• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Manfaat Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Bagi Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Perairan Laut Berau, Kalimantan Timur)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Manfaat Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Bagi Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Perairan Laut Berau, Kalimantan Timur)"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN MANFAAT PENGELOLAAN KAWASAN

KONSERVASI PERAIRAN BAGI PERIKANAN

BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Perairan Laut Berau, Kalimantan Timur)

BAKTI ANJANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kajian Manfaat Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Bagi Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Perairan Laut Berau, Kalimantan Timur) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Bakti Anjani

(4)
(5)

BAKTI ANJANI. Kajian Manfaat Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Bagi Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Perairan Laut Berau, Kalimantan Timur). Dibimbing oleh LUKY ADRIANTO dan MENNOFATRIA BOER.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Konsep KKP yaitu melindungi suatu kawasan perairan yang memiliki karakteristik tertentu dengan menggunakan sistem zonasi. Idealnya pembagian zonasi dalam sebuah kawasan konservasi perairan terbagi menjadi 4 zona yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Dalam zonasi-zonasi yang ada di KKP terdapat tiga ekosistem penting yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang.

Terumbu karang (coral reef) sebagai salah satu ekosistem yang termasuk dalam zonasi kawasan konservasi perairan (KKP) memiliki manfaat diantaranya habitat berbagai biota laut seperti ikan karang, moluska, dan krustasea. Terumbu karang dan ekosistem pesisir lainnya juga menyediakan makanan dan merupakan tempat memijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga ekosistem terumbu karang tersebut penting untuk dikelola dengan sangat baik, guna menunjang kegiatan perikanan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan dari penelitian ini yaitu mengkaji kondisi ekosistem terumbu karang dan perikanan karang tangkap di KKP Berau dengan melihat tren penangkapan ikan kerapu, menganalisis aktivitas penangkapan ikan dan perilaku nelayan setempat, mengkaji manfaat pengelolaan KKP Berau terhadap kondisi perikanan dan kesejahteraan masyarakat dalam rangka mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan serta memberikan rekomendasi terkait strategi pengelolaan perikanan berkelanjutan di KKP Berau.

Analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu analisis regresi untuk melihat hubungan antara kawasan konservasi terhadap perikanan kerapu serta analisis prospektif untuk menduga strategi pengelolaan yang sesuai untuk diterapkan di KKP Kabupaten Berau. Persen tutupan karang selama kurun waktu 8 tahun (2003-2011) mengalami penurunan sebesar 35%, setara dengan 4,5 % per tahun dan hasil wawancara menunjukkan menurunnya hasil tangkapan ikan kerapu setiap harinya (rata-rata 2 ekor).

(6)

Penurunan kelimpahan ikan di alam mengakibatkan turunnya kemampuan alat tangkap dalam menghasilkan tangkapan ikan kerapu, sehingga nilai pendapatan yang diperoleh nelayan dari kerapu juga menurun menjadi Rp. 241.472,8014 per kg dengan dugaan surplus konsumen sebesar Rp. 4.150.000. Hasil analisis prospektif menunjukkan faktor yang menjadi kunci keberhasilan pengelolaan KKP yaitu kualitas SDM, produksi perikanan, lokasi konservasi, pengawasan dan penerapan sanksi, serta harga komoditas perikanan.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu manfaat KKP Berau (Peraturan Bupati no. 31 tahun 2005) bagi perikanan berkelanjutan belum dapat dirasakan secara nyata karena belum adanya kegiatan pengelolaan terhadap kawasan konservasi perairan ini, seperti : belum ada pembagian zonasi sesuai Undang-Undang No.45/2009 dan PP No.60/2008, lemahnya kualitas SDM, tingginya praktek penangkapan tidak ramah lingkungan, lemahnya pengawasan dan penerapan sanksi, serta lemahnya kekuatan hukum mengenai penetapan perairan Laut Berau menjadi kawasan konservasi perairan sebagai akibat dari belum ditetapkannya perairan laut Berau menjadi Kawasan Konservasi Perairan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Rekomendasi bagi pengelolaan KKP Berau yaitu meningkatkan kualitas dari lima faktor kunci keberhasilan pengelolaan KKP. Berdasarkan analisis prospektif, maka skenario yang paling memungkinkan untuk pengelolaan KKP Berau saat ini yaitu skenario moderat.

(7)

BAKTI ANJANI. Study of Water Conservation Benefits Management For Sustainable Fisheries (Case Study Sea Waters of Berau, East Kalimantan). Supervised by Luky ADRIANTO and MENNOFATRIA BOER.

According to Government Regulation No . 60/2007 , a Marine Protected Areas (MPA) refers to a marine water area, which is protected and managed through a zoning system, to achieve sustainable management of fish resources and ecosystems. Marine Protected Area concept of protecting an area of water that has certain characteristics by using a zoning system. Ideally division of zoning in a marine reserve is divided into 4 zones: the core zone, the zone of sustainable fisheries, utilization zones, and other zones. In the zones of MPA, there are three important ecosystems namely mangrove, seagrass and coral reef ecosystems.

Coral reefs as one of the ecosystems that are included in the zoning of marine protected areas (MPA) has a variety of benefits including habitat for marine life such as reef fish, mollusks, and crustaceans. Coral reefs and other coastal ecosystems also provide food and a place to spawn for the various types of marine life that have high economic value so that coral reef ecosystems is important to be managed very well, in order to support sustainable fisheries activities and improving social welfare.

The purpose of this study is assessing the condition of coral reef ecosystems and reef fisheries catch in Berau MPA with see trends grouper fishing, analyze the fishing activity and behavior of the local fishermen, examines the benefits of Berau MPA management of the condition and welfare of fishing communities in order to support sustainable fisheries activities and provide recommendations related to sustainable fisheries management strategies in Berau MPA.

The regression analysis used in this study to examine the relationship between the conservation area and the grouper fishery, prospective analysis to infer the appropriate management strategies to be implemented in the Berau MPA. Percent coral cover during the period of 8 years (2003-2011) was decreased by 35%, equivalent to 4.5% per year and the results of interviews showed declining catches of grouper fish each day (on average 2 tails).

Grouper fishing activity by fishermen in Berau already well-specified using gear, that is traps (trap) that use for the reef area, but there are still irresponsible fishermen who conduct fishing activities with bombs and potassium. Analysis showed that coral reef ecosystems are very giving effect to the abundance of fish. This is shown by the large number of fish found in coral with large percent of live coral cover. Moreover, the same analysis can be concluded, if the Berau MPA well managed and the percentage of live coral cover can be increased, then the number of individual fish will rise by 5 individuals per percent live coral cover.

(8)

The conclusion of this study is benefits of Berau MPA (the decree no. 31 of 2005) for sustainable fisheries can not be perceived as real as the absence of management activities on water conservation, such as: there is no zoning division according to the Law 45 / 2009 and PP 60/2008, the lack of human resources quality, high unsustainable fishing practices, lack of oversight and the imposition of sanctions, and the weak force of law regarding the establishment of Berau sea waters into marine protected areas as a result of the enactment yet Berau marine waters into the Conservation Area waters by the Ministry of Maritime Affairs and Fisheries. Recommendations for the management in Berau MPA is to improve the quality of management from five key success factors of the MPA. Based on the prospective analysis, the most likely scenario for the current management of the Berau MPA is moderate scenario.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

KAJIAN MANFAAT PENGELOLAAN KAWASAN

KONSERVASI PERAIRAN BAGI PERIKANAN

BERKELANJUTAN

(Studi Kasus Perairan Laut Berau, Kalimantan Timur)

BAKTI ANJANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

Berau, Kalimantan Timur)

Nama : Bakti Anjani

NIM : C252110151

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Luky Adrianto, MSc Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya

Pesisir dan Lautan

Dr Ir Luky Adrianto, MSc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2013 sampai Mei 2013 ini ialah manfaat konservasi, dengan judul Kajian Manfaat Program Konservasi Perairan Bagi Perikanan Berkelanjutan (Studi Kasus Perairan Laut Berau, Kalimantan Timur).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Luky Adrianto, MSc dan Bapak Prof Dr Ir Mennofatria Boer, DEA selaku komisi pembimbing, Bapak Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku penguji luar komisi, serta Bapak Dr Ir Handoko Adi Susanto, MSc yang telah banyak memberi saran.

