• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Hinman (1998) menyatakan bahwa permasalahan perikanan dalam konteks ekosistem adalah eksploitasi yang berlebihan serta kurangnya perhatian terhadap interaksi predator-mangsa dan hasil tangkapan sampingan yang disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Oleh karenanya, Hinman (1998) memberikan 3 (tiga) rangkaian rekomendasi berkenaan dengan permasalahan perikanan tersebut antara lain :

1. Rangkaian rekomendasi pertama :

a. Memberikan prioritas pada pemulihan populasi yang mengalami tangkap lebih pada tingkat yang lebih tinggi dibanding level yang dibutuhkan untuk menghasilkan produksi maksimum lestari.

b. Memperbaiki struktur umur yang stabil dan rasio sex dari populasi.

c. Mengadopsi dan mengimplementasikan pendekatan kehati-hatian dalam segala hal, termasuk memperkenalkan model perikanan baru atau ekspansi model perikanan yang telah ada.

d. Menentukan level penangkapan untuk spesies target yang dilestarikan 2. Rangkaian rekomendasi kedua :

a. Memperbaharui seluruh rencana pengelolaan sumberdaya perikanan untuk dapat mengidentifikasi interaksi spesies penting.

b. Membuat batasan-batasan dengan mempertimbangkan interaksi tersebut. c. Jika tujuan pengelolaan menghindari konflik antar pengguna sumberdaya,

maka penyusunan rencana pengelolaan harus didasarkan pada aspek ekologis untuk dapat mengharmonisasikan tujuan tersebut.

3. Rangkaian rekomendasi ketiga :

a. Menentukan zona larangan penangkapan untuk daerah-daerah yang telah mengalami tangkap berlebih

b.Menetapkan pembatasan alat tangkap untuk meningkatkan keberlangsungan hidup spesies yang akan dilindungi.

Model pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem diadopsi oleh FAO, pada FAO Technical Consultation on Ecosystem-based Fisheries Management yang dilangsungkan di Reykjavik (Finlandia) dari 16 sampai 19 September 2002 (FAO 2003). EAF didefinisikan oleh Ward et al. (2002)

sebagai perluasan dari model pengelolaan perikanan konvensional dengan secara eksplisit mengenali adanya hubungan saling ketergantungan antara kesejahteraan manusia dan kesehatan ekosistem dan kebutuhan untuk memelihara produktifitas ekosistem bagi generasi sekarang dan yang akan datang seperti konservasi habitat yang kritis, mengurangi polusi dan buangan sampah serta melindungi spesies-spesies yang terancam. Dalam konsultasi para ahli di Reykjavik (FAO, 2003) disetujui bahwa tujuan dari pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem adalah merencanakan, mengembangkan dan mengelola perikanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan menjamin generasi yang akan datang masih memperoleh manfaat dari ekosistem laut. Oleh karenanya, pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan ditujukan untuk menjaga keseimbangan dari berbagai kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan pengetahuan dan ketidakpastian antara komponen biotik, abiotik dan manusia dari ekosistem dan interaksinya serta mengaplikasikan pendekatan yang terintegrasi pada pengelolaan perikanan dengan batasan-batasan ekologis.

Paradigma Target Resources Oriented Management (TROM) diperkenalkan dalam pengelolaan perikanan berdasarkan ekosistem. TROM merupakan suatu istilah yang dibangun yang merujuk pada manajemen perikanan konvensional dimana spesies target dari stok menjadi perhatian utama dari pengelolaan perikanan tersebut. TROM didasarkan pada paradigma produktivitas marine systems dari setiap target yang terbatas. TROM juga merujuk pada non target spesies yang terkait, TROM sering didasarkan dari sebuah unit manajemen perikanan, misalnya spesies, dan alat tangkap dengan memperhitungkan struktur ekosistem.

Menurut FAO (2003), paradigma pengelolaan perikanan berdasarkan target spesies seyogyanya memperhatikan : selektifitas target spesies (size selectivity of target species), modifikasi alat tangkap untuk meningkatan selektifitas (gear modifications that improve selectivity), menghindari non target spesies yang ikut tertangkap, menghindari terjadinya ghost fishing, pembatasan upaya dan jumlah alat tangkap, mengontrol dampak penangkapan pada ekosistem dan mengontrol hasil tangkapan.

