• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Cochrane (2002), pengelolaan sumberdaya perikanan didefinisikan sebagai proses yang terpadu dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi. Dengan penguatan regulasi atau undang-undang yang mengatur aktivitas perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumberdaya dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1995) dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan adalah suatu kebutuhan dasar dan menjadi kebutuhan dunia. Hal ini terjadi karena banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai mata pencahariannya. Namun pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia yang begitu penting mengalami beberapa kejadian berikut ini yang menjadi dasar atau alasan pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu :

1. Sebagian besar sumberdaya perikanan dunia mengalami tangkap penuh, tangkap lebih, deplesi atau pada kondisi dimana sumberdaya itu harus diselamatkan. Selain karena penangkapan, sumberdaya ikan mengalami degradasi karena kerusakan ekologi dan polusi lingkungan.

2. Kelebihan pemanfaatan sumberdaya perikanan dunia ikut ditentukan oleh perkembangan teknologi yang cepat terutama pemanfaatan Geographical Positioning System (GPS), radar, echo sounder, mesin kapal yang besar dayanya serta berkembangnya teknologi pengolahan.

3. Status pemanfaatan secara berlebihan sumberdaya perikanan dunia ini adalah resultante dari kegagalan pemerintah yang memegang regulasi pengelolaan perikanan (fisheries governance) yang mencakup didalamnya kegagalan masyarakat, peneliti dan ahli perikanan serta pemerintah sebagai suatu lembaga.

Menurut Mees (1996), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan biologi. Oleh karenanya, pengelolaan sumberdaya perikanan haruslah difokuskan untuk menjaga keseimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Pada dasarnya, pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk memastikan berapa banyak ikan yang dapat ditangkap dengan sejumlah upaya penangkapan agar sumberdaya tersebut tetap lestari. Model pengelolaan ini lebih dikenal sebagai model pengelolaan konvensional (Hoggart et al. 2006). Selanjutnya Hoggart et al. (2006) menyatakan bahwa model pengelolaan konvensional dapat dilakukan

melalui pengaturan jumlah dan ukuran alat tangkap (input control) dan pengaturan jumlah dan ukuran hasil tangkapan (output control). Model pengelolaan non konvensional lebih diarahkan pada upaya konservasi sumberdaya perikanan melalui pendekatan kehati-hatian atau precautionary approach (Garcia dan Cochrane, 2005).

Menurut Mees (1996), pengelolaan secara biologis dari sumberdaya perikanan tangkap biasanya bertujuan untuk mencegah terjadinya daya tangkap berlebih (overfishing) dan mengoptimalisasikan produksi. Overfishing merupakan kondisi dimana level atau laju mortalitas telah menurunkan kapasitas suatu populasi dalam jangka panjang untuk dapat mencapai MSY (Dayton et al. 2002). Overfishing dapat dikategorikan menjadi 4 yakni:

1. Growth overfishing adalah kondisi dimana yang tertangkap berada dibawah ukuran pertumbuhan optimum (Mees 1996; Israel et al. 1997; Hall 2002; Holland 2003).

2. Recruitment overfishing adalah kondisi dimana ikan-ikan dewasa tertangkap dalam jumlah yang besar sehingga proses reproduksi menurun dan dengan sendirinya rekruitmen juga menurun.( Israel et al. 1997; Dayton et al. 2002; Kilduff et al. 2009).

3. Ecosystem overfishing adalah kondisi dimana kegiatan penangkapan ikan berdampak terhadap penurunan kualitas ekosistem, termasuk penurunan kelimpahan dan perubahan komposisi spesies, variasi yang luas dari kelimpahan, biomasa dan produksi beberapa spesies, serta perubahan atau kerusakan yang signifikan dari habitat (Israel et al. 1997; Murawski 2000; Dayton et al. 2002).

4. Economic overfishing adalah kondisi dimana peningkatan jumlah upaya penangkapan tidak memberi dampak terhadap kenaikan pendapatan nelayan (Israel et al. 1997).

Sementara Widodo dan Nurhakim (2002) mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk :

(1) Menjaga kelestarian sumberdaya ikan, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement).

(2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan (3) Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut.

