• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dan berfungsi sebagai habitat bagi beragam biota laut sebagai berikut : (1) Beraneka ragam hewan avertebrata (terutama karang batu / stony coral) juga berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, serta ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut, dan leli laut) ; (2) Beraneka ragam ikan, 50% - 70% ikan karnivora oportunik, 15% ikan herbivora, dan sisanya omnivora ; (3) Reptil, umumnya ular laut dan penyu laut ; dan (4) Ganggang dan rumput laut, yaitu algae hijau berkapur, algae karolin dan lamun (Bengen 2001).

Sorokin (1993) menjelaskan terumbu karang (coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang kuat menahan gelombang laut. Organisme yang dominan hidup

adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae yang banyak juga mengandung kapur. Terumbu karang ini dibedakan antara binatang karang sebagai individu dan terumbu karang sebagai ekosistem. Sebagai ekosistem dasar laut, terumbu karang dengan penghuni utama karang batu memiliki arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhana, karang terdiri dari satu polip yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut pada bagian atas dan dikelilingi tentakel, namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).

Menurut Burke et al. (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup dalam jaringannya. Dalam simbiosisnya, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Karang batu merupakan karang penyusun yang paling penting dalam proses pembentukannya yaitu sebagai

hewan karang pembangun terumbu. Karang batu ini termasuk kedalam kelas Anthozoa, filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip.

Bell dan Galzin (1984) menjelaskan bahwa keadaan terumbu karang (substrat) sebagai habitat yang dilihat dari luasan tutupan karangnya memiliki pengaruh terhadap kekayaan spesies dan jumlah dari ikan yang terdapat (berasosiasi) di dalamnya. Hal tersebut diperjelas dengan membandingkan kekayaan jenis ikan dan kelimpahan ikan yang terdapat pada substrat yang tidak terdapat tutupan karang. Dengan demikian, penting diperhatikan kondisi terumbu karang sebagai habitat untuk mengendalikan kondisi ikan-ikan karang yang ada. Menurut Nybakken (1997), pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain adalah :

1. Kedalam

Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0-25 m dari permukaan laut. Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada perairan yang lebih dalam antara 50-70 m. Hal inilah yang menerangkan mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua- benua atau pulau-pulau.

2. Suhu

Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23OC-25OC. Tidak ada terumbu karang yang dapat berkembang pada suhu dibawah 18OC. Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36OC-40OC. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang dimana upwelling disebabkan oleh pengaruh suhu. Upwelling sendiri menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu karang.

3. Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosistesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) serta membentuk terumbu akan semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas berkurang hingga 15-20% dari intensitas di permukaan.

4. Salinitas

Karang tidak dapat bertahan pada salinitas di luar 32-35‰. Namun pada kasus khusus di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidupp pada salinitas

42‰. Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan dalam penerimaan cairan yang masuk. Sehingga apabila salinitas rendah dari kisaran diatas, terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairang yang didalam tubuhnya akan keluar,

5. Pengendapan

Faktor lainnya yang juga berpengaruh terhadap pertuambuhan terumbu karang adalah pengendapan dimana pengendapan yang terjadi di dalam air atau diatas karang mempunyai pengaruh negatif terhadap karang. Endapan mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang.

14

Pertumbuhan terumbu karang akan menjadi terhambat apabila daerah terumbu karang tersebut mengalami kerusakan. Faktor-faktor yang sangat dominan dalam kerusakan terumbu karang adalah faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan akibat faktor alam bagi terumbu karang terutama disebabkan oleh perusakan tektonik akibat gempa di dasar laut yang menyebabkan tsunami dan mekanik melalui badai tropis yang hebat sehingga koloni terumbu karang tersebut terangkat dari terumbu. Badai bisa memporak-porandakan karang baik di daerah

reef flat, reef edge dan reef slope. Peristiwa ini biasanya sangat rawan terutama pada terumbu karang yang letaknya di pantai pulau terpencil yang langsung menuju atau berhadapan ke lautan bebas. Sedangkan kerusakan terbesar kedua adalah adanya fenomena El Nino dimana terjadi peningkatan suhu yang ekstrim sehingga terumbu karang tersebut mengalami proses bleaching.

