Sama halnya seperti pengecualian terhadap pemberian status refugee pada Hukum Pengungsi Internasional, demikian juga halnya dengan penerapan prinsip non-refoulement. Pengecualian (exeption clause) ini didasarkan oleh alasan-alasan tertentu yang sah dan berdasarkan prosedur hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi Refugee dikenal dua potensi justifikasi derogasi terhadap prinsip non-refoulement, “whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country … or who, having been convicted by a final judgement of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country”.
3.1 National Security
Pertama, kehadiran refugee atau pencari suaka di negara tersebut merupakan ancaman bagi keamanan nasional (national security) seperti yang ditemukan dalam kalimat : ―[…] reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country […]‖. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa rumusan hukum mengenai ancaman terhadap keamanan nasional memiliki makna yang sangat luas dan relatif. Dalam mengintepretasikan frasa ―danger”, negara akan menggunakan diskresinya untuk menentukan apakah seseorang merupakan suatu ancaman terhadap keamanan negaranya. Akan tetapi, penilaian tersebut harus dilakukan secara kasus per kasus dan dilandasi oleh itikad baik (good faith)71.
Namun demikian, lain halnya dengan Konvensi Refugee dan Konvensi Deklarasi Suaka 1967, di dalam Konvensi OAU 1969 tidak mengakui adanya pengecualian terhadap penerapan prinsip non-refoulement. Namun, alasan ancaman terhadap national security dapat memungkinkan terjadinya pemukiman (resettlement) refugee ke suatu wilayah yang
71 Sigit Riyanto. Op. Cit., h. 447.
dianggap aman.72
Lebih lanjut, pada alasan pertama pada frasa “the security of the country” kerap disamakan dengan istilah “national security” atau keamanan nasional. Pengertian dari istilah ini cukup jelas, jika seseorang terlibat dalam aktifitas yang memiliki tujuan untuk menaklukan Negara dimana ia tinggal atau merupakan bagian dari negara tersebut, dan oleh Negara lain dibuktikan bahwa ia merupakan ancaman terhadap keamanan dari negara asalnya. Hal yang sama juga berlaku jika ia bekerja untuk menggulingkan Pemerintahan dari negara tempat ia menetap secara paksa atau melakukan kegiatan ilegal lainnya (sebagai contoh, pemalsuan hasil pemilu, pemaksaan pemilih, dll.), atau jika terlibat dalam aktifitas perlawanan yang ditujukan kepada Pemerintahan yang berdaulat, yang menimbulkan akibat mengancam terhadap Pemerintahan dari negara tempat tinggal dengan akibat yang serius. Spionase, sabotasi instalasi-instalasi militer dan terorisme adalah tindakan-tindakan yang dianggap sebagai ancaman terhadap national security.73
Secara umum, gagasan dibalik “national security” atau “security of the country” dilakukan terhadap tindakan yang bersifat serius yang secara langsung maupun tidak langsung membahayakan konstitusi (Pemerintahan), integritas wilayah, kemerdekaan maupun perdamaian eksternal dari negara yang bersangkutan.74 Pendekatan keamanan ini didukung oleh Artikel 32 (2) Konvensi Refugee serta hukum dan praktek umum Negara.
3.2 Tindak Kejahatan Serius
Selanjutnya pada alasan kedua, frasa “who, having been convicted by a final judgement of a particularly serious crime, constitutes a danger…”.
Perlu dicatat bahwa yang dapat dijadikan alasan untuk dapat menerapkan
72 Pasal II Konvensi OAU 1969.
73 Atle Grahl Madsen. ‗Commentary on The Refugee Convention 1951, Division of International Protection of the United Nations High Commissioner for Refugees, Geneva. h.
140.
