam

Menurut Pasal 176 kompilasi hukum Islam atau KHI (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991), anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama- sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Pengaturan hak waris dalam Pasal 176 KHI sebagaimana dikutip di atas sesuai dengan ketentuan QS An-Nisa' (4): 11 yang berbunyi, Bagian anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jadi, tidak ada perbedaan pengaturan hukum waris antara hukum Negara (KHI) dengan hukum Islam.

Menurut Hasby Ash-Shiddieqy:

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siap orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian setiap ahli waris dan cara- cara pembagiaannya.( Hasby Ash-Shiddieqy, hal 8)

Mengenai adanya keberatan wanita atas ketentuan tersebut, kita perlu memperhatikan ayat Al-Quran ketika mengakhiri salah satu uraian mengenai pembagian waris yaitu:

Kamu tidak mengetahui apakah orangtua kamu atau anak-anak kamu yang lebih dekat manfaatnya untuk kamu (QS An-Nisa [4]: 11).

Pakar tafsir Al-Quran Dr. M. Quraish Shihab menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut:

(32)

(Ayat, red.) Ini menunjukkan bahwa nalar manusia tidak akan mampu mendapatkan hasil terbaik bila padanya diserahkan wewenang menetapkan bagian-bagian warisan. Ini juga menunjukkan bahwa ada tuntunan-tuntunan agama yang bersifat ma'qul al-ma'na (dapat dijangkau oleh nalar) dan ada yang juga yang tidak dapat dijangkaunya (M. Quraish Shihab, Fatwa-fatwa Seputar Tafsir Al-Quran, Bandung: Mizan, 2001, hal.113).

Lebih lanjut, Quraish Shihab menulis:

Bagian wanita yang satu itu sebenarnya cukup untuk dirinya sebagaimana kecukupan satu bagian untuk pria seandainya dia tidak kawin. Akan tetapi, jika wanita kawin, keperluan hidupnya ditanggung oleh suami, sedangkan bagiannya yang satu, dapat dia simpan tanpa dia belanjakan. Nah, siapakah yang habis dan siapa yang utuh bagiannya jika dia kawin? Jelas lelaki karena dua bagian yang dimilikinya harus dibagi dua, sedangkan apa yang dimiliki perempuan tidak digunakannya sama sekali. Jika demikian - dalam soal waris-mewarisi ini, keberpihakan Allah Swt. kepada perempuan lebih berat daripada keberpihakanNya kepada laki-laki. Ini karena lelaki ditugaskan keluar mencari nafkah (ibid, hal. 116).

Pada bagian lain, Quraish Shihab berpendapat bahwa:

Dapat dibenarkan jika salah seorang di antara ahli waris bersedia memberi haknya kepada orang lain, atau semua ahli waris sepakat membaginya secara merata, selama pembagian secara merata itu bukan atas dasar menilai bahwa kadar pembagian yang ditetapkan Allah tidak adil atau keliru. Dasarnya adalah karena harta warisan merupakan hak masing-masing ahli waris berdasarkan anugerah Allah Swt. dan berdasarkan ketetapan-Nya (M. Quraish Shihab, Anda Bertanya, Quraish Shihab Menjawab, Bandung: Al-Bayan, 2002, hal. 181).

Berdasarkan hasil penelitian hukum adat waris di Banjarmasin terdapat ke seragaman antara sistem pembagian hartawarisan dibeberapa daerah di Indonesia, Sajuti Thalib menyebutkan bahwa:

Mengenai pembagian warisan dikemukakan bahwa hukum adat tradisional pada umumnya tidak membedakan antara hak anak laki- laki dan anak perempuan. Sebagai anak dari pewaris kedudukan mereka terhadap warisan orang tuanya sama, tidak ada anak yang mendapat bagian lebih dari anak-anak lainnya. Mereka mempunyai hak sama. Orang banjar yang mempunyai turunan keluarga parental, anak berhak mendapat warisan dari kedua orang tuanya, sedangkan

(33)

hak-hak masing-masing dari anak laki-laki dan anak perempuan sepanjang kenyataanya tidak terdapat suatu keseragaman. (Sajuti Thalib receptiaon A Cotrario 1985 hal: 68-71)

