• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PENGAWASAN

B. Pengawasan Penjualan Obat

Berkaitan dengan pengawasan penjualan obat, Kementerian Perdagangan (Kemendag) melalui Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen bertugas mengkoordinasikan pelaksanaan perlindungan konsumen bersama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan, beserta Kementerian terkait lainnya berdasarkan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tahun 1999. Kemendag juga bertugas mengawasi produk non pangan, sementara BPOM mengawasi produk obat dan pangan olahan50. Rapat koordinasi (Rakor) antara Menteri Perdagangan dan Menteri Kesehatan dilakukan untuk membahas standarisasi kesehatan produk obat, salah satunya terkait produk jamu lokal yang memiliki standar kesehatan serta produk herbal lainnya yang nantinya akan diatur standarisasinya sesuai regulasi yang ditangani oleh Kemenkes, BPOM dan Kemendag51.

50 Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Pemusnahan Produk

Ilegal Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen”, diakses dari

51 Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, diakses dari

2. Kementerian Kesehatan

Kementerian Kesehatan memiliki peran penting dalam penjualan obat oleh Apotek. Salah satu wujud perlindungan konsumen yang diberikan oleh Kementerian Kesehatan terhadap penjualan obat adalah dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek . Pengawasan penjualan obat oleh Kementerian Keseahatan tampak jelas pada Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yaitu “Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kementerian Kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”.

3. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga pengawas peredaran obat dan makanan di Indonesia. BPOM bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti yang tertera dalam Pasal 67 Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, selanjutnya Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan dibidang pengawasan obat dan makanan, yang

meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen serta pengawasan atas keamanan pangan dan bahan berbahaya seperti yang tertera dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Badan POM No. 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan52

Adapun visi dan misi BPOM meliputi .

53

a. Melakukan Pengawasan Pre-Market dan Post-Market Berstandar Internasional.

: Visi:

Menjadi Institusi Pengawas Obat dan Makanan yang Inovatif, Kredibel dan Diakui Secara Internasional Untuk Melindungi Masyarakat.

Misi:

b. Menerapkan Sistem Manajemen Mutu Secara Konsisten. c. Mengoptimalkan Kemitraan dengan Pemangku Kepentingan di

Berbagai Lini.

d. Memberdayakan Masyarakat Agar Mampu Melindungi Diri dari Obat dan Makanan yang Berisiko Terhadap Kesehatan.

e. Membangun Organisasi Pembelajar (Learning Organization).

Dalam menjalankan visi dan misinya, BPOM memiliki beberapa nilai luhur sebagai budaya organisasinya, yaitu:

a. Profesional

Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektifitas, ketekunan, dan komitmen yang tinggi

b. Kredibel

52 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Tugas Utama Badan POM dan Tugas Balai

Besar/Balai POM (Unit Pelaksana Teknis)”, diakses dari

53 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Visi dan Misi Badan POM), diakses dari

Dapat dipercaya dan diakui masyarakat luas, nasional, dan internasional.

c. Cepat tanggap

Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah. d. Kerjasama tim

Mengutamkan keterbukaan, saling percaya, dan komunikasi yang baik.

e. Inovatif

Mampu melakukan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.

BPOM berfungsi dalam hal sebagai berikut:54

a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan;

b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan Makanan;

c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan POM;

d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan Makanan;

e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bindang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

Adapun wewenang BPOM menurut Pasal 69 Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 meliputi tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen:55

a. Penyusunan rencana nasional secara makro di bidangnya;

b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro;

c. Penetapan sistem informasi di bidangnya;

54 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Fungsi badan POM”, diakses dari

22.14

55 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Kewenangan Badan POM”, diakses dari

d. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat aditif) tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman peredaran obat dan makanan;

e. Pemberi izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi;

f. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan dan pengawasan tanaman obat.

4. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)

LPKSM merupakan lemabaga perlindungan konsumen yang memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen56

Untuk menjamin adanya suatu kepastian hukum, keterbukaan dan ketertiban dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen di Indonesia, setiap LPKSM wajib melakukan Pendaftaran pada Pemerintah Kabupaten atau Kota, untuk memperoleh Tanda Daftar LPKSM (TDLPK) sebagai bukti bahwa LPKSM yang bersangkutan benar-benar bergerak di bidang Perlindungan Konsumen, sesuai dengan bunyi Anggaran Dasar dan atau Rumah Tangga dari Akta Pendirian LPKSM tersebut. Tanda Daftar LPKSM dapat dipergunakan oleh LPKSM yang bersangkutan untuk melakukan kegiatan penyelenggaraan Perlindungan Konsumen di seluruh Indonesia, dan pendaftaran tersebut dimaksudkan sebagai pencatatan dan bukan merupakan suatu perizinan. Setelah LPKSM yang bersangkutan memperoleh Tanda Daftar LPKSM, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi landasan hukum

.

bagi LPKSM, untuk menyelenggarakan perlindungan konsumen di Indonesia, baik melalui kegiatan upaya pemberdayaan konsumen dengan cara pembinaan, pendidikan konsumen maupun mampu melalui pelaksanaan tugas LPKSM sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, berikut peraturan pelaksanaannya.

LPKSM posisinya amat strategis dalam ikut mewujudkan perlindungan konsumen. Selain menyuarakan kepentingan konsumen, lembaga ini juga memiliki hak gugat (legal standing) dalam konteks ligitas kepentingan konsumen di Indonesia. Hak gugat tersebut dapat dilakukan oleh LPKSM yang telah memenuhi syarat, yaitu bahwa LPKSM yang dimaksud telah berbentuk Badan Hukum atau Yayasan yang dalam anggaran dasarnya memuat tujuan perlindungan konsumen. Gugatan oleh lembaga konsumen hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum (Pasal 46 Undang-undang Perlindungan Konsumen)57

Dalam rumusan Pasal 44 Angka (3), dikatakan bahwa LPKSM mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

.

58

a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan

perlindungan konsumen;

d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

57

Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen, “Kelembagaan-Lembaga Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen”, diakses dari

15 Februari 2015 pukul 14.10

58

e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI BARANG CACAT

TERSEMBUNYI DAN MEKANISME PERDAGANGAN OBAT

OLEH APOTEK

A. Tinjauan Umum Mengenai Barang Cacat Tersembunyi 1. Pengertian Barang Cacat Tersembunyi

Terminologi cacat tersembunyi dapat dijumpai dalam Pasal 1504 sampai Pasal 1512 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Perkataan “tersembunyi” ini harus diartikan bahwa adanya cacat tersebut tidak mudah dapat dilihat oleh seseorang konsumen yang normal, bukan seorang konsumen yang terlampau teliti, sebab sangat mungkin sekali orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut59

Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usaha/penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi. Mengenai masalah apakah pelaku usaha mengetahui atau tidak akan adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan. Baik dia mengetahui atau tidak, penjual/atau pelaku usaha harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya. Yang dimaksud dengan cacat

.

59 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

BAB III

TINJAUAN UMUM MENGENAI BARANG CACAT

TERSEMBUNYI DAN MEKANISME PERDAGANGAN OBAT

OLEH APOTEK

A. Tinjauan Umum Mengenai Barang Cacat Tersembunyi 1. Pengertian Barang Cacat Tersembunyi

Terminologi cacat tersembunyi dapat dijumpai dalam Pasal 1504 sampai Pasal 1512 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Perkataan “tersembunyi” ini harus diartikan bahwa adanya cacat tersebut tidak mudah dapat dilihat oleh seseorang konsumen yang normal, bukan seorang konsumen yang terlampau teliti, sebab sangat mungkin sekali orang yang sangat teliti akan menemukan adanya cacat tersebut59

Pasal 1504 KUH Perdata menentukan bahwa pelaku usaha/penjual selalu diharuskan untuk bertanggung jawab atas adanya cacat tersembunyi. Mengenai masalah apakah pelaku usaha mengetahui atau tidak akan adanya cacat tersebut tidak menjadi persoalan. Baik dia mengetahui atau tidak, penjual/atau pelaku usaha harus menjamin atas segala cacat yang tersembunyi pada barang yang dijualnya. Yang dimaksud dengan cacat

.