74 Ibid.,
Pasal 33 ayat (2) adalah jika refugee yang bersangkutan telah dianggap sebagai ancaman pada suatu negara atau merupakan bahaya bagi masyarakat. Hanya jika tindak kriminal dilakukan dan putusan akhir (final judgement) telah diputuskan di waktu lampau yang dapat menjustifikasi kesimpulan dari seseorang yang merepresentasikan “a danger to community”.75 Seperti contoh, individu yang telah berpatisipasi dalam kejahatan perang dan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia internasional, termasuk kejahatan genosida dan kejahatan agresi—secara khusus dikecualikan dari perlindungan dan pertolongan yang ditujukan bagi refugee dan kemungkinan besar dapat dikembalikan ke negara asalnya.76
Akan tetapi, seseorang yang melakukan tindakan kriminal secara berulang-ulang secara residivis tidak dapat dikategorikan sebagai “a danger to community”.77
Untuk menentukan seorang individu sebagai bahaya dan ancaman terhadap national security dan mengidentifikasi seseorang yang telah melakukan tindak kejahatan serius membutuhkan proses hukum yang tidak sewenang-wenangnya dan melibatkan asas proporsionalitas, dengan mempertimbangkan konsekwensi mendasar yang akan menimpa seseorang yang akan dikembalikan. Lauterpacht dan Bethlehem memberikan pendapat mengenai pembatasan dalam penerapan Pasal 33 ayat (2) Konvensi Refugee sebagai berikut: 78
a. Perlu diperhatikan dan disadari bahwa alasan keamanan nasional dan keselamatan publik merupakan satu-satunya pengecualian atas prinsip non-refoulement yang dimuat dalam Konvensi Refugee 1951.
b. Penerapan dari pengecualian ini tunduk pada peringatan bahwa
75 Ibid.,
76 Kate Jastram dan Marilyn Achiron, ‗Refugee Protection: A Guide to International Refugee Law‘ h. 6 dan 41 http://www.refworld.org/pdfid/3cd6a8444.pdf. diakses 17 Juni 2021.
77 Atle Grahl Madsen. Op. Cit.,
78 Sir Elihu Lauterpacht dan Daniel Bethlehem, The scope and Content of the Principle of Non-refoulement, 2003, dalam Erika Feller, Volker Turk, and Frances Nicholsin (Eds), Refugee Protection in International Law: UNHCR‟s Global Cosultatations on International Pritection, 2003, Cambridge University Press, Cambridge. h. 133-134.
pengecualian tersebut tidak berlaku di dalam situasi dimana ancaman terjadi pada saat yang bersamaan dengan adanya ancaman penyiksaan, perbuatan atau hukuman kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia atau HAM lainnya yang tidak dapat diderogasikan.
c. Mengacu pada karakteristik non-refoulement yang berdasarkan asas kemanuasiaan, pengecualian non-refoulement harus diinterpretasikan secara terbatas dan diterapkan dengan kehati-hatian.79
d. Pasal 33 ayat (2) yaitu dalam hal pengusiran (expulsion) hanya dapat dilakukan dengan ketaatan yang ketat sesuai dengan ketentuan proses hukum dengan memperhatikan prinsip-prinsip umum hukum HAM.
e. Negara harus mengambil langkah-langkah yang cukup untuk memastikan transfer atas individu yang bersangkutan ke negara ketiga yang aman (safe third country).
Akhirnya, pembuktian yang berhasil tersebut memperbolehkan negara untuk melakukan pengusiran (expulsion) ke third country berdasarkan alasan national security yang diatur dalam Pasal 32 Konvensi Refugee. Hal yang krusial perlu juga ditekankan bahwa implementasi dari Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 32 ini memiliki pembatasan yang dimuat dalam Artikel 3 dari Convention against Torture “CAT‖ dan Artikel 7 dari the International Covenant on Civil and Political Rights ―ICCPR‖ yang perlindungannya bersifat absolut, yaitu untuk seorang individu bebas dari hukuman mati yang tidak semestinya, penghilangan paksa, penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dan menjalankan pengadilan yang tidak adil.