Berdasarkan apa yang dikatakan di atas, tidak terdapat suatu keseragaman, bahwa kadang-kadang pembagian warisan itu memberikan hak untuk anak laki-laki dua kali (2x) hak anak perempuan dan kadang- kadang terdapat juga pembagian yang sama sehingga sulit untuk menarik kesimpulan yang positif. Bilamana timbul sengketa warisan biasanya dimintakan ketetapan dari kerapatan Qadhi dimana kerapatan Qadhi didasarkan pada fatwa yang diambil sebagai dasarnya ialah ketentuan hukum faraid. Sepanjang pengamatan bahwa terkadang fatwa ulama dari kerapatan Qadhi sebagaimana di atas kadang-kadang tidak dituruti oleh para ahli waris tetap melaksanakan sesuatu pembagian yang berdasarkan persamaan hak; hanya saja fatwa dimaksud sebagai pedoman untuk mengetahui siapa-siapa ahli yang berhak atas harta warisan berapa bagian masing-masing namun pembagiannya disepakati berdasarkan persamaan hak. Dikemukakan bahwa salah satu bagian dari pada kekayaan keluarga ialah harta benda yang diperoleh suami istri secara bersama-sama selama perkawinan. Harta ini bagi daerah ini biasa disebut sebagai “barang perpantangan”. Barang perpantangan ini mempunyai kedudukan tersendiri bila mana perkawinan putus (baik karena perceraian maupun karena kematian salah seorang suami atau istri), karena masing-masing pihak berhak atas 50% atau separuh dari harta itu. Mengenai kedudukan anak angkat dikemukakan bahwa bagi

(34)

orang banjar anak angkat dalam pengertian secara juridis jarang dijumpai, yang ada hanya pemeliharaan seorang anak (anak saudara atau anak orang lain di luar kerabat) dipelihara, dididik sebagai anak sendiri dan hidup dilingkungan keluarga sendiri, dengan demikian si anak mempunyai hak-hak tertentu terhadap harta benda keluarganya yang memeliharanya namun demikian si anak bukanlah ahli waris dari orangtua yang memeliharanya sungguhpun si anak berhak untuk menikmati barang perpantangan dari orangtua yang memeliharanya untuk nafkah hidup. Mengenai kemungkinan adanya harta yang tidak terbagi dikemukakan bahwa dengan meninggalnya si pewaris, timbul kewajiban dari para ahli waris untuk menyelenggarakan penguburannya dan membayar utang-utangnya si pewaris, disamping hak mereka untuk mengoperkan seluruh harta peninggalan pewaris. Untuk harta peninggalan pewaris tidak terdapat ketentuan bahwa harta peninggalan itu harus segerah dibagi-bagi lebih-lebih apabila pewaris pada saat meninggalnya meninggalkan anak-anak yang masih belum dewasa maka seluruh harta peninggalan tetap berada di bawah kekuasaan atau isteri si mati, dan sekalipun anak-anak pewaris sudah dewasa semua kebiasaanya mereka tidak ingin membagi-bagi harta peninggalan si mati.

Sehingga bisa kita simpulkan bahwa hukum waris yang berlaku bagi orang-orang Banjar adalah bagian hukum Islam dengan beberapa pengecualian, yang pertama, Adanya barang perpantangan yang pembagiannya secara tersendiri. Kedua, dalam pembagian warisan hak

(35)

anak laki-laki dan perempuan adalah sama (asas persamaan hak) dan berlaku pada asas kerukunan. Ketiga, Anak yang dipelihara, Anak tiri bukan ahli waris tetapi mereka berhak untuk menikmati hasil dari harta warisan sebagai nafkah hidupnya. Keempat, Janda ahli waris, tetapi dalam perpantangan janda berhak separuh dari jumlah barang perpantangan dan terhadap barang-barang asal janda berhak menguasainya sekedar dan selama janda memerlukannya untuk penghidupannya.dan kelima, Harta peninggalan pewaris biasanya tidak dibagi-bagi. Hal ini menunjukan bahwa disetiap suku adat memiliki banyak ragam sistem pembagian harta warisan yang sangat dipengaruhi oleh hukum Islam.