Penulis menyadari, bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun untuk penyempurnaan tulisan ini selanjutnya. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Bogor, Juli 2014

(16)
(17)

Halaman

2.1 Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach To Fisheries Management/EAFM) ... 6

2.2 Kawasan Konservasi Perairan (KKP) ... 8

2.2.1 Pengertian Kawasan Konservasi Perairan ... 8

2.2.2 Manfaat Kawasan Konservasi Perairan ... 9

2.2.3 Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan... 10

2.3 Pembagian Zonasi Kawasan Konservasi Perairan ... 11

2.4 Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang ... 12

2.4.1 Ekosistem Terumbu Karang ... 12

2.4.2 Komunitas Ikan Kerapu ... 14

2.4.3 Hubungan Terumbu Karang, Ikan Karang dan Ikan Kerapu ... 15

2.4.4 Pemanfaatan Ekosistem Terumbu Karang ... 17

2.4.5 Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang ... 17

(18)

3.5.6 Analisis Prospektif ... 30

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Status Konservasi Perairan Laut Berau ... 32

4.2 Sistem Sosial Ekologi Pesisir dan Laut Kabupaten Berau ... 34

4.2.1 Sumber Daya Terumbu Karang ... 34

4.2.2 Kondisi Perikanan dan Masyarakat Nelayan ... 36

4.2.3 Recana Zonasi Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Berau ... 38

4.3 Manfaat Kawasan Konservasi Perairan bagi Perikanan ... 39

4.3.1 Korelasi Ekosistem Terumbu Karang dan Komunitas Ikan ... 39

4.3.2 Kegiatan Perikanan terhadap Perekonomian Masyarakat ... 40

4.4 Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan ... 44

4.4.1 Kegiatan Perikanan dan Pengelolaan Kawasan ... 44

4.3.2 Strategi Keberhasilan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan ... 45

4.4 Pembahasan ... 48

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 51

5.1 Simpulan ... 51

5.2 Saran ... 51

(19)

Halaman 1. Nilai Ekonomi Jasa dan Barang dari Sumberdaya Terumbu Karang ... 13 2. Matrik Prosedur Penelitian ... 20 3. Matrik dan Faktor Kebergantungan dalam Analisis Prospektif ... 30 4. Keadaan yang Mungkin Terjadi di Masa Depan pada Pengelolaan

Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten Berau ... 31 5. Luas Kawasan Konservasi Perairan Indonesia Tahun 2013 ... 32 6. Evaluasi Efektivitas Kawasan Konservasi Perairan Daerah Berau ... 33 7. Koefisien Regresi Manfaat Sumber Daya Ikan Kerapu di

Kabupaten Berau ... 42 8. Pendugaan Nilai Manfaat dan Surplus Konsumen Ekosistem Karang

terhadap Nelayan Kerapu ... 43 9. Analisis Nilai Manfaat Ikan Kerapu ... 43 10. Indikator dari Faktor Penting dalam Pengelolaan ... 45 11. Skenario Lima Faktor Terpilih dalam Kegiatan Pengelolaan

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 5

2. Pendekatan Bioekonomi dengan Ecosystem Approach to Fisheries ... 7

3. Siklus Evaluasi Efektifitas ... 10

4. Peta Lokasi Penelitian ... 21

5. Penurunan Luasan Tutupan Karang Kabupaten Berau ... 35

6. Persentase Tutupan Karang Hidup Tiap Lokasi ... 35

7. Tren Produksi Tahunan Ikan Kerapu... 36

8. Tren Penurunan CPUE Tahun 2007 – 2011 ... 37

9. Daerah Sebaran Tangkapan Nelayan Kerapu 2012 ... 37

10. Perubahan Daerah Penangkapan Nelayan ... 38

11. Peta Pola Ruang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Kabupaten Berau ... 38

12. Hubungan Persentase Tutupan Karang Hidup dengan Kelimpahan Ikan Karang ... 39

13. Tren Produksi Harian Ikan Kerapu ... 40

14. Tren Penurunan CPUE Harian ... 40

15. Tren Penurunan RPUE Harian ... 41

16. Hubungan CPUE Harian dan RPUE Harian ... 41

17. Dinamika Nilai CPUE dan RPUE Harian ... 42

18. Kurva Permintaan Konsumen Terhadap Ikan Kerapu ... 43

19. Tumpang Tindih Kegiatan Perikanan dan Pengelolaan KKP ... 44

(21)

Halaman

1. Kuesioner Tipe A (Nelayan) ... 59

2. Kesioner Tipe B (instansi pemerintahan dan non pemerintahan) ... 63

3. Lokasi Penelitian dan Persentase Luas Tutupan Karang Hidup ... 66

4. Penurunan Luas Tutupan Karang ... 68

5. Fluktuasi Upaya Tangkap (Total Trip Tahunan) ... 68

6. Produksi Ikan Kerapu Tahunan ... 68

7. Total Produksi Tahunan ... 68

8. CPUE Relative ... 68

9. Nilai FPI Jaring Insang ... 69

10. Effort Standar ... 69

11. Effort Standar dan CPUE Standar ... 69

12. Korelasi Effort Standar dan CPUE Standar ... 69

13. Tutupan Karang Hidup dan Total Kelimpahan Ikan ... 70

14. Korelasi Tutupan Karang Hidup dan Total Kelimpahan Ikan ... 70

15. Tren Tangkapan Kerapu, CPUE, dan RPUE Harian ... 71

16. Korelasi Jumlah Bubu dan Hasil Tangkapan Kerapu per Bubu ... 72

17. Korelasi Jumlah Bubu dan Nilai Kerapu per Bubu (RPUE) ... 73

18. Data Sosial-Ekonomi Masyarakat Nelayan ... 74

19. Korelasi Hasil Tangkapan dengan Faktor Sosial-Ekonomi Nelayan... 82

20. Analisis Permintaan Konsumen Terhadap Sumber Daya Ikan ... 83

21. Perspektif Masyarakat Mengenai KKP Berau ... 85

22. Pengaruh Langsung Antar Faktor Kunci ... 86

23. Pengaruh Tidak Langsung Antar Faktor ... 88

(22)
(23)

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Desember 1988 sebagai anak sulung dari pasangan Undang Suntana dan Lilis. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, lulus pada tahun 2010. Pada tahun 2011, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan pada Program Pascasarjana IPB.

Penulis bekerja sebagai Guru di Sekolah Menengah Kejuruan yang ada di Bogor sejak tahun 2012. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah manfaat pengelolaan kawasan konservasi perairan bagi perikanan berkelanjutan.

(24)
(25)

1.1 Latar Belakang

Konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan pelestarian dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya. Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan lautan adalah kawasan pesisir dan laut dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan (Soedharma 2011). Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007, Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Kawasan Konservasi Perairan terdiri atas Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan.

Kawasan konservasi perairan (KKP) atau Marine Protected Area (MPA) memiliki manfaat langsung secara ekologi dan ekonomi. Menurut Claudet et al.

(2006), kawasan konservasi dapat memberikan pengaruh positif terhadap keadaan ekosistem yang ditunjukkan dengan besarnya kelimpahan ikan dan keanekaragaman jenis ikan yang tinggi, mulai dari jenis ikan kecil sampai ikan besar di dalam kawasan MPA Northwestern Mediteranean jika dibandingkan sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai MPA. Bohnsack (1996) juga menjelaskan bahwa MPA memberikan manfaat langsung dengan kontribusinya dalam restorasi stok yang telah mengalami overfishing, selain itu MPA juga menjadi alat yang efektif untuk pengelolaan perikanan. Manfaat KKP secara ekonomi dapat dirasakan secara langsung dengan tingginya kegiatan ekowisata

sport fishing yang dilakukan di KKP (Gao dan Hailu 2011), selain itu Cesar dan Chong in Lestaluhu (2008) juga menunjukkan besarnya nilai ekonomi ekosistem terumbu karang dalam manfaatnya bagi perikanan, wisata, dan kegiatan lainnya.