Disamping faktor fisik-kimia, faktor biologis yaitu predator karang diketahui juga tidak kalah pentingnya andil pada kerusakan karang. Bintang laut berduri Acanthaster plancii cukup terkenal sebagai perusak karang di daerah Indo-Pasifik. Selain Acanthaster plancii, beberapa jenis hewan lainnya seperti gastropoda Drupella rugosa, bulu babi (Echinometra mathaei, Diadema setosum,

dan Tripneustes gratilla), dan beberapa jenis ikan karang seperti ikan kakak tua (Scarrus sp.), Kepe-kepe (Chaetodon sp.) dapat mengakibatkan kerusakan pada area terumbu karang (Supriharyono 2000).

Faktor kerusakan lainnya disebabkan oleh kegiatan manusia secara langsung yang dapat menyebabkan bencana kematian pada terumbu melalui kegiatan penambangan karang batu, penangkapan bencana kematian pada terumbu melalui kegiatan penambangan karang batu, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bahan kimia beracun, penggunaan jangkar dan eksploitasi berlebihan pada sumberdaya tertentu. Pengeboran minyak lepas pantai, tumpahan minyak baik kecelakaan kapal laut, kebocoran pipa penyalur atau tumpahan ketika pengisian bahan bakar dapat mengganggu kesehatan karang. Disamping itu kegiatan pertanian dan perkebunan di daerah dataran tinggi dapat menyebabkan sedimentasi di daerah pesisir (Supriharyono 2000).

2.4.2 Komunitas Ikan Kerapu

Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis, dan ada beberapa ikan kerapu hidup di terumbu karang. Kerapu muda hidup di daerah padang lamun, tetapi pada saat dewasa hidup di pantai berpasir atau di daerah pantai berlumpur. Beberapa spesies kerapu hidup pada kedalaman 100-200 m (adakalanya sampai kedalaman 500 m), tetapi pada umumnya kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 m (Philip & Randall 1993). Menurut Philip dan Randall (1993), habitat ikan kerapu berada pada perairan dasar, terumbu karang dan karang berbatu pada kedalaman kurang dari 60 m. Pada umumnya ikan kerapu muda hidup di perairan karang pantai dengan kedalaman 0,5-3 m, selanjutnya menginjak dewasa beruaya ke perairan yang lebih dalam antara 7-40 m, dimana perpindahan ini biasanya terjadi pada siang dan sore hari. Telur dan larva kerapu besifat pelagis, sedangkan muda hingga dewasa bersifat demersal (Tampubolon & Mulyadi 1989).

Ikan kerapu tersebar luas di Pasifik Barat, mulai Jepang bagian selatan sampai Palau, Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Australisa bagian selatan serta Laut India bagian timur dari Nicobar sampai Broome. Di Indonesia, ikan kerapu banyak ditemukan di wilayah perairan Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Madur, Kalimantan dan Nusa Tenggara (Heemstra & Randall 1993). Parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pada temperatur 24-31OC, salinitas 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH 77,8-8. Perairan dengan kondisi seperti ini pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang (Lembaga Penelitian Undana 2006).

Kebanyakan jenis komersial penting, termasuk jenis ikan kerapu dan napoleon melakukan aktivitas reproduksi dalam suatu pemijahan massal (spawning aggregation) melibatkan puluhan hingga puluhan ribu individu (Sadovy 1996). Pemijahan massal adalah kelompok spesies ikan yang sama berkumpul untuk tujuan pemijahan, dimana densitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan dilokasi agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi (Domeier & Colin 1997). Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997).

