9 BAB II
PRINSIP NON-REFOULEMENT DALAM HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL
Bab ini menguraikan tatanan Hukum Pengungsi Internasional terkait sejarah serta pengaturannya mengenai refugee dan pencari suaka. Bab ini juga akan menguraikan non-refoulement secara holistik mengenai perkembangannya dalam hukum internasional, termasuk hukum refugee internasional, hukum hak asasi manusia internasional, serta dalam taraf regional. Perkembangan dalam prinsip non-refoulement ini yang selanjutnya akan menerangkan kedudukannya sebagai prinsip yang tidak dapat dikecualikan (non-derogable) yang merupakan tujuan dari penelitian skripsi ini.
A. Hukum Pengungsi Internasional
Sebelum dapat mengantarkan kajian mengenai prinsip non-refoulement, perlu terlebih dahulu membahas asal muasal terciptanya prinsip non-refoulement, yaitu yang bermula dari pengaturan mengenai aliens atau warga asing. Dalam perkembangannya, pengaturan mengenai aliens, menciptakan ranah hukum baru dalam Hukum Internasional, yaitu Hukum Pengungsi Internasional, yang merupakan lex specialis dari Hukum Hak Asasi Manusia Internasional—dengan tujuan, untuk memberikan perlindungan hukum kepada setiap orang tanpa melihat perbedaan1. Hukum Pengungsi Internasional merupakan serangkaian aturan- aturan dan prosedur yang bertujuan untuk melindungi, diantaranya2: 1) Orang- orang yang mencari suaka karena persekusi; dan 2) Mereka yang disebut sebagai refugee menurut instrumen-instrumen hukum yang relevan.
1 Arlina Permanasari et.al., Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999, h. 334.
2 Bilal Dewansyah dan Ratu Durotun Nafisah, ‗Problem Implementasi Hak Konstitusional Atas Suaka: Keengganan dan Dampaknya‘ (2018) Jurnal Majelis, 7 Vol. 7, No. 2.
1. Pencari Suaka dan Refugee Internasional 1.1 Perbedaan Definisi
Dalam Hukum Pengungsi Internasional, terdapat dua subyek hukum yang merupakan subyek dari perlindungan Hukum Pengungsi Internasional, yaitu pencari suaka (asylum seeker) dan refugee internasional. Tak jarang istilah dari pencari suaka dan refugee disamakan walaupun sebenarnya keduanya memiliki definisi yang berbeda.
a. Pencari Suaka (Asylum Seeker)
Asylum merupakan kata dalam bahasa Inggris, yang memiliki makna sebagai tempat terhormat dimana seorang yang sedang dikejar berlindung3. Kata Asylum sendiri berasal dari bahasa Yunani “asylon”
atau dalam bahasa Latin, “asylum”.
Oleh karena dalam perkembangannya, pengertian pencari suaka ialah, seseorang yang mencari perlindungan internasional baik secara individu maupun berkelompok. Di negara-negara dengan prosedur individual, sebuah pencari suaka adalah seseorang yang belum mendapatkan keputusan oleh negara dimana ia telah mengajukan suaka. Tidak setiap pencari suaka dapat diakui sebagai refugee, tetapi—setiap refugee ialah pencari suaka pada awalnya.4
Sugeng Istanto mendefinisikan pencari suaka sebagai perlindungan individu di wilayah negara asing tempat ia mencari suaka. Suaka itu sendiri merupakan perlindungan negara asing di wilayah negara tersebut di kediaman perutusan asing, gedung kedutaan asing, atau kapal asing.
Dengan adanya perlindungan tersebut, seseorang tidak dapat diambil oleh penguasa negara lain. Selanjutnya, oleh Sumaryo Suryokusumo, definisi pencari suaka yaitu, sebagai keadaan dimana seorang pelarian politik mencari perlindungan di wilayah negara lain maupun di dalam lingkungan gedung perwakilan diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan itu
3 Clara Smyth, European Asylum Law and the Rights of the Child, Routledge, New York, 2014, h. 151.
4 UNHCR, An Introduction to International Protection, Protecting Persons of Concern to UNHCR, h. 12
diberikan, maka pencari suaka dapat memiliki imunitas dari proses hukum oleh negara dimana ia berasal.5
b. Pengungsi (Refugee)
Di bawah Hukum Internasional, refugee adalah orang-orang di luar negara asalnya yang membutuhkan perlindungan internasional karena ancaman serius terhadap kehidupannya secara integritas fisik atau terhadap kebebasan di negara asalnya karena penganiayaan, konflik bersenjata, kekerasan maupun ketidakteraturan publik yang serius.6 Lebih lanjut, dalam instrumen Hukum Pengungsi Internasional, yaitu pada Konvensi Refugee 1951 (1951 Covention relating to the Status Refugees), dan Protokol 1967 (the 1967 Protocol relating to the Status of Refugees) serta instrumen regional lainnya, yang dalam perkembangannya memberi penjelasan secara khusus mengenai definisi refugee, yaitu orang-orang yang melintasi perbatasan negara-negara dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1) Penganiayaan oleh karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan suatu kelompok sosial atau pendapat politik tertentu;7
2) Konflik bersenjata, yang dapat berakar dan/atau dilakukan bersamaan dengan perpecahan ras, etnis, agama, politik, gender atau kelompok sosial;8
3) Kekerasan yang dilakukan oleh gang terorganisir9, pelaku perdagangan ilegal (trafficker), dan aktor non-Negara lainnya melawan mereka yang tidak dapat atau tidak ingin dilindungi oleh Negara.
4) Persekusi dengan alasan orientasi seksual atau identitas gender;10
5 Rosmawati. ‗Perlindungan Terhadap Pengungsi/ Pencari Suaka di Indonesia (Sebagai Negara Transit) Menurut Konvensi 1951 dan Protokol 1967)‘ (2015) . Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 67 (17): 462.
6 Lihat UN General Assembly, Note on International Protection, 7 September 1994, A/AC.96/830, www.refworld.org/docid/3f0a935f2.html. dikunjungi pada 12 Februari 22.30.
7 Article 1A of the 1951 Convention.
8 UNHCR. ‗Guidelines on International Protection No. 12: Claims for refugee status related to situations of armed conflict and violence under Article 1A(2) of the 1951 Convention and/or 1967 Protocol relating to the Status of Refugees and the regional refugee definitions‘ 2 December 2016, HCR/GIP/16/12, http://www.refworld.org/docid/583595ff4.html, dikunjungi 13 Februari 2021 pukul 08.20.
9 Lihat Conflict and Violence Guidelines, dan UNHCR, ‗Guidance Note on Refugee Claims Relating to Victims of Organized Gangs‘ 31 March 2010 www.refworld.org/docid/4bb21fa02.html dikunjungi pada 13 Februari 2021 pukul 11.00.
5) Suatu bencana (termasuk kekeringan atau kelaparan) dimana mereka dikaitkan dengan situasi persekusi atau konflik bersenjata yang berakar pada perbedaan kelompok ras, etnis, agama atau politik, atau secara tidak proporsional memengaruhi kelompok tertentu.11
Alasan tambahan dapat ditemukan dalam instrumen regional lainnya, seperti berada di luar negaranya karena ‗peristiwa yang sangat menganggu ketertiban umum‘. Instrumen regional yang dimaksudkan adalah ketentuan-ketentuan yang berlaku secara regional atau di wilayah tertentu seperti yang ditemukan dalam Konvensi Pengungsi OAU (The Covention of the Organization of African Unity Governing the Spesific Aspects of Refugees Problems di wilayah Afrika; the Cairo Declaration on the Protection of Refugees and Displaced Persons in the Arab World) pada tahun 1992; Konvensi Havana tahun 1928 tentang Suaka (Havana Covention on Asylum), Konvensi Montevideo tahun 1933 tentang Suaka Politik (Montevideo Covention on Political Asylum), Konvensi Karakas tentang Suaka Teritorial dan Diplomatik tahun 1945 (Caracas Convention on Territorial Asylum and Diplomatic Asylum), dan Deklarasi Cartagena (Cartagena Declaration on Refugees) di negara-negara Amerika Latin;
serta the Asian-African Consultative Organization Bangkok Principles yang disepakati pada Juni 2001 atau yang dikenal sebagai “Bangkok Principles” di wilayah Asia-Afrika.