Kawasan konservasi perairan Berau (Kalimantan Timur) yang dalam hal ini merujuk pada Peraturan Bupati nomor 31 tahun 2005 merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan dan pesisir dengan keanekaragaman hayati cukup tinggi di Indonesia. Keanekaragaman hayati laut Kabupaten Berau merupakan terbesar kedua setelah Raja Ampat. Perairan Berau dikenal sebagai wilayah yang memiliki habitat penyu hijau terbesar di Indonesia. Selain potensi perikanan, keindahan bawah lautnya menjadi daya tarik sendiri bagi kegiatan wisata bahari (DKP Berau 2011). Kabupaten Berau mempunyai luas wilayah 34.127 km2, dengan letak geografis pada koordinat 1º - 2º 33’ LU dan 116º - 119º BT. Secara administratif Kabupaten Berau memiliki batas-batas wilayah yaitu : Utara : berbatasan dengan Kabupaten Bulungan

Timur : berbatasan dengan Laut Sulawesi

Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Kutai Timur

(26)

2

Wilayah Kabupaten Berau terdiri dari 13 Kecamatan dan 8 Kecamatan diantaranya merupakan kecamatan yang memiliki wilayah pesisir dan laut yaitu Kec. Sambaliung, Kec. Pulau Derawan, Kec. Pulau Maratua, Kec. Tabalar, Kec. Biatan-Lempake, Kec. Talisayan, Kec. Batu Putih dan Kec. Biduk-biduk. Secara geografis Rencana Kawasan Konservasi Laut Berau berada pada koordinat 2º 49’

42.6” - 1º 2’ 0.06” LU dan 117º 59’ 17.16” - 119º 2’ 50.30” BT. Luas wilayah KKL tersebut meliputi seluruh wilayah pesisir dan laut termasuk kawasan mangrove, yaitu 1.222.988 ha, yang tersebar di 7 Kecamatan pesisir kecuali Kec. Sambaliung.

Menurut Susanto (2011), kawasan konservasi perairan terbagi kedalam empat zona yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona tersebut terdiri dari beberapa ekosistem yang menunjang seperti ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang yang masih dalam kondisi baik. Ketiga ekosistem tersebut memiliki fungsi masing-masing. Fungsi dari ketiga ekosistem tersebut secara umum yaitu sebagai daerah penyangga dari laut lepas dan daerah pantai sampai ke darat serta sebagai daerah asuhan dan daerah pemijahan bagi beberapa jenis ikan.

Terumbu karang (coral reef) adalah salah satu ekosistem yang paling produktif disamping ekosistem lainnya seperti lamun, mangrove dan estuarine. Ekosistem ini kaya akan sumber daya alam dan kondisinya yang baik akan menjadi objek yang indah bagi kegiatan wisata, selain itu terumbu karang ini merupakan daerah yang menjadi target penangkapan oleh nelayan (Sumadhiharga 2006). Sebagai ekosistem dasar laut dengan penghuni utama karang batu dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip, terumbu karang menyediakan berbagai manfaat langsung maupun tidak langsung. Ekosistem terumbu karang banyak meyumbangkan berbagai biota laut seperti ikan karang, moluska, dan krustasea bagi masyarakat yang hidup dikawasan pesisir. Terumbu karang dan ekosistem pesisir lainnya menyediakan makanan dan merupakan tempat berpijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi, karena itu intensitas penangkapan di daerah terumbu karang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah mangrove dan lamun.

Keanekaeagaman hayati yang tinggi di daerah terumbu karang menyebabkan tingginya tingkat penangkapan yang terjadi di daerah tersebut jika dibandingkan ekosistem lainnya yang termasuk ke dalam kawasan konservasi ini. Dengan demikian, apabila kegiatan perikanan di ekosistem terumbu karang tersebut tidak dikelola dengan baik, maka memungkinkan terjadinya overfishing

(27)

1.2 Perumusan Masalah

Kawasan Konservasi Perairan (KKP) bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Tujuan KKP tersebut dapat dicapai apabila KKP dikelola dengan baik serta memberikan manfaat terutama bagi perikanan. Konsep KKP yaitu melindungi suatu kawasan perairan yang memiliki karakteristik tertentu dengan menggunakan sistem zonasi. Idealnya pembagian zonasi dalam sebuah kawasan konservasi perairan terbagi menjadi 4 zona yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Dalam zonasi-zonasi yang ada di KKP terdapat tiga ekosistem penting yaitu ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang.

Terumbu karang (coral reef) sebagai salah satu ekosistem yang termasuk dalam zonasi kawasan konservasi perairan (KKP) di KKP Berau memiliki manfaat diantaranya habitat berbagai biota laut seperti ikan karang, moluska, dan krustasea. Terumbu karang dan ekosistem pesisir lainnya juga menyediakan makanan dan merupakan tempat memijah bagi berbagai jenis biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga ekosistem terumbu karang tersebut penting untuk dikelola dengan sangat baik, guna menunjang kegiatan perikanan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kawasan konservasi perairan Berau (Peraturan Bupati nomor 31 tahun 2005) memiliki permasalah dalam kegiatan implementasi pengelolaan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini guna melihat manfaat KKP bagi perikanan diantaranya yaitu :

1. Bagaimana kondisi perikanan karang di KKP Berau?

2. Bagaimana aktivitas perikanan karang tangkap dan perilaku nelayan di KKP Berau?

3. Bagaimana pengaruh dan manfaat dari penetapan KKP Berau terhadap kondisi perikanan dan kesejahteraan masyarakat sekitar?

4. Bagaimana strategi pengelolaan KKP dalam mendukung perikanan berkelanjutan?

1.3 Tujuan Penelitian

(28)

4

1. Mengkaji kondisi ekosistem terumbu karang dan perikanan karang tangkap di KKP Berau dengan melihat tren penangkapan ikan selama terbentuknya KKP tersebut.

2. Menganalisis aktivitas penangkapan ikan dan perilaku nelayan setempat dalam mendukung perikanan berkelanjutan.

3. Mengkaji manfaat penetapan KKP Berau terhadap kondisi perikanan dan kesejahteraan masyarakat di KKP Berau dalam rangka mendukung kegiatan perikanan berkelanjutan.

4. Memberikan rekomendasi terkait strategi pengelolaan perikanan berkelanjutan di KKP Berau.

1.4 Manfaat

Tulisan dari penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pihak terkait dalam menentukan alternatif kebijakan pengelolaan perikanan di Kawasan Konservasi Perairan Berau, Kalimantan Timur, serta sebagai bahan masukan untuk mengoptimalkan kegiatan perikanan di Kawasan tersebut. Selain itu, tulisan ini juga dapat dijadikan dasar untuk mengambil keputusan terkait manfaat yang diberikan oleh sebuah Kawasan Konservasi Perairan.

1.5 Kerangka Pemikiran

Kawasan konservasi perairan (KKP) sebagai salah satu alat dalam pengelolaan perikanan terbagi kedalam empat zona yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Zona inti merupakan daerah yang sangat dilindungi (no-take zone / perlindungan mutlak) karena merupakan daerah pemijahan, pengasuhan serta alur ruaya ikan dalam siklus hidupnya sehingga pemanfaatannya dibatasi hanya untuk penelitian (pendidikan). Zona perikanan berkelanjutan memiliki nilai konservasi namun memiliki toleransi terhadap beberapa jenis pemanfaatan seperti penangkapan ramah lingkungan dan budidaya. Zona pemanfaatan diperuntukkan bagi kegiatan pariwisata, penelitian dan pengembangan sedangkan zona lainnya dimanfaatkan sebagai zona rehabilitasi dan zona khusus untuk menunjang aktivitas lainnya.

(29)

Keanekaragaman ini yang dapat menghasilkan manfaat ekonomi yaitu sebagai daerah tangkapan ikan maupun objek wisata.