Adapun penggantian Kewarisan Pewarisan berdasarkan Undang- undang (BW) terutama dengan didasarkan kekeluargaan sedarah antara si pewaris dan ahli waris. Undang-undang menunjukkan urutan pewarisannya siapa yang berhak mewaris lebih dahulu. Dalam hal ini, maka Undang-undang membedakan antara mewarisi sendiri dan mewaris sebagai pengganti. Menurut Undang-undang ada tiga macam penggantian dalam hak waris:

1. Pengganti dalam garis menurun (ke bawah) Penggantian ini terjadi dengan tiada batasnya, tiap anak yang meninggal lebih dahulu digantikan oleh semua anak-anaknya begitu pula jika dari pengganti-pengganti ini ada salah satu yang meninggal lebih dahulu lagi, ia juga harus digantikan oleh anak-anaknya,

(36)

dan begitu seterusnya. Dengan ketentuan bahwa segenap turunan dari satu orang yang meninggal lebih dahulu harus dianggap sebagai suatu steak (cabang) dan bersama-sama memperoleh bagian yang mereka gantikan.

2. Pengganti dalam garis menyamping tiap saudara si meninggal, baik sekandung maupun saudara tiri, jika meninggal lebih dahulu, digantikan oleh anak-anaknya. Juga penggantian ini dapat dilakukan dengan tiada batasnya.

3. Pengganti dalam garis menyamping dalam hal yang tampil ke muka sebagai ahli waris anggotaanggota keluarga yang lebih jauh tingkat hubungannya dari pada seorang saudara, misalnya; seorang paman atau keponakan. Di sini diterapkan, bahwa saudara dari seorang yang tampil kemuka sebagai ahli waris itu, jika meninggal lebih dahulu dapat juga digantikan oleh keturunannya.

Sedangkan menurut yang dikemukakan Effendi Perangin:

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya. Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajaban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian,seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya dinyatakan sebagai anak sah dari bapak atau ibunya(kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan), dinyatakan dalam oleh Undang-undang diwarisi oleh ahli warisnya.(Effendi Perangin hal:3)

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 171 huruf a kompilasi hukum Islam, bahwa hukum kewarisan (waris) adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris.

(37)

Selain itu juga berkaitan dengan penentuan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Hukum kewarisan dalam Islam dikenal dengan istilah faraidh, bentuk jamak dari faridah yang artinya pembagian tertentu. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam al-qur‟an, meskipun dalam realitasnya sering tidak tepat secara persis nominalnya misalnya masalah radd dan aul.

Tujuan Hukum waris Islam adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar dapat bermafaat kepada ahli waris secara adil dan baik. Berdasarkan hal itu, Islam tidak hanya memberikan warisan kepada pihak suami atau istri saja tetapi juga dari kedua belah pihak baik garis ke atas, garis ke bawah, atau garis ke sisi. Sehingga, hukum waris Islam bersifat bilateral individual.

Sedangkan asas-asas hukum kewarisan Islam dapat digali dari ayat ayat mengenai hukum kewarisan serta sunnah-sunnah dari Rasulullah Shallallahu „alayhi wasallam. Asas-asas yang dimaksud dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Asas Ijbari.

Secara etimologis, kata ijbari mengandung arti paksaan (compulsory) yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseoarng yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya. Maksudnya, tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris bahkan si

(38)

pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalang-halangi terjadinya peralihan tersebut. Dengan kata lain, dengan adanya kematian si pewaris maka secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya tanpa terkecuali apakah ahli warisnya suka menerima atau tidak (demikian juga halnya dengan si pewaris).

Asas ijbari dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:

1. dari segi peralihan harta;

2. dari segi jumlah harta yang beralih;

3. dari segi kepada siapa harta itu beralih. Ketentuan asas ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan yang termuat dalam al-qur‟an surah An-nisa (4) ayat 7 yang menjelaskan bahwa bagi seseorang laki-laki maupun perempuan ada bagian dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabatnya.

2. Asas Bilateral

Adapun asas bilateral yang dimaksud di dalam hukum waris Islam adalah bahwa seseorang menerima hak warisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu garis keturunan perempuan maupun garis keturunan laki-laki. Asas ini juga berlaku untuk kerabat garis ke samping (yaitu melalui ayah dan

ibu).