Jenis ikan kerapu umumnya merupakan hermaprodit protogyni (Shapiro 1987 in Levin & Grimes 1991). Juvenil kerapu biasanya memiliki jenis kelamin betina dan individu jantan terbentuk pada saat betina dewasa berubah kelamin (Levin & Grimes 1991). Selanjutnya Levin & Grimes (1991) menjelaskan bahwa ekploitasi terhadap lokasi pemijahan massal akan berimplikasi secara nyata terhadap ekologi reproduksi ikan kerapu. Jika individu yang lebih tua dan berukuran besar lebiih rentan terhadap penangkapan, maka proporsi jantan dalam populasi akan menurun. Hilangnya individu dewasa menyisakan individu muda yang belum memiliki pengalaman untuk melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal tradisional seperti yang dilakukan pendahulunya, sehingga lokasi pemijahan massal tersebut dapat menghilang pada akhirnya. Kalaupun lokasi pemijahan tersebut masih berfungsi, penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma yang dapat mengganggu keberhasilan pemijahan (Shapiro et al. 1994 in Levin & Grimes 1991).

2.4.3 Hubungan Terumbu Karang, Ikan Karang dan Ikan Kerapu

Terumbu karang sebagai habitat dari berbagai ikan karang. Menurut Choat dan Bellwood (1991) terdapat beberapa jenis interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang yang terbagi kedalam tiga bentuk, yaitu :

1. Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan-ikan muda ;

2. Interaksi dalam mencari makan bagi ikan yang mengonsumsi biota pengisi habitat dasar, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang dan alga ;

16

3. Interaksi tidak langsung antara struktur terumbu karang dan kondisi hidrologi serta sedimentasi dengan pola makan ikan pemakan plankton dan karnivor.

English et al. (1997) membagi ikan-ikan karang kedalam tiga kelompok, yaitu :

1. Ikan Target. Ikan yang menjadi target untuk penangkapan atau dikenal dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi. Ikan-ikan yang termasuk ikan target diantaranya : Serranidae, Lutjanidae, Kyphosidae,

Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae (Chelinus,

Himigymnus, Choerodon) dan Haemulidae.

2. Ikan Indikator. Ikan indikator berfungsi sebagai ikan penentu terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari famili Chaetodontidae (kepe-kepe).

3. Ikan Lain (Mayor famili). Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae,

Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae, dan lain-lain).

Menurut Lain (2011) ikan-ikan yang berasosiasi dengan karang yang ada di Kawasan Konservasi Laut Daerah Liwutongkidi diantaranya : famili Serranidae

(ikan kerapu), Scaridae (ikan kaka tua), Lutjanidae (ikan kakap), Acanthuridae

(ikan pakol) yang biasanya dijadikan ikan target penangkapan. Selain itu, terdapat pula ikan indikator dari famili Chaetodontidae (kepe-kepe), dan jenis ikan lain dominan (mayor family) seperti Pomacentridae (ikan betok), Caesionidae,

Labridae, dan lain-lain. Berdasarkan hasil pengamatan Lain (2011) juga dapat diketahui bahwa keadaan karang terbaik terdapat di daerah pengamatan Liwutongkidi dengan jumlah individu ikan indikator Chaetodontidae terbanyak.

Keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk dan pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan dengan adanya keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang hidup ditepi karang, menjadikan karang sebagai tempat berlindung dan daerah luar karang sebagai tempat mencari makan. Selain itu terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah dan daerah pengasuhan bagi biota laut.