Ikan-ikan yang terdapat di ekosistem terumbu karang sangat beragam. Nelayan sebagai pihak yang melakukan kegiatan eksploitasi terhadap sumber daya ikan karang ini memiliki ikan target yang bernilai ekonomis tinggi sebagi sumber penghasilannya, namun penangkapan ikan target ini sering diikuti hasil tangkapan sampingannya (by catch). Hal tersebut juga penting untuk diperhatikan agar proses-proses alamiah yang terjadi di ekosistem tersebut tetap terjaga keseimbangannya. Pengembangan KKP ini harus sejalan antara kelangsungan ekosistem (perikanan berkelanjutan) dengan kesejahteraan masyarakat (tidak menimbulkan konflik sosial), apabila KKP tidak memberikan manfaat maka pelaksanaannya akan sulit, selain itu kegiatan ini menjadi tidak efisien karena membutuhkan biaya yang sangat besar namun tidak memberikan manfaat secara nyata. Sehingga atas dasar tersebut, secara skematis kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

(30)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach To Fisheries Management / EAFM)

Menurut Gracia dan Cochrane (2005), seperti pendekatan pengelolaan konvensional, implementasi EAFM memerlukan perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan strategi (strategic planning), dan perencanaan operasional manajemen (operational management planning). Perencanaan kebijakan diperlukan dalam konteks makro menitikberatkan pada pernyataan komitmen dari pengambil keputusan di tingkat nasional maupun daerah terkait dengan implementasi EAFM. Dalam perencanaan kebijakan perlu dimuat pernyataan tujuan dasar dan tujuan akhir dari implementasi EAFM melalui penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan sumber daya ikan. Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan mekanisme koordinasi pusat dan daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan antara regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM secara komprehensif.

FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF)

sebagai : “an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries”. Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumber daya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.

Berdasarkan hal tersebut, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain adalah : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumber daya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya sesuai untuk semua distribusi sumber daya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO 2003).

(31)

Pendekatan ekosistem bagi perikanan (Ecosystem Approaches to Fisheries -EAF) menurut Anderson dan Seijo (2010) merupakan model yang baik dengan memperhatikan struktur spasial dan proses dinamis lingkungan untuk menghitung dugaan dalam perubahan habitat dan fungsi ekosistem dalam konteks fluktuasi dinamis. Seperti yang dijelaskan oleh Hill et al. (2007) in Anderson dan Seijo (2010) bahwa ekosistem laut kompleks (rumit) secara struktural, dengan variabel spasial (lokasi) dan temporal (waktu), tingkat kesulitan dan biaya yang tinggi untuk diamati dan seluruh variabel tersebut diliputi ketidakpastian dalam prediksi modelnya. Dengan demikian, Anderson dan Seijo (2010) mengGambarkan pendekatan bioekonomi terhadap EAF seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Pendekatan Bioekonomi dengan Ecosystem Approach to Fisheries

Sumber : diadaptasi dari Anderson dan Seijo (2010)

Berdasarkan Gambar 2, dapat disimpulkan bahwa terjadi perubahan dari model bioekonomi spesies tunggal dengan alat tangkap tunggal menjadi analisis bioekonomi dengan pendekatan ekosistem (EAF). Dalam perubahannya, untuk pengumpulan data dasar spesies ikan ekonomis penting, pendugaan pada konsep ini perlu memperhatikan : (i) perubahan kelimpahan dari ikan mangsa dan pemangsa berdasarkan hasil survey, (ii) perubahan faktor lingkungan yang penting dalam siklus hidupnya, (iii) perubahan dinamis perilaku dari pelaku perikanan (nelayan) dan alat tangkap ketika menangkap target pemangsa, mangsa dan spesies kompetitor. Hal tersebut menjadi penting untuk diperhatikan karena setiap spesies akan memiliki nilai yang berbeda (Anderson dan Seijo 2010).

Model bioekonomi : - Spesies tunggal

- Alat (komponen) Tunggal

Model bioekonomi dari :

- Saling ketergantungan ekologi - teknologi. - Heterogenitas (keragaman) spasial. - Fluktuasi stok di lingkungan.

Indikator ekosistem dan sumber (poin) - Pengelolaan multispesies dan multi alat. - Pengelolaan spasial dalam perikanan.

Peningkatan ketidakpastian Pengelolaan

(32)

8

2.1 Kawasan Konservasi Perairan (KKP)

2.2.1 Pengertian Kawasan Konservasi Perairan

Menurut IUCN (1994) in Kelleher (1999) pengertian kawasan konservasi perairan yaitu perairan pasang surut dan wilayah perairan di sekitarnya termasuk flora, fauna, serta penampakkan sejarah dan budaya yang dilindungi oleh hukum atau cara lain yang efektif untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan yang ada di sekitarnya. Menurut FAO (2011), terdapat beberapa perbedaan KKP di beberapa negara. Filipina menjelaskan bahwa kawasan konservasi merupakan daerah laut yang spesifik yang dilindungi hukum dan cara efektif lainnya serta pelaksanannya dipandu dengan aturan spesifik atau panduan untuk mengelola aktivitas dan melindungi sebagian dari seluruh wilayah pesisir dan lingkungan laut. Brazil mengategorikan KKP kedalam dua daerah yaitu daerah tanpa penangkapan (inti/ no-take zone) dan daerah untuk pemanfaatan berkelanjutan, sedangkan di Senegal, KKP merupakan kawasan perlindungan dengan dasar keilmuan untuk generasi sekarang dan akan datang, dari sumber daya alami dan budaya serta ekosistem yang menunjukkan lingkungan laut.

Dalam pengelolaannya, Salm et.al. (2000) menjelaskan enam kategori manajemen kawasan konservasi yang dapat dikembangkan yaitu :

1. Kategori I adalah Kawasan Suaka Alam untuk pengelolaan kehidupan liar (kategori 1 b), sedangkan Cagar Alam untuk kepentingan ilmu pengelolaan daerah perlindungan terutama untuk kegiatan konservasi maupun wisata.

6. Kategori VI : Pengelolaan Daerah Sumber daya yang dilindungi untuk pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Dari enam kategori manajemen kawasan konservasi tersebut, Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 menjelaskan bahwa kawasan konservasi perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. KKP terdiri atas Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan.

Berdasarkan Permen KKP No 2 /2009 in Soedharma (2011) dalam ketentuan umum menyatakan bahwa:

(33)

2. Taman Nasional Perairan adalah kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian ilmu pengetahuan, pendidikan kegiatan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan dan rekreasi.

3. Suaka alam Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya.

4. Taman Wisata Perairan adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.

5. Suaka perikanan adalah kawasan perairan tertentu baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu sebagai daerah perlindungan.

2.2.2 Manfaat Kawasan Konservasi Perairan

Salah satu alat pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang dinilai efektif adalah dengan mengembangkan kawasan konservasi perairan yaitu mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut sebagai tempat perlindungan bagi ikan-ikan ekonomis penting untuk memijah dan berkembang biak dengan baik. Dengan mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, ekosistem terumbu karang yang sehat, dan menyediakan tempat perlindungan bagi sumber daya ikan, maka pada akhirnya akan mendukung kegiatan perikanan dan pariwisata berkelanjutan.

Claudet et al. (2006) mengGambarkan manfaat KKP dengan sangat jelas, yaitu perbedaan kelimpahan ikan karang dan jenisnya pada suatu kawasan sebelum ditetapkannya daerah tersebut sebagai KKP dan setelah ditetapkan sebagai KKP. Pembentukan KKP memberikan dampak positif setelah tiga tahun berjalan yaitu kelimpahan ikan meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelum penetapan KKP, jenis (biodiversity) ikan-ikan karang meningkat dan ukuran ikan juga menjadi beragam.