Menurut Betts dan Loescher12, refugee merupakan mereka yang melintasi perbatasan internasional untuk melarikan diri karena adanya
10 UNHCR, ‗Guidelines on International Protection No. 9: Claims to Refugee Status based on Sexual Orientation and/or Gender Identity within the context of Article 1A(2) of the 1951 Convention and/or its 1967 Protocol relating to the Status of Refugees‘ 23 October 2012, HCR/GIP/12/01, www.refworld.org/docid/50348afc2.html dikunjungi pada 13 Februari 2021 pukul 11.11.
11 Lihat UNHCR, ‗Legal considerations on refugee protection for people fleeing conflict and famine affected countries‘ 5 April 2017, www.refworld.org/docid/5906e0824.html. “People fleeing famine linked to armed conflict, violence or other State conduct may in addition be refugees under the 1969 OAU Convention criteria, which protect those who are compelled to seek refuge as a result of „events seriously disturbing public order in either part or the whole [of the country of origin]‟.” Dikunjungi pada 13 Februari 2021.
12 Alecander Betts and Gil Loescher, Refugee in International Relations, Oxford University Press, New York, 2011, h. 1.
pelanggaran hak asasi manusia dan kerentanan yang mereka alami. Orang yang mengalami penganiayaan dan/atau terampas sumber mata pencahariaannya sehingga melarikan diri untuk menyelamatkan diri ke luar negeri.
1.2 Pemberian Suaka
“Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution.” Menurut Pasal 14 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948 setiap orang berhak untuk mencari dan mendapatkan perlindungan di tempat suaka dari adanya bahaya persekusi.
Selanjutnya, Deklarasi tentang Suaka Teritorial (Declarations on Territorial Asylum) yang disahkan pada 14 Desember 1967 mengatur tentang :
(a) pembatasan pemberian suaka teritorial;
(b) negara dilarang untuk menolak pencari suaka di perbatasan kecuali dalam hal terjadinya a mass influx of persons (masuknya orang- orang dalam suatu Negara dengan jumlah yang sangat besar) dan hal tersebut dapat berimbas terhadap keamanan negaranya dan;
(c) berisi tentang hal-hal yang dilarang bagi mereka yang telah mendapatkan suaka.
Untuk menentukan kriteria seseorang dalam tahap pemberian status sebagai refugee kepada pencari suaka, terdapat beberapa kriteria untuk dapat dipertimbangkan oleh suatu negara, antara lain13 :
13 Susan Kneebone, Dallal Stevens, and Loretta Baldassar, Refugee protection and the Role of Law: Conflicting Identities, Routledge, New York, 2014, h. 26- 28.
Tabel 2. 1
Kriteria Pemberian Suaka oleh Suatu Negara
NO. KRITERIA DESKRIPSI
1. Berada diluar negara
kebangsaannya atau tempat tinggalnya
Berdasarkan Konvensi 1951, seseorang disebut sebagai refugee bila berada diluar negara kebangsaannya atau bila tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada diluar negara tempat tinggalnya sehari-hari. Fakta ini dapat dilihat berdasarkan pernyataan atau informasi lain yang diperoleh dari pemohon atau dari sumber lain.
2. Ketakutan Beralasan
Kriteria ini memiliki dua unsur, yaitu :
a) Unsur ―ketakutan‖, secara praktek umumnya hal ini dinilai dari ungkapan ketidakinginan seseorang untuk kembali dan dari keadaan yang melingkupinya.
b) Unsur ―beralasan‖, hal ini dinilai dengan melihat konteks keadaan politik yang sebenarnya di negara asal pemohon serta keadaan intergritas diri pemohon. Hal ini termasuk memahami latar belakang, profil serta pengalaman individu pemohon.
Selanjutnya informasi yang telah dikumpulkan kemudian dievaluasi secara objektif terkait keadaan di negara asalnya.
3. Penganiyaan Ketakutan beralasan yang dirasakan pemohon harus terkait penganiayaan. Istilah penganiayaan ini tak terkecuali dari segala bentuk gangguan dan perilaku yang tidak manusiawi serta tidak dapat dibiarkan berlangsung terus menerus. Misalnya hak akses atas kelangsungan hidupnya terbatasi.
4. Alasan dalam Konvensi 1951
Seseorang berhak memuperoleh status refugee jika ia takut dianiaya karena salah satu atau lebih dari lima alasan yang terdapat dalam Pasal 1A (2) Konvensi 1951 (persyaratan nexus), yaitu:
a) Ras, diartikan secara luas sebagai segala bentuk ciri kesukuan yang menonjol.
b) Agama, definisi agama tidak hanya mencakup agama yang sudah melembaga, tetapi juga mencakup sistem kepercayaan yang berupa keyakinan atau nilai-nilai tentang suatu
kenyataan yang tertinggi atau diagungkan, atau takdir spiritual manusia.
c) Kebangsaan, definisi ini tidak terbatas pada kewarganegaraan, tetapi juga mencakup kelompok-kelompok orang yang dicirikan oleh suku, agama, budaya atau bahasa, baik yang sesungguhnya atau anggapan.
d) Keanggotaan dalam Kelompok Sosial Tertentu, yang mana kelompok sosial terbentuk
berdasarkan salah satu alasan berikut:
1) Bawaan, seperti jenis kelamin, ras, hubungan kekerabatan, latar belakang bahasa, atau orientasi seksual,
2) Tidak dapat mengalami perubahan, sebagai contoh adanya hubungan di masa lampau dengan seseorang, misalnya sebagai mantan anggota kelompok niaga. e) Pendapat Politik, apabila diartikan dalam arti luas mencakup setiap pendapat tentang hal-hal yang berhubungan dengan mekanisme Negara, pemerintah, atau masyarakat.
5. Tidak Adanya Perlindungan Negara
Dalam definisi refugee menurut Konvensi Refugee 1951, salah satu unsurnya adalah seseorang tidak dapat atau tidak mau meminta perlindungan dari negara asal atau tempat tinggalnya sehari-hari.
Unsur ketidakmampuan tersebut memberikan isyarat akan adanya suatu keadaan yang merupakan diluar kendali pemohon, seperti pada saat
terjadinya perang. Sedangkan ketidakmauan merupakan tidak bersedianya orang tersebut untuk diberikan perlindungan oleh negara asal atau wilayah sebelumnya karena adanya ketakutan yang beralasan, yaitu penganiayaan. Perlindungan ini secara umum dikenal sebagai perlindungan konsuler atau diplomatik.
Bagi individu yang dianggap telah memenuhi kriteria-kriteria tersebut merupakan pencari suaka dan dapat dinyatakan sebagai seorang refugee jika telah mendapatkan pengakuan formil.
Seseorang yang telah memenuhi lima kriteria tersebut di atas merupakan pencari suaka dan akan dinyatakan sebagai seorang refugee
apabila telah diakui statusnya sebagai refugee.
Dengan demikian, pencari suaka yang telah mendapatkan status refugee secara formil memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan dan diakui oleh hukum internasional maupun nasional.
Terdapat dua jenis tempat yang dapat dijadikan sebagai tempat mencari suaka, yaitu :
Tabel 2. 2 Jenis Pemberian Suaka
NO. JENIS DESKRIPSI
1. Suaka Teritorial
Suaka ini diberikan dalam wilayah teritorial negara pemberi suaka. Pemberian suaka teritorial ini merupakan pelaksanaan kedaulatan wilayah oleh suatu negara dan negara berhak untuk memberikan suaka teritorial kepada pencari suaka.