Dalam pengelolaan perikanan berdasarkan ekosistem mencegah terjadinya degradasi habitat merupakan hal yang mutlak dilakukan. Praktek-praktek yang merusak seperti menangkap ikan dengan menggunakan dinamit dan racun

sianida serta beberapa praktek yang merusak lainnya sehingga mengakibatkan kerusakan fisik dan biologi dari seafloor harus dilarang penggunaanya.

2.4 Sifat Sumberdaya Ikan

Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih atau dapat memperbaharui diri. Disamping sifat dapat memperbaharui diri, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada umumnya dianggap bersifat open access dan common property yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain :

(1) Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment).

(2) Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private property rights). Sifat-sifat sumberdaya seperti di atas menjadikan sumberdaya ikan bersifat unik, dan setiap orang seakan-akan mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu negara. Dengan demikian, kondisi ini memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan apat dengan bebas masuk dan mengambil manfaatnya. Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan karena mereka bebas masuk, maka akan terjadi interaksi yang tidak menguntungkan dan secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masing-masing orang atau perusahaan, sebagai akibat keadaan yang berdesakan tersebut. Dengan demikian, secara prinsip sumberdaya milik bersama yang dicirikan dengan pengambilan secara bebas maupun akibat-akibat lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas (tidak ekonomis) dan lain sebagainya, akan menimbulkan kecenderungan pengelolaan secara deplesi (Suparmoko, 1997).

Disisi lain, Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya 3 (tiga) sifat khusus yang dimiliki oleh sumberdaya yang bersifat milik bersama tersebut. Ketiga sifat khusus tersebut adalah :

(1) Ekskludabilitas

Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu. Upaya pengendalian dan

pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena sifat fisik sumberdaya ikan yang dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas. Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara disisi lain otoritas manejemen sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk keluar.

(2) Substraktabilitas

Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain. Dalam kaitan ini, meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam pengelolaan, akan tetapi kegiatan seseorang didalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya yang sama. Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif.

(3) Indivisibilitas

Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara adminstratif pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas manejemen.

2.5 Ikan Kerapu

Ikan kerapu termasuk dalam famili Serranidae, subfamili Epinephelinae dan dikenal dengan istilah “grouper” (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999). Ikan kerapu terdiri dari 15 genus dan mencakup 159 spesies. Kelima belas genus ikan kerapu tersebut adalah Aethalperca, Alphestes, Anyperodon, Cephalopholis, Cromileptes, Dermatolepis Epinephelus, Gonioplectrus, Gracila, Mycteroperca, Paranthias, Plectropomus, Saloptia, Triso dan Variola (Heemstra dan Randall, 1993). sedangkan menurut Tucker (1999), ikan kerapu terdiri dari 14 genus dan mencakup setidaknya setengah dari 449 spesies famili Serranidae.

Menurut Heemstra dan Randall (1993), ikan kerapu dapat diidentifikasi berdasarkan pola pewarnaannya, ciri morfologis termasuk bentuk tubuh, konfigurasi dan ukuran sirip, bentuk dan ukuran relatif dari kepala dan beberapa bagian kepala , serta jumlah jari-jari sirip, gurat sisik dan gill raker.

Kecuali untuk beberapa jenis ikan kerapu dewasa dengan ukuran besar, pola pewarnaan kebanyakan ikan kerapu biasanya cukup untuk membedakan spesies tertentu. Ikan kerapu yang hidup di perairan dalam biasanya memiliki pola pewarnaan yang lebih kemerahan dibanding spesies yang tertangkap di perairan dangkal.

Ikan kerapu sangat berkaitan dengan dasar perairan dan ditemukan pada seluruh perairan tropis dan subtropis yang hangat (Heemstra dan Randall, 1993). Kebanyakan ditemukan pada perairan berkarang (Heemstra dan Randall 1993; Sluka et al. 2001) namun beberapa spesies dapat ditemukan di daerah estuaria atau karang berbatu (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999). Secara umum, ikan kerapu sangat terkait dengan dasar perairan yang keras (berbatu), kendati juvenil ikan ini ditemukan pada area padang lamun dan yang dewasa dari beberapa spesies lebih menyukai areal berpasir. Beberapa spesies dapat ditemukan pada kedalaman 100 hingga 200 m (terkadang ditemukan pada kedalaman 500 m), namun kebanyakan hidup pada kedalaman kurang dari 100 m dan juvenil sering ditemukan pada perairan yang sangat dangkal. Ikan kerapu hidup secara soliter dan menetap pada karang tertentu dalam waktu yang lama (Heemstra dan Randall, 1993). Menurut Kuiter (1996), ikan kerapu dewasa biasanya dapat ditemukan pada lereng-lereng karang yang memiliki celah atau gua-gua yang besar. Ikan kerapu biasanya hidup soliter atau dalam kelompok yang kecil (Yearsley et al. 1999).

