• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Non-refoulement sebagai Jus Cogens

Dalam sistem hukum internasional, Jus cogens atau norma pemaksa (peremptory norm), merupakan norma yang bersifat wajib, universal, tidak mengakui adanya pembatasan atau derogasi, dan tidak dapat dimodifikasi atau diringkas oleh norma-norma internasional dengan otoritas yang setara.54 Kedudukan jus cogens lebih tinggi dari kedudukan norma jus dispositivum atau yang disebut sebagai norma hukum internasional di mana negara sebagai anggota masyarakat internasional berdasarkan situasi dan syarat-syarat tertentu dimungkinkan untuk menyimpangi atau melakukan modifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum tersebut.55 Dalam hal ini, negara manapun tidak dapat menyampingi segala bentuk norma hukum internasional yang memiliki karakter jus cogens. Materiil dari sumber hukum internasional yang tidak sesuai dengan norma pemaksa tidak memiliki keberlakuan, dan aturan serta praktik nasional yang melanggar norma pemaksa batal atau tidak sah dalam pranata hukum internasional.

Sebagai salah satu perkembangan prinsip mengenai tertib hukum internasional (l‟ordre public international56), jus cogens telah diterima oleh komunitas internasional dengan pelembagaannya dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional 1969 (Vienna Convention to the Law of Treaties of 1969) atau yang dikenal sebagai Konvensi Wina 1969. Jus cogens diatur dalam Pasal 53 Konvensi Wina 1969, Bagian V perihal pembatalan, berhenti berlaku dan penundaan berlakunya perjanjian. Ketentuan pada pasal tersebut menyatakan :

“A treaty is void if, at the time of a peremptory norm of a general international law. For the purpose of the present Convention, a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the

53 Tamás Molnár. Op Cit., h. 57.

54 Lihat catatan supra 5 dari Pasal 53 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969.

55 Jean Allain. ‗The Jus Cogens Nature of Non-refoulement‘ (2001) International Journal of Refugee Law, Vol. 13 No. 4, Oxford University Press, Oxford, h. 534-538.

56 Ibid.

international community of states as a whole as norm from modified only by a subsequent norm of general international law having the same character.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, jus cogens adalah norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, sebagai norma yang tidak dapat diderogasi atau dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum baru yang mempunyai sifat yang sama. Dalam hal timbulnya suatu jus cogens yang baru, pada Pasal 64 disebutkan bahwa setiap perjanjian internasional yang bertentangan dengan jus cogens tersebut menjadi batal dan dihapuskan.57 Adapun bunyi Pasal 64 Konvensi Wina 1969 adalah :“If a new peremptory norm of general international law emerges, any existing treaty which is in conflict with that norm becomes void and terminate.”

Untuk mengidentifikasi dan menilai bahwa prinsip non-refoulement adalah norma jus cogens dalam hukum internasional, maka mengacu pada ketentuan dari Pasal 53 Konvensi Wina 1969 yang memuat karakteristik berikut :

a. Merupakan hukum kebiasaan internasional;

b. Terbentuk apabila diterima dan diakui oleh masyarakat internasional, khususnya negara secara keseluruhan dalam lingkup masyarakat internasional.

Mengacu pada pasal tersebut, tolak ukur untuk mengidentifikasi norma jus cogens telah disebutkan pada rumusan pasal tersebut dengan karakteristik yang telah disebutkan di atas. Sedangkan persyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :

2.1 Syarat Double Consent

Merujuk pada Pasal 53 Konvensi Wina 1969, khususnya yang menyatakan bahwa “[…] a peremptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole […]‖.

Dalam kalimat ini jus cogens diartikan sebagai kaidah hukum

57 Budiono Kusuhamidjojo. Suatu Studi terhadap Aspek Operasional: Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung, Binacipta, 1986, h. 46.

internasional hukum yang memaksa dan diterima serta diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Dengan demikian kaidah hukum yang dianggap jus cogens harus terlebih dahulu disetujui oleh negara-negara.58 Secara kesimpulan, syarat double consent pada jus cogens pertama, pengakuan oleh negara-negara secara global dan telah banyak dituangkan dalam perjanjian-perjanjian internasional. Dalam arti, kaidah hukum tersebut adalah kaidah hukum internasional yang bersifat umum. Kedua, kaidah hukum tersebut nersifat memaksa. Artinya, adanya persetujuan atas sifat umum dan memaksa dari suatu kaidah hukum internasional.

2.2 Syarat Universalitas

Salah satu persyaratan untuk mengidentifikasi norma jus cogens ialah bahwa norma tersebut harus diakui dan dinyatakan sebagai jus cogens secara kesuluruhan. Hal ini ditemukan pada kata “as a whole” dalam ketentuan Pasal 53 Konvensi Wina 1969. Kata tersebut tidak diartikan secara harifiah, karena perkataan tersebut mempunyai maksud atau arti tertentu. Menurut International Law Commision (ILC) kata “as a whole”

sudah cukup dipenuhi dengan adanya suara mayoritas yang sangat besar, sehingga meskipun ada yang menentang norma tersebut sebagai jus cogens, tidak menjadi suatu persoalan sebab melihat banyaknya negara yang mengakui dan menyatakan norma tersebut sebagai jus cogens.59 Dengan demikian, jus cogens harus diakui oleh negara-negara secara near universal.60

Pada prinsipnya, penetuan suatu norma sebagai jus cogens memperhatikan tolak ukur yang tercantum pada Pasal 53 Konvensi Wina 1969 dengan kehendak negara-negara yang ada. Hal ini tidak dilakukan secara sembarangan, melainkan penuh pertimbangan. Pertimbangan yang

58 F. A. Whisnu Suteni, Identifikasidan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Bandung, Mandar Maju, h. 107.