Pengelolaan sumberdaya ikan sendiri pada hakekatnya mencari kemungkinan tindakan yang tepat secara biologi disatu sisi, dan kegiatan

penangkapan ikan yang mampu memberikan keuntungan ekonomi disisi lain. Dengan kata lain, pengelolaan sumberdaya ikan haruslah mampu mencegah terjadinya konflik antara kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan untuk tujuan ekonomi termasuk adanya keadilan didalam distribusi manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya ikan tersebut, serta upaya konservasi sumberdaya ikan untuk kepentingan generasi mendatang. Dalam kaitan ini, Lawson (1984), mengemukakan adanya 4 (empat) strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu :

(1) Mencegah terjadinya lebih tangkap (over exploitation), dengan melakukan pengendalian terhadap kegiatan penangkapan.

(2) Memperbaiki kualitas ikan yang akan dijual kepada konsumen, dengan jalan melakukan penanganan yang baik serta mengurangi kerusakan ikan setelah proses penangkapan.

(3) Mengembangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan lain, seperti kegiatan budidaya.

(4) Mengembangkan sistem pemasaran dengan berorientasi pada spesies yang dapat diterima oleh konsumen.

Sementara Tai (1995), mengembangkan model sistem pengelolaan perikanan yang didasarkan pada 3 (tiga) komponen utama sebagai sub model, yaitu sub model biologi, sub model sosial dan ekonomi serta sub model manajemen. Ketiga komponen tersebut beserta parameter antaranya dapat seperti terlihat pada Gambar 4.

ECONOMIC SUB MODEL BIOLOGICAL SUB MODEL MANAGEMENT SUB MODEL Effort (t) Harvest (t) Social Profit Consumer Surplus Crew Income Employment Social Benefit Price of Fish Crew Income Fish Biomass Biomass (t) Management Strategic Market Input Condition Input Cost General Economic Water Temperature Nutrient Weather No. of vessel Employment

Gambar 4. Model sistem pengelolaan perikanan (Tai,1995)

Parameter-parameter ini dapat dipergunakan sebagai alat ukur untuk melihat dampak dari berbagai kebijakan pengelolaan perikanan yang ada. Disamping itu, hubungan juga digambarkan antara sub model manajemen dan biologi yang berkaitan dengan alternatif kebijakan dari upaya penangkapan. Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) disingkat dengan MSY.Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Dengan kata lain, pendekatan yang dipergunakan dalam konsep ini hanya mempertimbangkan faktor biologi semata. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu tambahan individu ikan (recruitment), pertumbuhan individu ikan (growth) dan kematian ikan (mortalitas). Kematian ikan sendiri pada stok ikan yang diupayakan atau dieksploitasi, dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu kematian ikan karena penangkapan (fishing mortality) dan kematian ikan karena alami (natural mortality).

Gambar 5. Konsep pendekatan daridinamika stok ikan

Dari Gambar 5 diatas dapat diilustrasikan bahwa pada kondisi alami (stok ikan tidak diupayakan), pertumbuhan stok ikan dipengaruhi oleh pertumbuhan ikan dan rekruitmen, serta dikurangi oleh mortalitas (kematian alami). Dalam hal ini pertumbuhan stok ikan akan cenderung ke titik nol, dimana besarnya pertumbuhan dan rekrutmen stok ikan akan sama dengan jumlah ikan yang mati secara alami. Oleh karena itu, stok ikan di suatu perairan akan terkendali secara alami melalui interaksi antara faktor lingkungan dan karakteristik pertumbuhan ikan itu sendiri. Dengan kata lain, stok ikan secara alami akan cenderung stabil pada kondisi lingkungan tertentu, dengan ukuran stok ikan tertentu. Kecenderungan ini dikenal dengan gejala density-dependent process (Muhammad, 2002).

Perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh terhadap besarnya daya dukung (carrying capacity) perairan bagi sumberdaya ikan. Dalam hal ini, perubahan kondisi lingkungan akan berpengaruh pada faktor biologi utama seperti tambahan individu ikan, pertumbuhan dan mortalitas. Secara biologis, pertumbuhan populasi ikan pada periode tertentu di suatu daerah terbatas, adalah merupakan fungsi dari jumlah awal populasi tersebut. Ini artinya perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi pada awal periode. Analisis ini didasarkan pada konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun 1883, dan kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi perikanan yang bernama Schaefer pada tahun 1957. Penerapan konsep produksi kuadratik untuk perikanan ini

menggambarkan hubungan linier antara produksi (yield) dengan upaya (effort) yang kurvanya berbentuk simetris. Hubungan ini kemudian dikenal dengan Model Pertumbuhan Schaefer (Lawson, 1984) atau disebut juga dengan kurva produksi lestari (Fauzi, 2004), seperti dapat dilihat melaui Gambar 6.

