• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

3.1 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

3.1.2 Pengelolaan Belanja Daerah

Pengelolaan belanja daerah merupakan bagian dari pelaksaaan program pembangunan untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan. Kebijakan pengelolaan belanja daerah didasarkan pada anggaran berbasis kinerja dengan orientasi pada pencapaian hasil, dan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Struktur belanja daerah berubah sesuai dengan perubahan peraturan perundangan yang berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002, dalam APBD Kota Ternate Tahun Anggaran 2005 struktur belanja daerah dibedakan menjadi Belanja Rutin dan Belanja Pembangunan. Belanja rutin diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan operasional pemerintahan, dan belanja pembangunan diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran dan kemiskinan, serta meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pendidikan dan kesehatan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui berbagai program dan kegiatan pembangunan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 beserta revisinya dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, struktur belanja daerah dibedakan menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja tidak langsung diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan belanja pegawai, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, serta belanja tidak terduga. Sedangkan belanja langsung diarahkan untuk mendukung terwujudnya visi, misi Pemerintah Kota Ternate dalam menuju Terwujudnya Ternate Menjadi Kota Berbudaya, Agamais, Harmonis, Mandiri, Berkeadilan dan Berwawasan Lingkungan - Kota Ternate “BAHARI BERKESAN”. Belanja langsung diarahkan untuk mendukung 11 (sebelas) program prioritas pembangunan Kota Ternate, yaitu:

1. Peningkatan dan Penataan Inftrastruktur Perkotaan serta Percepatan dan Pemerataan Infrastruktur pada Wilayah Kecamatan.

2. Mewujudkan Pendidikan Murah, Terjangkau dan Berkualitas. 3. Mewujudkan Kesehatan Murah, Terjangkau dan Berkualitas. 4. Kebijakan Anggaran (APBD) yang Proporsional dan Pro Rakyat.APBD) yang Proporsional dan Pro Rakyat.) yang Proporsional dan Pro Rakyat. yang Proporsional dan Pro Rakyat.ang Proporsional dan Pro Rakyat.

5. Penataan, Pengendalian dan Pemanfaatan Ruang Kota yang Serasi Antara Kebutuhan dan Daya Dukung Lahan, antar Aspek Topografi dan Kawasan Pantai/ Pesisir Berbasis Keterpaduan dan Keserasian Lingkungan Sosial Budaya dan Ekologis.

6. Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik, dengan Kapasitas Sumber Daya, dengan Kapasitas Sumber Daya Kapasitas Sumber DayaKapasitas Sumber Dayaapasitas Sumber DayaSumber Dayaumber DayaDaya Aparatur yang Profesional, Bersih dan Berwibawa, serta Birokrasi yang Efisien,paratur yang Profesional, Bersih dan Berwibawa, serta Birokrasi yang Efisien,Profesional, Bersih dan Berwibawa, serta Birokrasi yang Efisien,rofesional, Bersih dan Berwibawa, serta Birokrasi yang Efisien,, Bersih dan Berwibawa, serta Birokrasi yang Efisien,Birokrasi yang Efisien, Efektif, Kreatif, Inovatif dan Responsif..

7. Peningkatan Ekonomi Rakyat, melalui Pengembangan Koperasi, Usaha Mikro Kecil Menengah dan Perluasan Lapangan Kerja. Lapangan Kerja..

8. Pelayanan Publik yang Cepat, Murah dan Mudah.

9. Pengembangan Masyarakat Kawasan Pesisir Secara Berkelanjutan.

10. Membangun Kepedulian Sosial, Kesadaran Nilai Keagamaan, Kebudayaan dan Adat Istiadat.

11. Penegakan Supremasi Hukum, Hak Azasi Manusia, untuk Mendorong Partisipasi Publik yang Dinamis dan Konstruktif.

Belanja daerah tahun anggaran 2007 menunjukkan bahwa belanja langsung sebesar 61,18 persen dan belanja tidak langsung sebesar 38,82 persen. Belanja tidak langsung sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai (83,19 persen). Sementara belanja langsung digunakan untuk belanja modal sebesar 62,92 persen dan belanja barang dan jasa sebesar 22,87 persen (lihat Tabel III.5).

Tabel III.5

Realisasi Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007 dan 2008 (Rp. Juta)