2. Suaka Diplomatik
Jenis suaka diplomatik ini merupakan suaka yang diberikan oleh kedutaan atau utusan diplomatik, gedung konsuler, markas besar organisasi internasional, kapal perang, kapal-kapal dagang, dan sebagainya di wilayah teritorial dimana mereka berada.
Lain halnya dengan suaka teritorial, pemberian suaka diplomatik di dalam gedung kedutaan tidak mendapatkan pengakuan secara luas dari hukum internasional. Mengenai pemberian suaka oleh perwakilan diplomatik ini, terdapat setidaknya dua pendapat yang berbeda, yakni:
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa perwakilan diplomatik merupakan ''perpanjangan'' dari wilayah negara yang mengirimkan wakil diplomatik. Dengan begitu, suaka bisa diberikan baik di wilayah teritorial maupun wilayah perwakilan diplomatik negara itu dimana pun. Mengikuti pandangan ini, perwakilan diplomatik dianggap secara penuh berada di bawah
jurisdiksi negara yang memiliki perwakilan itu.
Dengan kata lain, perwakilan diplomatik memiliki kekebalan mutlak terhadap jurisdiksi negara tempat ia secara de facto berada.
b. Pendapat kedua menyatakan bahwa kekebalan yang dimiliki oleh suatu perwakilan diplomatik tidaklah bersifat mutlak Kekebalan-kekebalan dimiliki oleh perwakilan diplomatik bukan karena wilayah perwakilan merupakan bagian dari wilayah negara yang mengirimkan perwakilan, melainkan karena diberikan oleh negara tempat perwakilan itu berada semata-mata supaya perwakilan itu bisa menjalankan fungsinya secara baik. Jadi, menurut pandangan ini, perwakilan diplomatik bukanlah merupakan wilayah yang secara absolut tidak dapat dilanggar. Sebagai konsekuensinya, kalau kepentingan negara tempat perwakilan diplomatik itu berada menghendaki, kekebalan itu pun bisa dilanggar sehingga pada dasarnya suaka tidak bisa diberikan di wilayah perwakilan.
1.3 Status Refugee
Tanggung jawab utama untuk menentukan status pencari suaka sebagai refugee di wilayahnya adalah Negara. Negara dibantu oleh organ tambahan PBB, yaitu UNHCR yang diberikan mandat untuk menentukankan status refugee serta solusi berkelanjutan terkait repatriation (pemulangan refugee kembali ke negara asal), integration (integrasi di negara pemberi suaka), dan resettlement (pemukiman kembali ke negara ketiga). Prosedur Penentuan Status Pengungsi (RSD), dilakukan dengan tahap awal registrasi atau pendaftaran terhadap pencari suaka, lalu
UNCHR akan melakukan proses wawancara individual dengan didampingi seorang penerjemah yang kompeten. Setelah itu akan diumumkan hasil keputusan yang beralaskan apakah permintaan status refugee diterima atau ditolak. Jika ditolak, pencari suaka berhak untuk meminta banding.14 Akan tetapi, oleh karena setiap negara memiliki tanggung jawab dalam menentukan status refugee, maka cara dan metode yang dilakukan dalam proses berbeda-beda di setiap negara. Perbedaan tersebut dicerminkan dari pelbagai tradisi hukum, kondisi lokal dan budaya, serta sumber daya nasional.15
Namun demikian, status refugee bukanlah suatu hak yang bersifat absolut. Mereka yang teridentifikasi sebagai refugee akan menerima perlindungan serta memiliki hak dan kewajiban yang dijamin oleh hukum internasional dan hukum nasional tempat ia berlindung. Sebaliknya, Negara berhak membatalkan atau mencabut status refugee seseorang jika memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam Konvensi Refugee 1951 untuk menentukan berakhirnya status seseorang sebagai refugee, unsur-unsur pengecualian, serta golongan pencari suaka yang tidak berhak memperoleh status refugee karena kejahatan.
Tabel 2. 3
Unsur-Unsur Pengecualian Terhadap Status Refugee
NO. UNSUR DESKRIPSI
1. Pasal 1C Status refugee berakhir apabila seseorang yang bersangkutan:
a) Secara sukarela menerima perlindungan dari negara kebangsaannya;
b) Secara sukarela memperoleh kembali kewarganegaraannya setelah kehilangan
14 https://www.unhcr.org/id/penentuan-status-pengungsi dikunjungi pada 7 Maret 2021.
15 Kate Jastram, Marilyn Achiron. ‗Perlindungan Pengungsi, Buku Petunjuk Hukum pengungsi internasional Internasional‘ (Jakarta: UNHCR, 2001), h.53.
kewarganegaraannya;
c) Memperoleh kewarganegaraan baru serta menikmati perlindungan dari negara tersebut;
d) Secara sukarela menetap kembali di negara yang ditinggalkan karena takut akan penganiayaan;
e) Tidak dapat menolak perlindungan dari negara asal karena keadaan yang mengakibatkan dirinya pengakuan sebagai refugee telah hilang;Tidak mempunyai kewarganegaraan tetapi tidak dapat menolak perlindungan dari negara tempat tinggalnya semula karena keadaan yang mengakibatkan dirinya mendapat pengakuan sebagai refugee telah hilang.
2. Pasal 1D dan Pasal 1 E
Walaupun seseorang tersebut telah memenuhi syarat sebagai refugee namun apabila memenuhi unsur sebagai berikut maka yang bersangkutan tidak memerlukan perlindungan internasional, yakni:
a) Orang yang telah menerima perlindungan atau bantuan lembaga PBB selain UNHCR;
b) Orang yang telah diakui oleh negara dimana ia tinggal sekarang dan telah menerima hak dan kewajiban yang sama sebagaimana warga negara di negara tersebut.
3. Pasal 1 F
Sebuah golongan pencari suaka tidak berhak memperoleh status refugee apabila telah melakukan hal-hal sebagai berikut:
a) Melakukan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan;
b) Melakukan kejahatan non politik yang serius diluar negara tempat berlindung sebelum diterima masuk ke negara
tersebut sebagai refugee;
c) Telah dinyatakan bersalah melakukan tindakan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip PBB.
2. Perkembangan Hukum Pengungsi Internasional 2.1 Instrumen Hukum Sebelum 1950
Permulaan dari sejarah awal Hukum Pengungsi Internasional tidak terpisah hubungannya dengan seorang Penjelajah Antartika dari Norwegia, bernama Fridtjof Nansen atau Dr. Nansen, yang menjabat sebagai High Commissioner for Russian Refugees of the League of Nations pada tahun 1921, beliau turut memperluas kategori refugee melalui kompetensinya.16 Status seorang individu yang tidak memiliki perlindungan dari pemerintahan manapun—refugees dan stateless persons—tidak mempunyai dokumen identitas sebagai bukti diri. Di bawah perlindungan Komisaris Tinggi Rusia, para refugee Rusia dirampas kewarganegaraannya oleh Pemerintahan Soviet dan tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Refugee diperlakukan seperti alien, dimana tak ada aturan hukum manapun yang mengatur individu jika tidak memiliki dokumen berpergian. Instrumen internasional paling awal yang mengatur refugees, ditetapkan oleh Dr. Nansen dan setelah itu dokumen berpergian tersebut dikenal sebagai “Nansen Passport”17 yang berbentuk sertifikat pada selembar kertas. Kemudian untuk mengatasi permasalahan refugee tersebut, pada tahun 1933 dirancang dan disahkanlah Convention relating to the International Status of Refugee of 28 October 1933 atau “1933 Refugee Convention” yang mencakup perlindungan terhadap refugee dari Rusia, Armenia dan refugee lainnya yang sudah berasimilasi di kedua wilayah tersebut pasca Perang Dunia I. Selanjutnya pada masa yang sama,
16 Paul Weis. ‗The Development of Refugee Law‘ (1982) Michigan Journal of International Law. Vol. 3, Issue 1. h. 28.
17 Ibid.,
dilembagakanlah Convention concerning the Status of Refugees Coming From Germany of 10 February 1938.