(34)

10

2.2.3 Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan

Penilaian Evaluasi Efektifitas Pengelolaan (PEEP) dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan perubahan yang terjadi dengan adanya pengelolaan di kawasan konservasi perairan. Kegiatan evaluasi terhadap efektifitas pengelolaan dapat ditinjau dari aspek biofisik, sosial-ekonomi dan kelembagaannya. Pelletier

et al. (2005) menjelaskan bahwa kinerja keberhasilan suatu kawasan konservasi laut dapat diukur dari 3 aspek penting yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Beberapa variabel ekologi yang dapat diukur diantaranya : (a) kekayaan spesies dan indeks keanekaragaman, (b) kelimpahan invertebrata, (c) penutupan karang, (d) distribusi spasial spesies, (e) komposisi spesies dan kepadatan relatif. Variabel ekonomi yang dapat diukur antara lain : (a) biaya pengelolaan, (b) jumlah kunjungan dan pengeluaran kasar secara langsung terkait dengan kawasan konservasi, (c) perubahan dalam upaya penangkapan ikan. Kemudian, untuk variabel sosial yang dapat diukur diantaranya : (a) persepsi masyarakat, (b) frekuensi pertemuan antara masyarakat dan pengelola kawasan konservasi laut.

Menurut Hockings et. al. (2000) dan Hockings et. al. (2006), dalam melakukan evaluasi efektifitas pengelolaan KKP diperlukan evaluasi terhadap enam elemen yang merupakan refleksi dari setiap tahapan dalam proses pengelolaan yang baik. Keenam elemen tersebut adalah:

• Identifikasi status dari kondisi kawasan konservasi pada saat ini (context/ latar belakang);

• Identifikasi terhadap tujuan dan perencanaan kawasan (planning/ perencanaan);

• Identifikasi terhadap kebutuhan sumber daya dalam pengelolaan (input/ kebutuhan);

• Identifikasi terhadap pelaksanaan program pengelolaan (proses/pelaksanaan);

• Identifikasi terhadap hasil pelaksanaan program pengelolaan, produk dan layanan (output/keluaran); dan

• Identifikasi terhadap pencapaian pengelolaan (outcome/hasil).

Alur (siklus) evaluasi efektifitas dalam sebuah kawasan konservasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Siklus Evaluasi Efektifitas

(35)

2.3 Pembagian Zonasi di Kawasan Konservasi Perairan

Rencana zonasi KKP mengacu pada Undang-Undang No. 45/2009 tentang perikanan dan Peraturan Pemerintah No. 60/2008 tentang konservasi sumber daya ikan. Dalam peraturan perundangan tersebut, zonasi KKP terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Susanto (2011) juga menjelaskan untuk kasus-kasus yang spesifik, maka akan ada pembagian sub-sub zona sebagai bagian dari keempat zona utama yang penentuannya disesuaikan dengan potensi, karakteristik, dan pertimbangan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Pembagian zonasi KKP di Indonesia yaitu :

-Zona inti diperuntukkan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, penelitian dan pendidikan dengan tetap mempertahankan perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. Kriteria penentuan zona inti meliputi : daerah yang merupakan tempat pemijahan, pengasuhan atau alur migrasi ikan; daerah yang merupakan habitat biota perairan tertentu; mempunyai keanekaragaman jenis biota perairan beserta ekosistemnya; mempunyai ciri khas ekosistem alami dan mewakili biota tertentu yang masih asli; mempunyai kondisi perairan yang relatif masih asli dan tidak atau belum terganggu manusia; mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis ikan tertentu untuk menunjang pengelolaan perikanan yang efektif dan menjamin berlangsungnya bio-ekologis secara alami; serta mempunyai ciri khas sebagai sumber plasma nutfah bagi KKP.

-Zona perikanan berkelanjutan diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi ikan, penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, budidaya ramah lingkungan, pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan serta pendidikan. Penentuan zona perikanan berkelanjutan yaitu daerah yang memiliki nilai konservasi namun masih memiliki toleransi terhadap pemanfaatan budidaya ramah lingkungan dan penangkapan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan. Selain itu, mempunyai karakteristik ekosistem yang memungkinkan untuk berbagai pemanfaatan ramah lingkungan dan mendukung perikanan berkelanjutan, memiliki keanekaragaman jenis biota perairan beserta ekosistemnya, mempunyai kondisi perairan yang relatif masih baik untuk mendukung kegiatan multifungsi dengan tidak merusak ekosistem aslinya, dan mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin pengelolaan budidaya ramah lingkungan, perikanan berkelanjutan, dan kegiatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, serta mempunyai karakteristik potensi dan keterwakilan biota perairan bernilai ekonomi.

(36)

12

-Zona lainnya adalah zona diluar zona inti, zona perikanan berkelanjutan dan zona pemanfaatan yang diperuntukkan bagi zona rehabilitasi dalam rangka mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Zona khusus untuk kepentingan aktivitas, sarana penunjang kehidupan kelompok masyarakat atau masyarakat adat yang tinggal di wilayah tersebut, dan kepentingan umum antara lain berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi, dan jaringan listrik. Kriteria penentuan zona lainnya tergantung dari karakteristik kawasan seperti adanya perubahan fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya diperlukan campur tangan manusia, adanya invasif spesies yang mengganggu jenis atau biota asli kawasan, dan adanya pemanfaatan lain yang sesuai kebutuhan zona dengan tetap memperhatikan daya dukung dari kawasan tersebut.

2.4 Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

2.4.1 Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat produktif dan berfungsi sebagai habitat bagi beragam biota laut sebagai berikut : (1) Beraneka ragam hewan avertebrata (terutama karang batu / stony coral) juga berbagai krustasea, siput dan kerang-kerangan, serta ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut, dan leli laut) ; (2) Beraneka ragam ikan, 50% - 70% ikan karnivora oportunik, 15% ikan herbivora, dan sisanya omnivora ; (3) Reptil, umumnya ular laut dan penyu laut ; dan (4) Ganggang dan rumput laut, yaitu algae hijau berkapur, algae karolin dan lamun (Bengen 2001).

Sorokin (1993) menjelaskan terumbu karang (coral reef) merupakan organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang kuat menahan gelombang laut. Organisme yang dominan hidup

adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae yang banyak juga mengandung kapur. Terumbu karang ini dibedakan antara binatang karang sebagai individu dan terumbu karang sebagai ekosistem. Sebagai ekosistem dasar laut, terumbu karang dengan penghuni utama karang batu memiliki arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhana, karang terdiri dari satu polip yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut pada bagian atas dan dikelilingi tentakel, namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).

(37)

hewan karang pembangun terumbu. Karang batu ini termasuk kedalam kelas Anthozoa, filum Coelenterata yang hanya mempunyai stadium polip.

Bell dan Galzin (1984) menjelaskan bahwa keadaan terumbu karang (substrat) sebagai habitat yang dilihat dari luasan tutupan karangnya memiliki pengaruh terhadap kekayaan spesies dan jumlah dari ikan yang terdapat (berasosiasi) di dalamnya. Hal tersebut diperjelas dengan membandingkan kekayaan jenis ikan dan kelimpahan ikan yang terdapat pada substrat yang tidak terdapat tutupan karang. Dengan demikian, penting diperhatikan kondisi terumbu karang sebagai habitat untuk mengendalikan kondisi ikan-ikan karang yang ada. Menurut Nybakken (1997), pertumbuhan terumbu karang dibatasi oleh beberapa faktor, antara lain adalah :

1. Kedalam

Kebanyakan terumbu karang dapat hidup antara kedalaman 0-25 m dari permukaan laut. Tidak ada terumbu yang dapat hidup dan berkembang pada perairan yang lebih dalam antara 50-70 m. Hal inilah yang menerangkan mengapa struktur terumbu terbatas hingga pinggiran benua-benua atau pulau-pulau.

2. Suhu

Terumbu karang dapat hidup subur pada perairan yang mempunyai kisaran suhu antara 23OC-25OC. Tidak ada terumbu karang yang dapat berkembang pada suhu dibawah 18OC. Suhu ekstrim yang masih dapat ditoleransi berkisar antara 36OC-40OC. Suhu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan terumbu karang dimana upwelling disebabkan oleh pengaruh suhu. Upwelling sendiri menyediakan persediaan makanan yang bergizi bagi pertumbuhan terumbu karang.