Menurut Tucker (1999), juvenil dan ikan kerapu dewasa hidup di perairan pesisir dan estuaria, tapi sebagian lebih menyukai perairan yang jernih di areal terumbu karang. Telurnya tunggal, non adhesive dan mengapung pada salinitas normal. Larva dari beberapa spesies menghabiskan beberapa minggu pertamanya sebagai plankton oseanik. Ketika menjadi juvenil, ikan kerapu menetap di perairan dangkal untuk mencari tempat berlindung. Pada saat ukurannya bertambah panjang, ikan kerapu bergerak ke perairan yang lebih dalam namun kebanyakan tetap tinggal di wilayah dekat gua tempat berlindungnya.

Sebagai predator utama di ekosistem terumbu karang, kebanyakan ikan kerapu memakan sejumlah jenis ikan, crustacea yang besar dan chepalopoda (Heemstra dan Randall, 1993). Menurut Tucker (1999), larva kerapu di alam awalnya memakan copepoda dan zooplankton kecil,

kemudian memakan crustacea yang lebih besar seperti amphipoda dan udang mysid. Selanjutnya, makanan utama juvenil ikan kerapu adalah ikan, kepiting, udang-udangan, lobster dan moluska. Heemstra dan Randall, (1993) menyatakan bahwa sebagian besar ikan kerapu adalah ambush predator (predator dengan menjebak mangsanya), yang bersembunyi diantara karang dan bebatuan hingga ikan atau crustacea yang tidak waspada melintas, kemudian menangkap mangsanya tersebut dengan cepat dan menggigit mangsanya dengan gigi yang tajam. Kebanyakan spesies ikan kerapu hermaprodit protogini, dimana setiap individu mencapai usia dewasa secara sexual pertama kali dengan kelamin betina dan kemudian berubah menjadi jantan (Heemstra dan Randall 1993; Tucker 1999). Beberapa spesies mengalami perubahan sex dari betina ke jantan dengan semakin bertambahnya umur, namun sebagian lagi mengalami perubahan sex akibat kekurangan individu jantan (Tucker, 1999). Ikan kerapu memiliki umur yang panjang dan terlambat dalam mencapai usia dewasa secara sexual pertama kali (Heemstra dan Randall, 1993).

Dari hasil studi menunjukkan ikan kerapu matang gonad dari umur 2-6 tahun dengan sifat protogynous hermaphrodites, artinya pada saat tumbuh dewasa ikan ini mengalami perubahan kelamin dari kelamin betina ke kelamin jantan (Sadovy and Eklund, 1999). Ikan kerapu dikenal sebagai predator pada terumbu karang dengan pertumbuhan yang lambat dan reproduksi yang rendah oleh karena itu sangat rentan untuk dieksploitasi (Bullock et al. 1992; Heemstra and Randal, 1993). Klasifikasi

ikan ke

rapu menurut Heemstra dan Randal ,1993 :

Filum : Chordata

Sub Filum : Vertebrate Kelas : Teleostei

Sub Kelas : Osteicanthopterygii (Actinopterygii) Ordo : Parciforma

Sub Ordo : Perciodea Famili : Serranidae

Sub Famili : Epinephelinae

Di Taman Nasional Wakatobi yang menjadi target utama penangkapan dalam perdagangan ikan kerapu seperti kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu sunu bintik hitam (Plectropomus areolatus) dan kerapu sunu merah (Plectropomus leopardus) akibatnya ketiga spesies kerapu ini yang

paling terancam dari penangkapan berlebih. seperti terlihat pada Gambar 8,9 dan 10.