3. Asas Individual

Pengertian asas individual ini adalah bahwa setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat oleh ahli waris

(39)

lainnya (sebagaimana halnya dengan pewarisan kolektif yang dijumpai dalam ketentuan hukum adat). Dengan demikian, bagian yang diperoleh ahli waris dari harta pewaris dimiliki secara perorangan, dan ahli waris lainnya yang tidak ada sangkutpaut sama sekali dengan bagian yang diperolehnya tersebut. Sehingga individu masing-masing ahli waris bebas menentukan (berhak penuh) atas bagian yang diperolehnya.

4. Asas Keadilan Berimbang

Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan.

5. Kewarisan Semata Akibat Kematian

Hukum waris memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata disebabkan adanya kematian. Dengan perkataan lain, harta seseorang tidak dapat beralih (dengan pewarisan) seandainya dia masih hidup. Walaupun ia berhak mengatur hartanya, hak tersebut semata-mata hanya sebatas keperluannya semasa ia masih hidup dan bukan untuk penggunaan harta tersebut sesudah ia meninggal dunia.

Dalam pandangan hukum Islam atau syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal

(40)

dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.

Menurut Ahmad Azhar Basyir.

kewarisan menurut Hukum Islam adalah proses pemindahan Harta peninggalan seseorang yang telah meninggal,baik yang berupa benda yang wujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum. (Ahmad Azhar Basyir:132)

Sedangkan Munawir mengemukakan gagasannya tentang reaktualisasi hukum waris boleh jadi karena dia mempunyai pengalaman pribadi. Dimana pada saat itu dia memiliki tiga orang anak lelaki dan tiga orang anak wanita. Tiga anak lelakinya tersebut menyelesaikan pendidikannya disalah satu universitas luar negeri dan biayanya ditanggung oleh Munawir sendiri, sedangkan dua dari tiga anak perempuannya atas kemauan mereka sendiri tidak meneruskan ke perguruan tinggi, tetapi hanya memilih dan belajar disekolah kejuruan yang jauh lebih murah biayanya. Persoalannya kemudian yang dipikirkan oleh Munawir apakah anak lelaki saya yang sudah diongkosi mahal dan belajarnya di luar negeri masih menerima dua kali lebih besar dari apa yang akan diterima anak perempuan saya manakala saya meninggal dunia. Persoalan ini diajukan Munawir kepada salah seorang ulama yang luas ilmu tentang agama. Ulama tersebut tidak dapat memberikan fatwa.

Beliau hanya memberitahukan apa yang beliau alami sendiri dan ulama lain telah melakukannya. Mumpung masih hidup, lalu beliau membegi sama rata harta kekayaannya kepada putra-putrinya sebelum meninggal

(41)

sebagai hibah. Dengan demikian kalau beliau meninggal sisa sedikit yang harus dibagi menurut faraid.

Mendengar jawaban tersebut, Munawir kemudian termenung sebentar lalu berkata dalam bentuk pertanyaan:

Apakah dari segi keyakinan Islam kebijaksanaan tersebut tidak lebih berbahaya. Sebab menurutnya, beliau membagi rata kekayaannya kepada putraputrinya sebagai hibah sebelum meninggal dunia.

Dengan demikian ulama tersebut tidak percaya kepada hukum faraid, sebab kalau percaya maka beliau tidak menempuh jalan yang lain lagi. Hal ini banyak dilakukan oleh masyarakat Islam dewasa ini.

( Munawir Sjadzali, hal: 76.)

Menurut Munawir, cara berislam orang seperti itu mendua. Disatu sisi, ia ingin tetap menjalankan hukum warisan Islam, tetapi di sisi lain ia mencari jalan yang lebih memberi nilai keadilan sekaligus meragukan secara tidak langsung nilai keadilan. Inilah yang mendorong Munawir melakukan reaktualisasi hukum waris tersebut. Bias kita simpulkan bahwa menurut Munawir di atas tata cara pembagian harta Warisan boleh dilakukan berdasarkan kebijaksanaan orang tua atau pewaris sebelum meninggal dunia yang bersifat hibah.