3. Cahaya

Cahaya merupakan salah satu faktor yang sangat penting karena cahaya sangat dibutuhkan bagi zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup laju fotosistesis akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) serta membentuk terumbu akan semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas berkurang hingga 15-20% dari intensitas di permukaan.

4. Salinitas

Karang tidak dapat bertahan pada salinitas di luar 32-35‰. Namun pada kasus khusus di Teluk Persia, terumbu karang dapat hidupp pada salinitas

42‰. Layaknya biota laut lainnya, terumbu karang pun mengalami tekanan dalam penerimaan cairan yang masuk. Sehingga apabila salinitas rendah dari kisaran diatas, terumbu karang akan kekurangan cairan sehingga tidak banyak nutrien yang masuk dan sebaliknya jika salinitas lebih tinggi akan menyebabkan cairang yang didalam tubuhnya akan keluar,

5. Pengendapan

(38)

14

Pertumbuhan terumbu karang akan menjadi terhambat apabila daerah terumbu karang tersebut mengalami kerusakan. Faktor-faktor yang sangat dominan dalam kerusakan terumbu karang adalah faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan akibat faktor alam bagi terumbu karang terutama disebabkan oleh perusakan tektonik akibat gempa di dasar laut yang menyebabkan tsunami dan mekanik melalui badai tropis yang hebat sehingga koloni terumbu karang tersebut terangkat dari terumbu. Badai bisa memporak-porandakan karang baik di daerah

reef flat, reef edge dan reef slope. Peristiwa ini biasanya sangat rawan terutama pada terumbu karang yang letaknya di pantai pulau terpencil yang langsung menuju atau berhadapan ke lautan bebas. Sedangkan kerusakan terbesar kedua adalah adanya fenomena El Nino dimana terjadi peningkatan suhu yang ekstrim sehingga terumbu karang tersebut mengalami proses bleaching.

Disamping faktor fisik-kimia, faktor biologis yaitu predator karang diketahui juga tidak kalah pentingnya andil pada kerusakan karang. Bintang laut berduri Acanthaster plancii cukup terkenal sebagai perusak karang di daerah Indo-Pasifik. Selain Acanthaster plancii, beberapa jenis hewan lainnya seperti gastropoda Drupella rugosa, bulu babi (Echinometra mathaei, Diadema setosum,

dan Tripneustes gratilla), dan beberapa jenis ikan karang seperti ikan kakak tua (Scarrus sp.), Kepe-kepe (Chaetodon sp.) dapat mengakibatkan kerusakan pada area terumbu karang (Supriharyono 2000).

Faktor kerusakan lainnya disebabkan oleh kegiatan manusia secara langsung yang dapat menyebabkan bencana kematian pada terumbu melalui kegiatan penambangan karang batu, penangkapan bencana kematian pada terumbu melalui kegiatan penambangan karang batu, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bahan kimia beracun, penggunaan jangkar dan eksploitasi berlebihan pada sumberdaya tertentu. Pengeboran minyak lepas pantai, tumpahan minyak baik kecelakaan kapal laut, kebocoran pipa penyalur atau tumpahan ketika pengisian bahan bakar dapat mengganggu kesehatan karang. Disamping itu kegiatan pertanian dan perkebunan di daerah dataran tinggi dapat menyebabkan sedimentasi di daerah pesisir (Supriharyono 2000).

2.4.2 Komunitas Ikan Kerapu

(39)

Ikan kerapu tersebar luas di Pasifik Barat, mulai Jepang bagian selatan sampai Palau, Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Australisa bagian selatan serta Laut India bagian timur dari Nicobar sampai Broome. Di Indonesia, ikan kerapu banyak ditemukan di wilayah perairan Teluk Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa, Madur, Kalimantan dan Nusa Tenggara (Heemstra & Randall 1993). Parameter lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu yaitu pada temperatur 24-31OC, salinitas 30-33 ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH 77,8-8. Perairan dengan kondisi seperti ini pada umumnya terdapat di perairan terumbu karang (Lembaga Penelitian Undana 2006).

Kebanyakan jenis komersial penting, termasuk jenis ikan kerapu dan napoleon melakukan aktivitas reproduksi dalam suatu pemijahan massal (spawning aggregation) melibatkan puluhan hingga puluhan ribu individu (Sadovy 1996). Pemijahan massal adalah kelompok spesies ikan yang sama berkumpul untuk tujuan pemijahan, dimana densitas dan jumlah ikan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan densitas dan jumlah ikan dilokasi agregasi tersebut pada saat tidak dalam masa reproduksi (Domeier & Colin 1997). Banyak ikan karang konsumsi berkumpul dalam jumlah besar pada lokasi, musim dan fase bulan yang spesifik untuk memijah (Sadovy 1996). Pada umumnya lokasi dan waktu agregasi selalu tetap pada jangka waktu yang lama sehingga kumpulan ikan ini menjadi target mudah bagi aktivitas penangkapan musiman (Sadovy 1997).

Jenis ikan kerapu umumnya merupakan hermaprodit protogyni (Shapiro 1987 in Levin & Grimes 1991). Juvenil kerapu biasanya memiliki jenis kelamin betina dan individu jantan terbentuk pada saat betina dewasa berubah kelamin (Levin & Grimes 1991). Selanjutnya Levin & Grimes (1991) menjelaskan bahwa ekploitasi terhadap lokasi pemijahan massal akan berimplikasi secara nyata terhadap ekologi reproduksi ikan kerapu. Jika individu yang lebih tua dan berukuran besar lebiih rentan terhadap penangkapan, maka proporsi jantan dalam populasi akan menurun. Hilangnya individu dewasa menyisakan individu muda yang belum memiliki pengalaman untuk melakukan pemijahan di lokasi pemijahan massal tradisional seperti yang dilakukan pendahulunya, sehingga lokasi pemijahan massal tersebut dapat menghilang pada akhirnya. Kalaupun lokasi pemijahan tersebut masih berfungsi, penurunan jumlah individu jantan menyebabkan keterbatasan sperma yang dapat mengganggu keberhasilan pemijahan (Shapiro et al. 1994 in Levin & Grimes 1991).

2.4.3 Hubungan Terumbu Karang, Ikan Karang dan Ikan Kerapu

Terumbu karang sebagai habitat dari berbagai ikan karang. Menurut Choat dan Bellwood (1991) terdapat beberapa jenis interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang yang terbagi kedalam tiga bentuk, yaitu :

1. Interaksi langsung sebagai tempat berlindung dari predator bagi ikan-ikan muda ;

(40)

16

3. Interaksi tidak langsung antara struktur terumbu karang dan kondisi hidrologi serta sedimentasi dengan pola makan ikan pemakan plankton dan karnivor.

English et al. (1997) membagi ikan-ikan karang kedalam tiga kelompok, yaitu :

1. Ikan Target. Ikan yang menjadi target untuk penangkapan atau dikenal dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi. Ikan-ikan yang termasuk ikan target diantaranya : Serranidae, Lutjanidae, Kyphosidae,

Lethrinidae, Acanthuridae, Mulidae, Siganidae, Labridae (Chelinus,

Himigymnus, Choerodon) dan Haemulidae.

2. Ikan Indikator. Ikan indikator berfungsi sebagai ikan penentu terumbu karang karena ikan ini erat hubungannya dengan kesuburan terumbu karang yaitu ikan dari famili Chaetodontidae (kepe-kepe).

3. Ikan Lain (Mayor famili). Ikan ini umumnya dalam jumlah banyak dan dijadikan ikan hias air laut (Pomacentridae, Caesionidae, Scaridae,

Pomacanthidae, Labridae, Apogonidae, dan lain-lain).