Tindakan kontra-terorisme dan keamanan nasional yang dilakukan oleh Negara dalam beberapa kasus, berdampak buruk pada perlindungan refugee.
Ini termasuk tindakan legislatif dan administratif yang terlalu membatasi, kurangnya akses ke prosedur suaka, dan ―kriminalisasi‖ refugee. Sebagai contoh semenjak peristiwa 11 September 2001 atau yang dikenal sebagai
―9/11‖, beberapa negara dilaporkan telah mengekstradisi, mengusir,
79 UNHCR, ‗Note on the Principle of Non-refoulement‘,UN doc. EC/SCP/2, August 1997.
mendeportasi atau dengan cara lainnya memindahkan warga negara asing, termasuk diantaranya para pencari suaka yang menjadi tersangka terorisme ke negara asalnya atau ke negara lain dimana mereka diduga menghadapi risiko penyiksaan atau perlakuan buruk, yang secara jelas hal itu melanggar prinsip non-refoulement.80
Dalam praktik, ditemukan juga penerapan refoulement oleh Negara kepada mereka yang mencari suaka karena alasan ekonomi yang buruk, bencana alam dan perubahan iklim. Hal ini dikarenakan persyaratan nexus dari Kovensi Refugee 1951 dan pada Protokol 1967 terkait Status Refugee yang tidak terpenuhi yaitu, atas dasar ketakutan akan penganiayaan atau persekusi.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa pada perkembangannya, non-refoulement menjadi hak mendasar bagi hak asasi manusia sebagai kepentingan humaniter sebagai perlindungan dari Artikel 6 (hak untuk hidup) dan 7 (larangan atas perlakuan menyiksa dan kejam, tidak manuasiawi atau menurunkan derajad martabat atas hukuman) dari ICCPR. Negara wajib menyelenggarakan mekanisme penilaian terhadap semua pencari suaka dengan memastikan bahwa kebutuhan perlindungan humaniter diproses secara individual dan dengan semestinya, termasuk sebagai mekanisme pelengkap dalam penentuan suaka. Selanjutnya, Negara harus menetapkan mekanisme akses masuk dan tinggal bagi para pencari suaka yang tidak dapat kembali di bawah Hukum HAM Internasional, untuk memastikan penegakkan non-refoulement, beserta dari perlakuan lainnya seperti fasilitas rehabilitasi yang menyiksa.
Mekanisme administratif dan legislatif juga harus dibentuk untuk memberikan status hukum kepada pencari suaka yang tidak dapat kembali,
80 OHCHR. ‗Human Rights, Terrorism and Counter-terrorism‘. Fact Sheet No. 32. h.
34. Factsheet32EN.pdf (ohchr.org). diakses 17 Juni 2021. Lihat juga interpretasi dari Human Rights Committee dalam general comment No. 20 (1992) terhadap artikel 7 ICCPR, yaitu : to include an obligation on States not to expose individuals to “the danger of torture or cruel, inhuman or degrading treatment or punishment upon return to another country by way of their extradition, expulsion or refoulement.” Dan pada No. 31, terhadap artikel 2 ICCPR, bahwa: the Covenant also entails an obligation on States “not to extradite, deport, expel or otherwise remove a person from their territory, where there are substantial grounds for believing that there is a real risk of irreparable harm… either in the country to which removal is to be effected or in any country to which the person may subsequently be removed.”
untuk diberi status sementara, jangka panjang, atau permanen.81
Dalam kata lain, pencari suaka atau refugee yang berada di luar kategori yang diterapkan dalam Konvensi Refugee 1951 dan Protokol 1967, harus menjalankan proses pemeriksaan, penilaian dan administratif yang dapat dipertanggung jawabkan negara serta bebas dari tindakan refoulement untuk memenuhi kebutuhan humaniter berdasarkan dengan hukum HAM Internasional yang berlaku beserta instrumen pelengkapnya.