59 Lihat UN.DOC.A/Conf.39/11, Official Record of the UN Conference on the Law of Treaties, first session, Summary recors of the plenary meetings and of the meetings of the Committee of the Whole. h, 472.

60 F.A Whisnu Suteni, Op. Cit., h. 109.

dimaksud ialah dengan memperhatikan subtansi atau muatan materi dari norma tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu persyaratan tambahan untuk melengkapi kedua persyaratan di atas.61

Muatan materi suatu peraturan jus cogens atau persoalan yang diatur harus memiliki arti penting atau bahkan fundamental dalam menjaga international order. Sebagai contoh, dalam Konferensi Wina 1969, beberapa utusan negara-negara memberikan pendapat mengenai jus cogens. Perutusan Mexico memberikan tanggapannya bahwa jus cogens merupakan peraturan-peraturan yang diambil dari prinsip-prinsip yang menurut hati nurani manusia dianggap sebagai sesuatu yang esensial bagi suatu ko-eksistensi di dalam masyarakat internasional.62 Senada dengan pernyataan tersebut, perutusan Irak menyatakan bahwa perjanjian internasional yang dibuat oleh negara-negara tidak dapat mengesampingkan norma-norma yang lebih tinggi dan esensial bagi kehidupan masyarakat internasional.63 Sementara perwakilan dari Siprus mengutarakan bahwa jus cogens adalah hukum yang diperlukan, dan tidak dapat diubah oleh suatu perjanjian internasional manapun yang dibuat oleh negara-negara.64

Suatu norma yang diakui sebagai jus cogens tidak hanya mengandalkan adanya pengakuan dan penerimaan oleh mayoritas negara, melainkan juga melihat apakah norma tersebut mendukung keberlangsungan ketertiban diantara negara dalam kerangka hubungan internasional.65 Dengan demikian persyaratan double consent, universalitas, dan subtansi norma tersebut harus dilihat sebagai persyaratan yang kumulatif.

Adanya larangan untuk mengembalikan refugee ke wilayah dimana hidup dan kebebasannya terancam (non-refoulement) merupakan salah

61 Hendro Valence Luhulima. ‗Identifikasi dan Validitas Norma-Norma Jus Cogens dalam Hukum Internasional‘ (2018) Justitia Et Pax Jurnal Hukum .Universitas Gadjah Mada.

Vol. 34 No. 1.

62 UN.DOC.A/Conf.39/11, Op. Cit., h.294

63 Ibid., h. 296.

64 Ibid., h. 305.

65 Hendro Valence Luhulima, Op. Cit., h. 91.

satu norma yang telah memenuhi persyaratan sebagai jus cogens.66 Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pengakuan dan penerimaan oleh masyarakat internasional, baik secara praktek antar negara67 maupun dilembagakan dalam beberapa instrumen hukum internasional seperti yang telah disebutkan pada sub-bab sebelumnya.

Pengakuan dan penerimaan tersebut juga dilandasi oleh pemikiran bahwa pada dasarnya non-refoulement berkaitan dengan perlindungan individu dari penyiksaan, hukuman yang kejam, maupun tindakan lainnya yang dapat merendahkan martabat seseorang.68 Norma ini juga memberikan perlindungan terhadap individu atas tindakan perbudakan, dan diskriminasi rasial yang dapat mereka alami. Perlindungan ini diberikan kepada semua individu tanpa terkecuali, dan tidak ada maksud untuk dinikmati oleh atau mendukung kepentingan kelompok, atau golongan tertentu.69

Selanjutnya, perlu diketahui bahwa keberadaan prinsip non-refoulement dan kualifikasinya sebagai jus cogens didukung oleh pendapat para ahli hukum internasional.70 Oleh karena itu, dengan pertimbangan-pertimbangan diatas mengenai prinsip non-refoulement sebagai jus cogens membawa konsekwensi bahwa negara baik secara mandiri maupun kolektif memiliki tanggung jawab untuk mematuhi prinsip tersebut dan dilarang melanggarnya tanpa melihat keikutsertaannya dalam suatu perjanjian internasional terkait non-refoulement dikarenakan statusnya sebagai jus cogens.

66 Lihat Executive Committee Conclusion No. 25 (XXXIII) tertanggal 20 Oktober 1982.

67 Jean Allain. Op. Cit., h. 338.

68 Sigit Riyanto. ‗The Refoulement Principle and its Relevance in the International Law System‘ (2010) Indonesia Journal of International Law. Vol. 7 No. 4.

69 Lihat Resolusi Majelis Umum PBB 51/75, dan Resolusi Majelis Umum PBB 52/132.

70 Lihat misalnya, Harold Hongju Koh, ―The Haitian Centers Council Case:

Reflection on Refoulement and Haitian Center Council‖, dalam 35 Harvard International Law Journal 30 (1994) sebagaimana dikutip oleh Jean Allain, Op. Cit.; periksa juga misalnya kesimpulan Expert Roundtable yang diselenggarakan oleh UNHCR bekerjasama dengan Lauterpacht Research Centre for International Law, University of Cambridge, Inggris pada 9-10 Juli 2001.

Dokumen terkait