Al-Qur‟an menjelaskan dan merinci hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Adapun ayat-ayat Al-Qur‟an yang menjadi sumber bagi hukum waris Islam secara garis besarnya dapat dibagi atas dua kelompok, yaitu ayat-ayat mawaris

(42)

utama, dan ayat-ayat mawaris tambahan. Ayat-ayat mawaris utama menyebutkan secara rinci para ahli waris dan bagian mereka masing- masing yang dinyatakan dalam enam macam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Sementara itu, ayat-ayat mawaris tambahan hanya memberikan ketentuan umum yang berkaitan dengan pembagian warisan, tetapi tidak memberikan rinciannya.

Ayat-ayat mawaris utama hanya ada tiga ayat di dalam Al-Qur‟an, yang ketiganya berada dalam Surat An-Nisa‟, yaitu ayat 11, adalah sebagai berikut:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(

Q.S. An-Nisa‟ ayat 11)

M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah menyatakan:

Allah memerintahkan kalian, dalam urusan warisan anak-anak dan kedua orangtua kalian bila kalian meninggal dunia, untuk melakukan sesuatu yang bias mewujudkan keadilan dan perbaikan. Apabila anak yang ditinggalkan terdiri atas laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.

Secara tersirat ayat ini bias dipahami bahwa bila jumlah anak perempuan itu hanya dua orang, bagian mereka sama dengan bila mereka berjumlah lebih dari dua orang. Jika anak perempuan itu seorang saja maka ia memperoleh separuh harta yang

(43)

ditinggalkan. Apabila si mayit meninggalkan bapak dan ibu, maka bagian masing-masing seperenam, jika ia mempunyai anak laki-laki atau perempuan. Tetapi bila ia tidak mempunyai anak, dan yang mewarisi hanya ibu dan bapak saja, maka bagian itu adalah sepertiga dan sisanya menjadi bagian bapak. Jika mayit itu mempunyai saudara maka ibunya menerima seperenam dan sisanya menjadi bagian bapak tanpa ada bagian untuk saudara-saudaranya.

Bagian-bagian ini diberikan kepada yang berhak setelah dibayar utang-utangnya dan telah dilaksanakan apa yang diwasiatkan, selama dalam batasan syariat. Inilah hukum Allah yang adil dan mengandung kebijaksanaan. Kalian tidak mengetahui siapa di antara bapak dan anak kalian yang lebih banyak manfaatnya bagi kalian. Sesungguhnya kebaikan ada pada perintah Allah. Allah maha mengetahui maslahat kalian dan maha bijaksana pada apa- apa yang diwajibkan kepada kalian. .(An-Nisa ayat 11).(M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal:342)

Sedangkan di ayat 12 nya mengatakan bahwa:

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri- isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang- hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara- saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.( Q.S. An-Nisa‟ ayat 12)

Menurut Hazairin tafsir An-Nisa ayat 11-12 mengemukakan bahwa:

a. Bagimu seperdua dari harta peninggalan isteri-isterimu,jika bagi isteri-isterimu itu tidak ada anak;

b. Bagimu seperempat dari harta peninggalan isteri-isterimu, jika bagi isteri-isterimu itu ada anak;

(44)

c. Bagi isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seperempat dari harta peninggalanmu,jika bagimu tidak ada anak;

d. Bagi isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seperdelapan dari harta peninggalanmu,jika bagimu ada anak;

e. Pembagian yang dimaksud dalam IV:12 huruf a sampai dengan d itu adalah setelah dikeluarkannya wasiat atau/dan hutangmu;

f. Jika seseorang laki-laki maupun perempuan, diwarisi secara kalalah dan baginya adaseorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan maka bagi saudara itu masing-masing seperenam dari harta peninggalannya;

g. Jika seseorang,laki-laki maupun perempuan, diwarisi secara kalalah dan baginya ada beberapa orang saudara, semua laki- laki atau semuanya perempuan atau semuanya campuran antara laki-laki dan perempuan, maka semua saudara itu berbagi sama rata atas sepertiga dari harta peninggalannya h. Pembagian yang dimaksud dalam IV:12 huruf f dan g itu

adalah setelah dikeluarkan wasiat atau/dan hutangnya,dengan tidak boleh seorangpun mengumpat karena terasa dirugikan(ghaira mudarrin).(Hazairin, hal:7)

Sedangkan M.Quraish Shihab meyetakan:

suami mendapatkan separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri, jika si istri tidak mempunyai anak darinya atau dari suami yang lain.