Adapun The Forth Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War yang ditandatangani di Jenewa pada 12 Agustus 1949 untuk melindungi korban perang dan mengatur mengenai refugee karena refugee merupakan kategori orang-orang yang dilindungi.
Refugee yang tidak memperoleh perlindungan dari negara manapun tidak boleh dianggap dan diperlakukan seperti musuh. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 44 Konvensi ini yang menyatakan:―In applying the measures of control mentioned in the present Convention, the Detaining Power shall not treat as enemy aliens exclusively on the basis of their nationality de jure of an enemy State, refugees who do not, in fact, enjoy the protection of any government.‖
(Dalam menerapkan langkah-langkah pengendalian yang disebutkan dalam Konvensi ini, Negara Penahan tidak boleh memperlakukan warga asing sebagai musuh secara eksklusif berdasarkan kewarganegaraan de jure mereka dari Negara musuh, refugee yang sebenarnya tidak menikmati perlindungan dari pemerintah mana pun.)
Lebih lanjut, konvensi ini memiliki protokol tambahan, yaitu Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 yang mana pada Pasal 73 diatur mengenai refugee atau tanpa kewarganegaraan yang mewajibkan negara-negara peserta konvensi untuk menerima dan melindungi mereka tanpa suatu perbedaan :
“Persons who, before the beginning of hostilities, were considered as stateless persons or refugees under the relevant international instruments accepted by the Parties concerned or under the national legislation of the State of refugee or State of Residence shall be protected persons within the meaning of Parts I and III of the Fourth Convention, in all circumstances and without any adverse distinction.”
(Orang-orang yang, sebelum permulaan permusuhan, dianggap sebagai orang tanpa kewarganegaraan atau pengungsi di bawah instrumen internasional terkait yang diterima oleh Para Pihak terkait atau di bawah undang-undang nasional Negara Pengungsi atau Negara Tempat Tinggal, harus dilindungi sebagai orang-orang yang berada dalam pengertian
Bagian I dan III dari Konvensi Keempat, oleh semua keadaan dan tanpa perbedaan yang merugikan.)
2.2 Instrumen Hukum Pasca 1950
Pada masa Perang Dunia II, refugee menjadi isu yang semakin kompleks. Holocaust menjadi penyebab banyaknya refugee yang terpaksa meninggalkan daerahnya dan tidak dapat kembali karena alasan persekusi, terutama atas dasar ras dan etnis mereka sebagai kelompok Yahudi. Seusai perang pun mereka tidak dapat kembali ke negara asal karena ada perubahan ideologi yang mendasar.18
Perjanjian-perjanjian mengenai refugees akhirnya digantikan oleh suatu konvensi internasional yang mengatur Status Refugees.19 Konvensi tersebut disebut sebagai Refugee Convention yang diadopsi pada 28 Juli 1951 oleh Conference of Plenipotentiaries yang diselenggarakan di Jenewa dibawah wewenang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Refugee Convention dianggap sebagai instrumen internasional yang memiliki kedudukan paling tinggi dalam mengatur refugee. Oleh karena itu berdasarkan penjabaran di atas, sistem perlindungan terhadap refugees secara universal mencakup dua pilar yaitu the United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), yang dibentuk pada Desember 1950; dan 1951 Covention relating to the Status Refugees (Konvensi 1951), yang mengatur siapa saja yang berhak mendapatkan status sebagai refugee dan berisi hak-hak yang terkait di dalamnya.
Untuk memenuhi tujuan dari Konvensi, pada Pasal 1 bagian A, istilah
“refugee‖ berlaku bagi setiap orang yang mengalami peristiwa-peristiwa sebelum 1 Januari 1951 :
“as a result of events occurring before 1 January 1951 and owing to wellfounded fear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion is outside the country of his nationality and is unable or, owing to such fear, is unwilling to avail himself of the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his former habitual
18 United Nations High Commissioner for Refugees (―UNHCR 1‖), ‗Pengenalan tentang Perlindungan Internasional‘ (2005) hal. 6.
19 Convention relating to the Status of Refugees, July 28 1951
residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it.”
(Sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan yang disebabkan oleh kecemasan yang sungguh-sungguh berdasar akan persekusi karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan perlindungan negara itu; atau seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara di mana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa termaksud, tidak dapat, atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu).20
Perlu diketahui bahwa definisi refugee pada pasal tersebut memiliki batasan secara temporis dan geografis. Secara geografis, konvensi ini hanya berlaku bagi refugee yang berada di benua Eropa dan secara temporis, konvensi ini berlaku kepada refugee yang mencari suaka berdasarkan peristiwa yang terjadi sebelum tahun 1951.21 Batasan tersebut dihapus enam belas (16) tahun kemudian dengan diadopsinya Protokol 1967 terkait Status Refugee (the 1967 Protocol relating to the Status of Refugees) dengan melihat perkembangan permasalahan refugee yang semakin gawat karena permasalahan eksodus refugee Hungaria pada tahun 1956 ke Swiss akibat terjadinya revolusi dan refugee Algeria yang mengungsi ke Maroko dan Tunisia pasca kemerdekaan di Algeria.22
Menurut Protokol 1967 tentang Status Pengungsi pada Pasal 1 ayat (2), kata “As a result of events occuring before 1 January 1951” dan “a result of such events” pada Konvensi Refugee 1951 dihilangkan. Sebagai implikasi, dengan diamandemenkannya Protokol 1967, Konvensi Refugee 1951 sejatinya telah menjadi instrumen yang benar-benar universal dan paling penting dalam sistem perlindungan hukum bagi refugee.
20 Ibid.,
21 Ibid., h. 8.
22 UNHCR 1, Loc.Cit.
2.3 Instrumen Hukum Regional 1) Afrika
The Convention of the Organizations of African Unity Governing the Specific Aspects of Refugee Problems (Konvensi OAU) di Afrika yang diadopsi pada 10 September 1969, adalah intrumen suplementer taraf regional dari Konvensi Refugee 1951, yang memuat definisi lebih luas terkait konsep “refugee”, dengan turut melindungi orang-orang diluar negara asalnya karena agresi eksternal, pendudukan militer, dominasi asing, atau peristiwa lainnya yang sangat mengganggu ketertiban umum baik di sebagian maupun di seluruh negara asalnya. Hal ini berarti bahwa orang-orang yang melarikan diri dari wilayah negaranya sebagai akibat dari terjadinya kerusuhan sipil, kekerasan yang tersebar luas, dan peperangan berhak untuk mengklaim status pengungsi di wilayah negara- negara yang menjadi pihak dari Konvensi OAU 1969 tersebut tanpa memperhatikan apakah mereka memiliki rasa takut akan terjadinya penindasan atau persekusi/penganiayaan yang benar-benar berdasar.
Konvensi OAU juga membahas ketentuan yang tidak dimuat dalam Konvensi 1951 seperti suaka, kegiatan subversif refugee, dan pemulangan sukarela (voluntary repatriation).23
2) Asia-Afrika
Pada Agustus 1966, Bangkok Principle on Status and Treatment of Refugees atau “Bangkok Principles” diadopsi anggota Negara dari Konferensi Asia-Afrika yang berisi rekomendasi terkait penanganan refugee secara hukum, yang memuat definisi refugee, hak untuk mendapatkan suaka, hak dan kewaiban refugee serta perlakuan standard minimum oleh Negara pemberi suaka. Serta diadopsinya Resolution on
“Legal Identity and Statelessness” pada April 2006.
3) Afrika Utara dan Arab Tengah
Instrumen hak suaka dan refugee di Afrika Utara dan Arab Tengah dimuat pada Arab Covention on Refulating Status of Refugees in the Arab
23 OAU Convention Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa, 1969.
Countries 1984, The Riyadh for Judicial Cooperation (Excerpts) 1983, Seminars of Arab Experts on Asylum and Refugee Law tahun 1989 hingga tahun 1992, United General Assembly (UNGA) Resolution 302 (IV) tahun 1949 : Assistance to Palestine Refugees, serta Protocol on the Treatment of Palestinian Refugees atau Casablanca Convention yang diadopsi pada 10 September 1965.