Gambar 6. Model pertumbuhan Schaefer (kurva produksi lestari)

Dari Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa pada kondisi tidak ada aktivitas penangkapan ikan (tidak ada upaya), maka produksi ikan juga sama dengan nol. Akan tetapi apabila upaya ditingkatkan sampai mencapai titik Emsy, maka akan diperoleh produksi yang maksimum atau lebih dikenal dengan sebutan MSY. Mengingat sifat dari kurva produksi lestari yang berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang dilakukan secara terus-menerus setelah melampaui titik MSY, tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Dengan kata lain, produksi akan turun kembali dan mencapai nol pada titik upaya maksimum (Emax). Pendekatan ini pula yang dipergunakan sebagai kriteria oleh Baley et al. (1987) dan FAO (1994), didalam menentukan status pemanfaatan sumberdaya ikan di suatu perairan dengan mengelompokkannya menjadi 6 (enam) kelompok, yaitu :

(1) Unexploited,

Stok sumberdaya ikan berada pada kondisi belum tereksploitasi, sehingga aktivitas penangkapan ikan sangat dianjurkan di perairan ini guna mendapatkan keuntungan dari produksi.

(2) Lightly exploited,

Stok sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit (kurang dari 25 persen MSY). Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat

dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya ikan dan hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort-CPUE) masih mungkin meningkat. (3) Moderately exploited,

Stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi setengah dari MSY. Pada kondisi ini, peningkatan jumlah upaya penangkapan masih dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, akan tetapi hasil tangkapan per unit upaya mungkin mulai menurun.

(4) Fully exploited,

Stok sumberdaya ikan sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Disini peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan, walaupun hasil tangkapan masih dapat meningkat. Peningkatan upaya penangkapan akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, dan hasil tangkapan per unit upaya pasti turun.

(5) Over exploited,

Stok sumberdaya ikan sudah menurun, karena tereksploitasi melebihi nilai MSY. Pada kondisi ini, upaya penangkapan harus diturunkan agar kelestarian sumberdaya ikan tidak terganggu.

(6) Depleted,

Stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan secara drastis, dan upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan. Hal ini berkaitan dengan kondisi kelestarian sumberdaya ikan yang sudah sangat terancam. Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya ikan dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut.

Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (social oriented). Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan MSY telah mendapat tantangan cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan pada dasarnya adalah untuk menghasilkan pendapatan dan bukan semata-mata untuk menghasilkan ikan (Widodo dan Nurhakim, 2002). Dengan kata lain, pencapaian yield yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah pertambahan yang semakin berkurang (diminishing return) yang menunjukkan

bahwa kenaikan yield akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan effort (Lawson, 1984). Lebih lanjut Conrad and Clark (1987) yang dikutip Fauzi (2004) mengemukakan adanya beberapa kelemahan dalam pendekatan MSY antara lain :

(1) Tidak bersifat stabil, karena perkiraan stok ikan yang meleset sedikit saja bisa mengarah ke pengurasan stok (stock depletion)

(2) Didasarkan pada konsep keseimbangan semata, sehingga pendekatan ini tidak berlaku pada kondisi ketidak seimbangan

(3) Tidak memperhitungkan nilai ekonomis, apabila stok ikan tidak dipanen atau tidak dieksploitasi

(4) Mengabaikan aspek interdependensi dari sumberdaya, dan

(5) Sulit diterapkan pada kondisi dimana perikanan memiliki ciri jenis yang beragam (multi-species)

Dengan memperhatikan adanya kelemahan-kelemahan di atas, maka mulailah dikembangkan pendekatan ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan. Pendekatan ini berangkat dari pemikiran Gordon yang menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat akses terbuka (open acces), artinya siapa saja dapat berpartisipasi untuk memanfaatkannya tanpa perlu memilikinya. Kondisi ini cenderung menjadi tidak terkontrol, dan akan mengarah pada perikanan lebih tangkap baik secara biologi maupun ekonomi. Dalam pendekatannya, Gordon memanfaatkan kurva produksi lestari, dimana kurva pertumbuhan berada dalam kondisi keseimbangan jangka panjang. Dari sinilah selanjutnya dikenal teori Gordon-Schaefer, yang banyak dipergunakan oleh ahli perikanan didalam melakukan analisis pengelolaan sumberdaya ikan (Fauzi, 2004). Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan MEY. Dalam pendekatan ini dipergunakan beberapa asumsi (Anderson, 1977; Lawson, 1984; Fauzi, 2004),yaitu :

(1) Harga per satuan ikan (output) adalah konstan. (2) Biaya per satuan upaya dianggap konstan.