Gambar 9. Kerapu sunu bintik hitam (Plectropomus areolatus)

Gambar 10. Kerapu sunu merah (Plectropomus leopardus) Ikan kerapu memiliki bentuk badan yang memanjang pipih atau agak membulat, mulut lebar serong ke atas dengan bibir bawah menonjol ke atas. Rahang bawah dan atas dilengkapi dengan gigi geretan berderet dua baris.lancip dan kuat serta ujung luar bagian depan adalah gigi yang terbear. Sirip ekor

umumnya membulat (rounded). Sirip punggung memanjang dimana bagian jari-jarinya yang keras berjumlah kurang lebih sama dengan jari-jari lunaknya.

Jari jari sirip yang berjumlah 6-8 buah, sedangkan sirip dubur (anal fin) berjumlah 3 buah, jari jari sirip ekor berjumlah 15-17 dan bercabang dengan jumlah 13-15, warna dasar sawo matang. Perut bagian bawah agak keputihan dan pada badannya terdapat titik warna merah kecoklatan serta tanpak pula 4-6 baris warna gelap yang melintang hingga ke ekornya. Badannya ditutupi oleh sisik kecil, mengkilat dan memiliki cirri-ciri loreng.

Ikan kerapu merupakan ikan predator pemangsa ikan-ikan lain, krustase dan cephalopoda.

Ikan

ini bersemb

unyi

diantara terumbu karang dan bebatuan untuk mendapatkan mangsa. Beberapa jenis karapu seperti Piranhias spp dan Epinephelus undulus merupakan pemakan plankton yang memiliki tipis insang yang panjang dan rapat. Sebagian besar jenis ikan predator (misalnya serranidea) memiliki puncak aktivitas mencari makan waktu senja dan subuh hari.

Ikan kerapu merupakan organisme yang bersifat nokturnal. Pada malam hari aktif bergerak di kolom perairan untuk mencari makan sedangkan pada siang hari lebih bersembunyi di liang-liang karang. Ikan kerapu memiliki kebiasaan makan pada siang hari dan malam hari. Namun lebih aktif pada waktu fajar dan senja hari. Kerapu termasuk ikan jenis ikan yang aktif diantara siang dan malam hari (crepuscular).

Kerapu biasa mencari makan dengan menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya. Ikan kerapu bersifat kanibalisme jika kekurangan makanan. kanibalisme ini biasanya mulai terjadi pada larva umur 30 hari, pada saat itu ikan cenderung berkumpul disuatu tempat dengan kepadatan tertinggi.

Ikan kerapu termasuk jenis karnivora, kerapu dewasa memakan ikan-ikan kecil, kepiting, udang-udangan, sedangkan pada saat larva memangsa larva moluska (trofokor), rotifer, mikro crustase, copepoda dan zooplankton. Sebagai ikan karnivora kerapu cenderung menangkap mangsanya yang aktif bergerak di kolom air (Maryati, 2004)

2.6 Ekosistem Terumbu Karang

Indonesia memiliki hamparan terumbu karang terluas ke dua di dunia setelah Australia. yaitu mencakup areal sekitar 50.000 km² (Supriharyoono, 2000). Beberapa laporan sebelumnya menyebutkan sekitar 75.000 km² (Cesar, 1998; Johannes dan Riepen, 1995), ada juga yang menyebutkan luas tersebut sekitar 42.000 km² berdasarkan estimasi nilai total terkecil (Anonymous, 2000a). Keanekaragaman terumbu karang Indonesia merupakan yang terkaya di dunia (Edinger et al. 1998; Chou, 2000); sehingga menempatkannya sebagai pusat keanekaragaman terumbu karang global (De Vantier et al. 1998; Cesar, 1998; Supriharyono, 2000; Suharsono, 2001).

Terumbu karang merupakan jenis ekosistem yang sangat penting di perairan pantai daerah tropis karena ekosistem ini mempunyal produktivitas primer yang sangat tinggi. Besamya produktivitas primer di daerah terumbu karang dapat mencapai 10 kg c/m²/tahun. sedangkan di perairan lepas pantai hanya berkisar antara 50-100 g c/m²/tahun (Supriharyono, 2000). Secara umum produktivitas primer kotor di perairan karang berkisar antara 2000-5000 gr c/m²/tahun. Tingginya produktivitas primer di daerah tersebut, menyebabkan produktivitas perikanannya menjadi tinggi pula, sehingga perairan karang merupakan daerah penangkapan ikan yang produktif. Steven dan Marshal (1974) yang diacu dalam Salm et al. (2000), melaporkan bahwa standing crop populasi Ikan di daerah karang, dapat mencapai 5-15 kali ukuran crops dari fishing ground yang produktif di Atlantik Utara. Oleh karena itu, perairan karang biasanya menjadi sasaran utama aktivitas perikanan dari sebagian besar masyarakat pesisir.,