4) Uni Eropa dan Eropa
Pada taraf Uni Eropa dan Eropa, awalnya dibentuk the 1950 Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, atau yang lebih dikenal sebagai, the European Convention on Human Rights (―ECHR‖) dan Protokol-protokolnya. Lalu Konvensi Jaminan Sosial (Convention on Social Security) yang diadopsi 14 Desember 1975 di Paris di bawah naungan Dewan Eropa (Council of Europe), mengasimilasi refugee dengan warga negara partai di wilayah mereka tinggal sehubungan dengan hukum jaminan sosial. Konvensi Eropa tentang Bantuan Sosial dan Medis (European Convention on Social and Medical Assistance)24 mengatur bahwa ketentuan Bagian I dari Konvensi (mengenai akses ke layanan sosial dan medis) akan berlaku sama bagi refugee sesuai dengan aturan yang sama saat mereka mengajukan kewarganegaraan pada partai negara tersebut. Perjanjian Eropa tentang Penghapusan Visa untuk Refugee25 membebaskan refugee yang memegang dokumen perjalanan Konvensi atau dokumen perjalanan yang dikeluarkan berdasarkan Perjanjian London 15 Oktober 1946 dari persyaratan visa dalam kasus kunjungan tidak melebihi tiga bulan. Pada 16 Oktober 1980, Dewan Eropa dibuka untuk ditandatangani sebuah Perjanjian tentang Pengalihan Tanggung Jawab untuk Refugee26 mengatur dokumen perjalanan untuk dikeluarkan bagi refugee yang pindah secara sah dari satu negara ke negara lain oleh negara kedua setelah dua tahun
24 European Convention on Social and Medical Assistance and Protocol, 1953.
25 European Agreement on the Abolition of Visas for Refugees, 1959.
26 Agreement on Transfer of Responsibility for Refugees, Europ. T.S. No. 107. See text in Council of Europe, Explanatory Report of The European Agreement on Transfer of Responsibility For Refugees (1980).
tinggal yang sah oleh refugee di negara itu.
Di awal tahun 1990-an, perlindungan taraf Eropa juga dikembangkan melalui Konvensi Dublin (Dublin Convention) yang disebut sebagai
“Dublin System”, yang mengalokasikan tanggung jawab untuk penentuan aplikasi suaka ke negara kedatangan pertama di UE, didasarkan pada konsep 'safe country ', yang pada gilirannya didasarkan pada kurangnya hak untuk memperoleh suaka.
Sejak tahun 2004, Uni Eropa telah mempromosikan harmonisasi dari norma perlindungan refugee dengan membangun Common European Asylum System (CEAS) melalui serangkaian arahan (directives) yang berurusan dengan penerimaan pencari suaka, prosedur untuk pemberian dan penarikan status refugee, perlindungan sementara, serta pemulangan.
Selanjutnya pada tahun 2012 prinsip ini juga diadopsi dalam Charter of Fundamental Rights of the European Union.
5) Amerika Tengah dan Latin
Di Amerika Tengah dan Latin, awalnya terbentuklah instrumen regional Di Amerika Latin, yaitu : 1) Konvensi Havana tahun 1928 tentang Suaka (the 1928 Havana Covention on Asylum); 2) Konvensi Montevideo tahun 1933 tentang Suaka Politik (the 1933 Montevideo Covention on Political Asylum); dan 3) Konvensi Karakas tentang Suaka Teritorial dan Diplomatik tahun 1945 (the 1945 Caracas Convention on Territorial Asylum and Diplomatic Asylum).
Selanjutnya pada 22 November 1984, Deklarasi Cartagena (Cartagena Declaration on Refugees) melindungi hak refugee di Amerika Tengah, Meksiko dan Panama. Deklarasi ini menjadi citasi bagi Deklarasi Brazil tentang Perlindungan Pengungsi dan Orang tanpa Kewarganegaraan (Brasilia Declaration on the Protection of Refugees and Stateless Persons in the Americas) yang ditandatangani oleh Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Colombia, Costa Ricas, Cuba, Republik Dominican, Ecuador, El Salvador, Guatemala, Mexico, Nicarague, Panama, Paraguay, Peru,
Uruguay dan Venezuela27 pada November 2011.
Lalu, negara Bolivia dan Chile juga mengadopsi The Mercosur Rio de Janeiro Declaration (Deklarasi Rio de Janeiro) tentang Institusi Pengungsi (Institution of Refugee). Deklarasi ini memberikan perlindungan internasional terhadap orang-orang yang mengalami persekusi dengan alasan ras, kebangsaan, agama, keanggotaan dari kelompok sosial tertentu, opini politik, atau korban dari pelanggaran hak terhadap hak asasi manusia secara umum.28
B. PrinsipNon
-
refoulementPada Hukum Pengungsi Internasional, dikenal prinsip paling mendasar yang menjadi kunci elemen dalam perlindungan terhadap pencari suaka dan refugee dari pengusiran oleh suatu negara, yaitu prinsip non-refoulement. Prinsip ini merupakan pengakuan komunitas internasional terhadap hak-hak kemanusiaan pencari suaka dan refugee untuk memastikan keselamatan mereka dimanapun mereka berada dan berlaku sebagai prinsip pelengkap (complicity principle) atau jus cogens29 dalam hukum kebiasaan internasional (customary international law).
Dengan kata lain, prinsip ini mengikat semua negara tanpa perlu adanya partisipasi atas Konvensi Refugee maupun peraturan refugee lainnya.
1. Konsep dan Perkembangan Prinsip Non-refoulement
Istilah “non-refoulement” berasal dari kata Perancis refouler yang memiliki arti menangkis (repel) atau mengirim kembali (to drive back)30, musuh yang gagal memasuki suatu pertahanan. Pada konteks pengontrolan imigrasi di benua Eropa, istilah “refoulement” merupakan sebuah tindakan
27 UNHCR, ‗Brasilia Declaration on the Protection of Refugees and Stateless Persons in the Americas, Brasilia‘, http://www.unhcr.org/4cdd3fac6.html diakses 26 Februari 2021.
28 UNHCR, Americas - Miscellaneous, ‗Rio de Janeiro Declaration on the Institution of Refuge‘ http://www.unhcr.org/refworld/docid/3de4f8982.html dikunjungi 26 Februari 2021.
29 Jean Allain. ‗The jus cogens Nature of non-refoulement‘ in International Journal of Refugee Law (2001).
30 Harun Ur Rashid. ‗Refugee and the Legal Principle of Non-refoulement (Rejection)‘ dalam Law and Our Rights (2005) Issue No. 197.
yang mencakup ringkasan rekonduksi bagi mereka yang ditemukan masuk ke perbatasan secara ilegal dan ringkasan penolakan masuk bagi mereka yang tidak memiliki dokumen valid.31 Selanjutnya pengertian istilah refoulement lalu dibedakan deportasi, yang merupakan proses lebih formal dimana seoeang warga negara asing secara hukum diwajibkan untuk meninggalkan suatu negara atau diusir secara paksa.32 Sebelumnya, dikenal prinsip non-ekstradisi yang merefleksikan sentimen terhadap mereka yang melarikian diri dari pemerintahan despotik yang layak mendapatkan perlindungan. Hal ini dikarenakan gejolak politik yang terjadi di Eropa dan Amerika Selatan, serta gerakan massa penduduk yang disebabkan oleh pogrom terhadap kaum minoritas Yahudi dan Kristen di Rusia dan masa Kesultanan Utsmaniyah.