Jika sang istri mempunyai anak maka suami mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau sesudah utangnya dibayar. Istri satu atau lebih memperoleh seperempat harta yang ditinggalkan suami, jika suami tidak mempunyai anak dari istri yang ditinggalkan atau dari istri yang lain. Jika si suami mempunyai anak dari istri itu atau dari istri yang lain,maka si istri menerima seperdelapan dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau sesudah dibayar uatang- utangnya. Bagian cucu sama dengan bagian anak seperti di atas.

Jika si pewaris itu, baik laki-laki maupun perempuan, tidak meninggalkan ayah dan anak tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau perempuan seibu, maka masing-masing mendapat seperenam dari harta yang ditinggalkan. Tetapi jika saudara- saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama menerima sepertiga dari harta yang ditinggalkan, sesudah utang- utangnya dibayar atau setelah dilaksanakan wasiat yang tidak mendatangkan mudarat bagi ahli waris,yaitu yang tidak melampaui sepertiga dari harta yang ditinggalkan setelah melunasi hutang.

Laksanakanlah, wahai orang-orang yang beriman, apa-apa yang diwasiatkan Allah kepada kalian. Sesungguhnya Allah maha mengetahui orang-orang yang berbuat adil dan zalim di antara kalian dan maha penyabar, tidak menyegerakan hukuman bagi

(45)

yang melanggar. .(An-Nisa ayat 12).(M.Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah, hal:342)

Beberapa ayat yang dapat dianggap sebagai ayat-ayat mawaris tambahan terdapat dibeberapa surat, antara lain An-Nisa‟, Al-Anfal, dan Al-Ahzab. Berikut ini terjemahan untuk masing-masing ayat itu.

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.( Q.S. An-Nisa‟ ayat 7)”

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.(Q.S. An-Nisa‟ ayat 8)”

Ayat ini menyebutkan bahwa, Laki-laki dan wanita (baik masih kecil maupun sudah dewasa, baik kuat berjuang maupun tidak) sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan meskipun dengan jumlah bagian yang tidak sama. Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa jahiliyah yang memberikan harta warisan kepada orang laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa dan kuat berjuang (berperang). kedua Ayat ini memberikan anjuran kepada keluarga yang melaksanakan pembagian harta warisan agar memperhatikan kerabat (yang tidak memperoleh harta warisan), anak yatim, dan orang miskin serta memberikan sebagian (sekedarnya) dari harta warisan kepada mereka sehingga mereka tidak berkecil hati atas pembagian harta itu.

Menurut Quraish Shihab, tidak begitu berbeda dengan terjemahan atau teks asli dari Al-Qur‟an An-Nisa‟ ayat 7 dan ayat 8, adapaun tafsirnya:

(46)

Laki-laki mendapatkan hak bagian dari harta peninggalan orangtua dan kerabat karibnya sebagai warisan. Demikian pula bagi wanita, ada hak bagian dari harta bagian itu, tanpa dihilangkan atau dikurangi. Bagian-bagian tersebut telah ditentukan demikian, baik harta itu sedikit maupun banyak.(An-Nisa ayat 7).(M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal:335)

Apabila sewaktu pembagian ituhadir kerabat, anak yatim atau orang- orang miskin yang tidak memiliki hak atas bagian itu, maka berikanlah kepada mereka secukupnya dari bagian itu sebagai penghargaan atas mereka agar terhindar dari rasa dengki dihati mereka. Dan, sebaiknya, pemberian itu disertai dengan ucapan yg baik. .(An-Nisa ayat 8).(M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, hal:336) “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.( Q.S. An-Nisa‟ ayat 9)”

Ayat ini memberikan tuntunan kepada orang-orang yang memiliki harta agar sebelum wafat memperhatikan kesejahteraan anak keturunan mereka, misalnya dengan mengutamakan pemberian harta warisan kepada anak daripada pemberian wasiat kepada orang lain, sehingga kebutuhan dan kesejahteraan anak nantinya dapat dipenuhi dengan layak.