Menurut Lain (2011) ikan-ikan yang berasosiasi dengan karang yang ada di Kawasan Konservasi Laut Daerah Liwutongkidi diantaranya : famili Serranidae

(ikan kerapu), Scaridae (ikan kaka tua), Lutjanidae (ikan kakap), Acanthuridae

(ikan pakol) yang biasanya dijadikan ikan target penangkapan. Selain itu, terdapat pula ikan indikator dari famili Chaetodontidae (kepe-kepe), dan jenis ikan lain dominan (mayor family) seperti Pomacentridae (ikan betok), Caesionidae,

Labridae, dan lain-lain. Berdasarkan hasil pengamatan Lain (2011) juga dapat diketahui bahwa keadaan karang terbaik terdapat di daerah pengamatan Liwutongkidi dengan jumlah individu ikan indikator Chaetodontidae terbanyak.

Keterkaitan ikan pada terumbu karang disebabkan karena bentuk dan pertumbuhan karang menyediakan tempat yang baik bagi perlindungan. Karang merupakan tempat kamuflase yang baik serta sumber pakan dengan adanya keragaman jenis hewan atau tumbuhan yang ada. Beberapa jenis ikan yang hidup ditepi karang, menjadikan karang sebagai tempat berlindung dan daerah luar karang sebagai tempat mencari makan. Selain itu terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah dan daerah pengasuhan bagi biota laut.

(41)

2.4.4 Pemanfaatan Ekosistem Terumbu Karang

Supriharyono (2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa aktivitas pemanfaatan terumbu karang yaitu :

1. Perikanan terumbu karang

Seiring meningkatnya jumlah penduduk maka aktivitas penangkapan juga cenderung meningkat. Pengelolaan yang efektif harus didasarkan pada pengetahuan biologis spesies target, sehingga teknik penangkapan yang tepat dapat ditentukan. Pengelolaan terumbu karang ini cenderung lebih banyak ditekankan pada pengambilan karang atau aktivitas manusia seperti pengeboman ikan karang, dan aktivitas lainnya yang secara tidak langsung dapat merusak karang.

2. Penangkapan ikan karang

Sumber daya perikanan dapat berupa sumber daya ikan, sumber daya lingkungan dan sumber daya buatan manusia yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya ikan. Nelayan dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomi dan permintaan pasar terhadap ikan hias laut (ikan karang) akan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam kondisi tersebut, nelayan terkadang lupa memperhatikan kelestarian sumber daya ikan.

Selain bermanfaat bagi kegiatan perikanan, ekosistem terumbu karang ini juga bermanfaat bagi kegiatan wisata. Seperti yang diungkapkan Gao dan Hailu (2011) bahwa kondisi karang yang sangat baik serta tutupan karang yang luas dapat meningkatkan jumlah kegiatan yang dapat dilakukan di ekosistem terumbu karang tersebut. Hal ini karena kondisi dan tutupan karang yang baik dapat berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis ikan karang dan kelimpahan ikan karang sehingga para penyelam dan wisatawan tertarik untuk melakukan kegiatan wisata di daerah tersebut dan dapat pula melakukan aktivitas olahraga menangkap ikan (sport fishing).

2.4.5 Nilai Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang

Constanza dan Folke (1997) in Adrianto (2006) menjelaskan tujuan valuasi ekonomi adalah menjamin tercapainya tujuan maksimisasi kesejahteraan individu yang berkaitan dengan keberlanjutan ekologi dan keadilan distribusi, dan untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya valuasi ekosistem berdasarkan tiga tujuan utama yaitu efisiensi, keadilan dan keberlanjutan. Ekosistem terumbu karang memiliki fungsi atau manfaat yang sangat jelas dalam menghasilkan beragam jenis ikan, penghasil biota untuk bidang kesehatan, dan lain-lain. Seperti yang dijelaskan dalam Dahuri et al. (2001) bahwa fungsi penting terumbu karang diantaranya :

- Habitat sumber daya ikan, dikenal sebagai tempat memijah, bertelur, mencari makan, berlindung dan daerah asuhan bagi boita laut.

- Penyedia (sumber) benih alami bagi pengembangan budidaya perikanan. - Penyedia sumber makanan dan bahan baku substansi aktif yang berguna

(42)

18

- Sebagai pelindung pantai dengan meredam ombak (arus dan gelombang) laut, sehingga pantai dapat terhindar dari degradasi dan abrasi.

Sedangkan nilai ekosistem terumbu karang terbagi dalam :

- Nilai ekologis, sebagai penjaga keseimbangan kehidupan biota laut dan hubungan timbal balik antara biota laut dengan abiotiknya.

- Nilai ekonomis, dapat dikembangkan menjadi komoditas bernilai ekonomi yaitu sebagai hiasan akuarium, bahan baku kedokteran dan sebagainya. - Nilai estetika, terumbu karang membentuk panorama indah sebagai

pemandangan alami dan bermanfaat bagi wisata.

- Nilai biologis, sebagai penghasil oksigen perairan dan pengatur keseimbangan ekosistem perairan.

- Nilai edukasi, sebagai objek penelitian dan pendidikan.

Dengan adanya manfaat serta nilai yang terkandung didalamnya, sehingga penting untuk mengetahui seberapa besar kerugian yang terjadi apabila kehilangan ekosistem tersebut. Barton (1994) menjelaskan bahwa nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh instrumen yang ada didalamnya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat dikuantifikasi melalui metode valuasi ekonomi total (total economic valuation).

Teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to pay

(43)

Tabel 1. Nilai Ekonomi Jasa dan Barang dari Sumber Daya Terumbu Karang

Manfaat Ekonomi Lokasi Studi dan Pustaka Nilai Ekonomi

Manfaat Langsung :

- Perikanan Philippines (McAllister, 1988) US$ 80 juta/thn

Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 0,70/ha/thn (ikan dan krustase) Indonesia Coral Reefs (Cesar, 1996) US$ 40.000 (peracunan ikan)

US$ 86.000 (pemboman ikan)

US$ 81.000 (sedimentasi)

US$ 109.000 (tangkap lebih)

Montego Bay Coral Reefs (Gustavson, 1998) US$ 1,31 juta (1996) Great Barrier Reefs (Driml, 1999) US$ 143 juta (1996) - Turisme/ Virgin Islands National Park, St. Johns US$ 8.295/ha (2.820 ha) Rekreasi (Posner et.al., 1981)

Bacuit Bay, Philippines US$ 6.280 logging (Hodgson dan Dixon, 1988) US$ 13.334 larangan logging Galapagos National Park, Ecuador (Edwards, 1991) US$ 312/hari/orang John Pennekamp/Key Largo (Leeworthy, 1991) US$ 285 - 426/hari/orang Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 45/ha/thn

US$ 1300/ha/thn

Bonaire Marine Park (Pendleton, 1995) US$ 7,9 - 8,8 juta (1991)

NPV US$ 74,21 juta (r = 10%; 20 thn)

Indonesia Coral Reefs (Cesar, 1996) US$ 3.000 - 436.000 (peracunan ikan)

US$ 3.000 - 482.000 (pemboman ikan

dan penambangan karang

US$ 192.000 (sedimentasi)

Montego Bay Coral Reefs (Gustavson, 1998) US$ 315 juta (1996) Great Barrier Reefs (Driml, 1999) AU$ 769 juta (1996)

Andaman Sea, Thailand (Seenprachawonng, 2003) US$ 205,42 juta (US$ 5.243/ha/thn) Bolinao Coral Reefs, Philippines US$ 223/person

(Ahmed et.al., 2003) (US$ 1,3 juta) (2000) Coral-surrounded Hon Mun Islands, Vietnam US$ 17,9 juta/thn

(Pham dan Tran, 2003)

Pulau Payar Marine Park, Kedah, US$ 390.000

Malaysia (Yeo, 2003)

- Perdagangan Phillipines (McAllister, 1988) US$ 10 juta/thn

akuarium

- Penjualan produk Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 0,40/ha/thn

Ornamen

- Material Bangunan Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 5,20/ha/thn - Pendidikan Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 2,73/ha/thn dan riset Panama Coral Reefs (Spurgeon, 1992) US$ 2,5 juta (1991)

Manfaat

Tidak Langsung :

- Perlindungan Philippines Coral Reefs (McAllister, 1991) US$ 22 milyar (22.000 km2)

Pantai Indonesia Coral Reefs (Cesar, 1996)

US$ 9.000 - 193.000 (pemboman ikan) ; US$ 12.000 - 260.000

(penambangan karang)

- Merawat

biodiversitas Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 4,9/ha/thn - Perlindungan alami Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 0,55/ha/thn

Nilai Bukan Manfaat :

- Budaya/artistik Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 0,20/ha/thn - Spritual Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 0,52/ha/thn - Nilai pilihan Galapagos National Park (de Groot, 1992) US$ 120/ha/thn

(44)

20

2.5 Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan bagi Perikanan Berkelanjutan

Menurut Charles (1993) in Lain (2011) pembangunan perikanan berkelanjutan harus mengadopsikan konsep pembangunan perikanan yang mengandung beberapa aspek yaitu :

Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pengelolaan ekologi secara berkelanjutan biomassa atau stok harus diperhatikan sehingga tidak melewati daya dukung serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama.

Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi) adalah pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan penduduk dan pengurangan kemiskinan dengan mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

Community sustainability merupakan suatu kerangka keberlanjutan kesejahteraan yang menyangkut komunitas masyarakat yang harus diperhatikan dalam pembangunan perikanan berkelanjutan.

Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan) menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat.

Dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan bagi perikanan berkelanjutan ini perlu diperhatikan keterpaduan, seperti dalam pengelolaan wilayah pesisir yaitu (1) keterpaduan antar sektor ; (2) keterpaduan ruang / spatial

; (3) keterpaduan pengelolaan berbasis ilmu pengetahuan ; (4) keterpaduan kelembagaan ; dan (5) keterpaduan internasional (Cicin-Sain dan Knecht 1998).

(45)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2012 di Kawasan Konservasi Perairan Berau, Kalimantan Timur. Kabupaten Berau terbagi dalam 13 kecamatan dan 8 kecamatan diantaranya memiliki wilayah pesisir dan laut yaitu Kec. Sambaliung, Kec. Pulau Derawan, Kec. Pulau Maratua, Kec. Tabalar, Kec. Biatan-Lempake, Kec. Talisayan, Kec. Batu Putih dan Kec. Biduk-biduk. Berdasarkan metode purposive sampling, maka lokasi yang dipilih dalam penelitian ini yaitu Kec. Sambaliung, Kec. Pulau Derawan, Kec. Talisayan, Kec. Batu Putih dan Kec. Biduk-biduk. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian Sumber : BPSPL Pontianak (2011)

3.2 Jenis dan Sumber Data

3.2.1 Data Primer

(46)

22

Lampiran 2). Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini terdiri dari : hasil tangkapan kerapu harian, jumlah bubu harian yang digunakan untuk menangkap kerapu, perspektif masyarakat mengenai program konservasi, data sosial ekonomi nelayan setempat, serta profil umum mengenai kawasan konservasi perairan Berau. Selain itu jenis data primer yang diambil adalah data sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, pengalaman sebagai nelayan, dan informasi penting lainnya sesuai tujuan penelitian.

Beberapa pihak yang menjadi narasumber dari penelitian ini diantaranya nelayan, instansi pemerintahan, dan sektor swasta, baik pengusaha ataupun lembaga pengelola kawasan konservasi perairan Berau. Wawancara dan pengisian kuesioner dilakukan untuk memperoleh informasi jumlah tangkapan perhari, wilayah penangkapan ikan, dan jenis alat tangkap yang digunakan serta data primer lainnya yang dapat digunakan sebagai informasi pendukung bagi penelitian ini. Kegiatan wawancara atau pengisian kuesioner dilakukan pada nelayan penangkap ikan karang yang ada pada saat pengamatan, sedangkan bagi instansi pemerintahan dan lembaga terkait lainnya dilakukan sesuai dengan kesempatan pada saat pengambilan data.

3.2.2 Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka, buku-buku dan laporan ilmiah hasil penelitian sebelumnya ataupun data penelitian yang diperoleh dari instansi (lembaga) lain, serta buku yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder yang dikumpulkan terbagi menjadi empat yaitu data yang terkait ekologi terumbu karang, data terkait produksi dan nilai ekonomi dari karang dan perikanan karang, profil umum mengenai kawasan, serta data sosial ekonomi masyarakat berdasarkan kependudukan. Data ekologi karang meliputi sebaran/distribusi terumbu karang, jenis karang, dan kondisi tutupan karang sebelum dan sesudah terbentuk menjadi KKP. Sedangkan untuk data perikanan karang meliputi produksi ikan karang, dan nilai (harga) ikan tangkapan dalam tahunan dan harian, serta upaya atau alat yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan. Selain itu, informasi mengenai kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar selama kurun waktu tertentu juga diperlukan untuk melihat komposisi dan perubahan dari kesejahteraan masyarakat tersebut. Informasi-informasi tersebut diperoleh dari instansi terkait baik dari pemerintahan ataupun sektor swasta.

3.3 Prosedur Penelitian

(47)

berkaitan dengan penelitian ini. Selanjutnya jenis ikan dalam penelitian ini dibatasi yaitu ikan kerapu sebagai ikan target dalam produksi perikanan Kabupaten Berau. Berdasarkan tujuan penelitian, maka matrik prosedur penelitian ini disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Matrik Prosedur Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode Instrumen Data Manfaat Data

(48)

24

3.4 Metode Pengambilan Contoh

Contoh-contoh yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya : nelayan yang melaut di kawasan konservasi perairan Berau, dan sejumlah pihak yang berkepentingan di KKP Berau sebagai narasumber bagi pengambilan data dengan kuesioner dan wawancara. Penentuan contoh-contoh tersebut dilakukan dengan teknik convenience, seperti yang dijelaskan oleh Juanda (2007) bahwa teknik

convenience merupakan prosedur memilih responden yang paling mudah tersedia, sembarang, atau kebetulan ditemui. Perhitungan rata-rata dan ragam berdasarkan penarikan contoh acak sederhana tersebut menurut Boer (2008) dijelaskan dengan rumus :

x : Penduga takbias parameter populasi µ

xi : Data ke i

Analisis sebaran tangkapan dilakukan secara deskriptif visual yang ditujukan untuk mendapatkan informasi tentang berbagai kondisi lapang yang bersifat tanggapan dan pandangan terhadap pelaksanaan program perkuatan serta kondisi lingkungan sosial ekonomi dan daerah sampel. Hasil analisis kualitatif berupa perbandingan kondisi riil di lapang yang diperoleh dari pendapat-pendapat berbagai unsur yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kegiatan penangkapan ikan karang dengan kondisi ideal yang diperoleh dari studi pustaka. Model deskriptif kualitatif yaitu hasil penelitian beserta analisa yang diuraikan dalam suatu tulisan ilmiah yang berbentuk narasi, kemudian diambil kesimpulan.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Gambar 2. Pendekatan Bioekonomi dengan Ecosystem Approach to Fisheries
Gambar 3. Siklus Evaluasi Efektifitas
Tabel 1. Nilai Ekonomi Jasa dan Barang dari Sumber Daya Terumbu Karang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil tes kosakata, ditemukan bahwa persentase skor dari penguasaan kosakata dengan menggunakan lagu tradisional pada siklus 2 yang mendapat 75 atau

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 72 ayat (1) huruf b

Perekonomian Sulawesi Utara (Sulut) pada 2019 tercatat bertumbuh sebesar 5,66 persen (YoY, grafik 1.1a) dibandingkan tahun 2018 sebesar 6,01 persen (YoY),

Data primer yaitu data yang dikumpulkan secara langsung selama penelitian meliputi konstruksi jaring (Lampiran 1), jenis spesies ikan hasil tangkapan utama dan

Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau masukan bagi perkembangan ilmu teknologi mengenai penggunaan sistem yang telah

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi ( Lembaran Daerah Kabupaten Hulu

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat yang telah melimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penulisan skripsi

MKU Bahasa Indonesia Berbasis Karakter sebagai berikut: (1) Uji validitas buku ajar menunjukkan hasil yang valid dengan nilai rata-rata sebesar 4,34, yang artinya