Non-refoulement juga memiliki arti secara harifiah “forbidding to send back”, atau melarang untuk mengirim kembali. Frasa tersebut pertama kali muncul sebagai sebuah kepentingan dalam profesi hukum dari para pengacara internasional di komunitas internasional. Pada the 1892 Geneva Session of the Institut de Droit International (Institute of International Law atau Institusi Hukum Internasional), dirumuskan bahwa seorang refugee tidak diperbolehkan dengan cara expulsion (pengusiran) dikirim ke Negara lain kecuali persyaratan jaminan yang ditetapkan terkait ekstradisi diobservasi dengan semestinya.33
Pada pasca Perang Dunia I, praktisi internasional mulai menerima gagasan dari “non-return”, dimana refugee tidak diperkenankan untuk dikembalikan ke negara asalnya oleh suatu negara menjadi referensi pertama dalam instrumen internasional pada Artikel 3 dari 1933 Convention relating to the International Status of Refugees (Konvensi Refugee tahun 1933). Negara Peserta mengadopsi: „in any case not to refuse entry to refugees at the frontiers of their countries of origin‟.
Pada periode pasca Perang Dunia ke-II, konteks awal dari penerapan
31 Guy S. Goodwin-Gill. ‗The Refugee in International Law; Oxford University Press. 1996. h, 117.
32 Ibid.,
33 Règles internationales sur l'admission et l'expulsion des étrangers 1892, Article 16.
dimana larangan refoulement menjadi hal yang universal dianut Hukum Humaniter Internasional, yang dirumuskan pada Artikel 45 dari the 1949 Geneva Covention relative to the Protection of Civilians Persons in Time of War—bahwa dalam situasi apapun, orang-orang tersebut dapat mengalami bahaya penganiayaan karena opini politik atau keyakinan agamanya.
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa pengaturan mengenai prinsip ini dilembagakan oleh Konvensi Refugee tahun 1933 dan pembaharuannya pada tahun 1951 yang dimuat dalam pasal 33 mengenai pelarangan refoulement. Prinsip ini juga ditemukan dalam Artikel 45 dari dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan terhadap Orang Sipil (the 1949 Geneva Convention on the Protection of Civilian Person34 yang menyatakan: ―dalam keadaan apa pun orang yang dilindungi tidak boleh dipindahkan ke negara di mana dia mungkin memiliki alasan untuk takut akan penganiayaan karena politiknya, pendapat atau keyakinan agamanya.‖
Sebagai tambahan, hukum Hak Asasi Manusia Internasional juga telah mengintegrasikan prinsip non-refoulement sebagai komponen dari pelarangan atas penyiksaan dan tindakan kejam, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau menurunkan derajat manusia, yang dituangkan dalam Artikel 7 dari the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Oleh Komite HAM PBB (The United Nations Human Rights Committee atau
―HRC‖), mengintepretasikan Artikel 7 jo. Artikel 6 tentang perlindungan hak untuk hidup—yaitu, bahwa mengembalikan untuk menyiksa dan tindakan kejam lainnya juga dikecam dan dilarang. Menurut HRC, “States Parties must not expose individuals to the danger of torture or cruel or inhuman or degrading treatment or punishment upon return to another country by way of their extradition, expulsion or refoulement.”35 Intisari dari muatan yang sama
34 1949 Geneva Convention on the Protection of Civilian Persons menyatakan dalam Pasal 45: Protected Persons shall not be transferred to a Power which is not a party to the Convention […] In no circumstances shall a protected person be transferred to a country where he or she may have reason to fear persecution for his or her political opinions or religious beliefs.
35 UN, Human Rights Committee (1992).
juga dituangkan dalam Artikel 3 dari Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Convention Against Torture atau ―CAT‖).
Di dalam Hukum Pengungsi Internasional yang berperan sebagai lex specialis dari Hukum HAM Internasional mewajibkan adanya bentuk implementasi tak bersyarat seperti yang terceminkan dari Artikel 33 Konvensi Refugee—yaitu, bahwa tak ada pengecualian yang bisa dibuat. Akan tetapi penerapan dari kewajiban yang tegas ini tetap mengalami kesulitan. Sebagai contoh, untuk menepati prinsip non-refoulement beberapa negara hanya mengakui penerapannya terhadap mereka yang memiliki status refugee secara formal—tetapi tidak jika ia masih berstatus pencari suaka. Sedangkan beberapa negara lainnya gagal dalam menjalankan operasi prosedur penentuan status refugee yang efisien dan tepat.
Hal ini menggugah Excecutive Committee (ExComm) Kantor UNHCR untuk mencantumkan prinsip non-refoulement secara normatif dalam pelaksanaannya serta mengakui karakteristik non-refoulement sebagai prinsip dasar kemanusiaan. Dengan penegasan dan elaborasinya terhadap karakteristik dari non-refoulement dalam dokumen-dokumen perjanjian non-binding (soft law), hal ini mencerminkan adanya praktik yang diakui dan telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional secara terpancang dan terang- terangan.36
Dalam konklusi ExComm No. 6 dalam Non-refoulement. ditetapkan bahwa implementasi dari prinsip non-refoulement tidak membutuhkan adanya pengakuan formal dari status refugee. Artinya, seseorang tidak harus memperoleh status refugee secara formal untuk bebas dari tindakan refoulement. Hal ini berdasarkan dengan fakta bahwa setiap refugee awalnya merupakan pemohon suaka; oleh karena itu, untuk melindungi refugee, pencari suaka harus diperlakukan dengan asumsi bahwa mereka akan menjadi refugee sampai status mereka telah ditetapkan. Pada kasus terjadinya large-
36 Goodwin-Gill, Guy S. and McAdam, Jane The Refugee in International Law.
Oxford, Oxford University Press, 3rd edition, 2007, h. 217.
scale influx, pencari suaka harus selalu mendapatkan setidaknya tempat pengungsian sementara.
Selanjutnya, pada konklusi yang diadopsi tahun 1980, menunjukkan perlu adanya pengamatan ketat terhadap kasus dimana terjadinya mass influx refugee terkait penerapan non-refoulement. Konklusi ExComm tahun 1981 dan 2004 menegaskan secara lebih bahwa prinsip non-refoulement juga termasuk larangan atas penolakan di perbatasan (non-rejection at frontiers) dengan tambahan bahwa akses yang adil dan efektif terhadap prosedur suaka harus terjamin.37 Meskipun konklusi-konklusi yang diadopsi oleh Excomm UNHCR tidak memiliki kekuatan hukum dan karenanya, tidak menciptakan kewajiban yang mengikat—akan tetapi memiliki kontribusi dalam merumuskan opinio juris dalam kaitannya menentukan kewajiban hukum suatu negara.
Perluasan penerapan prinsip non-refoulement terhadap pencari suaka juga dipertegas oleh Majelis Umum PBB dalam Deklarasi tentang Suaka Teritorial 1967, dimana pada Pasal 3 menegaskan bahwa setiap orang yang berhak mencari suaka tidak boleh diusir atau ditolak masuk oleh negara tempat ia mengajukan permohonan suaka. Pencari suaka ini tidak boleh dikembalikan ke negara manapun dimana ia menghadapi risiko penganiayaan atau persekusi.38 Tidak dipermasalahkan bagaimana seorang pencari suaka memasuki wilayah atau yurisdiksi dari suatu negara; yang menjadi hal penting adalah hasil dari tindakan yang diambil oleh Negara tersebut. Jika pencari suaka mengalami repratrasi paksa ke negara dimana ia memiliki ketakutan yang beralasan atas persekusi atau mengalami ancaman mendasar dari penyiksaan, maka tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip non- refoulement dalam hukum internasional.
Larangan refoulement telah ditafsirkan oleh beberapa pengadilan dan mekanisme hak asasi manusia internasional untuk diterapkan pada berbagai
37 Tamás Molnár. ‗The Principle of non-refoulement under international law; Its inception and evolution in a nutshell‘ Cojourne 1:1 (2016) h. 53.
https://core.ac.uk/download/pdf/78472975.pdf diakses 1 Maret 2021.