URAIAN Tahun 2007 Tahun 2008

Rencana Realisasi % Rencana Realisasi %

BELANJA 404.895,712 365.164,244 90,19 460.567,024 429.167,129 93,18

1. Belanja Tidak langsung 154.456,997 141.757,882 91,78 173.274,066 163.250,445 94,22

- Belanja Pegawai 129.917,997 117.928,427 90,77 162.845,566 152.897,533 93,89

- Belanja Bunga - - 0 - - 0

- Belanja Subsidi - - 0 - - 0

- Belanja Hibah - - 0 - - 0

- Belanja Bantuan Sosial 23.539,000 22.950,525 97,50 9.248,500 9,248,050 100

- Belanja Bantuan Keuangan - - 0 - - 0

- Belanja Tidak Terduga 1.000,000 878,929 87,90 1.180,000 1.104,862 93,63

2. Belanja Langsung 250.438,714 223.406,362 89,21 287.292,958 265.916,683 92,56

- Belanja Pegawai 32.585,160 31.743,489 97,42 42.344,115 39.827,563 94,06 - Belanja Barang dan Jasa 52.903,949 51.102,836 96,60 74.028,562 70.463,569 95,18 - Belanja Modal 164.949,604 140.560,035 85,21 170.920,280 155.625,551 91,05 II. PEMBIAYAAN 36.801,216 36.801,216 100 46.783,610 46.783,610 100 1. Penerimaan Daerah 41.301,216 41.301,216 100 50.783,610 50.783,610 100 - SILPA 41.301,216 41.301,216 100 50.783,610 50.783,610 100 2. Pengeluaran Daerah 4.500,000 4.500,000 100 4.000,000 4.000,000 100 - Penyertaan Modal 4.500,000 4.500,000 100 4.000,000 4.000,000 100

Sumber : Dinas PPKAD Kota Ternate, 2010

Struktur belanja daerah tahun anggaran 2008 sedikit berbeda dengan belanja tahun anggaran 2007. Pada tahun 2008, rasio belanja langsung terhadap total belanja adalah 61,96 persen, sedangkan belanja tidak langsung sebesar 38,04 persen. Belanja tidak langsung sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai (93,66 persen). Sementara

belanja langsung digunakan untuk belanja modal sebesar 58,82 persen dan belanja barang dan jasa sebesar 26,50 persen.

Belanja daerah tahun anggaran 2009 menunjukkan bahwa belanja langsung sebesar 58,77 persen dan belanja tidak langsung sebesar 41,23 persen. Belanja tidak langsung sebagian besar digunakan untuk belanja pegawai (93,50 persen). Sementara belanja langsung digunakan untuk belanja modal sebesar 57,66 persen dan belanja barang dan jasa sebesar 28,70 persen (lihat Tabel III.6).

Tabel III.6

Realisasi Belanja Daerah Tahun Anggaran 2009 (Rp. Juta)

URAIAN Tahun 2009

Rencana Realisasi %

BELANJA 502.706,110 475.234,718 94,54

1. Belanja Tidak langsung 199.395,270 195.961,187 98,28

- Belanja Pegawai 186.481,770 183.224,075 98,25

- Belanja Bunga - -

- Belanja Subsidi - -

- Belanja Hibah 2.350,000 2.350,000 100

- Belanja Bantuan Sosial 8.313,500 8.310,977 99,97

- Belanja Bantuan Keuangan - -

- Belanja Tidak Terduga 2.250,000 2.076,133 92,27

2. Belanja Langsung 303.310,840 279.273,531 92,08

- Belanja Pegawai 41.646,533 38.087,349 91,45 - Belanja Barang dan Jasa 84.773,849 80.148,056 94,54 - Belanja Modal 176.890,457 161.038,125 91,04

II. PEMBIAYAAN 39.382,701 18.458,492 46,87

1. Penerimaan Daerah 40.582,701 19.608,492 48,32

- Sisa Lebih Perhitungan Anggarn 20.582,701 19.608,492 95,27 - Penerimaan Pinjaman Daerah 20.000,000 - 0

2. Pengeluaran Daerah 1.200,000 1.150,000 95,83

- Penyertaan Modal (Investasi) 1.200,000 1.150,000 95,83

Berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan belanja daerah antara lain adalah:

(1) Belum adanya konsistensi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang struktur keuangan daerah. Selain itu, peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan keuangan daerah terus mengalami perubahan yang menyebabkan kelambatan dalam proses penyusunan anggaran, mengganggu kelancaran dalam pelaksanaan anggaran dan menghambat kecepatan dalam pelaporan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran.

(2) Adanya perubahan peraturan perundangan yang sangat cepat tanpa diikuti oleh sosialisasi juga telah menyebabkan keterlambatan penyesuaian terhadap peraturan yang baru dan berdampak terhadap kurang optimalnya penyerapan belanja daerah.

(3) Terbatasnya pemahaman aparatur terhadap teknis penyusunan anggaran dan pengalokasian dana terutama dalam penentuan prioritas belanja dengan mengacu pada prinsip anggaran berbasis kinerja.

(4) Belum adanya standar pelayanan minimal sebagai acuan dalam mengalokasikan anggaran belanja daerah.

(5) Belum adanya standar analisis belanja sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur tingkat kewajaran belanja dan beban kerja.

(6) Belum semua Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau Dinas/Instansi menggunakan anggaran berbasis kinerja sebagai dasar penyusunan anggaran. Kondisi ini menyebabkan kesulitan dalam menetapkan indikator kinerja program dan kegiatan setiap SKPD dan ketidaktepatan dalam mengalokasikan belanja daerah untuk mewujudkan tujuan dan sasaran pembangunan.