59 Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen,

tersembunyi adalah cacat yang mengakibatkan kegunaan barang tidak sesuai dengan tujuan pemakaian dari yang semestinya60

Pelaku usaha harus menjamin barang terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu. (Pasal 1506 KUH Perdata)

.

Dalam Pasal 1505 KUH Perdata dinyatakan bahwa pelaku usaha tidak wajib menjamin barang terhadap cacat yang kelihatan dan dapat diketahui sendiri oleh pembeli.

61

1. Kalau cacat tersebut dari semula diketahui oleh pihak pelaku usaha, maka pelaku usaha wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen dan ditambah dengan pembayaran ganti rugi yang terdiri dari ongkos, kerugian dan bunga;

.

Selanjutnya, dalam Pasal 1507 KUH Perdata, pembeli dapat memilih akan mengembalikan barangnya sambil menuntut kembali uang harga pembelian atau akan tetap memiliki barang itu sambil menuntut kembali sebagian dari uang harga pembelian.

Terhadap adanya cacat-cacat yang tersembunyi pada barang yang dibeli, konsumen dapat mengajukan tuntutan atau aksi pembatalan jual beli, dengan ketentuan tersebut dimajukan dalam waktu singkat, dengan perincian sebagaimana yang ditentukan Pasal 1508 KUH Perdata :

2. Kalau cacat ini benar-benar memang tidak diketahui oleh pelaku usaha, maka pelaku usaha hanya berkewajiban mengembalikan harga penjualan serta biaya-biaya (ongkos) yang dikeluarkan pembeli waktu pembelian dan penyerahan barang;

60 Adrian Sutedi, op.cit., hal. 76

3. Kalau barang yang dibeli musnah sebagai akibat yang ditimbulkan oleh cacat yang tersembunyi, maka pelaku usaha tetap wajib mengembalikan harga penjualan kepada konsumen. Dalam Pasal 1509 KUH Perdata dijelaskan bahwa jika pelaku usaha tidak mengetahui adanya cacat-cacat barang, maka ia hanya wajib mengembalikan uang harga barang pembelian dan mengganti biaya untuk menyelenggarakan pembelian dan penyerahan, sekedar itu dibayar oleh pembeli.

Apabila barang yang mengandung cacat-cacat tersembunyi itu musnah karena cacat- cacat itu, maka kerugian dipikul oleh penjual yang terhadap pembeli wajib mengembalikan uang harga pembelian dan mengganti segala kerugian lain yang disebut dalam Pasal 1508 dan Pasal 1509 KUH Perdata, tetapi kerugian yang disebabkan kejadian yang tak disengaja, harus dipikul oleh pembeli. Pernyatan ini sesuai dengan Pasal 1510 KUH Perdata.

Sesuai dengan Pasal 1511 dan Pasal 1512 KUH Perdata, tuntutan yang didasarkan atas cacat yang dapat menyebabkan pembatalan pembelian, harus diajukan oleh pembeli dalam waktu yang pendek, menurut sifat cacat itu dan dengan mengindahkan kebiasaan-kebiasaan di tempat persetujuan pembelian dibuat. Tuntutan itu tidak dapat diajukan dalam hal penjualan-penjualan yang dilakukan atas kuasa Hakim.

2. Bentuk-Bentuk dan Ciri-Ciri Barang Cacat Tersembunyi

Sebuah barang/produk dikatakan cacat apabila produk itu tidak aman dalam penggunaannya serta tidak memenuhi syarat-syarat keamanan

tertentu. Ada beberapa pertimbangan untuk mengatakan bahwa suatu produk adalah cacat dengan melihat bentuk-bentuk barang tersebut, sehingga dapat dikatakan bentuk-bentuk barang yang mengadung cacat, baik cacat yang terlihat maupun cacat tersembunyi meliputi62

a. Penampilan produk

:

Pertimbangan pertama lebih mudah untuk diamati. Faktor pengamatannya adalah apakah penampilan produk tersebut baik atau mencurigakan. Apabila tampilannya sudah mencurigakan dari awalnya dan pembeli masih membelinya, maka pembeli tersebut tidak mendapatkan perlindungan hukum (Pasal 1505 KUH Perdata).

b. Kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk

Pertimbangan kedua adalah kegunaan yang seharusnya diharapkan dari produk. Seperti misalnya, seseorang membeli suatu produk kecantikan dengan harapan untuk memutihkan kulit, dan memang tertera jelas dalam kemasan produk itu, namun hasilnya kulit orang tersebut menghitam atau terbakar, maka tentu saja barang tersebut adalah cacat. Contoh lain misalnya, seseorang membeli software yang ternyata ada kerusakan atas

software tersebut, hal itu dapat dikatakan ada cacat tersembunyinya.

c. Saat produk tersebut diedarkan

Pertimbangan ketiga tentang saat produk tersebut diedarkan adalah lebih rumit. Disini dipertimbangkan suatu produk tidak cacat apabila saat lain setelah produk tersebut beredar, dihasilkan pula produk (bersamaan) yang lebih baik.

Adapun ciri-ciri barang yang mengandung cacat tersembunyi adalah barang tersebut mengandung cacat yang tidak mudah dilihat maupun diidentifikasi oleh konsumen. Jika cacat tersebut dapat dengan mudah dilihat atau diidentifikasi oleh konsumen, maka cacat tersebut tidak

dapat dikategorikan sebagai cacat tersembunyi (Pasal 1512 KUH Perdata)63

B. Mekanisme Perdagangan Obat oleh Apotek

.

a. Pengertian Apotek dan Dasar Hukum Pengaturannya

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, “Apotek adalah suatu sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukannya praktek kefarmasian oleh apoteker. Pekerjaan kefarmasian yang dimaksud adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian juga meliputi dalam pengadaan sediaan farmasi, produksi sediaan farmasi, distribusi atau penyaluran sediaan farmasi, dan pelayanan dalam sediaan farmasi”.

Pengertian lain adalah menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MenKes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah “suatu tempat tertentu dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat”.

Adapun berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 tentang Apotek, tugas dan fungsi Apotek meliputi:

a. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;

b. Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya kegiatan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat;

c. Sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata;

d. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat.

Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat diatur dalam:

a. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan; b. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika; c. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika;

d. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP No. 26 tahun 1965 mengenai Apotek;

e. Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin kerja Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri kesehatan No. 184/MENKES/PER/II/1995.

f. Peraturan Menteri Kesehatan No. 695/MENKES/PER/VI/2007 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 184 tahun 1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker;

g. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek;

h. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

Apotek sebagai tempat penyedia obat-obatan untuk akan melakukan pembelian obat-obatan terlebih dahulu sebelum akhirnya didistribusikan kepada pembeli. Adapun mekanisme pembelian obat oleh Apotek adalah64

a. Apotek membeli obat dari distributor :

Apotek akan mengadakan/membeli obat-obatan dari distributor obat atau pedagang besar farmasi (PBF). Para distributor ini memiliki salesman/marketing obat yang datang ke Apotek secara rutin dan memberikan informasi mengenai obat baru, obat yang sedang beredar, dan diskon atas obat yang akan dibeli. Para distributor mempunyai daftar harga dan bersaing mendapatkan Apotek untuk menjual obat-obat yang mereka pasarkan. Biasanya

salesman/marketing obat memberikan fasilitas ekstra, seperti diskon, entertainment, dan sebagainya.

b. Proses mendapatkan diskon dari distributor

Pihak distributor obat cenderung akan memberikan diskon tertentu kepada Apotek dilandasi dengan alasan mengejar target penjualan. Penutupan target penjualan ini biasanya ada di akhir bulan, maka Apotek biasanya akan memesan lebih banyak obat-obatan tersebut di akhir bulan. Semakin banyak kuantitas obat yang dibeli Apotek, tentunya semakin besar pula diskon yang akan diberikan oleh distributor, tetapi Apotek harus mempertimbangkan bagaimana posisi keuangannya pada akhir bulan tersebut apakah mampu membeli dengan jumlah seperti itu atau tidak.

c. Pemberian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% oleh distributor Setiap obat yang dibeli oleh Apotek cenderung dikenakan PPN senilai 10% oleh distributor obat. Apotek nantinya juga akan membebankan 10% tersebut kepada pembeli ditambah profit tertentu yang dikehendaki pihak Apotek. Nilai PPN ini biasanya tetap dan standar terjadi di setiap Apotek, namun demikian dapat juga ditemukan Apotek mencantumkan harga jual Apotek sebelum PPN.