38 Pasal 3 ayat (1) Deklarasi tentang Suaka tahun 1967.
pelanggaran hak asasi manusia yang serius, termasuk penyiksaan, dan tindakan kejam, tidak manusiawi atau lainnya—termasuk perlakuan yang merendahkan, penyangkalan terang-terangan atas hak untuk menjalankan pengadilan yang adil39, risiko pelanggaran hak untuk hidup40, integritas dan/atau kebebasan orang tersebut41, bentuk serius kekerasan seksual dan berbasis gender42, hukuman mati43, mutilasi alat kelamin perempuan44, atau kurungan isolasi yang berkepanjangan45. Beberapa pengadilan dan beberapa mekanisme hak asasi manusia internasional telah lebih jauh menafsirkan pelanggaran berat terhadap ekonomi, sosial dan hak budaya termasuk dalam ruang lingkup larangan non-refoulement karena akan mewakili pelanggaran berat terhadap hak untuk hidup atau kebebasan dari penyiksaan, hukuman atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan lainnya. Misalnya, kondisi kehidupan yang menurun46, kurangnya perawatan medis47, atau penyakit kesehatan mental48 menjadi alasan mendasar untuk mencegah adanya pengusiran atau pemulangan kembali.49
Di Inggris pada tanggal 9-10 Juli 2001, UNHCR bekerjasama dengan The Lauterpacht Research Centre for International Law, University of Cambridge, menyelenggarakan Expert Roundtable yang menyepakati beberapa kesimpulan yang relevan terkait prinsip non-refoulement.
39 ECtHR, Othman (Abu Qatada) v United Kingdom, No. 8139/09, 17 January 2012, para 235, 258.
40 Human Rights Committee, General Comment No. 31, para 12.
41 Inter American Convention on Human Rights, art. 22(8). IACtHR, Pacheco Tineo Family v. Bolivia, Judgment of November 25, 2013, para 135.
42 CAT, Njamba and Balikosa v Sweden, No. 322/2007, 3 June 2010, para 9.5;
CEDAW, General Recommendation No. 32, para 23.
43 Human Rights Committee, Judge v Canada, No. 829/1998, 20 October 2003, para 10.3; ECtHR, Soering v United Kingdom, No. 14038/88, 7 July 1989, para 111.
44 Human Rights Committee, Kaba v Canada, 21 May 2010, para 10.1; CEDAW, General Recommendation No. 32, para 23.
45 Human Rights Committee, General Comment No. 20, 1994, para 6.
46 ECtHR, MSS v Belgium and Greece, 30696/09, 21 January 2011.
47 Human Rights Committee, C v Australia, No. 900/1999; ECtHR, Paposhvili v Belgium, 41738/10, 13 December 2016, IACtHR, Advisory Opinion OC-21/14, 19 August 2014, para 229.
48 Human Rights Committee, A.H.G. v Canada, No. 2091/2011, 5 June 2015, para 10.4.
49 OHCHR, ‗The principle of non-refoulement under international human rights law‘
Migration Issue of Global Compact Migrations.
https://www.ohchr.org/Documents/Issues/Migration/GlobalCompactMigration/ThePrincipleNo n-RefoulementUnderInternationalHumanRightsLaw.pdf diakses 10 Juni 2021.
Kesimpulan yang dihasilkan dalam Expert Roundtable tersebut adalah50: a Prinsip non-refoulement merupakan prinsip yang diakui sebagai hukum
internasional kebiasaan (customary international law);
b hukum pengungsi internasional adalah perangkat hukum yang dinamis yang didukung oleh Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol New York 1967, dan juga perkembangan bidang hukum internasional lain yang relevan, seperti hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional (international human rights and humanitarian law);
c tanpa membedakan pengakuan formalnya, Pasal 33 Konvensi Jenewa 1951 berlaku terhadap pengungsi dan pencari suaka. Dalam hal pencari suaka, ketentuan ini (non-refoulement) berlaku hingga statusnya ditetapkan berdasarkan prosedur yang adil;
d prinsip non-refoulement yang dilembagakan dalam Pasal 33 Konvensi Jenewa 1951 mencakup setiap tindakan negara yang dapat berakibat pada pengembalian pencari suaka atau pengungsi ke perbatasan wilayah atau tempat dimana kehidupan dan kebebasannya akan terancam, atau di wilayah tempat mereka menghadapi risiko penganiayaan, termasuk intersepsi, penolakan di perbatasan, atau refoulement secara tidak langsung;
e prinsip non-refoulement berlaku dalam situasi terjadi pengungsian massal (mass influx). Dibutuhkan langkah-langkah kreatif untuk menangani permasalahan-permasalahan khusus yang muncul dalam situasi pengungsian massal;
f hak negara untuk melakukan tindakan yang dapat mengarah pada tindakan refoulement ditentukan berdasarkan prinsip hukum tentang tanggungjawab negara (state responsibility). Tanggung jawab internasional untuk
50 Lihat Summary Conclusions: ‗The principle of non-refoulement (Expert Roundtable organized by the United Nationas High Commissioner for Refugees and the Lauterpacht Research Centre for International Law, Uni- versitas Cambridge, Inggris, 9-10 Juli 2001)‘ dalam Erika Feller, Volker Turk dan Frances Nicholson, Op.Cit., h. 178-179. Expert Roundtable ini dihadiri oleh tigapuluh lima orang pakar dari lima belas negara; mereka berasal dari pejabat pemerintah, organisasi nonpemerintah, akademisi dan kalangan profesional di bidang hukum. Diskusi ini dipimpin oleh Sir Elihu Lauterpacht, Direktur Lauterpacht Research Centre for International Law dan Rosalyn Higgins, Hakim pada Mahkamah Internasional (International Court of Justice).
bertindak sesuai dengan kewajiban internasional merupakan pertimbangan yang harus diutamakan;
g prinsip perlindungan hak asasi manusia dapat dikesampingkan berdasarkan pertimbangan tentang kepentingan umum (public interest) dan keamanan nasional (national security) sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) Konvensi Jenewa 1951. Namun, pengecualian tersebut harus ditafsirkan dan dilakukan dengan sangat ketat. Pengecualian ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan kesempatan untuk melakukan penyelamatan dan sebagai tindakan terakhir yang dapat dilakukan negara (a measure of last resort). Dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan tindakan penyiksaan (torture), tidak boleh dilakukan tindakan refoulement tanpa pengecualian.
Dalam kerangka hukum internasional, prinsip non-refoulement juga diakui melalui pelembagaan pada perjanjian-perjanjian multilateral yang bersifat resolusi dan deklarasi taraf regional, yaitu diantaranya :
a. Konvensi OAU di Afrika, yang mencantumkan prinsip ini pada Pasal II ayat (3);
b. Bangkok Principles yang mengatur di dalamnya, pengakuan terhadap konsep prinsip non-refoulement, dimana refugee tidak diperkenankan untuk dikeluarkan “to a State or Country where his life or liberty would be threatened for reasons of race, colour, nationality, ethnic origin, religion, political opinion, or membership of a particular social group.”
c. Deklarasi Cartagena, salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa prinsip non-refoulment merupakan “corner-stone” (batu penjuru) terhadap perlindungan refugee internasional dan harus diakui serta dipatuhi sebagai jus cogens.
d. Pada hukum Uni-Eropa, the EU Charter of Fundamental Rights, mengakui prinsip non-refoulement pada Artikel 19 ayat (2) dan selanjutnya, pada Artikel 18 Charter juga menyatakan bahwa ECHR menghormati aturan dalam Konvensi Refugee 1951, termasuk di antaranya pelarangan refoulement. Oleh European Court of Human Rights (ECtHR), menginterpretasikan Artikel 3 dari the 1950 European Covention on
Human Rights (ECHR), mencakup prinsip non-refoulement, terkait praktik pemulangan karena pengembalian atau ekstradisi yang memungkinkan seorang refugee mendapatkan penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi atau perlakuan atau hukuman yang menurunkan martabat.
e. Begitu pula dalam rekomendasi yang diadopsi oleh Komite Menteri Dewan Eropa pada 29 Juni 1967 yaitu Resolution on Asylum to Persons in Dangers of Persecution, bahwa tidak ada seorang pun dapat menjadi subyek dikenakan penolakan masuk di perbatasan, penolakan, pengusiran atau tindakan lain yang akan berakibat memaksa dia untuk kembali ke, atau tetap di, wilayah di mana dia akan berada dalam bahaya;
f. Pasal The 1969 American Covention on Human Rights.
g. Artikel 2 the Cairo Declaration on the Protection of Refugees and Displaced Persons in the Arab World.