Menurut Kuiter (1992) ikan kerapu tergolong ikan karnivora, hidup soliter dan banyak terdapat di daerah terumbu karang serta muara sungai. Kerapu termasuk kedalam predator yang dominan pada habitat karang dengan makanan utamanya adalah ikan, krustachea dan chepalopoda (Heemstra dan Randall 1993). Menurut Utojo et al (1999), ikan kerapu hidup secara soliter pada daerah terumbu karanng yang berasosiasi dengan jenis Porites sp., Acropora sp., Foliosa, Songe, Pinctada dan Tridacna. Umumnya ikan kerapu hidup di daerah terumbu karang pada kedalaman 5-20 m disemua tipe terumbu karang dengan kategori kondisi yang baik. ikan kerapu dalam kehidupannya biasanya menetap atau tidak berpindah-pindah (sedentary), kebanyakan ikan kerapu macan memanfaatkan liang atau lobang yang ada di daerah terumbu karang sebagai tempat berlindung (Yeeting et al 2001).

2.4.4 Pemanfaatan Ekosistem Terumbu Karang

Supriharyono (2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu :

1. Perikanan terumbu karang

Seiring meningkatnya jumlah penduduk maka aktivitas penangkapan juga cenderung meningkat. Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis spesies target, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan aktivitas lainnya yang secara tidak langsung dapat merusak karang.

2. Penangkapan ikan karang

Sumber daya perikanan dapat berupa sumber daya ikan, sumber daya lingkungan dan sumber daya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya ikan. Nelayan dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi dan permintaan pasar terhadap ikan hias laut (ikan karang) akan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam kondisi tersebut, nelayan terkadang lupa memperhatikan kelestarian sumber daya ikan.

Selain bermanfaat bagi kegiatan perikanan, ekosistem terumbu karang ini juga bermanfaat bagi kegiatan wisata. Seperti yang diungkapkan Gao dan Hailu (2011) bahwa kondisi karang yang sangat baik serta tutupan karang yang luas dapat meningkatkan jumlah kegiatan yang dapat dilakukan di ekosistem terumbu karang tersebut. Hal ini karena kondisi dan tutupan karang yang baik dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis ikan karang dan kelimpahan ikan karang sehingga para penyelam dan wisatawan tertarik untuk melakukan kegiatan wisata di daerah tersebut dan dapat pula melakukan aktivitas olahraga menangkap ikan (sport fishing).

2.4.5 Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang

Constanza dan Folke (1997) in Adrianto (2006) menjelaskan tujuan valuasi ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi, dan untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu efisiensi, keadilan dan keberlanjutan. Ekosistem terumbu karang memiliki fungsi atau manfaat yang sangat jelas dalam menghasilkan beragam jenis ikan, penghasil biota untuk bidang kesehatan, dan lain-lain. Seperti yang dijelaskan dalam Dahuri et al. (2001) bahwa fungsi penting terumbu karang diantaranya :

- Habitat sumber daya ikan, dikenal sebagai tempat memijah, bertelur, mencari makan, berlindung dan daerah asuhan bagi boita laut.

- Penyedia (sumber) benih alami bagi pengembangan budidaya perikanan. - Penyedia sumber makanan dan bahan baku substansi aktif yang berguna

18

- Sebagai pelindung pantai dengan meredam ombak (arus dan gelombang) laut, sehingga pantai dapat terhindar dari degradasi dan abrasi.

Sedangkan nilai ekosistem terumbu karang terbagi dalam :

- Nilai ekologis, sebagai penjaga keseimbangan kehidupan biota laut dan hubungan timbal balik antara biota laut dengan abiotiknya.

- Nilai ekonomis, dapat dikembangkan menjadi komoditas bernilai ekonomi yaitu sebagai hiasan akuarium, bahan baku kedokteran dan sebagainya. - Nilai estetika, terumbu karang membentuk panorama indah sebagai

pemandangan alami dan bermanfaat bagi wisata.

- Nilai biologis, sebagai penghasil oksigen perairan dan pengatur keseimbangan ekosistem perairan.

- Nilai edukasi, sebagai objek penelitian dan pendidikan.

Dengan adanya manfaat serta nilai yang terkandung didalamnya, sehingga penting untuk mengetahui seberapa besar kerugian yang terjadi apabila kehilangan ekosistem tersebut. Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh instrumen yang ada didalamnya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (total economic valuation).

Teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to pay

dapat digunakan bagi nilai ekosistem yang tidak memiliki nilai pasar (non market value). Berdasarkan teori tersebut, terdapat beberapa studi pustaka yang telah melakukan penelitian terhadap nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang, baik sebagai komoditas (barang) ataupun penyedia jasa. Informasi nilai ekonomi ekosistem terumbu karang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Ekonomi Jasa dan Barang dari Sumber Daya Terumbu Karang

Manfaat Ekonomi Lokasi Studi dan Pustaka Nilai Ekonomi

Manfaat Langsung :

- Perikanan Philippines (McAllister, 1988) US$ 80 juta/thn

Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 0,70/ha/thn (ikan dan krustase) Indonesia Coral Reefs (Cesar, 1996) US$ 40.000 (peracunan ikan)

US$ 86.000 (pemboman ikan)

US$ 81.000 (sedimentasi)

US$ 109.000 (tangkap lebih)

Montego Bay Coral Reefs (Gustavson, 1998) US$ 1,31 juta (1996) Great Barrier Reefs (Driml, 1999) US$ 143 juta (1996) - Turisme/ Virgin Islands National Park, St. Johns US$ 8.295/ha (2.820 ha) Rekreasi (Posner et.al., 1981)

Bacuit Bay, Philippines US$ 6.280 logging (Hodgson dan Dixon, 1988) US$ 13.334 larangan logging Galapagos National Park, Ecuador (Edwards, 1991) US$ 312/hari/orang John Pennekamp/Key Largo (Leeworthy, 1991) US$ 285 - 426/hari/orang Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 45/ha/thn

US$ 1300/ha/thn

Bonaire Marine Park (Pendleton, 1995) US$ 7,9 - 8,8 juta (1991)

NPV US$ 74,21 juta (r = 10%; 20 thn)

Indonesia Coral Reefs (Cesar, 1996) US$ 3.000 - 436.000 (peracunan ikan)

US$ 3.000 - 482.000 (pemboman ikan

dan penambangan karang

US$ 192.000 (sedimentasi)

Montego Bay Coral Reefs (Gustavson, 1998) US$ 315 juta (1996) Great Barrier Reefs (Driml, 1999) AU$ 769 juta (1996)

Andaman Sea, Thailand (Seenprachawonng, 2003) US$ 205,42 juta (US$ 5.243/ha/thn) Bolinao Coral Reefs, Philippines US$ 223/person

(Ahmed et.al., 2003) (US$ 1,3 juta) (2000) Coral-surrounded Hon Mun Islands, Vietnam US$ 17,9 juta/thn

(Pham dan Tran, 2003)

Pulau Payar Marine Park, Kedah, US$ 390.000

Malaysia (Yeo, 2003)

- Perdagangan Phillipines (McAllister, 1988) US$ 10 juta/thn

akuarium

- Penjualan produk Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 0,40/ha/thn

Ornamen

- Material Bangunan Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 5,20/ha/thn - Pendidikan Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 2,73/ha/thn dan riset Panama Coral Reefs (Spurgeon, 1992) US$ 2,5 juta (1991)

Manfaat

Tidak Langsung :

- Perlindungan Philippines Coral Reefs (McAllister, 1991) US$ 22 milyar (22.000 km2)

Pantai Indonesia Coral Reefs (Cesar, 1996)

US$ 9.000 - 193.000 (pemboman ikan) ; US$ 12.000 - 260.000

(penambangan karang)

- Merawat

biodiversitas Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 4,9/ha/thn - Perlindungan alami Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 0,55/ha/thn

Nilai Bukan Manfaat :

- Budaya/artistik Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 0,20/ha/thn - Spritual Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 0,52/ha/thn - Nilai pilihan Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 120/ha/thn

20

2.5 Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan bagi Perikanan

Dokumen terkait