64 Apoteker Blog, “Inilah Cara Menentukan Harga Obat di Apotek”, diakses dari

c. Pembatasan-Pembatasan Perdagangan Obat oleh Apotek kepada Konsumen

Pembatasan perdagangan obat oleh Apotek kepada konsumen salah satunya dapat ditinjau dari segi pengelolaan obat tersebut. Untuk mempermudah pengelolaan obat, pemerintah menetapkan peraturan mengenai penggolongan “Tanda” untuk membedakan jenis-jenis obat yang beredar di wilayah Republik Indonesia. Penggolongan obat tersebut dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi obat65

a. Obat Bebas

.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 917/Menkes/Per/X/1993 tentang Wajib Daftar Obat Jadi yang kini telah diperbaiki dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 949/Menkes/Per/VI/2000 tentang Registrasi Obat Jadi, penggolongan obat terdiri dari:

Pengertian obat bebas adalah obat yang dapat dijual bebas kepada umum tanpa resep dokter, tidak termasuk dalam daftar narkotika, psikotropika, obat keras, obat bebas terbatas dan sudah terdaftar di Depkes RI. Contohnya, panadol. Tanda khusus untuk obat bebas yaitu bulatan berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam, seperti terlihat pada gambar berikut :

65 Apotek Online, “Penggolongan Obat Menurut Permenkes No.917 Tahun 1993”,

diakses dari

Penandaan Obat Bebas b. Obat Bebas Terbatas

Pengertian obat bebas terbatas adalah obat keras yang dapat diserahkan kepada pemakainya tanpa resep dokter, bila penyerahannya memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1) Obat tersebut hanya boleh dijual dalam bungkusan asli dari pabriknya atau pembuatnya;

2) Pada penyerahannya oleh pembuat atau penjual harus mencantumkan tanda peringatan. Tanda peringatan tersebut berwarna hitam,berukuran panjang 5 cm,lebar 2 cm dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut:

Peringatan Obat Bebas Terbatas

Penandaan obat bebas terbatas berupa lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam, seperti terlihat pada gambar berikut:

c. Obat Keras

Pengertian obat keras adalah obat-obat yang ditetapkan sebagai berikut:

1) Semua obat yang pada bungkus luarnya oleh si pembuat disebutkan bahwa obat itu hanya boleh diserahkan dengan resep dokter;

2) Semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang nyata-nyata untuk dipergunakan secara parenteral;

3) Semua obat baru, terkecuali apabila oleh Departemen Kesehatan telah dinyatakan secara tertulis bahwa obat baru itu tidak membahayakan kesehatan manusia.

Contohnya, antibiotika. Penandaan obat keras adalah “Lingkaran bulat berwarna merah dengan garis tepi berwarna hitam dengan hurup K yang menyentuh garis tepi”, seperti yang terlihat pada gambar berikut:

Penandaan Obat Keras

d. Obat Wajib Apotek

Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker di apotek tanpa resep dokter. Contohnya, obat saluran cerna.

e. Obat Golongan Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat

menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan kedalam golongan I, II dan III.

1) Golongan I:

Narkotika ini hanya dapat digunakan untuk ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi yang menimbulkan ketergantungan. Contohnya, heroin.

2) Golongan II:

Narkotika ini digunakan untuk pengobatan, terapi, dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi tinggi yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Contohnya, morfin.

3) Golongan III:

Narkotika jenis ini berkhasiat untuk pengobatan, terapi, dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta berpotensi kecil mengakibatkan ketergantungan. Contohnya, codein.

f. Obat Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Contohnya, diazepam.

Dokumen terkait