Terumbu karang mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, di antaranya adalah sebagai sumber bahan pangan, obat-obatan dan bahan baku industri, serta tempat rekreasi dan pendidikan. Disamping itu, dan segi ekologi, terumbu karang berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan abrasi pantai; serta sebagai tempat pemijahan, pembesaran dan mencari makan dan sebagian besar ikan ekonomis penting. Sayangnya, aktivitas pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir dewasa ini, telah memberikan beragam dampak negatif yang cukup nyata terhadap keberadaan dan kualitas sumberdaya terumbu karang di Indonesia. Beberapa laporan yang senada menyebutkan bahwa sumberdaya terumbu karang telah mengalami degradasi yang sangat serius (Cesar, 1998;

Anonymous, 2000b; Chou 2000). Kondisi terumbu karang Indonesia yang dapat dikategorikan baik sampai dengan sangat baik saat ini, diperkirakan hanya tinggal sekitar 29% (Suharsono et al. 1997; Cesar, 1996, 1998; Djohani, 1998; Chou, 2000). Terdapat indikasi kuat bahwa kerusakan terumbu karang Indonesia sedang terus berlanjut karena tekanan berbagai aktivitas manusia. Kerusakan terumbu karang dapat disebabkan oleh berbagai faktor fisika, kimia dan biologis; namun secara umum, kerusakan terumbu karang dapat dibedakan menjadi kerusakan karena kejadian alam dan kerusakan karena aktivitas manusia atau antropogenik (Salm et al. 2000). Cesar (1996, 1998) mengemukakan bahwa terdapat lima aklivitas manusia yang merupakan ancaman utama terhadap kerusakan terumbu karang di Indonesia, yaitu: penggunaan racun (cyanide fishing), penggunaan bom (blast fishing), penambangan karang (coral mining), sedimentasi dan polusi, serta kelebihan eksploitasi (over fishing).

2.6.1 Penyebaran Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reefs) merupakan komunitas organisme yang hidup di dasar laut dangkal daerah tropis. Binatang karang (reef coral) adalah sebagai individu organisme atau komponen kornunitas, sedangkan terumbu karang (coral reef) adalah sebagai suatu ekosistem yang didalamnya termasuk organisme-organisme karang. Terdapat dua tipe karang yaitu: karang yang membentuk bangunan kapur atau hermalypic corals, dan karang yang tidak dapat membentuk bangunan kapur atau ahermatypic corals (Supriharyono, 2000). Hermatypic corals adalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan karang sehingga sering dikenal sebagai reef-building corals. Karang jenis ini bersimbiosis dengan algae zooxantheiae untuk membentuk bangunan kapur, sehingga hanya terdapat di daerah tropis; sedangkan jenis ahermatypic tidak bersimbiosis dengan zooxanthellae sehingga dapat tersebar luas di seluruh dunia dan bersifat karnivor (Nybakken, 1992).

Secara umum jum!ah spesies karang (reef-building corals) di Indo-Pasifik cenderung lebh banyak dibandingkan dengan di Atlantik. Keanekaragaman spesies karang terbesar di Indo-Pasifik terdapat di daerah Melanesia dan Asia Tenggara, dan yang paling tinggi tercatat di Indonesia (Supriharyono, 2000). Tingginya keanekaragaman karang umumnya terjadi karena kondisi yang tidak seimbang, dan jika tidak ada gangguan maka keanekaragamannya akan turun. Keanekaragaman yang tertinggi terjadi apabila ada gangguan skala menengah, baik frekuensi maupun intensitasnya. Sebaliknya keanekaragaman terendah

terjadi pada kondisi ekstrim, yaitu tidak ada gangguan sama sekali atau gangguan terlalu besar (Connell, 1978). Tingkat gangguan berhubungan terbalik dengan tutupan karang, dan karena itu tutupan karang merupakan suatu indeks yang berhubungan terbalik dengan gangguan, yang dikenal dengan model intermediate disturbance (Jones dan Syms, 1998).