Prinsip non-refoulement juga berkembang dalam hukum internasional mengenai penerapannya secara ekstrateritorial yang telah diterima oleh masyarakat internasional. Dalam arti lain, prinsip non-refoulement wajib ditegakkan meskipun tindakan negara berlangsung di luar wilayah negaranya dalam arti sempit, misalnya zona transit bandara,51 serta pada area yang dikualifikasikan sebagai zona internasional atau lautan lepas.52
Sebuah situasi unik terkait refoulement ditemukan, dimana refoulement diterapkan secara tidak langsung oleh Negara host mengirim individu yang bersangkutan ke ―negara transit‖ (transit country) yang selanjutnya oleh negara transit tersebut mereka dikembalikan ke negara atau wilayah dimana ia terancam atas penyiksaan atau perlakuan lainnya yang menurunkan derajad manusia atau berupa hukuman. Praktik refoulement ini disebut sebagai
“indirect” (tidak langsung) atau “chain” (berantai). Menurut yurisprudensi ECtHR, hal ini menimbulkan tanggung jawab oleh Negara host pertama karena telah diterapkan bahwa suatu Negara wajib memastikan jaminan yang efisien dari tindakan refoulement yang sewenang-wenangnya bahkan dalam
51 CF. the ECtHR Judgement in Amuur v France – Application No. 19776/92.
52 CF. the ECtHR Judgement in Hirsi et al v Italy in 2021 – Application No.
27765/09.
proses transit.53
2. Prinsip Non-refoulement sebagai Jus Cogens
Dalam sistem hukum internasional, Jus cogens atau norma pemaksa (peremptory norm), merupakan norma yang bersifat wajib, universal, tidak mengakui adanya pembatasan atau derogasi, dan tidak dapat dimodifikasi atau diringkas oleh norma-norma internasional dengan otoritas yang setara.54 Kedudukan jus cogens lebih tinggi dari kedudukan norma jus dispositivum atau yang disebut sebagai norma hukum internasional di mana negara sebagai anggota masyarakat internasional berdasarkan situasi dan syarat-syarat tertentu dimungkinkan untuk menyimpangi atau melakukan modifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum tersebut.55 Dalam hal ini, negara manapun tidak dapat menyampingi segala bentuk norma hukum internasional yang memiliki karakter jus cogens. Materiil dari sumber hukum internasional yang tidak sesuai dengan norma pemaksa tidak memiliki keberlakuan, dan aturan serta praktik nasional yang melanggar norma pemaksa batal atau tidak sah dalam pranata hukum internasional.
Sebagai salah satu perkembangan prinsip mengenai tertib hukum internasional (l‟ordre public international56), jus cogens telah diterima oleh komunitas internasional dengan pelembagaannya dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional 1969 (Vienna Convention to the Law of Treaties of 1969) atau yang dikenal sebagai Konvensi Wina 1969. Jus cogens diatur dalam Pasal 53 Konvensi Wina 1969, Bagian V perihal pembatalan, berhenti berlaku dan penundaan berlakunya perjanjian. Ketentuan pada pasal tersebut menyatakan :
“A treaty is void if, at the time of a peremptory norm of a general international law. For the purpose of the present Convention, a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the
53 Tamás Molnár. Op Cit., h. 57.
54 Lihat catatan supra 5 dari Pasal 53 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.
55 Jean Allain. ‗The Jus Cogens Nature of Non-refoulement‘ (2001) International Journal of Refugee Law, Vol. 13 No. 4, Oxford University Press, Oxford, h. 534-538.
56 Ibid.
international community of states as a whole as norm from modified only by a subsequent norm of general international law having the same character.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, jus cogens adalah norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, sebagai norma yang tidak dapat diderogasi atau dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum baru yang mempunyai sifat yang sama. Dalam hal timbulnya suatu jus cogens yang baru, pada Pasal 64 disebutkan bahwa setiap perjanjian internasional yang bertentangan dengan jus cogens tersebut menjadi batal dan dihapuskan.57 Adapun bunyi Pasal 64 Konvensi Wina 1969 adalah :“If a new peremptory norm of general international law emerges, any existing treaty which is in conflict with that norm becomes void and terminate.”
Untuk mengidentifikasi dan menilai bahwa prinsip non-refoulement adalah norma jus cogens dalam hukum internasional, maka mengacu pada ketentuan dari Pasal 53 Konvensi Wina 1969 yang memuat karakteristik berikut :
a. Merupakan hukum kebiasaan internasional;
b. Terbentuk apabila diterima dan diakui oleh masyarakat internasional, khususnya negara secara keseluruhan dalam lingkup masyarakat internasional.
Mengacu pada pasal tersebut, tolak ukur untuk mengidentifikasi norma jus cogens telah disebutkan pada rumusan pasal tersebut dengan karakteristik yang telah disebutkan di atas. Sedangkan persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :
2.1 Syarat Double Consent
Merujuk pada Pasal 53 Konvensi Wina 1969, khususnya yang menyatakan bahwa “[…] a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole […]‖.
Dalam kalimat ini jus cogens diartikan sebagai kaidah hukum
57 Budiono Kusuhamidjojo. Suatu Studi terhadap Aspek Operasional: Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung, Binacipta, 1986, h. 46.
internasional hukum yang memaksa dan diterima serta diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Dengan demikian kaidah hukum yang dianggap jus cogens harus terlebih dahulu disetujui oleh negara-negara.58 Secara kesimpulan, syarat double consent pada jus cogens pertama, pengakuan oleh negara-negara secara global dan telah banyak dituangkan dalam perjanjian-perjanjian internasional. Dalam arti, kaidah hukum tersebut adalah kaidah hukum internasional yang bersifat umum. Kedua, kaidah hukum tersebut nersifat memaksa. Artinya, adanya persetujuan atas sifat umum dan memaksa dari suatu kaidah hukum internasional.
2.2 Syarat Universalitas
Salah satu persyaratan untuk mengidentifikasi norma jus cogens ialah bahwa norma tersebut harus diakui dan dinyatakan sebagai jus cogens secara kesuluruhan. Hal ini ditemukan pada kata “as a whole” dalam ketentuan Pasal 53 Konvensi Wina 1969. Kata tersebut tidak diartikan secara harifiah, karena perkataan tersebut mempunyai maksud atau arti tertentu. Menurut International Law Commision (ILC) kata “as a whole”
sudah cukup dipenuhi dengan adanya suara mayoritas yang sangat besar, sehingga meskipun ada yang menentang norma tersebut sebagai jus cogens, tidak menjadi suatu persoalan sebab melihat banyaknya negara yang mengakui dan menyatakan norma tersebut sebagai jus cogens.59 Dengan demikian, jus cogens harus diakui oleh negara-negara secara near universal.60
Pada prinsipnya, penetuan suatu norma sebagai jus cogens memperhatikan tolak ukur yang tercantum pada Pasal 53 Konvensi Wina 1969 dengan kehendak negara-negara yang ada. Hal ini tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan penuh pertimbangan. Pertimbangan yang
58 F. A. Whisnu Suteni, Identifikasidan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Bandung, Mandar Maju, h. 107.
59 Lihat UN.DOC.A/Conf.39/11, Official Record of the UN Conference on the Law of Treaties, first session, Summary recors of the plenary meetings and of the meetings of the Committee of the Whole. h, 472.
60 F.A Whisnu Suteni, Op. Cit., h. 109.