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).( Q.S. An-Nisa‟ ayat 10)”

Intisari ayat ini memberikan tuntunan kepada kerabat dari yang meninggal agar anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, terutama yang masih belum baligh (masih kanak-kanak) hendaklah bagian mereka disimpan dan dijaga sebaik-baiknya supaya mereka (anak-anak yatim itu) nantinya dapat menggunakan harta warisan yang menjadi hak mereka dari orang tua mereka, bukan malah sebaliknya memakan harta anak yatim itu secara zhalim.

(47)

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.

Barangsiapa ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai- sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.(Q.S. An-Nisa‟ ayat 13)

Ayat di atas memberikan janji balasan Allah atas orang-orang yang melaksanakan hukum waris (membagi harta warisan) sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasulnya, yaitu berupa surga diakhirat kelak.

Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.( Q.S. An-Nisa‟ ayat 14)

Ayat ini memberikan ancaman Allah atas orang-orang yang membagi harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa neraka diakhirat kelak.

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa… (Q.S. An-Nisa‟ ayat 19)”

Dalam ayat ini menghapus adat jahiliyah yang menjadikan wanita sebagai harta warisan, karena pada masa jahiliyah apabila seorang laki- laki meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh keluarga pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Dengan demikian, maka tidak diperbolehkan lagi wanita dijadikan sebagai harta warisan dari suaminya yang meninggal lebih dahulu.

“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-

(48)

ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.( Q.S. An-Nisa‟ ayat 33)”

Ayat ini pada awalnya merupakan dasar hukum yang membolehkan adanya hak waris-mewarisi antara dua orang yang melakukan sumpah- setia (muhalafah) pada masa jahiliyah, tetapi kemudian menurut sebagian ahli tafsir ayat ini dinasakh (dihapus) dengan turunnya Surat Al-Anfal ayat 75 sehingga muhalafah tidak bisa lagi dijadikan salah satu sebab mewarisi.

Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah:

"Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (yaitu Surat An-Nisa‟ ayat 2 dan 3), (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa-apa yang ditetapkan untuk mereka (yaitu harta warisan dan mahar), sedang kamu ingin mengawini mereka, dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak- anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui atas hal itu.(

Q.S. An-Nisa‟ ayat 127).

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa wanita juga mendapat bagian harta warisan secara pasti, sedikit atau banyak. Dengan demikian, wanita juga bisa menjadi ahli waris, sema seperti laki-laki. Menurut adat Arab Jahiliyah seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan hartanya. Jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. Jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki- laki yang lain supaya dia tetap dapat menguasai hartanya. Kebiasaan di atas dilarang melakukannya oleh ayat ini.

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-

Referensi

Dokumen terkait

GALIH RANDU KELING NIM. KAJIAN YURIDIS PEMBAGIAN HARTA WARISAN BAGI ANAK DI LUAR PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM WARIS ADAT DI DESA KALIWIRO KECAMATAN KALIWIRO KABUPATEN

Kedudukan Anak Angkat Dalam Pembagian Harta Warisan Apabila Ada Anak Kandung Dan Apabila Tidak Ada Anak Kandung Menurut Hukum Waris Adat Di Kecamatan. Susukan

Tata Cara pembagian warisan pada masyarakat adat Nias di Kecamatan Gomo dan Masyarakat Nias di Kecamatan Telukdalam adalah harta pusaka maupun harta keluarga

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 179/SIP/1961 tentang pembagian harta warisan pada anak perempuan menurut hukum adat Batak Karo sebagai suatu hukum yang positif berlaku

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 179/SIP/1961 tentang pembagian harta warisan pada anak perempuan menurut hukum adat Batak Karo sebagai suatu hukum yang positif berlaku

Tinjauan hukum Islam terhadap fenomena pembagian harta warisan pada masyarakat Adat Bugis Bone di Desa Aladadio Kecamatan Aere Kabupaten Kolaka Timur ini tidak

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DARI SEORANG LAKI-LAKI YANG MELAKUKAN POLIGAMI MENURUT HUKUM ADAT ( SUATU STUDI Dl PENGADILAN NEGERI SURABAYA )..

Peneliti memilih lokasi ini karena sudah menjadi kebiasaan di Kabupaten Tanah Laut untuk menunda pembagian harta warisan dengan berbagai macam alasanData dan Sumber Data Sumber data