2.6.2 Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang

Keanekaragaman dan pertumbuhan karang hermatypic sangat bergantung pada kondisi lingkungan yang pada kenyataannya tidaklah selalu tetap, tetapi sering berubah dengan adanya gangguan, baik yang berasal dan alam maupun karena aktivitas manusia; dimana gangguan tersebut dapat berupa faktor fisik-kimia dan faktor biologi. Faktor-faktor pembatas pertumbuhan karang secara umum antara lain terdiri dari: cahaya matahari, suhu, salinitas, kecerahan air, pergerakan air, kedalaman, substrat dan sedimentasi (Soekarno et al. 1983; Nybakken, 1992; Supriharyono, 2000).

Cahaya matahari merupakan faktor pembatas terpenting bagi hermatypic corals, dimana cahaya dibutuhkan oleh zooxanthelae yang bersimbiose dengannya untuk melakukan proses fotosintesa. Titik kompensasi karang terbadap intensitas cahaya terletak antara 200-700 fc (fluorescent candle). tetapi optimal antara 300-500 fc, sedangkan di permukaan laut 2500-5000 fc. Suhu yang baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25 -29°C, salinitas sekitar 30 -36‰, kedalaman tidak lebih dari 25 m, dan perairan tersebut bebas dan sedimentasi. Selain itu, karang bertumbuh baik pada daerah yang berarus, bergelombang dan pada substrat yang keras. Suharsono (1998) melaporkan bahwa perairan yang jernih di laut Indonesia bagian tengah dan timur memungkinkan karang dapat berkembang pada kedalaman lebih dari 30 m; sedangkan di Indonesia bagian barat, pertumbuhan karang hanya terbatas pada kedalaman rata-rata tidak Iebih dan 20 m. Pembangunan di daerah pantai dan aktivitas manusia lainnya seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan dan aktivitas pertanian dapat menyalurkan sedimen (terrigenous sediment) ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Disamping itu ada carbonate sediments yang berasal dan erosi karang baik secara fisik maupun biologis; sedimen-sedimen tersebut dapat menghambat dan bahkan dapat mematikan pertumbuhan karang.

2.6.3 Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang

Berdasarkan geomorfologinya, ekosistem terumbu karang dapat dibagi ke dalam tiga kelompok (Suharsono, 1984; Cesar, 1996; Supriharyono, 2000), yaitu: (1) Fringing reef (terumbu karang tepi), yang bertumbuh di sepanjang pantal, dan tepian pantai ke arah atas dan ke arah laut (2) Barrier reef (terumbu karang penghalang), yang terletak pada berbagai jarak dan pantai dan dipisahkan oleh dasar laut yang cukup dalam untuk pertumbuhan karang (lagoon), dan umumnya memanjang menyusuri pantal. (3) Atol (terumbu karang cincin), yang melingkari suatu goba atau lagoon. Selain ketiga kelompok besar tersebut, di Indonesia terdapat pula jenis terumbu gosong atau. Coral patch reef (Dahuri, 2003), yang tumbuh secara terpisah-pisah dan kadang-kadang berdekatan dengan barrier reef. Bentuk patch reef yang kompleks merupakan tempat berlindung (shelter) yang baik bagi ikan-ikan karang. Dilihat dan tipe pertumbuhan karang dan karakteristik dan masing-masig generanya, bentuk pertumbuhan karang dapat dibedakan ke dalam 6 tipe yaitu:

(1) Tipe bercabang (branching), memiliki cabang dengan ukuran yang lebih panjang dari diameternya, terdapat di sepanjang tepi terumbu atau bagian atas lereng, terutama yang terlindung atau setengah terbuka.

(2) Tipe padat (massive), berbentuk bola dengan permukaan halus dan padat, ukurannya bervariasi mulai dan ukuran telur sampai sebesar ukuran rumah. Bentuk pertumbuhannya akan mengalami perubahan seperti tonjolan jika pada beberapa bagian tubuhnya terdapat kematian; dan bagian atasnya akan berbentuk cincin jika berada di daerah dangkal.

(3) Tipe kerak (encrusting), tumbuh seperti kerak menutupi permukaan dasar terumbu dan sangat tahan pada pukulan ombak. Permukaannya kasar dan keras serta berlubang-lubangkecil .

(4) Tipe meja (tabular), bentuknya menyerupai meja dengan permukaan lebar dan datar. Karang ini ditopang oleh sebuah batang yang bertumpu pada satu

Dokumen terkait