(3) Species sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species). (4) Struktur pasar bersifat kompetitif.

(5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pasca panen dan lain sebagainya). Selanjutnya secara lebih detail, pendekatan konsep ini dapat dilihat melalui Gambar 7.

Gambar 7 Model ekonomi statik pada perikanan (Smith, 1981; Lawson, 1984; Cunningham et al. 1985)

Dari Gambar 7 diatas dapat dilihat bahwa kurva penerimaan total (total revenue) adalah sama dengan kurva produksi lestari, sebab harga ikan diasumsikan konstan dan penerimaan total akan ditentukan langsung oleh hasil tangkapan ikan. Kurva biaya total (total cost) berbentuk garis lurus, yang mengindikasikan bahwa besarnya biaya adalah meningkat secara proporsional dengan meningkatnya upaya atau effort (Anderson, 1977; Lawson, 1984). Dengan demikian, keuntungan maksimum dari pengelolaan sumberdaya ikan pada hakekatnya tercapai sebelum tingkat produksi MSY yaitu pada tingkat penggunaan effort E3. Titik E2, dikenal dengan tingkat upaya penangkapan pada saat terjadi keseimbangan akses terbuka (Open-Access Equilibrium).

Dengan kata lain pada setiap effort yang lebih rendah dari E2, maka penerimaan total (total revenue) akan melebihi biaya total (total cost), sehingga pelaku penangkapan (nelayan) akan lebih banyak tertarik untuk menangkap ikan. Dalam kondisi akses yang tidak dibatasi, hal ini akan mengakibatkan bertambahnya pelaku masuk ke industri perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih tinggi dari E2, maka biaya total akan melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan akan keluar dari perikanan.

Hasil kompromi kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham et al. (1985). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah yang kemudian menjadi dasar didalam menetapkan total allowable catch (TAC). Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan MSY, diantaranya adalah :

(1) Berkurangnya resiko terjadinya deplesi dari stok ikan.

(2) Jumlah tangkapan per unit upaya akan menjadi semakin besar. (3) Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu.

Dalam kegiatan perikanan yang bersifat akses terbuka dimana didalamnya terjadi persaingan sempurna serta industri perikanan berlangsung dalam jangka panjang (long run), maka keseimbangan akses terbuka menggambarkan bahwa seluruh usaha penangkapan ingin memaksimumkan keuntungannya dengan beroperasi pada tingkat dimana biaya marjinal (marginal cost) adalah sama dengan pendapatan rata-rata (average revenue). Ini juga berarti bahwa pada kondisi ini akan lebih banyak upaya penangkapan yang ingin masuk untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada. Disisi lain, tingkat produksi harus dipertahankan pada titik maximum sustainable yield, agar sumberdaya ikan yang ada terpelihara. Sementara titik maximum economic yield adalah perbedaan terbesar antara biaya total (total cost) dan pendapatan total (total revenue) yang diinginkan oleh masing-masing unit penangkapan. Dengan asumsi bahwa pemerintah sepenuhnya dapat mengendalikan kondisi lebih tangkap dan jumlah nelayan (upaya), maka menurut Lawson (1984), pemerintah dapat mengambil beberapa bentuk kebijakan dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan itu sendiri pada prinsipnya adalah perpaduan antara pengelolaan sumberdaya dan pemanfaatan dengan tetap menjaga kelestarian sumberdaya dalam jangka panjang untuk kepentingan generasi mendatang sebagaimana tercantum dalam code of conduct for responsible for fischeries (FAO, 1995). Teknologi penangkapan ikan bukan hanya ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan, tetapi juga memperbaiki proses penangkapan dan untuk meminimumkan dampak

penangkapan ikan terhadap lingkungan perairan dan biodiversitinya (Arimoto et al. 1999).

Dokumen terkait